PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 12 Juli 2012

Kebathilan Dan Keburukan Syirik
(1)   Mitsaq Dan Fithrah Adalah Hujjah dalam Kebatilan Syirik
(2)   Keburukan Syirik Menurut Akal
(3)   Berhujjah Dengan Rububiyyah Terhadap Kebatilan Syirik Dalam Uluhiyyah
(4)   Kebersamaan Selalu Antara Syirik dengan Kebodohan
———————————————–
(1)  Mitsaq Dan Fithrah Adalah Hujjah dalam Kebatilan Syirik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ أَفَمَن كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِّنْهُ وَمِن قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إَمَامًا وَرَحْمَةً أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ فَلاَ تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِّنْهُ إِنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴾
“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al Quran) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat?. mereka itu beriman kepada Al Quran. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Quran, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Quran itu. Sesungguhnya (Al Quran) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (Huud: 17)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: (Allah ta’ala mengabarkan tentang keadaan kaum mukminin yang mana mereka itu berada di atas fithrah Allah ta’ala yang telah memfithrahkan hamba-hamba-Nya di atasnya, berupa pengakuan kepada-Nya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Dia, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar Ruum: 30)
Di dalam Ash Shahihain dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
( كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصرانه أويمجسانه كما تولد البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء )
“Setiap yang terlahir itu dilahirkan di atas fithrah, kemudian kedua orang tuanya menjadikannya yahudi, nashrani atau majusi, sebagaimana hewan dilahirkan sebagai hewan yang mulus, apakah kalian mendapatkan suatu cacat padanya.”[1] [2]
Dan berkata pada firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ  ﴾
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al A’raf: 172)
(Yaitu: Dia menciptakan mereka dala keadaan mereka bersaksi terhadap hal itu lagi mengatakan kepadanya baik secara keadaan maupun ucapan. Sedangkan kesaksian itu bisa berbentuk ucapan seperti firman-Nya:
﴿ يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالإِنسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَاء يَوْمِكُمْ هَـذَا قَالُواْ شَهِدْنَا عَلَى أَنفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُواْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُواْ كَافِرِينَ  ﴾
“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata: “Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri”, kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Al An’am: 130)
Dan kadang berbentuk keadaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُواْ مَسَاجِدَ الله شَاهِدِينَ عَلَى أَنفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ﴾
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.” (At Taubah: 17)
Yaitu keadaan mereka manjadi saksi atas mereka prihal hal itu, bukan bahwa mereka mengatakan hal itu. Dan sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ ﴾
“Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya.” (Al ‘Adiyat: 7)
Sebagaimana bahwa pertanyaan itu kadang dengan ucapan dan kadang dengan keadaan, sebagaimana di dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ ﴾
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)
Mereka berkata: Dan di antara yang menunjukan bahwa itulah yang dimaksud dengan hal ini, adalah bahwa penjadian pengambilan kesaksian itu sebagai hujjah atas diri mereka di dalam penyukutuan (Allah) seandainya hal itu telah terjadi -sebagaimana yang dikatakan oleh orang yang mengatakannya-, tentulah setiap orang mengingatnya agar menjadi hujjah terhadapnya. Bila ada yang mengatakan bahwa pemberitahuan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah cukup prihal keberadaannya?
Maka jawabanya: Bahwa orang-orang yang mendustakan dari kalangan kaum musyrikin, mereka itu mendustakan semua yang dibawa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam baik ini maupun yang lainnya. Sedangkan hal ini adalah dijadikan sebagai hujjah yang berdiri sendiri terhadap diri mereka, maka ini menunjukan bahwa ia itu adalah fithrah yang mana manusia difithrahkan di atasnya berupa pengakuan terhadap tauhid, oleh sebab itu Dia berfirman ( أَن تَقُولُواْ )yaitu: “agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan” ( إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ ) “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” yaitu terhadap ketauhidan, “atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu,[3]
Al Baghawi rahimahullah berkata: ( أَوْ تَقُولُواْ إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِّن بَعْدِهِمْ ) Dia berkata:  Sebab Aku mengambil mitsaq  itu atas diri kalian adalah supaya kalian wahai orang-orang musyrik tidak berkata: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu dan mereka telah melanggar perjanjian sedangkan kami adalah keturunan setelah mereka,” yaitu bahwa kami ini dahulu adalah para pengikut mereka, sehingga kami mencontoh sepak terjang mereka, terus kalian menjadikan hal ini sebagai udzur bagi diri kalian dan kalian mengatakan ( أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ ) “Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”  yaitu apakah Engkau mengadzab kami dengan sebab dosa orang-orang tua kami yang sesat dahulu. Maka mereka tidak bisa berhujjah lagi dengan ucapan semacam ini setelah pengingatan Allah ta’ala prihal pengambilan mitsaq terhadap tauhid ini. ( وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ ) yaitu Kami menjelaskan ayat-ayat itu supaya manusia semuanya mentadabburinya ( وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ) dan supaya mereka kembali dari kekafiran kepada tauhid.[4]
Asy Syaukaniy berkata: (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” Yaitu dari keberadaan bahwa Rab kami itu adalah Esa lagi tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan firman-Nya ( أَوْ تَقُولُواْ إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِن قَبْلُ )  adalah di’athafkan kepada ( تَقُولُواْ ) yang pertama, yaitu Kami lakukan hal itu karena untuk menghindari kalian beralasan dengan kelengahan atau kalian menyandarkan syirik kepada orang-orang tua kalian tidak kepada diri kalian. Dan “أو” (atau) adalah untuk mencegah kekosongan hukum bila tidak digabungkan, di mana bisa saja mereka beralasan dengan gabungan kedua alasan itu, مِن قَبْلُ yaitu sebelum zaman kami, “sedangkan kami adalah keturunan setelah mereka,” tidak mendapatkan petunjuk kepada al haq dan tidak mengetahui kebenaran, “Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”  dari kalangan orang-orang tua kami sedangkan tidak ada dosa bagi kami karena kejahilan kami dan kelemahan kami dari mengamati serta karena sikap kami mengikuti jejak para pendahulu kami.
Allah ta’ala telah menjelaskan di dalam ayat ini hikmah yang karenanya Dia mengeluarkan mereka dari punggung Adam dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka sendiri, bahwa Dia melakukan hal itu terhadap mereka supaya di hari kiamat mereka tidak mengatakan ucapan ini dan tidak beralasan dengan alasan yang batil ini serta tidak berudzur dengan udzur yang gugur ini. “وكذلك” Yaitu: Penjelasan semacam itu ( نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ) “Kami menjelaskan ayat-ayat itu supaya mereka kembali” kepada al haq dan meninggalkan kebatilan yang selama ini mereka anut.”[5]
(2)  Keburukan Syirik Menurut Akal
Al Qur’an sangat sarat dengan ajakan untuk bertadabbur, mengamati dan mempergunakan akal untuk mencapai kepada hakikat kebenaran terutama hakikat tauhid dan urgensinya serta (hakikat) syirik dan kebatilannya. Allah telah memberikan perumpamaan-perumpamaan terhadap hal itu bagi manusia dengan tujuan supaya mereka memahami. Seandainya keburukan syirik dan kebaikan tauhid itu tidak bisa diketahui oleh akal, tentulah perumpamaan-perumpamaan itu tidak memiliki makna.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: (Begitu juga pengingkaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap keburukan penyekutuan-Nya di dalam ilahiyyah-Nya dan peribadatan yang lain bersama-Nya dengan permisalan-permisalan yang Dia berikan, dan Dia menegakkan dalil-dalil ‘aqli terhadap kebatilannya. Seandainya syirik itu menjadi buruk hanya dengan syari’at, tentulah dalil-dalil ‘aqli dan permisalan-permisalan tersebut tidak memiliki makna. Dan menurut orang-orang yang mengatakan bahwa akal itu tidak bisa mengetahui hal baik dan hal buruk, bahwa menurut akal boleh saja Allah memerintahkan penyekutuan dan peribadatan kepada selain-Nya, dan bahwa syirik itu hanya diketahui keburukannya dengan sebab adanya larangan Allah darinya, oh sungguh sangat mengherankan! Faidah apa yang tersisa di dalam permisalan-permisalan, hujjah-hujjah dan bukti-bukti nyata yang menunjukan terhadap keburukannya dalam pandangan akal yang sehat dan fithrah?dan bahwa syirik itu adalah keburukan yang paling buruk dan kedzaliman yang paling dzalim. Dan hal apa yang bisa dianggap sah pada akal bila ia tidak mengetahui keburukan syirik sedangkan pengetahuan prihal keburukannya itu adalah hal yang jelas lagi diketahui secara pasti oleh akal, dan bahwa para rasul itu telah mengingatkan umat-umatnya terhadap apa yang ada di dalam akal dan fithrah mereka prihal keburukan syirik itu.
Al Qur’an adalah penuh dengan hal ini -yaitu dalil-dalil ‘aqli terhadap kebatilan dan keburukan syirik- bagi orang yang mentadabburinya, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ ضَرَبَ لَكُم مَّثَلًا مِنْ أَنفُسِكُمْ هَل لَّكُم مِّن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن شُرَكَاء فِي مَا رَزَقْنَاكُمْ فَأَنتُمْ فِيهِ سَوَاء تَخَافُونَهُمْ كَخِيفَتِكُمْ أَنفُسَكُمْ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ ﴾
“Dia membuat perumpamaan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang kalian miliki, sekutu bagi kalian dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian; sehingga kalian sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kalian takut kepada mereka sebagaimana kalian takut kepada diri kalian sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.” (Ar Ruum: 28).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghujjahi mereka dengan apa yang ada di dalam akal mereka prihal buruknya hamba sahaya seseorang menjadi sekutu baginya. Bila saja orang menganggap buruk dan tidak rela hamba sahayanya itu menjadi sekutunya, maka bagaimana kalian menjadikan bagi-Ku dari hamba-hamba-Ku sekutu-sekutu yang kalian ibadati seperti peribadatan kalian kepada-Ku? Ini menunjukan bahwa keburukan peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu adalah terpancang di dalam akal dan fithrah, sedangkan dalil naqli mengingatkan akal dan mengarahkannya untuk mengetahui apa yang telah tersimpan di dalamnya berupa keburukan syirik itu.
Begitu juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَّجُلًا فِيهِ شُرَكَاء مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ﴾
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Az Zumar: 29).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berhujjah terhadap keburukan syirik dengan apa yang diketahui akal, berupa perbedaan antara seorang hamba sahaya yang dimiliki banyak pemilik yang saling bertengkar lagi buruk prilaku dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki seorang tuan saja yang mana dia telah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepadanya. Maka apakah sah menurut akal bila keadaan dua hamba sahaya ini sama? Maka begitu juga keadaan orang musyrik dan muwahhid yang telah menyerahkan ‘ubudiyyahnya kepada Ilah-nya yang haq, tentu keduanya tidak sama).[6]
(3)  Berhujjah Dengan Rububiyyah Terhadap Kebatilan Syirik Dalam Uluhiyyah
Ini adalah ucapan yang sangat indah milik Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Walad Muhammad Al Mukhtar Al Jakniy (Asy Syinqithiy, pent) rahimahullah saat beliau menafsirkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا ﴾
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (Al Isra: 9)
Beliau berkata: (Di dalam Al Qur’anul ‘Adhim banyak sekali pengutaraan dalil terhadap orang-orang kafir dengan pengakuan mereka kepada Rububiyyah-Nya jalla wa ‘alaa terhadap kewajiban mentauhidkan-Nya di dalam ibadah-Nya. Oleh sebab itu Dia mengkhithabi mereka di dalam tauhid rububiyyah dengan istifham taqriri (pertanyaan yang bersifat pengukuhan/pengakuan), kemudian bila mereka sudah mengakui rububiyyah-Nya, maka Dia menghujjahi mereka dengannya terhadap keberadaan bahwa Dia sajalah Yang Berhak untuk diibadati, dan Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas penyekutuan-Nya dengan yang lain padahal mereka itu mengakui bahwa bahwa Dia-lah satu-satunya Rabb, karena barangsiapa yang telah mengakui bahwa Dia adalah satu-satunya Rabb, maka sudah suatu kemestian dia itu mengakui bahwa hanya Dia-lah yang berhak untuk diibadati.
Di antara contoh hal itu adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ ﴾
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”….” (Yunus: 31)
Kemudian tatkala mereka telah mengakui rububiyyah-Nya, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ  ﴾
Maka Katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (Yunus: 31)
Dan di antaranya juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ قُل لِّمَنِ الْأَرْضُ وَمَن فِيهَا إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” (Al Mu’minun: 84)
﴿ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ﴾
“Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” (Al Mu’minun: 85)
Kemudian tatkala mereka telah mengakui rububiyyah-Nya, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ﴾
Katakanlah: “Maka Apakah kamu tidak ingat?” (Al Mu’minun: 85)
Kemudian berfirman:
﴿ قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ﴾
“Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?” (Al Mu’minun: 86)
Kemudian tatkala mereka telah mengakui rububiyyah-Nya, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ ﴾
“Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” (Al Mu’minun: 87)
Kemudian berfirman:
﴿ قُلْ مَن بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾
“Katakanlah: “Siapakah yang di Tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” (Al Mu’minun: 88)
Kemudian tatkala mereka telah mengakui rububiyyah-Nya, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ ﴾
“Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (Mu’minun: 89)
Dan di antaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ﴾
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah” (Al ‘Ankabut: 61)
Kemudian tatkala telah sah pengakuan mereka itu, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ ﴾
“Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (Al ‘Ankabut: 61)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ﴾
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”(Al ‘Ankabut: 63)
Kemudian tatkala telah sah pengakuan mereka itu, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ ﴾
“Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (Al ‘Ankabut: 63)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ * أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ السَّمَاء مَاء فَأَنبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَّا كَانَ لَكُمْ أَن تُنبِتُوا شَجَرَهَا ﴾
“Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya?” ).” (An Naml: 59-60)
Tidak diragukan lagi bahwa jawaban yang tidak ada lagi jawaban lain adalah bahwa Dzat Yang Maha Kuasa terhadap penciptaan langit dan bumi serta apa yang disebutkan bersama keduanya adalah lebih baik dari benda mati yang tidak kuasa terhadap sesuatupun. Kemudian tatkala telah pasti pengakuan mereka itu, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ ﴾
Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).” (An Naml: 60).
Ayat-ayat semacam ini sangat banyak, oleh karena itu kami telah menuturkan di tempat lain bahwa setiap pertanyaan yang berkaitan dengan tauhid rububiyyah adalah istifham taqriri (pertanyaan yang bersifat pengukuhan) yang dimaksudkan darinya bahwa mereka itu bila telah mengakui, maka disematkan bagi mereka cercaan dan pengingkaran di atas pengakuan itu, karena orang yang mengakui rububiyyah itu secara pasti harus mengakui uluhiyyah).[7]
Ibnul Qayyim berkata rahimahullah: (Ilahiyyah yang mana para rasul telah mengajak umat-umatnya untuk mentauhidkan Rabb (Allah) dengannya adalah ibadah dan ta-alluh (penghambaan diri), dan di antara lawazim (kemestian-kemestian)nya adalah: tauhid rububiyyah yang telah diakui oleh keum musyrikin, kemudian Allah menghujjahi mereka dengannya, karena bila sudah mengakui tauhid rububiyyah maka sudah pasti harus mengakui tauhid ilahiyyah).[8]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: (Tempat ini adalah prihal penetapan rububiyyah dan tauhid uluhiyyah, di mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ ﴾
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur: 35)
Yaitu: Apakah mereka itu ada tanpa ada yang mengadakan? Ataukah mereka mengadakan diri mereka sendiri? Yaitu tidak ini dan tidak yang ini juga, namun Allah-lah yang telah menciptakan mereka setelah sebelumnya mereka itu tidak ada).[9]
Assa’diy rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: (Ini adalah penghujjahan terhadap mereka dengan sesuatu yang tidak memungkinkan mereka kecuali menerima penuh kebenaran atau keluar dari tuntutan akal dan dien. Penjelasannya adalah bahwa mereka itu mengingkari tauhidullah lagi mendustakan rasul-rasul-Nya, dan sikap ini memestikan mereka untuk mengingkari bahwa Allah itu telah menciptakan mereka, sedangkan telah baku di dalam akal bersama syari’at bahwa hal itu tidak lepas dari tiga hal: Yaitu bahwa mereka itu ada tanpa ada yang menciptakan mereka, namun mereka itu ada tanpa penciptaan dan tanpa yang menciptakan, sedangkan ini adalah hal mustahil, atau merekalah yang menciptakan diri mereka sendiri? Sedangkan ini juga adalah mustahil, karena tidak terbayang seseorang itu menciptakan dirinya sendiri. Bila dua hal ini telah gugur dan nampak kemustahilannya, maka pastilah hal yang ketiga, yaitu bahwa Allah-lah yang telah menciptakan mereka, kemudian bila hal ini sudah pasti, maka diketahuilah bahwa hanya Allah-lah yang (berhak) diibadati yang tidak layak dan tidak pantas suatu ibadahpun kecuali bagi-Nya Subhanahu Wa Ta’ala).[10]
