PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Selasa, 09 Oktober 2012

Risalah Tentang Makna Idhharud Dien (Bag. 3 – TAMAT)

Sisi lain, adalah bahwa pada awal Islam itu terdapat sikap lembut dan alot yang mana hal itu tidak ada di akhir Islam, dan telah lalu hadits Jarir serta janjinya kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan kaum musyrikin, sedangkan keislamannya terjadi di akhir-akhir.
Dan secara umum: Tidak ada pada hadits Al A’rabiy dan hadits-hadits yang lainnya –seandainya itu shahih– apa yang menunjukkan bolehnya hidup di tengah-tengah kaum musyrikin sama sekali, justeru hadits-hadits itu secara jelas menerangkan tentang tinggal di pedalaman bagi orang yang masuk Islam dan tidak hijrah, dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya: “Beramallah di desa-desa,” karena desa-desa saat itu belum menjadi negeri Islam, akan tetapi beliau mengatakan kepadanya: “Beramallah di balik desa-desa itu,” yaitu beribadahlah kepada Allah dan singgahlah di tempat mana saja yang engkau sukai, sedang engkau tetap dalam status hijrahmu, sebagai bentuk kasih sayang terhadapnya.

Adapun hadits Nahik Ibnu ‘Ashim, sesungguhnya itu tidak menunjukkan bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan baginya untuk hidup berdampingan dengan orang musyrik, akan tetapi beliau mengizinkan baginya untuk tinggal di pedalaman saja, dan singgah di mana saja ia suka, serta tidak memetik hasil kecuali atas dirinya sendiri. Dan hal itu telah diisyaratkan oleh apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhariy dari Ash Sha’b Ibnu Jatsamah secara marfuu’: “Tidak ada batasan kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya,”Ini makna hadits Nahik dan khabar-khabar yang semakna dengannya, yaitu bahwa ahlu jahiliyyah mereka itu memiliki batasan tempat, yang mana mereka melarang dari batas itu orang yang mereka sukai, dan Allah telah menggugurkan hal itu dengan Islam, karena Islam menuntut keselamatan dan setiap orang merasa aman.
Dan tatkala Al ‘Alamah Ibnul Qayyim menuturkan kisah ini secara utuh, dan di akhirnya: Saya berkata: “Wahai Rasulullah, terhadap apa saya membai’atmu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan tangannya dan berkata: “Atas mendirikan shalat, menunaikan zakat, meninggalkan kaum musyrikin, dan engkau tidak menyekutukan Allah dengan apapun,” saya berkata: “Wahai Rasulullah, dan sesungguhnya bagi kami apa yang ada di antara timur dan barat?”, maka Nabi menarik tangannya, dan beliau mengira bahwa saya mensyaratkan sesuatu yang tidak beliau berikan, beliau berkata: saya berkata: “kami singgah dimana saja tempat yang kami sukai dan orang tidak memetik hasil kecuali atas dirinya sendiri.”
Ibnul Qayyim berkata saat mengomentari hadits itu: Dan ucapannya dalam akad bai’at: “Dan meninggalkan kaum musyrikin,” yaitu menjauhi dan memusuhinya, maka janganlah bertetanggaan dengannya dan janganlah loyal kepadanya, sebagaimana dalam hadits As Sunan, “Api keduanya jangan sampai saling melihat,” selesai perkataan Ibnul Qayyim.
Dan ungkapannya dalam hadits itu: “Kami singgah dimana saja tempat yang kami sukai,” dengan ungkapannya: “Dan meninggalkan kaum musyrikin” adalah menjelaskan kepadamu apa yang diinginkan oleh syari’at. Maka lihatlah kepada orang yang membolehkan ini -semoga Allah memberikan kita ‘afiyyah- ia berhujjah dengan apa yang menjadi hujjah atas dirinya dan terus mengatakan: Ibnul Qayyim menyebutkannya dalam Al Hadyu.
Dan adapun istidlal-nya dengan kisah hijrah ke Habasyahh, aka ini tergolong sesuatu yang menunjukan kehinaannya, dan ia memutarbalikan masalah, dan saya tidak pernah mengetahui ada seseorang yang mendahuluinya kepada pendapat itu kecuali sebagian orang yang menentang imam dakwah ini.
