TABAH MENGGENGGAM BARA API
__ TAUHID WAL JIHAD ___
PRO- T- IN ISLAM
KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID
Minggu, 02 September 2012
Apakah Suara Wanita Aurat?
Terkait dengan keberadaan wanita sebagai aurat, mungkin tersisa
pertanyaan di benak. Bagaimana dengan suara wanita, apakah termasuk
aurat? Lalu bagaimana dengan keberadaan sahabiyah dahulu yang berbicara
dengan Nabi n atau dengan para sahabat? Bagaimana pula keberadaan Ummul
Mukminin Aisyah atau wanita-wanita selainnya, yang mengajarkan ilmu dan
menyampaikan hadits Rasulullah & kepada para sahabat dan orang-orang
yang datang setelah generasi sahabat? Bukankah ini menunjukkan wanita
boleh berbicara dan memperdengarkan suaranya kepada lelaki ajnabi?
Al-Lajnah Ad-Da’imah dalam fatwa (no. 8567) pernah memberikan jawaban
tentang hal ini. Disebutkan bahwa suara wanita bukanlah aurat, tidak
haram bagi lelaki ajnabi untuk mendengarkannya terkecuali bila suara itu
diucapkan dengan mendayu-dayu, mendesah dan dilembut-lembutkan karena
yang seperti ini haram dilakukan si wanita di hadapan selain suaminya
dan haram bagi lelaki ajnabi mendengarkannya, berdasarkan firman Allah
l:
“Wahai istri-istri nabi, kalian tidak sama dengan
wanita-wanita yang lain, jika kalian bertakwa maka janganlah kalian
melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab:
32)
Dalam fatwa no. 5167, Al-Lajnah menyatakan wanita merupakan
tempat penunaian syahwat lelaki, maka kaum lelaki memiliki kecondongan
kepada wanita agar tertunai nafsu syahwatnya. Bila si wanita
mendayu-dayu dalam berbicara, tentunya fitnah akan semakin bertambah.
Karena itulah Allah Ta'ala memerintahkan kepada kaum mukminin, para
sahabat Rasulullah n, bila mereka meminta kebutuhan atau suatu barang
kepada wanita yang bukan mahramnya, hendaknya meminta dari balik hijab.
Tidak langsung bertemu wajah dengan si wanita. Allah l berfirman:
“Apabila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah
dari balik hijab/tabir, yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian
dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Allah l juga melarang para
wanita melembutkan suara mereka ketika berbicara dengan lelaki ajnabi
agar jangan sampai lelaki yang punya penyakit di hatinya berkeinginan
jelek terhadap si wanita.
Bila perintah ini dititahkan di zaman
Rasul n, dalam keadaan kaum mukminin kuat imannya dan mulia jiwanya,
lalu bagaimana dengan zaman ini, di mana iman semakin melemah dan
sedikit orang yang berpegang dengan agama? Karenanya, wajib bagimu wahai
wanita untuk tidak bercampur baur dengan lelaki ajnabi dan tidak
berbicara dengan mereka kecuali bila ada kebutuhan yang sifatnya darurat
dengan tidak mendayu-dayukan dan melembutkan suara, berdasarkan dalil
ayat yang telah disebutkan.
Dengan penjelasan ini tahulah
engkau, wahai wanita, bahwa semata-mata suara yang tidak disertai dengan
kelembutan dalam berbicara bukanlah aurat, karena dulunya para
wanita/sahabiyah berbicara dengan Nabi n dan bertanya kepada beliau
tentang perkara agama mereka. Demikian pula mereka mengajak bicara para
sahabat sehubungan dengan kebutuhan mereka dan Nabi n tidak mengingkari
perbuatan mereka tersebut. (dari kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil
Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta’, 17/202-204)
Sehubungan dengan
suara wanita ini, sangatlah disayangkan adanya sebagian orang yang
bermudah-mudahan dengan berdalih suara wanita bukan aurat. Sampai-sampai
ada guru lelaki yang mengajarkan Al-Qur’an kepada para wanita dengan
men-tasmi’, yaitu mendengarkan bacaan Al-Qur’an para wanita yang
diajarinya, guna membetulkannya bila ada kesalahan. Sementara kita semua
maklum bagaimana suara wanita yang membaca Al-Qur’an. Siapa yang bisa
menjamin wanita tersebut tidak melagukan suaranya saat melantunkan
ayat-ayat suci Al-Qur’an? Bila kondisinya seperti ini, bagaimana dengan
sang guru, apakah ia bisa menjamin hatinya akan selamat dari fitnah?
Ada pula guru lelaki yang berani mengajarkan percakapan bahasa Arab
(muhadatsah) kepada para wanita. Sementara, sebagai satu metode
pengajaran muhadatsah, sang guru mengajak bicara satu atau lebih murid
wanitanya untuk bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Mungkin sang guru
mengatakan, “Kaifa haluk?”
Muridnya menjawab, “Alhamdulillah ana bi khair, wa anta…?” Dan seterusnya.
Kita bisa membayangkan bagaimana nada suara murid wanita itu dalam percakapan tersebut! Wallahul musta’an.
Contoh di atas kita bawakan tidak lain sebagai nasihat dan peringatan
bagi diri pribadi dan saudara-saudara sekalian, agar kita semua tidak
menggampangkan permasalahan ini. Juga agar kita menjaga diri dari fitnah
dan memerhatikan keselamatan hati-hati kita. Karena, sebagaimana
perkataan hikmah dari ulama kita: Selamatnya hati tak dapat
ditandingi/dibandingkan dengan sesuatu pun.
Semoga Allah l memberi taufik kita kepada apa yang diridhai dan dicintai-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar