PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 10 Januari 2013

" MENGAPA PARA ULAMA TIDAK MENGKAFIRKAN KHALIFAH AL - MA'MUN ? "

"Mengapa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menganggap Khalifah Al-Ma'mun yang berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk sebagai orang kafir ?"

Syaikh Al Mujahid Abu Qatadah Al Filishtniy – fakkallohu asrahu- menjawabnya dengan jawaban sebagai berikut :

"Di antara syubhat orang-orang yang tak mau memvonis kafir pemerintah yang mengganti syariat Allah tidak membolehkan menentang dan melawan mereka dan bahkan membolehkan berbaiat kepadanya ialah perkataan mereka, "Sesungguhnya para ulama – yang salah satu tokoh utamanya adalah Imam Ahmad bin Hanbal- tidak memvonis kafir khalifah Al Ma'mun, dan tidak melancarkan pemberontakan untuk menggulingkannya meskipun ia berpendapat Al-Qur'an adalah makhluk serta berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat."

Kami jawab, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami, "Alasan di atas tak akan dikatakan, kecuali oleh orang-orang bodoh dan awam. Jika ia bukan orang bodoh, berarti orang yang mempermainkan agama Allah. Bagi yang mengerti realitas kita hari ini, mengetahui sebab kafirnya pemerintah saat ini, serta mengetahui sikap para Imam Ahlus Sunnah terhadap mereka yang salah dalam menakwilkan nash, akan memahami bahwa kondisi Khalifah Al Ma'mun tak bisa dibandingkan dengan realitas pemerintahan saat ini dari sisi mana pun. Sebab, terdapat perbedaan yang sangat besar antara mereka yang sengaja dan bermaksud untuk berpaling dan menolak hukum Islam dengan mereka yang berupaya mencari kebenaran, namun ternyata mereka terjerumus dalam pemahaman yang salah.
Sebagaimana dalam kasus Khalifah Al Ma'mun dan penerusnya yaitu Al Mu'tashim yang berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk juga kelompok Jahmiyyah yaitu mereka yang beranggapan bahwa Allah tidak memiliki sifat. Mereka ini dikategorikan sebagai orang-orang yang salah dalam mentakwil (mis interpretation).
Mazhab Ahlussunnah telah mempunyai sikap pendapat dan hukum yang pasti terhadap mereka yang salah dalam memahami dalil dan dalam mentakwil. Kita bisa mengatakan, bahwa ulama salaf telah bersepakat atas hukum mereka yang salah paham, meskipun terdapat perbedaan di kalangan ulama muta'akhirin yang datang kemudian.
التأويل: هو اعتقاد غير الدليل دليلاً، وصورته: أن يقول المرء قولاً أو يعتقد أمراً أو يفعل فعلاً وهو يظن أن هذا القول وهذا الفعل وهذا الاعتقاد هو الحق الذي جاء به الرسول r وهو في حقيقة الأمر وفي نفس الأمر ليس كذلك، فهو رجل يريد الحق ولا يُدركه، وهذا حال أهل البدع في أمّتنا فإِنهم يريدون الحق ولكنهم أخطأوه، والبدع قد تكون في العلْميات «كالبدع الاعتقادية» وقد تكون في العملِيات، وهؤلاء مع قولهم وفعلهم واعتقادهم المخالف للشريعة إلاّ أن قصدهم يعذرهم في نفس الأمر، ولهذا نهى الأئمة عن تكفير المتأوّلين، وقد كتب ابن حزم كتاباً في هذا ذكره في كتابه "إحكام الأحكام"،
Adapun definisi ta'wil ialah meyakini sebuah ayat atau hadits sebagai dalil, padahal ayat atau hadits tersebut sebenarnya bukanlah dalil dalam masalah yang dimaksudnya. Contohnya ialah saat seseorang berpendapat tentang sesuatu, meyakini sebuah keyakinan, atau melakukan suatu perbuatan yang dikiranya bahwa pendapat, keyakinan, atau perbuatan ini benar sebagaimana yang diajarkan Nabi, sementara pada hakikatnya hal itu tidaklah demikian. Ia ingin mencari kebenaran, tapi tidak mendapatkannya. Keadaan ini seperti yang terjadi dengan para ahlul bid'ah saat ini. Mereka sebenarnya ingin melakukan kebenaran, tapi mereka justru terjerumus dalam kesalahan. Dan bid'ah serta kekeliruan semacam ini, bisa terjadi dalam masalah keyakinan (I'tiqad/Aqidah) bisa juga dalam amaliyyah (perbuatan).
Adapun Khalifah Al-Ma'mun dan kaum Jahmiyah, meskipun keyakinan dan pendapat mereka menyimpang dari syari'ah, namun karena tujuan mereka adalah ingin mendapatkan yang haq, maka para ulama berpendapat bahwa kondisi mereka ini menjadi penghalang untuk mengkafirkan mereka. Oleh sebab itu, para ulama melarang kita memvonis kafir bagi mereka yang salah dalam mentakwil namun sejatinya mereka ingin mendapatkan yang haq.
Berkaitan dengan masalah ini pula, Ibnu Hazm telah menuliskannya dalam Ihkamul Ahkam.
Ini lah mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah. Berbeda dengan pendapat Khawarij dan Mu'tazilah yang memvonis kafir terhadap mereka yang tak sependapat dengan mazhabnya, sedangkan Ahlussunnah wal Jama'ah meskipun mereka tetap berkeyakinan ada di antara pendapat ahlul bid'ah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir seketika, tapi mereka tak langsung memvonis kafir setiap orang yang berpendapat demikian. Sebab, ada perbedaan besar antara vonis kafir terhadap perbuatan dengan vonis kafir pelaku perbuatan tersebut, dan perkara seperti ini sudah diketahui oleh para pelajar dan thalibul ilmi tingkat pemula sekali pun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
الأقوال التي يكفر قائلها، قد يكون الرجل لم تبلغه النصوص الموجبة لمعرفة الحق، وقد تكون عنده، ولم تثبت عنده، أو لم يتمكن من فهمها، وقد يكون قد عرضت له شبهات يعذره الله بها، فمن كان من المؤمنين مجتهداً في طلب الحق وأخطأ، فإن الله يغفرُ لهُ خطاياه كائناً من كان، سواءً كان في المسائل النظرية، أو العملية، هذا الذي عليه أصحاب النبي صلي الله عليه وسلم وجماهير أئمة الإسلام"
"Ada banyak ucapan yang bisa menyebabkan orang yang mengucapkannya menjadi kafir, namun bisa jadi si pengucap belum mengetahui dalil-dalil yang membuatnya bisa memahami kebenaran (bahwa ucapan itu dapat menyebabkan kekufuran –pent). Bisa jadi pula ia telah mengetahui, tetapi ia belum mengetahui tsubut (keabsahan) dalil itu ia belum memahami dalil tersebut dengan pemahaman yang benar. Bisa jadi pula karena ia mengalami kerancuan dalam memahami dalil tersebut, sehingga dimaafkan oleh Allah. Maka siapa saja dari orang mukmin yang mencari kebenaran, yang berijtihad dan bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran tapi ia terjatuh dalam kesalahan, Allah akan mengampuni semua kesalahannya siapa pun dia, baik dalam permasalahan pemahaman maupun permasalahan ibadah praktis. Demikianlah pendapat seluruh shahabat Nabi dan jumhur ulama kaum muslimin".
إلى أن قال: "كان الإمام أحمد -رحمه الله تعالى- يُكفرّ الجهمية المنكرين لأسماء الله وصفاته، لأن مناقضة أقوالهم لما جاء به الرسول r ظاهرةٌ بينة… لكن ما كان يُكفّرُ أعيانهم، فإن الذي يدعو إلى القول أعظم من الذي يقول به، والذي يُعاقب مخالفه أعظمُ من الذي يدعو فقط… ومع هذا فالذين كانوا من ولاة الأمور يقولون بقول الجهمية، ويدعون الناس إلى ذلك ويُعاقبونهم، ويُكفرون من لم يُجبهم، ومع هذا فالإمام أحمد -رحمه الله تعالى- ترحمّ عليهم، واستغفرَ لهم، لعلمه بأنهم لم يُبَيَّنُ لهم أنهم مكذبون للرسول r ولا جاحدون لما جاء به، ولكن تأولّوا فأخطئوا، وقلّدوا من قال لهم ذلك…"
Sampai dengan fatwa Syaikhul Islam :
"………….Imam Ahmad mengafirkan orang-orang Jahmiyah yang mengingkari nama dan sifat Allah karena pendapat mereka yang jelas-jelas menyalahi ajaran Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau tidak mengafirkan setiap individu yang berpendapat demikian. Sebab, orang yang mengajak orang lain hukumnya lebih berat dibandingkan dengan orang yang sekadar mengatakannya. Sementara itu, orang yang menghukum siapa yang tak mau mengikuti pendapatnya adalah lebih jahat dari mereka yang sekadar mengajak orang lain.
Pada waktu itu, para pejabat pemerintahan yang menganut pendapat kaum Jahmiyah menyeru manusia untuk menganut pendapat mereka serta menghukum dan memvonis kafir bagi yang tak mau mengikuti pendapat mereka. Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap berbuat baik dan memintakan ampunan kepada Allah bagi mereka. Sebab, beliau tahu pasti mereka tak sadar bahwa mereka mendustakan Nabi dan menentang ajarannya, tetapi hanya salah dalam memahami kebenaran dan mengikuti orang-orang yang berpendapat seperti itu…"
Beginilah sikap para ulama terhadap orang-orang yang salah dalam memahami dan mentakwil nash. Karena yang mereka inginkan sebenarnya kebenaran serta tak pernah bermaksud mendustakan Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam dan menentang ajarannya sehingga hal ini menjadi penghalang mereka untuk divonis kafir.
Berbeda dengan para penguasa di zaman modern ini, bagi mereka yang menggunakan bashiroh dan akal mereka pasti akan bisa menyimpulkan dan mengetahui bahwa para penguasa pada zaman kita saat ini secara sengaja memang ingin menyelisihi dan menentang syariat Islam. Bahkan, mereka mendeklarasikan dan menyatakannya secara terang-terangan di dalam undang-undang dan peraturan hukum mereka : bahwa kedaulatan adalah berada di tangan rakyat. Kedaulatan yang berupa kekuasaan tertinggi dan mutlak yang berhak menentukan hukum atas segala perbuatan dan tindakan serta segala sesuatu yang berkaitan dengan peri kehidupan manusia.
Padahal, yang demikian ini merupakan makna kata Ar-Rabb dalam Islam, yakni Yang Maha Berkuasa, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, dan Yang Berhak Menetapkan Hukum dan Undang-undang. Sikap merebut hak Allah dalam tahkim (mengatur dan menentukan hukum) ini adalah inti kekufuran, pokok utama penentangan terhadap Syari'ah Allah, serta bentuk nyata pengingkaran dan pembangkangan terhadap Syari'ah Allah.
Lantas, bagaimana mungkin orang-orang buta dan bodoh itu bisa menyamakan pemimpin yang meyakini hanya Allah saja yang berhak menentukan hukum, melarang dan memerintah, tetapi salah dalam memahaminya dengan pemerintah yang menolak mengakui hanya Allah yang berhak melarang dan memerintah, bahkan menyatakan dirinya sendiri lah yang berhak menentukan hukum memerintah dan melarang ? Apakah dua hal ini sama? Kita berlindung kepada Allah dari pengkhianatan terhadap Syari'ah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Oleh sebab itu, di antara yang menjadi ijma' (kesepakatan) para ulama kita ialah bahwa pembuatan dan penetapan undang-undang yang menyelisihi hukum Allah adalah perbuatan kufur. Hal ini sebagaimana dinyatakan Imam Asy Syathibi dalam Al I'tisham jilid. I hlm. 61:
"Para ulama telah bersepakat bahwa mengganti aturan Dienul Islam (syari'ah Islam) dengan hukum selainnya ialah perbuatan syirik dan kufur".
Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan, "Kapan saja seseorang menganggap halal sesuatu yang disepakati keharamannya atau mengharamkan sesuatu yang disepakati kehalalannya atau mengganti syariat yang telah disepakati para ulama, para ahli fikih bersepakat ia telah kafir dan murtad".
Lalu, apakah yang dilakukan para penguasa negeri-negeri umat Islam saat ini (menerapkan hukum selain hukum Allah) termasuk salah ta'wil (paham) ataukah memang mereka berniat menyingkirkan Al Qur'an dan As Sunnah serta memegang erat-erat aturan Barat dalam mengatur negara ? Siapa saja yang menyangka pemerintah yang mengganti syariat Islam sebenarnya berniat baik, yakni ingin menerapkan syariat Islam tetapi mereka salah memahaminya (sebagaimana Khalifah Al-Ma'mun—Penj), berarti ia telah berbohong tentang realitas pemerintahan tersebut dan membohongi dirinya sendiri.
Realitas dan fakta yang ada membantah dan menepis anggapan tersebut. Sebab, penyimpangan pemerintah yang mengganti syariat Islam dengan syariat lain bukanlah karena mereka salah memahami syariat Islam, tetapi karena mereka memang ingin menyelisih, melawan, dan menandingi syariat Allah.
Perkara ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dan terang. Namun, mereka secara terang-terangan justru menyatakan syariat Islam tidak masuk dalam urusan politik dan perundang-undangan. Di samping itu, mereka juga menganggap syariat Islam hanya mengatur hubungan antara hamba dan Rabbnya. Karena itu, orang-orang tersebut hendaknya takut kepada Allah dan tidak membohongi masyarakat atas nama agama."
Sampai di sini jawaban Syaikh. Kita memohon kepada Allah agar dirinya beserta ilmunya bisa bermanfaat bagi Islam serta kaum muslimin dan berkenan membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
Syaikh Abu Qatadah Al Filishtiny –fakkalloohu asrohu- menulis jawaban ini pada tanggal 14 Muharram 1418 H, 21 5 1997.
Source : abuizzudinalhazimi.wordpress.com

islam adalah sumber dari segala hukum..

