Termasuk
kesalahan yang umum dalam takfir
adalah pengunaan kaidah “ siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka
dia kafir “ tanpa ada rincian. Sehingga penggunaan kaidah ini telah
menyebar dan telah menggelembung dikalangan para syabab ( pemuda ),
sampai-sampai sebagian gulatal mukaffirah ( orang-orang yang ghuluw
dalam hal takfir ) menjadikannya sebagai ashlud dien ( pokok dien ini )
dan syarat syah keislaman, yang mana islam menurut mereka bergantung
padanya ( dalam hal ) ada dan tidaknya mereka mengikat al-wala’ dan
al-bara’ di atas kaidah ini. Siapa yang menggunakan dan menerapkannya
maka dialah muslim muwahhid yang mereka berikan loyalitas, dan siapa
yang menyelisihi mereka dalam sebagian cabang-cabangnya maka mereka
memusuhinya, bara’ darinya dan mereka kafirkan sampai-sampai mereka itu
satu sama lain saling mengkafirkan…. Karena pasti ada saja sebagian dari
mereka menyelisihinya dalam takfir sebagian manusia, sehingga sebagian
mereka mengkafirkan sebagian yang lain dengan sebab perselisihan ini.
Kami di sini bertanya kepada mereka dengan pertanyaan
yang intinya : bila penggunaan kaidah ini sesuai dengan cara kalian
tanpa ada rincian adalah syarat syah keislaman, maka apakah orang yang
dilahirkan dalam keadaan mengetahuinya atau wajib atas dia untuk
mempelajarinya ?
Apabila mereka menjawab : dia dilahirkan dalam keadaan mengetahuinya
Maka mereka telah menyelisihi firman Allah SWT :
“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. ( An-Nahl : 78 )
Dan apabila mereka menjawab wajib mempelajarinya.
Maka kami katakan “ kapan hal itu wajib atasnya, apakah setelah baligh atau sebelumnya ? mesti ada salah satu jawaban
Apabila mereka berkata : sebelum baligh
Maka mereka telah menyalahi penegasan hadist nabi saw yang berbunyi bahwa :
“ pena diangkat dari tiga orang … ( diantaranya ) anak kecil sampai ihtilam ( baligh ).
Dan apabila mereka berkata : setelah baligh
Maka kami katakan kepada mereka berikan batasan buat kami, apakah
wajib atasnya langsung setelah baligh atau ada tenggang waktu ?
Apabila mereka katakan : ada tenggang waktu
Maka mereka telah kontradiksi dan membolehkan keberadaan si anak
setelah baligh nya di atas kekafiran sementara waktu yang tidak mereka
ketahui batasnya, dan andai ia mati maka ia mati diatas kekafiran
menurut mereka.
Dan apabila mereka berkata : langsung
Maka kami katakan : sesungguhnya kaidah ini termasuk masalah-masalah
yang membutuhkan penelitian, pembahasan, mempelajari dan kajian terutama
dalam kungkungan syubhat-syubhat dan talbis-talbis ( pengkaburan ) yang
dilontarkan oleh syaikh-syaikh yang jahat, dan ini dengan sendirinya
memerlukan sementara waktu meski beberapa jam, ini adalah kadar minimal
perkiraan, sebab kalian sendiri tidak menganutnya kecuali seltelah
tenggang waktu panjangnya pencarian, dan tidak ada yang mendebat dalam
hal ini kecuali orang jahil lagi mu’anid, sehingga wajib menerima hal
ini.
Dan apabila kalian membolehkan kekafiran meskipun
sebentar dalam rangka belajar, dan kalian harus menerima ini setelah
kalian menjadikannya sebagai syarat keislaman, maka kalia telah
membolehkan kuffur terhadap Allah SWT dan kalian telah menetapkan bahwa
keislaman seseorang tidak syah setelah dia baligh sehingga dia kafir
tehadap Allah, dan dengan hal itu jadilah kalian sebagai orang-orang
kafir, dan kalu tidak menginginkan seperti ini maka tinggalkanlah sikap
berlebih-lebihan ( mughalah ) dengan kaidah ini, dan marilah merujuk
rincian ahlul ilmi dalam hal itu.
Adapun kami, maka kami katakan : sesungguhnya kami
walillahil hamd tidak mengacu dalam dien kami ini kecuali kepada
syariat, sedangkan takfir sebagaimana yang telah lalu adalah hukum
syar’iy yang tidak syah kecuali dengan dalil-dalil syar’iy yang qathiy
dilalahnya, dan sebagaimana dikatakan oleh Abu Muhammad Ibnu Hazm bahwa
orang yang menduga bahwa telah terjadi dari dien ini berdasarkan apa
yang tidak pernah ada dari Rasulullah saw, maka dia pendusta bahkan
kafir tanpa ada perbedaan.
Dan termasuk hal mustahil lagi tidak mungkin terjadi
menurut ahlul islam bahwa Rasulullah saw lalai dari menjelaskan kepada
manusia sesuatu dari ashlul dien mereka atau dari sesuatu yang mana
keislaman seseorang tidak syah kecuali dengannya, kemudian para sahabat
setelahnya juga sepakat untuk melalaikan hal itu atau bersengaja untuk
tidak menyebutkannya, sehingga tersadar kepadanya dan menunjukan kita
akannya orang-orang celaka itu !!!
Oleh karena itu, kami katakan bahwa setiap syarat yang
tidak ada dalam kitabullah atau sunnah Nabi-Nya saw adalah batil, dan
setiap kaidah atau ashl ( pokok ) atau ucapan yang tidak bersandarkan
pada dalil syar’iy adalah tertolak.
Dan oleh karenanya wajib meninjau asal-asul kaidah ini
dan dalil syar’iy apa yang dijadikan pijakannya sehingga kita bisa
mengarahkannya dan mengetahui batasan-batasannya.
Dan dahulu saya telah menelusuri kaidah ini tatkala
bencana kekeliruannya telah merebak dikalangan sebagian syabab yang
ngawur lagi lemah dalam hal ilmu syar’iy dan saya menelitinya dalam
ungkapan para ulama , untuk mengetahui siapa yang paling pertama dalam
menggunakannya ? dan bagaiman para ulama berta’amul dengannya serta
terhadap apa mereka menerapkannya ?
Maka saya keluar dengan kesimpulan-kesimpulan ini :
Pertama : Saya dapatkan pemakaian kaidah ini sudah lama, dan bukan
sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang bahwa itu berasal dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang kemudian diikuti oleh Syaikh Muhammad
Ibnu Abdul Wahhab !! ya.. memang masyhur dari Syaikhul Islam
penggunaannya, sehingga kepada beliau dan kepada Syaikh Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab mayoritas orang menggunakan kaidah ini menisbatkannya,
namun telah mendahului mereka berdua dalam hal ini para imam yang
masyhur lainnya, sebagiannya dari generasi pertama yang memiliki
keutamaan…diantaranya :
- Sufyan Ibnu Uyainah Amirul Mu’minin Fil Hadits ( 198 H ),
beliau rh berkata : “ Al-Qur’an adalah firman Allah ‘azza wa jala, siapa
yang mengatakan ( ia ) adalah makhluk maka dia kafir, dan siap yang
ragu akan kekafirannya maka dia kafir. “ Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu
Al-Imam Ahmad dalam As-Sunnah no . 25 dengan sanad shahih.
- Dan begitu juga ucapan semacam ini dinukil dari Abi Khaitsamah
Mush’ab Ibnu Sa’id Al Mushaifi sebagaiman dalam syarah Ushul I’tiqad
Ahlus Sunnah wal jama’ah 2/256 no. 430 karya Al Hafidh Abu Al Qasim
Hibatullah Al Lalikary 418 H.
- Dan juga dari Abu Bakar Ibnu Ayyasy Al Mugri 194 H yang terpercaya
lagi ahli ibadah, sungguh beliau telah ditanya sebagaiman dalam As
Sunnah karya Al Lalikary 2/250 no 412 tentang orang yang mengatakan
Al-Qur’an makhluk ? maka beliau berkata : “kafir dan siapa yang tidak
mengatakan bahwa dia kafir maka dia kafir”, dan isnadnya shahih.
- Dan begitu juga Salamah Ibnu Syabib An Naisaburiy ( 247 H ) ahli
hadist Makkah. Ibnu Hajar berkata dalam At Tahdzib 2/303 : Daud Ibnu
Husen Al Baihaqiy berkata : telah sampai berita kepadaku bahwa Al
Hiwaniy1 berkata : saya tidak mengkafirkan orang yang bersikap tawaqquf
tentang Al Qur,an, “Dawud berkata : maka saya bertanya kepada Salamah
Ibnu Syabib tentang Al Hiwaniy, terus beliau menjawab : dilempar saya ke
wc, siapa yang tidak bersaksi akan kekafiran orang kafir maka dia
kafir. “ dan hal itu, dituturkan oleh Al Khatib Al Baghdadiy dalam
tarikh Baghdad 7/365.
- Dan juga Abu Zar’ah Ubaidullah Ibnu Abdil Karim Ar Raziy ( 264 H )
berkata : siapa yang mengklaim bahwa Al qur’an adalah makhluk, maka dia
kafir kepada Allah yang maha agung dengan kekafiran yang mengeluarkan
dari millah, dan siapa yang ragu akan kekafirannya dari kalangan orang
yang memahami, maka dia kafir.
- Dan seperti itu juga apa yang dikatakan oleh Abu Hatim Muhammad Ibnu
Idris Ar Raziy ( 277 H ). Dan semua itu diriwayatkan oleh Al Lalikariy
dalam As Sunnah 2/176.
Dan perhatikan ucapan mereka berdua : ( dari kalangan orang yang
memahami ), karena sesungguhnya in adalah sangat penting, dan saya kan
mengingatkan kamu dengannya nanti di depan….
Ungkapan-ungkapan ini adalah sesuatu yang paling lama saya dapatkan
dalam ucapan para imam dan ulama seputar kaidah ini. Jadi kaidah ini
bersumber dari tiga generasi utama ( umat ini ), dan bukan seperti apa
yang dikatakan oleh sebagian kaum muta’akhirin bahwa kaiddah ini berasal
dari ( istinbath ) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ya.. memang Syaikhul
Islam, Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, putera-puteranya dan para imam
dakwah Nadjiyyah telah menggunakannya, dan sebagian dari mereka sangat
sering menggunakannya, sampai-sampai orang yang salah menggunakannya
dari kalangan ghulah ( orang-orang yang ghuluw ) menisbatkan kaidah ini
kepada mereka, akan tetapi ia bukan berasal dari
ta-shil ( kesimpulan kaidah dasar ) atau buatan
mereka, hendaklah ini diketahui.
Kedua : Telah nampak bagi saya barulah ( diadakan ) pelacakan dan
penelusuran terhadap ungkapan ahlul ilmi bahwa sesungguhnya mereka hanya
menyebutkan kaidah itu dan menggunakannya untuk menguatkan penolakan
beberapa macam tertentu dari kekafiran terhadap dien ini yang mana
bahaya-bahaya fitnahnya telah bertebaran di zaman-zaman mereka, sebagai
upaya untuk mencabut dari akarnya dengan cara tarhib dan tarfir (
membuat takut dan lari ) manusia darinya dan dari orang-orangnya.
Sehingga itu tergolong dalam jenis nash-nash ancaman ( wa’id ) yang
boleh dilontarkan namun wajib mempertimbangkan syarat-syarat dan mawani’
( penghalang-penghalang ) disaat menerapkannya pada individu-individu (
mu’ayyan ), sebagaimana dalam fitnah khalqul qur’an, dan contoh-contoh
yang lalu tergolong jenis ini.
Atau ( mereka gunakan kaidah ini ) dalam
rangka taghlid (bersikap keras ) dan tahdzir dari sebagian macam-macam
kekafiran yang nyata yang mana keengganan dari mengkafirkan pelakunya
mengandung unsur takdzib ( pendustaan ) atau ‘inad (
pembangkangan ) yang nyata terhadap syariat. Perumpamaannya seperti
tawaqquf dan keengganan dari mengkafirkan yahudi dan nasrani yang telah
dikafirkan oleh Allah SWT dengan nash-nash yang mutawatir lagi diketahui
secara pasti dalam dien kaum muslimin, dan diantara hal ini adalah
contoh yang akan datang dari perkataan Syaikhul Islam tentang kelompok
Al-Ittihadiyyah.
Ketiga :
Dan dari itu, sesungguhnya landasan kaidah
ini dan dalilnya yang dijadikan pijakan dan acuan untuknya adalah firman
Alah SWT :
“Dan tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang kafir”. (Al-Ankabut : 47 ).
Dan firman-Nya SWT :
“Maka siapakah yang lebih zalim dari pada orang
yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika
datang kepadanya ? bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal
bagi orang-orang yang kafir”. ( Az-Zumar : 32 ).
Dan dalil-dalil syar’iy lainnya yang menunjukan kafirnya orang-orang
yang mendustakan sesuatu yang tsabit dari khabar-khabar dan hukum-hukum
syariat. Dan oleh sebab itu, Al Qadli ‘Iyadl setelah menukil dalam Asy
Syifa 2/280-281 dari Al-Jahidh dan Tsumumah klaim mereka bahwa banyak
dari kalangan rang-orang awam, para wanita, orang-orang dungu, kaum
muqallidin yahudi dan nasrani serta yang lainnya, adalah tidak ada
hujjah bagi Allah atas mereka, karena mereka tidak memiliki kepribadian
yang memungkinkan mereka berdalil, Al Qadli berkata : ( dan Al Ghazali
lebih cenderung/dekat pada pendapat ini dalam kitab At Tafriqah,
sedangkan orang-orang yang mengatakan ini semuanya adalah kafir dengan
dasar ijma’ atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan individu dari
kalangan nasara dan yahudi serta setiap orang yang menyelisihi dienul
islam, atau tawaqquf dalam pengkafiran mereka atau ragu. Al Qadhi Abu
Bakar berkata : karena dalil dan ijma’ sepakat atas kekafiran mereka,
dan siapa orangnya yang tawaqquf dalam hal itu maka dia telah
mendustakan nash dan tauqif (dalil) atau ragu didalamnya, sedangkan
takdzib ( pendustaan ) atau ragu di dalamnya tidak terjadi kecuali dari
orang kafir.
