PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Selasa, 12 Februari 2013

nasyid for blog

<object type="application/
x-shockwave-flash" data="http://flash-mp3-player.net/medias/player_mp3_mini.swf" width="200" height="20" style="margin: 0px; padding: 0px">

<param name="movie" value="http://flash-mp3-player.net/medias/player_mp3_mini.swf" style="margin: 0px; padding: 0px" />

<param name="bgcolor" value="#000000" style="margin: 0px; padding: 0px" />

<param name="FlashVars" value="mp3=http://jinc0rn.comli.com/MyFiles/nasyid/ghr.mp3 &amp;autoplay=1" style="margin: 0px; padding: 0px" />

</object>

Jumat, 08 Februari 2013

Imam As-Syafii, Imam An-Nawawi dan Imam Ibnu Hajr al-Haitamiy pengikut WAHABI?

Sesungguhnya ibadah itu dibangun di atas dalil baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah yang dipahami oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Tatkala para pemakmur kuburan yang mencari barokah di sana mengetahui bahwasanya perbuatan mereka menyelisihi dan bertentangan dengan terlalu banyak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka merekapun berusaha untuk berdalil dengan perkataan ulama yang sepakat dengan aqidah mereka.
Diantara perkataan para ulama yang dijadikan dalil untuk menguatkan kebiasaan mereka beribadah di kuburan adalah perkataan Al-Baidhowi rahimahullah.
Padahal perkataan Al-Baidhoowi ini menyelisihi kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafi’iyah. Dan para pemakmur kuburan di tanah air kita secara umum mengaku bermadzhab As-Syafiiyah. Akan tetapi tatkala ada perkataan seorang ulama yang sesuai dengan keyakinan mereka maka merekapun ramai-ramai memegang teguh perkataan tersebut dan meninggalkan hadits-hadits yang begitu banyak yang tidak sesuai dengan kebiasaan mereka…serta meninggalkan kesepakatan perkataan para ulama besar Asy-Syafiiyah.


“Berkata Imam Ibn Hajar : Berkata Imam Al Baidhawiy : ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para Nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung-patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabaruuk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits itu” (Fathul Baari Al Masyhur Juz 1 hal 525)” (lihat Meniti Kesempurnaan Iman hal 31)
SANGGAHAN
Kita lihat kembali perkataan Al-Baidhawi rahimahullah :

“Adapun orang yang menjadikan mesjid di dekat (kuburan) seorang yang sholeh dan bermaksud untuk mencari keberkahan dengan dekat dari orang sholeh tersebut, dan bukan untuk mengagungkannya dan juga bukan untuk mengarah kepadanya (tatkala sholat-pen) maka tidak termasuk dalam ancaman (laknat-pen) tersebut”
Bantahan terhadap Al-Baidhowi :
Pertama : Perkataan Al-Baidhowi tentang bolehnya beribadah di kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan seluruh dalil yang menunjukan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, karena hadits-hadits tersebut melarang sholat di kuburan secara mutlak, tanpa membedakan niat mencari berkah atau tidak.
Dan telah lalu atsar kisah Anas bin Malik yang sholat di dekat kuburan tanpa ia sadari, dan tentunya Anas tidak sedang mencari barokah dikuburan. Namun demikian ia tetap ditegur oleh Umar bin Al-Khottoob radhiallahu ‘anhu.
Oleh karenanya wajib bagi Habib Munzir –yang telah menukil dan sepakat dengan perkataan Al-Baidhowi ini- untuk mendatangkan dalil yang mengkhususkan dalil-dalil umum dan mutlak larangan sholat di kuburan…!!! Karena sebagaimana yang dikenal dalam ilmu ushul fikih jika datang dalil secara umum dan mutlak lantas tidak ada dalil yang mengkhususkannya atau mentaqyidnya maka dalil tersebut tetap pada keumuman dan kemutlakannya.
Kedua : Kontradiksi perkataan Al-Baidhowi yang melarang pengagungan terhadap kuburan orang sholeh, namun membolehkan sholat di dekat kuburan orang sholeh untuk bertabaruuk. Padahal bertabaruuk dengan kuburan orang sholeh itu merupakan bentuk pengagungan terhadap kuburan tersebut.
Setelah menukil perkataan Al-Baidhowiy, As-Shon’aani berkata :

“Aku katakan : Perkataan Al-Baidhoowi : “Bukan untuk mengagungkannya“, maka jawabannya :
(*1)”Membangun masjid-masjid di dekatnya dan sengaja bertabaruuk (mencari barokah) dengannya merupakan (bentuk) pengagungan kepadanya.
(*2)Kemudian hadits-hadits yang melarang datang secara mutlak, tidak ada dalil yang menunjukan ta’lil (sebab larangan) sebagaimana yang disebutkan oleh Baidhoowi.
(*3) Tampaknya ‘illahnya (sebab pelarangannya) adalah :
-       sadd adz-dzarii’ah (*menutup pintu yang mengantarkan pada keysirikan)
-      dan juga menjaauh dari bertasyabbuh (menyerupai) para penyembah berhala yang mereka mengagungkan benda-benda mati yang tidak mendengar dan tidak memberi manfaat atau bahaya
-       dan juga mengeluarkan biaya harta untuk hal ini termasuk perkara sia-sia dan mubadzir yang sama sekali kosong dari manfaat,
-       dan hal ini juga menyebabkan pemasangan lantera di atas kuburan yang pelakunya dilaknat
-     serta kerusakan-kerusakan yang tidak terhingga yang timbul akibat membangun di atas kuburan berupa masyaahid (situs ziarah) dan kubah-kubah di atas kuburan” (Subulus salaam syarh Buluughil Maroom, Daar Al-Ma’aarif, cetakan pertama, juz 1 hal 445)
Ketiga : Perkataan Al-Baidhoowi akan bolehnya sholat dekat kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafii. Padahal kita ketahui bersama bahwasanya orang-orang yang “hobi” memakmurkan kuburan dan sholat di kuburan di tanah air kita rata-rata mengaku bermadzhab As-Syafii.
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata :

“Dan telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Ay-Syafii dan para Ash-haab berkata, “Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak“. Al-Haafizh Abu Muusa berkata, “Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farooni rahimhullah : Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A’lam”.(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 5/289)
Nukilan ini sangatlah tinggi nilainya dalam madzhab As-Syafiiah, dari sisi-sisi berikut:
Pertama : Yang menukil adalah Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang dikenal sebagai muhaqqiqul madzhab. Tentunya para pemakmur kuburan yang senantiasa berkecimpung dengan madzhab As-Syafii sangat mengetahui kedudukan Imam An-Nawawi dalam madzhab As-Syafii?, bahkan dialah yang paling paham tentang pendapat-pendapat para ulama As-Syafi’iyah, demikian juga perbedaan pendapat yang di antara para ulama As-Syafiiyah.
Ibnu Hajr Al-Haitsami As-Syafii berkata :
أَنَّ الْكُتُبَ الْمُتَقَدِّمَةَ عَلَى الشَّيْخَيْنِ لَا يُعْتَمَدُ شَيْءٌ مِنْهَا إلَّا بَعْدَ مَزِيدِ الْفَحْصِ وَالتَّحَرِّي حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ الْمَذْهَبُ وَلَا يُغْتَرُّ بِتَتَابُعِ كُتُبٍ مُتَعَدِّدَةٍ عَلَى حُكْمٍ وَاحِدٍ فَإِنَّ هَذِهِ الْكَثْرَةَ قَدْ تَنْتَهِي إلَى وَاحِدٍ ….
وَهَكَذَا أَنَّ الْمُعْتَمَدَ مَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ أَيْ مَا لَمْ يُجْمِعْ مُتَعَقِّبُو كَلَامِهِمَا عَلَى أَنَّهُ سَهْوٌ
“Sesungguhnya kitab-kitab (*fiqh madzhab Asy-Syafi’i) yang terdahulu sebelum dua syaikh (*yaitu Ar-Roofi’i dan An-Nawawi) tidaklah  dijadikan sandaran kecuali setelah pengecekan dan pemeriksaan yang ekstra sehingga kita mencapai perkiraan kuat bahwasanya hal itu (*suatu hukum fiqh) adalah madzhab Asy-Syafii. Dan janganlah terpedaya dengan banyaknya buku yang menyebutkan satu hukum karena buku-buku yang banyak tersebut bisa jadi kembalinya kepada satu buku saja…
Dan demikianlah yang menjadi patokan adalah apa yang disepakati oleh keduanya (*Ar-Rofi’i wa An-Nawawi) yaitu selama para pengkritik perkataan mereka berdua tidak bersepakat bahwa kesepakatan mereka berdua tersebut adalah sahw (*keteledoran)…”(Tuhfatul Muhtaaj juz 1/40)
Bahkan jika terjadi perbedaan antara Ar-Rofii dan An-Nawawi dalam mengenal pendapat yang roojih menurut madzhab As-y-Syafii maka didahulukan pendapat An-Nawawi dari pada pendapat Ar-Rofii
Kedua : Al-Imam An-Nawawi menukil hal ini dalam kitabnya Al-Majmuu’, yang telah masyhuur bahwa kitab beliau Al-Majmuu’ memiliki tempat yang tinggi di hati para pengikut madzhab Syafi’i terutama dalam mengenal pendapat yang sesungguhnya merupakan madzhab syafii dan juga mengenal perbedaan pendapat dan wujuuh dalah fiqih As-Syafii.
Ketiga : Al-Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hal ini merupakan nas (yaitu perkataan) dari Al-Imam As-Syafii