Wajib diimani oleh setiap muslim bahwa Islam dan syariatnya adalah agama dan sumber hukum yang sempurna, lengkap, dan abadi. Tidak ada satu amalan atau aturan yang mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat melainkan telah dijelaskan di dalamnya. Tidak pula ada satu amalan pun yang membahayakan kehidupan mereka melainkan telah diperingatkan untuk ditinggalkan dan dijauhi, sebagaimana firman Allah l dalam surat al-Maidah ayat 3 di atas.Ayat ini mengandung berita tentang nikmat Allah l yang terbesar untuk umat Islam, yaitu ketika Allah l menjadikan agama yang mereka yakini sebagai agama yang sempurna, lengkap, dan menyeluruh sehingga umat Islam tidak lagi membutuhkan syariat dan sumber hukum selain yang telah diturunkan oleh Allah l untuk mengatur kehidupan mereka. Syariat Islam yang diturunkan oleh Allah l adalah syariat yang penuh dengan kebenaran pada seluruh berita yang dikandungnya. Syariat Islam juga merupakan syariat yang adil, universal, jujur, dan jauh dari kezaliman serta kepentingan tertentu pada seluruh hukum dan aturan yang diberlakukannya.Tidak ada satu pihak pun yang mampu menciptakan atau membuat aturan dan perundangan-undangan selengkap, sesempurna, seadil, dan sejujur syariat Islam yang diturunkan oleh Allah l. Hal ini sebagaimana firman-Nya:“Telah sempurnalah syariat Rabbmu (Al-Qur’an) sebagai syariat yang benar dan adil. Tidak ada satu pihak pun yang mampu mengubah syariat-syariat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-An’am: 115)“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42)“Sementara Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepada kalian dengan terperinci” (al-An’am: 114)Asy-Syaikh al-’Allamah ‘Abdurrahman as-Sa’di t berkata, “Maksudnya, (Al-Qur’an berfungsi) sebagai penjelas tentang hukum halal dan haram, serta berbagai hukum syariat. Demikian pula berbagai hukum agama ini, baik yang bersifat pokok maupun cabang. Tidak ada satu syariat dan hujjah pun yang lebih jelas dibandingkan dengannya. Tidak ada pula satu hukum pun yang lebih baik serta lebih lurus dibandingkan dengannya karena berbagai hukum dalam syariat Islam mengandung hikmah dan kasih sayang.” (Lihat kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 270)Begitu pula firman Allah l:“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)Sahabat Abdullah bin Mas’ud z berkata, “Segala ilmu dan segala sesuatu telah dijelaskan kepada kita di dalam Al-Qur’an.”Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Penjelasan Abdullah bin Mas’ud di atas bersifat lebih umum dan lebih universal, karena Al-Qur’an mencakup segala bentuk ilmu yang bermanfaat, baik dalam bentuk berita tentang berbagai kejadian yang telah lalu maupun ilmu tentang segala sesuatu yang akan datang. Al-Qur’an juga mengandung penjelasan tentang seluruh hukum yang halal dan haram serta penjelasan tentang segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam urusan dunia maupun agama mereka.” (Tafsir Ibni Katsir)Rasulullah n pun bersabda:إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun yang diutus sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjukkan umatnya kepada segala kebaikan yang dia ketahui untuk umat mereka. Wajib pula atasnya untuk memperingatkan umatnya dari segala kejelekan yang dia ketahui yang dapat membahayakan umatnya.” (HR. Muslim, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash c)Dikatakan kepada sahabat Salman al-Farisi z:قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ؟“Apakah benar bahwa Nabi kalian n telah mengajarkan segala sesuatu, sampai pun permasalahan buang hajat?”Beliau z pun mengatakan:أَجَلْ، لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ“Tentu. Sungguh Nabi kami telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar dan buang air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan, melarang beristinja’ menggunakan batu kurang dari tiga buah, dan melarang kami beristinja’ menggunakan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim, dari sahabat Salman al-Farisi z)Dari penjelasan singkat di atas, sudah barang tentu seorang muslim—yang benar-benar mencintai Islam sebagai agamanya, berserah diri kepada Sang Khaliq dan mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, sempurna, abadi dan diridhai oleh Allah—hanya akan berhukum dengan hukum Islam dan tidak akan rela selain hukum Islam sebagai dasar hukum bagi diri dan negaranya.
Mengamalkan Syariat Islam adalah Salah Satu Kewajiban Setiap Muslim yang Paling MendasarSyariat Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah l, Dzat Yang Mahaadil, Mahabijak, Maha Mengetahui semua makhluk ciptaan-Nya dan karakter mereka, serta Maha Mengetahui semua kepentingan dan kebutuhan mereka yang banyak dan beragam, baik pada masa lampau, sekarang, maupun yang akan datang, di bumi manapun mereka berada.Oleh karena itu, hukum yang diturunkan oleh Allah l berbeda dengan berbagai hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Manusia adalah makhluk yang sangat lemah. Ia membuat hukum dalam rangka melindungi kelemahannya. Ia juga sangat zalim sehingga dia membuat hukum dalam rangka mengambil hak dan menzalimi orang lain. Ditambah lagi, ia sangat jahil sehingga tidak mengetahui kemaslahatan dan kemadaratan yang hakiki untuk dirinya serta orang lain. Dalam Al-Qur’an, Allah l menyebutkan beberapa sifat asli manusia, antara lain:“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)Karena itu, sudah barang tentu sikap dan kebijakan yang diambil oleh manusia lebih didominasi oleh kebodohan dan kecenderungan untuk menzalimi. Allah l juga berfirman:“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (al-’Alaq: 6—7)“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalianlah yang sangat butuh kepada Allah, dan Dialah Allah yang Maha tidak butuh (kepada segala sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)“Dan manusia diciptakan dalam keadaan bersifat lemah.” (an-Nisa’: 28)Kedua ayat di atas menegaskan bahwa manusia itu sangat lemah, miskin, dan sangat membutuhkan pertolongan Allah l dalam mengatasi kelemahan dirinya. Termasuk dalam hal ini adalah kelemahan mereka dalam menentukan hukum yang mengatur kehidupan mereka. Maka dari itu, adalah suatu kepastian bahwa mereka sangat membutuhkan hukum dan aturan hidup dari Penciptanya Yang Maha Sempurna.Dalam ayat lain, Allah l berfirman:“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (al-Ma’arij: 19—21)Pada ayat di atas, dengan tegas Allah l menyebutkan bahwa manusia itu tidak pernah puas. Ia cenderung mengeluh ketika tertimpa musibah atau kekurangan. Di saat itu, dia akan meneriakkan kepentingannya. Namun, di saat mendapatkan keberuntungan, dia akan kikir dan enggan menolong pihak yang lemah. Dengan demikian, sudah tentu berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dibuatnya akan diwarnai oleh sifat-sifat asli tersebut.Manusia juga tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang sehingga berbagai hukum dan perundang-undangan yang dibuatnya harus mengalami peninjauan ulang dan berbagai pembenahan.Setelah kita mengetahui secara singkat sifat dasar dan karakter asli manusia, seseorang yang berakal jernih dan beriman dengan sebenar-benar iman tentu tidak akan pernah mau berhukum kepada hukum buatan manusia yang maha kurang dan maha lemah, kemudian ia meninggalkan hukum yang diturunkan oleh Allah l sebagai sumber hukum yang jauh dari segala kekurangan. Allah l berfirman:“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an dengan seksama? Sekiranya Al-Qur’an itu (turun) dari selain Allah, tentulah mereka akan mendapati pertentangan yang banyak padanya.” (an-Nisa’: 82)Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum dan syariat yang lengkap, sesuai, dan tidak ada pertentangan sedikit pun antara satu ketentuan dengan ketentuan yang lainnya. Adapun hukum-hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh selain Allah l penuh dengan kekurangan, ketidaksesuaian, dan pertentangan.Apakah dengan itu, kita masih akan berhukum kepada perundang-undangan buatan manusia, dan berpaling dari hukum yang diturunkan oleh Rabb semesta alam?Allah l berfirman:“Yaa siin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari rasul-rasul (yang diutus oleh Allah). (Yang berada) di atas jalan yang lurus. (Sebagai syariat) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (Yasin: 1—5)“Kitab (Al-Qur’an ini) diturunkan oleh Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (az-Zumar: 1)“Haa miim. Diturunkan kitab ini (Al-Qur’an) dari Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Ghafir: 1—2)“Haa Miim. Diturunkan dari Rabb yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Adalah sebuah kitab yang telah dijelaskan ayat-ayatnya secara rinci.” (Fushshilat: 1—3)Dari beberapa penjelasan di atas, menjadi sebuah kepastian bagi setiap pribadi muslim bahwa kewajiban beramal dan menegakkan syariat Islam, baik pada kehidupan pribadi maupun rumah tangga, bahkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, adalah salah satu pokok dasar Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.Dalil-dalil Penegas Kewajiban Menjadikan Hukum Allah l Sebagai Sumber HukumAgar kita semakin mengenal kedudukan syariat Islam serta kewajiban kita sebagai pemeluknya untuk memuliakan syariat Islam dan mengamalkannya, kali ini kami sajikan beberapa dalil syar’i yang menegaskan kewajiban berhukum kepada syariat Islam bagi pemeluknya. Kami harap tulisan ini semakin menggugah kemauan dan keinginan kita untuk menegakkannya pada diri, masyarakat, dan negara kita. Allah l berfirman:“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan sebagai tolok ukur kebenaran kitab-kitab sebelumnya, maka putuskanlah perkara mereka menurut ketentuan hukum yang diturunkan oleh Allah l dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (syariat) yang telah datang kepadamu.” (al-Maidah: 48)“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian syariat yang telah diturunkan Allah kepadamu, jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 49—50)Ayat-ayat di atas mengandung perintah tegas terhadap hamba-hamba Allah l untuk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah l dan mengamalkan syariat yang telah digariskan-Nya, sekaligus meninggalkan hawa nafsu dan ambisi mayoritas manusia yang dapat memalingkan diri kita dari upaya berhukum kepada hukum Allah l.Seorang mukmin yang mau memerhatikan ayat-ayat di atas dan bertafakkur dengan saksama, dia akan mengetahui bahwasanya Allah l menekankan kewajiban berhukum kepada syariat-Nya dengan beberapa bentuk penekanan. Di antaranya adalah:1. Kalimat perintah pada ayat:“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan oleh Allah.” (al-Maidah: 49)Kalimat perintah ini menunjukkan bahwa amalan tersebut wajib hukumnya. Apabila ditinggalkan, pelakunya berdosa.Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi perintah untuk berhukum kepada hukum yang diturunkan oleh Allah l banyak sekali, antara lain:“Ikutilah syariat yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Sungguh sangat sedikit kalian mengambil pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 3)Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, janganlah kalian keluar meninggalkan hukum-hukum yang dibawa oleh Rasulullah n menuju sumber hukum yang lain. Dengan begitu, kalian telah keluar dari hukum Allah l kepada hukum selainnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)Allah l juga berfirman:“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama ini), maka ikutilah syariat tersebut dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)
2. Larangan Allah l menjadikan hawa nafsu mayoritas manusia serta ambisi mereka dalam semua kondisi sebagai penghalang untuk kita berhukum kepada hukum Allah.Hal ini sebagaimana ayat ke-48 surat al-Maidah di atas:“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (syariat) yang telah datang kepadamu.”Kemudian pada ayat ke-49, kembali Allah l menegaskan:“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”Larangan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Allah l sengaja diulangi oleh Allah l dua kali karena sikap tersebut memang sangat berbahaya dan banyak memalingkan kaum mukminin dari berhukum dengan syariat Allah l kepada hukum-hukum jahiliah. (Lihat Taisirul Karimirrahman)
3. Peringatan keras dari Allah l agar berhati-hati dari sikap enggan berhukum kepada syariat-Nya, baik dalam urusan yang sedikit maupun banyak, dalam perkara yang kecil maupun besar.Hal ini sebagaimana firman-Nya:“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian syariat yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (al-Maidah: 49)
4. Sikap tidak mau berhukum dengan hukum Allah l serta kecenderungan menolaknya adalah dosa yang sangat besar, yang dapat mengundang azab yang pedih.Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh ayat ke-49 surat al-Maidah di atas:“Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.”Dalam ayat-Nya yang lain, Allah l juga mengancam:“Maka hendaklah waspada orang-orang yang menyelisihi perintahnya (syariat Rasulullah), akan menimpa kepada mereka fitnah atau azab yang pedih.” (an-Nur: 63)Ketika menjelaskan ayat di atas, al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Yakni orang-orang yang menyelisihi jalan, sistem, sunnah, dan syariat beliau n. Maka dari itu, seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan perbuatan beliau. Segala sesuatu yang sesuai dengannya, diterima. Adapun segala sesuatu yang menyelisihinya, ditolak, siapapun pengucap dan pelakunya. Hal ini sebagaimana hadits sahih yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain dan selain keduanya, bahwasanya Rasulullah n berkata:مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang bukan atas perintahku, amalan tersebut tertolak.”Oleh sebab itu, hendaklah waspada dan takut orang-orang yang menyelisihi syariat (hukum) Rasulullah n—baik penyelisihan secara batin maupun secara zahir— bahwa mereka akan tertimpa fitnah. Kalbu-kalbu mereka tertimpa fitnah kekufuran, kemunafikan, dan kebid’ahan, atau mereka aka tertimpa azab yang pedih di dunia ini, baik dalam bentuk pembunuhan, tindakan hukum pidana, atau penjara, dan yang semisalnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
5. Per-ingatan keras dari Allah l untuk tidak terpesona dengan mayoritas manusia yang berpaling dari hukum Allah l.Pada ayat ke-49 surat al-Maidah di atas, Allah l berfirman:“Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”Mereka digolongkan oleh Allah l sebagai orang-orang yang fasik karena enggan untuk berhukum dengan syariat dan perundang-undangan yang diturunkan oleh Allah l.Di zaman ini pun kita menyaksikan realitas yang disebutkan oleh Allah l itu, yaitu kebanyakan manusia—bahkan kaum muslimin sendiri—baik sebagai pribadi, masyarakat, ataupun pemerintah, enggan berhukum kepada syariat Allah l. Maka dari itu, janganlah kita tertipu dengan jumlah mayoritas sehingga kita ikut meninggalkan dan menanggalkan hukum Allah l.Allah l juga menyebutkan ayat semisal di atas, yaitu firman-Nya:“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
6. Allah l menjuluki berbagai hukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah l sebagai hukum jahiliah.Allah l berfirman:“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki.” (al-Maidah: 50)Al-Imam Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t—ketika menjelaskan tentang hukum jahiliah—berkata, “Yaitu semua jenis hukum yang menyelisihi syariat yang diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidak ada jenis hukum selain hukum Allah melainkan hukum jahiliah. Barang siapa yang berpaling dari jenis yang pertama (hukum Allah), pasti dia akan berhukum kepada jenis yang kedua (yaitu hukum jahiliah) yang ditegakkan di atas kejahilan, kezaliman, dan kesesatan. Oleh karena itu, Allah menisbatkan jenis hukum yang kedua ini sebagai hukum jahiliah, sedangkan hukum Allah adalah hukum yang ditegakkan di atas ilmu, keadilan, serta cahaya, dan petunjuk.” (Taisirul Karimirrahman)
7. Penegasan Allah l bahwa hukum yang diturunkan-Nya adalah hukum yang terbaik dan perundang-undangan yang paling adil serta paling sempurna.Hal ini sebagaimana firman-Nya pada ayat ke-50 surat al-Maidah di atas :“Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah.”Maka dari itu, adalah suatu kepastian bahwa tidak ada satu hukum pun di muka bumi ini yang lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan dengan hukum yang diturunkan Allah l. Jika demikian, sungguh tidak pantas apabila hamba-hamba Allah l yang mengklaim dirinya beriman kepada-Nya tidak mau dan enggan menjadikan hukum Allah l dan Rasul-Nya n sebagai rujukan dan sumber hukum yang dianut dalam kehidupannya. Tentu dia tidak akan pernah rela menjadikan hukum-hukum jahiliah sebagai sumber hukum yang mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya.
8. Seorang mukmin yang memiliki sifat yakin atas kebenaran Allah l dan Islam sebagai agama pasti akan mengetahui dan meyakini bahwasanya hukum perundang-undangan yang diturunkan oleh Allah l adalah hukum yang paling sempurna dan adil serta abadi. Bersamaan dengan itu, ia akan meyakini bahwa sikap tunduk dan patuh, rela dan berserah diri kepada hukum Allah l adalah suatu kewajiban yang pasti atas setiap muslim yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.Hal ini karena pada akhir ayat ke-50 surat al-Maidah di atas, Allah l menyatakan:“Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”Maksudnya, seseorang yang telah memiliki keyakinan sebenar-benarnya atas syariat Islam, pasti akan meyakini bahwa tidak ada hukum yang lebih baik, sempurna, dan adil dibandingkan dengan hukum Allah. Sebaliknya, orang yang masih meyakini adanya hukum buatan manusia yang lebih baik atau setara dengan syariat Islam yang diturunkan oleh Allah l kepada Nabi-Nya, sungguh dia tergolong orang yang kalbunya memiliki penyakit keraguan terhadap kebenaran Islam itu sendiri sebagai agama.Oleh sebab itu, Allah l mengulang berkali-kali perintah kepada seluruh hamba-Nya untuk berhukum kepada hukum dan syariat yang diturunkan-Nya, dan melarang mereka untuk berhukum kepada hukum dan perundang-undangan buatan manusia. Bahkan, Allah l menekankan dan menegaskan perintah tersebut dengan berbagai bentuk penegasan selain yang telah kami sebutkan di atas, antara lain:“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada hukum yang diturunkan kepadamu dan kepada hukum yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut tersebut, dan sesungguhnya syaithan sangat berambisi menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (an-Nisa’: 60)Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di t mendefinisikan thaghut dengan, “Semua pihak yang berhukum kepada selain syariat Allah l, itu adalah thaghut.”Al-Imam Ibnu Katsir t ketika menjelaskan tentang ayat ini berkata, “Ini adalah pengingkaran Allah l terhadap pihak-pihak yang mengklaim keimanan terhadap syariat yang diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya dan para nabi terdahulu, namun bersama itu dia masih berkeinginan untuk berhukum kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam menyelesaikan berbagai perselisihan.” (Tafsir Ibnu Katsir)Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat di atas adalah jangan sampai kita menjadi orang-orang yang mengklaim keimanan kepada syariat Allah l dan Rasul-Nya, namun dia masih berhukum kepada hukum-hukum jahiliah, baik hukum adat, hukum pidana dan perdata, maupun yang lainnya. Masih saja kita mengedepankan logika dan hawa nafsu untuk menjadikan hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia sebagai tandingan bagi hukum Allah l dan Rasul-Nya. Sungguh dengan itu, kita akan tergolong ke dalam orang-orang yang disesatkan oleh setan dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.Perhatikan dengan saksama ayat-ayat berikut ini dan mohonlah petunjuk kepada Allah l untuk bisa mengamalkannya.“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan hukum yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)Dalam ayat di atas:1. Allah l memulai perkataan-Nya dengan sumpah atas nama Dzat-Nya Yang Mahamulia. Ini menunjukkan bahwa permasalahan yang akan disebutkan-Nya adalah permasalahan besar.2. Allah l meniadakan keimanan seorang hamba kalau dia tidak mau berhukum kepada hukum Rasulullah n dalam semua urusannya.3. Allah l tidak menerima sikap tunduk kepada hukum Rasulullah n secara zahir saja. Bahkan, Allah l menuntut kepada hamba tersebut untuk menerimanya secara batin dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati.Demikian pula firman Allah l:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, masih akan ada bagi mereka pilihan hukum (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa mendurhakai (hukum) Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini bersifat umum meliputi semua urusan, yaitu jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah hukum, tak seorang pun yang boleh menyelisihinya. Tidak pula ada pilihan apapun baginya (selain hukum Allah). Tidak ada juga logika atau pendapat (lain yang boleh diikuti).” (Tafsir Ibnu Katsir)Untuk memperjelas beberapa keterangan di atas, berikut ini kita akan mengikuti dengan saksama fatwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, salah seorang ulama besar umat ini yang mengikuti jejak generasi as-salafush shalih.Dalam fatwanya beliau t berkata, “Wajib atas seluruh kaum muslimin untuk berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, Muhammad, dalam semua urusan, dan agar mereka tidak berhukum kepada berbagai ketetapan adat istiadat dan ketentuan-ketentuan suku (kabilah). Tidak pula kepada perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Allah l berfirman:“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku, kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (asy-Syura: 10)Kemudian beliau juga menyebutkan ayat ke-60 dalam surat an-Nisa’ di atas.Beliau melanjutkan, “Allah l juga berfirman:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)Berdasarkan hal itu, wajib atas setiap muslim untuk tunduk dan patuh kepada hukum Allah l dan Rasul-Nya n serta tidak mengedepankan selain hukum Allah l dan Rasul-Nya. Sebagaimana seluruh peribadatan hanya milik Allah l satu-satunya, demikian pula berhukum, wajib hanya kepada hukum Allah l satu-satunya. Ini sebagaimana firman l Allah:“Tidaklah (hak penentuan) hukum kecuali hanya milik Allah.” (Yusuf: 40)Dengan demikian, berhukum kepada selain Kitabullah dan selain Sunnah Rasulullah n termasuk jenis kemungkaran yang terbesar dan kemaksiatan yang terjelek. Bahkan, seseorang yang berhukum kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya n bisa menjadi kafir jika ia meyakini perbuatan berhukum kepada selain hukum Allah adalah halal (boleh), atau ia meyakini bahwasanya hukum selain hukum Allah l dan Rasul-Nya n adalah lebih baik. Allah l berfirman (kemudian beliau menyebutkan ayat ke-65 surat an-Nisa’1).Maka dari itu, tidak ada iman bagi siapa saja yang tidak berhukum kepada Allah l dan Rasul-Nya, baik dalam berbagai permasalahan pokok dalam agama ini maupun permasalahan cabang dan dalam berbagai jenis hak. Dengan demikian, barang siapa yang berhukum kepada selain hukum Allah l dan Rasul-Nya n sungguh dia telah berhukum kepada thaghut.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, 8/272)Pada kesempatan lain, ketika beliau ditanya tentang hadits:لَتُنْقَضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوًةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِيْ تَلِيْهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ“Sungguh pasti akan terlepas tali-tali pengikat Islam, ikatan demi ikatan. Pada saat terlepas satu ikatan, manusia pun bersegera untuk berpegang dengan ikatan yang berikutnya. Tali ikatan yang pertama kali terlepas adalah hukum, dan yang paling terakhir adalah shalat.”2Beliau t berkata, “Makna hadits ini sangatlah jelas, yaitu tentang sikap tidak berhukum pada syariat Allah l. Inilah realitas masa kini yang terjadi pada mayoritas negara yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Sudah menjadi suatu hal yang telah diketahui bahwasanya wajib atas semua pihak untuk berhukum kepada syariat Allah l pada semua urusan. Hendaknya setiap pribadi juga waspada dari sikap berhukum kepada perundang-undangan yang dibuat oleh manusia atau hukum-hukum adat yang menyelisihi syariat yang suci ini, dengan dalil firman Allah l (kemudian beliau menyebutkan ayat ke-65 surat an-Nisa’3 dan ayat ke-49 serta ke-50 surat al-Maidah4).”Kemudian beliau melanjutkan, “Juga ayat-ayat dalam surat al-Maidah berikut:“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah l, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah l, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 45)“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah l, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maidah: 47)Para ulama pun telah menjelaskan tentang kewajiban atas seluruh pemerintah kaum muslimin untuk berhukum kepada syariat Allah l dalam semua urusan kaum muslimin dan semua masalah yang mereka perselisihkan dalam rangka mengamalkan ayat-ayat yang mulia di atas.Para ulama tersebut juga menjelaskan bahwa seorang hakim yang memutuskan hukum dengan selain syariat yang diturunkan oleh Allah l, ia telah kafir dengan bentuk kekufuran yang mengeluarkannya dari agama Islam, jika ia meyakini bahwa perbuatan itu halal (boleh). Namun, apabila ia tidak meyakini hal itu sebagai perbuatan yang halal, dan ia berhukum kepada selain syariat Allah l hanya sebatas disebabkan oleh adanya suap atau kepentingan tertentu lainnya, ia juga tetap beriman bahwa berhukum kepada selain syariat Allah l adalah tidak boleh dan bahwa berhukum kepada syariat Allah l adalah wajib, dalam kondisi seperti ini dia menjadi kafir dengan jenis kufran ashghar (kekafiran kecil)5 dan menjadi zalim dengan jenis zhulman ashghar (kezaliman kecil) dan menjadi fasik dengan jenis fisqan ashghar (kefasikan kecil).Kami memohon kepada Allah l agar memberikan bimbingan kepada seluruh pemerintah muslimin untuk mau berhukum kepada syariat-Nya dan mengembalikan seluruh keputusan hukum kepada-Nya, sekaligus mengharuskan kepada masyarakatnya untuk berhukum kepada syariat Allah, dan agar mereka waspada dari sikap menyelisihi hukum Allah. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz 9/205)
 mudh-mudahan bermangfa'at.wallohu'alam

Bila dalam sebuah operasi jihad, seorang mujahid secara tidak sengaja membunuh seorang muslim, apa yang harus ia lakukan ?

Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ali
(ulama Kuwait)

Soal :
Jika kita melakukan peledakkan terhadap kaum kafir penjajah, dan secara tidak sengaja ada muslim yang terbunuh, apakah mujahid harus membayar diyat dan kafarah ?

Jawab :

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam teruntuk kepada Nabi kita, Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau.
Jika seorang mujahid sudah berhati-hati dalam melakukan peledakkan terhadap orang-orang kafir dan ia berusaha menjauhi semampunya terjadinya bahaya atas kaum muslimin, lalu dalam peledakkan tersebut terbunuh seorang muslim tanpa sengaja, maka ia termasuk dalam keumuman firman Allah Ta'ala :

فَإِنْ كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنُُ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
" Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mu'min."{QS. Al-Nisa' :92].

Al-Qur'an tidak menyebutkan diyat. Tidak wajibnya membayar diyat ini merupakan pendapat yang benar (kuat) menurut madzhab Hambali. Pendapat ini adalah pendapat yang paling benar berdasar dalilnya, juga merupakan pendapat yang paling hati-hati. Maka si mujahid hanya wajib membayar kafarah ; memerdekkan seorang budak mukminah. Jika ia tidak menemukan ---seperti kondisi zaman sekarang---, ia harus shaum (puasa) dua bulan berturut-turut, dan ia boleh menundanya sampai ia mampu melakukannya.
Mayoritas ulama madzhab Hanafi berpendapat, ia tidak wajib membayar diyat maupun kafarah. Mereka beralasan, jihad adalah sebuah kewajiban, sedangkan denda (garamat) tidak dikaitkan dengan sebuah kewajiban. Sebuah kewajiban adalah hal yang diperintahkan, mau tidak mau ---harus dikerjakan---, sedangkan sebab denda adalah sikap aniaya yang dilarang, dan antara keduanya (perintah dan larangan ini) jelas saling bertolak belakang. Mewajibkan denda akan menghalangi pelaksanaan sebuah kewajiban, karena mereka akan menolak melaksanakan kewajiban tersebut karena takut terkena denda. Maka, denda seharusnya tidak ada.
Para ulama madzhab Hanafi menyebutkan hal ini saat membicarakan masalah Tatarus (pagar betis), yaitu tatkala kaum muslimin menembak kaum kafir yang menjadikan sebagian kaum muslimin sebagai perisai hidup, sehingga berakibat sebagian kaum muslimin tersebut terbunuh. Maka dalam kasus kita ini, menurut madzhab mereka si mujahid lebih berhak untuk tidak terkena kafarah dan diyat.

Kesimpulan :
Si mujahid harus membayar kafarah jika ia tahu bahwa ada seorang muslim yang terbunuh dalam peledakan tersebut, namun ia tidak wajib membayar diyat.
Seyogyanya juga diketahui ---sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya---- bahwa siapapun yang bersama orang-orang kafir harbiyin, baik dari kalangan polisi maupun selainnya, yang berada dalam barisan mereka dengan (memberikan bantuan berupa) pendapat, ikut berperang atau bentuk bantuan apapun, maka hukumnya sama dengan hukum kaum kafir harbiyin tersebut. Darahnya sama dengan darah kafir harbi, boleh ditumpahkan. Hal ini bersama dalil-dalilnya telah berulang kali kami sebutkan sebelum ini. Jadi, jawaban saya (wajib membayar kafarah) adalah dalam kasus kaum muslimin yang terbunuh, sementara ia tidak berada dalam barisan kaum kafir harbi.

Wallahu A'lam bish Shawab.

Syaikh Hamid bin Abdullah Al-'Ali
Tanggal 3 Januari 2004 M

Sumber : www. Almaqdese.com

PENGGUNAAN KAIDAH SIAPA YANG TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG KAFIR MAKA DIA KAFIR "TANPA ADA RINCIAN"

Termasuk kesalahan yang umum dalam takfir adalah pengunaan kaidah “ siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir “ tanpa ada rincian. Sehingga penggunaan kaidah ini telah menyebar dan telah menggelembung dikalangan para syabab     ( pemuda ), sampai-sampai sebagian gulatal mukaffirah ( orang-orang yang ghuluw dalam hal takfir ) menjadikannya sebagai ashlud dien ( pokok dien ini ) dan syarat syah keislaman, yang mana islam menurut mereka bergantung padanya ( dalam hal ) ada dan tidaknya mereka mengikat al-wala’ dan al-bara’ di atas kaidah ini. Siapa yang menggunakan dan menerapkannya maka dialah muslim muwahhid yang mereka berikan loyalitas, dan siapa yang menyelisihi mereka dalam sebagian cabang-cabangnya maka mereka memusuhinya, bara’ darinya dan mereka kafirkan sampai-sampai mereka itu satu sama lain saling mengkafirkan…. Karena pasti ada saja sebagian dari mereka menyelisihinya dalam takfir sebagian manusia, sehingga sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain dengan sebab perselisihan ini.
            Kami di sini bertanya kepada mereka dengan pertanyaan yang intinya : bila penggunaan kaidah ini sesuai dengan cara kalian tanpa ada rincian adalah syarat syah keislaman, maka apakah orang yang dilahirkan dalam keadaan mengetahuinya atau wajib atas dia untuk mempelajarinya ?
Apabila mereka menjawab : dia dilahirkan dalam keadaan mengetahuinya
Maka mereka telah menyelisihi firman Allah SWT :

“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. ( An-Nahl : 78 )


Dan apabila mereka menjawab wajib mempelajarinya.
Maka  kami katakan “ kapan hal itu wajib atasnya, apakah setelah baligh atau sebelumnya ? mesti ada salah satu jawaban
Apabila mereka berkata : sebelum baligh
Maka mereka telah menyalahi penegasan hadist nabi saw  yang berbunyi bahwa :
“ pena diangkat dari tiga orang … ( diantaranya ) anak kecil sampai ihtilam ( baligh ).
Dan apabila mereka berkata : setelah baligh
Maka kami katakan kepada mereka berikan batasan buat kami, apakah wajib atasnya langsung setelah baligh atau ada tenggang waktu ?
Apabila mereka katakan : ada tenggang waktu
Maka mereka telah kontradiksi dan membolehkan keberadaan si anak setelah baligh nya di atas kekafiran sementara waktu yang tidak mereka ketahui batasnya, dan andai ia mati maka ia mati diatas kekafiran menurut mereka.
Dan apabila mereka berkata : langsung
Maka kami katakan : sesungguhnya kaidah ini termasuk masalah-masalah yang membutuhkan penelitian, pembahasan, mempelajari dan kajian terutama dalam kungkungan syubhat-syubhat dan talbis-talbis ( pengkaburan ) yang dilontarkan oleh syaikh-syaikh yang jahat, dan ini dengan sendirinya memerlukan sementara waktu meski beberapa jam, ini adalah kadar minimal perkiraan, sebab kalian sendiri tidak menganutnya kecuali seltelah tenggang waktu panjangnya pencarian, dan tidak ada yang mendebat dalam hal ini kecuali orang jahil lagi mu’anid, sehingga wajib menerima hal ini.
            Dan apabila kalian membolehkan kekafiran meskipun sebentar dalam rangka belajar, dan kalian harus menerima ini setelah kalian menjadikannya sebagai syarat keislaman, maka kalia telah membolehkan kuffur terhadap Allah SWT dan kalian telah menetapkan bahwa keislaman seseorang tidak syah setelah dia baligh sehingga dia kafir tehadap Allah, dan dengan hal itu jadilah kalian sebagai orang-orang kafir, dan kalu tidak menginginkan seperti ini maka tinggalkanlah sikap berlebih-lebihan ( mughalah ) dengan kaidah ini, dan marilah merujuk rincian ahlul ilmi dalam hal itu.
            Adapun kami, maka kami katakan : sesungguhnya kami walillahil hamd tidak mengacu dalam dien kami ini kecuali kepada syariat, sedangkan takfir sebagaimana yang telah lalu adalah hukum syar’iy yang tidak syah kecuali dengan dalil-dalil syar’iy yang qathiy dilalahnya, dan sebagaimana dikatakan oleh Abu Muhammad Ibnu Hazm bahwa orang yang menduga bahwa telah terjadi dari dien ini berdasarkan apa yang tidak pernah ada dari Rasulullah saw, maka dia pendusta bahkan kafir tanpa ada perbedaan.
            Dan termasuk hal mustahil lagi tidak mungkin terjadi menurut ahlul islam bahwa Rasulullah saw lalai dari menjelaskan kepada manusia sesuatu dari ashlul dien mereka atau dari sesuatu yang mana keislaman seseorang tidak syah kecuali dengannya, kemudian para sahabat setelahnya juga sepakat untuk melalaikan hal itu atau bersengaja untuk tidak menyebutkannya, sehingga tersadar kepadanya dan menunjukan kita akannya orang-orang celaka itu !!!
            Oleh karena itu, kami katakan bahwa setiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah atau sunnah Nabi-Nya saw adalah batil, dan setiap kaidah atau ashl ( pokok ) atau ucapan yang tidak bersandarkan pada dalil syar’iy adalah tertolak.
            Dan oleh karenanya wajib meninjau asal-asul kaidah ini dan dalil syar’iy apa yang dijadikan pijakannya sehingga kita bisa mengarahkannya dan mengetahui batasan-batasannya.
            Dan dahulu saya telah menelusuri kaidah ini tatkala bencana kekeliruannya telah merebak dikalangan sebagian syabab yang ngawur lagi lemah dalam hal ilmu syar’iy  dan saya menelitinya dalam ungkapan para ulama , untuk mengetahui siapa yang paling pertama dalam menggunakannya ? dan bagaiman para ulama berta’amul dengannya  serta terhadap apa mereka menerapkannya ?
Maka saya keluar dengan kesimpulan-kesimpulan ini :
Pertama  : Saya dapatkan pemakaian kaidah ini sudah lama, dan bukan sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang bahwa itu berasal dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang kemudian diikuti oleh Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab !! ya.. memang masyhur dari Syaikhul Islam penggunaannya, sehingga kepada beliau dan kepada Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mayoritas orang menggunakan kaidah ini menisbatkannya, namun telah mendahului mereka berdua dalam hal ini para imam yang masyhur lainnya, sebagiannya dari generasi pertama yang memiliki keutamaan…diantaranya :
  • Sufyan Ibnu Uyainah Amirul Mu’minin Fil Hadits  ( 198 H ), beliau rh berkata : “ Al-Qur’an adalah firman Allah ‘azza wa jala, siapa yang mengatakan ( ia ) adalah makhluk maka dia kafir, dan siap yang ragu akan kekafirannya maka dia kafir. “ Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Al-Imam Ahmad dalam As-Sunnah no . 25 dengan sanad shahih.
  • Dan begitu juga ucapan semacam ini dinukil dari Abi Khaitsamah Mush’ab Ibnu Sa’id Al Mushaifi sebagaiman dalam syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal jama’ah 2/256 no. 430 karya Al Hafidh Abu Al Qasim Hibatullah Al Lalikary 418 H.
  • Dan juga dari Abu Bakar Ibnu Ayyasy Al Mugri 194 H yang terpercaya lagi ahli ibadah, sungguh beliau telah ditanya sebagaiman dalam As Sunnah karya Al Lalikary 2/250 no 412 tentang orang yang mengatakan Al-Qur’an makhluk ? maka beliau berkata : “kafir dan siapa yang tidak mengatakan bahwa dia kafir maka dia kafir”, dan isnadnya shahih.
  • Dan begitu juga Salamah Ibnu Syabib An Naisaburiy ( 247 H ) ahli hadist Makkah. Ibnu Hajar berkata dalam At Tahdzib 2/303 : Daud Ibnu Husen Al Baihaqiy berkata : telah sampai berita kepadaku bahwa Al Hiwaniy1 berkata : saya tidak mengkafirkan orang yang bersikap tawaqquf tentang Al Qur,an, “Dawud berkata : maka saya bertanya kepada Salamah Ibnu Syabib tentang Al Hiwaniy, terus beliau menjawab : dilempar saya ke wc, siapa yang tidak bersaksi akan kekafiran orang kafir maka dia kafir. “ dan hal itu, dituturkan oleh Al Khatib Al Baghdadiy dalam tarikh Baghdad 7/365.
  • Dan juga Abu Zar’ah Ubaidullah Ibnu Abdil Karim Ar Raziy ( 264 H ) berkata : siapa yang mengklaim bahwa Al qur’an adalah makhluk, maka dia kafir kepada Allah yang maha agung dengan kekafiran yang mengeluarkan dari millah, dan siapa yang ragu akan kekafirannya dari kalangan orang yang memahami, maka dia kafir.
  • Dan seperti itu juga apa yang dikatakan oleh Abu Hatim Muhammad Ibnu Idris Ar Raziy ( 277 H ). Dan semua itu diriwayatkan oleh Al Lalikariy dalam As Sunnah 2/176.

Dan perhatikan ucapan mereka berdua : ( dari kalangan orang yang memahami ), karena sesungguhnya in adalah sangat penting, dan saya kan mengingatkan kamu dengannya nanti di depan….

Ungkapan-ungkapan ini adalah sesuatu yang paling lama saya dapatkan dalam ucapan para imam dan ulama seputar kaidah ini. Jadi kaidah ini bersumber dari tiga generasi utama ( umat ini ), dan bukan seperti apa yang dikatakan oleh sebagian kaum muta’akhirin bahwa kaiddah ini berasal dari ( istinbath ) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ya.. memang Syaikhul Islam, Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, putera-puteranya dan para imam dakwah Nadjiyyah telah menggunakannya, dan sebagian dari mereka sangat sering menggunakannya, sampai-sampai orang yang salah menggunakannya dari kalangan ghulah ( orang-orang yang ghuluw ) menisbatkan kaidah ini kepada mereka, akan tetapi ia bukan berasal dari ta-shil                   ( kesimpulan kaidah dasar ) atau buatan mereka, hendaklah ini diketahui.

