PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Rabu, 04 Juli 2012

Demokrasi Adalah Sebuah Agama

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Para fuqaha’ (ahli fiqih) berkata : Nama itu ada tiga macam. pertama; nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui syari’at seperti shalat dan zakat. Kedua; nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui bahasa seperti matahari dan bulan. Ketiga; adalah nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui kebiasaan seperti kata “segenggam” dan kata “baik” sebagaimana firman Allah :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
”dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik”. (Qs. An-Nisa’ : 19)
(Majmu’ Fatawa XIII/82)

Dan perkataan ini beliau ulang-ulang dalam beberapa tempat diantaranya pada Majmu’ Fatawa VII/286 dan XIX/235. Karena kata demokrasi ini adalah kata yang tidak dikenal dalam bahasa Arab, maka untuk mengetahui arti dan hakekatnya harus dikembalikan kepada pemilik bahasa dan para pencetusnya.

Dalam hal ini Ibnul Qayyim mengatakan dalam “Ahkamul Mufti” : “Seorang mufti tidak diperbolehkan berfatwa dalam masalah pengakuan, sumpah, wasiyat dan yang lainnya yang berkaitan dengan kata-kata yang biasa ia gunakan untuk memahami kata-kata tersebut tanpa mengetahui kebiasaan orang yang mengucapkannya, sehingga kata-kata tersebut dipahami sebagaimana apa yang biasa mereka gunakan meskipun bertentangan dengan hakekat asalnya, kalau ia tidak melakukannya maka ia akan sesat dan menyesatkan”. (I’lamul Muwaqqi’in IV/228)

Ini semua berkaitan dengan wajibnya kembali kepada orang-orang yang membuat istilah demokrasi untuk mengetahui artinya supaya tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud demokrasi adalah syuura (musyawarah), atau yang dimaksud adalah aktivitas politik atau nama-nama yang lain yang akan mengacaukan hakekatnya dan kemudian mengacaukan hukumnya. 

B. HAKEKAT DEMOKRASI

Karena demokrasi adalah istilah politik barat maka --- berdasarkan pendahuluan di atas --- harus dikembalikan kepada pemilik istilah tersebut untuk mengetahui artinya yang akan menentukan hukumnya.

Arti demokrasi menurut para penganutnya adalah : kedaulatan rakyat, dan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas tidak dikendalikan oleh kekuasaan apapun selainnya. Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam membuat perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini kadang rakyat mewakilkannya kepada orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para wakil tersebut mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan.

Disebutkan dalam Mausu’atus Siyasah : “Semua negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya pada intinya demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan di tangan rakyat”. (Mausu’atus Siyasah tulisan Dr. Abdul Wahab Al-Kiyali II/756)

Beliau berkata tentang demokrasi perwakilan : “Yaitu bahwa rakyat --- sebagai pemegang kekuasaan --- tidak melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat. Maka parlemen dalam demokrasi perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah muncul dari Inggris dan Perancis, kemudian berpindah ke negara-negara lain. (Mausu’atus Siyasah II/757)

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa demokrasi itu intinya adalah kedaulatan rakyat. Dan bahwa kedaulatan itu inti dasarnya adalah hak mutlak dalam membuat perundang-undangan yang tidak tunduk terhadap kekuasaan apapun selainnya. Dan berikut beberapa pengertian kedaulatan :

Abdul Hamid Mutawali --- dosen perundang-undangan --- berkata : “Demokrasi adalah perundang-undangan yang dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat sedangkan kedaulatan sesuai dengan pengertiannya adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya”. (Andzimatul Hukmi Fid Dualin Namiyah, Dr. Mutawali, hal. 625)

Yosep Frankl --- seorang politikus barat --- berkata : “Yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi daripadanya atau berada di belakangnya yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Dan inilah arti dasar yang tidak pernah mengalami perubahan selama ini.

Sedangkan definisi kedaulatan menurut John Bodn pada tahun 1576 M yang intinya : bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi berada di atas penduduk dan rakyat yang tidak dibatasi oleh undang-undang, definisi kedaulatan ini tetap benar meskipun arti kedaulatan yang dimaksud Bodn adalah pemimpin pada zamannya selanjutnya telah berpindah kepada rakyat”. (Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah tulisan Yosep Frankl, hal. 25) 

C. SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI MODERN

Demokrasi bermula dari Revolusi Perancis pada tahun 1789 M, meskipun sistem perwakilan parlemen ini telah bermula di Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran sesungguhnya prinsip kedaulatan rakyat – yang merupakan dasar pemikiran demokrasi – telah tersebar sebelum terjadinya Revolusi Perancis selama beberapa puluh tahun. Yaitu dalam tulisan-tulisan John Locke, Montesqiue dan Jan Jacque, orang-orang yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar pemikiran kedaulatan rakyat. Hal itu sebagai reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada tuhan yang berkembang di Eropa selama kurang lebih sepuluh abad. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa para raja itu menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Allah.

Dengan demikian maka para raja itu mempunyai kekuasaan mutlak yang diperkuat dengan dukungan dari para paus. Rakyat Eropapun sangat menderita lantaran sistem ini. Dan kedaulatan rakyat ketika itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja dan para paus yang berkuasa atas dasar perwakilan tuhan ---sebagaimana pengakuan mereka---.

Dengan demikian pada asalnya demokrasi itu adalah penentangan terhadap kekuasaan Allah, untuk memberikan segala kekuasaan kepada manusia untuk membuat peraturan hidup dan perundang-undangannya sendiri tanpa batas apapun.