Dan seperti itu pula, ucapan beliu 2/286 : ( “dan karenanya kami
mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang yang memeluk selain
agama kaum muslimin (islam) berupa agama-agama lain, atau tawaqquf
tentang ( status ) mereka atau ragu atau membenarkan paham mereka2
meskipun dia setelah itu menampakkan keislaman, meyakini dan meyakini
batilnya ajaran selain islam, maka dia kafir dengan sebab penampakannya
apa yang dia tampakkan berupa sesuatu yang menyelisihi hal itu “).
Dan isyarat beliau dengan ungkapannya “ dan karenanya “
adalah terhadap ucapannya sebelum itu : ( telah terjalin ijma atas
kafirnya setiap orang yang menolak nash Al Kitab ), dan dikarenakan “
pendustaan dan pengingkaran itu tidak terjadi kecuali setelah mengetahui
atau mengakui “, maka menunjukan atas hal itu dalil-dalil pengkafiran
orang-orang yang mendustakan itu sendiri, seperti firman Allah SWT :
“ Dan tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang kafir “( Al Ankabut : 47 ).
Sesungguhnya pengingkaran hanya disebutkan setelah datang dan sampainya ayat-ayat, dan begitu juga firman Allah SWT :
“ Maka siapakah yang lebih zalim dari pada orang-orang yang
mebuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang
kepadanya ? bukankah di neraka jahannam tersedia tempat tinggal bagi
orang-orang kafir ? ( Az Zumar : 32 )
Dan berkenaan dengan ini silahkan lihat Bada-lul Fawaid karya Ibnu
Qayyim 4/118, maka diketahuilah dengan hal itu, bahwa hakikat dan tafsir
kaidah ini adalah sebagai berikut :
“ Siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir yang telah sampai
kepadanya nash Allah SWT yang qath’iy dilalahnya atas pengkafirannya
dalam Al Qur’an atau telah tsabit ( sah ) disisnya nash Rasulullah
saw atas pengkafirannya dengan khabar (hadits) yang qath’iy dilalahnya
dengan disertai terpenuhinya syarat-syarat takfir disisnya, maka dia
telah mendustakan nash Al kitab atau As Sunnah yang tsabit, dan siapa
yang mendustakan hal itu maka dia telah kafir berdasarkan ijma’.
Ini adalah haakekat kaidah ini, dan ini pula tafsirnya,
setelah dilakukan pengamatan terhadap dalil-dalilnya dan penelusuran
penggunaan para ulama terhadapnya3.
Dan selagi seseorang tidak menyatakan dan tidak mengakui
pengetahuannya akan nash yang mengkafirkan dan penolakan terhadap nash
itu, maka tidaklah sah menyudutkannya dengan hal itu, dan kemudian dari
sana mengkafirkannya dengan landasan kaidah ini. Karena masalah tersebut
saat itu, berarti menjadi takfir dengan ilzam atau atau dengan apa yang
ditimbulkan dengan keyakinan tersebut ( ma-aal ). Dan akan datang dalam
kekeliruan takfir dengan ma-aal bahwa lazim suatu madzgab itu bukanlah
madzhabnya, kecuali bila si shahabul madzhab itu mengetahui akan
kelaziman ( apa yang ditimbulkan ) madzhabnya, terus dia terang-terangan
komitmen dengannya. Dan selagi dia jahil akan lazim madzhabnya atau
lalai darinya, dia tidak merasakannya dan tidak memaksudkannya, maka itu
tidak mengharuskan dia dan tidak boleh mengilzam dia dengannya tanpa
ada dalil.
Kecuali hal itu dalam kekafiran yang jelas nyata yang
telah tetap dengan nash yang qath’iy lagi shahih dan sudah diketahui
secara pasti dari dien kaum muslimin, seperti kafirnya orang-orang
yahudi,nasara dan yang lainnya, atau orang-orang yang berada diatas
millah selain millah islam atau orang-orang yang lebih buruk dari itu,
sedangkan ia mengetahui keadaan mereka sehingga dimana orang yang enggan
mengkafirkan mereka itu pada umumnya adalah bisa saja orang yang
mendustakan atau orang yang ragu akan nash yang mana Allah mengkafirkan
mereka dengannya, selagi dia tidak tunduk dan tidak mau berserah
kepadanya, karena nash semacam itu tidak samar lagi termasuk atas
orang-orang yahudi dan nasara sendiri, apalagi atas orang islam.
Adapun orang-orang yang kekafirannya adalah kufur takwil,
lalu orang enggan mengkafirkan mereka karena ada isykal sebagian
dalil-dalil syariat disisinya, atau hal itu tergolong masalah-masalah
yang mana orang jahil diudzur di dalamnya karena hal itu tidak bisa
diketahui kecuali lewat jalan hujjah risaliyyah, atau dia menolak satu
nash dari nash-nash syariat karena ketidaktahuan akannya atau tidak
tsabit (shahih ) dalil itu disisinya, dan macam orang lainnya dari
kalangan yang tidak boleh dikafirkan kecuali setelah penegakkan hujjah
atas mereka, diberi tahu dan diberi penjelasan, maka tidak boleh
menerapkan kaidah ini pada orang yang masih memiliki isykal dalam
mengkafirkan mereka, atau tawaqquf di dalamnya atau enggan
mengkafirkannya, selama orang-orang yang tidak mengkafirkan mereka itu
tergolong yang masih memiliki inti tauhid.
- Oeh karena itu adalah termasuk kepahaman Al Imam Abu Ubaid Al
Qasim Ibnu Salam ( 224 H ) dalam bab ini bahwa beliau berkata tentang Al
Jahmiyyah :…”saya tidak melihat kaum yang lebih sesat dalam
kekafirannya dari pada mereka, sesungguhnya saya menganggap bodoh orang
yang tidak mengkafirkan mereka, kecuali orang yang tidak mengetahui
kekafiran mereka. ( Dari fatawa Syaikhul Islam 12/272 ).
- Dan dinisbatkan ungkapan yang hampir serupa terhadap Al-Imam
Al-Bukhari ( 256 H ) beliau berkata dalam Khalqul Af’ualil ‘Ibad
hal 19 no 39 :….”saya telah mengamati ungkapan orang- orang yahudi,
nasara dan majusi, sungguh saya tidak melihat yang lebih sesat dari
kekafiran mereka dari padanya ( yaitu orang-orang jahmiyyah ), dan
sesungguhnya saya menganggap bodoh orang yang tidak mengkafirkan mereka
kecuali orang yang tidak mengetahui kekafiran mereka.
Perhatikan….: beliau tidak mengatakan….” Dan sesungguhnya
saya ( mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan
mereka ). Namun, dengan semua ini beliau mengecualikan dari
tajhil ( penganggapan bodoh ) orang yang tidak mengkafirkan
mereka karena tidak mengetahui kekafiran mereka.
- Adapun Al Imam Ahmad sungguh telah ada darinya juga penggunaan
wa’id (ancaman) dengan kaidah ini dalam risalah yang beliau tulis
sebagai jawaban atas risalah Musaddad Ibnu Masrahad Al Bashriy yang
didalamnya dia bertanya kepada beliau tentang perselisihan dalam hal
Qadar, Rafdl, I’tizal, khalqul Qur’an dan Irja, maka datang dalam
jawaban beliau tentang Al-qur’an ucapannya :.. ia adalah kalamullah
bukan makhluk, siapa yang mengatakan ( ia ) makhluk maka ia kafir
tehadap Allah yang maha agung, dan siapa yang tidak mengkafirkannya maka
ia kafir ( dari Thabaqas Al Hanabilah karya Abu Ya’la 1/315 ).
Dan Syaikhul Islam menuturkan darinya dalam Al Fatawa seputar hal itu
dua riwayat dalam konteks penuturan madzhabnya dalam takfir ahlul ahwa
dari kalangan Al Qadariyyah, Jahmiyah dan yang lainnya. Beliau
menshahihkan didalamnya bahwa beliau tidak mengkafirkan dengan kaidah
semacam ini, beliau berkata :..( dan darinya dalam pengkafiran orang
yang tidak mengkafirkan ada dua riwayat, yang paling shahih dari
keduanya adalah ( bahwa ) beliau tidak mengkafirkannya ), 12/260 cetakan
Dar Ibnu Hazm.
Dan sepertinya beliau menginginkan dengan hal itu
tidak takfir orang-perorang yang tidak mengkafirkan Jahmiyyah dan yang
sebangsa dengan mereka, bukan penggunaan ancaman dengan kaidah itu. Sungguh engkau sudah mengetahui pengunaan dan pemakaian Ahmad terhadap kaidah ini seperti yang telah diuraikan di atas.
Kemudian Syaikhul Islam berkata :…( Dan bisa jadi sebagian mereka
menjadikan perbedaan dalam pengkafiran orang yang tidak mengkafirkan ini
secara mutlaq, sedangkan ini adalah kekeliruan murni ). Seolah beliau
mengisyaratkan akan pentingnya tafshil ( merinci ) dalam masalah ini,
dan itulah yang menjadi hal yang pasti disisi kami setelah penelusuran
kaidah ini sebagaimana yang akan engkau lihat.
Dan dikarenakan mayoritas orang yang saya dengar menggunakan kaidah
ini dan berhujjah dengannya dari kalangan para pemula dalam thalabul
ilmi atau orang-orang yang ghuluw ( dalam takfir ), mereka itu biasanya
menisbatkan kaidah tersebut kepada Syaikhul Isalam Ibnu Taimiyyah atau
Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, sedangkan sudah maklum bahwa
mayoritas tulisan-tulisan Syaikh Muahammad Ibnu Abdul Wahhab,
putera-puteranya, cucu-cucunya dan para pengikutnya dari kalangan para
Imam dakwah najdiyyah rujukan mayoritas tulisan-tulisan mereka itu –
terutama dalam masalah ini – adalah kepada Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
Oleh karena itu, saya akan mengambil contoh praktek dalam penjelasan
kaidah ini dari pemakaian-pemakaian beliau terhadapnya, sebagaimana saya
akan meminta bantuan dengan penjelasan sebagian penjabaran-penjabaran
para cucu Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab terhadap ungkapan kakek
mereka rahimahullah dalam masalah ini…. Mudah-mudahan hal itu
memperjelas masalah ini dan menambahnya makin terang.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam Al Fatawa 2/83 saat beliau
berbicara tentang Al Ittihadiyyah ahlul widatul wujud… siapa yang
berkata : “sesungguhnya para penyembah berhala seandainya meninggalkan (
ibadah kepada ) berhala-berhala itu, tentulah mereka tidak mengetahui
dari kebenaran ini seukuran apa yang mereka tinggalkan dari ( berhala )
itu. “Maka dia itu lebih kafir daripada yahudi dan nasara. dan siapa
yang tidak mengkafirkan mereka maka dia itu lebih kafir dari pada yahudi
dan nasara, karena sesungguhnya orang-orang yahudi dan nasara
mengkafirkan para ‘ubbadul ashnam ( para penyembah berhala ), maka
bagaimana menjadikan orang yang meninggalkan ibadatul ashnam sebagai
orang yang tidak mengeahui dari kebenaran ini seukuran apa yang dia
tinggalkan darinya ?”.
Sesungguhnya ahlu wihdatul wujud mengatakan – semoga Allah
menghinakan mereka – bahwa segala sesuatu itu adalah Allah, jadi berhala
menurut mereka termasuk Allah, siapa orang yang meninggalkan
peribadatan terhadapnya maka ia telah meninggalkan sesuatu dari
kebenaran dan dari peribadatan terhadap Allah….!!!
Oleh karena itu, Al Allamah Syarafuddin Abu Muhammad Ismail Ibnu Abi
Bakar Al Muqri Al Yamaniy Asy Syafi’iy berkata dalam bantahannya
terhadap ahlul hulul wal ittihad dan dalam penjelasan kekafiran Ibnu
Arabiy yang tersebar dalam kitab fushushnya, dan itu dalam mandhumah
ra’iyyah beliau yang diberi judul : Al Hujjah Ad Damighah li Rijal Al
Fushush Az- Za-idhah”.
Ibnu Arabiy lancing didalamnya dan berani menetang Allah dalam ucapannya dengan segala kelancangannya dia berkata :
Bahwa Rabb dan hamba itu satu……………………..
Sehingga Rabbku adalah marbub tidak ada perbedaan…………………
Dia ingkari taklif karena si hamba baginya …………………………….
Adalah Tuhan dan hamba, ini adalah pengingkaran yang aniaya………
Dia berkata : Al Haq menyatu dalam setiap bentuk……………………
Dia menjelma di atasnya, maka dia salah satu fenomena……………….
Dan bukan hanya fir’aun saja yang dihukumi beriman…………………
Saat matinya, bahkan mencakup semua orang kafir……………………
Maka dustakan dia wahai saudara tentu engkau jadimukmin terbaik ….
Dan kalau tidak maka benarkan dia tentulah kamu jadi kafir terburuk…
Dia ( ibnu Arabiy ) memuji orang yang tak penuhi Nuh saat ia menyeru…
Untuk meninggalkan wadd atau suwa’ dan Nasr……………………….
Dia sebut bodoh orang yang mentaati perintahnya……………………..
Untuk meninggalkan ( berhala itu, sungguh ucapan si kafir yang terang-terangan….
