PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Rabu, 09 Januari 2013

39 CARA MEMBANTU MUJAHIDIN

"Barangsiapa meninggal dunia sementara dia belum pernah berperang atau meniatkan diri untuk berperang, maka dia mati di atas satu cabang dari kemunafikan." (HR. Muslim)


Lintasan sejarah telah memberikan pelajaran berharga bagi kita, bahwa jihad merupakan benteng terkokoh yang melindungi kaum muslimin dari penindasan. Tanpanya syariat Islam tak akan bisa tegak dan darah kaum muslimin akan tertumpah murah.


Begitu pentingnya posisi jihad bagi ‘izzul Islam wal muslimin, sehingga kaum kafir berusaha untuk memdamkannya, menghilangkannya dari benak kaum muslimin, hingga umat Islam merasa asing dengan jihad, bahkan alergi terhadapnya (jihad bi ma’na qital). Tetapi Allah mempunyai rencana sendiri untuk menyelamatkan Islam, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw, "Akan senantiasa ada sekelompok kecil dari umatku yang berperang membela kebenaran, mereka akan mendapatkan kemenangan hingga datangnya hari kiamat." (HR. Muslim)

Jika anda termasuk golongan ini, maka bersyukurlah karena Allah memilih anda dalam barisan yang diselamatkan-Nya….

Namun jika tidak, maka jadilah anda sebagai penolongnya….

Risalah kecil ini memaparkan dengan gamblang 39 cara praktis yang dapat anda lakukan untuk membantu para mujahidin (beserta landasan dalil-dalil syar’i mengenai kewajiban dan keutamaan jihad, analisa-analisa mengenai situasi dunia dan umat Islam saat ini yang dipaparkan secara singkat-padat, tujuan-tujuan taktis maupun strategis dari alternatif-alternatif cara membantu mujahidin, dan penjelasan-penjelasan lainnya yang sangat bermanfaat). Siapapun anda dan di manapun anda berada, anda bisa menerapkannya.

Ayo rapatkan barisan, bergabunglah dalam barisan mujahidin di seluruh dunia! Lakukan apa yang kita bisa!



39 Cara Membantu Mujahidin:

1. Meniatkan diri untuk berjihad
 
2. Memohon syahadah dengan jujur

3. Pergi berjihad dengan jiwa

4. Berjihad dengan harta

5. Membekali mujahid

6. Menggantikan tugas mujahid di keluarganya dengan baik

7. Menyantuni keluarga para syuhada

8. Menyantuni keluarga mujahid yang terluka dan keluarga mujahid yang tertawan

9. Mengumpulkan sedekah untuk mujahidin

10. Membayar zakat untuk mereka

11. Ikut serta dalam mengobati mujahid yang terluka

12. Memuji mujahidin, menyebutkan perbuatan mulia mereka, dan mengajak orang-orang untuk meneladani mereka

13. Memotivasi mujahidin agar meneruskan jihad mereka

14. Membela mujahidin

15. Menyingkap konspirasi kaum munafik

16. Mengajak dan mengobarkan semangat orang agar berjihad

17. Menasihati kaum muslimin dan mujahidin

18. Menyembunyikan mujahidin dan menyimpan rahasia mereka

19. Mendoakan mujahidin

20. Melakukan qunut nazilah

21. Mengikuti dan menyebarkan berita-berita jihad

22. Berpartisipasi dalam menyebarkan kitab-kitab dan buletin-buletin mujahidin

23. Mengeluarkan fatwa untuk membantu mujahidin

24. Membangun komunikasi dengan para ulama dan penceramah serta mengabarkan keadaan mujahidin kepada mereka

25. Berlatih ketangkasan fisik

26. Latihan menggunakan senjata

27. Renang dan menunggang kuda

28. Mempelajari P3K

29. Mempelajari fikih jihad

30. Memberikan tempat perlindungan dan menghormati mujahidin

31. Memusuhi dan membenci orang-orang kafir

32. Berusaha untuk menebus tawanan

33. Menyebarkan berita tentang para tawanan dan memperhatikan masalah mereka

34. Jihad elektronik

35. Tidak membantu orang-orang musyrik

36. Mentarbiyah anak agar mencintai jihad dan mujahid

37. Meninggalkan gaya hidup mewah

38. Memboikot barang-barang produksi musuh

39. Tidak memakai para pekerja dari negeri-negeri yang memerangi kaum muslimin


La hawla wa la quwwata illa biLlah.

....._|\____________________
..../] Hidup Mulia/Mati Syahid▬!
.../_==o_________________|
.....),---.(_((__) /
....// (\) ),------/
...//___//
../`----' /
./____/

♣═══¤۩۞۩ஜஜ۩۞۩¤═══♣

Dalil Wajibnya I'dad (Mempersiapkan Kekuatan) Melawan Musuh

Segala puji bagi ALLAH subhanallahu ta'ala. Tuhan semesta alam, sholawat dan salam semoga terlimpah kepada penutup para rosul, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Yang dimaksud dengan I’dad disini adalah membangun kesiapan individu dan masyarakat menuju suatu tingkat yang dituntut oleh syari’at, baik secara khusus maupun umum.


Banyak orang yang menganggap enteng sisi persiapan yang teramat penting ini, sehingga dapat anda saksikan mereka yang berjatuhan di awal atau di pertengahan jalan perjuangan. Maka mereka pun terjerumus ke dalam lubang kecil yang menjebak, atau karena terkena fitnah dan ujian kecil saja. Mereka kibarkan bendera putih tanda menyerah, tunduk dan pasrah pada penjahat-penjahat yang zalim…lalu mereka berikan tanda loyal dan ketaatan mereka yang setinggi-tingginya.

Dalam perjuangan Islam, tidak dikenal istilah berkorban separuh waktu, kemudian hidup damai, nyaman dan tentram serta menghibur diri dengan merasa bahwa mereka telah menjalankan tugas dan kewajibannya. Kemudian mereka menyerahkan tugas selanjutnya pada yang lain.. Tidak!!! Islam sama sekali tidak mengenal istilah demikian. Islam hanya mengenal kamus pengorbanan dan jihad, sejak dari buaian hingga liang lahat.

Seorang muslim hanya mengenal istirahat yang sesungguhnya kecuali di surga nan abadi, ini adalah konsekwensi dari perjanjian jual beli yang telah Allah bicarakan dalam firmanNya

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah:111)

Akad jual beli telah ditetapkan, akadnya telah dilakukan, tidak dapat dibatalkan atau dikembalikan, dan Allah subhanallahu ta'ala telah benar-benar menepati janji-Nya, maka si hamba pun seharusnya demikian pula, menepati janjinya.
 
Wahai manusiaa!! Bertakwalah kepada ALLAH Ta'ala dan sambutlah seruan ALLAH dan Rasul apabila keduanya menyerumu kepada sesuatu yang membawa kehidupan kepadamu!

Ketahuilah bahwa Allah membatasi antara manusia dan hatinya, sehingga Dia akan bolak-balikkan hatinya tersebut sesuai kehendak-Nya berdasarkan hikmah-Nya. Mintalah kepada Allah keteguhan di atas iman dan kesabaran dalam menetapi syariat Islam. Ketahuilah, di antara seruan Allah dan rasul-Nya adalah agar kalian memepersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh-musuh Islam yang selalu berkeinginan menjadikan kalimat Allah rendah dan menjadikan kalimat mereka yang batil sebagai kalimat tertinggi. Tetapi Allah pasti menolak semua itu dengan kekuatan dan daya-Nya, dan Dia akan menolong agama-Nya melalui para wali dan tentara-Nya.

Lakukan I'dad (siapakan) apa yang kamu mampu dari kekuatan dalam jihad dengan lisan dan harta serta peralatan perang. Dengan itu kalian berharap ridha Allah (Tuhan kalian), membela Islam (agama kalian), dan melindungi diri, keluarga dan rumah kalian.

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

"Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya, sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Mahaperkasa." (QS. Al-Hajj: 40) Kalian membela agama kalian dari orang yang hendak menyerang dan menghancurkannya. Karena sesungguhnya agama adalah pokok keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Siapkan apa yang kamu mampu untuk menghadapi mereka dari kekuatan hujjah dan argument, dan menjawab syubhat mereka dengan menunjukkan kebohongannya dan menghancurkan dasar-dasar pemikiran mereka.

Persiapkan kekuatan untuk menghadapi mereka dengan berlatih menggunakan senjata-senjata perang dan mempelajari cara-cara dan metode peperangan yang sesuai dengan era sekarang. 

bagi yang ingin berjihad dia harus melakukan I’dad, jika ia tidak mau melakukan I’dad untuk berjihad maka sama halnya dengan orang yang gembar-gembor untuk melakukan sesuatu namun tidak berusaha untuk merealisasikannya. Dengan demikian sebenarnya ia memvonis dirinya sendiri sebagai pendusta dan penipu. Sebenarnya ia tidak ingin perang dan bertempur…meskipun dia mengaku-ngaku dengan lidahnya seribu kali ingin berjihad, dan mencintai jihad dan mujahidin Allah berfirman

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ

Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu. ” (at-Taubah:46)

Seperti kondisi pemerintahan negara-negara Arab yang secara praktis berkhianat. Mereka menampakkan kelemahannya di hadapan para thogut dzolim juga dihadapan kaum Zionis di Palestina, mereka tidak mampu menghadapinya juga tidak bisa membebaskan Palestina. Mereka juga tak mampu memberikan pertolongan kepada rakyat Palestina yang tertindas!!!

Maka kita katakan pada mereka: “Kalian dusta. Kalian telah berdusta ribuan kali. Jika kalian benar ingin berjihad dan membebaskan Palestina tentunya kalian akan mempersiapkan diri untuk terjun ke medan perang. Tetapi setelah puluhan tahun kalian berkuasa, tahun demi tahun kalian semakin lemah dan bahkan semakin tunduk dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kami mengetahui dengan pasti bahwa kalian tidak berkeinginan untuk berjihad dan membebaskan Palestina. Bahkan sebenarnya sama sekali tidak pernah terlintas dalam fikiran kalian, kalian telah berdusta pada diri kalian dan rakyat kalian yang lalai ketika kalian mengangkat slogan tentang pembebasan.


* * *
Jika ada pertanyaan, atas siapa sajakah kewajiban ini berlaku?
Pertanyaan ini kami jawab, I’dad ini diwajibkan bagi mereka yang mendapatkan beban kewajiban berjihad.
* * *
Jika ada pertanyaan lagi, “Sebatas manakah I’dad itu harus dilakukan?”
Pertanyaan ini kami jawab, “Persiapan itu berakhir pada puncak kemampuan dan potensi yang dimiliki manusia; sebab Allah subhanallahu ta'ala tidak membebani hamba-Nya melainkan sebatas kemampuan?

ANJURAN MEMANAH DAN BERKUDA

ALLAH subhanallahu ta'ala.barfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al-Anfal:60)

Diriwayatkan dari Uqbah bin amir Radhiyallahu 'Anhu berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda di atas mimbar:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ

"Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah." (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ahmad dan lainnya)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  bersabda,

ارْمُوا وَارْكَبُوا وَإِنْ تَرْمُوا خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَرْكَبُوا

"Memanah dan berkudalah, dan kalian memanah lebih aku sukai dari pada berkuda." (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Hadits ini Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Maka siapa yang meninggalkan (pengetahuan/kemampuan) memanah (di antaranya menembak) setelah ia mengetahuinya karena membencinya, maka itu adalah nikmat yang ditinggalkannya atau yang ia kufuri.