Keempat : Al-Imam An- Nawawi menyatakan bahwa nash dari Al-Imam Asy-Syafii sepakat dengan nash-nash Ash-hab. Dan tentunya para pemakmur kuburan yang mengaku bermadzhab Asy-Syafi’i mengerti pengertian الأَصْحَاب “Ash-hab” dalam perkataan Al-Imam An-Nawawi di atas. Yaitu para ulama besar Syafi’iyah yang telah mencapai derajat yang tinggi sehingga mereka memiliki ijtihad-ijtihad dalam fiqih yang mereka keluarkan (takhrij) berdasarkan metode ijtihad (ushul) Imam Asy-Syafii dan mereka mengambil istinbath hukum-hukum dengan mempraktekan kaidah-kaidah Imam Asy-Syafii. Ibnu Hajr Al-Haitami berpendapat bahwa Ash-hab berakhir pada abad ke-4 H (lihat Al-Fatawa Al-Kubro Al-Fiqhiyah 4/63)
Dan ternyata para ulama yang dikenal dengan ashabul wujuh ini sepakat dengan nash Imam Asy-Syafii. Maka hal ini menunjukan bahwa para ulama besar yang merupakan patokan di madzhab Asy-Syafii telah sepakat akan hal ini, yaitu tidak bolehnya membangun di atas kuburan orang sholeh dan tidak boleh sholat ke arah kuburan orang sholeh.
Kelima : Bahkan untuk menguatkan hal ini Al-Imam An-Nawawi juga menukil dari Az-Za’farooni rahimahullah yang berkata : “Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau pengagungan, karena hadits-hadits Nabi
Dan Az-Za’farooni ini adalah murid langsung Imam As-Syafii dan termasuk murid-murid Imam As-Syafii yang meriwayatkan qoul qodiim (pendapat lama) Imam As-Syafii.

Keenam
: An-Nawawi juga telah menukil kesepakatan para ulama tentang dilarangnya mengusap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mencari barokah. Beliau rahimahullah berkata :
“Tidak boleh thowaf di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan. Bahkan adab (*ziarah kuburan Nabi) adalah ia menjauh dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi kalau dia bertemu dengan Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam tatkala masih hidup. Dan inilah yang benar, dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah sepakat akan hal ini.
Dan hendaknya jangan terpedaya oleh  banyaknya orang awam yang menyelisihi hal ini, karena teladan dan amalan itu dengan perkataan para ulama. Jangan berpaling pada perbuatan-perbuatan baru yang dilakukan oleh orang-orang awam dan kebodohan-kebodohan mereka. Sungguh yang mulia Abu Ali  al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah telah berbuat baik dalam perkataannya :
“Ikutilah jalan petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya yang sedikit. Berhati-hatilah akan jalan kesesatan dan jangan terpedaya oleh banyaknya orang yang binasa (*karena mengikut jalan kesesatan tersebut).” Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwasanya mengusap kuburan dengan tangan dan perbuatan yang semisalnya lebih berkah,  maka ini karena kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syari’at dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi kebenaran??” (Lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab 8/257, perkataan An-Nawawi ini juga terdapat dalam Hasyiah Al-’Allamah Ibni Hajr al-Haitami ‘ala Syarh Al-Idhoh fi Manasik Al-Haj, cetakan Dar Al-Hadits, Beirut, Libanon hal. 501)




Peringatan :

Sebagian pemakmur kuburan berdalil, dengan apa yang termaktub dalam kitab Roudhoh at-Thoolibiin karya Imam An-Nawawi, sebagaimana berikut ini :

“Boleh bagi seorang muslim atau seorang kafir dzimmi untuk berwashiat untuk mengurus (*membangun) al-masjid al-aqsho dan masjid-masjid yang lainnya, dan juga untuk membangun kuburan para nabi, para ulama, dan sholihin, karena hal itu menghidupkan ziaroh dan bertabarruk dengan kuburan-kuburan tersebut” (Roudotut Thoolibiin, tahqiiq : Adil Ahmad Abdul Maujuud dan Ali Muhammad Mu’awwadl. Cetakan Daar ‘Aalam al-Kutub, juz 5 hal 94)
Kalau kita perhatikan di dalam perkataan Imam An Nawawi terkesan diperbolehkan bertabarruk (mencari barokah) dari kuburan.
Maka apakah hal ini membatalkan kesepakatan Imam As-Syafii dan para ulama besar syafiiyah yang telah dinukil An-Nawawi dalam Al-Majmuu’??
Jawabannya tentu adalah tidak, dan ini bisa dijelaskan dari dari beberapa segi :
Pertama : Al-Imam An-Nawawi terkadang menyebutkan pendapat yang mungkar dalam madzhab as-Syafii dalam kitabnya Roudhot Toolibiin. Sebagaimana hal ini beliau jelaskan dalam muqoddimah kitab beliau tersebut. Beliau berkata –menjelaskan metode penulisan kitab beliau ini-:

“Dan aku menyebutkan seluruh fiqih kitab (*yaitu kitab Al-’Aziiz syarh al-wajiiz karya Ar-Rofi’i yang kemudian diringkas oleh An-Nawawi dalam Roudotut Toolibiin), bahkan aku menyebutkan wajah-wajah (*pendapat-pendapat para ulama besar syafiiyah) yang aneh nan munkar, dan aku mencukupkan dalam menyebutkan hukum-hukum tanpa mengkritik dengan kritikan lafzia” (Roudot Toolibiin, juz 1 hal 113)
Maka bisa jadi pendapat tentang bolehnya membangun di atas kuburan para ulama dan sholihin termasuk salah satu dari pendapat-pendapat yang mungkar yang ada di madzhab as-Syafi’i
Kedua : Kitab al-Majmuu’ karya an-Nawawi lebih didahulukan daripada kitab Roudotut Tolibin (lihat penjelasan Ibnu Hajr al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaaj 1/40)
Ketiga : Sebagian ulama As-Syafiiah menafsirkan kata ‘imaaroh dalam teks di atas adalah bukan membangun bangunan seperti kubah di atas kuburan, akan tetapi maksudnya adalah mengembalikan tanah dan memperbaiki kuburan tersebut sehingga tidak hilang tanda-tandanya.
Az-Zarkasyi berkata dalam kitabnya Al-Khoodim,