Kedua :    Telah nampak bagi saya barulah ( diadakan ) pelacakan dan penelusuran terhadap ungkapan ahlul ilmi bahwa sesungguhnya mereka hanya menyebutkan kaidah itu dan menggunakannya untuk menguatkan penolakan beberapa macam tertentu dari kekafiran terhadap dien ini yang mana bahaya-bahaya fitnahnya telah bertebaran di zaman-zaman mereka, sebagai upaya untuk mencabut dari akarnya dengan cara tarhib dan tarfir ( membuat takut dan lari ) manusia darinya dan dari orang-orangnya. Sehingga itu tergolong dalam jenis nash-nash ancaman ( wa’id ) yang boleh dilontarkan namun wajib mempertimbangkan syarat-syarat dan mawani’ ( penghalang-penghalang ) disaat menerapkannya pada individu-individu ( mu’ayyan ), sebagaimana dalam fitnah khalqul qur’an, dan contoh-contoh yang lalu tergolong jenis ini.
                        Atau ( mereka gunakan kaidah ini ) dalam rangka taghlid (bersikap keras ) dan tahdzir dari sebagian macam-macam kekafiran yang nyata yang mana keengganan dari mengkafirkan pelakunya mengandung unsur  takdzib             ( pendustaan ) atau ‘inad ( pembangkangan ) yang nyata terhadap syariat. Perumpamaannya seperti tawaqquf dan keengganan dari mengkafirkan yahudi dan nasrani yang telah dikafirkan oleh Allah SWT dengan nash-nash yang mutawatir lagi diketahui secara pasti dalam dien kaum muslimin, dan diantara hal ini adalah contoh yang akan datang dari perkataan Syaikhul Islam tentang kelompok Al-Ittihadiyyah. 
Ketiga :   
                        Dan dari itu, sesungguhnya landasan kaidah ini dan dalilnya yang dijadikan pijakan dan acuan untuknya adalah firman Alah SWT :

                  “Dan tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang kafir”. (Al-Ankabut : 47 ).
                  Dan firman-Nya SWT   :
                  “Maka siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya ? bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir”. ( Az-Zumar : 32 ).
Dan dalil-dalil syar’iy lainnya yang menunjukan kafirnya orang-orang yang mendustakan sesuatu yang tsabit dari khabar-khabar dan hukum-hukum syariat. Dan oleh sebab itu, Al Qadli ‘Iyadl setelah menukil dalam Asy  Syifa 2/280-281 dari Al-Jahidh dan Tsumumah klaim mereka bahwa banyak dari kalangan rang-orang awam, para wanita, orang-orang dungu, kaum muqallidin yahudi dan nasrani serta yang lainnya, adalah tidak ada hujjah bagi Allah atas mereka, karena mereka tidak memiliki kepribadian yang memungkinkan mereka berdalil, Al Qadli berkata : ( dan Al Ghazali lebih cenderung/dekat pada pendapat ini dalam kitab At Tafriqah, sedangkan orang-orang yang mengatakan ini semuanya adalah kafir dengan dasar ijma’ atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan individu dari kalangan nasara dan yahudi serta setiap orang yang menyelisihi dienul islam, atau tawaqquf dalam pengkafiran mereka atau ragu. Al Qadhi Abu Bakar berkata : karena dalil dan ijma’ sepakat atas kekafiran mereka, dan siapa orangnya yang tawaqquf dalam hal itu maka dia telah mendustakan nash dan tauqif (dalil) atau ragu didalamnya, sedangkan takdzib ( pendustaan ) atau ragu di dalamnya tidak terjadi kecuali dari orang kafir.
Dan seperti itu pula, ucapan beliu 2/286 : ( “dan karenanya kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang yang memeluk selain agama kaum muslimin (islam) berupa agama-agama lain, atau tawaqquf tentang ( status ) mereka atau ragu atau membenarkan paham mereka2 meskipun dia setelah itu menampakkan keislaman, meyakini dan meyakini batilnya ajaran selain islam, maka dia kafir dengan sebab penampakannya apa yang dia tampakkan berupa sesuatu yang menyelisihi hal itu “).
            Dan isyarat beliau dengan ungkapannya “ dan karenanya “ adalah terhadap ucapannya sebelum itu : ( telah terjalin ijma atas kafirnya setiap orang yang menolak nash Al Kitab ), dan dikarenakan “ pendustaan dan pengingkaran itu tidak terjadi kecuali setelah mengetahui atau mengakui “,   maka menunjukan atas hal itu dalil-dalil pengkafiran orang-orang yang mendustakan itu sendiri, seperti firman Allah SWT :

“ Dan tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang kafir “( Al Ankabut : 47 ).
Sesungguhnya pengingkaran hanya disebutkan setelah datang dan sampainya ayat-ayat, dan begitu juga firman Allah SWT :

“ Maka siapakah yang lebih zalim dari pada orang-orang yang mebuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya ? bukankah di neraka jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang kafir ? ( Az Zumar : 32 )
Dan berkenaan dengan ini silahkan lihat Bada-lul Fawaid karya Ibnu Qayyim 4/118, maka diketahuilah dengan hal itu, bahwa hakikat dan tafsir kaidah ini adalah sebagai berikut :
“ Siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir yang telah sampai kepadanya nash Allah SWT yang qath’iy dilalahnya atas pengkafirannya dalam Al Qur’an atau telah tsabit      ( sah ) disisnya nash Rasulullah saw atas pengkafirannya dengan khabar (hadits) yang qath’iy dilalahnya dengan disertai terpenuhinya syarat-syarat takfir disisnya, maka dia telah mendustakan nash Al kitab atau As Sunnah yang tsabit, dan siapa yang mendustakan hal itu maka dia telah kafir berdasarkan ijma’.

            Ini adalah haakekat kaidah ini, dan ini pula tafsirnya, setelah dilakukan pengamatan terhadap dalil-dalilnya dan penelusuran penggunaan para ulama terhadapnya3.
            Dan selagi seseorang tidak menyatakan dan tidak mengakui pengetahuannya  akan nash yang mengkafirkan dan penolakan terhadap nash itu, maka tidaklah sah menyudutkannya dengan hal itu, dan kemudian dari sana mengkafirkannya dengan landasan kaidah ini. Karena masalah tersebut saat itu, berarti menjadi takfir dengan ilzam atau atau dengan apa yang ditimbulkan dengan keyakinan tersebut ( ma-aal ). Dan akan datang dalam kekeliruan takfir dengan ma-aal bahwa lazim suatu madzgab itu bukanlah madzhabnya, kecuali bila si shahabul madzhab itu  mengetahui akan kelaziman ( apa yang ditimbulkan ) madzhabnya, terus dia terang-terangan komitmen dengannya. Dan selagi dia jahil akan lazim madzhabnya atau lalai darinya, dia tidak merasakannya dan tidak memaksudkannya, maka itu tidak mengharuskan dia dan tidak boleh mengilzam dia dengannya tanpa ada dalil.
            Kecuali hal itu dalam kekafiran yang jelas nyata yang telah tetap dengan nash yang qath’iy lagi shahih dan sudah diketahui secara pasti dari dien kaum muslimin, seperti kafirnya orang-orang yahudi,nasara dan yang lainnya, atau orang-orang yang berada diatas millah selain millah islam atau orang-orang yang lebih buruk dari itu, sedangkan ia mengetahui keadaan mereka sehingga dimana orang yang enggan mengkafirkan mereka itu pada umumnya adalah bisa saja orang yang mendustakan atau orang yang ragu akan nash yang mana Allah mengkafirkan mereka dengannya, selagi dia tidak tunduk dan tidak mau berserah kepadanya, karena nash semacam itu tidak samar lagi termasuk atas orang-orang yahudi dan nasara sendiri, apalagi atas orang islam.
            Adapun orang-orang yang kekafirannya adalah kufur takwil, lalu orang enggan mengkafirkan mereka karena ada isykal sebagian dalil-dalil syariat disisinya, atau hal itu tergolong masalah-masalah yang mana orang jahil diudzur di dalamnya karena hal itu tidak bisa diketahui kecuali lewat jalan hujjah risaliyyah, atau dia menolak satu nash dari nash-nash syariat karena ketidaktahuan akannya atau tidak tsabit (shahih ) dalil itu disisinya, dan macam orang lainnya dari kalangan yang tidak boleh dikafirkan kecuali setelah penegakkan hujjah atas mereka, diberi tahu dan diberi penjelasan, maka tidak boleh menerapkan kaidah ini pada orang yang masih memiliki isykal dalam mengkafirkan mereka, atau tawaqquf di dalamnya atau enggan mengkafirkannya, selama orang-orang yang tidak mengkafirkan mereka itu tergolong  yang masih memiliki inti tauhid.
  • Oeh karena itu adalah termasuk kepahaman Al Imam Abu Ubaid Al Qasim Ibnu Salam ( 224 H ) dalam bab ini bahwa beliau berkata tentang Al Jahmiyyah :…”saya tidak melihat kaum yang lebih sesat dalam kekafirannya dari pada mereka, sesungguhnya saya menganggap bodoh orang yang tidak mengkafirkan mereka, kecuali orang yang tidak mengetahui kekafiran mereka. ( Dari fatawa Syaikhul Islam 12/272 ).
  • Dan dinisbatkan ungkapan yang hampir serupa terhadap Al-Imam Al-Bukhari      ( 256 H ) beliau berkata dalam Khalqul Af’ualil ‘Ibad hal 19 no 39 :….”saya telah mengamati ungkapan orang- orang yahudi, nasara dan majusi, sungguh saya tidak melihat yang lebih sesat dari kekafiran mereka dari padanya ( yaitu orang-orang jahmiyyah ), dan sesungguhnya saya menganggap bodoh orang yang tidak mengkafirkan mereka kecuali orang yang tidak mengetahui kekafiran mereka.
Perhatikan….: beliau tidak mengatakan….” Dan sesungguhnya saya                       ( mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan mereka ). Namun,  dengan semua ini beliau mengecualikan dari tajhil         ( penganggapan bodoh ) orang yang tidak mengkafirkan mereka karena tidak mengetahui kekafiran mereka.
  • Adapun Al Imam Ahmad sungguh telah ada darinya juga penggunaan  wa’id (ancaman) dengan kaidah ini dalam risalah yang beliau tulis sebagai jawaban atas risalah Musaddad Ibnu Masrahad Al Bashriy yang didalamnya dia bertanya kepada beliau tentang perselisihan dalam hal Qadar, Rafdl, I’tizal, khalqul Qur’an dan Irja, maka datang dalam jawaban beliau tentang Al-qur’an ucapannya :.. ia adalah kalamullah bukan makhluk, siapa yang mengatakan ( ia ) makhluk maka ia kafir tehadap Allah yang maha agung, dan siapa yang tidak mengkafirkannya maka ia kafir ( dari Thabaqas Al Hanabilah karya Abu Ya’la 1/315 ).

Dan Syaikhul Islam menuturkan darinya dalam Al Fatawa seputar hal itu dua riwayat dalam konteks penuturan madzhabnya dalam takfir ahlul ahwa dari kalangan Al Qadariyyah, Jahmiyah dan yang lainnya. Beliau menshahihkan didalamnya bahwa beliau tidak mengkafirkan dengan kaidah semacam ini, beliau berkata :..( dan darinya dalam pengkafiran orang yang tidak mengkafirkan ada dua riwayat, yang paling shahih dari keduanya adalah ( bahwa ) beliau tidak mengkafirkannya ), 12/260 cetakan Dar Ibnu Hazm. Dan sepertinya beliau menginginkan dengan hal itu tidak takfir orang-perorang yang tidak mengkafirkan Jahmiyyah dan yang sebangsa dengan mereka, bukan penggunaan ancaman dengan kaidah itu. Sungguh engkau sudah mengetahui pengunaan dan pemakaian Ahmad terhadap kaidah ini seperti yang telah diuraikan di atas.
Kemudian Syaikhul Islam berkata :…( Dan bisa jadi sebagian mereka menjadikan perbedaan dalam pengkafiran orang yang tidak mengkafirkan ini secara mutlaq, sedangkan ini adalah kekeliruan murni ). Seolah beliau mengisyaratkan akan pentingnya tafshil ( merinci ) dalam masalah ini, dan itulah yang menjadi hal yang pasti disisi kami setelah penelusuran kaidah ini sebagaimana yang akan engkau lihat.
Dan dikarenakan mayoritas orang yang saya dengar menggunakan kaidah ini dan berhujjah dengannya dari kalangan para pemula dalam thalabul ilmi atau orang-orang yang ghuluw ( dalam takfir ), mereka itu biasanya menisbatkan kaidah tersebut kepada Syaikhul Isalam Ibnu Taimiyyah atau Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, sedangkan sudah maklum bahwa mayoritas tulisan-tulisan Syaikh Muahammad Ibnu Abdul Wahhab, putera-puteranya, cucu-cucunya dan para pengikutnya dari kalangan para Imam dakwah najdiyyah rujukan mayoritas tulisan-tulisan mereka itu – terutama dalam masalah ini – adalah kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Oleh karena itu, saya akan mengambil contoh praktek dalam penjelasan kaidah ini dari pemakaian-pemakaian beliau terhadapnya, sebagaimana saya akan meminta bantuan dengan penjelasan sebagian penjabaran-penjabaran para cucu Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab terhadap ungkapan kakek mereka rahimahullah dalam masalah ini…. Mudah-mudahan hal itu memperjelas masalah ini dan menambahnya makin terang.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam Al Fatawa 2/83 saat beliau berbicara tentang Al Ittihadiyyah ahlul widatul wujud… siapa yang berkata : “sesungguhnya para penyembah berhala seandainya meninggalkan  ( ibadah  kepada ) berhala-berhala itu, tentulah mereka tidak mengetahui dari kebenaran ini seukuran apa yang mereka tinggalkan dari ( berhala ) itu. “Maka dia itu lebih kafir daripada yahudi dan nasara. dan siapa yang tidak mengkafirkan mereka maka dia itu lebih kafir dari pada yahudi dan nasara, karena sesungguhnya orang-orang yahudi dan nasara mengkafirkan para ‘ubbadul ashnam ( para penyembah berhala ), maka bagaimana menjadikan orang yang meninggalkan ibadatul ashnam sebagai orang yang tidak mengeahui dari kebenaran ini seukuran apa yang dia tinggalkan darinya ?”.
Sesungguhnya ahlu wihdatul wujud mengatakan – semoga Allah menghinakan mereka – bahwa segala sesuatu itu adalah Allah, jadi berhala menurut mereka termasuk Allah, siapa orang yang meninggalkan peribadatan terhadapnya maka ia telah meninggalkan sesuatu dari kebenaran dan dari peribadatan terhadap Allah….!!!
Oleh karena itu, Al Allamah Syarafuddin Abu Muhammad Ismail Ibnu Abi Bakar Al Muqri Al Yamaniy Asy Syafi’iy berkata dalam bantahannya terhadap ahlul hulul wal ittihad dan dalam penjelasan kekafiran Ibnu Arabiy yang tersebar dalam kitab fushushnya, dan itu dalam mandhumah ra’iyyah beliau yang diberi judul : Al Hujjah Ad Damighah li Rijal Al Fushush Az- Za-idhah”.
Ibnu Arabiy lancing didalamnya dan berani menetang Allah dalam ucapannya dengan segala kelancangannya dia berkata :
Bahwa Rabb dan hamba itu satu……………………..
Sehingga Rabbku adalah marbub tidak ada perbedaan…………………
Dia ingkari taklif karena si hamba baginya …………………………….
Adalah Tuhan dan hamba, ini adalah pengingkaran yang aniaya………
Dia berkata : Al Haq menyatu dalam setiap bentuk……………………
Dia menjelma di atasnya, maka dia salah satu fenomena……………….
Dan bukan hanya fir’aun saja yang dihukumi beriman…………………
Saat matinya, bahkan mencakup semua orang kafir……………………
Maka dustakan dia wahai saudara tentu engkau jadimukmin terbaik ….
Dan kalau tidak maka benarkan dia tentulah kamu jadi kafir terburuk…
Dia ( ibnu Arabiy ) memuji orang yang tak penuhi Nuh saat ia menyeru…
Untuk meninggalkan wadd atau suwa’ dan Nasr……………………….
Dia sebut bodoh orang yang mentaati perintahnya……………………..
Untuk meninggalkan ( berhala itu, sungguh ucapan si kafir yang terang-terangan….
Dan dia puji baik berhala-berhala itu dan ia tidak memandang………………..
Hamba baginya dari golongan yang membangkang perintah orang yang memerintah.

            Dan ini apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam tentang ucapan Al Ittihadiyyah, bahwa penyembah berhala seandainya mereka meninggalkan peribadatan terhadapnya tentulah mereka jahil dengan hal itu….. hingga ucapannya :
Bila kau katakan dien Ibnu Arabiy adalah dien kami……………..
Dan mengkafirkan dia adalah ( sama ) mengkafirkan kami, maka waspada…..
Saya katakan sungguh kau sekarang mengkafirkan diri sendiri…….
Dan kau yang menjerumuskannya dalam kebinasaan ……
Karena itu adalah dien ( diluar ) dien Muhammad ……………………
Dan kekafiran nyata yang jauh terjerumus dalam kesesatan…………..

            Ini adalah beberapa bait yang terpencar-pencar dari qashidahnya; dinukil dari syarh Nuriyya Ibnu Qayyim karya Ahmad Ibnu Isa 1/174 dan seterusnya. Sedangkan ucapannya ( Ibnu Arabiy ) ia adalah Ibnu Arabiy Ath Thaa’iy penulis fushushul Hukmi (638 H) ditulis di bait itu dengan pakai alif lam dan mad karena alasan dlarurat syair. Sedangkan dalam tiga bait terakhirnya adalah isyarat pada kaidah yang sedang kita bicarakan atau dekat darinya.
            Di dalamnya beliau telah menyebutkan kafirnya orang yang mengingkari pengkafiran Ibnu ‘Arabiy  dan menganut pahamnya… beliau menegaskan hal itu serta menyebutkan kaidah dalam hal itu di sebagian karya-karya tulis beliau, sebagaimana yang dikatakan Al Hafidh As Sakhawi dalam “Al Qoul Al Munbi ‘An Tarjamati Ibnul ‘Arabiy”, ( …..Dan Ibnul Muqriy telah berkata dalam bab Riddah dari kitab “Ar Raudl “ mukhtashar “ Ar Raudlah “; …..siapa yang bimbang dalam pengkafiran orang-orang yahudi, nasara, Ibnu ‘Arabiy dan kelompoknya maka dia kafir. Dinukil dari syarh Nuriyyah Ibnu Qayyim 1/166, dan Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menuturkannya dalam “Muf’idul Mustafid Fi Kufri Tarikat Tauhid “. Dan ini berdasarkan atas apa yang disebarkan oleh Ibnu ‘Arabiy dalam kitab-kitabnya berupa ucapan-ucapan yang keji dan kekafiran-kekafiran yang nyata. Kita memohon keselamatan dan ‘afiyah kepada Allah.
            Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telahmenyebutkan juga Ibnu ‘Arabiy dari banyak ulama….dan beliau berkata : inilah dan dia itu lebih dekat terhadap islam daripada Ibnu Sab’in dan daripada Al Qaunawiy At Tilimyaaniy dan orang-orang seperti dia dari kalangan pengikutnya. Bila saja yang paling dekat ( kepada islam ) ini adalah memiliki kekafiran yang lebih dahsyat dari kekafiran yahudi dan nasara, maka bagaimana gerangan dengan mereka yang lebih jauh dari islam ? sedangkan saya tidak menuturkan sepersepuluh dari kekafiran yang mereka sebutkan”. ( Majmu Fatawa 2/85 ). Adapun di atas ajaran apa Ibnu Arabiy ini meninggal dunia, maka sungguh dalam hal itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah bersikap tawaqquf dalam banyak tempat dalam fatawanya. Di dalam 2/284 beliau berkata setelah mengungkapkan kufur Al Ittihadiyyah….. ( Dan makna-makna ini seluruhnya adalah ucapan penulis Al Fushush, dan Allah ta’ala lebih mengetahui akan kondisi di atas apa orang ini mati ?? dan lihat juga hal serupa 2/93, cetakan Dar Ibnu Hazm.
            Perhatikan ucapan Syaikhul islam ini beserta ucapannya yang lalu tentang Ibnu ‘Arabiy, sesungguhnya itu mengenalkan padamu sikap wara’ para imam panutan dalam hukum takfir terutama saat ihtimal ( tidak jelas ) atau ketidakjelasan khatimah dan akhir usia.
            Dan kita kembali pada nukilan-nukilan kita darinya dalam kaidah “ orang yang tidak mengkafirkan orang kafir “. Dimana beliau berkata setelah menjelaskan bahwa orang-orang wahdatul wujud itu lebih buruk dalam ungkapan mereka bahwa segala sesuatu itu adalah Allah, dan lebih keji daripada orang-orang nasrani yang mengatakan bahwa Al masih saja dia adalah Allah….!! Maha suci Allah dari apa yang dikatakan orang-orang zalim itu.
            Beliau berkata :…( Dan oleh sebab itu, mengakui orang-orang yahudi dan nasara di atas apa yang mereka yakini, dan mereka menjadikan orang-orang yahudi dan nasara itu diatas kebenaran sebagaimana mereka menjadikan ‘ubbadul ashnam di atas kebenaran. Sedangkan masing-masing dari ( keyakinan-keyakinan ) ini adalah tergolong kekafiran terbesar. Siapa orangnya yang berbaik sangka terhadap mereka dan dia mengaku tidak mengetahui keadaan mereka, maka dia ( mesti ) diberitahu keadaan mereka, kemudian kalu dia tidak menyelisihi mereka dan tidak menampakkan pengingkaran terhadap mereka, dan kalau tidak maka dia digolongkan dengan mereka serta dijadikan bagian dari mereka. Adapun orang yang berkata : ..ungkapan mereka memiliki takwil yang selaras dengan syariat, “..maka sesungguhnya dia tergolong tokoh dan pimpinan mereka, karena sesungguhnya bila dia memang cerdik maka sungguh dia itu mengetahui kebohongan dirinya sendiri dalam apa yang dia katakan, dan bila dia meyakini hal ini secara bathin dan dzahir maka dia itu lebih kafir dari orang-orang nasara. orang yang tidak mengkafirkan mereka itu justeru menjadikan takwil bagi ucapan mereka itu, maka dia sangat jauh dari mengkafirkan orang-orang nasrani dengan sebab    ( ajaran ) trinitas dan ittihad ( penyatuan ) wallahu ‘alam, 2/86 cetakan Dar Ibnu Hazm.
Dan berkata juga: ( Dan ucapan-ucapan mereka itu lebih buruk dari ucapan-ucapan nasara, dan di dalamnya terdapat kontradiksi yang sejenis dengan apa yang ada dalam ungkapan-ungkapan nasara, dan oleh karenannya mereka berpendapat Al hulul dan terkadang Al Ittihad dan terkadang juga berpendapat Al Wihdah, sesungguhnya ia adalah madzhab yang kontradiksi dengan sendirinya, oleh karenanya mereka membuat pengkaburan ( talbis ) atas orang yang tidak memahaminya. Ini semuanya adalah kekafiran secara bathin dan dhahir dengan ijma setiap muslim, dan orang yang ragu akan kekafiran mereka setelah mengetahui pendapat mereka dan mengetahui dienul islam, maka dia kafir seperti orang yang ragu akan kekafiran yahudi, nashara dan kaum musyrikin, ( 2/223 ).
Berangkat dari contoh ini dengan ketiga tempatnya maka kita bias mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sesungguhnya Syaikhul Islam menggunakan kaidah ini dengan lafadz-lafadz yang berdekatan, terkadang global dan terkadang dengan rincian.
Beliau berkata :….(“ orang yang tidak mengkafirkan mereka maka dia lebih kafir dari yahudi dan nasara ).
Beliau berkata :….(“ siapa orang yang berbaik sangka terhadap mereka dan dia mengaku tidak mengetahui keadaan mereka, maka dia ( mesti ) diberi tahu keadaan mereka, kemudian kalau dia tidak menyelisihi mereka dan tidak menampakkan pengingkaran terhadap mereka, dan kalau tidak maka dia digolongkan dengan mereka serta dijadikan bagian dari mereka. Adapun orang yang berkata : …ungkapan mereka memiliki takwil yang selaras dengan syariat, maka sesungguhnya dia tergolong tokoh dan pimpinan mereka ).
Beliau berkata :…..(“ Dan orang yang ragu aka kekafiran mereka setelah mengetahui pendapat mereka dan mengetahui dienul islam, maka dia kafir seperti orang yang ragu akan kekafiran yahudi dan nasara ).