Dan perpindahan dari pemikiran kekuasaan berdasarkan perwakilan tuhan menuju pemikiran kedaulatan rakyat tidaklah berjalan dengan damai, akan tetapi melalui revolusi berdarah yang sangat dahsyat di dunia, yaitu yang dikenal dengan Revolusi Perancis pada tahun 1789 M, yang mana motto ketika itu adalah  “gantung raja terakhir dengan usus pendeta terakhir”.

Dr. Safar Al-Hawali berkata : “Revolusi itu melahirkan hasil yang sangat penting, yaitu lahirnya pertama kali di dalam sejarah Eropa nasrani sebuah negara republik sekuler yang berfalsafat kekuasaan atas nama rakyat, dan bukan atas nama Allah, bebas beragama sebagai ganti doktrin katolik, kebebasan setiap orang sebagai ganti dari ikatan perilaku keagamaan dan undang-undang ciptaan manusia sebagai ganti dari ketetapan-ketetapan gereja”. (Al-‘Ilmaniyah tulisan Dr. Safar Al-Hawali, hal. 178)

Pemikiran kedaulatan rakyat dan haknya dalam membuat undang-undang ini nampak jelas dalam prinsip-prinsip Revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal keenam dari proklamasi hak-hak azasi manusia pada tahun 1789 M tertera bahwa “Undang-Undang adalah manifestasi dari kehendak rakyat”, artinya bahwa undang-undang itu bukanlah manifestasi dari kehendak gereja atau kehendak Allah. Dalam proklamasi hak-hak azasi manusia yang dikeluarkan bersama dengan undang-undang Perancis pada tahun 1793 M pasal keduapuluh lima menyatakan bahwa “kedaulatan terpusat pada rakyat”. (Dinukil dari Mabadi’ul Qanunid Dusturi tulisan Dr. As-Sayyid Shobri hal. 25)

Oleh karena itu Dr. Abdul Hamid Mutawali mengatakan : “Prinsip-prinsip revolusi Perancis tahun 1789 terhitung sebagai dasar prinsip-prinsip demokrasi barat”. (Andzimatul Hukmi Fid Duwalin Namiyah tulisan Dr. Mutawali hal.30) 

D. DEMOKRASI DALAM TIMBANGAN HUKUM SYAR’I

Yang menjadi patokan hukum demokrasi adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya sehingga kekuasaannya itu berasal dari rakyat tanpa ada batasan apapun. Maka rakyat berhak berbuat apa saja dan membuat undang-undang semaunya tanpa ada seorangpun yang berhak untuk mengkritisinya. Dan inilah sesungguhnya sifat Allah, sebagaimana firman Allah  :

وَاللّهُ يَحْكُمُ لاَ مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ
”Sesungguhnya Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya”.  (Qs. Ar-Ra’d : 41)

dan firman Allah  :

إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
 “Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (Qs. Al-Maaidah : 1)

dan Allah  berfirman :

إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
 “Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”. (Qs. Al-Hajj : 14)

Kami ringkaskan dari penjelasan di atas bahwa demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat undang-undang. Dengan demikian maka demokrasi menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah dan menjadikannya sekutu bagi Allah dalam membuat undang-undang. Dan ini adalah kufur akbar yang tidak ada keragu-raguan lagi padanya.

Dengan ungkapan yang lebih detil lagi adalah bahwa tuhan baru dalam demokrasi adalah kemauan manusia. Ia membuat undang-undang sesuai dengan pemikiran dan kemauannya tanpa ada pembatas apapun. Allah  Ta’ala berfirman :

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ  أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan keinginannya sebagai ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu”. (Qs. Al-Furqan : 43-44)

Hal ini menjadikan demokrasi sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah rakyat dan ini bertentangan dengan agama Islam yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah Allah . Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam  :

السَّيِدُ هُوَ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَى
”Penguasa itu Allah Tabaraka Wata’ala” . (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitaabul Adab dalam Kitab Sunan beliau dengan sanad shahih)

Ketika menerangkan penuhanan manusia di dalam demokrasi Ustadz Abul A’la Al-Maududi berkata :  ”Dasar-dasar kebudayaan barat : Sesungguhnya kebudayaan modern, yang menjadi landasan peraturan hidup pada masa sekarang ini, dengan berbagai macam cabang-cabangnya baik aqidah, akhlaq, perekonomian, politik dan intelektual, berfokus pada tiga pokok, yaitu prinsip-prinsip pokok berikut : sekulerisme, nasionalisme dan demokrasi”, --- sampai beliau berkata --- :

”Adapun prinsip ketiga adalah demokrasi atau penuhanan terhadap manusia. Dengan menggabungkannya dengan dua prinsip sebelumnya maka sempurnalah gambaran bencana dan kelelahan-kelelahan dunia ini. Telah kukatakan tadi bahwa pengertian demokrasi dalam kebudayaan modern adalah berkuasanya rakyat, artinya setiap penduduk negara merdeka pada segala hal yang berkaitan dengan merealisasikan kemaslahatan sosial mereka, dan perundang-undangan negara tersebut haruslah mengikuti keinginan mereka”, ---sampai beliau mengatakan--- :