 
Dari Salamah bin al-Akwa' Radhiyallahu 'Anhu berkata: Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah melewati kaum yang sedang berlomba memanah, siapa di antara mereka yang menang, lalu beliau bersabda: "Panahlah wahai Bani Ismail, dan Islamil adalah bapaknya bangsa Arab. Sesungguhnya bapak kalian adalah seorang pemanah. Dan aku bersama (menjagokan) bani fulan."

Kemudian salah satu dari dua kelompok itu menurunkan tangannya (tidak melanjutkan), karenanya beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya, "kenapa kamu tidak memanah?" Mereka menjawab, "Bagaimana kami memanah sementara Anda bersama mereka?" Kemudian Nabi shalawatullah wasalamuhu 'alaihi bersabda: "Mulailah memanah dan aku bersama kalian semua."

Beliau bersabda, "Akan ada banyak bumi yang ditaklukkan oleh kalian dan semoga Allah menolong kalian. Janganlah salah seorang kalian malas untuk bermain-main dengan anak panahnya."

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan dalam hadits ini, tidak boleh meninggalkan memanah walau ia tidak memiliki hajat terhadapnya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  juga pernah menerangkan, "Siapa yang sampai di jalan Allah dengan satu anak panah –yakni siapa yang memanah dan mengenai musuh- maka bagi satu derajat di surga."
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan dalam hadits ini, tidak boleh meninggalkan memanah walau ia tidak memiliki hajat terhadapnya.

Dan arramyu (memanah/melempar) yang ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam ayat mencakup setiap panah yang sesuai pada setiap masa dan tempat. Memanah pada era beliau adalah dengan busur, panah dan manjanik, maka memanah yang pas pada era sekarang adalah dengan senapan dan macam-macam senjata api, bom dan rudal. Sebabnya, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyebutkan ramyu (melempar) secara global dan tidak menentukan senjata yang digunakan.

Di antara metode Islam dalam menganjurkan untuk mempelajari cara melempar adalah dengan membolehkan untuk berkompetisi dengan taruhan di dalamnya. Maka boleh seseorang berlomba menembak dengan taruhan beberapa dirham atau semisalnya karena di dalamnya terdapat anjuran dan motifasi untuk belajar memanah (masuk di dalamnya menembak).


Kemudian syaikh Utsaimin memuji kebijakan Mamlakah Arab Saudi yang memerintahkan untuk dibukanya pusat-pusat tadrib (latihan) berperang di negerinya. Selanjutnya beliau berharap agar tempat-tempat semacam ini juga diadakan di semua negeri kaum muslimin sehingga para pemudanya mahir menggunakan senjata untuk membela agamanya dan mempertahankan negeranya. Beliau berharap agar negeri-negeri kaum muslimin serta rakyatnya berkompetisi dan berlomba dalam ranah yang mulia ini dalam rangka melaksanakan perintah Allah Ta'ala sesuai harapan para pemimpinnya.

Allah Ta'ala berfirman,

 وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لاَ يُعْجِزُونَ * وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ

"Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. Al-Anfal: 59-60)

Apa Kata Syaikh Abdullah Azzam (rahimahullah) Tentang Usamah Bin Laden?

“Kita memohon kepada Allah ta’ala agar menjaga saudara kita, Abu Abdullah Usamah Bin Ladin; lelaki inilah, kedua mataku tak pernah melihat lelaki semisal ini di seluruh dunia”
 
“Lelaki ini melambangkan seluruh negara”
“Demi Allah, aku bersumpah aku takkan pernah mampu menemukan seorang yang setara dengannya di seluruh dunia islam, jadi kita memohon kepada Allah untuk menjaga agamanya dan hartanya, dan agar memberkahi kehidupannya”


 
“Dia hidup di rumahnya dengan kehidupan orang yang melarat. Dulu aku terbiasa mengunjungi rumahnya di Jeddah disaat aku pergi untuk haji atau umroh, dan aku tidak pernah menemukan sebuah meja atau sebuah kursi dalam rumahnya: seluruh rumahnya. Dia menikahi empat istri dan di seluruh rumahnya aku tak pernah melihat sebuah meja maupun kursi. Rumah pekerja Yordania atau Mesir bahkan lebih baik dibanding dengan rumah Usamah. Pada saat yang sama, jika kamu meminta kepadanya jutaan riyal untuk Mujahidin, dia akan menuliskan sebuah cek jutaan reyal untukmu”
“Orang-orang Afganistan melihat orang arab layaknya seorang lelaki yang meninggalkan perniagaannya, pekerjaannya dan perusahaannya di Saudi Arabia, atau di teluk Yordania, dan hidup dengan kehidupan roti dan teh basi di puncak-puncak pegunungan. Dan mereka akan melihat Usamah Bin Ladin layaknya seorang lelaki yang telah meninggalkan bisnisnya yang sukses dalam merenovasi masjidil harom milik rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  di Madinah untuk saudara-saudaranya hingga ia pun kehilangan bagiannya - 2.5 juta dolar - lalu melemparkan dirinya ke tengah-tengah pertempuran”


 

“Usamah mendatangi salah satu saudara perempuannya dan menyodorkan fatwa Syekh Ibnu Taimiyyah tentang kewajiban untuk pergi berjihad, kemudian dengan segera saudara perempuannya mengambil buku ceknya dan memberinya sebuah cek yang bernilai 8 juta riyal (2.5 juta dolar). Orang-orang berkata kepadanya : “Apa kamu sudah gila? 8 juta riyal dalam sekali sumbangan?”. Banyak dari kaum muslimah yang berusaha merayunya untuk tidak melakukannya; dan banyak kaum muslimin yang berusaha mengecilkan hati suami saudara perempuan Usamah dan mereka berkata kepada saudara perempuannya ini : “Kamu hidup dalam rumah sewaan: untuk membangun sebuah rumah untukmu hanya membutuhkan biaya satu juta riyal (275 ribu dolar), lalu kenapa Kamu tidak menggunakan satu juta riyal dari sumbanganmu untuk membangun rumah sendiri? Setelah itu, dia pergi menuju saudara laki-lakinya, Usamah, dan berkonsultasi dengannya tentang satu juta riyal untuk membangun sebuah rumah baginya. Lalu Usamah pun berkata : “Demi Allah, bahkan tidak satu riyal pun! Kamu hidup dalam sebuah rumah yang luas ketika orang-orang meregang nyawa, bahkan tak mampu untuk menemukan sebuah tenda untuk bertempat tinggal”.

 

“Ketika dia duduk denganmu, kamu akan merasakan bahwa dia adalah seorang pembantu diantara para pembantu rumah, dengan sopan santun dan kedewasaannya. Demi Allah, kami melihatnya seperti itu. Saya pernah berkata kepada Syekh Sayyaf sekali, “Jagalah lelaki ini agar selalu bersamamu dan laranglah dia untuk memasuki peperangan”. Mengingat dia, di lain sisi, selalu nekat untuk pergi dan menghadapi musuh secara langsung”.

“Percayalah kepadaku, kapanpun dia datang ke rumahku di Peshawar dan Aku perlu untuk melakukan telpon, dia akan pergi dan mengambilkan telpon untukku dan menaruhnya di depanku, agar aku tidak beralih dari posisiku. Sopan santun, kesederhanaan, kedewasaan : semoga Allah menjaganya”.

 
“Petama kali dia mengundangku untuk datang ke rumahnya adalah di bulan Romadhon. Pada saat maghrib, dia membawa sebuah piring yang dipenuhi nasi dengan sedikit tulang dalam lapisan daging, dan dua atau tiga kebab”.

 

“Sayyid Dhiya’, (seorang komandan Afganistan di Aliansi Utara, kemenakan Sayyaf dan salah seorang yang memerangi Mujahidin pada saat perang salib di Afganistan yang bermula tahun 2001), memberitahu kepada seorang jurnalis koran Prancis, Le Monde, “Kami tahu Usamah adalah seorang yang kaya, tapi Dia terbiasa hidup diantara kami dalam kehidupan yang sederhana dan tidak berkecukupan. Dia dikepung oleh orang-orang Rusia dalam dua peristiwa : satu diantara dua peristiwa itu terjadi dalam peperangan yang berakhir selama 24 hari, dan inilah peperangan paling lama yang pernah aku ikuti dalam seluruh hidupku. Usamah dikepung selama 7 hari, di puncak gunung, dia bersama dengan 100 pasukannya. Mereka digempur dengan senjata berat secara terus menerus dari arah tentara Rusia, maka Usamah memberi perintah untuk mencegat jalan darat yang terbuka untuk memotong rute suply pasukan Rusia, dan kemudian menyerang pasukan Rusia pada hari ke-7, dan menjadi pemenang dalam pertempuran itu. Usamah dan orang-orang Arab sangat berani, sungguh - dan semenjak pertempuran itu Aku tak pernah melihat sebuah pertempuran yang seganas pertempuran saat itu. Jujur saja, kami saat itu sangat ketakutan dengan serangan yang terus menerus ditujukan kepada kami, dan kami terus menanti di dalam parit perlindungan kami agar pasukan Rusia mendekati kami sehingga kami bisa menembak mereka. Orang-orang Arab, di satu sisi, pada saat pertempuran tersebut, mereka melompat dari parit perlindungan dan menghadapi musuh secara langsung: mereka sangat bersemangat untuk memerangi musuh tangan ke tangan, sedangkan tak seorang Afgan pun yang disiapkan untuk melakukan hal itu”.


Diambil dan ditranlsate dari ebook “The Lofty Mountain” karangan Syekh Asy Syahid biidznillah Abdullah Azzam, diterbitkan Azzam Publications (http://www.azzam.com), halaman 151-153, edisi pertama, dalam format pdf

I’daad dan ‘Adaalah (Bag.2-TAMAT-)

Dan firman Alloh;

“Maka jika Alloh mengembalikanmu pada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka meminta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah:”Kamu tidak boleh keluar bersama­samaku selama­lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggAlloh) bersama orang­orang yang tidak ikut berperang” (QS. At Taubah: 83)


Kesimpulannya adalah orang yang melemahkan semangat atau menebar kerusakan dalam barisan atau berkhianat dilarang untuk ikut berjihad. Karena orang semacam ini besar bahayanya meskipun ada manfaatnya.

Namun meskipun pemimpin itu boleh mengijinkan orang fasiq yang bermaksiat ­­­ yang manfaatnya lebih besar dari pada kerusakannya ­­­ untuk ikut berjihad, hal ini tidak berarti pemimpin itu boleh membiarkannya dalam kefasikan dan maksiat.