            Maka wajib menafsirkan apa yang global dari hal itu dan memahaminya sesuai dengan apa yang dirinci, karena perkataan sebagaimana yang nampak adalah tentang satu masalah dan satu kelompok.
  1. Sesungguhnya beliau menggunakan kaidah ini dalam kekafiran yang beliau sifati bahwa itu ( dhahir dengan ijma setiap muslim ) dan  ( masing-masing dari keyakinan-keyakinan itu tergolong kekafiran terbesar ) bahkan itu lebih kafir dari yahudi dan nashara dan ( lebih buruk dari ungkapan orang-orang nashara ), karena orang-orang nashara, mereka itu memegang aqidah hululullah dan penyatuan-Nya dengan sosok Al Masih, adapun mereka kaum hululiyyah al ittihadiyyah sungguh telah menjadikan wujud seluruhnya dengan benda matinya, hewan-hewannya, benda-benda kotornya, orang-orang kafirnya, dan orang-orang durjananya, adalah termasuk ( bagian ) dari zat Allah…Maha suci Allah dari apa yang dikatakan orang-orang dzalim itu. Dan oleh karenanya Syaikhul islam berkata : (…orang yang tidak mengkafirkan mereka maka ia sangat jauh dari mengkafirkan orang yahudi dan nashara dengan sebab trinitas dan ittihad ) dan ( orang yang ragu akan kekafiran mereka…adalah seperti orang yang ragu akan kekafiran yahudi dan nashara ).
  2. Kemudian, meskipin beliau menyebutkan bahwa kekafiran orang-orang tersebut dan ucapan-ucapan mereka itu lebih buruk dan lebih kafir dari kekafiran yahudi dan nashara, namun engaku melihat beliau tidak menerapkan kaidah ini kecuali dengan batasan penting yang wajib atas orang yang meggunakannya dan menisbastkannya pada beliau untuk menjaga dan memperhatikan batasan it, yaitu bahwa orang yang enggan mengkafirkan mereka itu adalah dari kalangan orang yang mengetahui keadaan mereka dan rincian pendapat-pendapat mereka yang kufur lagi keji.
Dan dari sini saya ingatkan engkau dengan ungkapan Abu Zar’ah dan Abu Hatim Ar Raziyan yang lalu dalam takfir orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, yang mana keduanya mensyaratkan sebelum mengkafirkan orang yang ragu akan kekafirannya, yaitu dia itu tergolong dari kalangan orang yang paham dan mengetahui kekafiran mereka. Sedangkan perkataan Syaikhul islam adalah sejalan dengan itu seperti yang engkau lihat mereka itu mengambil dari sumber yang sama.
Syaikhul islam berkata :….”Dan bila ( ia mengaku bahwa ia tidak mengetahui keadaan mereka, maka ia ( mesti ) dikasih tahu keadaan mereka ) dan itu sebelum menerapkan kaidah ini dan mengkafirkan (orang)nya, kemudian bila ia besikukuh ( di atas pendiriannya ) setelah itu, maka ia digolongkan dengan mereka….dan beliau berakata : ( siapa yang ragu akan   kekafiran mereka setelah mengetahui pendapat mereka dan ( setelah ) mengetahui dienul islam, maka dia kafir ). Disini beliau menambahkan dan mensyaratkan disamping mengetahui pendapat mereka juga harus mengetahui dienul islam. Sehingga keluar dengannya dari penggunaan-penggunaan beliau akan kaidah ini orang yang baru masuk islam atau orang yang semisalnya dari kalangan orang yang diuzur karena kejahilannya dengan sebab tidak adanya kesempatan untuk mencari tahu.
      Dan dalam uraian ini ada penjelasan yang cukup bahwa beliau tidak menerapkan kaidah ini – yang mana biasanya tidak digunakan kecuali pada kekafiran yang paling tampak – kecuali setelah penegakkan hujjah, pemberitahuan, dan penjelasan kebenaran, sehingga tidak dikafirkan lewat jalur kaidah ini kecuali orang yang mendustakan atau orang yang enggan dari menerima nash shahih yang qath’iy dilalahnya, dan oleh karena itu, beliau memberikan batasan ( dengan mengetahui dienul islam ). Dan dalam kekafiran nyata yang tidak ada iktimal, oleh karena itu, beliau memberi batasan yaitu ( mengetahui pendapat mereka ) yang keji yang mana ia lebih busuk dari pendapat-pendapat orang-orang nashara. Beliau telah mengudzur orang yang tidak mengkafirkan mereka disini karena dua kejahilan : (i) jahil dalil syar’iy dan; (ii) jahil akan realita4
Sesungguhnya si mufti atau orang yang berbicara atas nama tuhan semesta alam tidak mungkin mendapatkan hal itu dan tidak bisa mencapai kebenaran dengannya kecuali dengan cara dia menggabungkan antara dua pengetahuan atau dua Ilmu, mengetahui dalil atau hukum Allah dalam hal itu, dan ini adalah yang diisyaratkan dengan ungkapannya : (…mengetahu dienul islam…) dan mengetahui hakekat realita atau pendapat yang ditanyakan tentangnya, dan ini adalah yang diisyaratkan dengan ungkapannya (…mengetahui ucapan mereka..) serta ucapannya :  dan bila ( ia mengaku bahwa ia tidak mengetahui keadaan mereka, maka ia ( mesti ) diberi tahu tentang  keadaan mereka ). Dan kejahilan akan salah satu dari dua hal ini menghalangi dari tercapainya kebenaran dan merintangi dari berbicara atas nama Rabbul ‘alamin, karena saat itu si pembicara berbicara atas nama Allah tanpa ilmu.
Oleh karena itu beliau rahimahullah berkata di muqaddimah fatawanya tentang Tarta dan pasukan-pasukannya yang mengaku islam :..( Al hamdulillah rabbil ‘alamin, ya.. wajib memerangi mereka itu dengan ( landasan ) kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan kesepakatan imam kaum muslimin. Dan ini berlandaskan atas dua dasar :
  1.  Mengetahu keadaan mereka
2. Mengetahu hokum Allah terhadap orang seperti mereka
            Dan murid beliau Ibnu Qayyim rahimahullah berkata seraya menjelaskan hal itu dalam A’lamul Muwaqi’in 1/87-89 :..Mufti dan hakim tidak tidak memungkinkan dari berfatwa dan memutuskan dengan kebenaran kecuali dengan dua macam dari pemahaman :
Pertama  : Paham akan waqi’ ( realita ), memahaminya dan mengistimbath ilmu hakikat apa yang terjadi qarinah-qarinah, tanda-tanda, dan ciri-ciri sehingga ia menguasai ilmunya akan hal itu.
Kedua    : memahami apa yang waji ( diputuskan ) pada waqi’ tersebut, yaitu paham akan hokum Allah yang ia putuskan dengannya didalam kitab-Nya atau lewat lisan Rasul-Nya saw untuk waqi’ ini. Kemudian menerapkan salah satunya pada yang lainnya.
            Dan sebagai tambahan penjelasan dan penguat akan hal ini, saya nukilkan ke hadapan engkau pernyataan-pernyataan Syaikhul islam rahimahullah yang tegas tentang pengudzuran orang-orang yang jahil akan hakekat madzhab kaum al ittihaddiyyah itu dan sikapnya tidak menerapkan apa yang dikandung oleh kaidah ini berupa ancaman takfir, terhadap orang yang tidak mengkafirkan mereka dari kalangan orang-orang yang jahil, kecuali setelah penegakkan hujjah atas mereka,.. dan engkau sudah mengetahui bahwa yang dimaksud dengan penegakkan hujjah disini adalah …memberitahu mereka akan kekejian pendapat – pendapat al ittihadiyyah dan apa yang dikandungnya berupa kekafiran yang nyata, serta memberitahukan kepada mereka penentangan ( pendapat-pendapat ) itu terhadap dienul islam bila memang mereka itu tergolong orang yang tidak mengetahui hal itu, seperti orang yang baru masuk islam.
            Beliau rahimahullah berkata dalam Al Fatawa : (…ungkapan-ungkapan mereka itu dan yang serupa dengannya, bahwa bathinnya lebih dahsyat kekafiran dan ilhadnya daripada dhahirnya, karena sesungguhnya dhahirnya bisa saja dikira termasuk jenis ucapan para Syaikh yang arif ahlut tahqiq at tauhid, sedangkan bathinnya adalah lebih dasyat kekafiran, kedustaan dan kebodohannya daripada ucapan yahudi, nashara dan ‘ubbadul ashnam, maka setiap orang yang mengetahui bathin madzhab ini dan dia menyetujui mereka atas paham ini berarti dia telah menampakkan kekafiran dan ilhad. Adapun orang-orang yang jahil yang berbaik sangka terhadap ucapan mereka, tidak memahami mereka itu, dan meyakini bahwa ucapan itu tergolong jenis ucapan para Syaikh yang arif yang berbicara dengan perkataan yang benar yang tidak dipahami oleh banyak orang, maka mereka itu ( sungguh ) engkau mendapatkan pada ( diri ) mereka itu keislaman, keimanan dan mutaba’ah terhadap Al kitab dan As sunnah sesuai dengan iman mereka yang bersifat taqlid. Dan apabila engkau mendapatkan pada diri mereka       ( sikap ), iqrar ( pengakuan ) terhadap mereka itu dan sikap berbaik sangka terhadapnya serta sikap penerimaan terhadap mereka sesuai dengan kebodohan mereka itu. Sedangkan tidak terbayang ada yang memuji terhadap mereka itu kecuali orang kafir mulhid atau jahil yang sesat ).  2/222
            Dan berkata juga : (…Dan siapa yang berkata bahwa ucapan mereka itu mereka itu memiliki rahasia yang tersembunyi dan bathin kebenaran, serta itu tergolong haqaiq yang tidak diketahui kecuali oleh orang-orang khusus dari orang-orang khusus makhluk ini, maka ia itu salah satu dari dua orang, bisa jadi ia itu tergolong tokoh-tokoh zanadiqah ahlul ilhad wal mukal ( kafir ), dan bisa jadi ia itu tergolong kibar ahli jahli wadl dlalal. Adapun si zindiq maka wajib dibunuh sedangkan si jahil maka mesti diberi tahu hakekat masalah ini, kemudian bila dia bersikukuh di atas keyakinannya yang bathil ini  setelah tegaknya hujjah atas dia maka wajib dibunuh ) 2/230. Dan lihat juga yang hampir serupa 2/85.
            Dan begitulah bila engkau menelusuri penerapan para ulama terhadap kaidah ini maka pasti engkau mendapatkannya di atas jalur ini pada umumnya, dan berikut ini beberapa contoh yang ada disisi saya :
            Al Qadli Iyadl menukil dari Muhamad Ibnu Sahnun ucapannya : ( para ulama berijma bahwa orang yang menghina Nabi saw lagi meremehkan beliau adalah kafir, dan ancaman berlaku atasnya dengan berupa azab Allah baginya, serta vonisnya menurut umat ini adalah dibunuh, sedangkan orang yang ragu akan kekafirannya dan ( akan ) adzabnya adalah kafir ). Asy Syifa 2/215-216, dan Syaikhul islam menyebutkannya dalam Ash Sharim hal 4.
            Perhatikan ucapan tadi, tentu engkau melihatnya sejalan dengan yang telah kami utarakan lagi tidak keluar darinya. Menghina Nabi saw sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Ibnu Sahnun adalah kekafiran dengan ijma para ulama, dan syaikhul islam telah menukil ijma atas hal itu dihikayatkan oleh banyak ulama…lihat Al Masalah Al Ula hal 3 dst.
            Sebagaimana syaikhul islam menetapkan dalam Ash Sharim Al Maslul bahwa kemurtadan orang yang menghina Rasulullah saw adalah riddah mughalladhah dan zaidah ( berlipat ). Lihat hal 297 dan yang lainnya. Sesungguhnya dalam hinaan itu terkadang sikap menyakiti Allah, Rasul-Nya saw dan hamba-hamba-Nya yang mukmin, yang mana itu tidak ada dalam kekafiran dan muharabah ( lihat hal 294 dll ) dan hinaan itu lebih dasyat dari kekafiran dan kemusyrikan yahudi dan nashara yang dibiarkan di atas ajarannya di darul islam dengan syarat bayar jizyah, dan mereka ( yahudi dan nashara ) dan yang lainnya tidak dibiarkan atas hinaan terhadap Rasulullah saw sama sekali, Lihat hal 246 dst.
            Ada yang perlu diingatkan bahwa penuturan kaidah tersebut disini hanyalah dalam hinaan dan peremehan yang jelas, bukan dalam lontaran-lontaran yang masih ihtimal ( ada kemungkinan lain ) lagi tidak sharih, dengan dalil apa yang telah kami utarakan kepadamu dalam nukilan-nukilan yang lalu berupa sikap teliti para ulama dan diantaranya Al Qadli ‘Iyad pemilik nukilan di atas, dan sikap  hati-hati mereka serta perselisihan dalam pengkafiran orang yang muncul darinya ucapan yang ihtimal dalam hal ini, juga sikap perincian mereka sebelum melakukan pengkafiran dengan ungkapan-ungkapan yang  mengandung ihtimal dan pengamatan mereka akan tujuan,qarinah-qarinah dan ‘urf ( kebiasaan ). Semua itu dalam mengkafirkan pemilik ucapan yang masih ihtimal  !! maka apa gerangan dengan takfir orang yang tidak mengkafirkannya….?
            Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Fatawa 35/98 saat berbicara tentang kelompok Darwiz : ( kekafiran mereka itu termasuk hal yang tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin tentangnya, bahkan siapa yang ragu akan kekafiran mereka maka dia kafir seperti mereka, mereka itu tidak seperti ahlul kitab dan kaum musyrikin, namun mereka itulah orang-orang kafir yang sesat sehingga sembelian mereka itu tidak boleh dimakan…).
            Perhatikan bagaimana beliau menyebutkan sebelum penggunaan kaidah tersebut, bahwa kekafiran mereka itu termasuk hal yang tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin tentangnya, dan beliau menuturkan bahwa mereka itu tidak seperti ahli kitab, yaitu bahwa mereka itu lebih buruk dari ahli kitab. Sungguh beliau menyebutkan dalam bahasan itu bahwa mereka itu mempertuhankan ( al Hakim ) Al ‘Ubaidiy dan mereka menamakannya ( Al Bari ‘Allam ) dan bahwa mereka itu ( termasuk dari kalangan Qaramithan Bathiniyyah yang mana mereka itu lebih kafir daripada yahudi, nashara dan kaum musyrikin arab )”.
            Hal ini selaras dengan apa yang telah kami uraikan kepadamu…. Maka silahkan kiaskan kepadanya isya Allah engkau menggapai kebenaran. Belaiu berkata dalam As Sharim Al Maslul 586-587 dalam rincian bahasan tentang orang yang mencela para sahabat : ( Dan adapun orang yang menyertakan dengan celaannya             itu klaim bahwa Ali adalah Ilah ( tuhan ) atau bahwa ia adalah Nabi, dan hanya saja Jibril salah dalam menyampaikan risalah, maka ini tidak ada keraguan akan kekafirannya, bahkan tidak ada keraguan akan kekafiran orang yang tawaqquf dalam mengkafirkannya5
            Dan begitu juga orang yang mengklaim diantara mereka bahwa Al Qur’an kurang darinya beberapa ayat dan disembunyikan, atau mengkalim bahwa Al Qur’an itu memiliki pentakwilan-pentakwilan bathin yang menggugurkan amalan-amalan yang disyariatkan, dan yang lainnya, dan mereka itu dinamakan Al Qaramithah Al Bathiniyyah dan diantaranya At Tanasukiyyah, maka mereka itu tidak diperselisihkan akan kekafiran mereka.
            Dan adapun orang yang mencela mereka ( sahabat ) dengan celaan yang tidak mencoreng keadilan dan dien mereka, seperti menuduh sebagian mereka dengan tuduhan bakhil atau penakut atau kurang ilmu atau tidak zuhud dan tuduhan lainnya maka orang seperti inilah yang berhak untuk diberi pelajaran dan sangsi, dan kami tidak memvonis dia kafir dengan sekedar itu, dan atas inilah perkataan orang yang tidak mengkafirkan mereka dari kalangan ahlul ilmi ditafsirkan.
            Dan adapun orang yang melaknat dan mencerca begitu saja, maka ini masih ada perselisihan diantara para ulama karena perbuatan ini masih mengandung dua kemungkinan, yaitu antara laknat kebenciaan dan laknat keyakinan.
            Dan adapun orang yang melampui hal itu sampai ia mengklaim bahwa mereka itu ( sahabat ) murtad sepeninggal Rasulullah saw kecuali beberapa orang saja yang tidak sampai sekian belas orang atau atau bahwa mereka ( sahabat ) fasik seluruhnya, maka ini tidak diragukan lagi kekafirannya, karena dia telah mendustakan apa yang telah ditegaskan oleh Al Qur'an dalam banyak tempat berupa ridha ( Allah ) terhadap mereka dan pujian-pujian kepada mereka, bahkan orang yang ragu akan kekafiran orang semacam ini, maka kekafirannya adalah sudah pasti, karena sesungghnya kandungan6 pendapat ini bahwa para pembawa Al Kitab dan As Sunnah adalah orang-orang yang kafir atau fasik. Padahal Allah dalam ayat-Nya :