”jika kita perhatikan tiga prinsip tersebut sekarang kita dapatkan : bahwa sekulerisme telah melepaskan manusia dari peribadahan, ketaatan dan ketakutan kepada Allah dan dari ikatan-ikatan akhlaq yang telah ditetapkan, dan melemparkan tali belenggunya dan menjadikan mereka hamba diri mereka sendiri tanpa bertanggung jawab di hadapan siapapun. Kemudian datang nasionalisme untuk menuangkan kepada mereka khamar individualis, kesombongan, kecongkakan dan meremehkan orang lain.
Kemudian terakhir datanglah demokrasi yang mendudukkan manusia ini ---setelah membebaskan dirinya dari belenggu yang mengikatnya lalau menjadi tawanan bagi hawa nafsunya dan tenggelam dalam individualisme--- di atas singgasana ketuhanan. Maka tunduklah segala kekuasaan perundang-undangan dan sarana pemerintahan kepadanya untuk mencapai segala sesuatu yang ia inginkan”. --- Kemudian Al-Maududi mengatakan --- :

”Dan saya katakan kepada umat Islam dengan terus terang, sesungguhnya demokrasi nasionalis sekuler bertentangan dengan agama dan aqidah yang kalian yakini, dan jika kalian tunduk kepadanya maka seolah-olah kalian meninggalkan kitabullah di belakang kalian, dan jika kalian ikut serta dalam menegakkannya atau dalam melanggengkannya maka berarti kalian telah mengkhianati Rasul kalian yang telah Allah utus kepada kalian”, --- sampai beliau mengatakan --- : ”Maka selama sistem ini masih ada maka kami menganggap bahwa Islam itu tidak ada dan jika Islam itu ada maka tidak ada tempat bagi sistem ini”. (Dari buku “Al-Islam Wal Madaniyatul Haditsah” tulisan Al-Maududi) 

E. MEMBONGKAR BOROK DEMOKRASI 

Ketahuilah, sesungguhnya kata demokrasi yang busuk ini diambil dari bahasa Yunani bukan dari bahasa Arab. Kata ini merupakan ringkasan dari gabungan dua kata : (Demos) yang berarti rakyat dan (kratos) yang berarti hukum atau kekuasaan atau wewenang membuat aturan (tasyrii'). Jadi terjemahan harfiyyah dari kata demokrasi adalah : Hukum rakyat atau kekuasaan rakyat.

Makna tersebut merupakan makna demokrasi yang paling penting menurut para pengusungnya. Karena makna inilah mereka selalu bangga dengan memujinya, padahal makna ini (hukum, tasyri' dan kekuasaan rakyat) merupakan salah satu dari sekian ciri khusus kekafiran, kemusyrikan serta kebathilan yang sangat bertentangan dan bersebrangan dengan dienul Islam. Karena kita telah mengetahui dari uraian sebelumnya bahwa inti dari segala inti yang karenanya Allah menciptakan makhluk-Nya, dan menurunkan Kitab-Kitab-Nya serta mengutus Rasul-Rasul-Nya, dan yang merupakan ikatan yang paling agung di dalam Islam ini, yaitu adalah tauhidul ‘ibadah kepada Allah  saja dan menjauhi ibadah kepada selain-Nya. Karena sesungguhnya taat dalam pembuatan hukum merupakan bagian dari ibadah yang wajib hanya ditujukan kepada Allah semata, dan kalau seandainya orang tidak merealisasikannya, maka dia itu menjadi orang musyrik yang digiring bersama orang-orang yang binasa.

Ciri khusus ini sama saja baik diterapkan sesuai dengan ajaran demokrasi yang sebenarnya, sehingga keputusan (hukum) yang dirujuk itu adalah diserahkan kepada seluruh rakyat atau mayoritas mereka , sebagaimana yang menjadi impian tertinggi para demokrat dari kalangan orang-orang sekuler atau orang-orang yang mengaku Islam (Islamiyyin), atau hal itu (ciri khusus demokrasi) diterapkan seperti yang ada pada kenyataannya sekarang, dimana demokrasi itu (pada prakteknya) adalah keputusan (hukum) segolongan pemerintah dan kroni-kroninya dari kalangan keluarga dekatnya, atau para pengusaha besar dan konglomerat yang di mana mereka menguasai modal-modal usaha dan sarana-sarana informasi yang dengan perantaraannya mereka bisa mendapatkan kursi atau memberikan kursi parlemen (yang merupakan sarang kemusyrikan) kepada orang-orang yang mereka sukai.

Jadi demokrasi dari sisi mana saja dilihat dari kedua sisi (praktek) itu merupakan kekafiran terhadap Allah Yang Maha Agung, dan syirik terhadap Rabb langit dan bumi, serta bertentangan dengan millatuttauhid (Islam) dan dien para Rasul, berdasarkan alasan-alasan yang banyak, di antaranya :

Pertama : Sesungguhnya demokrasi adalah tasyrii'ul jamaahiir (penyandaran wewenang hukum kepada rakyat atau mayoritasnya) atau hukum Thaghut, dan bukan hukum Allah. Sedangkan Allah   memerintahkan Nabi-Nya  untuk menghukumi sesuai dengan apa yang telah Dia turunkan kepadanya, serta Dia melarangnya dari mengikuti keinginan umat, atau mayoritas orang atau rakyat, Dia menghati-hatikan Nabi-Nya agar jangan sampai mereka memalingkan dia dari apa yang telah Allah turunkan kepadanya, Allah Ta’ala berfirman :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”. (Qs. Al-Maaidah : 49)

Ini dalam ajaran tauhid dan dienul Islam. Adapun dalam agama demokrasi ada ajaran syirik, maka para penyembahnya berkata : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan rakyat, dan ikutilah keinginan mereka. Dan berhati-hatilah kamu jangan sampai kamu dipalingkan dari apa yang mereka inginkan dan mereka tetapkan hukumnya".