Dan dia puji baik berhala-berhala itu dan ia tidak memandang………………..
Hamba baginya dari golongan yang membangkang perintah orang yang memerintah.
Dan ini apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam tentang
ucapan Al Ittihadiyyah, bahwa penyembah berhala seandainya mereka
meninggalkan peribadatan terhadapnya tentulah mereka jahil dengan hal
itu….. hingga ucapannya :
Bila kau katakan dien Ibnu Arabiy adalah dien kami……………..
Dan mengkafirkan dia adalah ( sama ) mengkafirkan kami, maka waspada…..
Saya katakan sungguh kau sekarang mengkafirkan diri sendiri…….
Dan kau yang menjerumuskannya dalam kebinasaan ……
Karena itu adalah dien ( diluar ) dien Muhammad ……………………
Dan kekafiran nyata yang jauh terjerumus dalam kesesatan…………..
Ini adalah beberapa bait yang terpencar-pencar dari
qashidahnya; dinukil dari syarh Nuriyya Ibnu Qayyim karya Ahmad Ibnu Isa
1/174 dan seterusnya. Sedangkan ucapannya ( Ibnu Arabiy ) ia adalah
Ibnu Arabiy Ath Thaa’iy penulis fushushul Hukmi (638 H) ditulis di bait
itu dengan pakai alif lam dan mad karena alasan dlarurat syair.
Sedangkan dalam tiga bait terakhirnya adalah isyarat pada kaidah yang
sedang kita bicarakan atau dekat darinya.
Di dalamnya beliau telah menyebutkan kafirnya orang yang
mengingkari pengkafiran Ibnu ‘Arabiy dan menganut pahamnya… beliau
menegaskan hal itu serta menyebutkan kaidah dalam hal itu di sebagian
karya-karya tulis beliau, sebagaimana yang dikatakan Al Hafidh As
Sakhawi dalam “Al Qoul Al Munbi ‘An Tarjamati Ibnul ‘Arabiy”, ( …..Dan
Ibnul Muqriy telah berkata dalam bab Riddah dari kitab “Ar Raudl “
mukhtashar “ Ar Raudlah “; …..siapa yang bimbang dalam pengkafiran
orang-orang yahudi, nasara, Ibnu ‘Arabiy dan kelompoknya maka dia kafir.
Dinukil dari syarh Nuriyyah Ibnu Qayyim 1/166, dan Syaikh Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab menuturkannya dalam “Muf’idul Mustafid Fi Kufri Tarikat
Tauhid “. Dan ini berdasarkan atas apa yang disebarkan oleh Ibnu ‘Arabiy
dalam kitab-kitabnya berupa ucapan-ucapan yang keji dan
kekafiran-kekafiran yang nyata. Kita memohon keselamatan dan ‘afiyah
kepada Allah.
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telahmenyebutkan juga
Ibnu ‘Arabiy dari banyak ulama….dan beliau berkata : inilah dan dia itu
lebih dekat terhadap islam daripada Ibnu Sab’in dan daripada Al Qaunawiy
At Tilimyaaniy dan orang-orang seperti dia dari kalangan pengikutnya.
Bila saja yang paling dekat ( kepada islam ) ini adalah memiliki
kekafiran yang lebih dahsyat dari kekafiran yahudi dan nasara, maka
bagaimana gerangan dengan mereka yang lebih jauh dari islam ? sedangkan
saya tidak menuturkan sepersepuluh dari kekafiran yang mereka sebutkan”.
( Majmu Fatawa 2/85 ). Adapun di atas ajaran apa Ibnu Arabiy ini
meninggal dunia, maka sungguh dalam hal itu Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah telah bersikap tawaqquf dalam banyak tempat dalam fatawanya.
Di dalam 2/284 beliau berkata setelah mengungkapkan kufur Al
Ittihadiyyah….. ( Dan makna-makna ini seluruhnya adalah ucapan penulis
Al Fushush, dan Allah ta’ala lebih mengetahui akan kondisi di atas apa
orang ini mati ?? dan lihat juga hal serupa 2/93, cetakan Dar Ibnu Hazm.
Perhatikan ucapan Syaikhul islam ini beserta ucapannya
yang lalu tentang Ibnu ‘Arabiy, sesungguhnya itu mengenalkan padamu
sikap wara’ para imam panutan dalam hukum takfir terutama saat ihtimal (
tidak jelas ) atau ketidakjelasan khatimah dan akhir usia.
Dan kita kembali pada nukilan-nukilan kita darinya dalam
kaidah “ orang yang tidak mengkafirkan orang kafir “. Dimana beliau
berkata setelah menjelaskan bahwa orang-orang wahdatul wujud itu lebih
buruk dalam ungkapan mereka bahwa segala sesuatu itu adalah Allah, dan
lebih keji daripada orang-orang nasrani yang mengatakan bahwa Al masih
saja dia adalah Allah….!! Maha suci Allah dari apa yang dikatakan
orang-orang zalim itu.
Beliau berkata :…( Dan oleh sebab itu, mengakui
orang-orang yahudi dan nasara di atas apa yang mereka yakini, dan mereka
menjadikan orang-orang yahudi dan nasara itu diatas kebenaran
sebagaimana mereka menjadikan ‘ubbadul ashnam di atas kebenaran.
Sedangkan masing-masing dari ( keyakinan-keyakinan ) ini adalah
tergolong kekafiran terbesar. Siapa orangnya yang berbaik sangka
terhadap mereka dan dia mengaku tidak mengetahui keadaan mereka, maka
dia ( mesti ) diberitahu keadaan mereka, kemudian kalu dia tidak
menyelisihi mereka dan tidak menampakkan pengingkaran terhadap mereka,
dan kalau tidak maka dia digolongkan dengan mereka serta dijadikan
bagian dari mereka. Adapun orang yang berkata : ..ungkapan mereka
memiliki takwil yang selaras dengan syariat, “..maka sesungguhnya dia
tergolong tokoh dan pimpinan mereka, karena sesungguhnya bila dia memang
cerdik maka sungguh dia itu mengetahui kebohongan dirinya sendiri dalam
apa yang dia katakan, dan bila dia meyakini hal ini secara bathin dan
dzahir maka dia itu lebih kafir dari orang-orang nasara. orang yang
tidak mengkafirkan mereka itu justeru menjadikan takwil bagi ucapan
mereka itu, maka dia sangat jauh dari mengkafirkan orang-orang nasrani
dengan sebab ( ajaran ) trinitas dan ittihad ( penyatuan ) wallahu
‘alam, 2/86 cetakan Dar Ibnu Hazm.
Dan berkata juga: ( Dan ucapan-ucapan mereka itu lebih buruk dari
ucapan-ucapan nasara, dan di dalamnya terdapat kontradiksi yang sejenis
dengan apa yang ada dalam ungkapan-ungkapan nasara, dan oleh karenannya
mereka berpendapat Al hulul dan terkadang Al Ittihad dan terkadang juga
berpendapat Al Wihdah, sesungguhnya ia adalah madzhab yang kontradiksi
dengan sendirinya, oleh karenanya mereka membuat pengkaburan ( talbis )
atas orang yang tidak memahaminya. Ini semuanya adalah kekafiran secara
bathin dan dhahir dengan ijma setiap muslim, dan orang yang ragu akan
kekafiran mereka setelah mengetahui pendapat mereka dan mengetahui
dienul islam, maka dia kafir seperti orang yang ragu akan kekafiran
yahudi, nashara dan kaum musyrikin, ( 2/223 ).
Berangkat dari contoh ini dengan ketiga tempatnya maka kita bias mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sesungguhnya Syaikhul Islam menggunakan kaidah ini dengan
lafadz-lafadz yang berdekatan, terkadang global dan terkadang dengan
rincian.
Beliau berkata :….(“ orang yang tidak mengkafirkan mereka maka dia lebih kafir dari yahudi dan nasara ).
Beliau berkata :….(“ siapa orang yang berbaik sangka terhadap mereka
dan dia mengaku tidak mengetahui keadaan mereka, maka dia ( mesti )
diberi tahu keadaan mereka, kemudian kalau dia tidak menyelisihi mereka
dan tidak menampakkan pengingkaran terhadap mereka, dan kalau tidak maka
dia digolongkan dengan mereka serta dijadikan bagian dari mereka.
Adapun orang yang berkata : …ungkapan mereka memiliki takwil yang
selaras dengan syariat, maka sesungguhnya dia tergolong tokoh dan
pimpinan mereka ).
Beliau berkata :…..(“ Dan orang yang ragu aka kekafiran mereka
setelah mengetahui pendapat mereka dan mengetahui dienul islam, maka dia
kafir seperti orang yang ragu akan kekafiran yahudi dan nasara ).
Maka wajib menafsirkan apa yang global dari hal itu dan
memahaminya sesuai dengan apa yang dirinci, karena perkataan sebagaimana
yang nampak adalah tentang satu masalah dan satu kelompok.
- Sesungguhnya beliau menggunakan kaidah ini dalam kekafiran yang
beliau sifati bahwa itu ( dhahir dengan ijma setiap muslim ) dan (
masing-masing dari keyakinan-keyakinan itu tergolong kekafiran terbesar )
bahkan itu lebih kafir dari yahudi dan nashara dan ( lebih buruk dari
ungkapan orang-orang nashara ), karena orang-orang nashara, mereka itu
memegang aqidah hululullah dan penyatuan-Nya dengan sosok Al Masih,
adapun mereka kaum hululiyyah al ittihadiyyah sungguh telah menjadikan
wujud seluruhnya dengan benda matinya, hewan-hewannya, benda-benda
kotornya, orang-orang kafirnya, dan orang-orang durjananya, adalah
termasuk ( bagian ) dari zat Allah…Maha suci Allah dari apa yang
dikatakan orang-orang dzalim itu. Dan oleh karenanya Syaikhul islam
berkata : (…orang yang tidak mengkafirkan mereka maka ia sangat jauh
dari mengkafirkan orang yahudi dan nashara dengan sebab trinitas dan
ittihad ) dan ( orang yang ragu akan kekafiran mereka…adalah seperti
orang yang ragu akan kekafiran yahudi dan nashara ).
- Kemudian, meskipin beliau menyebutkan bahwa kekafiran orang-orang
tersebut dan ucapan-ucapan mereka itu lebih buruk dan lebih kafir dari
kekafiran yahudi dan nashara, namun engaku melihat beliau tidak
menerapkan kaidah ini kecuali dengan batasan penting yang wajib atas
orang yang meggunakannya dan menisbastkannya pada beliau untuk menjaga
dan memperhatikan batasan it, yaitu bahwa orang yang enggan mengkafirkan
mereka itu adalah dari kalangan orang yang mengetahui keadaan mereka
dan rincian pendapat-pendapat mereka yang kufur lagi keji.
Dan dari sini saya ingatkan engkau dengan ungkapan Abu Zar’ah
dan Abu Hatim Ar Raziyan yang lalu dalam takfir orang yang mengatakan
bahwa Al Qur’an adalah makhluk, yang mana keduanya mensyaratkan sebelum
mengkafirkan orang yang ragu akan kekafirannya, yaitu dia itu tergolong
dari kalangan orang yang paham dan mengetahui kekafiran mereka.
Sedangkan perkataan Syaikhul islam adalah sejalan dengan itu seperti
yang engkau lihat mereka itu mengambil dari sumber yang sama.
Syaikhul islam berkata :….”Dan bila ( ia mengaku bahwa ia tidak
mengetahui keadaan mereka, maka ia ( mesti ) dikasih tahu keadaan mereka
) dan itu sebelum menerapkan kaidah ini dan mengkafirkan (orang)nya,
kemudian bila ia besikukuh ( di atas pendiriannya ) setelah itu, maka ia
digolongkan dengan mereka….dan beliau berakata : ( siapa yang ragu
akan kekafiran mereka setelah mengetahui pendapat mereka dan ( setelah
) mengetahui dienul islam, maka dia kafir ). Disini beliau menambahkan
dan mensyaratkan disamping mengetahui pendapat mereka juga harus
mengetahui dienul islam.
Sehingga keluar dengannya dari
penggunaan-penggunaan beliau akan kaidah ini orang yang baru masuk islam
atau orang yang semisalnya dari kalangan orang yang diuzur karena
kejahilannya dengan sebab tidak adanya kesempatan untuk mencari tahu.
Dan dalam uraian ini ada penjelasan yang cukup bahwa beliau
tidak menerapkan kaidah ini – yang mana biasanya tidak digunakan kecuali
pada kekafiran yang paling tampak – kecuali setelah penegakkan hujjah,
pemberitahuan, dan penjelasan kebenaran, sehingga tidak dikafirkan lewat
jalur kaidah ini kecuali orang yang mendustakan atau orang yang enggan
dari menerima nash shahih yang qath’iy dilalahnya, dan oleh karena itu,
beliau memberikan batasan ( dengan mengetahui dienul islam ). Dan dalam
kekafiran nyata yang tidak ada iktimal, oleh karena itu, beliau memberi
batasan yaitu ( mengetahui pendapat mereka ) yang keji yang mana ia
lebih busuk dari pendapat-pendapat orang-orang nashara. Beliau telah
mengudzur orang yang tidak mengkafirkan mereka disini karena dua
kejahilan : (i) jahil dalil syar’iy dan; (ii) jahil akan realita4
Sesungguhnya si mufti atau orang yang berbicara atas nama tuhan
semesta alam tidak mungkin mendapatkan hal itu dan tidak bisa mencapai
kebenaran dengannya kecuali dengan cara dia menggabungkan antara dua
pengetahuan atau dua Ilmu, mengetahui dalil atau hukum Allah dalam hal
itu, dan ini adalah yang diisyaratkan dengan ungkapannya : (…mengetahu
dienul islam…) dan mengetahui hakekat realita atau pendapat yang
ditanyakan tentangnya, dan ini adalah yang diisyaratkan dengan
ungkapannya (…mengetahui ucapan mereka..) serta ucapannya : dan bila (
ia mengaku bahwa ia tidak mengetahui keadaan mereka, maka ia ( mesti )
diberi tahu tentang keadaan mereka ).