Perhatian:
Akal itu mengajak kepada tauhid dan menganggapnya bagus dan ia menganggap buruk syirik, akan tetapi akal itu bukan hujjah tersendiri terhadap pengadzaban orang yang mati di atas selain tauhid, dan demikian pula fithrah dan mitsaq, di mana taklif tidak ditetapkan dengannya, di mana hujjah yang mana orang yang meninggalkannya itu diadzab adalah apa yang dibawa oleh para rasul.
Ahli fatrah:
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang ahli fatrah dan orang-orang yang statusnya sama dengan mereka dari kalangan yang belum tegak hujjah risaliyyah terhadapnya:
( هؤلاء لا يحكم لهم بكفر ولا إيمان فإن الكفر هو جحود ما جاء به الرسول، فشرط تحققه بلوغ الرسالة، والإيمان هو تصديق الرسول فيما أخبر، وطاعته فيما أمر، وهذا أيضا مشروط ببلوغ الرسالة، ولايلزم من انتفاء أحدهما وجود الآخر إلا بعد قيام سببه، فلما لم يكن هؤلاء في الدنيا كفارا ولا مؤمنين كان لهم في الآخرة حكم آخر غير حكم الفريقين.
فإن قيل فأنتم تحكمون لهم بأحكام الكفار في الدنيا من التوارث والولاية والمناكحة قيل إنما نحكم لهم بذلك في أحكام الدنيا لا في الثواب والعقاب كما تقدم بيانه.
الوجه الثاني: سلمنا أنهم كفار لكن انتفاء العذاب عنهم لانتفاء شرطه وهو قيام الحجة عليهم فإن الله لا يعذب إلا من قامت عليه حجته)
(Mereka itu tidak dihukumi kafir dan tidak dihukimi mu’min, karena sesungguhnya kekafiran itu adalah pengingkaran terhadap apa yang dibawa oleh Rasul, di mana syarat keterbuktiannya adalah sampainya risalah (hujjah), sedangkan iman itu adalah pembenaran kepada Rasul dalam apa yang dikabarkannya dan ketaatan kepadanya dalam apa yang diperintahkannya, dan ini juga disyaratkan sampainya risalah. Dan tidaklah mesti dari lenyapnya salah satu dari keduanya (kufur dan iman) adanya yang satu lagi kecuali setelah tegak sebabnya. Dan tatkala mereka itu di hukum dunia bukan kafir dan bukan mu’min, maka tentu di akhirat juga mereka memiliki hukum lain di luar hukum dua kelompok itu.
Bila ada yang mengatakan: “Kalian di dunia menghukumi mereka dengan hukum orang-orang kafir, seperti dalam hal hukum saling mewarisi, perwalian dan pernikahan,” maka dikatakan: Kami menghukumi mereka dengan hukum itu hanya di dalam hukum-hukum dunia, bukan dalam hal pahala dan siksa sebagaimana yang telah lalu penjelasannya.
Sisi kedua: Kami terima bahwa mereka itu adalah kafir, akan tetapi tidak adanya adzab atas mereka adalah karena tidak tidak terpenuhinya syarat adzab itu, yaitu tegaknya hujjah atas mereka, karena sesungguhnya Allah tidak mengadazb kecuali orang yang telah tegak hujjah-Nya atas dirinya).[11]
(4) Kebersamaan Selalu Antara Syirik dengan Kebodohan
Asy Syaukani rahimahullah berkata di dalam tafsir firman Allah ta’ala:
﴿ وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَعْلَمُونَ ﴾
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia sehingga ia mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka itu adalah kaum yang tidak mengetahui.” (At Taubah: 6)
(Jika meminta perlindungan kepadamu seorang diantara orang-orang musyrikin  yang mana kamu sudah diperintahkan untuk memerangi mereka, maka “lindungilah ia” yaitu hendaklah kamu menjadi pelindung dan penjamin baginya “sehingga ia mendengar firman Allah” darimu dan mentadabburinya dengan benar serta mengkaji hakikat apa yang kamu dakwahkan “kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya” yaitu ke negeri yang mana dia aman di dalamnya setelah dia mendengar firman Allah bila dia tidak masuk islam. Kemudian setelah kamu mengantarkan dia ke tempat yang aman baginya, maka perangilah dia karena dia sudah keluar dari jaminanmu dan kembali kepada keadaan dia semula yaitu kehalalan darahnya dan kewajiban membunuhnya di mana dia didapatkan. Sedangkan isyarat dengan firman-Nya “Demikian itu” adalah kepada yang telah lalu berupa pemberian perlindungan dan apa yang sesudahnya “disebabkan mereka itu adalah kaum yang tidak mengetahui” yaitu dengan sebab mereka itu tidak memiliki ilmu yang bermanfaat yang bisa membedakan antara kebaikan dengan keburukan di masa sekarang dan di masa mendatang).[12]
Dan di antara hal yang tidak samar lagi bahwa penyematan nama musyrik itu adalah telah ada sebelum tegaknya hujjah risaliyyah, sedangkan Al Qur’an adalah sangat sarat dengan hal itu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
( اسم الشرك يثبت قبل الرسالة، لأنه يشرك بربه ويعدل به )
(Nama syirik itu sudah ada sebelum risalah, karena dia itu menyekutukan Rabb-nya dan menjadikan tandingan bagi-Nya).[13]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang “Thabaqah (tingkatan) orang-orang yang taqlid, orang-orang kafir yang jahil dan para pengikut mereka serta keledai-keledai (para pembeo) mereka yang selalu ikut-ikutan kepada mereka”:
( وقد اتفقت الأمة على أن هذه الطبقة كفار وإن كانوا جهالا مقدلين لرؤسائهم وأئمتهم ) إلى أن قال ( والإسلام هو توحيد الله وعبادته وحده لا شريك له والإيمان بالله وبرسوله واتباعه فيما جاء به فما لم يأت العبد بهذا فليس بمسلم، وإن لم يكن كافرا معاندا فهو كافر جاهل)
(Umat ini telah sepakat bahwa thabaqah (tingkatan orang-orang) ini adalah orang-orang kafir walaupun mereka itu adalah orang-orang bodoh lagi taqlid kepada para pemimpin dan para tokoh mereka) sampai beliau berkata (Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada-Nya saja lagi tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengikutinya di dalam apa yang dibawanya. Dan bila seorang hamba tidak mendatangkan hal ini, maka dia itu bukan orang muslim, dan bila dia itu bukan orang kafir yang mu’anid maka berarti dia itu adalah orang kafir yang jahil).[14]
Ibnu Taimiyyah berkata:
 ( وأعظم من ذلك أن يقول اغفر لي وتب علي كما يفعله طائفة من الجهال المشركين)
(Dan lebih dasyat dari hal itu adalah orang mengatakan “ampunilah (dosa) saya dan terimalah taubat saya” sebagaimana yang suka dilakukan oleh sekelompok dari kalangan orang-orang jahil yang musyrik).[15]
Dan berkata juga:
 ( وأتباع الهوى درجات: فمنهم المشركون والذين يعبدون من دون الله ما يستحسنون بلا علم ولا برهان)
(Para pengikut hawa nafsu itu ada beberapa tingkatan: Di antara mereka itu adalah kaum musyrikin dan orang-orang yang mengibadati selain Allah apa yang mereka anggap baik tanpa dasar ilmu dan dalil),[16] yaitu di atas dasar kebodohan.
Dan berkata rahimahullah:
 ( فإن باب جحود الحق ومعاندته غير باب جهله والعمى عنه والكفار فيهم هذا وفيهم هذا)
(Karena sesungguhnya pintu pengingkaran al haq dan pembangkangannya adalah selain pintu kejahilannya dan kebutaan darinya, sedangkan orang-orang kafir itu di antara mereka ada yang ini dan ada yang itu).[17]
Dan beliau rahimahullah berkata prihal kemusyrikan orang-orang quburiyyun yang mengatakan karena kebodohan mereka bahwa mesjid (nabawi) itu dibangun karena mengikuti kuburan (Nabi):
 ( فمن ظن هذا في مسجد نبينا صلى الله عليه وسلم فهو من أضل الناس وأجهلهم بدين الإسلام وأجهلهم بأحوال الرسول وأصحابه وسيرته وأقواله وأفعاله. وهذا محتاج إلى أن يتعلم ما جهله من دين الإسلام حتى يدخل في الإسلام ولا يأخذ بعض الإسلام ويترك بعضه)
(Barangsiapa mengira ini pada Masjid Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu adalah manusia paling sesat dan paling bodoh terhadap dienul islam dan paling bodoh terhadap keadaan Rasul dan para sahabatnya, sirahnya, ucapan-ucapannya dan perbuatan-perbuatannya. Dan orang semacam ini adalah membutuhkan untuk belajar apa yang tidak dia ketahui dari dienul islam sehingga dia masuk ke dalam islam dan dia tidak boleh mengambil sebagian islam dan meninggalkan sebagian yang lain).[18]
  1. Syirik Ibadah Tidak Terjadi Kecuali Bersama Kebodohan.
Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Abu Bithin rahimahullah berkata prihal bahwa syirik itu tidak terjadi kecuali bersama kebodohan:
 ( لأنه من المعلوم أنه إذا كان إنسان يقر برسالة محمد صلى الله عليه وسلم ويؤمن بالقرآن ويسمع ما ذكر الله سبحانه في كتابه من تعظيم أمر الشرك بأنه لا يغفره وأن صاحبه مخلد في النار ثم يقدم عليه وهو يعرف أنه شرك هذا مما لا يفعله عاقل .وإنما يقع فيه من جهل أنه شرك )
(Karena sesungguhnya termasuk hal yang maklum bahwa orang bila dia itu mengakui kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman kepada Al Qur’an serta mendengar apa yang Allah subhanahu sebutkan di dalam Kitab-Nya berupa dasyatnya urusan syirik di mana ia itu tidak diampuni-Nya dan bahwa pelakunya kekal di dalam neraka, terus dia melakukannya sedangkan dia itu mengetahui bahwa itu syirik, ini adalah tergolong hal yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang berakal, justeru yang jatuh ke dalamnya hanyalah orang yang tidak mengetahui bahwa ia itu adalah syirik).[19]
Dan bila engkau mengetahui bahwa orang itu tidak mungkin bertaqarrub kepada Allah dengan suatu amalan yang dia yakini kebatilannya, tentu engkau mengetahui bahwa orang musyrik yang mengklaim taqarrub kepada Allah dengan amalan syiriknya itu adalah tidak mungkin kecuali dia itu orang yang jahil. Sedangkan (pengudzuran kerena kejahilan dalam syirik akbar) itu mengharuskan si lawan (yaitu orang yang mengudzur) untuk mengatakan bahwa kekafiran itu tidak terjadi kecuali dengan sebab ‘inad (pembangkangan). Al Baghawi berkata dalam tafsir firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
 وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (Al Baqarah: 130)
(والسفاهة الجهل وضعف الرأي وكل سفيه جاهل وذلك أن من عبد غير الله فقد جهل نفسه لأنه لم يعرف أن الله خلقها)
(Safahah adalah kebodohan dan kelemahan pikiran. Setiap orang safih adalah orang jahil. Itu dikarenakan sesungguhnya orang yang beribadah kepada selain Allah itu adalah telah bodoh kepada dirinya sendiri, karena dia itu tidak mengetahui bahwa Allah adalah yang telah menciptakannya).[20]
  1. Tidak Ada Adzab Kecuali Setelah Tegak Hujjah Risaliyyah.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Maka tidak selamat dari adzab Allah kecuali orang yang memurnikan diennya dan ibadahnya kepada Allah dan dia menyeru-Nya seraya memurnikan seluruh ketundukan kepada-Nya. Barangsiapa tidak menyekutukan-Nya dan tidak mengibadati-Nya, maka dia itu mu’aththil (orang yang mengosongkan) dari peribadatan kepada-Nya dan peribadatan  kepada selain-Nya, seperti Fir’aun dan yang semisal dengannya, di mana dia itu lebih buruk keadaannya dari orang musyrik. Jadi semestinya adalah mengibadati Dia saja, dan ini adalah kewajiban atas setiap orang dan tidak gugur dari seorangpun sama sekali, di mana ia adalah islam yang umum mana Allah tidak menerima dien selainnya, akan tetapi Allah tidak mengadzab seorangpun sehingga Dia mengutus Rasul kepadanya, dan sebagaimana Dia tidak mengadzabnya maka begitu juga tidak masuk surga kecuali jiwa yang muslim lagi mukmin.[21] Dan surga itu tidak mungkin dimasuki oleh orang musyrik dan tidak pula dimasuki oleh mustakbir (orang yang menolak) dari beribadah kepada Rabb-nya. Barangsiapa yang belum sampai dakwah kepadanya di dunia ini, maka dia diuji di akhirat, dan tidak akan masuk neraka kecuali orang yang mengikuti syaithan, sedangkan orang yang tidak memiliki dosa, maka dia tidak akan masuk neraka, dan Allah tidak akan mengadzab seorangpun dengan neraka kecuali setelah Dia mengutus Rasul kepadanya. Sedangkan orang yang tidak sampai dakwah seorang rasulpun kepadanya seperti anak kecil, orang gila dan orang yang mati di masa fatrah mahdlah (total/murni), maka orang-orang semacam ini adalah diuji di akhirat sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak atsar).[22]
  1. Peniadaan Adzab Sebelum Tegak Hujjah Bukanlah Peniadaan Vonis Kafir Dan Sesat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan keberuntungan adalah orang-orang yang mengikuti para nabi, dan merekalah kaum muslimin mukminin di setiap zaman dan tempat. Sedangkan orang-orang yang diadzab dan orang-orang sesat itu adalah orang-orang yang mendustakan para nabi. Tinggallah orang-orang jahiliyyah yang belum sampai kepada mereka apa yang dibawa oleh para nabi, maka mereka itu adalah di dalam kesesatan, kejahilan, keburukan dan kemusyrikan, akan tetapi Allah mengatakan:
 ﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً﴾
“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al Israa: 15).
Dan berkata:
﴿رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا﴾
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An Nissa: 165)
Dan berfirman:
﴿وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ﴾
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.” (Al Qashash: 59)
Mereka itu tidak Allah binasakan dan tidak diadzab-Nya sampai Dia mengutus Rasul kepada mereka, sedangkan telah diriwayatkan berbagai atsar yang menunjukan bahwa orang yang belum sampai risalah kepada mereka di dunia maka diutus kepadanya rasul di hari kiamat di ‘Arashat Kiamat).[23]
  1. Peniadaan Sematan Satu Nama Atau Penetapannya Adalah Sesuai Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengannya.
Ringkasan masalah adalah: (Bahwa satu nama itu ditiadakan dan ditetapkan sesuai hukum-hukum yang berkaitan dengannya, di mana suatu nama itu bila ditetapkan atau dinafikan pada suatu hukum maka tidak wajib nama itu seperti itu juga pada hukum-hukum yang lain. Ini adalah pada ucapan orang-orang arab dan umat-umat yang lainnya, karena maknanya sudah maklum. Contoh hal itu adalah orang-orang munafiq di mana mereka kadang dijadikan dalam jajaran kaum mukminin di suatu tempat sedangkan di tempat yang lain dikatakan “mereka (munafiqin) itu bukan bagian dari mereka (mukminin)”. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الْمُعَوِّقِينَ مِنكُمْ وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا وَلَا يَأْتُونَ الْبَأْسَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾
“Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang- halangi di antara kamu dan orang-orang yang berkata kepada saudara- saudaranya: “Marilah kepada kami”. dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar.” (Al Ahzab: 18)
Di ayat ini Allah menjadikan kaum munafiqin yang takut kepada musuh yang menghindar dari jihad yang melarang orang lain lagi mencela orang-orang mukmin sebagai bagian dari mereka, sedangkan di ayat yang lain Allah berfirman:
﴿ وَيَحْلِفُونَ بِاللّهِ إِنَّهُمْ لَمِنكُمْ وَمَا هُم مِّنكُمْ وَلَـكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ ﴾
“Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu; padahal mereka bukanlah dari golonganmu, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu).” (At Taubah: 56)
Mereka itu dosanya lebih ringan, di mana sesungguhnya mereka itu tidak menyakiti kaum mukminin, baik dengan serangan maupun dengan ucapan lidah mereka yang tajam, akan tetapi mereka bersumpah dengan Nama Allah bahwa mereka itu termasuk bagian dari kaum mukminin di dalam bathin dengan hati mereka, karena kaum mumkminin telah mengetahui bahwa mereka itu termasuk bagian mereka secara dhahir, maka Allah mendustakan mereka dan berfirman “padahal mereka bukanlah dari golonganmu” sedangkan di ayat sebelumnya Allah berfirman “Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang- halangi di antara kamu” di mana khithabnya adalah bagi orang yang secara dhahir adalah muslim mukmin padahal dia itu bukan mukmin, karena di antara kalian ada orang yang memiliki sifat semacam ini padahal dia itu bukan mukmin, namun Allah menghapuskan amalannya, di mana dia itu adalah bagian dari kalian secara dhahir tidak secara bathin).[24]
  1. Kekafiran Yang Berkonsekuensi Adzab Dan Kekafiran Yang Tidak berkonsekuensi Adzab Kecuali Setelah Tegak Hujjah.
Ibnu Taimiyyah berkata: (Sesungguhnya keadaan orang kafir itu tidak lepas dari keadaan apakah dia itu bisa membayangkan adanya risalah ataukah tidak. Bila dia itu tidak bisa membayangkan adanya risalah, maka dia itu berada di dalam ghaflah (kelalaian/kejahilan) darinya dan ketidak imanan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴾
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al Kahfi: 28)
Dan berfirman:
﴿ فَانتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَكَانُواْ عَنْهَا غَافِلِينَ ﴾
“Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu.” (Al A’raf: 136)
Akan tetapi kelalaian yang total tidaklah terjadi kecuali bagi orang yang belum sampai risalah kepadanya, sedangkan kekafiran yang berkonsekuensi adzab tidaklah terbukti kecuali setelah sampainya risalah…. Jadi setiap orang yang mendustakan apa yang dibawa para rasul maka dia itu kafir, dan tidak setiap orang kafir itu adalah orang yang mendustakkan, akan tetapi bisa jadi dia itu orang yang bimbang bila dia itu orang yang meninjau di dalamnya, atau orang yang berpaling darinya setelah dia itu tidak meninjau di dalamnya, dan bisa jadi dia itu orang yang lalai darinya lagi tidak bisa membayangkannya sama sekali, akan tetapi hukuman orang semacam ini adalah tergantung kepada penyampaian orang yang diutus kepadanya).[25] dan berkata juga: (Kekafiran setelah tegakknya hujjah adalah mengharuskan adanya adzab, sedangkan kekafiran sebelum itu adalah mengurangi nikmat dan tidak menambahnya. Sedangkan sesungguhnya mesti adanya pengutusan rasul yang bersamanya nikmat atau adzab didapatkan, karena sesungguhnya di sana itu tidak ada Negeri kecuali surga atau neraka).[26] Maka dari sini engkau mendapatkan bahwa para ulama menafikan kekafiran dari orang yang melakukannya sedangkan mereka memaksudkan dengan hal itu kekafiran yang berkonsekuensi adzab, di mana mereka mengatakan: Kami tidak mengkafirkannya” padahal hakikat pokoknya adalah tetap ada melekat, yaitu bahwa dia itu kafir akan tetapi hukum-hukum yang berkaitan terhadap kekafirannya hanyalah berkaitan dengan penegakkan hujjah kepadanya, sehingga satu nama itu ditetapkan atau dinafikan sesuai dengan hukum-hukum (yang berkaitan dengannya). Dan bila engkau telah mengetahui hal ini, maka engkau selamat dengan izin Allah dari kesalahan dan kerancuan dalam memahami ucapan ulama.
(Bersambung…)