Begitulah yang mereka katakan dan inilah yang diajarkan dan ditetapkan oleh agama demokrasi. Ini merupakan kekafiran yang jelas dan kemusyrikan yang terang bila mereka menerapkannya, namun demikian sesungguhnya kenyataan mereka lebih busuk dari itu, sebab bila seseorang mau mengatakan tentang keadaan praktek mereka tentu dia pasti mengatakan : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan oleh para Thaghut dan kroni-kroninya, dan janganlah satu hukum dan satu undang-undang dibuat kecuali setelah ada pengesahan dan persetujuannya…!!!”.

Sungguh ini adalah kesesatan yang terang lagi nyata,
bahkan penyekutuan Pencipta dengan hamba-Nya secara aniaya

Kedua : Karena sesungguhnya itu adalah hukum rakyat atau Thaghut yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar, bukan yang sesuai dengan syari'at Allah . Begitulah yang ditegaskan oleh undang-undang dasar dan buku-buku panduan mereka yang mereka sakralkan dan mereka sucikan lebih dari pensucian mereka terhadap Al-Qur'an dengan bukti bahwa hukum undang-undang itu lebih didahulukan dan mendikte terhadap hukum dan syari'at Al-Qur'an. Dalam agama demokrasi, hukum dan perundang-undangan yang rakyat buat tidak bisa diterima --bila memang mereka (rakyat) memutuskan-- kecuali bila keputusan itu berdasarkan nash-nash Undang-Undang Dasar dan sesuai dengan materi-materinya, karena undang-undang itu adalah induk segala peraturan dan perundang-undangan serta kitab hukumnya yang mereka junjung tinggi.  

Dalam agama demokrasi ini ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits-hadits Rasulullah  tidak begitu dianggap, dan tidak mungkin suatu hukum atau undang-undang ditetapkan sesuai dengan ayat atau hadits kecuali bila hal itu sejalan dengan nash-nash Undang-Undang Dasar yang mereka junjung tinggi. Silahkan tanyakan hal itu kepada para pakar hukum dan perundang-undangan bila kita masih ragu tentangnya. Sedangkan Allah Ta’ala  berfirman :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs. An-Nisaa' :  59)

Adapun agama demokrasi mengatakan : “Bila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada rakyat, majelis perwakilannya, dan Presidennya sesuai dengan Undang-Undang Dasar dan aturan yang berlaku di bumi ini".

أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
”Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadahi selain Allah, maka apakah kalian tidak berakal?”.  (Qs. Al-Anbiya’ : 67) 

Oleh sebab itu bila mayoritas rakyat menghendaki penerapan hukum syari'at lewat jalur agama demokrasi ini dan lewat lembaga legislatif yang syirik ini, maka itu tidak bisa terealisasi kecuali lewat jalur undang-undang serta dari arah pasal-pasal dan penegasan undang-undang tersebut, karena itu adalah kitab suci agama demokrasi, atau silahkan katakan itu adalah Tauratnya dan Injilnya yang sudah dirubah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan selera mereka.

Ketiga : Sesungguhnya demokrasi adalah buah dari agama sekuler yang sangat busuk, dan anaknya yang tidak sah, karena sekulerisme adalah paham kafir yang intinya memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari Negara dan hukum.

Sedangkan demokrasi adalah hukum rakyat   atau hukum Thaghut. Namun bagaimana-pun keadaannya sesungguhnya demokrasi bukanlah hukum Allah Yang Maha Besar lagi Maha Perkasa. Demokrasi sama sekali tidak mempertimbangkan hukum Allah yang muhkam (pasti), kecuali bila sesuai dan sejalan sebelumnya dengan undang-undang yang berlaku, dan bila sesuai dengan keinginan rakyat, serta sebelum itu semua harus sesuai dengan selera para Thaghut dan kroni-kroninya.

Oleh sebab itu bila rakyat seluruhnya mengatakan kepada Thaghut atau kepada arbaab (tuhan-tuhan) dalam demokrasi : “Kami ingin penerapan hukum Allah, dan tidak seorangpun memiliki hak untuk membuat hukum selama-lamanya baik itu rakyat atau para wakilnya atau penguasa, kami ingin menerapkan hukum Allah terhadap orang-orang murtad, pezina, pencuri, peminum khamr, dan kami juga ingin para wanita diwajibkan berhijab, kami melarang buka-bukaan, porno, cabul, zina, liwath (homosexual), dan perbuatan keji lainnya", maka dengan spontan para Thaghut dan para pengusung demokrasi itu akan mengatakan kepada mereka : “Ini bertentangan dengan paham demokrasi dan kebebasannya..!!”.

Inilah kebebasan agama demokrasi, yaitu melepaskan diri dari agama Allah, syari'at-Nya, dan melanggar batasan-batasannya.

Adapun hukum undang-undang bumi dan aturannya maka itu selalu dijaga, dijunjung tinggi dan disucikan (disakralkan) serta dilindungi dalam agama demokrasi mereka yang busuk, bahkan orang yang berusaha melanggarnya, menentangnya, atau menggugurkannya dia akan merasakan sanksinya.

F. MAKNA KATA ”DIEN”

Allah   berfirman :

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
”Sesungguhnya dien (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (Qs. Ali-’Imran : 19)

Dia   juga berfirman :

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
”Barangsiapa mencari dien selain dien Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima dien itu daripadanya., dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Qs. Ali-’Imran : 85)

Didalam ayat-ayat ini Allah  mengatakan Islam sebagai ”Dien”. Kata ”Dien” didalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan ”Agama”. Namun banyak orang yang menganggap dien selain dien Islam itu hanya Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, atau Konghucu. Hal ini keliru, karena Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya  untuk mengatakan kepada orang-orang kafir Quraisy :

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
”bagimu agama-mu dan bagiku agama-ku”. (Qs. Al-Kaafirun : 6)

Lalu apa nama agama orang-orang Quraisy ? Jawabannya adalah ”Tidak ada nama”. Tapi karena mereka tidak mau mengikuti agama Islam, maka Allah  memerintahkan kepada Rasul-Nya   untuk mengatakan kepada orang-orang kafir Quraisy :

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
”bagimu agama-mu dan bagiku agama-ku”. (Qs. Al-Kaafirun : 6)

Dan diantara makna ”Dien” adalah Undang-Undang, Keputusan, dan Kedaulatan, sebagaimana firman-Nya   tentang Nabi Yusuf ’alaihissalam :

كِدْنَا لِيُوسُفَ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
”Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja”. (Qs. Yusuf : 76)

Banyak ahli tafsir berkata, الْمَلِكِ دِينِ (dienil maalik) adalah Undang-Undang/ Ketentuan/ Kedaulatan Raja.  Sebagaimana Yahudi adalah dien, Nasrani adalah dien, Hindu adalah dien, Majusi adalah dien, maka begitu juga Demokrasi adalah dien, Komunis adalah dien, Sekuler adalah dien, Sosialis adalah dien, Undang-Undang adalah dien, dan Peraturan Pemerintah adalah dien.

Kesimpulannya : Sesungguhnya kata agama (dien) itu mencakup segala paham (millah), jalan hidup (manhaj), atau aturan hukum, atau undang-undang yang dijadikan rujukan oleh umat manusia dan mereka merujuk kepadanya.. Wallahu a’lam.

Kata-kata Pilihan dari Sayyid Quthb Masalah Wala’ dan Bara’

Asy-Syahid (insya Allah) Sayyid Quthb –rahimahullah- didalam tafsir Fie Zhilaalil Qur’an berkata :

"Sesungguhnya tidak akan pernah berkumpul dalam hati seseorang, keimanan yang sebenarnya kepada Allah dengan perwalian kepada musuh-musuh-Nya yang diajak kepada Kitabullah untuk memutuskan perkara di antara mereka, namun mereka berbalik dan berpaling, maka dari itu datang peringatan keras ini. Ini adalah ketetapan pasti yang menyatakan keluarnya seorang muslim dari keislamannya, jika dia berwali kepada orang yang tidak ridha Kitabullah memerintah dalam kehidupan, sama saja apakah perwalian tersebut berbentuk kecintaan hati, atau menolongnya atau minta pertolongan kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

"Janganlah orang-orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia telah berlepas diri dari Allah dalam hal apapun, kecuali jika kalian berpura-pura (dengan lisan bukan dengan niat dan hati) kepada mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah-lah (segala urusan) kembali." (Qs Ali ‘Imran : 28)

Demikianlah, dia sudah berlepas diri dari Allah dalam hal apapun, baik dalam hubungan ataupun nisbat ataupun agama ataupun akidah, ataupun ikatan ataupun perwalian; maka dia jauh dari Allah, terputus hubungannya dengan Allah secara total.

Langkah pertama di atas jalan dakwah adalah berbedanya seorang da’i (dari orang-orang jahiliyah) dan perasaan asingnya secara total dari jahiliyah, paradigma, cara hidup dan perbuatannya. Keterasingan yang tidak mentolelir pertemuan di tengah jalan, dan pemisahan yang mustahil bisa bekerjasama dengannya, kecuali jika penganut jahiliyah telah berpindah dari kejahiliyahan mereka secara total kepada Islam.

Tak ada kompromi ataupun win-win solution (solusi jalan tengah), ataupun pertemuan di tengah jalan, meskipun jahiliyah memakai baju Islam atau mengaku-aku Islam.

Keterasingan dari jahiliyah dalam perasaan seorang da’i ini merupakan batu pondasi pertama, perasaannya bahwa dia beda dengan mereka, mereka punya agama dan dia punya agama, mereka punya jalan dan diapun punya jalan, dia tak tahan berjalan bersama mereka selangkahpun di jalan mereka. Tugasnya adalah membuat mereka berjalan di atas jalannya, tanpa menjilat atau meninggalkan prinsip-prinsip agamanya, baik sedikit ataupun banyak. Jika mereka menolak, maka pilihannya adalah berlepas diri secara total, pisah secara total dan keputusan  pasti lagi jelas. (لكمدينكم و لي دين )

Sesungguhnya seorang muslim dituntut untuk berlaku toleran terhadap golongan Ahli Kitab, akan tetapi dia dilarang berwala’ (berloyalitas) kepada mereka, dalam artian  saling menolong dengan mereka dan beraliansi dengan mereka. Keluguan macam apa dan kelalaian macam apa, kalau sampai kita mengira bahwa kita dan mereka memiliki satu jalan untuk kita tempuh dalam rangka mengokohkan agama melawan orang-orang kafir dan orang-orang atheis apabila mereka berperang bersama orang-orang Islam..!

Tak ada disana front agama yang mana Islam berjuang bersama mereka melawan atheisme. Di sana ada agama, yakni agama Islam; dan di sana non agama, yakni selain Islam. Kemudian non agama ini, pokok akidahnya adalah samawi (datang dari langit) akan tetapi ia telah diselewengkan,  atau akidah aslinya adalah paganis dan tetap berada di atas paganismenya, atau atheisme yang menolak agama-agama, berbeda satu dengan yang lainnya. Akan tetapi semuanya berbeda dengan Islam, ada aliansi persekutuan antara mereka dengan Islam dan tidak ada pula hubungan wala’..!