Dan kejahilan akan salah satu dari dua hal ini
menghalangi dari tercapainya kebenaran dan merintangi dari berbicara
atas nama Rabbul ‘alamin, karena saat itu si pembicara berbicara atas
nama Allah tanpa ilmu.
Oleh karena itu beliau rahimahullah berkata di muqaddimah fatawanya
tentang Tarta dan pasukan-pasukannya yang mengaku islam :..( Al
hamdulillah rabbil ‘alamin, ya.. wajib memerangi mereka itu dengan (
landasan ) kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan kesepakatan imam kaum
muslimin. Dan ini berlandaskan atas dua dasar :
- Mengetahu keadaan mereka
2. Mengetahu hokum Allah terhadap orang seperti mereka
Dan murid beliau Ibnu Qayyim rahimahullah berkata seraya
menjelaskan hal itu dalam A’lamul Muwaqi’in 1/87-89 :..Mufti dan hakim
tidak tidak memungkinkan dari berfatwa dan memutuskan dengan kebenaran
kecuali dengan dua macam dari pemahaman :
Pertama : Paham akan waqi’ ( realita ), memahaminya dan
mengistimbath ilmu hakikat apa yang terjadi qarinah-qarinah,
tanda-tanda, dan ciri-ciri sehingga ia menguasai ilmunya akan hal itu.
Kedua : memahami apa yang waji ( diputuskan ) pada waqi’ tersebut,
yaitu paham akan hokum Allah yang ia putuskan dengannya didalam
kitab-Nya atau lewat lisan Rasul-Nya saw untuk waqi’ ini. Kemudian
menerapkan salah satunya pada yang lainnya.
Dan sebagai tambahan penjelasan dan penguat akan hal ini,
saya nukilkan ke hadapan engkau pernyataan-pernyataan Syaikhul islam
rahimahullah yang tegas tentang pengudzuran orang-orang yang jahil akan
hakekat madzhab kaum al ittihaddiyyah itu dan sikapnya tidak menerapkan
apa yang dikandung oleh kaidah ini berupa ancaman takfir, terhadap orang
yang tidak mengkafirkan mereka dari kalangan orang-orang yang jahil,
kecuali setelah penegakkan hujjah atas mereka,.. dan engkau sudah
mengetahui bahwa yang dimaksud dengan penegakkan hujjah disini adalah
…memberitahu mereka akan kekejian pendapat – pendapat al ittihadiyyah
dan apa yang dikandungnya berupa kekafiran yang nyata, serta
memberitahukan kepada mereka penentangan ( pendapat-pendapat ) itu
terhadap dienul islam bila memang mereka itu tergolong orang yang tidak
mengetahui hal itu, seperti orang yang baru masuk islam.
Beliau rahimahullah berkata dalam Al Fatawa :
(…ungkapan-ungkapan mereka itu dan yang serupa dengannya, bahwa
bathinnya lebih dahsyat kekafiran dan ilhadnya daripada dhahirnya,
karena sesungguhnya dhahirnya bisa saja dikira termasuk jenis ucapan
para Syaikh yang arif ahlut tahqiq at tauhid, sedangkan bathinnya adalah
lebih dasyat kekafiran, kedustaan dan kebodohannya daripada ucapan
yahudi, nashara dan ‘ubbadul ashnam, maka setiap orang yang mengetahui
bathin madzhab ini dan dia menyetujui mereka atas paham ini berarti dia
telah menampakkan kekafiran dan ilhad. Adapun orang-orang yang jahil
yang berbaik sangka terhadap ucapan mereka, tidak memahami mereka itu,
dan meyakini bahwa ucapan itu tergolong jenis ucapan para Syaikh yang
arif yang berbicara dengan perkataan yang benar yang tidak dipahami oleh
banyak orang, maka mereka itu ( sungguh ) engkau mendapatkan pada (
diri ) mereka itu keislaman, keimanan dan mutaba’ah terhadap Al kitab
dan As sunnah sesuai dengan iman mereka yang bersifat taqlid. Dan
apabila engkau mendapatkan pada diri mereka ( sikap ), iqrar (
pengakuan ) terhadap mereka itu dan sikap berbaik sangka terhadapnya
serta sikap penerimaan terhadap mereka sesuai dengan kebodohan mereka
itu. Sedangkan tidak terbayang ada yang memuji terhadap mereka itu
kecuali orang kafir mulhid atau jahil yang sesat ). 2/222
Dan berkata juga : (…Dan siapa yang berkata bahwa ucapan
mereka itu mereka itu memiliki rahasia yang tersembunyi dan bathin
kebenaran, serta itu tergolong haqaiq yang tidak diketahui kecuali oleh
orang-orang khusus dari orang-orang khusus makhluk ini, maka ia itu
salah satu dari dua orang, bisa jadi ia itu tergolong tokoh-tokoh
zanadiqah ahlul ilhad wal mukal ( kafir ), dan bisa jadi ia itu
tergolong kibar ahli jahli wadl dlalal. Adapun si zindiq maka wajib
dibunuh sedangkan si jahil maka mesti diberi tahu hakekat masalah ini,
kemudian bila dia bersikukuh di atas keyakinannya yang bathil ini
setelah tegaknya hujjah atas dia maka wajib dibunuh ) 2/230. Dan lihat
juga yang hampir serupa 2/85.
Dan begitulah bila engkau menelusuri penerapan para ulama
terhadap kaidah ini maka pasti engkau mendapatkannya di atas jalur ini
pada umumnya, dan berikut ini beberapa contoh yang ada disisi saya :
Al Qadli Iyadl menukil dari Muhamad Ibnu Sahnun ucapannya
: ( para ulama berijma bahwa orang yang menghina Nabi saw lagi
meremehkan beliau adalah kafir, dan ancaman berlaku atasnya dengan
berupa azab Allah baginya, serta vonisnya menurut umat ini adalah
dibunuh, sedangkan orang yang ragu akan kekafirannya dan ( akan )
adzabnya adalah kafir ). Asy Syifa 2/215-216, dan Syaikhul islam
menyebutkannya dalam Ash Sharim hal 4.
Perhatikan ucapan tadi, tentu engkau melihatnya sejalan
dengan yang telah kami utarakan lagi tidak keluar darinya. Menghina Nabi
saw sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Ibnu Sahnun adalah
kekafiran dengan ijma para ulama, dan syaikhul islam telah menukil ijma
atas hal itu dihikayatkan oleh banyak ulama…lihat Al Masalah Al Ula hal 3
dst.
Sebagaimana syaikhul islam menetapkan dalam Ash Sharim Al
Maslul bahwa kemurtadan orang yang menghina Rasulullah saw adalah
riddah mughalladhah dan zaidah ( berlipat ). Lihat hal 297 dan yang
lainnya. Sesungguhnya dalam hinaan itu terkadang sikap menyakiti Allah,
Rasul-Nya saw dan hamba-hamba-Nya yang mukmin, yang mana itu tidak ada
dalam kekafiran dan muharabah ( lihat hal 294 dll ) dan hinaan itu lebih
dasyat dari kekafiran dan kemusyrikan yahudi dan nashara yang dibiarkan
di atas ajarannya di darul islam dengan syarat bayar jizyah, dan mereka
( yahudi dan nashara ) dan yang lainnya tidak dibiarkan atas hinaan
terhadap Rasulullah saw sama sekali, Lihat hal 246 dst.
Ada yang perlu diingatkan bahwa penuturan kaidah tersebut
disini hanyalah dalam hinaan dan peremehan yang jelas, bukan dalam
lontaran-lontaran yang masih ihtimal ( ada kemungkinan lain ) lagi tidak
sharih, dengan dalil apa yang telah kami utarakan kepadamu dalam
nukilan-nukilan yang lalu berupa sikap teliti para ulama dan diantaranya
Al Qadli ‘Iyad pemilik nukilan di atas, dan sikap hati-hati mereka
serta perselisihan dalam pengkafiran orang yang muncul darinya ucapan
yang ihtimal dalam hal ini, juga sikap perincian mereka sebelum
melakukan pengkafiran dengan ungkapan-ungkapan yang mengandung ihtimal
dan pengamatan mereka akan tujuan,qarinah-qarinah dan ‘urf ( kebiasaan
). Semua itu dalam mengkafirkan pemilik ucapan yang masih ihtimal !!
maka apa gerangan dengan takfir orang yang tidak mengkafirkannya….?
Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Fatawa
35/98 saat berbicara tentang kelompok Darwiz : ( kekafiran mereka itu
termasuk hal yang tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin tentangnya,
bahkan siapa yang ragu akan kekafiran mereka maka dia kafir seperti
mereka, mereka itu tidak seperti ahlul kitab dan kaum musyrikin, namun
mereka itulah orang-orang kafir yang sesat sehingga sembelian mereka itu
tidak boleh dimakan…).
Perhatikan bagaimana beliau menyebutkan sebelum
penggunaan kaidah tersebut, bahwa kekafiran mereka itu termasuk hal yang
tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin tentangnya, dan beliau
menuturkan bahwa mereka itu tidak seperti ahli kitab, yaitu bahwa mereka
itu lebih buruk dari ahli kitab. Sungguh beliau menyebutkan dalam
bahasan itu bahwa mereka itu mempertuhankan ( al Hakim ) Al ‘Ubaidiy dan
mereka menamakannya ( Al Bari ‘Allam ) dan bahwa mereka itu ( termasuk
dari kalangan Qaramithan Bathiniyyah yang mana mereka itu lebih kafir
daripada yahudi, nashara dan kaum musyrikin arab )”.
Hal ini selaras dengan apa yang telah kami uraikan
kepadamu…. Maka silahkan kiaskan kepadanya isya Allah engkau menggapai
kebenaran. Belaiu berkata dalam As Sharim Al Maslul 586-587 dalam
rincian bahasan tentang orang yang mencela para sahabat : ( Dan adapun
orang yang menyertakan dengan celaannya itu klaim bahwa Ali
adalah Ilah ( tuhan ) atau bahwa ia adalah Nabi, dan hanya saja Jibril
salah dalam menyampaikan risalah, maka ini tidak ada keraguan akan
kekafirannya, bahkan tidak ada keraguan akan kekafiran orang yang
tawaqquf dalam mengkafirkannya5
Dan begitu juga orang yang mengklaim diantara mereka
bahwa Al Qur’an kurang darinya beberapa ayat dan disembunyikan, atau
mengkalim bahwa Al Qur’an itu memiliki pentakwilan-pentakwilan bathin
yang menggugurkan amalan-amalan yang disyariatkan, dan yang lainnya, dan
mereka itu dinamakan Al Qaramithah Al Bathiniyyah dan diantaranya At
Tanasukiyyah, maka mereka itu tidak diperselisihkan akan kekafiran
mereka.
Dan adapun orang yang mencela mereka ( sahabat ) dengan
celaan yang tidak mencoreng keadilan dan dien mereka, seperti menuduh
sebagian mereka dengan tuduhan bakhil atau penakut atau kurang ilmu atau
tidak zuhud dan tuduhan lainnya maka orang seperti inilah yang berhak
untuk diberi pelajaran dan sangsi, dan kami tidak memvonis dia kafir
dengan sekedar itu, dan atas inilah perkataan orang yang tidak
mengkafirkan mereka dari kalangan ahlul ilmi ditafsirkan.
Dan adapun orang yang melaknat dan mencerca begitu saja,
maka ini masih ada perselisihan diantara para ulama karena perbuatan ini
masih mengandung dua kemungkinan, yaitu antara
laknat kebenciaan dan
laknat keyakinan.
Dan adapun orang yang melampui hal itu sampai ia
mengklaim bahwa mereka itu ( sahabat ) murtad sepeninggal Rasulullah saw
kecuali beberapa orang saja yang tidak sampai sekian belas orang atau
atau bahwa mereka ( sahabat ) fasik seluruhnya, maka ini tidak diragukan
lagi kekafirannya, karena dia telah mendustakan apa yang telah
ditegaskan oleh Al Qur'an dalam banyak tempat berupa ridha ( Allah )
terhadap mereka dan pujian-pujian kepada mereka, bahkan orang yang ragu
akan kekafiran orang semacam ini, maka kekafirannya adalah sudah pasti,
karena sesungghnya kandungan6 pendapat ini bahwa para pembawa Al Kitab
dan As Sunnah adalah orang-orang yang kafir atau fasik. Padahal Allah
dalam ayat-Nya :
“kalian adalah sebaik-baiknya umat yang dikeluarkan untuk manusia”
Ini menunjukan bahwa umat terbaik adalah generasi pertama, kalau
demikian halnya berdasarkan pengklaiman ( pendapat )mereka diatas
berarti seluruhnya ( sahabat ) adalah orang-orang kafir atau fasik, dan
juga kandungan pendapat ini menunjukan bahwa umat ini adalah umat paling
buruk, serta para pendahulu umat ini adalah merekalah yang paling
buruk. Dan kekafiran orang ( yang berpendapat seperti ini adalah
tergolong sesuatu yang diketahui secara pasti dari dien Al Islam…)
hingga beliau berkata: (…dan secara umum bahwa diantara
golongan-golongan para pencela itu ada orang yang tidak ragu lagi akan
kekafirannya, diantara mereka ada orang yang tidak ragu lagi akan
kekafirannya, diantara mereka ada orang yang masih ngambang tentang
statusnya…)
Dan saya cukupkan dengan ini agar saya menyimpulkan apa yang telah lalu, maka saya katakan :
(...”sesungguhnya kaidah ini digunakan untuk menguatkan kekafiran
yang nyata lagi jelas yang mana ia seperti kekafiran yahudi dan nashara
atau bahkan lebih dasyat dan lebih jelas, sehingga orang yang enggan
dari mengkafirkan mereka itu adalah seperti orang yang mendustakan nash
syar’iy yang qath’iy dilalahnya, sedangkan orang seperti ini adalah
kafir dengan dasar ijma”..)