[1] Al Bukhari (1385) dan Muslim (2658)
[2] Mukhtashar Tafsir Ibni Katsir milik Ahmad Muhammad Syakir (2/223) cetakan pertama Darul Wafa 1424-2003.
[3] Mukhtashar tafsir Ibni Katsir 2/65-66.
[4] Tafsir Al Baghawiy cetakan pertama dala satu jilid hal 5oo, Dar Ibni Hazm 1423H-2002M.
[5] Fathul Qadir hal 630 cetakan pertama dalam satu jilid 1421H-2002M Dar Ibni Hazm.
[6] Madarijus Salikin 1/253-256.
[7] Adlwaul Bayan.
[8] Ighatsatl Luhfan 2/135.
[9] Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim 4/244.
[10] Tafsir Assa’diy 7/195-196.
[11] Tariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain 387.
[12] Fathul Qadir cetakan pertama dalam satu jilid hal 686.
[13] Al Fatawa 20/38.
[14] Thariqul Hijratain hal : 414.
[15] Al Fatawa 1/351.
[16] Al Fatawa 10/592.
[17] Al Fatawa 11/345.
[18] Al Fatawa 27/254
[19] Ad Durar Assaniyyah 10/394.
[20] Tafsir Al Baghawi dalam satu jilid hal 66.
[21] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Jihad (3062) dan Muslim dalam Al Iman (111)
[22] Al Fatawa 14/477.
[23] Al Fatawa 17/307-308.
[24] Al Fatawa 7/418.
[25] Al Fatawa 2/78-79.
[26] Al Fatawa 16/252-253.