Sesungguhnya Islam telah memberi beban kepada seorang muslim supaya dia melakukan hubungannya dengan semua manusia di atas prinsip akidah. Jadi wala’ dan bara’ itu tidak ada, baik dalam ide pemikiran seorang muslim maupun dalam aktifitas geraknya, melainkan dalam urusan akidah. Maka dari itu, tak mungkin wala’ itu tadi, yaitu tolong menolong antara orang muslim dengan orang non muslim, bisa tegak; sebab kedua kelompok manusia ini tak mungkin saling tolong menolong dalam urusan Akidah. Tak kan mungkin walau menghadapi atheisme sekalipun --sebagaimana yang dipersepsikan oleh sebagian orang awam di antara kita dan sebagian orang yang tidak membaca Al Qur’an --. Bagaimana mereka bisa saling tolong-menolong, sementara tak ada prinsip bersama di antara mereka untuk dijadikan landasan bagi mereka untuk saling tolong menolong?!

Jadi mereka yang mengusung bendera ideologi ini, maka bisa dikata mereka belum mengimaninya sama sekali, tak ada sesuatu dalam diri mereka, dan mereka belum mewujudkan sesuatu di dunia nyata, selama belum terlaksana di dalam hati mereka, pemisahan total antara mereka dengan kelompok-kelompok manusia yang tidak mengusung bendera mereka..!

Al Qur’an turun untuk menyebarkan janji yang menyertai seorang muslim dalam setiap pertempuran yang mereka terjuni dengan akidahnya, dan untuk mengukuhkan pemisahan total antara dia dengan setiap orang yang tidak bergabung kepada jama’ah Islam dan tidak berdiri di bawah benderanya. Pemisahan yang tidak melarang sikap toleran dan santun, sebab ini adalah sifat seorang muslim sepanjang waktu; akan tetapi ia melarang wala’ yang tidak boleh ada pada hati seorang muslim kecuali kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Kesadaran dan pemisahan yang harus diwujudkan oleh seorang muslim di setiap bumi dan di setiap generasi.

Ini adalah persimpangan jalan, perasaan seorang muslim tidak akan larut dalam pemisahan total antara dia dengan setiap orang yang menempuh jalan selain jalan Islam, dan antara dia dengan setiap orang yang tidak mengusung bendera Islam, kemudian dia punya kemampuan setelah itu melakukan amal yang amat berharga dalam Harakah Islam yang besar, yang tujuan pertamanya adalah menegakkan tatanan riil di dunia nyata. Tatanan yang berbeda dengan semua tatanan-tatanan yang ada.

Kemudian anak manusia terbelah menjadi dua golongan: Golongan Allah dan golongan syetan, dan menjadi dua bendera: bendera kebenaran dan bendera kebatilan. Boleh jadi seseorang termasuk golongan Allah, dan dia berdiri di bawah bendera kebenaran; dan boleh jadi dia termasuk golongan syetan, dan dia berdiri di bawah kebatilan. Kedua golongan ini berbeda, tak ada hubungan nasab atau perkawinan, atau keluarga atau kerabat, atau negeri atau ras atau fanatisme atau kebangsaan, sesungguhnya hubungan tersebut adalah akidah, akidah saja!

Allah ‘Azza wa Jalla melarang seorang mu’min menjadikan manusia yang jati diri/identitas serta manhaj mereka berlainan dengannya sebagai tempat menaruh kepercayaan dan tempat meminta pertimbangan. Berkali-kali pengalaman telah memberikan tamparan pahit pada kita, akan tetapi belum sadar-sadar juga. Berkali-kali kita membongkar tipu daya dan persekongkolan jahat mereka yang menggunakan berbagai macam baju, akan tetapi kita tidak juga mau mengambil pelajaran. Berkali-kali mulut mereka melontarkan kata-kata berbisa menampakkan kedengkian mereka. Kendati demikian, kita masih saja kembali membuka dada kita untuk menerima mereka, serta menjadikan sebagian mereka sebagai kawan hidup dan kawan jalan.

Sikap hormat kita dan kekalahan mental kita telah sampai pada tingkatan di mana kita menghormati mereka dalam akidah kita, sehingga kita menjauhkan diri dari menyampaikan akidah kita. Dan menghormati mereka dalam kehidupan kita, sehingga kita tidak mau menegakkannya di atas prinsip-prinsip Islam. Dan menghormati mereka atas tindakan mereka memalsukan sejarah dan menghapuskan rambu-rambunya, supaya kita berhati-hati di dalamnya, untuk tidak menyinggung konflik permusuhan apapun yang pernah terjadi antara para pendahulu kita dengan musuh-musuhnya yang senantiasa menunggu-nunggu kelengahan..!