Dari sini engaku mengetahui rahasia dalam penyebutan ijma
yang dilakukan oleh para ulama seperti Syaikh Muhammad Ibnu Abdil
Wahhab dan yang lainnya saat mereka menggunakan kaidah ini. Namun dengan
semua ini, maka tidak boleh dikafirkan dengan jalan kaidah ini orang
yang enggan mengkafirkan mereka dari kalangan kaum muslimin yang bodoh,
kecuali setelah penegakkan hujjah atasnya dengan cara memberitahu
ungkapan-ungkapan kufur mereka bila memang ia tegolong orang yang tidak
mengetahui hal itu seperti yang baru masuk islam.
Dan atas dasar ini sehingga mungkin dikatakan bahwa
kaidah ini dengan apa yang dikandungnya berupa ancaman takfir bagi orang
yang tidak mengkafirkan orang kafir, statusnya adalah status seluruh
nash-nash ancaman dalam penggunaan-penggunaan ulama. Mereka melontarkan
ucapan begitu saja, dalam kaidah ini bila perkataannya perkataannya itu
bersifat umum terhadap kelompok-kelompok, ajaran-ajaran,
ungkapan-ungkapan dan keyakinan-keyakinan yang menyimpang dari manhaj
Ahlus Sunnah, akan tetapi saat menerapkan kaidah ini terhadap
orang-orang tertentu ( ta’yin ) maka harus melihat terpenuhinya
syarat-syarat takfir dan tidak adanya mawani’. Sikap para ulama ini
adalah sama dengan apa yang mereka lakukan dengan nash-nash wa’id (
ancaman ). Dan oleh karena itu, sangat penting sekali di sini saya
mengingatkan dengan perkataan Syaikhul islam yang telah saya ketengahkan
tentang pentingnya membedakan antara
takfir muthlaq dengan
takfir mu’ayyan,
baik dalam memahami perkataan syar’iy atau saat mengambil dan
menggunakan perkataan para imam, karena pentingnya menghubungkan hal itu
dengan kaidah ini.
Beliau rahimahullah : (..Dan hakekat masalahnya ;
sesungguhnya mereka telah terlena dalam lafadz-lafadz umum ( yang ada )
dalam perkataan para imam sebagaimana orang-orang terdahulu terkena
dalam lafadz-lafadz umum ( yang ada ) dalam nash-nash syar’iy, setiap
kali mereka melihat, mereka berkata :..siapa yang mengatakan begini maka
dia kafir. Maka si pnedengar meyakini bahwa lafadz ini mencakup setiap
orang yang mengatakannya, dan mereka tidak mentadaburi bahwa takfir itu
memiliki syarat-syarat dan mawani’ yang terkadang tidak terpenuhi pada
diri orang mu’ayyan.
Dan sesungguhnya takfir muthlaq itu tidak memastikan takfir mu’ayyan kecuali bila syarat-syaratnya ada dan mawani’nya tidak ada.
Hal ini dibuktikan bahwa Imam Ahmad dan seluruh para imam yang
melontarkan ( kaidah ) umum ini, mereka tidak mengkafirkan mayoritas
oaring yang mengucapkan perkataan ini secara mu’ayyan, ( dari Al
Fataawa).
Maka dari itu tidak sah tesalsul ( sambung menyambung
lagi merentetkannya ) yang dilakukan oleh banyak ahlul ghuluw pada
kaidah ini. Bila saja orang-orang yang ( paling terdahulu )
menggunakan kaidah ini tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan
Al Ittihadiyyah dan yang lainnya secara mu’ayyan kecuali setelah
penegakkan hujjah, maka apalagi lebih utama mereka itu tidak
mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan
mereka …..dan begitulah seterusnya…sedangkan tesalsul yang sangat
tercela ini digunakan oleh sebagian orang-orang ahlul ghuluw yang jahil
terhadap orang-orang yang menyelisihi mereka dalam hal takfir juga
hal-hal yang muktamat ( banyak kemungkinan ). Takfir dengan ma-aal,
takfir dengan masalah-masalah khafiyyah dan yang lainnya yang tergolong
masalah-masalah yang musykil. Dan engkau telah melihat syarat-syarat
yang disebutkan oleh para ulama yang melontarkan kaidah ini dalam
kekafiran yang seperti kekafiran yahudi dan nashara atau lebih dasyat…
bila saja sikap keras ini dan kehati-hatian dari mereka dalam awal
rentetan dan dasarnya, maka tidak ragu lagi bahwa sikap keras dan
keahati-hatian mereka akan lebih dasyat dan lebih besar dalam takfir
orang yang datang setelahnya dari kalangan orang yang tidak mengkafirkan
orang yang tidak mengkafirkan mereka dan orang yang tidak mengkafirkan
orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan mereka !!!
hinga akhir apa yang direntetkan oleh para ghulah dan tidak ragu lagi
bahwa ini lebih sulit dan lebih sulit, akan tetapi kalau itu disertai
hawa nafsu adalah lebih mudah.
Dan setelah itu, bila engkau telah memahami apa yang
telah lalu maka pastilah menjadi sesuatu yang engkau ketahui bahwa
tidaklah masuk akal setelah ini semua penggunaan kaidah ini dan
penerapannya terhadap orang yang enggan mengkafirkan sebagian
orang-orang yang mengaku islam dari kalangan yang telah tegak disisnya
untuk mengkafirkan mereka, sebagian dalil-dalil yang bertentangan dia
duga sebagai mawani’ (pengahlang-penghalang) takfir atau syubhat-syubhat
yang merintangi dia dari memahami sebagian nash-nash. Sebagai contoh
misalnya seperti orang yang meninggalkan shalat, sesungguhnya orang yang
tidak mengkafirkannya meskipun dia itu keliru akan tetapi dia tidak
megingkari dalil-dalil yang shahih yang menghukumi kafir tarikush
shalah, justeru dia mengimaminya dan membenarkannya, namun dia
mentakwilkannya dengan syirik ashgar atau menghususkannya bagi orang
yang mengingkari ( wajibnya ) shalat bukan sekedar meninggalkan karena
malas, karena adanya pertentangan dhahir sebagian nash-nash yang lain
bersamanya, seperti hadits “….lima shalat yang Allah wajibkan atas
hamba-hambanya…..” dan di dalamnya ada sabdanya : …Dan siapa yang tidak
mendatangkannya maka dia tiak memiliki jaminan disisi Allah, bila Dia
menghendakinya maka Dia mengazabnya dan bila Dia menghendakinya maka Dia
mengampuninya….”diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An Nasai dan
lainnya, serta dalil-dalil lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh
mereka, dan ulama yang berpendapat seperti ini banyak, diantaranya
adalah imam-imam masyhur seperti Malik, Asy Safi’iy dan yang lainnya
yang tidak mengkafirkan tarikhush shalah karena malas…dan kami tidak
pernah mendengar seorangpun dari kalangan yang menyelisihi mereka, yang
menyatakan kafirnya tarikhush shalah, seperti imam Ahmad dalam salah
satu riwayatnya, Abdullah Ibnu Mubarak, Ishaq Ibnu Rahwiyah dan yang
lainnya, ( tidak pernah kami dengar ) mereka mengakfirkan ulama-ulama
tadi atau menerpkan kaidah ( siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir
maka dia kafir ) terhadap mereka, apalagi dari merentetkannya terus
mereka mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak
mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan mareka !!! dan begitu juga
perselisihan mereka dalam rukun-rukun islam yang sesudahnya.
Dan seperti hal ini adalah perselisihan para sahabat
tentang Ibnu Shayad, apakah ia dajjal atau bukan, padahal sesungguhnya
dajjal itu tiadak ada yang ragu lagi akan kekafirannya, namun demikian
para sahabat satu sama lain tidak saling mengkafirkan.
Dan sebagian ulama memasukan dalam hal ini apa yang Allah
sebutkan berupa perselisihan para sahabat tentang sekelompok orang dari
kalangan munafikin. Allah swt berfirman :
“Maka mengapa kamu ( terpecah ) menjadi dua golongan dalam (
menghadapi ) orang-orang munafik, padahal Allah membalikkan mereka
kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? apakah kamu
bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan
Allah ? barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak
mendapatkan jalan ( untuk memberi petunjuk ) kamu. ( An-Nisa : 88 ).”
Namun demikian salah satu golongan tidak mengkafirkan
golongan lainyang menyelisihi mereka dalam hal orang-orang munafik itu.
Dan diantaranya juga tawaqquf Umar Al Faruk tentang
status orang-orang yang menolak bayar zakat tatkala Ash Shiddik berazam
untuk memerangi mereka – dan akan datang – sungguh masalah ini telah
menjadi syikal atas Umar radiallahu anhu dikarenakan mereka itu
mengucapkan laa ilaaha ilallah. Namun demikian, Ash Shiddiq tidak
mengkafirkannya, dan justeru beliau membuka syubhat itu dan menjelaskan
kebenaran terhadap Umar, dan tidak boleh dikatakan bahwa kasus ini tidak
boleh dituturkan disini, karena yang menjadi ;syikal Umar itu hanyalah
upaya memerangi mereka bukan takfirnya. Dan itu dikarnakan setiap orang
yang mengetahui bahwa qital yang diserukan oleh Ash Shiddiq dan sikap
beliau terhadap mereka adalah qital riddah ( murtad ) bukan qital
bughat atau yang lainnya, dan inilah yang menjadi isykal bagi Umar
radiallahu anhu.
Dan seperti ini pula adalah perselisihan salaf dalam
takfir sebagian orang-orang zalim dan thagut dari kalangan penguasa atau
lainnya, seperti perselisihan mereka tentang Al Hajaj, itu sangat
terkenal. Mayoritas salaf tidak mengkafirkannya dan mereka shalat
bermakmum dibelakangnya, dan telah sah dari sebagian mereka tentang
pengkafirannya, diantaranya :
Said Ibnu Jabar,
dikatakan kepadanya :”…engaku keluar menentang
Al Hajjaj ? beliau berkata :…sesungguhnya saya demi Allah tidak keluar
menentangnya sehingga dia kafir !
Mujahid belaiu
ditanya tentang dia ( Al Hajjaj ), maka beliau berkata…kamu bertanya kepada saya tentang orang tua yang kafir ?
Ibnu Asaker
meriwayatkan dari Asy Sya’biy bahwa beliau berkata Al
Hajjaj itu mukmin kepada jibt dan thaghut lagi kafir kepada Allah yang
maha agung, bahkan;
Ibrahim An Nakh’iy
sampai-sampai mengatakan …cukuplah orang itu dianggap buta bila dia buta tentang status Al Hajaj.
Namun demikian beliau dan lainnya dari kalangan yang
telah megkafirkan Al Hajjaj tidak pernah memvonis seorangpun secara
ta’yin dari kalangan yang menyelisihi mereka dalam hal itu, mereka hanya
mengatakan cukuplah dianggap buta bila ia buta tentang status Al
Hajjaj. Apalagi mereka menggunakan baginya kaidah ( siapa yang tidak
mengkafirkan orang kafir maka ia kafir ) terus mereka merentetkan
dengannya. Bahkan telah sah dari Thawas bahwa ia berkata :…
sungguh mengherankan saudara-saudara kita dari penduduk irak ini, mereka menamakan Al Hajjaj mukmin ….?6
Perhatikan bagaimana beliau menyebut mereka sebagai
saudara-saudaranya, dan ini memang kebenaran yang tidak ada keraguan
didalamnya ….karena ahlul ilmi yang tawaqquf dari megkafirkannya, dia
hanya tawaqquf karena menghukumi dia dengan hukum asal tauhid yang dia
pegang ….dan belum sampai kepadanya kekafiran nyata darinya. Jadi dia
mujtahid dalam hal itu, dia tidak mendustakan satu nashpun dari
nash-nash syar’iy, hal ini apabila Thawus memaksudkan takfir Al Hajjaj
dengannya.
Adapun bila beliau memaksudkan apa yang disebutkan Adz
Dzahabi dalam siyar A’lam An Nubala 5/44 setelah beliau menuturkan
ungkapan Thawus ini, dimana beliau berkata :…( mengisyaratkan pada kaum
murji’ah dari mereka, yang mengatakan : ..dia mukmin sempurna imannya
padahal dia durjana, penumpah darah dan suka mencela sahabat)”.
Beliau maksudkan dengan hal itu, adalah murji’ah fuqaha
yang tidak dikafirkan oleh salaf karena sekedar kekeliruan mereka dalam
definisi iman yang mana tidak memasukan amalan dalam iman, sesungguhnya
mereka meskipun memandang orang fasik lagi fajir ini sebagai mukmin
sempurna imannya, dan dosa-dosanya tidak mengurangi imannya, sedangkan
ini adalah ucapan mereka tentang Al Hajjaj, namun mereka itu tidak
pernah membolehkan kekufuran atau menutup-nutupinya atau menamakannya
sebagai iman dan seandainya mereka mengetahui benar kekafiran Al Hajjaj
tentulah mereka tidak menamakan mukmin. Dan oleh sebab itu Thawus dan
salaf lainnya tidak mengeluarkan mereka dari ukhuwwah imaniyyah meskipun
mereka itu sesat. Ini berbeda dengan ghulatul murji’ah yang telah
dikafirkan salaf, seperti Ibnu Al Jarrah, Ahmad Ibnu Hambal, Ubu Ubaid
dan lainnya.