Akan tetapi ia harus beramar ma’ruf dengan cara memberi pengajaran dan nasehat, dan melakukan nahi munkar dengan cara memarahi dan menghukum. Inilah yang disebut sebagai pelaksanaan tarbiyyah iimaaniyyah ketika pelaksanaan jihad. Dan kita tidak mengatakan, kita undur jihad sampai selesai tarbiyyah iimaaniyyah. Karena tarbiyah semacam ini tidak ada habisnya kecuali dengan kematian. Sebagaimana firman Alloh;

“Dan beribadahlah kamu kepada Rabbmu sampai datang kepadamu “keyakinan” (QS. Al Hijr: 99)

Keyakinan artinya adalah kematian, sebagaimana disebutkan didalam tafsir. Dan kadang ajal itu datang sedangkan orang belum mendapatkan tarbiyah kecuali sedikit. Alloh berfirman:

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang­orang yang Kami pilih diantara hamba­hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Alloh” (QS. Al Fathir : 32)

Inilah tingkatan­tingkatan keimanan para pengikut Rosul dan para pewaris kitab. Dari pembahasan diatas dapat saya ringkaskan sebagai berikut:

1.I’dad imani (tarbiyah) adalah kewajiban dan merupakan penopang yang mendasar diantara penopang­penopang kemenangan. Dan telah berlalu uraian masalah ini, khususnya pada dampak kemaksiatan dalam menyebabkan kekalahan. Dan sesungguhnya kemaksiatan sebagian orang akan membahayakan semuanya jika mereka tidak mengingkarinya. Dan inilah keadaan yang paling ideal jika bisa direalisasikan.

2.Namun demikian kami katakan jihad itu tidak boleh diundur dengan alasan I’dad imani ­­­meskipun jihad kadang boleh diundur dengan alasan untuk persiapan secara materi / fisik ketika dalam keadaan lemah ­­­ khususnya ketika jihad hukumnya fardhu ‘ain dan lebih khusus lagi dalam jihad yang hukumnya fardhu ‘ain adalah ketika musuh menduduki wilayah kaum muslimin. Dan inilah kondisi kebanyakan negara kaum muslimin saat sekarang. Dalam kondisi seperti ini jihad hukumnya fardhu ‘ain dan mudloyyaqul waqti (tidak bisa diundur­undur).

Dan mengundur­undurkan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain seperti ini akan mengakibatkan bahaya dan kerusakan. Bencana apakah yang lebih besar dari pada berkuasanya orang­orang kafir dinegara­negara kaum muslimin dan memaksakan kepada kaum muslimin untuk mengikuti hukum­hukum kafir dan berusaha untuk merusak kaum muslimin dan merusak agama mereka dengan berbagai sarana makar. Maka barangsiapa berpendapat untuk mengundur jihad sampai selesai mentarbiyah orang yang ingin berjihad, orang yang berpendapat seperti ini tidak memahami bahwa sarana penghancur jumlahnya berlipat ganda dibandingkan sarana untuk membangun.

“Mereka tidak henti­hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup” (QS. Al Baqarah: 217)


Dan juga tidak memahami bahwasannya orang­orang kafir tidak akan menyisakan satupun sarana tarbiyah yang baik. Alloh berfirman:

“Dan sekiranya Alloh tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara­biara Nasrani, gereja­gereja, rumah­rumah ibadat orang Yahudi dan Masjid­masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Alloh. Sesungguhnya Alloh pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Alloh benar­benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al Hajj : 40)

Seandainya Alloh tidak menahan orang­orang kafir dengan para mujahidin pasti tidak akan tersisa satupun tempat yang layak untuk beribadah kepada Alloh. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim menggambarkan keadaan mujahidin dengan mengatakan: ”Mereka telah mengerahkan jiwa mereka untuk cinta mereka kepada Alloh, membela agamaNya, menegakkan kalimatNya, dan melawan musuh­musuhNya.

Dan mereka itu bersekutu dengan setiap orang yang membela Alloh dengan menggunakan pedang­pedang mereka dalam amalan­amalan yang mereka kerjakan meskipun mereka tidur didalam rumah mereka. Dan mereka mendapatkan pahala orang yang bisa beribadah lantaran jihad mereka dan kemenangan yang mereka raih, karena merekalah yang menjadi faktor penyebab.

Dan Alloh yang membuat syari’at, memberikan pahala dan dosa kepada orang yang menjadi faktor penyebab sebuah amalan sebagaimana orang yang mengamalkan amalan tersebut. Oleh karena itu orang yang mengajak kepada kebenaran dan orang yang mengajak kepada kesesatan masing­masing mendapatkan pahala dan dosa sebagaimana orang yang mengikutinya” (Thoriiqul Hijrotain, cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1403 H. hal.355)

3.Jika kekuatan fisik kaum muslimin telah mencapai batas kemampuan yang disebutkan dalam ayat: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka semampu kalian”

dan dia yakin akan dapat meraih kemenangan, maka dia wajib untuk memulai jihad. Dan jihad tidak diundur dengan alasan untuk menyempurnakan I’dad imani. Dengan demikian ketika tidak mampu melaksanakan jihad, maka dua bentuk I’dad itu baik secara materi maupun secara iman harus diusahakan, maka barangsiapa yang berusaha untuk melakukan I’dad imani namun dia meninggalkan I’dad maddi atau mengundurnya, maka dia berdosa karena meninggalkan kewajibannya tersebut dalam ayat:

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian mampu”

4.I’dad imani harus dilakukan sepanjang tahapan sejak sebelum dimulainya jihad dan ketika dilaksanakan jihad. Sebagaimana yang telah saya sebutkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu merupakan ciri yang senantiasa menyertai kaum muslimin baik sebelum berkuasa maupun setelah berkuasa. Dan sebaik­baik sarana tarbiyah adalah tarbiyah yang dilakukan ketika berlangsungnya jihad. Karena manusia dalam keadaan seperti ini, biasanya lebih dekat kepada Alloh. Sebagaimana Rosul senantiasa memberikan pengarahan kepada para sahabatnya ketika mereka sedang melaksanakan jihad. Dan tidak ada seorangpun yang mengatakan kita undur jihad sampai selesai tarbiyah. Diantaranya adalah sabda Nabi SAW,

“Ya Alloh aku berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh kholid” hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy

Dan juga sabda Beliau kepada ekspedisi yang dipimpin oleh Abdullah bin Hudzaifah:

“Jika mereka masuk kedalam api tersebut, mereka tidak akan keluar selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada perbuatan yang ma’ruf” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)

Dan sabda beliau kepada Usaamah bin Zaid:

“Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaaha illAlloh?” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih)

Dan juga sabda Beliau kepada Abu Dzar:

“Kamu adalah orang yang padamu terdapat jahiliyyah” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)

Dan juga sabda Beliau pada suatu peperangan:

“Sesungguhnya Alloh benar­benar menolong agama ini dengan orang yang fajir” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)

Begitu pula peristiwa haditsul ifki yang terjadi setelah suatu pertempuran. Rosululloh melaksanakan hukuman had penuduh berzina kepada orang yang menyebar luaskan fitnah itu. Diantara mereka ada orang yang pernah ikut perang Badar yaitu Misthoh bin Utsaatsah dan diantara mereka ada seorang juru sya’ir Nabi yaitu Hassan bin Tsabit (lihat Fat­hul Baariy, VIII / 378­379).

Oleh karena itu bisa jadi orang yang sempurna, mulia dan disaksikan masuk surga, namun dia melakukan dosa­dosa besar sebagaimana Misthoh bin Utsatsah dan Haathib bin Abi Balta’ah ra, Rosululloh SAW bersabda tentang Haathib:

“Bukankah dia ikut perang Badar? Apakah kamu tidak tahu, bisa jadi Alloh telah melihat kepada mereka kemudian mengatakan kepada mereka:”Berbuatlah semau kalian, Aku telah wajibkan kalian masuk surga” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy, no. 6936).

Ibnu Hajar berkata: ”Sesungguhnya seorang mukmin itu meskipun dia sampai derajat kesholihan dan dipastikan dia masuk surga, dia tidak dijamin untuk tidak terjerumus kepada perbuatan dosa, karena Haathib termasuk orang yang diwajibkan oleh Alloh untuk masuk surga namun dia melakukan perbuatan sebagaimana yang telah dia lakukan”. (Fat­hul Baariy, XII/ 310). Dan contoh dalam masalah ini banyak. Maka tarbiyah iman itu dilakukan ketika berperang, dan jihad tidak ditunda dengan alasan tarbiyah. Tarbiyah itu ­­­ sebagaimana yang lalu ­­­ tidak berhenti kecuali setelah mati. Dan Alloh SWT, membolak­balik hati sesuai dengan kehendakNya.


  1. Al ‘Adaalah bukanlah syarat wajibnya jihad. Orang fasiq boleh ikut berjihad jika manfaatnya untuk berjihad lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkan. Sebagaimana telah diperinci didepan. Dan orang yang menimbulkan kerusakan dan berkhianat dilarang untuk ikut berjihad.
  2. Sesungguhnya bukanlah merupakan aib bagi kaum muslimin adanya orang­orang yang bermaksiat didalam barisannya. Akan tetapi yang menjadi aib adalah membiarkan mereka berbuat maksiat dan tidak mengarahkan mereka untuk mentaati perintah dan larangan Alloh. Karena kesalahan dan kemaksiatan itu tidak akan pernah terpisah dari manusia. Rosululloh pun pernah melaksanakan hukuman had bagi pezina, pemfitnah zina, peminum khomer, pencuri, hiroobah (perampok) pada masa hidup beliau. Dan orang­orang munafiq dahulu ikut keluar berperang sebagaimana yang telah kami sebutkan diawal kitab. Namun demikian tidak seorangpun yang mengatakan kami tidak akan berjihad selama dalam barisan kami ada orang­orang yang bermaksiat dan munafiq. Padahal Rosululloh SAW bersabda:

“Tidaklah datang suatu haripun kepada kalian kecuali setelahnya pasti lebih jelek dari pada sebelumnya” (Hadits i ni diriwayatkan oleh Al Bukhooriy dari Anas)


Intinya adalah jika ada beberapa orang yang bermaksiat pada sebuah kelompok yang berjihad yang tegak melaksanakan perintah Alloh, sesungguhnya hal ini bukanlah alasan untuk tidak berjihad bersama mereka.

  1. Jika tidak terdapat kelompok seperti diatas (yaitu kelompok baik yang didalamnya terdapat beberapa orang yang bermaksiat) sehingga jihad tidak mungkin dilaksanakan kecuali bersama pemimpin yang fajir atau bersama pasukan yang banyak melakukan dosa, maka wajib berjihad bersama mereka ­­­ sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah ­­­ untuk menolak salah satu dari dua kerusakan yang lebih besar ­­­ yaitu kerusakan orang­orang kafir ­­­ dan inilah taqwa kepada Alloh sesuai dengan kemampuan yang disebutkan dalam ayat:

“Maka bertaqwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian” (QS. At Taghabun : 16)


kepada kaum muslimin secara umum kecuali orang yang dirahmati Alloh, sesungguhnya Alloh itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Alloh berfirman:
“Dan mereka tiada henti­hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia­sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni naar, mereka kekal didalamnya” (QS. Al Baqarah: 217)

Maka seorang muslim boleh berperang bersama pemimpin yang fajir atau pasukan yang banyak dosa, karena dalam hal ini ia membantu mereka untuk kebaikan dan taqwa dan tidak membantu untuk berbuat dosa dan permusuhan, ia mentaati mereka untuk ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati dalam perbuatan maksiat, dan ia berusaha keras untuk menasehati mereka, supaya Alloh memperbaiki mereka. Dan pada kesempatan yang lain Ibnu Taimiyyah berkata: ”Jika kewajiban seperti menuntut ilmu, jihad, dan yang lainnya tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan orang yang berbuat bid’ah yang bahayanya lebih kecil daripada bahaya meninggalkan kewajiban tersebut, maka harus diraih kemaslahatan dengan melaksanakan kewajiban tersebut meskipun harus dengan menanggung kerusakan yang lebih ringan, hal itu lebih baik dari pada sebaliknya. Oleh karena itu pembahasan dalam masalah ini haruslah diperinci.” (Majmuu’ Fataawaa, XXVIII / 212)

Asy Syatibi berkata: ”Dan begitu juga jihad bersama para pemimpin yang dzalim, para ‘ulama membolehkannya.” Maalik berkata: ”Jihad itu jika ditinggalkan pasti akan menimbulkan bahaya terhadap kaum muslimin. Jihad itu permasalahan darurat, dan keberadaan pemimpin dalamjihad itu juga darurat. Sedangkan Al ‘Adaalah itu adalah penyempurna sesuatu yang darurat itu. Dan sesuatu yang menjadi penyempurna itu jika ketidak adaannya mengakibatkan tidak adanya hal yang mendasar maka penyempurna itu tidak diperhitungkan lagi.” (Al Muwaafaqoot, II / 15)

Dan Muhamad Ibnu Hazm mempunyai perkataan keras terhadap orang yang melarang jihad melawan orang­orang kafir bersama pemimpin yang fajir. Beliau berkata: ”Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekafiran selain dosa orang yang melarang berjihad melawan orang­orang kafir dan memerintahkan untuk menyerahkan wanita­wanita kaum muslimin kepada orang­orang kafir tersebut dengan alasan kefasikan seorang muslim, padahal kefasikannya itu tidak akan ditanggung oleh orang lain” (Al Muhallaa, VII / 300)

Saya katakan : dan dalam bab Tiga telah saya jelaskan bahwa seorang amir fajir yang dipebolehkan berperang bersamanya ­­­ jika tidak ada yang lain ­­­ adalah orang yang kefajirannya hanya berdampak pada dirinya sendiri dan dibawah tingkat kekafiran.

Dari pembahasan diatas wahai saudaraku muslim, dapat kita fahami bahwa orang yang mengatakan ”kami tidak akan berjihad sebelum kami belajar ilmu syar’i dahulu, atau sebelum kami menyelesaikan tarbiyah imaniyah dahulu, atau mengharuskan setiap muslim untuk melakukan hal ini”, pendapat ini mengakibatkan musnahnya agama Islam. Dan sebagaimana yang saya katakan dalam bantahan saya terhadap syubhat Syaikh Al AlBani, bahwa menuntut ilmu dan tarbiyah itu adalah benar, dan kami mengajak manusia untuk melaksanakan keduanya, namun harus diperhatikan ketentuan­ketentuan berikut :

  1. Sesungguhnya belajar dan tarbiyah itu bukanlah syarat wajibnya jihad. Artinya, kita tidak boleh melarang berjihad orang yang belum mempelajari diinnya dan belum membersihkan jiwanya. Kecuali ilmu yang hukumnya fardlu ‘ain yang khusus masalah jihad, seperti ilmu tentang disyari’atkannya jihad dan memahami kelompok apa yang ia perjuangkan.
  2. Sesungguhnya jalan keluar dari kehinaan yang menimpa kehidupan kaum muslimin ini adalah jihad, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ dari Tsauban:
“Hampir tiba saatnya kalian dikeroyok oleh berbagai bangsa...” Dan Hadits marfuu’ dari Ibnu ‘Umar:
“Jika kalian saling berjual beli dengan cara ‘iinah...”

Kedua hadits ini telah disebutkan didepan. Dan kami berpendapat bahwa jihad ini merupakan kewajiban mayoritas kaum muslimin khususnya adalah jihad melawan pemerintah yang murtad. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa belajar dan tarbiyah itu adalah bagian dari I’dad untuk berjihad, untuk membentuk satu kelompok mujahid yang berilmu dan beragama, dan kami tidak menganggap belajar dan tarbiyah itu sebagai jalan penyelesaian masalah tanpa jihad, sebagaimana telah berlalu dalam bantahan terhadap syubhat Syaikh Al Albani.

(Diterjemahkan dari kitab Al Umdah fii I’daadil ‘Uddah lil Jihaadi fii Sabiilillah, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, hal.583­597)

I’daad dan ‘Adaalah (Bag.1)

Syaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul ‘Aziiz
I’daad dan ‘Adaalah

PENGERTIAN DAN STATUS KEDUANYA DALAM SYARAT JIHAD
Sebuah Bantahan Terhadap Syubhat Yang Mengatakan Bahwa;
Tidak Ada Jihad Kecuali Setelah Sempurnanya Tarbiyah Imaniyah



Penerjemah:  Abu Musa Ath Thoyyaar


Disini kita akan membahas permasalahan­permasalahan berikut; Pertama; apakah yang dimaksud I’dad lil jihad (Persiapan Jihad)? Kedua; apakah Al ‘Adaalah merupakan syarat wajibnya jihad?

Pertama; Apakah yang dimaksud dengan I’dad lil Jihad?




Yang dimaksud dengan I’dad ada dua; yaitu I’dad Maddi (persiapan materi) dan I’dad imani (persiapan iman), dan tidak boleh membatasi I’dad dengan salah satunya. Adapun yang dimaksud dengan I’dad maddi adalah yang disebutkan dalam surat Al Anfaal, Alloh berfirman:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda­kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh, musuhmu dan orang­orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Alloh mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Alloh niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al Anfaal : 60)


Dan penafsiran ayat ini telah disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ sehingga tidak menyisakan tempat untuk mentakwilkannya atau membawa pengertian ayat tersebut kepada pengertian yang tidak dimaksudkan oleh ayat tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata bahwasannya Rosululloh SAW , membaca ayat ini kemudian bersabda: “Ingatlah bahwasannya kekuatan itu adalah melempar (memanah)”. Beliau mengucapkannya tiga kali.

Oleh karena itu tidak boleh membawa pengertian ayat ini kepada pengertian I’dad imani dan tarbiyah. Dan I’dad maddi mencakup mempersiapkan orang, senjata dan harta. Dan ayat tersebut diatas menyebutkan dengan jelas persenjataan dan harta, dan menyebutkan orang secara isyarat. Namun mempersiapkan orang ini terdapat dalam ayat­ayat lain. Seperti firman Alloh : “Hai Nabi, hasunglah orang­orang mu’min untuk berperang” (QS. Al Anfaal : 65)

Dan juga firman Alloh:

“Maka berperanglah kamu pada jalan Alloh, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Dan hasunglah orang­orang mu’min (untuk berperang). Mudah­mudahan Alloh menolak serangan orang­orang yang kafir itu”. (QS. An Nisaa’ : 84)

Dan juga firman Alloh:

“Wahai orang­orang yang berimanjadilah kalian sebagai pembela­pembelaAlloh” . (QS. Ash Shaff : 14)

Dan permasalahan ini telah dibahas secara terperinci dalam bab dua, dan Ibnu Taimiyyah berkata bahwasannya jika kewajiban jihad itu gugur karena ketidak mampuan maka wajib mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan. (Majmuu’ Fataawaa, XXVIII / 259) Dan Alloh menjadikan I’dad ini sebagai pertanda benarnya keimanan dan sebagai pembeda antara orang beriman dengan orang munafiq, dalam firmanNya:


“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Alloh tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Alloh melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka:”TinggAlloh kamu bersama orang­orang yang tinggal itu”. Jika mereka berangkat bersama­sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka bergegas­gegas maju ke muka dicelah­celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka” . (QS. At Taubah : 46­-47)

Dalam ayat ini Alloh menjelaskan bahwa orang munafiq yang meninggalkan I’dad itu sebelumnya secara taqdir Alloh telah mentelantarkannya. Dan sesungguhnya hal ini adalah merupakan rahmat dari Alloh kepada orang­orang yang benar­benar beriman, seandainya mereka ikut keluar bersama mereka, pasti orang­orang munafiq itu hanya membuat kerusakan dan fitnah. Apalagi ada sebagian orang­orang beriman yang berbaik sangka kepada orang­orang munafiq itu. “Dan diantara kalian ada yang mendengar­dengarkan mereka”

Dan disinilah timbul kerusakan yang besar. Inilah yang berkaitan dengan I’dad secara materi.

Adapun I’dad imani (tarbiyah) bukan bagian dari I’dad maddi (materi). Dan dalil­dalilnya telah disebutkan dalam pasal ini juga sehingga tidak perlu untuk diulang lagi. Dan I’dad Imani ini banyak sekali cabangnya, sebanyak cabang iman, baik lahir maupun batin, baik secara ilmu maupun secara amal, I’dad Imani juga mempunyai peran secara langsung dalam menyebabkan kemenangan atau kekalahan, sebagaimana telah saya sebutkan dalam lima prinsip dasar penyebab kemenangan dan kekalahan. Namun ada beberapa hal yang perlu dijaga dalam hal­hal yang berkaitan dengan I’dad, yaitu :

­ Jangan sampai ayat I’dad dalam surat Al Anfaal ini dibawa kedalam pengertian tarbiyah, karena telah ada hadits marfu’ yang menafsirkan ayat tersebut sehingga membantah pentakwilan tersebut. Adapun tentang tarbiyah ada dalil­dalil lainnya yang telah dijelaskan didepan. Dan yang lebih parah lagi adalah orang yang membatasi I’dad hanya dengan I’dad imani saja tanpa I’dad maaddiy (materi). Orang semacam itu adalah orang yang mendustakan ayat­ayat Alloh.

­ Tarbiyah ini jangan menjadi alasan untuk tidak berjihad, khususnya jihad yang fardlu ‘ain. Inilah yang sangat penting untuk dijaga dalam kaitannya dengan tarbiyah. Dan inilah yang mendorong kami untuk membahas sisi kedua dalam catatan ini.
Kedua : Apakah Al ‘Adaalah itu merupakan syarat wajibnya Jihad?

Maka kepada orang­orang yang mengatakan kami tidak berjihad sampai kami menyelesaikan tarbiyyah iimaaniyyah, kami bertanya dengan dua pertanyaan;

Pertanyaan pertama : Apakah target dari tarbiyyah itu menghantarkan seorang muslim kepada tingkatan Al ‘Adaalah Asy Syar’iyyah, atau kepada tingkatan yang lebih tinggi dari pada itu?

Pertanyaan kedua : Apakah Al ‘Adaalah itu merupakan syarat wajib jihad? Yang berarti seorang muslim tidak boleh berjihad sampai dia mencapai derajat Al ‘Adaalah? Dan apakah kewajiban jihad itu akan gugur dari orang fasiq?

Pertama kami akan menyebutkan definisi Al ‘Adaalah, kami katakan: Al ‘Adaalah adalah kemapanan seseorang pada diinnya, dan ada yang mengatakan; bahwa Al ‘Adaalah adalah orang yang tidak nampak padanya hal­hal yang meragukan. Dan dalam hal ini yang menjadi indikasi ada dua:

1.  Baik dalam mengamalkan Islam, yaitu melaksanakan sholat­sholat wajib dengan sunnah rowatibnya, menjauhi perbuatan haram dengan cara tidak melakukan perbuatan dosa besar dan tidak terus terusan berbuat dosa kecil.
2. Menjaga kesopanan dengan melakukan perbuatan yang memperindah dirinya dan meninggalkan perbuatan yang menghinakan dan memperburuk dirinya. (manarus Sabiil Syarhud Dalil, cet. Al Maktab Al Islami, 1404 H, II/387­388).


Kemudian kami akan menyebutkan syarat­syarat wajibnyajihad ­­­ dan telah berlalu pembahasan ini dalam lampiran sebelumnya ­­­ yaitu (Islam, baligh, berakal, laki­laki, tidak cacat, merdeka, punya biaya, ijin orang tua dan ijin orang yang menghutangi), (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir X/366,381­384). Dan ini adalah ketika jihad fardhu kifayah, adapun jika jihad itu fadlu ‘ain, maka syaratnya adalah satu sampai lima saja. Dan sebagaimana anda lihat bahwa Al ‘Adaalah tidak termasuk syarat jihad.

Kalau Al ‘Adaalah itu jelas bukan merupakan syarat wajibnya jihad, maka gugurlah pendapat orang yang mengatakan harus diadakan tarbiyyah yang menghantarkan seorang muslim kepada tingkatan Al ‘Adaalah sebelum dia berjihad. Dan selanjutnya gugurlah pendapat orang yang mensyaratkan harus mencapai tingkatan lebih tinggi dari pada Al ‘Adaalah. Bahkan para ‘ulama menyatakan yang sebaliknya, artinya boleh meminta bantuan orang fasik dan munafik dalam berperang. Asy Syaukaaniy berkata:”Dalam kitab Al Bahr dikatakan: Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang munafiq berdasarkan ijma’ karena Nabi meminta bantuan kepada Abdullah bin Ubay dan teman­temannya. Dan juga diperbolehkan meminta bantuan kepada orang fasiq untuk melawan orang kafir berdasarkan ijma’, dan menurut kami juga untuk melawan bughot (pemberontak) karena ‘Aliy ra, meminta bantuan kepada Asy’ats” (Nailul Authoor VIII/44).

Dan dalam kitab Al Majmuu’ disebutkan :”Abu Bakar Al Jashosh berkata dalam Ahkamul Qur’an; jihad itu wajib dilaksanakan meskipun bersama dengan orang­orang fasiq, sebagaimana wajibnya berjihad bersama orang­orang yang sudah sampai tingkatan Al ‘Adaalah. Dan seluruh ayat yang mewajibkan jihad tidak membedakan antara dikerjakan bersama orang­orang fasiq dan antara dikerjakan bersama orang­orang shalih. dan juga karena sesungguhnya orang­orang fasiq itu jika mereka berjihad berarti dia dalam hal ini melaksanakan ketaatan (kepada Alloh)”. (Al Majmuu’ Syarhul Muhadz­dzab, XIX/279).
Dan Ibnu Hazm berkata ­­­ setelah menyebutkan hadits yang berbunyi:

“Sesungguhnya Alloh benar­benar memperkuat agama ini dengan orang­orang yang tidak mendapatkan apa­apa”

Dan Hadits yang berbunyi:

“Sesungguhnya Alloh memperkuat agama ini dengan orang yang fajir”

Beliau berkata:”

Hadits ini memperbolehkan meminta bantuan kepada ahlul harbi (musuh) untuk menghadapi orang yang semacam dengan mereka, dan juga kepada orang Islam yang fajir (banyak berbuat dosa) yang tidak mempunyai pahala sedikitpun untuk menghadapi ahlul baghyi (pemberontak), selain itu karena orang­orang fasiq itu juga terkena kewajiban jihad dan kewajiban melawan ahlul baghyi (pemberontak), sebagaimana kewajiban orang yang baik. Oleh karena itu tidak boleh melarang mereka untuk melaksanakan kewajiban itu. Bahkan seharusnya mereka diajak untuk melaksanakan kewajiban tersebut”. (Al Muhallaaa XI/113­114).

Dan permasalahan ini secara terperinci telah dibahas (pada bab tiga), pada pembahasan berperang bersama pemimpin yang fajir. Jika berperang bersama orang yang fajir yang menjadi pemimpin saja diperbolehkan apalagi berperang bersama orang fajir yang menjadi pasukan.

Dan Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan dengan secara panjang lebar tentang masalah ini, yang telah saya nukil dalam (bab ketiga), yaitu beliau berkata;”Jika mereka bersepakat untuk memerangi orang­orang kafir dengan cara yang sempurna, maka inilah pelaksanaan yang maksimal dalam rangka mencari ridlo Alloh, memuliakan kalimatNya, dan mentaati RosulNya. Meskipun diantara mereka ada yang banyak dosanya dan ada yang rusak niatnya, ia berperang ingin mendapatkan kepemimpinan atau ingin mendapat beberapa kepercayaan, Namun meninggalkan perang melawan orang­orang kafir itu kerusakannya terhadap agama lebih besar dari pada berperang melawan mereka tapi bersama orang­orang fasiq. Dan kita wajib memerangi mereka dengan tujuan untuk menolak kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil. Dan ini merupakan pokok ajaran Islam yang harus senantiasa dijaga.

Oleh karena itu termasuk dari pokok­pokok aqidah ahlus sunnah adalah berperang baik bersama
orang yang baik maupun bersama orang yang fajir. Karena sesungguhnya Alloh akan menolong
agama ini dengan orang yang fajir, dan dengan orang yang tidak mempunyai bagian (pahala).


Sebagaimana hal itu telah diberitakan oleh Nabi SAW, karena jika perang itu tidak bisa dilaksanakan kecuali bersama para pemimpin yang fajir atau bersama pasukan yang banyak dosanya, pasti akan ada dua kemungkinan,

Pertama, tidak berjihad bersama pemimpin yang fajir sehingga musuh akan menguasai sedangkan
kerusakan yang mereka timbulkan terhadap agama dan dunia itu lebih berbahaya.

Atau, yang kedua, tetap berperang, namun bersama pemimpin yang fajir, sehingga dengan itu tertolaklah dosa yang paling besar (antara kekafiran dan kemaksiatan­pent) dan dapat menegakkan banyak dari syari’at Islam, meskipun tidak bisa melaksanakan seluruhnya. Dan begitulah seharusnya yang ditempuh (berperang bersama pemimpin yang fajir) ketika dalam keadaan seperti ini (ketika jihad tidak bisa dilaksanakan kecuali bersama pemimpin yang fajir) , dan juga pada kedaan­keadaan yang semacam dengan ini. Bahkan kebanyakan peperangan yang terjadi setelah khulafa’ rosyidin beginilah prakteknya ­­­ sampai beliau mengatakan ­­­ maka barangsiapa memahami apa yang diperintahkan Nabi SAW, kepadanya yaitu jihad yang dilaksanakan oleh para pemimpin sampai hari qiyamat, dan yang beliau larang yaitu membantu orang dzalim untuk berbuat dzalim, niscaya dia memahami bahwa jalan yang paling utama yang merupakan ajaran Islam adalah berjihad melawan orang yang berhak untuk diperangi, seperti orang­orang kafir itu, bersama pemimpin dan kelompok yang lebih dekat kepada Islam dari pada orang­orang kafir itu, jika jihad itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan cara seperti ini. Dan menjauhi perbuatan yang membantu kemaksiatan kelompok fajir yang dia berjihad dengan mereka itu, bahkan mentaati mereka dalam hal­hal yang merupakan ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati mereka untuk bermaksiat kepada Alloh, karena tidak boleh taat kepada makhluq untuk bermaksiat kepada kholiq.

Inilah jalan orang­orang yang terbaik dari ummat ini, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf. Dan ini adalah jalan pertengahan antara jalannya haruriyyah (Khowaarij) dan orang­orang yang semacam mereka, yaitu orang yang menempuh jalan waro’ (kehati­hatian)yang rusak, yang timbul dari sedikitnya ilmu, dan antara jalannya Murji­ah dan orang­orang yang semacam mereka, yaitu orang­orang yang menempuh jalan ketaatan kepada pemimpin secara mutlaq, meskipun mereka itu bukanlah orang­orang yang baik”. (Majmuu’ Fataawaa XVIII / 505­508).

Saya katakan: masalah ini telah menjadi ketetapan sehingga permasalahan ini ditulis dalam masalah­masalah aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, sebagaimana yang telah saya nukil dari syarhul ‘Aqidah ath Thohawiyyah, yang disana disebutkan: ”Haji dan jihad itu senantiasa berjalan bersama pemimpin kaum muslimin, baik yang sholih maupun yang fajir sampai hari qiyamat. Dan keduanya tidak akan digugurkan oleh sesuatu apapun”. (Syarhul ‘Aqiidah Ath Thohaawiyyah, cet. Al Maktab Al Islaamiy 1403, hal. 437).

Dari pembahasan diatas anda dapat melihat bahwa jihad bersama orang fasiq, baik dia sebagai pemimpin atau anggota diperbolehkan berdasarkan ijma’. Dan kadang hal itu diwajibkan jika orang kafir itu tidak mungkin dilawan kecuali dengan berjihad bersama orang­orang fasiq, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah diatas.

Dan yang menjadi pokok permasalahan disini, adalah bahwasannya jihad itu diwajibkan kepada orang­orang yang beriman, sebagaimana firman Alloh:

“Hai orang­orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih?, Yaitu kamu beriman kepada Alloh dan RosulNya dan berjihad dijalan Alloh dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Alloh akan mengampuni dosa­dosamu dan memasukkan kamu kedalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai­sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di jannah” . (QS. Ash Shoff : 10­12)

Dan ayat­ayat yang lain. Ayat ini merupakan perintah kepada orang­orang beriman untuk berjihad, dan diantara orang­orang beriman itu ada yang mempunyai dosa­dosa.

“...niscaya Alloh mengampuni dosa­dosa kalian”

masih mempunyai mutlaqul iimaan (batas terendah keimanan) yang menjadikan dia terkena beban kewajiban syari’at, meskipun dia tidak memiliki al iimaan al mutlaq (iman yang sempurna). Dan diantara aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, bahwa ketaatan dan kemaksiatan itu dapat berkumpul pada seorang hamba, pemahaman ini disimpulkan dari kaidah umum yang menyatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan ­­­ pembahasan masalah ini telah berlalu ­­­ dan diantara contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhooriy dari ‘Umar ra,

“Pada zaman Nabi ada seseorang yang bernama Abdullah, yang mendapat julukan himar. Orang ini membikin tertawa Rosululloh SAW, dan Rosululloh SAW pernah mencambuknya lantaran minum khamr. Pada suatu hari ia didatangkan lalu dia diperintahkan untuk dicambuk. Lalu ada orang yang mengatakan:”Ya Alloh, laknatlah dia. Telah berkali­kali dicambuk”. Maka Rosululloh bersabda :”Janganlah kamu melaknatnya, demi Alloh kamu tidak mengetahui bahwa dia mencintai Alloh dan RosulNya”,

Sahabat ini meskipun dia bermaksiat dengan minum khamr namun dia masih memiliki ketaatan seperti mencintai Alloh dan RosulNya SAW, sedangkan kecintaan ini adalah termasuk cabang iman yang paling besar. Dan perhatikanlah kedudukan cinta ini dalam ayat mengenai penolakan delapan alasan dalam surat At Taubah:

“Katakanlah : jika bapak­bapak kalian...”

Kemudian sesungguhnya orang­orang yang bermaksiat itu mendapatkan manfaat tersendiri dalam jihad, yaitu untuk menghapuskan dosa­dosanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, setelah membacakan ayat dalam surat Ash Shoff diatas:”Dan barangsiapa yang banyak dosanya, maka obat yang paling manjur baginya adalah jihad. Karena sesungguhnya Alloh akan mengampuni dosa­dosanya. Sebagaimana yang Alloh beritahukan dalam firmanNya:

“...niscaya Alloh akan mengampuni dosa kalian”

Juga barangsiapa yang tidak bisa bertaubat dan membebaskan diri dari barang yang haram lantaran tidak mampu mengembalikan barang tersebut kepada yang berhak, maka hendaknya dia infaqkan barang tersebut dijalan Alloh, kerena hal itu merupakan jalan yang baik untuk membebaskan diri dari barang haram tersebut, selain itu dia mendapatkan pahala jihad”. (Majmuu’ Fataawaa , XXVIII / 421­422)

Dari penjelasan diatas dapat difahami bahwasannya kefasikan itu tidak menggugurkan kewajiban jihad. Orang fasik itu diperintahkan untuk berjihad persis sebagaimana orang shalih. Dan telah dinukil diatas perkataan Asy Syaukaaniy yang menyatakan bolehnya ­­­ dan tidak wajib ­­­ meminta bantuan kepada orang fasiq dan munafiq berdasarkan ijma’. Maka jika hal ini dapat diterima, yang dijadikan patokan hukum adalah untung dan rugi yang ditimbulkannya, mana yang lebih besar. Artinya jika manfaat keikut sertaannya dalam berjihad lebih besar dari pada kerusakannya, dia diperbolehkan ikut. Dan jika sebaliknya maka tidak boleh.

Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Qudaamah: ”Dan seorang pemimpin tidak boleh membawa seorang mukhodzil yaitu orang yang melemahkan semangat manusia dalam peperangan...dan juga tidak boleh membawa seorang murjif yaitu orang yang mengatakan; Telah hancur pasukan kaum muslimin dan tidak ada bantuan juga tidak ada kekuatan bagi mereka untuk menghadapi orang­orang kafir...dan juga tidak boleh membawa orang yang memata­matai kaum muslimin untuk orang­orang kafir...dan juga tidak boleh membawa orang yang menimbulkan permusuhan ditengah­tengah kaum muslimin dan menebar kerusakan.” (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir, X / 372 dan perkataan semacam ini juga terdapat dalam kitab Al Majmuu’ Syarhul Muhadz­dzab, XIX / 278­280).

Semuanya ini berdasarkan firman Alloh:

“Jika mereka berangkat bersama­sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka bergegas­gegas maju kemuka di celah­celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka” (QS. At Taubah : 47)

Keutamaan Jihad

Jihad di Jalan Alloh ‘Azza Wa Jalla Adalah Amalan Terbaik Setelah Iman Kepada Alloh ta‘ala

Di dalam Ash-Shohihain disebutkan dari Abu Huroiroh RA berkata:
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya, “Amal apakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh dan rosul-Nya.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Berjihad di jalan Alloh.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Hajji mabrur.” Hadits ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki kedua orang tua yang harus dilayani dengan baik, atau orang yang kedua orangtuanya telah memberi izin, atau dalam kondisi jihad hukumnya fardhu ain; karena dalam kondisi-kondisi ini, jihad lebih didahulukan daripada berbakti kepada kedua orang tua.


Wallôhu A‘lam.

Dan dari Ma‘iz RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau ditanya tentang amalan terbaik, beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh saja, kemudian jihad, dan hajji mabrur itu melebihi semua amalan seperti antara tempat terbitnya matahari dan tempat tenggelamnya.” (HR. Ahmad, rijalnya adalah rijal shohih).

Ma‘iz sendiri adalah shahabat yang masyhur, ia tidak memakai nasab.
Makna sabda beliau: “..melebihi semua amalan.” Artinya semua amalan setelah iman dan jihad; sebelumnya telah disebutkan bahwa amalan terbaik adalah iman dan jihad.

Masih dalam Ash-Shohihain dari Abu Dzar RA ia berkata: Aku bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentang amal apakah yang paling utama?” Beliau bersabda, “Iman kepada Alloh dan berjihad di jalan-Nya.” Ia berkata, “Budak apakah yang paling mahal?” beliau bersabda, “Yang paling mahal bagi pemiliknya dan paling mahal harganya.” (Al-Hadits).


Jihad Lebih Baik Daripada Memberi Minum Orang Hajji Dan Memakmurkan Masjidil Haram

Dari An-Nu‘man bin Basyir RA ia berkata: “Aku berada di sisi mimbar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tiba-tiba ada seseorang berkata, “Aku tidak peduli, untuk tidak mengerjakan amalan setelah Islam selain memakmurkan Masjidil Harom.” Ada orang lain berkata, “Tidak, jihad fi sabilillah itu lebih baik daripada apa yang kau katakan.” Maka Umar bin Khothob membentak mereka seraya mengatakan, “Jangan mengangkat suara di sisi mimbar Rosululloh di hari Jum‘at.

Nanti setelah sholat Jumat, aku akan masuk menemui Rosululloh SAW dan menanyakan apa yang kalian perselisihkan.” akhirnya Alloh ‘azza wa jalla menurunkan firman-Nya:

“Apakah kalian menganggap orang-orang yang memberi minum kepara orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Masjidil Haram sama seperti orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir serta berjihad di jalan Alloh? Mereka itu tidak sama di sisi Alloh. Dan Alloh tidak memberi petunjuk orang-orang dzalim.” (At-Taubah: 19.) (HR. Muslim)

Jihad Lebih Baik Daripada Ber‘Uzlah Dan Sibuk Beribadah

Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dengan isnadnya dari Abu Huroiroh ra, bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah kuberitahu kalian tentang orang yang paling baik kedudukannya? (Yaitu) lelaki yang memegang tali kekang kudanya di jalan Alloh. Maukah kalian kuberitahu tentang orang paling baik kedudukannya setelah itu? Lelaki yang beruzlah dengan menggembalakan kambingnya, ia menegakkan sholat dan menunaikan zakat, beribadah kepada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun.” (Muslim dan lain-lain juga meriwayatkan hadits seperti ini, lafadznya ada Insya Alloh)



Dan dari Abu Huroiroh RA ia berkata:

 “Seorang lelaki dari shahabat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati sebuah lembah yang di sana terdapat sebuah mata air tawar kemudian ia berkata, “Seandainya saja aku menjauhi manusia dan tinggal di lembah ini, aku tidak akan melakukannya sampai aku minta izin kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.” Maka ia menceritakan hal itu kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jangan lakukan itu, sebab posisi salah seorang dari kalian di jalan Alloh lebih baik daripada sholat dia di rumahnya selama tujuh puluh tahun. Apakah kalian tidak suka kalau Alloh mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam jannah? Berperanglah di jalan Alloh, barangsiapa yang berperang di jalan Alloh sebentar saja (fawâqo nâqoh), ia pasti masuk surga.” (HR. Tirmizi dan dia berkata: hadits hasan; Al-Baihaqi di dalam As-Sunan, dan Al-Hâkim; ia berkata: shohih menurut syarat Muslim).


Kata Fawaqo naqoh: Al-Jauhari dan yang lainnya mengatakan: “Artinya adalah waktu memerah antara dua puting susu; biasanya ia diperah lalu dibiarkan sesaat yang ditetek oleh anak unta agar susunya mengumpul banyak lalu diperah.” Ada juga yang mengatakan, maksudnya adalah waktu antara kau tempelkan tanganmu dan kau angkat dari puting susu ketika engkau sedang memerahnya.

Puncak Islam Adalah Jihad Di Jalan Alloh Ta’ala


Dari Mu‘adz bin Jabal ra ia berkata: Kami bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di perang Tabuk, beliau bersabda, “Jika engkau mau, aku beritahukan tentang pokok urusan, tiang dan puncaknya.” Aku mengatakan, “Mau Wahai Rosululloh.” Beliau bersabda, “Adapun pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Hakim dengan lafadz ini secara ringkas, ia mengatakan: shohih menurut syarat Bukhori Muslim; Ahmad juga meriwayatkannya dengan redaksi panjang. demikian juga Tirmizin dan ia menshohihkannya, An-Nasa’I, Ibnu Majah dan lain-lain).


Thobroni juga meriwayatkannya dalam Al-Kabîr melalui jalur Muhammad bin Salamah, dari Abu Abdir Rohim dari Abdul Malik dari Al-Qosim dari Fadholah bin Ubaidillah RA berkata: “Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Islam itu ada tiga bait: bawah, atas dan tengah. Adapun yang bawah adalah Islam; semua kaum muslimin memasukinya, tidak ada seorang pun dari mereka yang kau tanya melainkan mengatakan: Saya seorang muslim. Adapun yang atas maka amalan mereka bertingkat-tingkat, sebagian lebih baik daripada sebagian yang lain. Adapun pertengahan yang paling atas adalah jihad di jalan Alloh, tidak ada yang bisa mendapatkanya selain yang terbaik di antara mereka.”


Tidak Ada Seorangpun Bisa Melakukan Amalan Yang Menyamai Jihad Fi Sabilillah


Dari Abu Huroiroh RA berkata: “Dikatakan, “Wahai Rosululloh, apakah yang bisa menyamai jihad di jalan Alloh?” beliau bersabda, “Engkau tidak akan bisa melakukannya.” Maka para shahabat terus mengulang pertanyaannya hingga dua atau tiga kali semuanya beliau jawab, “Kalian tidak akan bisa melakukannya.” Kemudian beliau bersabda, “Perumpaan mujahid di jalan Alloh itu seperti orang yang berpuasa dan sholat serta taat (qônit) terhadap ayat-ayat Alloh. Ia tidak pernah berhenti dari sholat dan puasanya sampai si mujahid fi sabilillah tersebut pulang.” (HR. Bukhori dan Muslim.) An-Nawawi berkata, “Makna Qônit di sini adalah orang yang taat.”

Keutamaan Mengobarkan Semangat Kaum Mukminin Untuk Berjihad Di Jalan Alloh (Tahridh)

Alloh ta‘ala berfirman:

“…dan kobarkanlah semangat orang-orang beriman (untuk berperang). Semoga Alloh menolak keganasan orang-orang kafir, dan Alloh itu lebih besar kekuatan dan siksa (Nya).” (An-Nisa’: 84)


Alloh ta‘ala berfirman:

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang beriman untuk berperang. Jika ada dari kalian berjumlah dua puluh orang yang sabar, akan mengalahkan dua ratus orang. Dan jika ada dari kalian seratus, akan mengalahkan seribu dari orang-orang kafir dikarenakan mereka adalah kaum yang tidak faham.” (Al-Anfal: 65)

Alloh ta‘ala juga berfirman:

“Hai orang-orang beriman, maukah Ku-tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (Hingga akhir surat Ash-Shoff: 10-14)


Ayat-ayat mengenai tahridh dari Alloh ta‘ala kepada hamba-hamba-Nya untuk berjihad di jalan-Nya, dan memotivasi mereka untuk menggapai pahala di sisi-Nya dengan jihad sangatlah banyak.

1. Ibnu Majah meriwayatkan, Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab Shifatul Jannah, Al-Bazzar dan Ibnu Hibban di dalam Shohih-nya, dari Kuraib, bahwasanya ia mendengar Usamah bin Zaid RA mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapakah yang mau bersegera menuju surga? Sesungguhnya surga itu tidak pernah terbayangkan. Sungguh, demi Robb Ka‘bah, surga itu adalah cahaya yang berkilauan, tumbuh-tumbuhan wangi yang bergoyang, istana yang tinggi, sungai yang mengalir berturutan, buah-buahan yang matang, isteri-isteri jelita dan cantik, perhiasan-perhiasan yang banyak, tempat dalam keabadian di negeri keselamatan, buah-buahan dan hijau-hijauan, kegembiraan dan kenikmatan di tempat yang tinggi dan indah.” Para shahabat mengatakan, “Iya, wahai Rosululloh, kami bersegara ke sana.” Maka beliau mengatakan, “Katakanlah: Insya Alloh.” Para shahabat mengatakan, “Insya Alloh.” Kemudian beliau menyampaikan tentang jihad dan memberi semangat kepadanya.


2. Ibnu Majah menyebutkan lagi dari Ali secara mauquf, ia berkata, “Barangsiapa mengobarkan semangat saudaranya untuk berjihad, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya; dan setiap langkah yang ia tempuh dalam rangka itu sama dengan ibadah satu tahun.”


Keutamaan Menolong Mujahidin, Menyiapkan Bekal, Memberi Makanan, Pelayanan, Mengantarkan Kepergiannya Dan Mengucapkan Selamat Jalan Kepadanya

Imam Ahmad meriwayatkan, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim dan lain-lain, dari jalur Abdulloh bin Muhammad bin ‘Uqoil, dari Abdulloh bin Sahl bin Hanif, bahwasanya Sahl bercerita kepadanya bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang menolong seorang mujahid di jalan Alloh, atau membantu keluarga orang yang berperang, atau membantu seorang budak makatib untuk membebas dirinya, Alloh akan menaungi naungannya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya.”

Ibnu Asakir mengeluarkan dari ‘Umar bin Zaroroh: Telah bercerita kepada kami Al-Musayyib bin Syuraik, dari Bakr bin Fadholah, dari Maimun bin Mahron, dari Ibnu Abbas ia berkata, “Barangsiapa yang membawa dan tinggal bersama kuda di jalan Alloh, ditulis baginya pahala seperti orang yang keluar membawa harta dan nyawanya dalam kesabaran, selama kuda itu masih hidup.

Dan barangsiapa memberi pedang di jalan Alloh, ia akan datang pada hari kiamat dengan membawa lidah yang panjang seraya mengatakan di hadapan semua makhluk:


‘Ketahuilah, aku adalah pedangnya fulan bin fulan. Aku terus berjihad untuknya hingga hari kiamat.’ Dan barangsiapa memberi baju di jalan Alloh ta‘ala, ia akan diberi baju dari surga yang akan digantikan kepadanya setiap hari seperti di dunia.” Dan dari Umar bin Khothob RA ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa memayungi kepala orang yang berperang, Alloh akan menaunginya di hari kiamat. Dan barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan alloh, maka ia mendapat pahala seperti itu sampai ia mati atau pulang. Dan barangsiapa membangun masjid yang di dalamnya disebut nama Alloh, Alloh akan bangunkan baginya rumah di jannah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shohih-nya, Al-Baihaqi dan Syaikhnya: Al-Hakim, ia mengatakan: “Isnadnya shohih.”


Keutamaan Berinfak Di Jalan Alloh


Alloh ta‘ala berfirman:

“Siapa yang mau memberi pinjaman kepad Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqoroh: 245)

Al-Qurthubi dan yang lain mengatakan, “Maknanya: Siapakah yang mau berinfak di jalan Alloh sehingga nantinya Alloh akan ganti dengan jumlah yang berlipat ganda?”

Alloh ta‘ala juga berfirman:

“Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Dan Alloh melipatkan gandakan pahala bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Alloh Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah:261)

Ibnu ‘Umar berkata, “Ketika turun ayat:“Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh…” dstRosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Robbi, tambahkanlah untuk umatku.”

Maka turunlah ayat:

“Siapa yang mau memberi pinjaman kepada Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,“Robbku, tambahkanlah buat umatku.”

Maka turunlah

“Sesungguhnya pahala orang-orang sabar itu dilipat gandakan tanpa terhitung.” (Az-Zumar: 10)

(HR. Imam Abu Bakar bin Al-Mundzir di dalam Tafsirnya, Ibnu Hibban di dalam Shohih-nya, Al-Baihaqi di dalam Asy-Syu‘ab, dan lain lain)


Dari Khuraim bin Fatik berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,“Barangsiapa yang berinfak sekali di jalan Alloh, ditulis baginya tujuh ratus kali lipat.”(HR. Tirmizi, ia meng-hasan-kannya, An-Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shohih-nya, dan Al-Hakim, beliau berkata, “Isnadnya shohih.”)


Keutamaan Menyiapkan Perbekalan Pasukan Perang Di Jalan Alloh Serta Menjaga Keluarga Mereka, Serta Tentang Orang Yang Diminta Keluarga Mujahid Kemudian Berkhianat


Dari Abu Sa‘id Al-Khudri RA bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus kepada Bani Lihyan: Agar setiap dua orang, satu saja yang berangkat, namun pahalanya didapatkan oleh kedua-duanya. Di dalam lafadz lain: “Hendaknya setiap dua orang, satu orang saja yang berangjat.” Kemudian beliau bersabda kepada yang tidak berangkat, “Siapa saja di antara kalian yang menjaga dengan baik keluarga dan harta orang yang berangkat berperang, maka mendapatkan setengah pahala orang yang berangkat.”( HR. Muslim)

Imam Abu Bakar bin Al-Munzir berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kewajiban jihad gugur dari manusia jika sudah ada yang melaksanakannya dalam jumlah cukup.”


Dan dari Zaid bin Kholid Al-Juhanni RA bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, sungguh ia telah berperang. Dan barangsiapamenjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, sungguh ia telah berperang.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Masih dari Kholid ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa memberi buka orang yang berpuasa, ia mendapatkan pahalanya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan siapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, ia mendapatkan pahalanya tanpa mengurangi pahala orang yang berperang itu sedikitpun.” (HR. Tirmizi dan Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban di dalam Shohih-nya)

Dan dari Zaid bin Tsabit RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda,

“Barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, ia mendapatkan pahala seperti pahalanya. Dan barangsiapa menjaga dengan baik dan bersedekah kepada keluarga orang yang berperang, ia mendapatkan pahala seperti pahalanya.” (HR. Thobaroni di dalam Al-Ausath, rijalnya adalah rijal shohih)


Keutamaan Rasa Takut Di Jalan Alloh Ta‘ala 

Di dalam Shohih Muslim dari Abdulloh bin ‘Amru bin Al-‘Ash RA ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Tidaklah suatu pasukan perang atau sariyah yang diberangkatkan di jalan Alloh kemudian mereka selamat atau mendapatkan hasil, melainkan telah disegerakan dua pertiga pahala mereka. Dan tidaklah satu pasukan perang atau satu sariyah yang mereka pulang tidak membawa ghanimah atau merasa ketakutan, atau terkena musibah, kecuali disempurnakan pahala mereka.” Sabda beliau: “Takhfaqu.” (Dengan kho’ mu‘jamah, faa’ dan qoof lagi) artinya adalah: Pulang tanpa membawa ghanimah. Dikatakan: Akhfaqol Ghoozii, jika ia berperang dan tidak memperoleh ghanimah atau kemenangan.


Keutamaan Ribath (Berjaga-Jaga Di Daerah Perbatasan) Di Jalan Alloh Ta‘ala Dan Keutamaan Orang Yang Bermalam Dalam Kondisi Ribath


Alloh ta‘ala berfirman:

“…maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.” (At-Taubah :5)

Alloh ta‘ala juga berfirman:

“…Hai orang-orang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan beribathlah serta bertakwalah kepada Alloh agar kalian beruntung.” (Ali-Imran : 200)

Mubarok bin Fadholah mengatakan, aku mendengar Al- Hasan ketika membaca ayat ini: Ishbiruu wa shoobiruu (Ali Imron: 200, penerj.)

ia mengatakan, “Mereka diperintahkan agar terus bersabar menghadapi orang-orang kafir sampai mereka bosan sendiri dengan agama mereka.” Muhammad bin Ka‘b Al-Qurodzi mengomentari ayat ini, “(Maksudnya ayat ini): Beribathlah kalian menjaga musuh-Ku dan musuh kalian sampai ia meninggalkan agamanya dan memeluk agama kalian.” Dari Sahl bin Sa‘d RA bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Ribath satu hari di jalan Alloh lebih baik daripada dunia seisinya. Dan tempat cemeti salah seorang dari kalian dijannah lebih baik daripada dunia seisinya.” (HR. Bukhori dan yang lain)

Sabda beliau dalam hadits di atas serta yang semisal:
“…lebih baik daripada dunia seisinya…”

Ada yang mengatakan makna hadits ini apa adanya. Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah:

Ketaatan ini lebih baik daripada dunia seisinya kalau manusia itu memilikinya dan menginfakkanya di dalam ketaatan kepada Alloh Ta‘âlâ.” Disebutkan oleh Al-Qodhi ‘Iyadh di dalam Syarah Muslim.


Keutamaan Berjaga-jaga (Hirosah) Di Jalan Alloh Ta‘ala

Di dalam Shohih Bukhori dari Abu Huroiroh RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda,

“Celakalah hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian; jika diberi senang dan jika tidak diberi marah. Celaka dan kembali sakitlah ia, jika tertusuk duri tidak bisa lagi dicabut. Beruntunglah seorang hamba yang mengambil tali kekang kudanya di jalan Alloh, kusut masai rambutnya, berdebu kakinya; jika ia sedang dalam berjaga, ia berjaga, jika ia di garis belakang ia berada di garis belakang, jika ia minta izin tidak diberi izin, jika ia minta tolong tidak diberipertolongan.”

Dan dari Abdulloh bin ‘Amru RA ia berkata:


“Sungguh aku bermalam dalam keadaan berjaga dan ketakutan di jalan Alloh ‘azza wa jalla lebih aku sukai daripada bersedekah dengan seratus hewan tunggangan.” (HR. Ibnul Mubarok melalui jalur Ibnu Lahi‘ah, hadits ini adalah mauquf.)

Ketahuilah, bahwa berjaga di jalan Alloh ta‘ala termasuk taqorrub terbesar dan ketaatan tertinggi. Ini juga merupakan salah satu ribath paling utama. Dan siapa saja menjaga kaum muslimin pada daerah yang dikhawatirkan akan diserang musuh, maka ia adalah orang yang beribath (muroobith). Namun tidak sebaliknya; orang yang berjaga di jalan Alloh itu mendapatkan pahala orang yang beribath. Dan masih banyak keutamaan baginya, di antaranya adalah: neraka tidak akan menyentuh mata yang berjaga di jalan Alloh selama-lamanya.

Dari Ibnu ‘Abbas RA ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Dua mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Alloh, dan mata yang bermalam karena berjaga di jalan Alloh.” (HR. Tirmizi dan ia berkata, hadits hasan)

Dan dari Abu Huroiroh ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Ada tiga mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang tercungkil di jalan Alloh, mata yang berjaga di jalanAlloh dan mata yang menangis karena takut kepada Alloh.” (HR. Al-Hakim dari jalur ‘Umar bin Rosyid Al-Yamani, ia berkata: Isnadnya shohih)


Keutamaan Luka Di Jalan Alloh Ta‘ala

Dari Abu Huroiroh RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda,

“Tidaklah seorang terluka di jalan Alloh –dan Alloh lebih tahu siapa yang terluka di jalan-Nya— kecuali ia datang pada hari kiamat sedangkan lukanya mengucur; warnanya warna darah, aromanya aroma misik.”
Dalam redaksi lain, “Setiap luka yang dialami seorang muslim di jalan Alloh, pada hari kiamat kelak ia seperti apa adanya ketika ia tertikam; ia masih mengalirkan darah, warnanya warna darah dan aromanya aroma misik.” (HR.Bukhori dan Muslim, lafadznya adalah milik Muslim)
Sedangkan kata Al-Kalmu (dengan kaf fathah dan lam sukun) artinya adalah luka.

Sedangkan Al-‘Arfu (dengan ‘ain fathah dan ro’ sukun) artinya adalah aroma.Sedangkan sabda beliau: “Yats‘abu…” (dengan tsa’ sukun, ‘ain fathah dan diakhiri dengan ba’) maknanya adalah mengucur sebagaimana terdapat dalam riwayat lain.

Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata di dalam Syarh Al-‘Umdah, “Datangnya luka pada hari kiamat bersamaan dengan mengalirnya darah mengandung dua hal: Pertama, sebagai saksi atas lukanya. Kedua, menampakkan kemuliaannya kepada para penduduk mahsyar yang menyaksikan aroma misik dan kesaksian terhadap kebaikan di sana.”


Dan dari Mu‘adz bin Jabal RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda,

“Barangsiapa berperang di jalan Alloh sebentar saja, maka sungguh wajib baginya surga. Dan siapa yang memohon dengan jujur agar terbunuh kepada Alloh kemudian ia mati atau benar- benar terbunuh, maka sesungguhnya bagi dia pahala syahid. Dan barangsiapa yang terluka di jalan Alloh atau terkena satu marabahaya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan yang paling deras, warnanya adalah warna za‘farôn dan aromanya adalah aroma misik. Dan barangsiapa yang keluar bisul di jalan Alloh, maka ia akan mengenakan cincin para syuhada.” (HR. Abu Dawud dengan isnad hasan, lafadznya milik dia, Tirmizi: ia berkata, hadits hasan shohih, An-Nasa’i serta Ibnu Majah)


Dan perlu diketahui, orang yang terluka di jalan Alloh tidaklah merasakan sakit dari luka tersebut sebagaimana dirasakan oleh orang lain. Ada hadits shohih menyebutkan bahwa orang yang terbunuh di jalan Alloh tidak merasakan sakit ketika mati, kecuali hanya seperti gigitan semut. Jika begini keadaan orang yang terbunuh, maka bagaimana orang yang tidak sampai terbunuh, yaitu hanya terluka. Ini adalah fakta, tidak akan ditentang kecuali oleh orang yang belum membuktikannya. Cerita tentang orang yang terluka tidak terlalu sulit diterima akal. Amarah dan emosi jika telah mencapai klimaks dan mendominasi perasaan seseorang, ia akan merasakan kedahsyatan, kekuatan, kesabaran dan ketabahan dalam dirinya, tak terlalu peduli terhadap hal tidak mengenakkan,dan tidak merasakan sakit, padahal sebelum itu ia merasakannya. Bahkan, tak jarang dua orang yang berkelahi sampai kepala salah satunya pecah-pecah, yang terasa menyakitkan serta luka yang parah namun ia tidak merasakannya kecuali setelah selesai dari kejadian yang baru saja ia alami; masing-masing membela diri dan tidak ingin mati. Lantas, bagaimana dengan orang yang kemarahannya meledak karena Alloh, mengorbankan nyawanya untuk Alloh dan berharap memperoleh kesyahidan di sisi-Nya; tentu ia merasa apa yang menimpa dirinya justeru anugerah Alloh. Dengan kekuatan cahaya imannya, ia menyaksikan apa yang Alloh sediakan bagi para syuhada dan orang-orang yang terluka di jalan-Nya berupa keutamaan besar, sebagai sebuah sesuatu yang nyata, bukan sekedar ilmu (baca: wacana).


Keutamaan Melempar di Jalan Alloh Ta‘ala dan Dosa Orang yang pernah Mempelajarinya Lalu Meninggalkannya


Perlu diketahui, belajar melempar –dengan niat berjihad di jalan Alloh ta‘ala—, mengajarkan dan berlomba-lomba dalam melempar merupakan perkara yang dianjurkan dan didorong oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Melempar memiliki banyak keutamaan. Di antaranya, Alloh Ta‘ala memerintahkan melempar sebagai persiapan jihad di jalan Alloh ta‘ala. Alloh ta‘ala berfirman:

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…” (Al-Anfal :60)

Berdasarkan ayat mulia ini sebagian ulama berpendapat bahwa melempar wajib hukumnya, sebab maksud kekuatan di sini adalah melempar sebagaimana disebutkan dalam hadits Shohih Muslim. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir RA ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda—saat itu beliau di atas mimbar—,

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…”

…ketahuilah, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar.”

Hadits lain adalah riwayat Bukhori dan lainnya dari Salamah bin Al-Akwa‘ RA ia berkata: Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati satu kaum yang sedang berlomba memanah, beliaupun bersabda, “Melemparlah hai Bani Isma‘il, sesungguhnya ayah kalian adalah jago melempar. Melemparlah, aku bersama Bani Fulan.” Maka salah satu kelompok tadi menahan tangannya. Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mengapa kalian tidak melempar?” kata mereka, “Wahai Rosululloh, bagaimana kami melempar sementara engkau bersama mereka?” maka beliaupun bersabda, “Melemparlah, sekarang aku bersama kalian semua.”

JANGAN MIMPI BERJIHAD, SEBELUM MAMPU RIBATH YG INI !!!

  • KEUTAMAAN SHOLAT BERJAMA’AH DI MASJID SEBANDING DENGAN RIBATH (BERJAGA-JAGA) FI SABILILLAH

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ t رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ  أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ.

Dari Abu Hurairah  beliau berkata : Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu amal yang karenanya Allah akan menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengangkat derajat kalian ?” Para Shahabat menjawab : “Mau Ya Rasulullah”. Rasulullah  bersabda : “(yaitu) menyempurnakan wudhu’ di saat kalian dalam kondisi kesulitan, memperbanyak langkah menuju masjid-masjid Allah dan menunggu datangnya waktu sholat sehabis kalian selesai melaksakanan sholat (berjama’ah). Itulah yang dimaksud dengan ribath (berjaga-jaga)”. (HR Muslim)



Imam Nawawi menjelaskan : “Ribath yang dimaksud di sini juga berarti berjaga-jaga di medan jihad. Sedangkan ribath aslinya bermakna menahan atau mengikat diri terhadap sesuatu. Seakan-akan kita berusaha menahan hawa nafsu kita agar senantiasa berada dalam ketaatan seperti ini dan tidak mudah tergoda untuk berbuat maksiat”.


  • MALAS BERJAMA’AH KETIKA DATANG WAKTU SHOLAT DAN SEDIKIT BERDZIKIR ADALAH TANDA SIFAT NIFAQ

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا [النساء/142]

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (pamer) (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah (berdzikir)  kecuali sedikit sekali (QS An Nisa’ 142)

Menipu Allah :  pura-pura beriman, taat dan patuh kepada Rasulullah padahal di dalam hatinya mereka kufur dan ingkar terhadap Allah dan Rasul-Nya

  • MENINGGALKAN SHOLAT JAMA’AH ADALAH TANDA-TANDA MUNAFIK 
Dari Abu Ahwash diriwayatkan dari Abdullah  beliau bersabda :

“Barangsiapa yang nanti (di hari kiamat) ingin berjumpa Allah dalam keadaan muslim maka hendaklah ia menjaga sholat lima waktu (dengan berjama’ah di masjid) saat datang panggilan (adzan), karena Allah mensyari’atkan kepada Nabi kalian  sunnah-sunnah yang memberikan hidayah. Dan sesungguhnya sholat lima waktu (berjama’ah di masjid) adalah bagian dari sunnah itu”.

"Maka seandainya kalian sholat di rumah kalian seperti orang yang menyelisihi sunnah Nabi ini (orang-orang munafik) yang sholat di rumahnya, itu berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, kalian pasti akan tersesat”.

“Tidaklah seorang laki-laki berwudhu’ dan ia menyempurnakan wudhu’ nya itu lalu bersegera berangkat ke salah satu masjid di antara masjid-masjid Allah kecuali Allah tuliskan baginya pada setiap satu langkah kakinya satu kebajikan, mengangkatnya satu derajat, menghapuskan satu dosa dan sungguh aku sudah menyaksikan (keadaan) kami (seperti itu)”.

“Dan tidaklah seseorang meninggalkan hal ini (sholat berjama’ah 5 waktu di masjid) kecuali ia termasuk orang munafik yang jelas sekali kemunafikannya” (HR Muslim)


  • SHOLAT JAMA’AH  ISYA’ DAN SHUBUH ADALAH SHOLAT YANG PALING BERAT BAGI ORANG MUNAFIK



Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

“Sesungguhnya sholat yang paling berat untuk dilakukan oleh orang munafik adalah sholat Isya’ dan Shubuh (berjama’ah di masjid). Padahal seandainya mereka tahu keutamaan yang Allah siapkan bagi mereka (sebagai imbalan dari sholat tersebut), pastilah mereka akan bersusah payah berangkat ke masjid untuk berjama’ah walaupun mereka harus merangkak. Sungguh aku sangat ingin memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqamat lalu aku suruh salah seorang dari kalian untuk mengimami sholat jama’ah sedangkan aku akan mengajak orang untuk membawa kayu bakar yang menyala untuk membakar rumah orang-orang yang tidak mau datang ke masjid untuk sholat berjama’ah (HR Muslim)

  • HANYA ORANG YANG MEMAKMURKAN MASJID YANG BERHAK DISEBUT ORANG BERIMAN DAN YANG MENDAPAT HIDAYAH

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ  [التوبة/18]

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah (yang berhak disebut) orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian (kiamat), serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS At Taubah 18) 

  • TUJUH GOLONGAN YANG AKAN MENDAPAT NAUNGAN ALLAH DI HARI KIAMAT NANTI
Dari Abu Hurairah t beliau berkata : Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah Azza Wa Jalla pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya : (1) pemimpin yang adil, (2) pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Rabb nya, (3) hamba Allah yang hatinya selalu terpaut ke masjid-masjid Allah, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah di atas (jalan) Allah, (5) laki-laki yang diajak berzina oleh wanita yang cantik dan terhormat (bangsawan) tetapi ia berkata : “Aku takut kepada Allah”, (6) hamba Allah yang berinfaq dengan sembunyi-sembunyi sehingga ketika tangan kanannya berinfaq tangan kirinya tidak mengetahuinya dan (7)  hamba Allah yang menyendiri untuk mengingat Allah (berdzikir dan beribadah) lalu kedua matanya basah dengan airmata” (HR Bukhari dan Muslim)