Oleh karena itu, pantaslah kita menerima sanksi hukuman yang ditimpakan Allah atas orang-orang yang menentang perintah-Nya, makanya tidaklah aneh jika kita terhina, lemah, dan tunduk (kepada musuh). Maka dari itu kita mengalami kesusahan yang memang disukai oleh musuh-musuh kita terhadap kita. Inilah dia Kitabullah, ia mengajari kita sebagaimana ia telah mengajari jama’ah Islam yang pertama, supaya kita mengenyahkan tipu daya mereka dan menolak gangguan mereka, dan selamat dari kejahatan yang mereka sembunyikan di dalam dada mereka:

"Hai orang-orang beriman, jangalah kalian menjadikan orang-orang di luar kalangan kalian menjadi teman kepercayaan kalian (karena) mereka tiada henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagi kalian. Mereka suka apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikam oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh Allah telah menerangkan kepada kalian ayat-ayat Kami, jika kalian memahaminya." (Qs Al ‘Imran : 118)

Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi kelompok Islam di setiap muka bumi dari ancaman terjerumus dalam adzab  :  أو يلبسكم شيعاً ويذيق بعضكم بأس بعض  "Atau mencampur baur kalian dalam golongan (yang saling bertentangan) dan sebagian kalian merasakan kepada (sebagian) kalian keganasan sebagian yang lain", kecuali kelompok ini melepaskan diri dari akidah dan mentalitas, serta cara hidup Ahli Jahiliyah dari kaumnya sehingga Allah mengidzinkan tegaknya Daarul Islam yang mana mereka berlindung padanya..!

Apabila tidak terwujud pemisahan dan pembedaan ini, maka mereka berhak mendapat ancaman Allah ini, yakni: Bercampur aduk satu golongan dengan golongan yang lain dalam komunitas masyarakat. Sehingga mereka tidak mengenal dengan jelas jati dirinya sendiri, dan tidak mengenal dengan jelas jati diri manusia di sekitarnya. Dan saat itulah akan menimpanya adzab yang terus bertahan lagi berkepanjangan tadi, tanpa sedikitpun mereka bisa mengecap kemenangan yang dijanjikan Allah.

Sesungguhnya posisi pemisahan dan pembedaan ini boleh jadi memberi beban kepada kelompok Islam dengan berbagai pengorbanan dan kesulitan, hanyasaja pengorbanan dan kesulitan ini sama sekali tidak akan lebih berat dan lebih besar dibandingkan dengan penderitaan dan adzab yang menimpanya akibat tercampur aduknya posisi mereka dan tidak bisa dibedakannya mereka dengan musuh, dan akibat larut dan membaurnya mereka di tengah kaumnya dan masyarakat jahiliyah di sekitarnya..!

Ras dan kebangsaan, bahasa dan tanah air, dan semua makna-makna di atas tak punya bobot sama sekali dalam timbangan Allah.  Sesungguhnya di sana ada satu timbangan yang dengan timbangan itu dapat didefiniskan nilai-nilai dan dapat diketahui keutamaan manusia:__ إن أكرمكم عند الله أتقاكم__"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kalian". Kemuliaan yang hakiki adalah kemuliaan menurut pandangan Allah, dan Dia menimbang bobot kalian dengan pengetahuan dan pengertian-Nya terhadap nilai-nilai dan timbangan-timbangan tersebut __إن الله عليم خبير __ "Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengerti".

Demikianlah gugurlah semua pemisah-pemisah, gugur semua nilai-nilai, dan naik satu timbangan dengan satu nilai, dan kepada timbangan ini anak manusia berhukum, dan kepada nilai ini, persengketaan di antara manusia akan kembali dalam timbangan tersebut.

Demikianlah tersembunyi semua sebab-sebab pertikaian dan permusuhan di muka bumi, dan menjadi murah semua nilai-nilai yang digandrungi manusia, dan nampak sebab besar dan nyata bagi persatuan dan ta’awun:Yakni, Uluhiyah/ketuhanan Allah bagi semua manusia, dan diciptakannya mereka dari satu asal, sebagaimana naik satu bendera, yang semuanya harus berlomba-lomba agar bisa berdiri di bawahnya: Yakni bendera takwa di bawah naungan Allah. Inilah dia bendera yang Islam telah mengangkatnya untuk menyelamatkan anak manusia dari penyakit-penyakit fanatisme bangsa, fanatisme bumi, fanatisme kabilah, fanatisme rumah, yang mana semuanya berasal dari jahiliyah dan bermuara kepadanya. Yang berbaju dengan berbagai macam baju, dan menamakan diri dengan berbagai nama, tapi semuanya jahiliyah, telanjang dari Islam." –selesai- (Disadur dari “Sifat Thaifah Manshurah)

Jangan Mengikuti Yahudi dan Nashrani


Hari ini berapa banyak para pemimpin Islam dan orang-orang Islam yang meminta perlindungan, pertolongan, dan memberikan wala' (loyalitas) nya kepada Yahudi dan Nashrani, dan bahkan mengikuti cara hidup mereka. Mengapa para pemimpin Islam dan orang-orang Islam bersikap demikian? Karena didalam dada mereka sudah tertanam adanya : "khauf" (rasa takut).


Maka Allah Rabbul Alamin menurunkan diktum (undang-undang) yang bersifat final dan baku, yang menjadi hukum dasar bagi para pemimpin Islam dan orang-orang Islam, bagaimana mensikapi golongan Yahudi dan Nashrani. Dalam seluruh aspek kehidupan yang ada. Firman-Nya :

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setiamu, mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (QS. Al-Maidah :51)

Dalam tafsir Ath-Thabari, menjelaskan, bahwa menurut riyawat As-Suddi, ketika terjadi perang Uhud, dan suasana semakin mencekam, ada sebagian orang Islam yang merasa takut tertawan oleh orang-orang kafir. Mereka pun bermaksud mencari perlindungan kepada orang Yahudi di negeri Dahlak, dan orang-orang Nashrani di Syam, dan bersedia mengikuti cara hidup mereka. Maka turunlah ayat Al-Maidah : 51, yang melarang mereka melakukan perbuatan itu.