Dan begitu juga dikatakan dalam perselisihan salaf
tentang takfir, banyak dari ahlul uhwa seperti khawarij qadariyyah,
jahmiyyah dan lainnya. Syaikhul islam telah berbicara tentang itu dalam
banyak tempat di Al Fatawa 12/260-261 dan menyebutkan apa yang terjadi
berupa ketidakpastian diantara para ulama, dan beliau menuturkan mazdhab
Al Iman Ahmad dan murid-muridnya serta ulama ahlus sunnah lainnya dalam
perselisihan tentang takfir sebagian kelompok-kelompok itu, dan beliau
sama sekali tidak menuturkan bahwa para ulama yang mengkafirkan diantara
mereka itu telah mengkafirkan ulama-ulama yang tidak mengkafirkan, dan
selain beliaupun tidak menyebutkan hal itu dari mereka, dan justeru
beliau menyebutkan udzur mereka dalam perselisihan itu, beliau berkata
:….dan sebab perselisihan adalah adanya pertentangan antara dalil-dalil,
karena sesungguhnya mereka melihat dalil-dalil yang mengharuskan
penerapan vonis kafir terhadap mereka, kemudian mereka melihat diantara
individu-individu yang melontarkan ungkapan itu ada orang yang padanya
ada keimanan yang mencegah dia itu menjadi kafir, sehingga kedua dalil
itu bertolak belakang menurut mereka. (12/260-261 ).
Dan berkata ditempat lain : (….Dan begitulah
ucapan-ucapan yang mana orang yang melontarkanya di kafirkan, bisa jadi
orang itu belum sampai kepadanya nash-nash yang mewajibkan untuk
mengetahui kebenaran, dan bisa jadi hal itu telah sampai namun tidak
shahih menurutnya, atau tidak memiliki kesempatan untuk memahaminya, dan
bisa jadi dia terlilit oleh syubhat-syubhat yang mana Allah swt
mengudzur dengannya. Bila dia itu tergolong orang-orang mukminin lagi
beupaya keras untuk mencari kebenaran dan ternyata keliru, maka
sesungguhnya Allah swt mengampuni baginya kekeliruan itu, - siapa saja
orangnya – sama saja baik dalam masalah-masalah nadhariyyah ( keyakinan )
atau amaliyyah. Inilah yang dipegang oleh sahabat-sahabat Nabi saw dan
keseluruhan imam-imam islam ini. (23/195-196 ).
Dalam tempat lain beliau menyebutkan perselisihan para
sahabat dalam masalah-masalah khabariyyah, dan diantaranya ucapan
Aisyah ra :..siapa yang mengklaim bahwa Muhammad telah melihat tuhannya
maka sungguh dia telah mengada-ada dusta yang besar terhadap Allah.
Kemudian beliau berkata : (…namun demikian kita tidak mengatakn kepada
Ibnu Abbas dan yang lainnya dari kalangan yang tidak sejalan dengan
Aisyah, bahwa dia itu mengada-ada dusta terhadap Allah ), terus berkata :
(…takfir adalah tergolong wa’id, sesungguhnya meskipun suatu ucapan itu
adalah pendustaan terhadap apa yang disabdakan Rasulullah saw, akan
tetapi bisa jadi orang itu baru masuk islam, atau hidup di pedalaman
yang jauh, dan orang sperti ini tidak dikafirkan mengingkari apa yang
dia ingkari sampai hujjah tegak atasnya. Dan bisa jadi orang-orang itu
belum mendengar nash-nash itu, atau sudah mendengarnya namun tidak
shahih baginya, atau nash itu bertentangan menurutnya dengan nash lain
yang mengharuskan dia untuk mentakwilkanya meskipun keliru ),3/148.
Perhatikan ungkapan tadi sesungguhnya ia sangat penting,
memperluas wawasanmu, memberikan pemahaman kepadamu dalam masalah ini,
menjauhkanmu dari sikap berlebih-lebihan dan ngawur dalam takfir atau
sikap lancang terhadap orang-orang yang berijtihad dari kalangan ulama,
serta memperkenalkan padamu udzur-udzur orang yang tawaqquf diantara
mereka dan yang lainnya dari kalangan orang-orang mukmin dari mengikuti
sebagian khabar-khabar dan hukum-hukum syar’iy atau dari mengakuinya,
sama saja baik dalam bahasan takfir atau lainnya…yang mana Syaikhul
islam telah meringkasnya dalam lima ( 5 ) udzur7 :
- Pertentangan dalil-dalil yang ada menurut mereka sehingga mendorong untuk mentakwilkan sebagiannya.
- Belum sampai sebagian nash kepada mereka, baik karena baru masuk
islam, atau karena hidup di pedalaman yang jauh, atau yang serupa
dengannnya.
- Tidak tsabit ( shahih ) nash itu disisi mereka.
- Tidak ada kesempatan dari memahaminya karena samarnya nash tersebut
atau ada isykal atau lemahnya daya tangkap atau kurang ilmu orang yang
menerimanya.
- Munculnya bebarapa syubhat yang dengannya si pencari kebenaran diudzur.
Siapa yang mentakwil nash atau menolaknya atau menolak dari
mengambilnya karena suatu sebab, maka sesungguhnya dia itu tidak
dianggap mendustakan atau mengingkari nash tersebut, dan karenanya tidak
boleh menerapkan terhadap orang seperti dia kaidah ( siapa yang tidak
mengkafirkan orang kafir maka dia kafir ) apalagi kalau menggunakan
tasalsul ( rentetan ) dengannya.
Dan ingatlah bahwa ungkapan ini mencakup sebagaimana yang sudah jelas
orang yang tidak mengakafirkan orang kafir seraya menolak sebagian
dalil-dali karena udzur tersebut, maka apalagi lebih pantas masuk
kedalam bahasan ini orang yang tidak mengkafirkan orang yang telah
dikafirkan oleh sebagian orang tanpa menuturkan dalil-dalil shahih atau
yang tegas jelas atas pengkafiran mereka, karena kelemahan mereka dalam
kunci-kunci ilmu atau karena ketidaktahuan mereka akan cara-cara
berdalil atau karena kekeliruan mereka dalam hukum itu…!!
Dan mesti diperhatikan dan dipertimbangkan, bahwa
sesungguhnya perselisihan dalam bab Al Asma ( nama-nama ) dan
masalah-masalah takfir adalah luas. Dan siapa orang-orang yang ingin
meyakinkan orang-orang yang menyelisihinya supaya mau mnegkafirkan
orang-orang yang dia kafirkan, maka dia harus mendatangkan dalil-dalil
syar’iy serta memperhatikan cara-cara berdalil yang shahih dengannya.
Allah swt berfirman :
“Katakan : Aku hanya mengingatkan kalian dengan wahyu “
Dan adapun orang yang tidak mampu menghadirkannya, maka
tidak ada kebaikan dan keberuntungan baginya dalam yang selainnya, Alah
swt berfirman :
“Maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman sesudah ( kalam ) Allah dan keterangan-keteranganya “( Al Jatsiyah : 6 )
Dan tidak ada kebaikan baginya dengan metode-metode al
irhab al fikriy atau at takfiriy, karena ia tidak mendatangkan bahaya
kecuali terhadap orangnya, dan tidak ada kebaikan pada orang yang
menganut madzhabnya karena takut terhadapnya atau merasa risih dengannya
…dan biasanya dalam waktu yang sangat dekat dia itu cepat sekali
meninggalkan hal itu karena sedikit syubhat. Namun kebenaran yang
mendapatkan berkah Allah di dalamnya adalah ada dalam madzhab yang lurus
lagi selaras dengan dalil-dalil syar’iy, bukan dalam madzhab yang
paling berat yang selaras dengan selera.
Dan hendak dia tahu bahwa bila hobinya mencari-cari
ucapan-ucapan dan pernyataan-pernyataan yang bukan dari firman Allah dan
sabda Rasul-Nya, yang menguatkan madzhabnya dan menutup-nutupi
kesalahannya, maka ia tidak akan kehilangan hal itu.
Dan diantara yang sangat mengherankan dari apa yang saya
telusuri dari penggunaan manusia terhadap kaidah ini adalah ucapan Ash
Shauliy saat memuji Khalifah Al Muktafa billah ( 289-295 H ) saat
membunuh tentaranya Yahya Ibnu Zakrawaih Al Qurmuthi :
Siapa yang melihat bahwa orang mukmin……
Adalah orang yang maksiat pada kalian, maka dia kafir….
Allah telah menurunkan hal itu…..
Sebelumnya dalam surat-surat yang muhkam…..
Maknanya adalah bahwa orang yang tidak mengkafirkan atau
menghukumi fasik orang yang maksiat pada anda atau membangkang, maka dia
telah kafir, dan dia mengklaim bahwa hukum ini telah ditujukan
Al-qur’an….!!8. Maka dikatakan kepadanya :..Di mana Allah berfirman ini
dalam surat-surat yang muhkam ??.
Coba perhatikan, bagaimana kaidah ini digunakan disini
untuk meggiring manusia ke dalam ketaatan, menakut-nakuti mereka dan
menghati-hatikan mereka dari sikap memberontak dan membangkang…padahal
dalam nash-nash syariat ada kadar cukup dari pada ( menggunakan ) hal
itu bagi ahlul ‘adli ( penguasa yang adil ), ….akan tetapi itulah sifat
ngawur para ahli syair, maka hati-hatilah jangan terpedaya dengan hal
itu, karena ini tergolong sifat sembrono para ahli syair, sedangkan
Allah swt telah berfirman : “Dan penyair-penyair itu diikuti orang-orang
sesat. Tidaklah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap
lembah. (Asy Syu’ara :224-225 ).
Dan ini adalah risalah dari risalah-risalah Syaikh
Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Alu Asy Syaikh, di dalamnya beliau
mengkhitabi seputar masalah ini, sebagian orang terlalu gegabah di
zamannya dari kalngan orang-orang intisab kepada dakwah Syaikh
Muhammad, dan mereka salah menggunakan sebagian lontaran-lontaran
beliau, tanpa mereka teringat pada pokok bahasan yang telah disebutkan
oleh Syaikhul islam dalam apa yang telah lalu, yaitu ucapannya :.. dan
hakekat masalahnya adalah bahwa mereka itu terkena dalam lafadz-lafadz
umum yang ada dalam perkataan para imam sebagaimana orang-orang
terdahulu terkena pada lafadz-lafadz umum yang ada dalam nash-nash
syariat. Setiap kali mereka melihat para imam berkata :..siapa yang
berkata ini maka dia kafir,” maka orang yang mendengar meyakini bahwa
lafadz ini mencakup setiap orang yang mengatakannya, dan mereka tidak
mentadaburi bahwa takfir itu memiliki syarat-syarat dan mawani’ (
penghalang-penghalang ) yang bisa tidak terpenuhi pada hak orang
mu’ayyan, dan bahwa takfir muthlaq itu tidak mengharuskan takfir
mu’ayyan kecuali bila syarat-syaratnya terpenuhi dan mawani’nya tidak
ada, ini dijelaskan bahwa Imam Ahmad dan para imam yang melontarkan
kata-kata umum ini tidak mengkafirkan mayoritas orang yang mengatakan
perkataan ini secara ta’yin..”
Saya tuturkan ini sebagai tambahan faidah, karena
sebenarnya Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, putera-piteranya,
cucu-cucunya sebagaimana yang telah kami sebutkan, mereka itu mengambil
dalam masalah ini dari ilmu syaikuh islam.
Dari Abdillathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Kepada Abdul
Aziz Al Khathib…Salamun ‘alaa ‘ibadillaahish shaalihiin, wa ba’du :
saya telah membaca risalahmu dan saya telah mengetahui isinya serta
udzur-udzur yang kamu maksudkan, namun kamu telah salah dalam ucapanmu
bahwa apa yang diingkari oleh syaikh kami sang ayah, yaitu berupa sikap
kalian mengkafirkan ahlul haq dan keyakinan kebenaran kalian bahwa (
tuduhan ) itu tidak pernah bersumber dari kalian. Dan kamu sebutkan
bahwa ikhwan kamu dari penduduk naqi’ mendebat kamu dan
mempermasalahkanmu tentang status kami, dan bahwa mereka menuduh kami
mendiamkan sebagian urusan, sedangkan kamu tahu bahwa mereka menyebutkan
hal ini secara umum dalam rangka mencela keyakinan dan
menjelek-jelekkan jalan ( kami ) dan bila mereka itu tidak
terang-terangan dengan sikap mengkafirkan ( kami ) namun mereka telah
berpijak disekitar batas larangan. Kami berlindung kepada Allah
kesesatan setelah petunjuk, dan dari ketergelinciran dari jalan yang
lurus serta dari buta ( bashirah ).
Dan pada tahun enam puluh empat sungguh saya telah
melihat dua orang yang seperti kalian yang ganjil di Ahsa, keduanya
telah meninggalkan jum’ah dan jama’ah dan mengkafirkan orang-orang islam
yang ada di tempat itu. Dan dalih mereka adalah sejenis dengan dalih
kalian, mereka mengatakan “..penduduk Asha ini menghadiri majelis Ibnu
Fairuz, dan mereka berbaur dengannya dan yang sebangsanya dari kalangan
yang tidak kufur kepada thoghut, dan tidak terang-terangan mengkafirkan
kakeknya yang menolak dakwah Syaikh Muhammad, tidak menerimanya dan
justeru memusuhi dakwahnya. Kedua orang itu berkata :….dan siapa yang
tidak terang-terangan mengkafirkannya, maka dia kafir kepada Allah lagi
tidak kafir terhadap thogut, dan siapa yang hadir di majelisnya maka
maka dia itu sama seperti dia. Dan mereka menetapkan diatas dua
muqadimmah yang dusta lagi sesat ini hukum-hukum yang diterapkan bagi
riddah yang nyata, sampai mereka tidak menjawab salam. Kemudia kasus
mereka ini diadukan kepada saya, maka saya hadirkan mereka, saya ancam
mereka, saya kecam mereka dengan keras.