“Akan tetapi ta’lil yang disebutkan disini (*yaitu membangun kuburan para nabi dan solihin) karena untuk menghidupkan ziaroh menunjukan bolehnya ‘imaaroh kuburan secara mutlak. Dan An-Nawawi diam (*tidak berkomentar) mengikuti asal kitab (*yaitu syarh al-Wajiiz karya Ar-Rofii yang juga menyebutkan tentang ‘imaaroh kuburan sholihin) tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata ‘imaaroh?. Jika yang dimaksud dengan ‘imaaroh adalah membangun kuburan dengan peralatan dan membangun (*bangunan) di atas kuburan maka hal ini tidak diperbolehkan, demikian juga jika ia berwashiat untuk membangun kubah dan maksudnya adalah untuk mengagungkan kuburan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.


Dan jika yang dimaksud dengan ‘imaaroh kuburan adalah mengembalikan tanah ke kuburan dan melazimi kuburan karena khawatir timbulnya rasa keterasingan dan sebagai pemberitahuan bagi orang-orang yang menziarahinya agar tidak hilang kuburan tersebut maka maknanya dekat (*pada kebenaran)” (Sebagaimana dinukil oleh muhaqqiq kitab Roudhotut Tolibiin dalam catatan kaki kitab Roudotut Toolibiin juz 5 hal 94)
Keempat : Ibnu Hajar Al-Haitami (salah seorang ulama besar dari madzhab As-Syafiiah yang dikenal juga sebagai muhaqqiq madzhab setelah zaman Ar-Rofii dan An-Nawawi) telah menjelaskan bahwa pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab As-Sayfii adalah dilarangnya membangun di atas kuburan para ulama dan sholihin.
Dalam Al-fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubroo Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya :
وما قَوْلُكُمْ فَسَّحَ اللَّهُ في مُدَّتِكُمْ وَأَعَادَ عَلَيْنَا من بَرَكَتِكُمْ في قَوْلِ الشَّيْخَيْنِ في الْجَنَائِزِ يُكْرَهُ الْبِنَاءُ على الْقَبْرِ وَقَالَا في الْوَصِيَّةِ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِعِمَارَةِ قُبُورِ الْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ لِمَا في ذلك من الْإِحْيَاءِ بِالزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ بها هل هذا تَنَاقُضٌ مع عِلْمِكُمْ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَنْفُذُ بِالْمَكْرُوهِ فَإِنْ قُلْتُمْ هو تَنَاقُضٌ فما الرَّاجِحُ وَإِنْ قُلْتُمْ لَا فما الْجَمْعُ بين الْكَلَامَيْنِ؟
“Dan apa pendapat anda –semoga Allah memperpanjang umar anda dan memberikan kepada kami bagian dari keberkahanmu- tentang perkataan dua syaikh (*Ar-Rofi’I dan An-Nawawi) dalam (*bab) janaa’iz : “Dibencinya membangun di atas kuburan”, akan tetapi mereka berdua berkata dalam (*bab) wasiat : “Dibolehkannya berwasiat untuk ‘imaaroh kuburan para ulama dan solihin karena untuk menghidupkan ziaroh dan tabaaruk dengan kuburan tersebut”. Maka apakah ini merupakan bentuk kontradiksi?, padahal anda mengetahui bahwasanya wasiat tidak berlaku pada perkara yang dibenci. Jika anda mengatakan perkataan mereka berdua kontradiktif maka manakah yang roojih (*yang lebih kuat)?, dan jika anda mengatakan : “Tidak ada kontradikisi (*dalam perkataan mereka berdua)”, maka bagaimana mengkompromikan antara dua perkataan tersebut?  (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 2/17)
Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab :
الْمَنْقُولُ الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنْ بُنِيَ فيها هُدِمَ وَلَا فَرْقَ في ذلك بين قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ وما في الْخَادِمِ مِمَّا يُخَالِفُ ذلك ضَعِيفٌ لَا يُلْتَفَتُ إلَيْهِ وَكَمْ أَنْكَرَ الْعُلَمَاءُ على بَانِي قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَغَيْرِهَا وَكَفَى بِتَصْرِيحِهِمْ في كُتُبِهِمْ إنْكَارًا وَالْمُرَادُ بِالْمُسَبَّلَةِ كما قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ التي اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فيها أَمَّا الْمَوْقُوفَةُ وَالْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ إذْنِ مَالِكِهَا فَيَحْرُمُ الْبِنَاءُ فِيهِمَا مُطْلَقًا قَطْعًا إذَا تَقَرَّرَ ذلك فَالْمَقْبَرَةُ التي ذَكَرَهَا السَّائِلُ يَحْرُمُ الْبِنَاءُ فيها وَيُهْدَمُ ما بُنِيَ فيها وَإِنْ كان على صَالِحٍ أو عَالِمٍ فَاعْتَمِدْ ذلك وَلَا تَغْتَرَّ بِمَا يُخَالِفُهُ
“Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan -sebagaimana yang ditegaskan (*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (*Al-Majmuu’) syarh Al-Muhadzdzab- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum), maka jika dibangun di atas pekuburan tersebut maka dihancurkan, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan sholihin dan para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan pendapat yang terdapat di al-khoodim (*maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi, Khodim Ar-Rofi’i wa Ar-Roudhoh, wallahu a’lam) yang menyelisihi hal ini maka lemah dan tidak dipandang. Betapa sering para ulama mengingkari para pembangun kubah (*di kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu ‘anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan cukuplah penegasan para ulama (*tentang dibencinya membangun di atas kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran. Dan yang dimaksud dengan musabbalah –sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama yang lain- yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri pekuburan. Adapun pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya maka diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut secara mutlaq. Jika telah jelas hal ini maka pekuburan yang disebutkan oleh penanya maka diharamkan membangun di situ dan haurs dihancurkan apa yang telah dibangun, meskipun di atas (*kuburan) orang sholeh atau ulama. Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan dan jangan terpedaya dengan pendapat yang menyelisihinya. (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/17)
Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafii juga berkata :
وَوَجَبَ على وُلَاةِ الْأَمْرِ هَدْمُ الْأَبْنِيَةِ التي في الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ وَلَقَدْ أَفْتَى جَمَاعَةٌ من عُظَمَاءِ الشَّافِعِيَّةِ بِهَدْمِ قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَإِنْ صُرِفَ عليها أُلُوفٌ من الدَّنَانِيرِ لِكَوْنِهَا في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ وَهَذَا أَعْنِي الْبِنَاءَ في الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ مِمَّا عَمَّ وَطَمَّ ولم يَتَوَقَّهُ كَبِيرٌ وَلَا صَغِيرٌ فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan wajib atas para penguasa untuk menghancurkan bangunan-bangunan yang terdapat di pekuburan umum. Sekelompok ulama besar madzhab syafii telah berfatwa untuk menghancurkan kubah (*di kuburan) Imam As-Syafi’i radhiallahu ‘anhu, meskipun telah dikeluarkan biaya ribuan dinar (*untuk membangun kubah tersebut) karena kubah tersebut terdapat di pekuburan umum. Dan perkara ini –maksudku yaitu membangun di pekuburan umum- merupakan perkara yang telah merajalela dan tidak menghindar darinya baik orang besar maupun orang kecil” (al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/25)