Mawani Takfir (lanjutan1)

4. Tidak Boleh Taqlid Di Dalam Tauhid.


(1)   Definisi Taqlid Dan Larangannya.
Asy Syaukani rahimahullah berkata tentang taqlid: ”Taqlid adalah mengamalkan pendapat orang lain tanpa hujjah.”[1] Dan berkata juga setelah menuturkan sebagian ucapan para ulama tentang hal itu: “Dan dengan ini diketahui bahwa larangan dari taqlid itu bila bukan ijma, maka ia itu adalah pendapat jumhur ulama.”[2]
(2)   Taqlid Dalam Tauhid.
Asy Syaukani rahimahullah berkata di awal kitabnya Assailul Jarrar: Sesungguhnya ucapannya “al far’iyyah/hal yang bersifat furu’ (cabang)” adalah mengeluarkan al ashliyyah yaitu perasalahan ushuluddien dan ushulul fiqh, dan ini adalah pendapat jumhur apalagi dalam ushuluddien. Bahkan Al Ustadz Abu Ishaq telah menghikayatkan dala Syarh At Tartib: “Bahwa larangan dari taqlid di dalamnya adalah ijma para ulama dari kalangan ahlul haq dan kelompok lainnya.” Abul Hasan Ibnul Qaththan berkata: “Kami tidak mengetahui penyelisihan prihal larangan dari taqlid di dalam tauhid,” dan hal ini dihikayatkan oleh Ibnu Assam’aniy dari semua ahli kalam dan sejumlah fuqaha. Imam Al Haramain berkata dalam Asy Syamail: “Tidak berpendapat bolehnya taqlid di dalam ushul kecuali hanabilah.” Al Isfirayiniy berkata: “Tidak menyelisihi dalam hal ini kecuali Ahlu Adh Dhahir.” Dan Ibnul Hajib tidak menghikayatkan penyelisihan dalam hal itu kecuali dari Al ‘Anbariy, dan menghikayatkannya dalam Al Mahshul dari banyak para fuqaha. Jumhur berdalil atas larangan taqlid dalam hal itu dengan pernyataan bahwa umat telah ijma atas wajibnya ma’rifah (mengetahui) Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan bahwa ma’rifah itu tidak terealisasi dengan taqlid, karena sesungguhnya orang yang taqlid itu tidak memiliki kecuali mengambil pendapat orang yang dia taqlid kepadanya, sedangkan dia tidak mengetahui apakah dia itu benar atau salah.”[3]
Al Qurthubiy rahimahullah berkata dalam tafsirnya pada surat Al A’raf di ayat Mitsaq: “Dan tidak ada udzur bagi muqallid dalam tauhid.”[4]
(3)   Nasib Akhir Orang Yang Taqlid Dalam Aqidah.
Al Bukhari telah meriwayatkan dari hadits Qatadah dari Anas bahwa ia menyampaikan kepada mereka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إن العبد إذا وضع في قبره وتولى عنه أصحابه – وإنه ليسمع قرع نعالهم-أتاه ملكان فيقعدانه فيقولان ما كنت تقول في هذا الرجل؟ لمحمد صلى الله عليه وسلم ؟ فأما المؤمن فيقول: أشهد أنه عبد الله ورسوله فيقال له، انظر إلى مقعدك من النار قد أبدلك الله به مقعداً من الجنة، فيراهما جميعاً ” قال قتادة: وذكر لنا أنه يُفسحُ له في قبره، ثم رجع إلى حديث أنس قال: وأما المنافق والكافر، فيقال له ما كنت تقول في هذا الرجل؟ فيقول لا أدري كنت أقول ما يقول الناس، فيقال: لا دريت ولا تليت ويضرب بمطارق من حديد ضربة، فيصيح صيحة يسمعها من يليه غير الثقلين )
”Sesungguhnya seorang hamba bila diletakkan di dalam kuburannya dan kawan-kawannya telah meninggalkannya – sesungguhnya dia itu benar-benar mendengar suara derap sandal mereka- maka dia didatangi oleh dua malaikat, terus keduanya mendudukan dia dan berkata kepadanya: Apa yang dahulu kamu katakan tentang pria ini? kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Adapun orang mukmin maka dia berkata: Saya bersaksi bahwa ia adalah hamba dan utusan Allah,” maka dikatakan kepadanya: Lihatlah tempat dudukmu dari neraka sungguh Allah telah menggantikannya bagimu dengan tempat duduk dari surga,” maka diapun melihat kedua tempat duduk itu semuanya.” Qatadah berkata: Dan dituturkan kepada kami bahwa dilapangkan baginya di dalam kuburnya, kemudian ia (Qatadah) kembali kepada hadits Anas, berkata: Dan adapun orang munafiq dan orang kafir, maka dikatakan kepadanya: Apa yang dahulu kamu katakan tentang pria ini? Maka dia berkata: Saya tidak mengetahui, dahulu saya mengatakan apa yang dikatakan manusia,” maka dikatakan kepadanya: Kamu tidak mengetahui dan kamu tidak membaca,” dan diapun dipukul satu pukulan dengan pukulan besi, sehingga dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh makhluk yang ada di sekitarnya selain manusia dan jin.”[5]
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata: “dan di dalam hadits ini ada celaan terhadap taqlid di dalam i’tiqadat (keyakinan-keyakinan) karena pemberian sangsi kepada orang yang mengucapkan: Saya dahulu mendengar manusia mengucapkan sesuatu, maka sayapun mengucapkannya….”[6]
(4)   Taqlid Adalah Sebab Bagi Kesesatan.
Bukankah penyakit banyak makhluk ini adalah taqlid? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ … مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ * قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءنَا لَهَا عَابِدِينَ  ﴾
“…….”Patung-patung Apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”. (Al Anbiya: 52-53)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِم مُّهْتَدُونَ ﴾
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Az Zukhruf: 22)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴾
“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al Ahzab: 67)
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan السادة dan الكبراء adalah para pemimpin dan para komandan yang mana bawahan melaksanakan perintah mereka di dunia dan mengikuti mereka. Di dalam hal ini terdapat penjeraan yang dasyat dari taqlid, berapa banyak di dalam Al Kitabul Aziz terdapat pengingatan terhadap hal ini, penghati-hatian darinya dan penjauhan darinya, akan tetapi hal itu bagi orang yang memahami makna firman Allah dan mengikutinya serta bersifat jujur terhadap dirinya sendiri, tidak bagi orang yang berwatak seperti hewan ternak dalam keburukan dalam memahami, kedunguan yang sangat dan bersikap panatik buta.”[7]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ ﴾
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.” (Al Maidah: 104)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “yaitu: Bila mereka diajak kepada dienullah dan syari’at-Nya serta apa yang diwajibkan-Nya dan diajak untuk meninggalkan apa yang diharamkan-Nya, maka mereka berkata: Cukup bagi kami apa yang kami dapatkan dari apa yang dianut oleh nenek moyang kami berupa ajaran dan tuntunan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman “Dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” yaitu mereka itu tidak memahami kebenaran, tidak mengetahuinya dan tidak mendapatkan petunjuk kepadanya, maka bagaimana mereka mengikutinya padahal keadaannya seperti ini? Tidak mengikuti mereka kecuali orang yang lebih bodoh dari mereka dan lebih sesat jalannya.”[8]
Dan para ulama muhaqqiqun telah bersepakat untuk berdalil dengan ayat-ayat (semacam) ini – walaupun ia itu datang berkenaan dengan orang-orang musyrik (asli) – dan menuturkannya pada orang-orang yang taqlid dengan bentuk taqlid tercela macam apa saja, maka bagaimana gerangan dengan taqlid di dalam syirik akbar dan kekafiran?
(5)   Taqlid Adalah Sebab Bagi Pendustaan Dan Pembangkangan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ بَلْ كَذَّبُواْ بِمَا لَمْ يُحِيطُواْ بِعِلْمِهِ وَلَمَّا يَأْتِهِمْ تَأْوِيلُهُ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ ﴾
“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.” (Yunus: 39)
Asy Syaukani berkata: “Dia pindah menjelaskan bahwa mereka itu bergegas untuk mendustakan Al Qur’an sebelum mentadabburinya dan sebelum memahami makna-maknanya dan apa yang dikandungknya. Begitulah tindakan orang yang membatu di dalam taqlid dan tidak peduli dengan apa yang dibawa oleh orang yang mengajak kepada al haq dan berpegang teguh dengan prinsif obyektifitas, akan tetapi dia menolaknya dengan sekedar bahwa hal itu tidak sejalan dengan seleranya dan tidak sesuai dengan keinginannya sebelum dia mengenal maknanya dan mengetahui kandungannya, sebagaimana yang bisa engkau lihat dan engkau ketahui secara nyata. Walhasil bahwa orang yang mendustakkan hujjah yang terang dan bukti yang nyata sebelum dia mengetahuinya secara jelas, maka dia itu tidak berpegang kepada sesuatupun di dalam pendustaan ini kecuali sekedar kejahilan dia terhadap apa yang didustakkannya itu, sehingga dengan pendustaan semacam ini berarti dia telah mengumumkan kepada khalayak dengan suara lantang prihal kebodohan dia, dan mencatat dengan catatan yang jelas prihal kebodohan dia dari bisa memahami hujjah, sedangkan hujjah dan orang yang membawanya itu sama sekali tidak merasa rugi sedikitpun dengan pendustaan dia itu.
Musuh tidak akan mencapai dari orang jahil
Apa yang dicapai orang jahil dari dirinya sendiri[9]
(6)   Orang Yang Mencari Kebenaran Pasti Mendapatkan Apa Yang Dicarinya.
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Bila telah terbukti jelas di hadapanmu bahwa orang awam itu adalah bertanya kepada ahli ilmu dan orang yang kurang bertanya kepada orang yang sempurna, maka dia wajib bertanya kepada ahli ilmu yang terkenal dengan keshalihan dan kewara’annya tentang orang yang alim terhadap Al Kitab dan Assunnah lagi memahami apa yang ada di dalam keduanya lagi menguasai ilmu-ilmu alat yang dia perlukan di dalam memahami keduanya, agar mereka mengarahkannya kepada orang alim itu, terus dia bertanya kepadanya tentang masalahnya seraya meminta darinya agar menyebutkan kepadanya dalil dari Kitabullah Subhanahu Wa Ta’ala atau dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia-pun mengambil al haq dari sumbernya dan mengambil faidah hukum dari tempatnya serta ia selamat dari pendapat orang yang mana orang yang berpegang kepadanya tidak aman dari keterjatuhan dalam kekeliruan yang menyelisihi syari’at lagi bersebrangan dengan al haq. Barangsiapa meniti manhaj ini dan menelusuri jalan ini maka dia pasti mendapatkan apa yang dicarinya dan tidak akan kehilangan orang yang menunjukannya kepada al haq.”[10]
Al ‘Allamah Abu Bithin mufti Diyar Najdiyyah berkata rahimahullah: “dan termasuk yang mengherankan adalah bahwa sebagian orang bila mendengar orang yang berbicara prihal makna kalimat (laa ilaaha illallaah) ini yang berisi penafian dan itsbat (penetapan), maka dia mencelanya dan malah berkata: Kami tidak diperintahkan untuk menilai manusia dan menjelaskan status mereka. Maka dikatakan kepadanya: Justeru kamu diwajibkan untuk memahami tauhid yang merupakan tujuan Allah dari menciptakan jin dan manusia dan yang mana semua rasul mengajak kepadanya, dan diwajibkan juga mengetahui lawannya yaitu  syirik yang merupakan dosa yang tidak diampuni dan tidak ada udzur bagi mukallaf dalam kebodohan terhadapnya serta tidak boleh taqlid di dalamnya, karena ia adalah ashlul ushul (pokok dari segala pokok). Barangsiapa tidak mengenal hal ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran, maka dia itu binasa, apalagi hal ma’ruf terbesar yaitu tauhid dan hal mungkar terbesar yaitu syirik.”[11]

5. Kufur Kepada Thaghut Dan Iman Kepada Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al Baqarah: 256)
            Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
 ( أي من خلع الأنداد والأوثان وما يدعو إليه الشيطان من عبادة كل ما يعبد من دون الله، ووحد الله فعبده وحده وشهد ألا إله إلا الله ﴿ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا ﴾ أي فقد ثبت في أمره واستقام على الطريقة المثلى والصراط المستقيم )
“Yaitu barangsiapa berlepas diri dari andad (tandingan-tandingan yang diibadati), autsan (berhala) dan apa yang diajakkan oleh syaithan berupa peribadatan kepada selain Allah, dan dia mentauhidkan Allah, di mana dia hanya beribadah kepada-Nya dan dia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah “maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” yaitu dia itu telah tegap di atas perintah-Nya dan istiqamah di atas jalan yang benar dan ash shirathil mustaqim.”[12]
1. Definisi Thaghut
( والطاغوت مشتق من الطغيان وهو مجاوزة الحد، وقد فسرهُ السلف ببعض أفراده، قال عمرُ بن الخطاب رضي الله عنه: الطاغوت الشيطان وقال جابر رضي الله عنه الطواغيت كهانُ ُ كانت تنزل عليهم الشياطين رواهما ابن أبي حاتم وقال مجاهد: الطاغوت الشيطان في صورة الإنسان يتحاكمون إليه وهو صاحب أمرهم، وقال مالك: الطاغوت كل ما عبد من دون الله )
“Thaghut itu diambil dari kata thughyan yaitu melampaui batas. Salaf telah menafsirkan thaghut dengan sebagian individu-individunya, Umar Ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhu berkata: Thaghut adalah syaithan, Jabir radliyallahu ‘anhu berkata: Thawaghit itu adalah dukun-dukun yang mana syaithan-syaithan turun mendatangi mereka,” dua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. Mujahid berkata: Thaghut adalah syaithan dalam wujud orang yang mana manusia merujuk hukum kepadanya sedangkan dia itu adalah pemimpin mereka. Malik berkata: Thaghut adalah setiap yang diibadati selain Allah.”[13]
Ucapan Umar ini dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya bahwa ia adalah ucapan Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Mujahid, ‘Atha, Ikrimah, Sa’id Ibnu Jubair, Asy Sya’biy, Al Hasan, Adl Dlahhak dan Assuddiy, dan Ibnu Katsir berkata: Sesungguhnya ia adalah kuat sekali, karena ia mencakup segala keburukan yang dianut oleh orang-orang jahiliyyah berupa peribadatan kepada berhala, bertahakum kepadanya dan meminta pertolongan dengannya.”[14]
Allah ta’ala berfirman:
﴿ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا ﴾
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An Nisa: 60)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menuturkan sebagian makna-makna ayat itu:
 ( والآية أعم من ذلك كلهِ، فإنها ذامة لمن عدل عن الكتاب والسنة وتحاكم إلى ما سواهما من الباطل، وهو المراد بالطاغوت هنا… )
“Ayat ini lebih umum dari itu semuanya, karena sesungguhnya ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Kitab dan Assunnah dan malah bertahakum kepada selain keduanya yang merupakan kebatilan, dan ialah yang dimaksud dengan thaghut di sini….”[15]
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ الَّذِينَ آمَنُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُواْ أَوْلِيَاء الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا ﴾
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (An Nisa: 76).
            Ath Thabari berkata:
 ( طاعة الشيطان وطريقه ومنهاجه الذي شرع لأوليائه من أهل الكفر بالله… )
“(yaitu) taat kepada syaitan, jalannya dan manhajnya yang dia syari’atkan bagi wali-walinya dari kalangan orang-orang yang kafir kepada Allah….”[16]
2. Macam-Macam Thaghut
Walaupun para thaghut itu banyak, akan tetapi ia kembali kepada tiga yang telah disebutkan oleh Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman, beliau berkata:
( الطاغوت ثلاثة أنواع طاغوت حكم وطاغوت عبادة وطاغوت طاعة ومتابعة )
“Thaghut itu ada tiga macam, thaghut hukum, thaghut ibadah, serta thaghut tha’at dan mutaba’ah.”[17]
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
 ( الطاغوت: كل ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع، فطاغوت كل قوم من يتحاكمون إليه غير الله ورسوله أو يعبدونه من دون الله أو يتبعونه على غير بصيرة من الله، أو يطيعونه فيما لا يعلمون أنه طاعة لله ، فهذه طواغيت العالم، إذا تأملتها وتأملت أحوال الناس معها، رأيت أكثرهم عدلوا عن عبادة الله إلى عبادة الطاغوت وعن التحاكم إلى الله والرسول إلى التحاكم إلى الطاغوت وعن طاعته ومتابعة رسوله ص إلى طاعة الطاغوت ومتابعته )
Thaghut adalah segala yang dilampaui batasnya oleh si hamba, baik itu yang diibadati ataupun yang diikuti ataupun yang ditaati, maka thaghut setiap kaum adalah orang yang mana mereka merujuk hukum kepadanya selain Allah dan Rasul-Nya, atau yang mereka ibadati selain Allah, atau yang mereka ikuti di atas selain petunjuk dari Allah, atau yang mereka taati di dalam apa yang mereka tidak ketahui bahwa itu adalah ketaatan kepada Allah; ini adalah thaghut-thaghut di dunia, jika memperhatikannya dan memperhatikan keadaan manusia bersamanya tentu engkau melihat mayoritas mereka telah berpaling dari peribadatan kepada Allah (ibadatullah) terhadap peribadatan kepada thaghut (ibadatuththaghut), dan dari ketaatan kepada-Nya serta ittiba kepada Rasul-Nya terhadap ketaatan dan ittiba kepada thaghut.”[18]
3. Keterjagaan darah Dan Harta Adalah Dengan Peribadatan Hanya Kepada Allah dan Kufur Terhadap Segala yang Diibadati Selain Allah
Muslim telah meriwayatkan (23) dari hadits Abu Malik dari ayahnya, berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
 ( من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله )
”Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia ingkar terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka terjagalah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah kepada Allah.”[19]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang Laa ilaaha illallaah:
 ( … ومعلوم أن عصمة المال والدم على الإطلاق لم تحصل إلا بها وبالقيام بحقها، وكذلك النجاة من العذاب على الإطلاق لم تحصل إلا بها وبحقها)
”…..Dan sudah maklum bahwa keterjagaan harta dan darah secara total itu tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan menegakkan haknya, dan begitu juga keselamatan dari adzab secara total tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan menegakkan haknya.”[20]
4. Orang Yang Bukan Muwahhid Maka Pasti Musyrik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤْمِنٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴾
“Dia-lah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (At Taghabun: 2)
Al Baghawi rahimahullah berkata:
(… وجملة القول فيه، أن الله خلق الكافر وكفره فعلُ ُ له وكسب، وخلق المؤمن وإيمانه فعلُ ُ له وكسب، فلكل واحدٍ من الفريقين كسب واختيار، وكسبه واختياره بتقدير الله ومشيئته، فالمؤمن بعد خلق الله إياه يختار الإيمان، لأن الله تعالى أراد ذلك منه، وقدره عليه، وعلمه منه، والكافر بعد خلق الله تعلى إياه يختار الكفر، لأن الله تعلى أراد ذلك منه وقدره عليه وعلمه منه، وهذا طريق أهل السنة والجماعة من سلكه أصاب الحق وسَلِمَ من الجبر والقدَر)
(…..Dan ringkasnya, bahwa Allah telah menciptakan orang kafir sedangkan kekafirannya adalah perbuatan dan usahanya, dan Dia telah menciptakan orang mukmin sedangkan keimanannya adalah perbuatan dan usahanya, sehingga bagi masing-masing dari kedua pihak ini memiliki usaha dan pilihan, sedangkan usaha dan pilihannya itu adalah terjadi dengan taqdir dan masyi-ah (kehendak) Allah. Orang mukmin setelah Allah menciptakannya dia itu memilih iman, karena Allah ta’ala menginginkan hal itu darinya, mentaqdirkan dia di atasnya dan mengetahui hal itu darinya, sedangkan orang kafir setelah Allah menciptakannya dia itu memilih kekafiran, karena Allah ta’ala menginginkan hal itu darinya, mentaqdirkan dia di atasnya dan mengetahui hal itu darinya. Ini adalah jalan Ahlussunnah wal Jama’ah, barangsiapa meniti jalan ini maka ia mencapai kepada kebenaran dan selamat dari paham Jabriyyah dan Qadariyyah).[21]
 Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ ﴾
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri,” (Al Baqarah: 130)
Al Baghawi rahimahullah berkata:
( قال ابن عباس: من خسر نفسه، وقال الكلبي: ضل من قبل نفسه، وقال أبو عبيدة: أهلك نفسه، وقال ابن كيسان والزجاج: معناه جهل نفسه، والسفاهة الجهل وضعف الرأي وكل سفيه جاهل، وذلك أن من عبد غير الله فقد جهِلَ نفسه، لأنه لم يعرف أن الله خَلَقَهَا )
(Ibnu ‘Abbas berkata: Barangsiapa merugikan dirinya sendiri,” Al Kalbiy berkata: Dia tersesat akibat dirinya sendiri,” Abu Ubaidah berkata: Dia membinasakan dirinya,” Ibnu Kaisan dan Az Zajjaj berkata: Maknanya: membodohi dirinya sendiri, Safahah itu adalah kebodohan dan lemahnya pikiran sehingga setiap orang safih adalah jahil, itu dikarenakan bahwa orang yang beribadah kepada selain Allah itu maka dia itu jahil terhadap dirinya sendiri dikarenakan dia itu tidak mengetahui bahwa Allah telah menciptaknnya).[22]
Ibnul Qayyim berkata tentang ayat itu:
( فقسم سبحانه الخلائق قسمين سفيهاً لا أسفه منه ورشيداً، فالسفيه من رغب عن ملته إلى الشرك، والرشيد من تبرأ من الشرك قولاً وعملاً وحالاً فكان قولُه توحيداً وعمله توحيداً وحاله توحيداً ودعوته إلى التوحيد )
(Allah subhanahu telah membagi makhluk menjadi dua bagian, yaitu safih (orang bodoh) yang tidak ada yang lebih bodoh darinya dan rasyid (orang yang cerdas). Orang safih adalah orang yang membenci millahnya dan malah beralih kepada syirik, sedangkan orang rasyid adalah orang yang berlepas diri dari syirik baik berbentuk ucapan, amalan dan keadaan, sehingga ucapannya adalah tauhid, amalannya adalah tauhid, keadaannya adalah tauhid dan dakwahnya juga kepada tauhid).[23]
Dan berkata juga rahimahullah:
( فالمعرض عن التوحيد مشرك شاء أم أبى والمعرض عن السنة مبتدع ضال شاء أم أبى )
(Orang yang berpaling dari tauhid itu adalah orang musyrik, baik dia mau ataupun tidak, sedangkan orang yang berpaling dari sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, baik dia mau ataupun tidak).[24]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
( من لم يعبد الله وحده فلا بد أن يكون عابداً لغيره، يعبد غيره فيكون مشركاً، فليس في بني آدم قسم ثالث، بل إما موحدٌ وإما مشرك، أو من خلط هذا بهذا كالمبدلين من أهل الملل، النصارى ومن أشبههم من الضلال المنتسبين إلى الإسلام )
(Orang yang tidak beribadah kepada Allah saja, maka dia itu mesti beribadah kepada selain-Nya, dia beribadah kepada selain-Nya sehingga dia menjadi orang musyrik. Di mana di tengah Bani Adam ini tidak ada orang macam ketiga, namun yang ada hanya muwahhid dan orang musyrik, atau orang yang mencampurkan ini  dan itu seperti orang-orang yang merubah (ajaran) dari kalangan pemeluk agama-agama, yaitu orang-orang nashrani dan orang-orang yang menyerupai mereka dari kalangan orang-orang sesat yang mengaku muslim).[25]
Dan beliau rahimahullah berkata:
(… فكل من لم يعبد الله مخلصاً له الدين فلا بد أن يكون مشركاً عابداً لغير الله وهو في الحقيقة عابد للشيطان )
(….Sehingga setiap orang yang tidak beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepada-Nya, maka dia itu sudah pasti menjadi orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah, sedangkan pada hakikatnya dia itu adalah beribadah kepada syaithan).[26]
(Bersambung…)


[1] Irsyadul Fuhul 441.
[2] Irsyadul Fuhul 445.
[3] Assailul Jarrar, cetakan pertama dalam  satu jilid hal 12.
[4] Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 7/319.
[5] Shahih Al Bukhari, Kitabul Janaiz 1374.
[6] Fathul Bari (1/806) cetakan 3 jilid.
[7] Fahul Qadir 4/441.
[8] Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim 2/108-109.
[9] Fathul Qadir dalam satu jilid cetakan pertama hal 765.
[10] Irsyadul Fuhul hal 451.
[11] ‘Aqidatul Muwahhidin, Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidien: 11.
[12] Tafsir Ibnu Katsir 1/311.
[13] Taisirul ‘Azizil Hamid hal: 50.
[14] Tafsir Ibnu Katsir 1/311
[15] Tafsir Ibnu Katsir 1/519.
[16] Tafsir Ath Thabari 5/169.
[17] Ad Durar Assaniyyah 8/272.
[18] I’lamul Muwaqqi’in 1/50.
[19] Muslim 23.
[20] At Tibyan Fi Aqsamil Qur’an hal: 43.
[21] Ma’alim At Tanzil hal 1319.
[22] Ma’alim At Tanzil  cetakan pertama dalam  satu jilid hal 66.
[23] Madarijus Salikin 3/466.
[24] Ighatsatul Luhfan 1/214.
[25] Majmu Al Fatawa 14/282.
[26] Majmu Al Fatawa 14/285..

Hakikat Tauhid

Hakikat Tauhid

  1. Makna Laa Ilaaha Illallaah.
  2. Syarat-Syarat Laa Ilaaha Illallaah.
  3. Tidak Sah Islam Bagi Orang Yang Tidak Merealisasikan Tauhid.
  4. Tidak Boleh Taqlid Di Dalam Tauhid.
  5. Kufur Kepada Thaghut Dan Iman Kepada Allah.