Kemudian mereka mengklaim bahwa mereka di atas aqidah
Syaikh Muhammad Ibunu Abdul Wahhab dan bahwa risalah-risalahnya ada pada
mereka, maka saya bongkar syubhat-syubhat mereka dan saya patahkan
kesesatan mereka dengan apa yang hadir bersama saya di majelis, dan saya
beri khabar mereka bahwa syaikh Muhammmad bara’ dari keyakinan dan
madzhab ini, karena sesungguhnya beliau tidak mengkafirkan kecuali
dengan apa yang diijmakan oleh kaum muslimin atas pengkafiran pelakunya,
berupa syirik akbar dan kufur terhadap ayat-ayat Allah dan
Rasul-rasul-Nya atau terhadap sesuatu darinya setelah tegak dan
sampainya hujjah yang bisa dianggap, seperti pengkafiran orang yang
beribadah kepada orang-orang shalih, menyeru mereka bersama Allah dan
menjadikan mereka sebagai tandingan dalam hak-hak Allah atas
hamba-hamba-Nya berupa ibadah-ibadah dan ilahiyyah. Dan ini telah
diijmakan oleh para ahlul ilmi wal iman….
Dan kedua orang Persia itu telah menampakkan taubat dan
penyesalan, dan mengklaim bahwa Al Haq telah nampak bagi mereka,
kemudian keduanya pergi menuju Sahil ( nama daerah, pen ) dan kembali
kepada pendapat itu, serta telah sampai berita kepada kami bahwa mereka
mengkafirkan para imam kaum muslimin dengan sebab (para imam ini)
menyurati para penguasa mesir, bahkan mereka mengkafirkan orang-orang
yang berbaur dengan orang yang surat menyurat dengan mereka dari
kalangan para syaikh kaum muslimin. Kami berlindung kepada Allah dari
keksesatan setelah petunjuk dan dari keterpurukan setelah kemajuan. Dan
telah sampai kepada kami hal serupa dari kalian, kalian banyak berbicara
dalam masalah-masalah dari bab ini, seperti pembicaraan tentang muwalah
dan mu’adah, muskalahah ( saling berdamai ) dan mukatabat (
surat-menyurat ), memberikan harta dan hadiah dan yang lainnya yang
merupakan pernyataan orang-orang musyrik dan sesat, serta berhukum
dengan selain apa yang telah Allah turunkan dikalangan badui dan
orang-orang kasar lainnya. Sebenarnya tidak ( layak ) berbicara
tentangnya kecuali para ulama yang paham dan orang yang Allah karuniakan
pemahaman, hikmah dan penyelesaian perselisihan. Dan berbicara dalam
masalah ini tergantung pada penguasaan apa yang telah kami ketengahkan
dan penguasaan akan pokok-pokok umum yang bersifat mencakup yang mana
tidak boleh berbicara dalam masalah ini dan yang lainnya bagi orang yang
jahil akannya, dan berpaling darinya serta rincian-rinciannya, karena
sesungguhnya ijmal, ithlaq dan ketidaktahuan akan mawaqi’ul khithab dan
rinciannya, bisa terjadi dengan sebabnya berupa pengkaburan, kekeliruan
dan ketidakpahaman akan maksud Allah apa yang merusak dien, mengkaburkan
pemahaman dan bisa menghalangi dari memahami Al Qur’an. Ibnu qayyim
berkata dalam Al Kafiyah :
Peganglah hal yang rinci dan yang gambling, karena……
Ithlaq dan ijmal tanpa ada penjelasan……
Tidak merusak keadaan ini dan mengaburkan……
Pemahaman dan pemikiran di setiap zaman…..
Adapun takfir dengan hal-hal ini yang kalian duga sebagai
pembatal keislaman, maka ini adalah madzhab haruriyyah tariqah yang
keluar menentang Ali Ibnu Abdil Muthallib dan para sahabat yang
bersamanya. Sesungguhnya haruriyyah ini mengingkari para sahabat atas
sikap tahkim Abu Musa Al Asy’ariy dan Amr Ibnu Ash dalam fitnah yang
terjadi anatara Ali dan Muawiyah dan Sndaduk syam, maka khawarij
mengingkari Ali atas hal itu padahal asalnya mereka itu adalah tergolong
para pengikutnya dari kalangan qurra kufah dan bashrah, dan mereka
berkata :…kamu telah menjadikan manusia sebagai hakim dalam dienullah,
dan kamu sudah loyal terhadap Muawiyah dan Amr serta kamu Tawalli kepada
keduanya, padahal Allah swt telah berfirman :…keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah. Dan kamu telah menentukan tenggang waktu antara kalian
dengan mereka padahal Allah swt sudah memutus perdamaian dan ikatan
semenjak diturunkan bara’ah…”hal 4-6, dan beliau menuturkan sebagian
berita tentang khawarij yang akan kami ketengahkan di akhir kitab ini.
Dan berkata beliau di hal 7 :..dan kata dzalim, maksiat,
fusuk, fujur, muwaalah, mu’adah, rukun, syirik, syirik dan yang lainnya
yang memang ada dalam Al kitab dan As Sunnah,bisa jadi di maksudkan
dengannya isinya yang muthlaq dan hakikatnya yang muthlaq, dan bisa jadi
dimaksudkan dengannya muthlaqul hakiqah. Yang pertama adalah yang pokok
menurut ahli ushul, sedangkan yang kedua sesungguhnya ungkapan tidak
dibawa ke makna ini kecuali dengan adanya qarinah lafdhiyyah atau
maknawiyyah, dan itu hanya bisa diketahui dengan penjelasan nabawi dan
penafsiran As sunnah. Allah swt berfirman :
“ Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka “
( Ibrahim : 4 )
Hingga beliau mengatakan di hal : 8 “Adapun penyadandaran
ancaman yang ditetapkan atas sebagian dzunub dan dosa-dosa besar, maka
terkadang ada penghalang darinya bagi orang yang mu’ayyan, seperti cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya, jihad dijalan-Nya, banyaknya kebaikan,
ampunan dan rahmat Allah, syafa’at orang-orang mukmin dan
mushibah-mushibah yang menghapuskan dosa di tiga alam. Dan begitu juga
tidak boleh memastikan surga atau neraka bagi orang mu’ayyan dari
kalangan ahlul kiblat. Dan bila mereka melontarkan ancaman sebagaimana
yang dilontarkan Al Qur’an dan As sunnah, namun mereka tetap membedakan
antara al’aam al muthlaq, dengan al khash al muqayyad. Ada Abdullah (
Himar ) ia minum khamr, terus dibawa kepada Rasulullah saw, kemudian
seorang laki-laki melaknatnya dan berkata :…sungguh sering sekali dia
dibawa kepada Rasulullah saw, maka Nabi saw berkata :…jangan laknat dia,
karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Padahal beliau telah melaknat
peminum khamr, penjualnya, tukang perasnya, yang meminta diperaskan,
yang membawanya, dan yang dibawakan kepadanya….”
Dan beliau berkata di hal : 10 dan adapun firmannya :
“Dan siapa orang yang Tawalli kepada mereka diantara kalian, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. ( Al Maidah : 51 )”
Dan firman-Nya juga :
“Kamu tidak akan mendapatkan sesuatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya”. (Al Mujadillah : 22 ).
Dan firman-Nya :
“ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil auliyamu,
orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan, (
yaitu ) diantara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum mu, dan
orang-orang yang kafir ( orang-orang musyrik ), dan bertakwalah kepada
Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman. (Al Maidah : 5)
Maka sesungguhnya As sunnah telah menafsirkan dan
membatasinya serta menghususkannya dengan muwalah mushluqah ‘aammah (
loyalitas mutlak nan umum ). Sedangkan arti asal muwalah adalah al hubb (
kecintaan ), nushrah ( pembelaan ) dan shadaaqah ( ikatan teman dekat
). Dan loyalitas dibawah itu adalah bertingkat-tingkat lagi
bermacam-macam, dan setiap dosa memiliki bagian dan jatah dari ancaman
dan celaan, ini menurut salaf yang sangat dalam keilmuan dari kalangan
para sahabat dan tabi’in adalah terkenal dalam bab ini dan yang lainnya.
Dan masalahnya dianggap musykil dan makna-maknanya terasa samar serta
hukum-hukumnya menjadi kabur hanyalah atas orang-orang kemudian dari
kalangan ajam ( non arab ) dan al muwaladun ( campuran ) yang tidak
memiliki pengetahuan akan hal ini serta tidak memiliki pengalaman akan
makna-makna As sunnah dan Al Qur’an. Oleh sebab itu, Al Hasan radiallahu
anhu berkata :”….dari ajamlah mereka tersesatkan. Dan Amr Ibnu Al ‘Alaa
berkata terhadap ‘Amr Ibnu Ubaid tatkala mendebatnya tentang masalah
kekalnya ahlul kabair dalam neraka, dan Ibnu Ubaid ini berdalih bahwa
ini adalah janji sedangkan Allah tidak menyelisihi janjinya, seraya
mengisyaratkan kepada apa yang ada dalam Al Qur’an berupa wa’id (
ancaman ) terhadap sebagian dosa-dosa besar dan dzunub
dengan ( adzab ) api neraka dan kekal didalamnya, maka Ibnu
Al ‘Alaa berkata :… dari sebab ajam kamu tersesatkan, ini ancaman bukan
janji, dan beliau menuturkan ucapan penyair :
Dan sesungguhnya aku bila mengancamnya atau menjanjikannya …
Maka aku selisihi ancamanku dan ( aku ) tunaikan janjiku…..
Sebagain para imam berkata dalam apa yang telah dinukil
oleh Al Bukhari dan yang lainnya :..sesungguhnya tergolong kebahagian
orang ajami dan a’rabiy bila keduanya masuk islam adalah keduanya
ditunjukan kepada shahib sunnah dan tergolong kebinasaannya adalah
keduanya diuji dan dimudahkan kepada pengikut hawa nafsu dan bid’ah.
Dan beliau berkata di hal 11-12 : dan telah sampai
kepadaku ( berita ) bahwa kalian menafsirkan firman-Nya swt dalam surat
Al Muhammad :
“Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka berkata kepada
orang-orang yang benci kepada pa yang diturunkan Allah, kami akan
mematuhi kamu dalam beberapa urusan”. (Muhammad : 26 )
Terhadap sebagian apa yang dilakukan oleh para penguasa saat itu,
berupa surat-menyurat, mushalahah, atau berdamai dengan sebagian
penguasa orang-orang sesat dan para raja yang musyrik, dan kalian tidak
melihat awal ayat, yaitu firman-Nya :
“Sesungguhnya ornag-orang yang murtad sesudah petunjuk itu jelas bdagi mereka. ( Muhammad : 25 )
Dan kalian tidak paham apa yang dimaksud dari taat (
patuh ) disini, dan juga tidak paham apa yang dimaksud dari “urusan”
yang disebutkan dalam firman-Nya dalam ayat yang mulia ini yang
berbentuk ma’rifat, dan didalam perjanjian hudaibiyyah dan apa yang
diminta serta disyaratkan oleh kaum musyrikin dan Rasulullah saw
menyetujuinya terhada hal yang cukup dalam membantah pemahaman kalian
dan menjatuhkan kebatilan kalian……( di sarikan dari juz II Majmu’atur
rasaail Wal Masaail An Nujdiyyah ).
Dan beliau rahimahullah menuturkan dalam Minhajut Ta-sis
Wat Taqdis Fi Ksyfi Syubuhat Dawwud ibni Jirjis sebuah risalah kakeknya
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab ; beliau berkata didalamnya :
“syarif ( mekkah ) bertanya kepada saya atas dasar apa
kami memerangi dan atas landasan apa kami mengkafirkan orang ?, maka
saya khabarkan dengan jujur, dan saya jelaskan kepadanya, juga dusta
yang di tudukhkan kepada kami oleh musuh-musuh…dan diantara yang beliau
ucapkan : …dan adapun dusta dan pengada-adaan tuduhan bohong adalah
bahwa kami mengkafirkan semua orang dan kami mewajibkan hijrah ke(
tempat ) kami atas orang yang mampu mengizharkan diennya, dan bahwa kami
mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan dan tidak berperang …dan
tuduhan seperti ini dan yang berkali-kali lipat, semua ini termasuk
dusta yang dengannya para ahli waris Abu Jahal dari kalangan juru-juru
kunci berhala dan para tokoh kekafiran berupaya menghalangi manusia dari
dien Allah dan Rasul-Nya. Dan sesungguhnya kami tidak mengkafirkan
kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya dari
kalangan kaum musyrikin para penyembah berhala, seperti orang-orang yang
beribadah kepada berhala diatas kuburan Abdul Qadir dan berhala yang
ada di atas kuburan Ahmad Al Badawiy dan yang lainnya. Adapun
orang-orang yang beriman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul’Nya
dan hari akhir serta berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya
jihad, maka mereka adalah saudara-saudara kami dalam dien ini meskipun
tidak hijrah kepada kami, maka bagaimana kami mengkafirkan mereka, maha
suci Allah. Ini dusta yang amat besar”. Hal : 88-89.