Ibnu Hajar juga berkata

“Sebagaimana diisyaratkan riwayat (hadits) “Jika ada di antara mereka orang sholeh” Dari sini berkata para sahabat kami (*yaitu para ulama besar Syafi’iyah) : “Diharamkan sholat menghadap kuburan para nabi dan para wali untuk mencari barokah dan pengagungan“, mereka mensyaratkan dua perkara, yaitu: (1) kuburan orang yang diagungkan, (2) maksud dari sholat menghadapnya -dan yang menyerupainya sholat di atas kuburan- adalah mencari keberkahan dan pengagungan. Dan sangat jelas dari hadits-hadits yang telah disebutkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar sebagaimana engkau telah mengetahuinya. Dan seakan-akan Nabi mengkiaskan terhadap hal ini seluruh bentuk pengagungan terhadap kuburan, seperti menyalakan lentera di atas kuburan dalam rangka pengagungan atau untuk mencari keberkahan. ” (Az-Zawaajir ‘an Iqtirof al-Kabair 1/155)
Kesimpulan :

Pertama
: Para pemakmur kuburan yang banyak mengaku pengikut setia madzhab Asy-Syafii ternyata telah menyelisihi kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafii sebagaimana yang telah dinyatakan oleh An-Nawawi
Kedua : Jika ada diantara mereka yang mengatakan bahwa sebagian ulama syafiiyah membolehkan membangun di atas kuburan maka kita katakan :
-         Pendapat ini menyelisihi kesepakatan ulama besar syafiiyah
-         Pendapat ini bukanlah pendapat yang mu’tamad (yang jadi patokan) dalam madzhab syafii, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hajr Al-Haitami. Maka siapakah yang lebih paham dengan madzhab Asy-Syafii?, Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajr Al-Haitami ataukah para pemakmur kuburan dari tanah air kita sekarang ini??? Apalagi bahwa Az-Zarkasyi dengan tegas menyebutnya sebagai perbuatan orang Jahiliyah. Adakah yang lebih keras dari pernyataan Az-Zarkasyi ini?
-         Taruhlah dalam madzhab Asy-Syafi’i ada pendapat bolehnya membangun di atas kuburan, maka kita katakan bahwasanya kita diperintahkan untuk mengikuti dalil. Dan ulama tidaklah ada yang ma’shum (terbebas dari kesalahan). Allah telah memerintahkan kita jika terjadi perselisihan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Dalil-dalil yang ada berdasarkan hadits-hadits yang shahih yang jelas sejelas matahari di siang bolong telah melarang untuk beribadah di kuburan.
Allah telah memerintahkan kita jika terjadi perselisihan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa : 59)
Ketiga : Kenapa tidak sekalian saja mengatakan bahwa Imam As-Syafii dan Imam An- Nawawi dan Ibnu Hajr Al-Haitamiy (yang tidak setuju dengan hobi mereka memakmurkan dan mencari barokah dikuburan) juga adalah wahabi??!!,