“kalian adalah sebaik-baiknya umat yang dikeluarkan untuk manusia”

Ini menunjukan bahwa umat terbaik adalah generasi pertama, kalau demikian halnya berdasarkan pengklaiman ( pendapat )mereka diatas berarti seluruhnya ( sahabat ) adalah orang-orang kafir atau fasik, dan juga kandungan pendapat ini menunjukan bahwa umat ini adalah umat paling buruk, serta para pendahulu umat ini adalah merekalah yang paling buruk. Dan kekafiran orang ( yang berpendapat seperti ini adalah tergolong sesuatu yang diketahui secara pasti dari dien Al Islam…) hingga beliau berkata: (…dan secara umum bahwa diantara golongan-golongan para pencela itu ada orang yang tidak ragu lagi akan kekafirannya, diantara mereka ada orang yang tidak ragu lagi akan kekafirannya, diantara mereka ada orang yang masih ngambang tentang statusnya…)
            Dan saya cukupkan dengan ini agar saya menyimpulkan apa yang telah lalu, maka saya katakan :
(...”sesungguhnya kaidah ini digunakan untuk menguatkan kekafiran yang nyata lagi jelas yang mana ia seperti kekafiran yahudi dan nashara atau bahkan lebih dasyat dan lebih jelas, sehingga orang yang enggan dari mengkafirkan mereka itu adalah seperti orang yang mendustakan nash syar’iy yang qath’iy dilalahnya, sedangkan orang seperti ini adalah kafir dengan dasar ijma”..)
            Dari sini engaku mengetahui rahasia dalam penyebutan ijma yang dilakukan oleh para ulama seperti Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan yang lainnya saat mereka menggunakan kaidah ini. Namun dengan semua ini, maka tidak boleh dikafirkan dengan jalan kaidah ini orang yang enggan mengkafirkan mereka dari kalangan kaum muslimin yang bodoh, kecuali setelah penegakkan hujjah atasnya dengan cara memberitahu ungkapan-ungkapan kufur mereka bila memang ia tegolong orang yang tidak mengetahui hal itu seperti yang baru masuk islam.
            Dan atas dasar ini sehingga mungkin dikatakan bahwa kaidah ini dengan apa yang dikandungnya berupa ancaman takfir bagi orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, statusnya adalah status seluruh nash-nash ancaman dalam penggunaan-penggunaan ulama. Mereka melontarkan ucapan begitu saja, dalam kaidah ini bila perkataannya perkataannya itu bersifat umum terhadap kelompok-kelompok, ajaran-ajaran, ungkapan-ungkapan dan keyakinan-keyakinan yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah, akan tetapi saat menerapkan kaidah ini terhadap orang-orang tertentu ( ta’yin ) maka harus melihat terpenuhinya syarat-syarat takfir dan tidak adanya mawani’. Sikap para ulama ini adalah sama dengan apa yang mereka lakukan dengan nash-nash wa’id ( ancaman ). Dan oleh karena itu, sangat penting sekali di sini saya mengingatkan dengan perkataan Syaikhul islam yang telah saya ketengahkan tentang pentingnya membedakan antara takfir muthlaq dengan takfir mu’ayyan, baik dalam memahami perkataan syar’iy atau saat mengambil dan menggunakan perkataan para imam, karena pentingnya menghubungkan hal itu dengan kaidah ini.
            Beliau rahimahullah : (..Dan hakekat masalahnya ; sesungguhnya mereka telah terlena dalam lafadz-lafadz umum ( yang ada ) dalam perkataan para imam sebagaimana orang-orang terdahulu terkena dalam lafadz-lafadz umum ( yang ada ) dalam nash-nash syar’iy, setiap kali mereka melihat, mereka berkata :..siapa yang mengatakan begini maka dia kafir. Maka si pnedengar meyakini  bahwa lafadz ini mencakup setiap orang yang mengatakannya, dan mereka tidak mentadaburi bahwa takfir itu memiliki syarat-syarat dan mawani’ yang terkadang tidak terpenuhi pada diri orang mu’ayyan. Dan sesungguhnya takfir muthlaq itu tidak memastikan takfir mu’ayyan kecuali bila syarat-syaratnya ada dan mawani’nya tidak ada. Hal ini dibuktikan bahwa Imam Ahmad dan seluruh para imam yang melontarkan ( kaidah  ) umum ini, mereka tidak mengkafirkan mayoritas oaring yang mengucapkan perkataan ini secara mu’ayyan, ( dari Al Fataawa).
            Maka dari itu tidak sah tesalsul ( sambung menyambung lagi merentetkannya ) yang dilakukan oleh banyak ahlul ghuluw pada kaidah ini. Bila saja orang-orang yang      ( paling terdahulu ) menggunakan kaidah ini tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan Al Ittihadiyyah dan yang lainnya secara mu’ayyan kecuali setelah penegakkan hujjah, maka apalagi lebih utama mereka itu tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan mereka …..dan begitulah seterusnya…sedangkan tesalsul yang sangat tercela ini digunakan oleh sebagian orang-orang ahlul ghuluw yang jahil terhadap orang-orang yang menyelisihi mereka dalam hal takfir juga hal-hal yang muktamat ( banyak kemungkinan ). Takfir dengan ma-aal, takfir dengan masalah-masalah khafiyyah dan yang lainnya yang tergolong masalah-masalah yang musykil. Dan engkau telah melihat syarat-syarat yang disebutkan oleh para ulama yang melontarkan kaidah ini dalam kekafiran yang seperti kekafiran yahudi dan nashara atau lebih dasyat… bila saja sikap keras ini dan kehati-hatian dari mereka dalam awal rentetan dan dasarnya, maka tidak ragu lagi bahwa sikap keras dan keahati-hatian mereka akan lebih dasyat dan lebih besar dalam takfir orang yang datang setelahnya dari kalangan orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan mereka dan orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan mereka !!! hinga akhir apa yang direntetkan oleh para ghulah dan tidak ragu lagi bahwa ini lebih sulit dan lebih sulit, akan tetapi kalau itu disertai hawa nafsu adalah lebih mudah.
            Dan setelah itu, bila engkau telah memahami apa yang telah lalu maka pastilah menjadi sesuatu yang engkau ketahui bahwa tidaklah masuk akal setelah ini semua penggunaan kaidah ini dan penerapannya terhadap orang yang enggan mengkafirkan sebagian orang-orang yang mengaku islam dari kalangan yang telah tegak disisnya untuk mengkafirkan mereka, sebagian dalil-dalil yang bertentangan dia duga sebagai mawani’ (pengahlang-penghalang) takfir atau syubhat-syubhat yang merintangi dia dari memahami sebagian nash-nash. Sebagai contoh misalnya seperti orang yang meninggalkan shalat, sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkannya meskipun dia itu keliru akan tetapi dia tidak megingkari dalil-dalil yang shahih yang menghukumi kafir tarikush shalah, justeru dia mengimaminya dan membenarkannya, namun dia mentakwilkannya dengan syirik ashgar atau menghususkannya bagi orang yang mengingkari ( wajibnya ) shalat bukan sekedar meninggalkan karena malas, karena adanya pertentangan dhahir sebagian nash-nash yang lain bersamanya, seperti hadits “….lima shalat yang Allah wajibkan atas hamba-hambanya…..” dan di dalamnya ada sabdanya : …Dan siapa yang tidak mendatangkannya maka dia tiak memiliki jaminan disisi Allah, bila Dia menghendakinya maka Dia mengazabnya dan bila Dia menghendakinya maka Dia mengampuninya….”diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An Nasai dan lainnya, serta dalil-dalil lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh mereka, dan ulama yang berpendapat seperti ini banyak, diantaranya adalah imam-imam masyhur seperti Malik, Asy Safi’iy dan yang lainnya yang tidak mengkafirkan tarikhush shalah karena malas…dan kami tidak pernah mendengar seorangpun dari kalangan yang menyelisihi mereka, yang menyatakan kafirnya tarikhush shalah, seperti imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, Abdullah Ibnu Mubarak, Ishaq Ibnu Rahwiyah dan yang lainnya, ( tidak pernah kami dengar ) mereka mengakfirkan ulama-ulama tadi atau menerpkan kaidah ( siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir ) terhadap mereka, apalagi dari merentetkannya terus mereka mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan mareka !!! dan begitu juga perselisihan mereka dalam rukun-rukun islam yang sesudahnya.
            Dan seperti hal ini adalah perselisihan para sahabat tentang Ibnu Shayad, apakah ia dajjal atau bukan, padahal sesungguhnya dajjal itu tiadak ada yang ragu lagi akan kekafirannya, namun demikian para sahabat satu sama lain tidak saling mengkafirkan.
            Dan sebagian ulama memasukan dalam hal ini apa yang Allah sebutkan berupa perselisihan para sahabat tentang sekelompok orang dari kalangan munafikin. Allah swt berfirman :



“Maka mengapa kamu ( terpecah ) menjadi dua golongan dalam ( menghadapi ) orang-orang munafik, padahal Allah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah ? barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan ( untuk memberi petunjuk ) kamu. ( An-Nisa : 88 ).”

            Namun demikian salah satu golongan tidak mengkafirkan golongan lainyang menyelisihi mereka dalam hal orang-orang munafik itu.
            Dan diantaranya juga tawaqquf Umar Al Faruk tentang status orang-orang yang menolak bayar zakat tatkala Ash Shiddik berazam untuk memerangi mereka – dan akan datang – sungguh masalah ini telah menjadi syikal atas Umar radiallahu anhu dikarenakan mereka itu mengucapkan laa ilaaha ilallah. Namun demikian, Ash Shiddiq tidak mengkafirkannya, dan justeru beliau membuka syubhat itu dan menjelaskan kebenaran terhadap Umar, dan tidak boleh dikatakan bahwa kasus ini tidak boleh dituturkan disini, karena yang menjadi ;syikal Umar itu hanyalah upaya memerangi mereka bukan takfirnya. Dan itu dikarnakan setiap orang yang mengetahui bahwa qital yang diserukan oleh Ash Shiddiq dan sikap beliau terhadap mereka adalah qital riddah     ( murtad ) bukan qital bughat atau yang lainnya, dan inilah yang menjadi isykal bagi Umar radiallahu anhu.
            Dan seperti ini pula adalah perselisihan salaf dalam takfir sebagian orang-orang zalim dan thagut dari kalangan penguasa atau lainnya, seperti perselisihan mereka tentang Al Hajaj, itu sangat terkenal. Mayoritas salaf tidak mengkafirkannya dan mereka shalat bermakmum dibelakangnya, dan telah sah dari sebagian mereka tentang pengkafirannya, diantaranya :
Said Ibnu Jabar, dikatakan kepadanya :”…engaku keluar menentang Al Hajjaj ? beliau berkata :…sesungguhnya saya demi Allah tidak keluar menentangnya sehingga dia kafir !
Mujahid belaiu ditanya tentang dia ( Al Hajjaj ), maka beliau berkata…kamu bertanya kepada saya tentang orang tua yang kafir ?
Ibnu Asaker meriwayatkan dari Asy Sya’biy bahwa beliau berkata Al Hajjaj itu mukmin kepada jibt dan thaghut lagi kafir kepada Allah yang maha agung, bahkan;
Ibrahim An Nakh’iy sampai-sampai mengatakan …cukuplah orang itu  dianggap buta bila dia buta tentang status Al Hajaj.
            Namun demikian beliau dan lainnya dari kalangan yang telah megkafirkan Al Hajjaj tidak pernah memvonis seorangpun secara ta’yin dari kalangan yang menyelisihi mereka dalam hal itu, mereka hanya mengatakan cukuplah dianggap buta bila ia buta tentang status Al Hajjaj. Apalagi mereka menggunakan baginya kaidah ( siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka ia kafir ) terus mereka merentetkan dengannya. Bahkan telah sah dari Thawas bahwa ia berkata :…sungguh mengherankan saudara-saudara kita dari penduduk irak ini, mereka menamakan Al Hajjaj mukmin ….?6
            Perhatikan bagaimana beliau menyebut mereka sebagai saudara-saudaranya, dan ini memang kebenaran yang tidak ada keraguan didalamnya ….karena ahlul ilmi yang tawaqquf dari megkafirkannya, dia hanya tawaqquf karena menghukumi dia dengan hukum asal tauhid yang dia pegang ….dan belum sampai kepadanya kekafiran nyata darinya. Jadi dia mujtahid dalam hal itu, dia tidak mendustakan satu nashpun dari nash-nash syar’iy, hal ini apabila Thawus memaksudkan takfir Al Hajjaj dengannya.
            Adapun bila beliau memaksudkan apa yang disebutkan Adz Dzahabi dalam siyar A’lam An Nubala 5/44 setelah beliau menuturkan ungkapan Thawus ini, dimana beliau berkata :…( mengisyaratkan pada kaum murji’ah dari mereka, yang mengatakan : ..dia mukmin sempurna imannya padahal dia durjana, penumpah darah dan suka mencela sahabat)”.
            Beliau maksudkan dengan hal itu, adalah murji’ah fuqaha yang tidak dikafirkan oleh salaf karena sekedar kekeliruan mereka dalam definisi iman yang mana tidak memasukan amalan dalam iman, sesungguhnya mereka meskipun memandang orang fasik lagi fajir ini sebagai mukmin sempurna imannya, dan dosa-dosanya tidak mengurangi imannya, sedangkan ini adalah ucapan mereka tentang Al Hajjaj, namun mereka itu tidak pernah membolehkan kekufuran atau menutup-nutupinya atau menamakannya sebagai iman dan seandainya mereka mengetahui benar kekafiran Al Hajjaj tentulah mereka tidak menamakan mukmin. Dan oleh sebab itu Thawus dan salaf lainnya tidak mengeluarkan mereka dari ukhuwwah imaniyyah meskipun mereka itu sesat. Ini berbeda dengan ghulatul murji’ah yang telah dikafirkan salaf, seperti Ibnu Al Jarrah, Ahmad Ibnu Hambal, Ubu Ubaid dan lainnya.
            Dan begitu juga dikatakan dalam perselisihan salaf tentang takfir, banyak dari ahlul uhwa seperti khawarij qadariyyah, jahmiyyah dan lainnya. Syaikhul islam telah berbicara tentang itu dalam banyak tempat di Al Fatawa 12/260-261 dan menyebutkan apa yang terjadi berupa ketidakpastian diantara para ulama, dan beliau menuturkan mazdhab Al Iman Ahmad dan murid-muridnya serta ulama ahlus sunnah lainnya dalam perselisihan tentang takfir sebagian kelompok-kelompok itu, dan beliau sama sekali tidak menuturkan bahwa para ulama yang mengkafirkan diantara mereka itu telah mengkafirkan ulama-ulama yang tidak mengkafirkan, dan selain beliaupun tidak menyebutkan hal itu dari mereka, dan justeru beliau menyebutkan udzur mereka dalam perselisihan itu, beliau berkata :….dan sebab perselisihan adalah adanya pertentangan antara dalil-dalil, karena sesungguhnya mereka melihat dalil-dalil yang mengharuskan penerapan vonis kafir terhadap mereka, kemudian mereka melihat diantara individu-individu yang melontarkan ungkapan itu ada orang yang padanya ada keimanan yang mencegah dia itu menjadi kafir, sehingga kedua dalil itu bertolak belakang menurut mereka. (12/260-261 ).
            Dan berkata ditempat lain : (….Dan begitulah ucapan-ucapan yang mana orang yang melontarkanya di kafirkan, bisa jadi orang itu belum sampai kepadanya nash-nash yang mewajibkan untuk mengetahui kebenaran, dan bisa jadi hal itu telah sampai namun tidak shahih menurutnya, atau tidak memiliki kesempatan untuk memahaminya, dan bisa jadi dia terlilit oleh syubhat-syubhat yang mana Allah swt mengudzur dengannya. Bila dia itu tergolong orang-orang mukminin lagi beupaya keras untuk mencari kebenaran dan ternyata keliru, maka sesungguhnya Allah swt mengampuni baginya kekeliruan itu, - siapa saja orangnya – sama saja baik dalam masalah-masalah nadhariyyah ( keyakinan ) atau amaliyyah. Inilah yang dipegang oleh sahabat-sahabat Nabi saw dan keseluruhan imam-imam islam ini. (23/195-196 ).