Dan terakhir….. sesungguhnya kami mengatakan berdasarkan
atas apa yang telah kami ketengahkan kepadamu berupa perincian
….sesungguhnya orang yang menyelisihi kami- dari kalangan kaum muslimin-
dalam pengkafiran thoghut-thoghut hukum atau para pendukungnya,
rengrengannya serta bala tentaranya, dia tawaqquf dalam hal itu atau
enggan mengkafirkan mereka karena ada nash-nash yang saling bertentangan
menurutnya9, atau ( karena ) syubhat-syubhat yang menjadi isykal atas
dia, seperti dalih banyak orang dari kalangan yang belum banyak ilmu dan
pemahamannya, bahwa mereka itu mengucapkan laa ilaaha atau mereka atau
mereka shalat atau syubhat lainnya yang telah kami bantah dan kami
bongkar di tempat lain10. Sesungguhnya kami meskipun memandang mereka
itu lebih bodoh dari orang-orang yang telah dianggap bodoh oleh para
imam karena mereka tidak mengkafirkan Jahmiyyah…. Dan lebih buta dari
orang-orang yang dituduh buta oleh Ibrahim An Nukh’I karena mereka
tawaqquf dalam pengkafiran Al Hajjaj….namun demikian, sesungguhnya kami
tidak mengkafirkan mereka dan tidak menerapkan kaidah ini pada mereka
karena sebab penyelisihan ini saja….selama mereka memiliki
ashlut tauhid
( inti tauhid ) dan selama tawaqquf mereka ini karena factor kejahilan
atau adanya syubhat atau ( dugaan ) pertentangan nash-nash di benak
mereka. Karena dalam hal itu tidak terdapat pengingkaran atau pendustaan
atau penolakan akan nash-nash shahihah yang jelas-jelas memastikan
pengkafiran para thoghut dan para pendukungnya, dengan syarat hal itu,
tidak mengantarkan mereka pada keterjerumusan kedalam salah satu dari
sebab-sebab kekafiran, seperti masuk bergabung dalan tentara dan ‘askar
mereka, melebur dalam pembelaan terhadap mereka atau membela hokum-hukum
dan undang-undang kafir mereka, atau ikut serta dalam membuatnya,
mensosialisakanny, menerapkannya dan melindunginnya sebagaimana yang
akan kami rinci diakhir pasal ini. Dan ungkapan kami ini bukanlah hal
baru di antara para ulama, akan tetapi kami memiliki pendahulu.
Syaikhul islam sungguh telah menyebutkan dalam Al Fatawa
35/79 bahwa Ubaidiyyin itu tergolong manusia yang paling kafir, dan
sudah diketahui kemurtaddan dan perubahan syari’at yang mereka
lakukan….kemudian beliau sebutkan bahwa tidak ada yang mengaku bahwa
diantara mereka ada Al Imam al ma’shum ( kecuali orang jahil mubsath
atau zindiq yang berbicara tanpa ilmu ), ini berkenaan dengan orang yang
mengklaim kemakshuman pada sebagian mereka….adapun orang yang bersaksi
akan keimanan mereka serta tidak mengkafirkan mereka, maka sesungguhnya
beliau tidak memvonis dia kafir dan tidak ( pula ) meneapkan kepadanya
kaidah ( siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir ) yang
telah lalu penggunaan beliau terhadapnya dalam banyak tempat, bahkan
beliau sebutkan bahwa dia ( bersaksi dengan sesuatu yang tidak dia
ketahui … )
Beliau berkata 35/80 :….dan orang-orang itu ( yaitu
ubadiyyin ) sungguh telah bersaksi atsas mereka para ulama, para imam
dan seluruh umat ini bahwa mereka itu adalah munafiqun zanadiqah yang
menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada bahwa
sebagian manusia menyelisihi para ulama dalam hal itu maka jadilah
perselisihan yang masyhur dalam hal keimanan mereka, sedangkan yang
bersaksi akan keimanan mereka maka ia adalah bersaksi dengan sesuatu
yang tidak dia ketahui…”. Dan berkata beliau di hal 81:…dan bila
demikian halnya, maka siapa yang bersaksi bagi mereka akan kebenaran
nasab atau keimanannya, maka stasus minimal dalam kesaksiannnya adalah
bahwa ia bersaksi tanpa dasar ilmu lagi mengikuti apa yang tidak dia
ketahui, sedangkan hal itu adalah haram dengan kesepakatan para imam.
Perhatikan ucapan beliau ini, karena ia sangat penting,
karena ia adalah tentang orang yang tidak mengkafirkan ‘Ubadiyyin yang
tidak kurang kekafirannya dari para thoghut masa kini. Hati-hatilah kamu
kemudian hati-hatilah kamu dibawa tergelincir oleh sikap
ifrath dan
mughaulah (
berlebih-lebihan ), sehingga kemudian kamu menjadi golongan orang yang
menjadikan kaidah ini sebagai ashlud dien yang mana ada tidaknya
keislaman menurut dia berkisar kepadanya, kemudian dia menjalin di atas
sikap orang yang setuju dengan dia terhadap pengkafiran orang yang dia
kafirkan, ikatan wala dan bara’, persaudaraan dan permusuhan. Siapa yang
mengkafirkan orang yang dia kafirkan maka ia baginya adalah teman dekat
meskipun dia itu tergolong orang yang paling buruk, dan siapa yang
menyelisihinya dalam hal itu karena kejahilan dan ijtihad, maka ia
tergolong musuh-musuhnya. Bahkan tergolong musuh Allah yang kafir !!
saya memohon kepada Allah ta’ala agar menjauhkan saya dan engkau dari
tempat-tempat kekeliruan, dan menjadikan kita tergolong orang-orang yang
mendengarkan perkataan terus mengikuti yang paling terbaik…..
Di akhir bahasan ini dan sebelum saya pindah kebahasan
lainnya saya ingatkan engkau dengan perkataan beliau rahimahullah dalam
Al Fatawa :…..diantara aib ahlul bid’ah adalah satu sama lain saling
mengkafirkan. Sedangkan sifat terpuji ahlul ilmi adalah mereka menuduh (
yang lain ) keliru dan tidak mengkafirkan ( nya ). Dan sebab hal itu
adalah bahwa salah seorang antara mereka mengira sesuatu yang bukan
kekafiran sebagai kekafiran, dan bisa jadi itu adalah kekafiran, karena
telah jelas baginya hal itu adalah pendustaan terhadap Rasul dan celaan
terhadap sang pencipta, sedangkan orang lain belum jelas hal itu
baginya, maka bila orang yang mengetahui akan keadaannya menjadi kafir
bila dia mengucapkannya, tidaklah mesti orang yang tidak mengetahui
keadaannya, menjadi kafir ( bila dia mengucapkannya ), Minhaj As Sunnah
3/63.
Penerjemah berkata :
Oleh karena itu para ikhwan muwahhidin tidak boleh
mengkafirkan orang-orang salafi maz’um yang enggan mengkafirkan para
thoghut negeri ini karena mereka memiliki syubhat-syubhat atau
sebagiannya adalah orang-orang jahil, kecuali bila mereka itu :
- Membolehkan masuk parlemen atau membolehkan ikut pemilu setelah tahu apa itu demokrasi, atau
- Membantu para thoghut atas para muwahhidin atau
- Ikut serta dalam parlemen, atau
- Bersumpah untuk setia pada UUD atau UU atau
- Mengharuskan loyalitas pada mereka, atau
- Ikut serta menerapkan atau mensosialisasikan undang-undang, atau
- Menjadi pelindung thoghut, sebagai tentara atau polisi, dll.
1 Dia adalah Abu Muhammad Al Hiwaniy Al Husen Ibnu Ali Ibnu Muhammad Al Hudzali At Khalal.
2 Perhatikan ucapan yang menyerupainya yaitu ucapan Syaikh Muhammad
Ibnu Abdul Wahhab dalam Rasa’il Syahshiyyahnya : ( orang yang tidak
mengkafirkan kaum musyrikin atau ragu akan kekafiran mereka, atau
membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir secara ijma’ hal 213 dan
beliau menjadikannya nomor ketiga dari sepuluh pembatal keislaman yang
beliau sebutkan.
3 Dan sebagian orang mengarahkkan kaidah ini kearah lain; yang
intinya sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang kafir atau
orang musyrik, maka dia itu tidak bara’ dari kaum musyriki, dan
karenanya dia itu loyalitas penuh terhadap mereka !!! sedangkan (
loyalitas penuh ) termasuk pembatal keislaman, dan akan datang
pembahasan atas tasyih ( pegarahan ) kaidah kearah ini dalam kekeliruan
takfir dengan ilzam.
4 perhatikan : ini buat orang yang tidak mengkafirkan mereka saja.
Adapun orang yang disamping itu melegalkan kekafiran mereka atau
membela-bela kekafiran itu, maka dia tidak termasuk dalam penguzuran
ini, dan sungguh beliau telah berkata tentang orang ini sebagaimana yang
ada di atas : ( dan adapun orang yang berkata :”..ucapan mereka itu
memiliki takwil yang selaras dengan syariat “ maka sesungguhnya ia
tergolong tokoh dan pimpinan mereka ).
5 Dan serupa dengan itu apayang disebutkannya dalam Al Igna, dari
beliau bahwa beliau berkata : ( siapa yang menyeru Ali Ibnu Abi Thalib
maka dia kafir dan bahwa orang yang ragu akan kekafirannya maka dia
kafir ) sebagaimana apa yang ada dalam Mufidul Mastafid fi Kufri Tarikat
Tauhid karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab.
6 Perhatikan : sesungguhnya beliau rahimahullah disini berbicara
tentang kandungan ucapan ini, yaitu isinya, maknanya, dan hakikatnya,
dan bukan tentang lawazimnya yang bisa jadi mereka tidak komitmen
dengannya, sebagaiman yang akan datang.
6 Atsar-atsasr ini semuanya dari Al Bidayah wan Nihayah 9/136-137
dan lihat sebelumnya hal 131-132, disana ada yang menyerupai hal ini.
7 Untuk tambahan perincian tentang alas an-alasan ini silahkan lihat
risalah Raf’ul Malam ‘Anil Aimmah Al A’lam karya Syaikhul islam, dan ia
ada dalam Al Fatawa juz 20.
8 Dan hal ini mengingatkan saya akan sikap ngawurnya Al Jazairiy,
dimana dia berkata : ( sesungguhnya tidak ada orang muslim yang sah
keislamannya dan tidak pula orang mukmin yang jujur keimanannya serta
dinegeri islam mana saja, melainkan dia pasti berangan-angan dengan
sepenuh hatinya untuk dipimpin oleh keluarga As Su’ud, dan sesungguhnya
ia seandainya di ajak untuk membaiatnya sebagai raja atau khalifah bagi
kaum muslimin, tentulah ia tidak akan bimbang sekejappun..!! itu
dikarenakan bahwa negara ini ada penjelmaan islam, berdiri dengannya dan
menyeru kepadanya….)dari buku Al I’lam bil Annal Azf eal Ghinaa Haram
hal 57 cetakan 1407 H, dan dia berkata : ( negara ini merupakan mukjizat
abad empat belas..!! negara ini yang mana tidak adal oyalitas
terhadapnya kecuali mukmin dan tidak ada yang memusuhinya kecuali orang
munafik kafir !! selama tetap menegakkan perintah Allah !!) dari sumber
yang sama hal 58.
Perhatikan ucapannya :..tidak ada yang loyalitas terhadapnya
kecuali mukmin dan tidak ada yang memusuhinya kecuali orang munafik
kafir !! dan penegakkan macam apa ( yang dilakukan negara ini ) terhadap
syariat Allah wahai musuh diri kamu sendiri ?? siapa yang ingin
mengetahui macam penegakkan itu !! maka silahkan rujuk kitab kami Al
Kawasyif Al Jaliyyah Fi Kuffriddaulah As Su’udiyyah.
Dan mengingatkan saya juga dengan perkataan yang lainnya, dan ia itu
tergolong Haiah Al Kibar !! dan sangat terkenal namanya, saat dia
ditanya tentang kitab Al Kawasyif ini, maka dia langsung geram dan sewot
saat mendengar namanya, dan dialangsung berkata tanpa membaca kitab ini
( katakan kepada penulisnya, sesungguhnya dialah yang kafir !! ),
mereka ngawur dengan penggunaan-penggunaan ini, kemudian mereka tidak
punya rasa malu dari menuduh orang-orang yangmenyelisihi mereka dan
orang-orang yang mengkafirkan negarannya bahwa mereka itu khawarij dan
takfiriyyin !! ooh..siapa yang lebih berhak dengan tuduhan dan
sifat-sifat ini ??
9 Kami katakan “menurutnya” dikarnakan nash-nash wahyu itu sama
sekali tidak bertentagan dalam bab ini dan yang lainnya. Allah swt
berfirman : Alif Laam Raa, ( inilah ) suatu kitab yang ayt-ayatnya
disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan
dari sisi (Allah ) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.”Hud-1”.
Dan firmannya :..kalau kiranya Al Qur’an itu bukanlah dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya .
An-Nisa : 82. Namun pertentangan itu hanya diduga dalam pikiran karena
kurangnya dalam pemahaman atau karena kurang berupaya untuk mengetahui
cara-cara menyatukan antara nash-nash itu dan mengoperasikan
masing-masing pada tempatnya, atau karena berhujjah dengan yang tidak
shahih dan tidak tsabit atau karena tidak mengetahui sebagian nash yang
tsabit yang belum sampai padanya, atau karena tidak mengetahui nasikh
dan mansukh dan tidak bias membedakan mana nash yang lebih dahulu dan
yang kemudian, atau hal lainnya yang mesti diperhatikan dalam cara-cara
menjama’ dan mentarjih yang sudah diketahui.
10 Lihat hal itu dalam kitab kami ‘Imta’un nadhr Fi Kasyfi Syubuhat
Murjii’atil ‘Ashr dan risalah Kasyfi Syubuhat Al Mujadilin ‘An
‘Asaakirisy Syirki wa Ansharil Qawaanin.