Menurut Ath-Thabari ayat ini menjelaskan urusan wala’  (loyalitas). Allah melarang orang-orang beriman untuk berwala' kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani dengan cara menjadikan mereka pemimpin, penolong, teman setia, dan mengikuti cara hidup mereka. Karena barangsiapa melakukan hal itu, maka Allah akan menggolongkan ke dalam golongan orang-orang yang diikuti baik itu Yahudi ataupun Nashrani.

Maka, orang-orang Mukmin (beriman) hendaknya tidak menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin, pelindung, dan teman setianya. Apalagi bila telah nampak sikap permusuhan dari orang-orang Yahudi dan Nashrani itu kepada Allah, Rasulullah dan orang-orang Mukmin. Barangsiapa lebih memilih orang-orang Yahudi dan Nashrani itu sebagai penolong, pelindung, dan teman setianya, maka dia berarti telah menjadi musuh Allah, Rasulullah dan orang-orang Mukmin. Hal itu merupakan perbuatan zhalim dan Allah tidak akan memberi pentunjuk kepada orang-orang zhalim.

Dibagian lain, Ibnu Katsir, menjelaskan surah Al-Maidah ayat 51 itu, menegaskan bahwa Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia. Kaum Yahudi dan Nashrani merupakan musuh Islam dan umat Islam seluruhnya.

Kemudian, selain menjelaskan kaum beriman (orang Mukmin) satu sama lainnya saling melindungi, Allah juga mengancam siapapun yang melanggar larangan-Nya itu. Dia Ta’ala berfirman : "Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka".

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa Umar meminta Abu Musa untuk mengusulkan atau melaporkan setiap hal yang ia lakukan dalam  satu paket. Abu Musa memiliki juru tulis (sekretaris) yang Nashrani dan melaporkannya kepada Khalifah Umar. Umar merasa heran. Umar bertanya kepada Abu Musa : "Dia seorang juru tulis yang seharusnya menjadi orang kepercayaan". Apakah kamu bisa membaca surat yang datang dari Syam di dalam masjid-masjid?". Abu Musa menjawab, "Dia tidak bisa melakukannya". Tanya Umar lagi: "Apakah dia orang asing?". "Bukan.Dia seorang Nashrani", jawab Abu Musa. Lalu Umar menghardik saya (Abu Musa), dan menepuk paha saya. "Bawa dia keluar", ujar Umar. Kemudian, Umar membacakan ayat : "Wahai  orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setiamu".

 Diktum dalam Al-Qur'an, yang termaktub dalam surah Al-Maidah ayat 51 itu, bersifat kekal, yang menyangkut sikap dan bagaimana melihat orang Yahudi dan Nashrani. Mereka adalah musuh Allah Rabbul ‘Alamin. Mereka menjadikan ‘Uzair dan Isa sebagai anak Tuhan dan Tuhan, yang merupakan sikap yang menduakan Allah Azza Wa Jalla, dan merupakan perbuatan syirik, yang dilaknat oleh Allah.

Sepanjang sejarah Yahudi dan Nashrani melakukan permusuhan yang sangat nyata terhadap orang-orang Mukmin, yang tidak pernah selesai. Permusuhan antara ahlul haq dengan ahlul bathil. Selamanya.

Bagaimana mungkin orang-orang Mukmin, termasuk para pemimpin Islam, bermesraan, meminta pertolongan, perlindungan, dan memberikan wala' kepada mereka, sedangkan mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya.

Banyak para pemimpin Islam dan orang-orang Islam yang meminta pertolongan kepada Amerika, Eropa, dan negara-negara kafir lainnya, yang sudah nyata-nyata mereka menjadi musuh, dan menumpahkan darah orang-orang mukmin, yang tanpa haq, seperti yang terjadi di bumi Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia, Chechnya, dan Bosnia. Mereka sangat nyata-nyata permusuhannya.

Ketika para pemimpin Islam dan orang-orang Islam, yang sudah hatinya terkena penyakit "khauf"dan "wahn", maka mereka, para pemimpin Islam dan orang-orang Islam datang berbondong-bondong kepada Yahudi dan Nashrani meminta pertolongan, perlindungan, dan berwala' kepada mereka. Bukan hanya sekadar menghadiri upacara Natal dan mengucapkan Natal, tetapi sudah menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia mereka.

Karena itu, hari ini para pemimpin Islam dan orang-orang Islam, termasuk mereka yang berada dalam "Harakah Islamiyah" (Gerakan Islam) telah menjadi hina, dan bertekuk lutut dihadapan Yahudi dan Nashrani, dan menjadikan "demokrasi" sebagai agama mereka, dan diikuti dengan sesembahan lainnya, yang disebut kata, "koalisi", menyebabkan mereka menjadi "tasyabbuh"  (menyerupai) atau"talbis", menyerupai dan bercampur dengan Yahudi dan Nashrani dalam bab aqidah dan muamalah.

Mereka sudah tidak berani lagi menyatakan identitas, jati diri secara terang-terangan  sebagai Mukmin, dan menegaskan Islam sebagai agama yang syumul (sempurna), dan menegakkan prinsip (mabda') Islam dalam seluruh aspek kehidupan, dan menggunakan prinsip dari Yahudi dan Nashrani.

Sampai-sampai ada seorang tokoh Partai Islam,  harus perlu membuat spanduk besar-besar, di sebuah jalan di Jakarta, dan hanya sekadar mengucapkan: "Selamat Natal", kepada orang-orang Nashrani, yang akan merayakan Natal. Karena, dia mengharapkan pertolongan dari orang-orang Nashrani. Bukan dari Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin.  Wallahu'alam. (akhirzaman)