1. Makna Laa Ilaaha Illallaah

Laa ilaaha illallaah menunjukan terhadap penafian ketuhanan dari selain Allah ta’ala siapa saja dia itu, serta penetapannya bagi Allah saja tidak bagi selain-Nya, di mana tidak ada yang diibadati secara haq kecuali Allah.[1] Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ ﴾
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan yang berhak diibadati melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 163)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ ﴾
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al Anbiya: 25)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ ﴾
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan yang hak bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Al Mukiminun: 23)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (Al A’raf: 65)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan (yang haq) selain Dia..” (Huud: 61)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya.” (Al A’raf: 85)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (Al A’raf: 70)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun..” (An Nisa: 36)
             (Maka jelaslah dari hal itu penafian ketuhanan dari selain Allah –yaitu ibadah– dan penetapannya bagi Allah saja lagi tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Al Qur’an dari awal sampai akhir adalah menjelaskan hal ini dan menetapkannya serta mengarahkan kepadanya).[2]
(Dan tauhid uluhiyyah adalah hakikat Dienul Islam yang mana Allah tidak menerima selainnya dari seorang-pun, dan tidak ada jalan untuk merealisasikannya kecuali dengan memurnikan seluruh macam ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berupa kecintaan, rasa takut, pengharapan, tawakkal, shalat, doa, istighatsah, penyembelihan, nadzar, thawaf, isti’adzah dan taubat…….).[3]
Kaum musyrikin telah mengibadati tuhan-tuhan yang lain di samping Allah seraya menginginkan syafa’atnya dan kedekatan dengannya kepada Allah, akan tetapi niat mereka itu tidak menolong mereka dan tidak bermanfa’at bagi mereka di sisi Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللّهَ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلاَ فِي الأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴾.
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu).” (Yunus: 18)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ﴾
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.” (Az Zumar: 3)
Dan alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam tafsirnya terhadap firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ أَئِفْكًا آلِهَةً دُونَ اللَّهِ تُرِيدُونَ.فَمَا ظَنُّكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾
Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka Apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?”  (Ash Shaffat: 86-87)
Beliau berkata:
(Yaitu, apa yang kalian perkirakan balasan yang akan Dia timpakan kepada kalian sedangkan kalian telah mengibadati yang lain bersama-Nya? Dan apa yang kalian perkirakan kepada-Nya sehingga kalian berani menjadikan sekutu-sekutu bersama-Nya? Apakah kalian menduga bahwa Dia itu membutuhkan kepada sekutu-sekutu dan para pembantu, ataukah kalian menduga bahwa ada yang tersamar terhadap-Nya sesuatu dari keadaan hamba-hamba-Nya sehingga Dia membutuhkan kepada sekutu-sekutu yang memberitahukannya kepada-Nya sebagaimana halnya para raja? Ataukah Dia itu kasar sehingga membutuhkan kepada para pemberi syafa’at yang melunakkan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya? Ataukah Dia itu hina sehingga membutuhkan kepada penolong yang menemani-Nya dari keterasingan dan mengokohkan-Nya dari kehinaan, ataukah Dia itu membutuhkan kepada anak sehingga Dia perlu mengambil isteri yang melahirkan anak darinya dan dari-Nya? Maha Suci Allah lagi Maha Besar dari hal itu).[4]

2. Syarat-Syarat Laa Ilaaha Illallaah

Ketahuilah sesungguhnya syarat adalah sesuatu yang mesti dari ketidakadaannya adalah tidak adanya hukum, namun tidak mesti dari keberadaannya keberadaan hukum. Bila suatu syarat dari syarat-syarat (Laa ilaaha illallaah) ini tidak ada, maka orangnya tidak merealisasikan Laa ilaaha illallaah, sehingga saat itu tidak bermanfaatlah pengucapan kalimat ini.
Wahb Ibnu Munabbih ditanya:
 ( أليس ” لا إله إلا الله ” مفتاح الجنة؟ قال بلى ولكن ما من مفتاح إلا وله أسنان فإن جئت بمفتاح له أسنان فتح لك و إلا لم يفتح لك ).
(Bukankah “Laa ilaaha illallaah” itu kunci surga? Beliau berkata: Ya, akan tetapi tidak satu kunci-pun melainkan ia itu memiliki gerigi, bila kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi maka (pintu) dibukakan bagimu, dan bila tidak (ada geriginya) maka tidak dibukakan bagimu).[5]
1.      Syarat Pertama:
Al Ilmu (mengetahui) makna yang dimaksudkan darinya berupa penafian (peniadaan) dan penetapan: yang menafikan kejahilan terhadap hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” (Muhammad: 19).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“…akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az Zukhruf: 86) yaitu bersaksi terhadap Laa ilaaha illallaah sedangkan mereka mengetahui dengan hati mereka apa yang mereka ucapkan dengan lisan mereka.
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga bersaksi terhadap hal itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah)melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 18)
وعن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة ).
“Dari Utsman radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa mati sedangkan dia mengetahui bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah, maka dia pasti masuk surga.” [6]
2.      Syarat Kedua:
Yaqin yang menafikan keraguan: Dan maknanya bahwa orang yang mengucapkan kalimat ini adalah harus meyakini apa yang ditunjukan kalimat ini dengan keyakinan yang pasti, karena sesungguhnya keimanan itu tidak bermanfaat kecuali dengan ilmul yaqin bukan ilmu adh dhann (ilmu perkiraan). Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ﴾
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang jujur.” (Al Hujurat: 15)
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( أشهد ألا إله إلا الله، وأني رسول الله. لا يلقى الله بهما عبد، غير شاك، فيحجب عن الجنة).
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah dan bahwa Aku adalah Rasulullah, tidak seorang hamba-pun menjumpai Allah dengan membawa keduanya seraya dia tidak ragu, kemudian dia terhalang dari surga.”[7]
وعن أبي هريرة رضي الله عنه من حديث طويل (… من لقيت وراء هذا الحائط يشهد ألا إله إلا الله مستيقناً بها قلبُه فبشره بالجنة)
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dalam hadits yang panjang: (……Siapa saja orangnya yang kamu jumpai di belakang kebun ini sedang dia bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah seraya hatinya yakin dengannya, maka berilah dia kabar gembira dengan surga).[8]
3.   Syarat Ketiga:
Qabul (penerimaan) terhadap apa yang dituntut oleh kalimat ini dengan hatinya dan lisannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkisahkan kepada kita dari kabar umat terdahulu berupa penyelamatan orang-orang yang menerima kalimat ini dan pengadzaban-Nya terhadap orang-orang yang menolaknya dan enggan menerimanya, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَ اءنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِم مُّقْتَدُونَ * قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُم بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدتُّمْ عَلَيْهِ آبَاءكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُم بِهِ كَافِرُونَ * فَانتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ ﴾
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (Rasul itu) berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az Zukhruf: 23-25)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ ﴾.
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri,” (Ash Shaffat: 35)
4.   Syarat Keempat:
Inqiyad (tunduk) terhadap apa yang ditunjukannya, yang menafikan sikap meninggalkan hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ واتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً ﴾
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (An Nisa: 125)
Dan firman-Nya juga:
﴿ وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ ﴾
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22) yaitu berpegang kepada Laa ilaaha illallaah.
Sedangkan tidak ada jalan untuk merealisasikan inqiyad dan sampai kepada tujuannya kecuali dengan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyelisihi hawa nafsu serta segala yang menghalangi hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا ﴾
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisa: 65)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya terhadap ayat ini:
 ( يقسم الله تعالى بنفسه الكريمة المقدسة أنه لا يؤمن أحد حتى يحكم الرسول ص في جميع الأمور فما حكم به فهو الحق الذي يجب الانقياد له باطناً وظاهراً ولهذا قال: ﴿ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا ﴾، أي: إذا حكموك يطيعونك في بواطنهم، فلا يجدون في أنفسهم حرجاً مما حكمت به، وينقادون له في الظاهر والباطن فيسلمون لذلك تسليماً كلياً من غير مُمَانعة ولا مدافعة ولا منازعة كما ورد في الحديث ( والذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعاً لما جئت به )
(Allah ta’ala bersumpah dengan Diri-Nya Yang Maha Mulia lagi Maha Suci bahwa sesorang tidak beriman sampai dia menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim (pemutus) dalam semua urusan, sehingga apa yang diputuskannya aadalah kebenaran yang wajib tunduk kepadanya baik bathin maupun lahir, oleh sebab itu Allah berfirman:” kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” yaitu bila mereka menjadikanmu sebagai hakim maka mereka mentaatimu di dalam bathin mereka juga, sehingga mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya di dalam dhahir dan bathin sehingga mereka menerima hal itu dengan sepenuh hati tanpa penolakan dan penentangan, sebagaimana di dalam hadits: “Demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidaklah seseorang di antara kalian beriman sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”)[9]
5.      Syarat Kelima:
Ash Shidqu (kejujuran) yang menafikan kebohongan: Yaitu dia mengatakannya dengan kejujuran dari lubuk hatinya, hatinya selaras dengan lisannya, karena sesungguhnya orang-orang munafiqin itu mengucapkannya akan tetapi tidak dengan kejujuran, di mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang mereka:
﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ ﴾
“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Al Baqarah: 8)
 وعن معاذ بن جبل عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( ما من أحدٍ يشهد ألا إله إلا الله وأن محمداً عبده ورسوله صدقاً من قلبه إلا حرم الله عليه النار)
Dari Mu’adz Ibnu Jabal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidak seorangpun bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah secara jujur dari lubuk hatinya melainkan Allah haramkan neraka terhadapnya.”[10]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
 ( والتصديق ب ” لا إله إلا الله” يقتضي الإذعان والإقرار بحقوقها وهي شرائع الإسلام التي هي تفصيل هذه الكلمة، بالتصديق بجميع أخباره وامتثال أوامره واجتناب نواهيه… فالمصدق بها على الحقيقة هو الذي يأتي بذلك كله ومعلوم أن عصمة المال والدم على الإطلاق لم تحصل إلا بها وبالقيام بحقها، وكذلك النجاة من العذاب على الإطلاق لم تحصل إلا بها وبحقها).
“Pembenaran terhadap Laa ilaaha illallah adalah menuntut ketundukan dan pengakuan kepada hak-haknya, yaitu syari’at-syari’at Islam yang merupakan rincian kalimat ini, dengan cara membenarkan seluruh berita-berita-Nya, merealisasikan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya…. Orang yang membenarkannya secara sebenar-benarnya adalah orang yang mendatangkan hal itu semuanya, sedangkan sudah diketahui bahwa keterjagaan harta dan darah itu secara total tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan menunaikan hak-haknya. Dan begitu juga keselamatan dari adzab secara total tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan haknya.”[11]
6.      Syarat Keenam:
Ikhlash, yaitu mentauhidkan Allah dalam tujuan (al qashdu), dan membersihkan amal dengan pelurusan niat dari semua noda-noda syirik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ﴾
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az Zumar: 3)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala juga:
﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء ﴾
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,” (Al Bayyinah: 5)
وروى البخاري من حديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( أسعد الناس بشفا عتي من قال لا إله إلا الله خالصاً من قلبه )
Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  berkata: “Manusia yang paling bahagia mendapatkan syafa’atku adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah seraya tulus (murni) dari lubuk hatinya.”[12]
7.      Syarat Ketujuh:
Mahabbah (mencintai), kalimat ini dan apa yang dituntut olehnya serta apa yang ditunjukan olehnya, dan mencintai para penganutnya yang mengamalkannya lagi komitmen dengan syarat-syaratnya, serta membenci apa yang membatalkan hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ ﴾
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al Baqarah: 165)
 وفي الصحيحين من حديث أنس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ( ثلاث من كن فيه وجد فيهن حلاوة الإيمان، أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرءَ لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر بعد أن أنقذه الله منه كما يكره أن يقذف في النار ).
Dan di dalam Ash Shahihain dari hadits Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tiga hal yang barangsiapa ada pada dirinya, maka dia pasti mendapatkan manisnya iman; Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, dia mencintai seseorang seraya tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan dia tidak menyukai kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana dia tidak menyukai dilemparkan ke dalam neraka.” [13]
Al Hakami berkata:
( وعلامة حب العبد ربه تقديم محابه وإن خالفت هواه وبغض ما يبغض ربه وإن مال إليه هواه، وموالاة من والى الله ورسوله ومعاداة من عاداه، واتباع رسوله ص  واقتفاء أثره وقبول هداه )
“Dan tanda kecintaan si hamba kepada Rabb-nya adalah dia mengedepankan apa yang dicintai-Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya, membenci apa yang dibenci Rabb-nya walaupun hawa nafsunya cenderung kepadanya, loyal kepada orang yang loyal kepada Allah dan Rasul-Nya dan memusuhi orang yang memusuhi-Nya, mengikuti Rasul-Nya, meneladani jejaknya serta menerima tuntunannya.”[14]