            Dalam tempat lain beliau menyebutkan perselisihan para sahabat  dalam masalah-masalah khabariyyah, dan diantaranya ucapan Aisyah ra :..siapa yang mengklaim bahwa Muhammad telah melihat tuhannya maka sungguh dia telah mengada-ada dusta yang besar terhadap Allah. Kemudian beliau berkata : (…namun demikian kita tidak mengatakn kepada Ibnu Abbas dan yang lainnya dari kalangan yang tidak sejalan dengan Aisyah, bahwa dia itu mengada-ada dusta terhadap Allah ), terus berkata : (…takfir adalah tergolong wa’id, sesungguhnya meskipun suatu ucapan itu adalah pendustaan terhadap apa yang disabdakan Rasulullah saw, akan tetapi bisa jadi orang itu baru masuk islam, atau hidup di pedalaman yang jauh, dan orang sperti ini tidak dikafirkan mengingkari apa yang dia ingkari sampai hujjah tegak atasnya. Dan bisa jadi orang-orang itu belum mendengar nash-nash itu, atau sudah mendengarnya namun tidak shahih baginya, atau nash itu bertentangan menurutnya dengan nash lain yang mengharuskan dia untuk mentakwilkanya meskipun keliru ),3/148.
            Perhatikan ungkapan tadi sesungguhnya ia sangat penting, memperluas wawasanmu, memberikan pemahaman kepadamu dalam masalah ini, menjauhkanmu dari sikap berlebih-lebihan dan ngawur dalam takfir atau sikap lancang terhadap orang-orang yang berijtihad dari kalangan ulama, serta memperkenalkan padamu udzur-udzur orang yang tawaqquf diantara mereka dan yang lainnya dari kalangan orang-orang mukmin dari mengikuti sebagian khabar-khabar dan hukum-hukum syar’iy atau dari mengakuinya, sama saja baik dalam bahasan takfir atau lainnya…yang mana Syaikhul islam telah meringkasnya dalam lima ( 5 ) udzur7 :
  1. Pertentangan dalil-dalil yang ada menurut mereka sehingga mendorong untuk mentakwilkan sebagiannya.
  2. Belum sampai sebagian nash kepada mereka, baik karena baru masuk islam, atau karena hidup di pedalaman yang jauh, atau yang serupa dengannnya.
  3. Tidak tsabit ( shahih ) nash itu disisi mereka.
  4. Tidak ada kesempatan dari memahaminya karena samarnya nash tersebut atau ada isykal atau lemahnya daya tangkap atau kurang ilmu orang yang menerimanya.
  5. Munculnya bebarapa syubhat yang dengannya si pencari kebenaran diudzur.
Siapa yang mentakwil nash atau menolaknya atau menolak dari mengambilnya karena suatu sebab, maka sesungguhnya dia itu tidak dianggap mendustakan atau mengingkari nash tersebut, dan karenanya tidak boleh menerapkan terhadap orang seperti dia kaidah ( siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir ) apalagi kalau menggunakan tasalsul ( rentetan ) dengannya.
Dan ingatlah bahwa ungkapan ini mencakup sebagaimana yang sudah jelas orang yang tidak mengakafirkan orang kafir seraya menolak sebagian dalil-dali karena udzur tersebut, maka apalagi lebih pantas masuk kedalam bahasan ini orang yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh sebagian orang tanpa menuturkan dalil-dalil shahih atau yang tegas jelas atas pengkafiran mereka, karena kelemahan mereka dalam kunci-kunci ilmu atau karena ketidaktahuan mereka akan cara-cara berdalil atau karena kekeliruan mereka dalam hukum itu…!!
            Dan mesti diperhatikan dan dipertimbangkan, bahwa sesungguhnya perselisihan dalam bab Al Asma ( nama-nama ) dan masalah-masalah takfir adalah luas. Dan siapa orang-orang yang ingin meyakinkan orang-orang yang menyelisihinya supaya mau mnegkafirkan orang-orang yang dia kafirkan, maka dia harus mendatangkan dalil-dalil syar’iy serta memperhatikan cara-cara berdalil yang shahih dengannya. Allah swt berfirman :


“Katakan : Aku hanya mengingatkan kalian dengan wahyu “
            Dan adapun orang yang tidak mampu menghadirkannya, maka tidak ada kebaikan dan keberuntungan baginya dalam yang selainnya, Alah swt berfirman :


“Maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman sesudah ( kalam ) Allah dan keterangan-keteranganya “( Al Jatsiyah : 6 )
            Dan tidak ada kebaikan baginya dengan metode-metode al irhab al fikriy atau at takfiriy, karena ia tidak mendatangkan bahaya kecuali terhadap orangnya, dan tidak ada kebaikan pada orang yang menganut madzhabnya karena takut terhadapnya atau merasa risih dengannya …dan biasanya dalam waktu yang sangat dekat dia itu cepat sekali meninggalkan hal itu karena sedikit syubhat. Namun kebenaran yang mendapatkan berkah Allah di dalamnya adalah ada dalam madzhab yang lurus lagi selaras dengan dalil-dalil syar’iy, bukan dalam madzhab yang paling berat yang selaras dengan selera.
            Dan hendak dia tahu bahwa bila hobinya mencari-cari ucapan-ucapan dan pernyataan-pernyataan yang bukan dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya, yang menguatkan madzhabnya dan menutup-nutupi kesalahannya, maka ia tidak akan kehilangan hal itu.
            Dan diantara yang sangat mengherankan dari apa yang saya telusuri dari penggunaan manusia terhadap kaidah ini adalah ucapan Ash Shauliy saat memuji Khalifah Al Muktafa billah ( 289-295 H ) saat membunuh tentaranya Yahya Ibnu Zakrawaih Al Qurmuthi :
Siapa yang melihat bahwa orang mukmin……
Adalah orang yang maksiat pada kalian, maka dia kafir….
Allah telah menurunkan hal itu…..
Sebelumnya dalam surat-surat yang muhkam…..
            Maknanya adalah bahwa orang yang tidak mengkafirkan atau menghukumi fasik orang yang maksiat pada anda atau membangkang, maka dia telah kafir, dan dia mengklaim bahwa hukum ini telah ditujukan Al-qur’an….!!8. Maka dikatakan kepadanya :..Di mana Allah berfirman ini dalam surat-surat yang muhkam ??.
            Coba perhatikan, bagaimana kaidah ini digunakan disini untuk meggiring manusia ke dalam ketaatan, menakut-nakuti mereka dan menghati-hatikan mereka dari sikap memberontak dan membangkang…padahal dalam nash-nash syariat ada kadar cukup dari pada ( menggunakan ) hal itu bagi ahlul ‘adli ( penguasa yang adil ), ….akan tetapi itulah sifat ngawur para ahli syair, maka hati-hatilah jangan terpedaya dengan hal itu, karena ini tergolong sifat sembrono para ahli syair, sedangkan Allah swt telah berfirman : “Dan penyair-penyair itu diikuti orang-orang sesat. Tidaklah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah. (Asy Syu’ara :224-225 ).
            Dan ini adalah risalah dari risalah-risalah Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Alu Asy Syaikh, di dalamnya beliau mengkhitabi seputar masalah ini, sebagian orang terlalu gegabah di zamannya  dari kalngan orang-orang intisab kepada dakwah Syaikh Muhammad, dan mereka salah menggunakan sebagian lontaran-lontaran beliau, tanpa mereka teringat pada pokok bahasan yang telah disebutkan oleh Syaikhul islam dalam apa yang telah lalu, yaitu ucapannya :.. dan hakekat masalahnya adalah bahwa mereka itu terkena dalam lafadz-lafadz umum yang ada dalam perkataan para imam sebagaimana orang-orang terdahulu terkena pada lafadz-lafadz umum yang ada dalam nash-nash syariat. Setiap kali mereka melihat para imam berkata :..siapa yang berkata ini maka dia kafir,” maka orang yang mendengar meyakini bahwa lafadz ini mencakup setiap orang yang mengatakannya, dan mereka tidak mentadaburi bahwa takfir itu memiliki syarat-syarat dan mawani’ ( penghalang-penghalang ) yang bisa tidak terpenuhi pada hak orang mu’ayyan, dan bahwa takfir muthlaq itu tidak mengharuskan takfir mu’ayyan kecuali bila syarat-syaratnya terpenuhi dan mawani’nya tidak ada, ini dijelaskan bahwa Imam Ahmad dan para imam yang melontarkan kata-kata umum ini tidak mengkafirkan mayoritas orang  yang mengatakan perkataan ini secara ta’yin..”
            Saya tuturkan ini sebagai tambahan faidah, karena sebenarnya Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, putera-piteranya, cucu-cucunya sebagaimana yang telah kami sebutkan, mereka itu mengambil dalam masalah ini dari ilmu syaikuh islam.
            Dari Abdillathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Kepada Abdul Aziz Al Khathib…Salamun ‘alaa ‘ibadillaahish shaalihiin, wa ba’du : saya telah membaca risalahmu dan saya telah mengetahui isinya serta udzur-udzur yang kamu maksudkan, namun kamu telah salah dalam ucapanmu bahwa apa yang diingkari oleh syaikh kami sang ayah, yaitu berupa sikap kalian mengkafirkan ahlul haq dan keyakinan kebenaran kalian bahwa ( tuduhan ) itu tidak pernah bersumber dari kalian. Dan kamu  sebutkan bahwa ikhwan kamu dari penduduk naqi’ mendebat kamu dan mempermasalahkanmu tentang status kami, dan bahwa mereka menuduh kami mendiamkan sebagian urusan, sedangkan kamu tahu bahwa mereka menyebutkan hal ini secara umum dalam rangka mencela keyakinan dan menjelek-jelekkan jalan ( kami ) dan bila mereka itu tidak terang-terangan dengan sikap mengkafirkan ( kami ) namun mereka telah berpijak disekitar batas larangan. Kami berlindung kepada Allah kesesatan setelah petunjuk, dan dari ketergelinciran dari jalan yang lurus serta dari buta ( bashirah ).
            Dan pada tahun enam puluh empat sungguh saya telah melihat dua orang yang seperti kalian yang ganjil di Ahsa, keduanya telah meninggalkan jum’ah dan jama’ah dan mengkafirkan orang-orang islam yang ada di tempat itu. Dan dalih mereka adalah sejenis dengan dalih kalian, mereka mengatakan “..penduduk Asha ini menghadiri majelis Ibnu Fairuz, dan mereka berbaur dengannya dan yang sebangsanya dari kalangan yang tidak kufur kepada thoghut, dan tidak terang-terangan mengkafirkan kakeknya yang menolak dakwah Syaikh Muhammad, tidak menerimanya dan justeru memusuhi dakwahnya. Kedua orang itu berkata :….dan siapa yang tidak terang-terangan mengkafirkannya, maka dia kafir kepada Allah lagi tidak kafir terhadap thogut, dan siapa yang hadir di majelisnya maka  maka dia itu sama seperti dia. Dan mereka menetapkan diatas dua muqadimmah yang dusta lagi sesat ini hukum-hukum yang diterapkan bagi riddah yang nyata, sampai mereka tidak menjawab salam. Kemudia kasus mereka ini diadukan kepada saya, maka saya hadirkan mereka, saya ancam mereka, saya kecam mereka dengan keras.
            Kemudian mereka mengklaim bahwa mereka di atas aqidah Syaikh Muhammad Ibunu Abdul Wahhab dan bahwa risalah-risalahnya ada pada mereka, maka saya bongkar syubhat-syubhat mereka dan saya patahkan kesesatan mereka dengan apa yang hadir bersama saya di majelis, dan saya beri khabar mereka bahwa syaikh Muhammmad bara’ dari keyakinan dan madzhab ini, karena sesungguhnya beliau tidak mengkafirkan kecuali dengan apa yang diijmakan oleh kaum muslimin atas pengkafiran pelakunya, berupa syirik akbar dan kufur terhadap ayat-ayat Allah dan Rasul-rasul-Nya atau terhadap sesuatu darinya setelah tegak dan sampainya hujjah yang bisa dianggap, seperti pengkafiran orang yang beribadah kepada orang-orang shalih, menyeru mereka bersama Allah dan menjadikan mereka sebagai tandingan dalam hak-hak Allah atas hamba-hamba-Nya berupa ibadah-ibadah dan ilahiyyah. Dan ini telah diijmakan oleh para ahlul ilmi wal iman….
            Dan kedua orang Persia itu telah menampakkan taubat dan penyesalan, dan mengklaim bahwa Al Haq telah nampak bagi mereka, kemudian keduanya pergi menuju Sahil ( nama daerah, pen ) dan kembali kepada pendapat itu, serta telah sampai berita kepada kami bahwa mereka mengkafirkan para imam kaum muslimin dengan sebab (para imam ini) menyurati para penguasa mesir, bahkan mereka mengkafirkan orang-orang yang berbaur dengan orang yang surat menyurat dengan mereka dari kalangan para syaikh kaum muslimin. Kami berlindung kepada Allah dari keksesatan setelah petunjuk dan dari keterpurukan setelah kemajuan. Dan telah sampai kepada kami hal serupa dari kalian, kalian banyak berbicara dalam masalah-masalah dari bab ini, seperti pembicaraan tentang muwalah dan mu’adah, muskalahah ( saling berdamai ) dan mukatabat ( surat-menyurat ), memberikan harta dan hadiah dan yang lainnya yang merupakan pernyataan orang-orang musyrik dan sesat, serta berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan dikalangan badui dan orang-orang kasar lainnya. Sebenarnya tidak ( layak ) berbicara tentangnya kecuali para ulama yang paham dan orang yang Allah karuniakan pemahaman, hikmah dan penyelesaian perselisihan. Dan berbicara dalam masalah ini tergantung pada penguasaan apa yang telah kami ketengahkan dan penguasaan akan pokok-pokok umum yang bersifat mencakup yang mana tidak boleh berbicara dalam masalah ini dan yang lainnya bagi orang yang jahil akannya, dan berpaling darinya serta rincian-rinciannya, karena sesungguhnya ijmal, ithlaq dan ketidaktahuan akan mawaqi’ul khithab dan rinciannya, bisa terjadi dengan sebabnya berupa pengkaburan, kekeliruan dan ketidakpahaman akan maksud Allah apa yang merusak dien, mengkaburkan pemahaman dan bisa menghalangi dari memahami Al Qur’an. Ibnu qayyim berkata dalam Al Kafiyah :
Peganglah hal yang rinci dan yang gambling, karena……
Ithlaq dan ijmal tanpa ada penjelasan……
Tidak merusak keadaan ini dan mengaburkan……
Pemahaman dan pemikiran di setiap zaman…..
            Adapun takfir dengan hal-hal ini yang kalian duga sebagai pembatal keislaman, maka ini adalah madzhab haruriyyah tariqah yang keluar menentang Ali Ibnu Abdil Muthallib dan para sahabat yang bersamanya. Sesungguhnya haruriyyah ini mengingkari para sahabat atas sikap tahkim Abu Musa Al Asy’ariy dan Amr Ibnu Ash dalam fitnah yang terjadi anatara Ali dan Muawiyah dan Sndaduk syam, maka khawarij mengingkari Ali atas hal itu padahal asalnya mereka itu adalah tergolong para pengikutnya dari kalangan qurra kufah dan bashrah, dan mereka berkata :…kamu telah menjadikan manusia sebagai hakim dalam dienullah, dan kamu sudah loyal terhadap Muawiyah dan Amr serta kamu Tawalli kepada keduanya, padahal Allah swt telah berfirman :…keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dan kamu telah menentukan tenggang waktu antara kalian dengan mereka padahal Allah swt sudah memutus perdamaian dan ikatan semenjak diturunkan bara’ah…”hal 4-6, dan beliau menuturkan sebagian berita tentang  khawarij yang akan kami ketengahkan di akhir kitab ini.
            Dan berkata beliau di hal 7 :..dan kata dzalim, maksiat, fusuk, fujur, muwaalah, mu’adah, rukun, syirik, syirik dan yang lainnya yang memang ada dalam Al kitab dan As Sunnah,bisa jadi di maksudkan dengannya isinya yang muthlaq dan hakikatnya yang muthlaq, dan bisa jadi dimaksudkan dengannya muthlaqul hakiqah. Yang pertama adalah yang pokok menurut ahli ushul, sedangkan yang kedua sesungguhnya ungkapan tidak dibawa ke makna ini kecuali dengan adanya qarinah lafdhiyyah atau maknawiyyah, dan itu hanya bisa diketahui dengan penjelasan nabawi dan penafsiran As sunnah. Allah swt  berfirman :


“ Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka “ ( Ibrahim : 4 )
            Hingga beliau mengatakan di hal : 8 “Adapun penyadandaran ancaman yang ditetapkan atas sebagian dzunub dan dosa-dosa besar, maka terkadang ada penghalang darinya bagi orang yang mu’ayyan, seperti cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, jihad dijalan-Nya, banyaknya kebaikan, ampunan dan rahmat Allah, syafa’at orang-orang mukmin dan mushibah-mushibah yang menghapuskan dosa di tiga alam. Dan begitu juga tidak boleh memastikan surga atau neraka bagi orang mu’ayyan dari kalangan ahlul kiblat. Dan bila mereka melontarkan ancaman sebagaimana yang dilontarkan Al Qur’an dan As sunnah, namun mereka tetap membedakan antara al’aam al muthlaq, dengan al khash al muqayyad. Ada Abdullah ( Himar ) ia minum khamr, terus dibawa kepada Rasulullah saw, kemudian seorang laki-laki melaknatnya dan berkata :…sungguh sering sekali dia dibawa kepada Rasulullah saw, maka Nabi saw berkata :…jangan laknat dia, karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Padahal beliau telah melaknat peminum khamr, penjualnya, tukang perasnya, yang meminta diperaskan, yang membawanya, dan yang dibawakan kepadanya….”
            Dan beliau berkata di hal : 10 dan adapun firmannya :


“Dan siapa orang yang Tawalli kepada mereka diantara kalian, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. ( Al Maidah : 51 )”
            Dan firman-Nya juga :


“Kamu tidak akan mendapatkan sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya”.  (Al Mujadillah : 22 ).
            Dan firman-Nya :



“ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil auliyamu, orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan, ( yaitu ) diantara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum mu, dan orang-orang yang kafir ( orang-orang musyrik ), dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman. (Al Maidah : 5)
            Maka sesungguhnya As sunnah telah menafsirkan dan membatasinya serta menghususkannya dengan muwalah mushluqah ‘aammah ( loyalitas mutlak nan umum ). Sedangkan arti asal muwalah adalah al hubb ( kecintaan ), nushrah ( pembelaan ) dan shadaaqah ( ikatan teman dekat ). Dan loyalitas dibawah itu adalah bertingkat-tingkat lagi bermacam-macam, dan setiap dosa memiliki bagian dan jatah dari ancaman dan celaan, ini menurut salaf yang sangat dalam keilmuan dari kalangan para sahabat dan tabi’in adalah terkenal dalam bab ini dan yang lainnya. Dan masalahnya dianggap musykil dan makna-maknanya terasa samar serta hukum-hukumnya menjadi kabur hanyalah atas orang-orang kemudian dari kalangan ajam ( non arab ) dan al muwaladun ( campuran ) yang tidak memiliki pengetahuan akan hal ini serta tidak memiliki pengalaman akan makna-makna As sunnah dan Al Qur’an. Oleh sebab itu, Al Hasan radiallahu anhu berkata :”….dari ajamlah mereka tersesatkan. Dan Amr Ibnu Al ‘Alaa berkata terhadap ‘Amr Ibnu Ubaid tatkala mendebatnya tentang masalah kekalnya ahlul kabair dalam neraka, dan Ibnu Ubaid ini berdalih bahwa ini adalah janji sedangkan Allah tidak menyelisihi janjinya, seraya mengisyaratkan kepada apa yang ada dalam Al Qur’an berupa wa’id ( ancaman ) terhadap sebagian dosa-dosa besar dan dzunub dengan              ( adzab ) api neraka dan kekal didalamnya, maka Ibnu Al ‘Alaa berkata :… dari sebab ajam kamu tersesatkan, ini ancaman bukan janji, dan beliau menuturkan ucapan penyair :
Dan sesungguhnya aku bila mengancamnya atau menjanjikannya …
Maka aku selisihi ancamanku dan ( aku ) tunaikan janjiku…..
            Sebagain para imam berkata dalam apa yang telah dinukil oleh Al Bukhari dan yang lainnya :..sesungguhnya tergolong kebahagian orang ajami dan a’rabiy bila keduanya masuk islam adalah keduanya ditunjukan kepada shahib sunnah dan tergolong kebinasaannya adalah keduanya diuji dan dimudahkan kepada pengikut hawa nafsu dan bid’ah.
            Dan beliau berkata di hal 11-12 : dan telah sampai kepadaku ( berita ) bahwa kalian  menafsirkan firman-Nya swt dalam surat Al Muhammad :


“Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka berkata kepada orang-orang yang benci kepada pa yang diturunkan Allah, kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”. (Muhammad : 26 )

Terhadap sebagian apa yang dilakukan oleh para penguasa saat itu, berupa surat-menyurat, mushalahah, atau berdamai dengan sebagian penguasa orang-orang sesat dan para raja yang musyrik, dan kalian tidak melihat awal ayat, yaitu firman-Nya :


“Sesungguhnya ornag-orang yang murtad sesudah petunjuk itu jelas bdagi mereka.           ( Muhammad : 25 )
            Dan kalian tidak paham apa yang dimaksud dari taat ( patuh ) disini, dan juga tidak paham apa yang dimaksud dari “urusan” yang disebutkan dalam firman-Nya dalam ayat yang mulia ini yang berbentuk ma’rifat, dan didalam perjanjian hudaibiyyah dan apa yang diminta serta disyaratkan oleh kaum musyrikin dan Rasulullah saw menyetujuinya terhada hal yang cukup dalam membantah pemahaman kalian dan menjatuhkan kebatilan kalian……( di sarikan dari juz II Majmu’atur rasaail Wal Masaail An Nujdiyyah ).
            Dan beliau rahimahullah menuturkan dalam Minhajut Ta-sis Wat Taqdis Fi Ksyfi Syubuhat Dawwud ibni Jirjis sebuah risalah kakeknya Muhammad Ibnu Abdil Wahhab ; beliau berkata didalamnya :
            “syarif ( mekkah ) bertanya kepada saya atas dasar apa kami memerangi dan atas landasan apa kami mengkafirkan orang ?, maka saya khabarkan dengan jujur, dan saya jelaskan kepadanya, juga dusta yang di tudukhkan kepada kami oleh musuh-musuh…dan diantara yang beliau ucapkan : …dan adapun dusta dan pengada-adaan tuduhan bohong adalah bahwa kami mengkafirkan semua orang dan kami mewajibkan hijrah  ke( tempat ) kami atas orang yang mampu mengizharkan diennya, dan bahwa kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan dan tidak berperang …dan tuduhan seperti ini dan yang berkali-kali lipat, semua ini termasuk dusta yang dengannya para ahli waris Abu Jahal dari kalangan juru-juru kunci berhala dan para tokoh kekafiran berupaya menghalangi manusia dari dien Allah dan Rasul-Nya. Dan sesungguhnya kami tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya dari kalangan kaum musyrikin para penyembah berhala, seperti orang-orang yang beribadah kepada berhala diatas kuburan Abdul Qadir dan berhala yang ada di atas kuburan Ahmad Al Badawiy dan yang lainnya. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul’Nya dan hari akhir serta berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad, maka mereka adalah saudara-saudara kami dalam dien ini meskipun tidak hijrah kepada kami, maka bagaimana kami mengkafirkan mereka, maha suci Allah. Ini dusta yang amat besar”. Hal : 88-89.
            Dan terakhir….. sesungguhnya kami mengatakan berdasarkan atas apa yang telah kami ketengahkan kepadamu berupa perincian ….sesungguhnya orang yang menyelisihi kami- dari kalangan kaum muslimin- dalam pengkafiran thoghut-thoghut hukum atau para pendukungnya, rengrengannya serta bala tentaranya, dia tawaqquf dalam hal itu atau enggan mengkafirkan mereka karena ada nash-nash yang saling bertentangan menurutnya9, atau ( karena ) syubhat-syubhat yang menjadi isykal atas dia, seperti dalih banyak orang dari kalangan yang belum banyak ilmu dan pemahamannya, bahwa mereka itu mengucapkan laa ilaaha atau mereka atau mereka shalat atau syubhat lainnya yang telah kami bantah dan kami bongkar di tempat lain10. Sesungguhnya kami meskipun memandang mereka itu lebih bodoh dari orang-orang yang telah dianggap bodoh oleh para imam karena mereka tidak mengkafirkan Jahmiyyah…. Dan lebih buta dari orang-orang yang dituduh buta oleh Ibrahim An Nukh’I karena mereka tawaqquf dalam pengkafiran Al Hajjaj….namun demikian, sesungguhnya kami tidak mengkafirkan mereka dan tidak menerapkan kaidah ini pada mereka karena sebab penyelisihan ini saja….selama mereka memiliki ashlut tauhid ( inti tauhid ) dan selama tawaqquf mereka ini karena factor kejahilan atau adanya syubhat atau ( dugaan ) pertentangan nash-nash di benak mereka. Karena dalam hal itu tidak terdapat pengingkaran atau pendustaan atau penolakan akan nash-nash shahihah yang jelas-jelas memastikan pengkafiran para thoghut dan para pendukungnya, dengan syarat hal itu, tidak mengantarkan mereka pada keterjerumusan kedalam salah satu dari sebab-sebab kekafiran, seperti masuk bergabung dalan tentara dan ‘askar mereka, melebur dalam pembelaan terhadap mereka atau membela hokum-hukum dan undang-undang kafir mereka, atau ikut serta dalam membuatnya, mensosialisakanny, menerapkannya dan melindunginnya sebagaimana yang akan kami rinci diakhir pasal ini. Dan ungkapan kami ini bukanlah hal baru di antara para ulama, akan tetapi kami memiliki pendahulu.
            Syaikhul islam sungguh telah menyebutkan dalam Al Fatawa 35/79 bahwa Ubaidiyyin itu tergolong manusia yang paling kafir, dan sudah diketahui kemurtaddan dan perubahan syari’at yang mereka lakukan….kemudian beliau sebutkan bahwa tidak ada yang mengaku bahwa diantara mereka ada Al Imam al ma’shum   ( kecuali orang jahil mubsath atau zindiq yang berbicara tanpa ilmu ), ini berkenaan dengan orang yang mengklaim kemakshuman pada sebagian mereka….adapun orang yang bersaksi akan keimanan mereka serta tidak mengkafirkan mereka, maka sesungguhnya beliau tidak memvonis dia kafir dan tidak ( pula ) meneapkan kepadanya kaidah ( siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir ) yang telah lalu penggunaan beliau terhadapnya dalam banyak tempat, bahkan beliau sebutkan bahwa dia ( bersaksi dengan sesuatu yang tidak dia ketahui …            )
            Beliau berkata 35/80 :….dan orang-orang itu ( yaitu ubadiyyin ) sungguh telah bersaksi atsas mereka para ulama, para imam dan seluruh umat ini bahwa mereka itu adalah munafiqun zanadiqah yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada bahwa sebagian manusia menyelisihi para ulama dalam hal itu maka jadilah perselisihan yang masyhur dalam hal keimanan mereka, sedangkan yang bersaksi akan keimanan mereka maka ia adalah bersaksi dengan sesuatu yang tidak dia ketahui…”. Dan berkata beliau di hal 81:…dan bila demikian halnya, maka siapa yang bersaksi bagi mereka akan kebenaran nasab atau keimanannya, maka stasus minimal dalam kesaksiannnya adalah bahwa ia bersaksi tanpa dasar ilmu lagi mengikuti apa yang tidak dia ketahui, sedangkan hal itu adalah haram dengan kesepakatan para imam.
            Perhatikan ucapan beliau ini, karena ia sangat penting, karena ia adalah tentang orang yang tidak mengkafirkan ‘Ubadiyyin yang tidak kurang kekafirannya dari para thoghut masa kini. Hati-hatilah kamu kemudian hati-hatilah kamu dibawa tergelincir oleh sikap ifrath dan mughaulah ( berlebih-lebihan ), sehingga kemudian kamu menjadi golongan orang yang menjadikan kaidah ini sebagai ashlud dien yang mana ada tidaknya keislaman menurut dia berkisar kepadanya, kemudian dia menjalin di atas sikap orang yang setuju dengan dia terhadap pengkafiran orang yang dia kafirkan, ikatan wala dan bara’, persaudaraan dan permusuhan. Siapa yang mengkafirkan orang yang dia kafirkan maka ia baginya adalah teman dekat meskipun dia itu tergolong orang yang paling buruk, dan siapa yang menyelisihinya dalam hal itu karena kejahilan dan ijtihad, maka ia tergolong musuh-musuhnya. Bahkan tergolong musuh Allah yang kafir !! saya memohon kepada Allah ta’ala agar menjauhkan saya dan engkau dari tempat-tempat kekeliruan, dan menjadikan kita tergolong orang-orang yang mendengarkan perkataan terus mengikuti yang paling terbaik…..
            Di akhir bahasan ini dan sebelum saya pindah kebahasan lainnya saya ingatkan engkau dengan perkataan beliau rahimahullah dalam Al Fatawa :…..diantara aib ahlul bid’ah adalah satu sama lain saling mengkafirkan. Sedangkan sifat terpuji ahlul ilmi adalah mereka menuduh ( yang lain ) keliru dan tidak mengkafirkan ( nya ). Dan sebab hal itu adalah bahwa salah seorang antara mereka mengira sesuatu yang bukan kekafiran sebagai kekafiran, dan bisa jadi itu adalah kekafiran, karena telah jelas baginya hal itu adalah pendustaan terhadap Rasul dan celaan terhadap sang pencipta, sedangkan orang lain belum jelas hal itu baginya, maka  bila orang yang mengetahui akan keadaannya menjadi kafir bila dia mengucapkannya, tidaklah mesti orang yang tidak mengetahui keadaannya, menjadi kafir ( bila dia mengucapkannya ), Minhaj  As Sunnah 3/63.

Penerjemah berkata :
            Oleh karena itu para ikhwan muwahhidin tidak boleh mengkafirkan orang-orang salafi maz’um yang enggan mengkafirkan para thoghut negeri ini karena mereka memiliki syubhat-syubhat atau sebagiannya adalah orang-orang jahil, kecuali bila mereka itu :
  • Membolehkan masuk parlemen atau membolehkan ikut pemilu setelah tahu apa itu demokrasi, atau
  • Membantu para thoghut atas para muwahhidin atau
  • Ikut serta dalam parlemen, atau
  • Bersumpah untuk setia  pada UUD atau UU atau
  • Mengharuskan loyalitas pada mereka, atau
  • Ikut serta menerapkan atau mensosialisasikan undang-undang, atau
  • Menjadi pelindung thoghut, sebagai tentara atau polisi, dll.


1 Dia adalah Abu Muhammad Al Hiwaniy Al Husen Ibnu Ali Ibnu Muhammad Al Hudzali At Khalal.

2 Perhatikan ucapan yang menyerupainya yaitu ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam Rasa’il Syahshiyyahnya : ( orang yang tidak mengkafirkan kaum musyrikin atau ragu akan kekafiran mereka, atau membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir secara ijma’ hal 213 dan beliau menjadikannya nomor ketiga dari sepuluh pembatal keislaman yang beliau sebutkan.

3 Dan sebagian orang mengarahkkan kaidah ini kearah lain; yang intinya sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang kafir atau orang musyrik, maka dia itu tidak bara’ dari kaum musyriki, dan karenanya dia itu loyalitas penuh terhadap mereka !!! sedangkan ( loyalitas penuh ) termasuk pembatal keislaman, dan akan datang pembahasan atas tasyih ( pegarahan ) kaidah kearah ini dalam kekeliruan takfir dengan ilzam.

4  perhatikan : ini buat orang yang tidak mengkafirkan mereka saja. Adapun orang yang disamping itu melegalkan kekafiran mereka atau membela-bela kekafiran itu, maka dia tidak termasuk dalam penguzuran ini, dan sungguh beliau telah berkata tentang orang ini sebagaimana yang ada di atas : ( dan adapun orang yang berkata :”..ucapan mereka itu memiliki takwil yang selaras dengan syariat “ maka sesungguhnya ia tergolong tokoh dan pimpinan mereka ).

5  Dan serupa dengan itu apayang disebutkannya dalam Al Igna, dari beliau bahwa beliau berkata : ( siapa yang menyeru Ali Ibnu Abi Thalib maka dia kafir dan bahwa orang yang ragu akan kekafirannya maka dia kafir ) sebagaimana apa yang ada dalam Mufidul Mastafid fi Kufri Tarikat Tauhid karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab.

6  Perhatikan : sesungguhnya beliau rahimahullah disini berbicara tentang kandungan ucapan ini, yaitu isinya, maknanya, dan hakikatnya, dan bukan tentang lawazimnya yang bisa jadi mereka tidak komitmen dengannya, sebagaiman yang akan datang.

6  Atsar-atsasr ini semuanya dari Al Bidayah wan Nihayah 9/136-137 dan lihat sebelumnya hal 131-132, disana ada yang menyerupai hal ini.

7  Untuk tambahan perincian tentang alas an-alasan ini silahkan lihat risalah Raf’ul Malam ‘Anil Aimmah Al A’lam karya Syaikhul islam, dan ia ada dalam Al Fatawa juz 20.

8  Dan hal ini mengingatkan saya akan sikap ngawurnya Al Jazairiy, dimana dia berkata : ( sesungguhnya tidak ada orang muslim yang sah keislamannya dan tidak pula orang mukmin yang jujur keimanannya serta dinegeri islam mana saja, melainkan dia pasti berangan-angan dengan sepenuh hatinya untuk dipimpin oleh keluarga As Su’ud, dan sesungguhnya ia seandainya di ajak untuk membaiatnya sebagai raja atau khalifah bagi kaum muslimin, tentulah ia tidak akan bimbang sekejappun..!! itu dikarenakan bahwa negara ini ada penjelmaan islam, berdiri dengannya dan menyeru kepadanya….)dari buku Al I’lam bil Annal Azf eal Ghinaa Haram hal 57 cetakan 1407 H, dan dia berkata : ( negara ini merupakan mukjizat abad empat belas..!! negara ini yang mana tidak adal oyalitas terhadapnya kecuali mukmin dan tidak ada yang memusuhinya kecuali orang munafik kafir !! selama tetap menegakkan perintah Allah !!) dari sumber yang sama hal 58.
    Perhatikan ucapannya :..tidak ada yang loyalitas terhadapnya kecuali mukmin dan tidak ada yang memusuhinya kecuali orang munafik kafir !! dan penegakkan macam apa ( yang dilakukan negara ini ) terhadap syariat Allah wahai musuh diri kamu sendiri ?? siapa yang ingin mengetahui macam penegakkan itu !! maka silahkan rujuk kitab kami Al Kawasyif Al Jaliyyah Fi Kuffriddaulah As Su’udiyyah.
Dan mengingatkan saya juga dengan perkataan yang lainnya, dan ia itu tergolong Haiah Al Kibar !! dan sangat terkenal namanya, saat dia ditanya tentang kitab Al Kawasyif ini, maka dia langsung geram dan sewot saat mendengar namanya, dan dialangsung berkata tanpa membaca kitab ini ( katakan kepada penulisnya, sesungguhnya dialah yang kafir !! ), mereka ngawur dengan penggunaan-penggunaan ini, kemudian mereka tidak punya rasa malu dari menuduh orang-orang yangmenyelisihi mereka dan orang-orang yang mengkafirkan negarannya bahwa mereka itu khawarij dan takfiriyyin !! ooh..siapa yang lebih berhak dengan tuduhan dan sifat-sifat ini ??

9  Kami katakan “menurutnya” dikarnakan nash-nash wahyu itu sama sekali tidak bertentagan dalam bab ini dan yang lainnya. Allah swt berfirman : Alif Laam Raa, ( inilah ) suatu kitab yang ayt-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi  (Allah ) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.”Hud-1”.
    Dan firmannya :..kalau kiranya Al Qur’an itu bukanlah dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya . An-Nisa : 82. Namun pertentangan itu hanya diduga dalam pikiran karena kurangnya dalam pemahaman atau karena kurang berupaya untuk mengetahui cara-cara menyatukan antara nash-nash itu dan mengoperasikan masing-masing pada tempatnya, atau karena berhujjah dengan yang tidak shahih dan tidak tsabit atau karena tidak mengetahui sebagian nash yang tsabit yang belum sampai padanya, atau karena tidak mengetahui nasikh dan mansukh dan tidak bias membedakan mana nash yang lebih dahulu dan yang kemudian, atau hal lainnya yang mesti diperhatikan dalam cara-cara menjama’ dan mentarjih yang sudah diketahui.

10 Lihat hal itu dalam kitab kami ‘Imta’un nadhr Fi Kasyfi Syubuhat Murjii’atil ‘Ashr dan risalah Kasyfi Syubuhat Al Mujadilin ‘An ‘Asaakirisy Syirki wa Ansharil Qawaanin.