Asy’ariyyah Bukan Ahlus-Sunnah

Asy’ariyyah adalah nama sebuah kelompok atau firqah ahli kalam yang menisbatkan diri kepada Abul-Hasan al-Asy’ari ketika menyatakan diri keluar dari kelompok Mu’tazilah.
Asy’ariyyah menjadikan hujjah-hujjah dan dalil-dalil akal serta ilmu kalam untuk membantah kelompok Mu’tazilah, kaum filosof dan kelompok lain yang menyelisihinya. Bantahan itu dilakukan ketika menetapkan hakikat agama dan akidah Islam, mengikuti pemikiran Ibnu Kullab.
Mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlus-Sunnah. Di negara kita sering disalah-pahamkan bahwa metode Asy’ariyah, sebagaimana Maturidiyah, adalah sama dengan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Mengenal Abu Hasan al-Asy’ari
Namanya adalah Abul-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, nashab-nya bersambung hingga Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.1 Lahir di kota Bashrah pada tahun 260 H2 dan wafat pada tahun 324 H di kota Baghdad –menurut pendapat yang benar3– serta dimakamkan di sana. Keyakinan dan pemikiran4 hidupnya mengalami tiga fase, yaitu:
Pertama, ia hidup di bawah asuhan dan bimbingan Abu Ali al-Juba’i –seorang tokoh dan guru kaum Mu’tazilah–, mengambil ilmu darinya dan menjadi wakil serta kepercayaannya. Sehingga dia menjadi seorang Mu’tazilah yang menyerukan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, yang mendahulukan akal daripada naql (nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits). Hal itu berlangsung selama kurun waktu 40 tahun.
Kedua, pada suatu ketika dia meneliti ulang tentang keyakinan dan pemikiran Mu’tazilahnya. Dan sempat menghilang dari tengah-tengah khalayak selama 15 hari, berdiam diri di rumahnya guna merenungi dan mengkaji ulang keyakinan dan pemikirannya, lalu beristikharah (meminta petunjuk) kepada Allah hingga ia mendapatkan ketenangan.
Setelah itu dia pun muncul kembali di tengah khalayak dan menyatakan bara’ah-nya (berlepas diri) dari Mu’tazilah, pemahaman yang sejak awal dipelajari dan diyakininya. Dalam hal ini dia menulis kitab al-Luma’ fir-Raddi ‘ala Ahliz-Zaighi wal-Bida’.
Namun setelah ia meniti jalan yang baru, dia kembali terperosok dalam penakwilan nash-nash sifat-sifat Allah yang dianggapnya sesuai dengan hukum akal. Dalam hal ini ia mengikuti jalan yang ditempuh oleh Abdullah bin Sa’id bin Kullab5 yang menetapkan tujuh “sifat dzat” bagi Allah dengan dalil akal, yaitu: sifat Hayat (hidup), sifat ‘Ilmu, sifat Iradah (keinginan), sifat Qudrah (kekuasaan/kemampuan), sifat Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan) dan sifat Kalam (berbicara).
Adapun sifat khabariyyah, seperti sifat Wajah, sifat Dua Tangan, sifat Telapak Kaki dan Betis6 maka ditakwilkan kepada makna yang menurutnya selaras dengan hukum akal. Sedangkan sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan masyi’ah (kehendak)7 ditolaknya (tidak menetapkannya).
Keyakinan dan pemikiran Abul-Hasan al-Asy’ari pada fase kedua inilah yang kemudian diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah sampai sekarang. Mereka “menyangka” bahwa inilah fase terakhir yang dialaminya.
Ketiga, yaitu fase di mana Abul-Hasan menemukan jalan Ahlus-Sunnah yang menetapkan semua sifat Allah tanpa tahrif8 dan tasybih/tamtsil9, serta tanpa takyif10 dan ta’thil11; mengikuti manhaj (jalan) yang ditempuh oleh Salafush-Shalih (generasi utama seperti Sahabat, Tabi’in dan Atba at-Tabi’in). Pada fase ini dia menulis beberapa kitab yang utamanya adalah kitab “al-Ibanah ‘An Ushulid-Diyanah.12”
Didalamnya dia menjelaskan bagaimana dia memilih akidah dan manhaj Salaf, serta menyatakan dirinya merujuk kepada Imam Ahlus-Sunnah, Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Dia menyatakan di kitab al-Ibanah tersebut (hal. 43);
“Pendapat dan agama yang kami pegang adalah berpegang kepada kitab Rabb kami (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi kami (Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang diriwayatkan oleh para sahabat, tabi’in dan para imam hadits; kami berpegang erat kepada itu semua.
Kami sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal –semoga Allah menjadikan wajahnya berseri, mengangkat derajatnya dan melimpahkan pahalanya–, dan kita menjauhi orang-orang yang menyelisihinya, karena dia adalah imam yang utama dan pemimpin yang sempurna; melaluinya Allah menjelaskan kebenaran disaat muncul kesesatan dan melaluinya pula Allah menjelaskan jalan yang terang, mengalahkan bid’ah-bid’ah, penyimpangan dan keraguan yang dilakukan oleh para pelakunya…”
Disamping itu dia juga telah menulis kitab “Maqalat al-Islamiyyin” dan “al-Risalah Ila Ahli al-Tsaghr.”
Namun demikian, karena telah begitu lamanya dia mendalami madzhab Mu’tazilah, sehingga menjadikannya tidak selamat dari beberapa kesalahan. Semoga Allah merahmati Beliau dan mengampuni segala kesalahannya.
Sebagian Pemikiran Asy’ariyyah yang Menyimpang dari Ahlus-Sunnah
Dalam banyak hal, pemikiran kelompok Asy’ariyyah menyepakati akidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, namun tidak sedikit pula yang menyelisihinya. Di antaranya yang terpenting adalah:
Pertama: Tentang Sifat-sifat Allah.
Kelompok Asy’ariyyah hanya menetapkan tujuh sifat dzat: Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, Kalam dan Hayat; berdasarkan dalil akal semata. Adapun sifat-sifat khabariyyah, mereka takwilkan; seperti sifat istiwa’ (tinggi di atas arsy-Nya) mereka takwilkan dengan istila’ (menguasai). Mereka juga menolak atau mentakwilkan sifat-sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan masyi’ah; seperti sifat Nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya)13 yang mereka takwilkan dengan nuzul-amrihi (turunnya keputusan Allah); sifat Tangan yang mereka takwilkan dengan qudrat atau nikmat dan lain-lain yang semisalnya. Menurut mereka, menetapkan sifat-sifat itu berdasarkan dzahir nash, berarti menjadikan Allah ber-jisim (tubuh) dan menyerupakan Allah dengan makhluk.
Ahlus-Sunnah menetapkan semua sifat Allah yang telah Allah tetapkan sendiri untuk-Nya dalam al-Qur’an dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam as-Sunnah tanpa tahrif, tasybih/tamtsil, takyif maupun ta’thil. Karena Allah telah menyatakan (yang artinya);
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11)
Dengan kaidah ayat ini, Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah yang sesuai dengan kekhususan keagungan dan kebesaran Allah yang tidak bisa diserupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Dan ini berlaku untuk semua sifat Allah, tidak berbeda antara sebagian sifat dengan sifat yang lain.
Karena menetapkan sebagian sifat Allah berarti mengharuskan untuk menetapkan sebagian sifat yang lainnya. Maka, jika mereka bisa menetapkan sebagian sifat, seperti Ilmu, Qudrat (kuasa/mampu), Iradat (keinginan/kehendak), Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Kalam dan Hayat, mengapa mereka tidak bisa menetapkan sifat-sifat yang lainnya –dengan alasan bahwa menetapkannya akan jatuh kepada menyerupakan Allah dengan makhluk.
Bukankah sifat-sifat yang mereka tetapkan seperti ilmu dan lainnya juga dinisbatkan pada makhluk? Maka berarti mereka sendiri telah jatuh pada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kalau mereka mengatakan bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut hanya layak bagi Allah yang tidak sama dengan yang dimiliki makhluk-Nya.
Maka mengapa mereka bisa mengatakan hal itu untuk sifat-sifat yang mereka tetapkan saja. Mengapa mereka tidak bisa mengatakan yang sama untuk sifat-sifat yang lainnya, dengan mengatakan bahwa menetapkan semua sifat-sifat Allah itu adalah hanya layak bagi Allah yang tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Jadi, dengan kaidah ayat diatas, bisa disimpulkan bahwa kesamaan lafazh sifat antara yang ada pada Allah dengan yang ada pada makhluk tidak mengharuskan kita menyerupakan hakikat antara sifat Allah dan sifat makhluk. Dan hakikat sifat-sifat Allah itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah sendiri. Wallahu a’lam.
Kedua: Tentang Perbuatan Hamba.
Kelompok Asy’ariyyah mengatakan bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah sekaligus merupakan usaha (kasb) hamba. Yang maksudnya bahwa qudrat (kemampuan) hamba tidak memiliki pengaruh terhadap perbuatannya –dengan berbagai bentuknya– yang muncul dari dirinya; karena Allah telah memberlakukan penciptaan perbuatan hamba tersebut bergandengan dengan qodrat-nya –dalam waktu yang bersamaan–, dan inilah yang mereka sebut sebagai kasb. Jadi, yang murni berpengaruh terhadap kemunculan perbuatan hamba adalah qodrat Allah, dalam arti bahwa hamba tidak memiliki ikhtiyar (pilihan). Pendapat mereka dalam masalah ini serupa dengan pendapat Jabriyyah (suatu kelompok dari kalangan Jahmiyyah).
Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, hal tersebut merupakan perkara yang mustahil dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karena jika hamba tidak memiliki ikhtiar (pilihan) atas perbuatan, maka apa yang mereka sebut sebagai kasb itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Dan perkataan tersebut menghasilkan konsekuensi bahwa kalau hamba tidak dikatakan sebagai pelaku perbuatan yang hakiki, maka berarti pelaku hakiki perbuatan tersebut adalah Allah. Padahal perbuatan tersebut melekat pada hamba dan tidak pada Allah.