3. Tidak Sah Islam Bagi Orang Yang Tidak Merealisasikan Tauhid

 A.     Kewajiban Mengetahui Tauhid
Al Bukhari rahimahullah berkata:
( باب العلم قبل القول والعمل لقول الله تعالى: ﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾ فبدأ بالعلم).
“Bab ilmu sebelum ucapan dan amal, berdasarkan firman Allah ta’ala:Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” (Muhammad: 19) di mana Allah memulai dengan ilmu.”
Al Hafidh berkata:
( قوله: “فبدأ بالعلم” أي حديث قال: ﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾ ثم قال: ﴿ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ﴾ والخطاب وإن كان للنبي صلى الله عليه وسلم فهو متناول لأمته واستدل سفيان بن عيينة بهذه الآية على فضل العلم، كما أخرجه أبو نعيم في الحلية في ترجمته من طريق الربيع بن نافع عنه أنه تلاها فقال ألم تسمع أنه بدأ به فقال “اعلم” ثم أمره بالعمل؟ وينتزع منها دليل ما يقوله المتكلمون من وجوب المعرفة، لكن النزاع كما قدمناه، إنما هو في إيجاب تعلم الأدلة على القوانين المذكورة في كتب الكلام )
(Ucapannya “di mana Allah memulai dengan ilmu” yaitu pembicaraan, berkata :Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” kemudian berfirman “dan meminta ampunanlah bagi dosamu.” Khithab ini walaupun ditujukan kepada  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia meliputi umatnya. Dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini terhadap keutamaan ilmu, sebagimana yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah pada biografinya dari jalur Ar Rabi’ Ibnu Nafi’ darinya bahwa ia membaca ayat ini terus berkata: Apakah engkau tidak mendengar bahwa Allah memulai dengannya, di mana Dia berfirman “Maka ketahuilah” kemudian Dia memerintahkannya untuk beramal? Dan diambil darinya suatu dalil terhadap apa yang dikatakan oleh para ahli kalam prihla wajibnya ma’rifah, akan tetapi perselisihan itu adalah sebagaimana yang telah kamu ketengahkan yaitu hanya prihal pengwajiban mempelajari dalil-dalil sesuai cara-cara yang disebutkan di dalam kitab-kitab (ahli ) kalam).[15]
Maka perhatikanlah –semoga Allah merahmatimu– kepada apa yang diisyaratkan oleh Al Hafidh bahwa tidak ada perselisihan prihal wajibnya ma’rifah yaitu ma’rifah (mengetahui) tauhid, namun yang diperselisihkan itu hanyalah prihal pengwajiban mempelajari dalil-dalil sesuai cara-cara yang telah ditetapkan oleh ahli kalam.
B.      Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
An Nawawi rahimahullah telah menukil ucapan yang panjang milik Al Qadli ‘Iyadl dan menilainya bagus, berkata: Al Qadli ‘Iyadl berkata:
(… ومذهب أهل السنة أن المعرفة مرتبطة بالشهادتين لا تنفع إحداهما ولا تنجي من النار دون الأخرى إلا لمن لم يقدر على الشهادتين لآفة بلسانه أو لم تمهله المدة ليقولها…) .
(…..Dan Madzhab Ahlussunnah bahwa ma’rifah itu berkaitan dengan syahadatain, salah satu dari keduanya tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkan dari neraka tanpa yang satunya lagi kecuali bagi orang yang tidak mampu mengucapkan syahadatain karena suatu cacat di lisannya atau tidak ada tenggang waktu cukup untuk mengucapkannya….).[16]
C.   Kejahilan Terhadap Allah Adalah Kekafiran Bagaimanapun Keadaannya
Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menuturkan dari Muhammad Ibnu Nashr Al Warwaziy, berkata:
( قالوا ولما كان العلم بالله إيمانا والجهل به كفراً، وكان العمل بالفرائض إيماناً والجهل بها قبل نزولها ليس كفراً، لأن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قد أقروا بالله أول ما بعث الله رسوله صلى الله عليه وسلم إليهم، ولم يعلموا الفرائض التي افترضت عليهم بعد ذلك، فلم يكن جهلهم بذلك كفراً، ثم أنزل الله عليهم الفرائض فكان إقرارهم والقيام بها إيماناً وإنما يكفر من جحدها لتكذيبه خبر الله، ولو لم يأتِ خبر من الله ما كان بجهلها كافراً، وبعد مجيئ الخبر من لم يسمع الخبر من المسلمين، لم يكن بجهلها كافراً، والجهل بالله في كل حالٍ كفر قبل الخبر وبعد الخبر)
(Mereka, yaitu Ahlussunnah berkata: Dan tatkala mengetahui Allah itu adalah keimanan dan kejahilan terhadap-Nya adalah kekafiran, dan sedangkan mengetahui faraidl (hal-hal yang difardlukan) itu adalah keimanan dan kejahilan terhadapnya sebelum ia diturunkan adalah bukan kekafiran; karena sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, –sedangkan mereka belum mengetahui faraidl yang difardlukan terhadap mereka setelah itu– maka kejahilan mereka terhadap faraidl itu bukanlah kekafiran, kemudian Allah menurunkan faraidl terhadap mereka, maka pengakuan dan pengamalan mereka terhadapnya adalah merupakan keimanan, dan sedangkan orang yang mengingkarinya hanyalah dikafirkan karena sebab dia mendustakan khabar (peberitahuan) dari Allah, dan seandainya tidak datang khabar dari Allah tentulah dia tidak menjadi kafir dengan sebab kejahilan terhadapnya. Sedangkan setelah datangnya khabar maka orang muslim yang tidak mendengar khabar tersebut tidaklah menjadi kafir dengan sebab tidak mengetahuinya. Adapun kejahilan terhadap Allah adalah dalam setiap keadaannya merupakan kekafiran baik sebelum ada khabar maupun setelah datangnya khabar).[17]  [18]
‘Alauddien Abu Bakar Mas’ud Ibnu Ahmad Al Kasaniy berkata: Sesungguhnya Abu Yusuf meriwayatkan dari Abu Hanifah rahimahullah ungkapan ini: Di Mana Abu Hanifah berkata:
لا عذر لأحد من الخلق في جهله معرفة الرب سبحانه وتعالى وتوحيده لما يرى من خلق السماوات والأرض وخلق نفسه وسائر ما خلق الله سبحانه، فأما الفرائض فمن لم يعلمها ولم تبلغه فإن هذا لم تقم عليه حجة حُكمية
“Tidak ada udzur bagi seorang makhluk-pun dalam kejahilan dia terhadap ma’rifah (mengenal) Ar Rabb Subhanahu Wa Ta’ala dan pentauhidan-Nya dikarenakan apa yang dilihatnya dari penciptaan langit dan bumi, penciptaan dirinya serta penciptaan apa yang telah Allah subhanahu ciptakan. Adapun faraidl (syari’at-syari’at yang difardlukan), barangsiapa yang tidak mengetahuinya dan hal itu belum sampai kepadanya, maka sesungguhnya orang ini belum tegak kepadanya hujjah hukmiyyah.”[19]
D.     Pembatasan Kejahilan Yang Diudzur Itu Adalah Selain Pada Tauhid
Ucapan-ucapan ulama salaf adalah sangat banyak dalam hal ini, di mana sesungguhnya mereka membatasi kekafiran dengan kejahilan itu hanyalah dalam hal meninggalkan faraidl (syari’at-syari’at yang difardlukan) bukan dalam hal tauhid. Abdullah Ibnu Ahmad berkata: Telah menyampaikan kepada kami Suwaid Ibnu Sa’id Al Harawiy, berkata: Kami telah bertanya kepada Sufyan Ibnu ‘Uyainah tentang Irja, maka ia berkata:
يقولون الإيمان قول وعمل، والمرجئة أوجبوا الجنة لمن شهد ألا إله إلا الله مُصِراً بقلبه على ترك الفرائض، وسموا ترك الفرائض ذنباً بمنزلة ركوب المحارم، وليس بسواء، لأن رُكوب المحارم من غير استحلال معصية وترك الفرائض متعمداً من غير جهل ولا عذر هو كفرٌ
“Mereka (Ahlussunnah) mengatakan: Iman itu adalah ucapan dan amalan, sedangkan Murji’ah menetapkan surga bagi orang yang bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah seraya ia bersikukuh dengan hatinya atas peninggalan faraidl (kewajiban-kewajiban syari’at), dan mereka menamakan peninggalan faraidl itu sebagai dzanb (dosa) sama seperti melakukan hal-hal yang diharamkan. Padahal tidaklah sama, karena sesungguhnya melakukan hal-hal yang diharamkan tanpa istihlal (penghalalan) adalah maksiat sedangkan meninggalkan faraidl (kewajiban-kewajiban syari’at) secara sengaja bukan karena kejahilan dan tanpa udzur adalah kekafiran.”[20]
E.      Tuntutan Syahadat Dan Apa Yang Ditunjukannya
Dari ‘Ubadah Ibnu Ash Shamit berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
من شهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له وأن محمداً عبده ورسوله وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه، والجنة حق، والنار حق، أدخله الله الجنة على ما كان منه من العمل
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah saja lagi tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya dan kalimat-Nya yang Dia masukan kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan (bahwa) surga adalah haq serta (bahwa) neraka adalah haq, maka Allah memasukannya ke dalam surga atas apa yang ada darinya berupa amalan.”[21]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan berkata:
من شهد ألا إله إلا الله أي من تكلم بها عارفاً لمعناها، عاملاً بمقتضاها باطناً وظاهراً، فلا بد في الشهادتين من العلم واليقين والعلم بمدلولها كما قال تعالى ﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾، وقوله ﴿إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ  ﴾، أما النطق بها من غير معرفة لمعناها ولا يقين ولا عمل بما تقتضيه من البراءة من الشرك وإخلاص القول والعمل، قول القلب واللسان وعمل القلب والجوارح، فغير نافع بالإجماع
”Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah, yaitu barangsiapa mengucapkannya seraya dia mengetahui maknanya lagi mengamalkan konsekuensinya lahir batin, karena dua kalimah syahadat ini harus disertai ilmu (mengetahui), yaqin dan mengetahui kandungannya, sebagaimana firman-Nya ta’ala: Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” (Muhammad: 19), dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “…akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya)” (Az Zukhruf: 86). Adapun pengucapannya tanpa disertai pengetahuan terhadap maknanya, dan tanpa yaqin serta tanpa pengamalan terhadap konsekuensinya berupa sikap kebelepasan diri dari syirik dan pengkikhlashan ucapan dan amalan, yaitu ucapan hati dan lisan serta amalan hati dan anggota badan, maka pengucapan itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma.”[22]
Dan beliau berkata setelah menuturkan ucapan para ulama tentang makna laa ilaaha illallaah:
فدلت ” لا إله إلا الله ” على نفي الإلهية عن كل ما سوى الله تعالى كائناً من كان وإثبات الإلهية لله وحده دون كل ما سواه وهذا هو التوحيد الذي دعت إليه الرسل، ودل عليه القرآن من أوله إلى آخره، كما قال تعالى عن الجن ﴿ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا * يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا ﴾، فلا إله إلا الله لا تنفع إلا من عرف مدلولها نفياً وإثباتاً واعتقد ذلك وقبله وعمل به، وأما من قالها من غير علم واعتقاد وعمل، فقد تقدم في كلام العلماء أن هذا جهل صرف، فهي حجة عليه بلا ريب، فقوله في الحديث ( وحده لا شريك له ) تأكيد وبيان لمضمون معناها وقد أوضح الله ذلك وبينه في قصص الأنبياء والمرسلين في كتابه المبين، فما أجهل عباد القبور بحالهم، وما أعظم ما وقعوا فيه من الشرك المنافي لكلمة الإخلاص ” لا إله إلا الله ” فإن مشركي العرب ونحوهم جحدوا ” لا إله إلا الله ” لفطاً ومعنى، وهؤلاء المشركون أقروا بها لفظاً وجحدوها معنى فتجد أحدهم يقولها وهو يأله غير الله بأنواع العبادة
”Maka Laa ilaaha illallaah menunjukan terhadap penafian ketuhanan dari selain Allah siapa saja dia itu dan penetapan ketuhanan bagi Allah saja tidak bagi selain-Nya. Inilah tauhid yang didakwahkan para rasul dan yang ditunjukan oleh Al Qur’an dari awal sampai akhir, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang jin: “Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya, dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan Kami.” (Al Jin: 1-2). Maka laa ilaaha illallaah tidak berguna kecuali bagi orang yang mengetahui apa yang dikandungnya berupa penafian dan penetapan, meyakini hal itu, menerimanya dan mengamalkannya. Adapun orang yang mengucapkannya tanpa ilmu, keyakinan dan amal, maka telah lalu dalam ucapan para ulama bahwa hal ini adalah kejahilan yang murni, di mana ia adalah hujjah terhadapnya tanpa keraguan. Di mana sabdanya di dalam hadits: “Dia saja lagi tidak ada sekutu bagi-Nya” adalah penekanan dan penjelasan bagi kandungan maknanya, dan Allah telah menjelaskan hal itu dan menjabarkannya di dalam kisah-kisah para nabi dan para rasul dalam Kitab-Nya yang nyata, maka alangkah bodohnya para ‘Ubbadul Qubur terhadap keadaan mereka, dan alangkah dasyatnya kemusyrikan yang mereka terjatuh di dalamnya yang menafikan kalimatul ikhlash “laa ilaaha illallaah”. Sesungguhnya kaum musyrikin arab dan yang lainnya mengingkari “laa ilaaha illallaah” secara lafadh dan makna, sedangkan kaum musyrikin itu (maksudnya para pelaku kemusyrikan yang mengaku muslim) adalah mengakui kalimat itu secara lafadh namun mengingkarinya secara makna, di mana engkau mendapatkan seseorang dari mereka mengucapkannya sedangkan dia mempertuhankan selain Allah dengan bermacam-macam ibadah.”[23]
F.    Tidak Sah Syahadat Kecuali Bila Disertai Ilmu
Al ‘Alim Al Muhaddits Sulaiman Ibnu Abdillah berkata di dalam kitabnya yang diberi judul Taisirul ‘Azizil Hamid Syarh Kitabit Tauhid saat menjelaskan hadits ini:
قوله ” من شهد ألا إله إلا الله ” أي من تكلم بهذه الكلمة عارفاً لمعناها عاملاً بمقتضاها باطناً وظاهراً كما دل عليه قوله: ﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾، وقوله: ﴿ إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴾، أما النطق بها من غير معرفة لمعناها ولا عمل بمقتضاها، فإن ذلك غير نافع بالإجماع. وفي الحديث ما يدل على هذا وهو قوله “من شهد” إذ كيف يشهد وهو لا يعلم ومجرد النطق بشيء لا يسمى شهادة به
Sabdanya “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah” yaitu barangsiapa mengucapkan kalimat ini seraya mengetahui maknanya lagi mengamalkan konsekuensinya lahir bathin sebagaimana yang ditunjukan oleh firman-Nya ta’ala: Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah…” (Muhammad: 19), dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “…akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az Zukhruf: 86)”. Adapun pengucapannya tanpa disertai pengetahuan terhadap maknanya, dan tanpa pengamalan terhadap konsekuensinya, maka pengucapan itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma. Dan di dalam hadits ini ada hal yang menunjukan terhadap hal ini yaitu sabdanya “Barangsiapa bersaksi” karena bagaimana bersaksi sedangkan dia tidak mengetahui, sedangkan sekedar pengucapan sesuatu tidaklah dinamakan kesaksian terhadapnya.[24]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata dalam pembicaraannya tentang hadits Mu’adz pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: maka hendaklah suatu yang paling pertama engkau ajak mereka kepadanya adalah kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah”:
 وكانوا يقولونها لكنهم جهلوا معناها الذي دلت عليه من إخلاص العبادة لله وحده وترك عبادة ما سواه، فكان قولهم لا إله إلا الله لا ينفعهم لجهلهم بمعنى هذه الكلمة، كحال أكثر المتأخرين من هذه الأمة، فإنهم كانوا يقولونها مع ما كانوا يفعلونه من الشرك بعبادة الأموات والغائبين والطواغيت والمشاهد، فيأتون بما ينافيها، فيثبتون ما نفته من الشرك باعتقادهم وقولهم وفعلهم وينفون ما أثبتته من الإخلاص كذلك…..وقد تقدم أن لا إله إلا الله قد قيدت في الكتاب والسنة بقيود ثقال منها العلم واليقين والإخلاص والصدق والمحبة والقبول والانقياد والكفر بما يعبد من دون الله، فإذا اجتمعت هذه القيود لمن قالها نفعته هذه الكلمة وان لم تجتمع هذه لم تنفعه، والناس متفاوتون في العلم بها والعمل، فمنهم من ينفعه قولها ومنهم من لا ينفعه كما لا يخفى
”Mereka itu mengucapkannya akan tetapi mereka jahil terhadap makna yang ditunjukan olehnya berupa pemurnian ibadah bagi Allah saja dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, sehingga pengucapan mereka terhadap laa ilaaha illallaah itu tidaklah bermanfaat bagi mereka karena kejahilan mereka terhadap makna kalimat ini, seperti keadaan mayoritas orang-orang masa kini dari umat ini, di mana sesungguhnya mereka itu mengucapkannya padahal di waktu yang sama mereka itu melakukan kemusyrikan berupa peribadatan kepada orang-orang yang sudah mati, orang-orang yang ghaib, para thaghut dan kuburan-kuburan yng dikeramatkan, sehingga mereka itu mendatangkan suatu yang membatalkannya, di mana mereka menetapkan apa yang dinafikannya berupa kemusyrikan dengan keyakinan mereka, ucapan mereka dan perbuatan mereka, dan menafikan apa yang ditetapkannya berupa pemurnian ibadah…. sedangkan telah lalu bahwa laa ilaaha illallaah itu diberi syarat di dalam Al Kitab dan Assunnah dengan syarat-syarat yang berat, di antaranya al ilmu, al yaqin, al ikhlash, kejujuran, kecintaan, al qabul (penerimaan), al inqiyad (ketundukan) dan sikap ingkar terhadap segala yang diibadati selain Allah. Bila syarat-syarat ini terpenuhi pada diri orang yang mengucapkannya, maka kalimat ini bermanfaat baginya, namun bila syarat-syarat ini tidak terkumpul padanya maka tidak berguna baginya, sedangkan manusia itu bertingkat-tingkat dalam kadar pengetahuan terhadap (makna)nya dan (dalam) pengamalannya, di mana di antara mereka itu ada orang yang bermanfaat baginya pengucapan kalimat itu dan di antara mereka ada juga yang tidak bermanfaat baginya pengucapannya, sebagaimana hal ini tidak samar lagi.”[25]
G.  Kesalahan Di Dalam Memahami Hadits-Hadits Orang Yang Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah
Ini adalah ungkapan-ungkapan yang bercahaya dalam membantah orang yang keliru dalam memahami hadits-hadits wa’ad (janji) bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah di mana mereka menghukumi keislaman orang yang mengucapkannya walaupun dia tidak melepaskan diri dari peribadatan selain Allah sebagaimana yang dilakukan oleh para ‘Ubbadul Qubur dan yang lainnya.
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy berkata:
كثير من الناس يخطئون في فهم أحاديث ” من قال لا إله إلا الله دخل الجنة ” فيظنون أن التلفظ بها يكفي وحده للنجاة من النار ودخول الجنة وليس كذلك، فإن من يظن ذلك من المغرورين لم يفهم ” لا إله إلا الله ” لأنه لم يتدبرها إذ أن حقيقة معناها البراءة من كل معبود والتعهد بتجريد كل أنواع العبادة لله سبحانه وحده، والقيام به على الوجه الذي يحبه ويرضاه، فمن لم يقم بحقها من العبادة أو قام ببعض أنواع العبادة ثم عبد مع الله غيره، من دعاء الأولياء والصالحين والنذر لهم ونحو ذلك، فإنه يكون هادماً لها، فلا تنفعه دعواه ولا تغني عنه شيئاً. ولو كان مجرد قولها كافياً، لم يقع من المشركين ما وقع من محاربة الرسول صلى الله عليه وسلم ومعاداته قال الله تعالى ﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾، وقال: ﴿ إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴾، فمن لم يوف بها ويعمل بمقتضاها، لا ينفعه التلفظ، وكل من جعل شيئاً من العبادة لغير الله فهو إما جاهل بمعناها أو كاذب في ادعائه الإيمان وأولئك هم المغرورون الأخسرون أعمالا ﴿ الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا ﴾
“Banyak orang keliru dalam memahami hadits-hadits “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah maka dia pasti masuk surga” di mana mereka mengira bahwa pengucapannya saja cukup bagi keselamatan dari api neraka dan untuk masuk surga, padahal tidaklah demikian, karena sesungguhnya orang yang mengira hal itu dari kalangan orang-orang yang terpedaya tidaklah memahami Laa ilaaha illallaah karena dia tidak mentadabburinya, karena sesungguhnya hakikat maknanya adalah keberlepasan diri dari segala yang diibadati dan berjanji untuk memurnikan seluruh macam ibadah hanya bagi Allah saja, serta menegakkannya sesuai cara yang dicintai dan diridlai-Nya. Oleh sebab itu barangsiapa tidak menegakkan haknya berupa ibadah atau dia menegakkan sebagian macam ibadah kemudian dia beribadah juga kepada yang lain di samping dia beribadah kepada Allah, seperti berdoa kepada para wali dan orang-orang shalih, nadzar bagi mereka serta hal serupa itu, maka sesungguhnya dia itu menggugurkannya, sehingga klaim keislamannya itu tidaklah berguna dan tidak bermanfaat sama sekali baginya. Dan seandainya sekedar pengucapan kalimat itu adalah cukup, tentu tidak akan terjadi dari kaum musyrikin itu apa yang terjadi berupa sikap memerangi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memusuhinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah…” (Muhammad: 19)  dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “…akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az Zukhruf: 86)”. Barangsiapa tidak memenuhinya dan tidak mengamalkan konsekuensinya, maka pelafalannya tidaklah bermanfaat bagi dia. Dan setiap orang yang memalingkan sesuatu dari ibadah kepada selain Allah, maka dia itu bisa jadi orang yang jahil terhadap maknanya atau orang yang dusta dalam klaim imannya, sedangkan mereka itu adalah orang-orang yang terpedaya lagi yang paling rugi amalannya “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 104)[26]
            Dan beliau rahimahullah berkata:
كثير من أدعياء العلم يجهلون ” لا إله إلا الله ” فيحكمون على من تلفظ بها بالإسلام ولو كان مجاهراً بالكفر الصراح، كعبادة القبور والموتى والأوثان واستحلال المحرمات المعلوم تحريمها من الدين ضرورة والحكم بغير ما أنزل الله، واتخاذ أحبارهم ورهبانهم أرباباً من دون الله، ولو كانت لهؤلاء الجهلة قلوب يفقهون بها لعلموا أن معنى ” لا إله إلا الله ” البراءة من عبادة غير الله، وإعطاء العهد والميثاق بالقيام بأداء حق الله في العبادة، يدل على ذلك قول الله تعالى: ﴿ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾ وقد شهد النبي ص للخوارج بكثرة الصلاة والصيام وقراءة القرآن المشحون بلا إله إلا الله، ومع ذلك فقد حكم عليهم بالكفر وقال ( لو أدركتهم لقتلتهم قتل عاد ) كما في الصحيحين، ولو كان مجرد التلفظ بلا إله إلا الله كافياً ما وقعت الحرب والعداء بين الرسول ص وبين المشركين الذين كانوا يفهمون لا إله إلا الله أكثر مما يفهمها أدعياء العلم في هذا الزمن، ولكن طبع الله على قلوبهم فهم لا يفقهون
“Banyak orang dari kalangan pengklaim ilmu tidak mengetahui Laa ilaaha illallaah sehingga mereka menghukumi keislaman orang yang mengucapkannya walaupun dia itu terang-terang melakukan kekafiran yang nyata, seperti peribadatan kepada kuburan, orang-orang yang sudah mati dan berhala, penghalalan hal-hal yang diharamkan yang pengharamannya diketahui secara pasti dari dien ini (Ma’lum minaddien bidldlarurah), berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dan menjadikan para ulama dan rahib sebagai arbab (tuhan-tuhan/pembuat hukum) selain Allah. Seandainya orang-orang jahil itu memiliki hati yang dengannya mereka memahami tentulah mereka mengetahui bahwa makna Laa ilaaha illallaah itu adalah keberlepasan diri dari peribadatan kepada selain Allah serta pemberian janji dan sumpah untuk menunaikan hak Allah di dalam ibadah. Hal itu ditunjukan oleh firman Allah ta’ala “Barangsiapa yang kafir terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh kepada ikatan tali yang sangat kokoh yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 256) Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersaksi bahwa Khawarij itu banyak melakukan shalat, shaum dan membaca Al Qur’an yang sarat dengan kalimat Laa ilaaha illallaah, namun demikian beliau telah menghukumi mereka kafir dan beliau berkata: “Seandainya saya mendapatkan mereka tentu saya telah membunuhi mereka seperti pembunuhan yang terjadi terhadap kaum ‘Aad”, sebagaimana di dalam Ash Shahihain. Dan seandainya sekadar pengucapan Laa ilaaha illallaah itu cukup tentu tidak akan terjadi peperangan dan permusuhan antara Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum musyrikin yang lebih memahami makna Laa ilaaha illallaah daripada para pengklaim ilmu pada zaman ini, akan tetapi Allah mengunci hati mereka sehingga mereka tidak memahami.”[30]
(Bersambung…)

[1] Lihat Fathul Majid: 54.
[2] Fathul Majid: 52.
[3] Silahkan Rujuk Taisirul ‘Azizil Hamid: 39-42.
[4] Madarijus Salikin 3/325.
[5] Ditururkan oleh Al Bukhari secara ta’liq dalam Kitab Al Janaiz: Bab barangsiapa akhir ucapannya “Laa Ilaaha Illallaah” 3/109.
[6] HR Muslim dalam Kitabul Iman 26.
[7] HR Muslim dalam Kitabul Iman 27.
[8] HR Muslim dalam Kitabul Iman 31.
[9] Tafsir Ibnu Katsir 2/306, dan hadits ini dihasankan oleh An Nawawi dan didlaifkan oleh Ibnu Rajab dan yang lainnya, namun tidak diragukan prihal keshahihan maknanya.
[10] Al Bukhari dalam Kitabul Ilmi 128.
[11] At Tibyan Fi Aqsamil Qur’an hal 43.
[12] Al Bukhari dalam Kitabul Ilmi 99.
[13] Al Bukhari, Al Iman 16 dan Muslim, Al Iman 43.
[14] Ma’arijul Qabul 1/383, silahkan rujuk Al Wala Wal Bara hal 28 sampai 38 dan Ma’arijul Qabul 1/377 sampai 383.
[15] Fathul Bari dalam 3 jilid 1/287.
[16] Syarah Shahih Muslim, milik An Nawawi 1/219.
[17] Majmu Al Fatawa 7/325.
[18] Penterjemah berkata: Syaikh Abu Az Zubair Asy Syinqithiy berkata menjelaskan nukilan di atas ini: Lihatlah nukilan ini, di mana kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum adanya khabar maupun setelah adanya khabar, sedangkan yang dimaksud adalah kejahilan terhadap tauhid-Nya. Adapun dalil terhadap hal itu adalah ucapannya (Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy): “Karena sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka”. Sedangkan sudah diketahui secara pasti bahwa pengakuan di sini adalah pengakuan terhadap tauhid ilahiyyah bukan tauhid rububiyyah saja yang tidak membedakan antara kaum muwahhidin dengan kaum musyrikin. Jadi kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum khabar (hujjah) maupun setelah khabar…” (Al Idlah Wat Tabyin Fi Anna Fa’ilasy Syirki Jahlan Laisa Minal Muslimin: 99-100)
Saya berkata: Dalil yang menunjukan bahwa pengakuan terhadap Allah di atas adalah pengakuan terhadap tauhid uluhiyyah bukan tauhid rububiyyah adalah keberadaan para sahabat sebelum mereka menganut islam telah mengakui rububiyyah Allah, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الأمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)….(Pent)
[19] Badaiush Shanai Wa Tartibusy Syarai 7/132.
[20] Assunnah milik Abdullah Ibnu Ahmad 1/347-348.
[21] Assunnah milikAl Bukhari, Kitabul Anbiya 3435, dan Muslim, Kitabul Iman 28,46.
[22] Mili Fathul Majid 51 tahqiq Ahmad Hamid Al Faqiy, ta’liq Ibnu Baz.
[23] Ah Fathul Majid 54.
[24] Taisirul ‘Azizil Hamid hal 72.
[25] Hamid h Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin hal 48.
[26] – Catatan kaki Fathul Majid: 72
[30] Catatan kaki Fathul Majid 258.