Sehingga kalau hamba bukan pelakunya –padahal jelas ia yang melakukannya, maka bagaimana dikatakan bahwa Allah yang menjadi pelakunya? Karena kalau Allah pelakunya, maka hukum-hukum syari’at yang Allah tetapkan akan kembali kepada-Nya –termasuk balasan pahala dan siksa–, dan ini suatu hal yang mustahil. Allah Mahatinggi lagi Mahasuci dari hal ini. Jika demikian, apakah akan dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut tidak ada pelakunya?! Dan ini adalah bathil.
Sedangkan Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan (hamba) itu pelakunya yang hakiki adalah hamba itu sendiri dengan ikhtiarnya, namun hal itu termasuk di antara perkara yang telah ada catatan takdirnya dari Allah. Jadi hambalah yang betul-betul melakukannya, tetapi Allah yang menciptakannya, yang menciptakan qodrat, iradat dan sebab; yang dengannya hamba melakukan perbuatan.
Periksa kembali bantahan dan jawaban terhadap kelompok Jahmiyyah dalam masalah ini di majalah Fatawa edisi 05/II.
Catatan Kaki:
1. ^ Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah Amir bin Abu Musa ‘Abdullah bin Qais al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. al-Asy’ari adalah penisbatan kepada kabilah Asy’ar yang terkenal di Yaman. Asy’ar nama aslinya adalah Nabt bin Udad. (Tarikh Baghdad 11/346 oleh al-Khathib al-Baghdadi; dan Tabyin Kadzibil-Muftara 34-35 oleh Ibnu Asakir)
2. ^ Inilah yang benar sebagaimana dalam Tarikh Baghdad (11/346); lihat juga Muqaddimah Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari terhadap kitab al-Ibanah karya Abul-Hasan al-Asy’ari (hal. 5-6). Adapun yang tercantum dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah fil Adyan wal-Madzahib (1/87) yaitu tahun 270 H, barangkali merupakan kesalahan cetak, wallahu a’lam.
3. ^ Merupakan pendapat Ibnu Hazm sebagaimana dinukil oleh al-Khathib dalam Tarikh-nya (11/346); lihat juga Tabyin Kadzibil-Muftara (hal. 56) oleh Ibnu Asakir.
4. ^ Diantaranya dijelaskan oleh Syaikh Hammad al-Anshari dalam muqaddimahnya terhadap kitab al-Ibanah (hal. 8-12); Beliau nukilkan beberapa perkataan para ulama yang menetapkan tentang fase-fase kehidupan Abul-Hasan al-Asy’ari sehingga menjadi seorang yang berjalan di atas manhaj Salafush-Shalih.
5. ^ Kemudian dikenal dengan Ibnu Kullab dan pengikutnya disebut Kullabiyah.
6. ^ Sifat dzat Allah terbagi dua: pertama, yaitu sifat dzat khabariyyah (yang dari sisi lafazhnya digunakan untuk anggota-anggota tubuh makhluk, namun hakikatnya berbeda antara Allah dengan makhluk-Nya, karena kesamaan dalam lafazh tidak mesti harus sama hakikatnya) seperti sifat Wajah, Dua Tangan, Dua Mata dan lainnya. Kedua, sifat dzat maknawiyyah (selain dari sifat khabariyyah) seperti sifat Hayat (Hidup), Ilmu, Iradah (Keinginan) dan lainnya.
7. ^ Maksudnya adalah sifat-sifat fi’liyyah (perbuatan) yang terkait erat dengan kehendak-Nya. Sifat-sifat fi’liyyah ini terbagi dua pula, yaitu: pertama, sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan sebab yang ada pada hamba seperti Mencintai, Membenci, Ridha, Murka (marah) dan lainnya. Kedua, sifat fi’liyyah yang tidak terkait dengan sebab yang ada pada makhluk, seperti sifat Nuzul (turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam yang terakhir), Sifat Dhahik (Tertawa) dan lainnya. Yang kesemuanya berbeda hakikatnya dengan perbuatan-perbuatan makhluk, walaupun sama dalam lafazhnya.
8. ^ Tahrif yaitu menyimpangkan lafazh maupun makna dari nama atau sifat Allah kepada lafazh lain atau makna lain dengan tanpa dalil.
9. ^ Tasybih/tamtsil yaitu menyerupakan atau menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
10. ^ Takyif yaitu menetapkan suatu bentuk atau hakikat tertentu dari sifat-sifat Allah, padahal sifat-sifat Allah itu ghaib sebagaimana dzat-Nya.
11. ^ Ta’thil yaitu meniadakan atau mengingkari sebagian maupun keseluruhan dari sifat-sifat Allah.
12. ^ Sebagian orang menolak kebenaran penisbatan kitab ini kepada Abul-Hasan. Namun hal ini terbantah dengan apa yang ditetapkan oleh Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzibil-Muftara dan Ibnu Darbas dalam kitabnya adz-Dzabbu ‘An Abil-Hasan al-Asy’ari. Lihat disertasi magister yang ditulis oleh Khalid bin Abdul-Lathif bin Muhammad Nur dengan judul Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah wa Manhaj al-Asya’irah (1/32-39).
13. ^ Lihat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim no. 758.