Dan ungkapannya: “Sesungguhnya mereka hijrah dalam rangka mencari keamanan bukan untuk mendapatkan perhiasan,” adalah sekedar penipuan saja, yang bersumber dari orang yang tidak mengetahui kedudukan syirik yang merupakan hal terbesar yang menghantam sisi rububiyyah, dan itu juga pengguguran terhadap isi dakwah para rasul berupa tauhid uluhiyyah, maka mana rasa aman dan tentram bagi orang yang menyaksikan penyembahan berhala dan celaan terhadap Allah di setiap keadaan dan waktu?!
Dan siapa yang berdalil dengan kisah hijrah tersebut atas hal ini, maka pemahamanya  adalah rusak dan pemikirannya ngawur, sebab setiap orang yang mengerti dari Allah syari’at-Nya dan memperhatikan keadaan para shahabat dan apa yang mereka lakukan, berupa pembelaan terhadap dien ini, dan pergi meninggalkan kaum musyrikin, maka ia pasti mengetahui bahwa hijrah ke Habasyahh adalah hujjah yang sangat agung dalam wajibnya hijrah, dan itu tergolong sikap melakukan mafsadah yang paling kecil dari dua mafsadah yang ada dalam rangka menolak yang paling tinggi kerusakannya. Dan penamaan itu sebagai hijrah adalah cukup bagi orang yang dituntut sesuai keadaan, meskipun maksud secara keseluruhan tidak bisa terlaksana secara utuh, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal dakwahnya diperintahkan untuk berpaling, kemudian diperintahkan untuk terang-terangan, kemudian diperintahkan untuk jihad.
Tampaknya dien ini disebutkan dan dimaksudkan dengannya adalah nampaknya dengan kekuatan dan kemenangan dengan jihad, dan ini terjadi di akhir-akhir. Dan disebutkan juga dan dimaksudkan dengannya nampaknya dien ini serta tersebar beritanya dan tidak adanya halangan bagi orang yang masuk ke dalamnya, dan ini telah terealisasi di negeri Habasyahh. Dan itu di namakan sebagai hijrah dan perpindahan sebagaimana yang dihikayatkan oleh An Nawawi dalam Syarhul Arba’iin.
Dan itu dihikayatkan oleh mujtahid zamannya, Ibrahim Ibnu Hasan Al Kurdiy dari Al Hafidh Ibnu Hajar, bahwa beliau berkata: “Hijrah di dalam Islam itu terjadi atas dua macam:
Pertama:Perpindahan dari darul khauf (negeri yang penuh dengan ketakutan) ke darul amni (negeri aman), sebagaimana dalam hijrah Habasyahh serta awal hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Kedua:Hijrah dari darul kufri ke darul iman, dan itu setelah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam menetap di Madinah, dan orang-orang dari kalangan kaum muslimin yang memungkinkan hijrah baginya mereka hijrah kepadanya. Dan pada waktu itu hijrah hanya khusus ke Madinah hingga akhirnya Mekkah di taklukkan, dan terputuslah kekhususan itu, dan yang berlaku adalah perpindahan dari darul kufri bagi orang yang mampu hijrah.” Selesai.
Dan disebutkan dari Al Asyuthiy: Bahwa hijrah itu ada delapan macam. Hijrah pertama: Ke Habasyahh tatkala orang-orang kafir menindas para shahabat, dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan bagi mereka untuk hijrah ke Habasyahh. Dan diizinkan bagi mereka untuk kedua kalinya, dan ini adalah Hijrah yang kedua. Hijrah yang ketiga: dari Mekkah ke Madinah. Hijrah yang keempat: Hijrah kabilah-kabilah kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mempelajari syari’at ini, kemudian mereka kembali ke kaumnya untuk memberikan peringatan kepada mereka. Hijrah yang kelima: Hijrah orang yang masuk Islam dari Mekkah untuk mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Hijrah yang keenam: Hijrah orang yang muqim di darul kufri sedangkan dia tidak mampu menampakkan diennya, maka sesungguhnya wajib atasnya hijrah ke negeri Islam. Ini adalah lafadh Al Asyuthiy dalam Al Muntaha, dan kami mencukupkan dengan apa yang dimaksud darinya, dan memang hal itu telah ditegaskan oleh para ‘ulama mahdzab Hanbali, dan hampir dekat dengannya lafadh An Nawawi dalam Syarah Arba’iin-nya.
Dan tatkala bahasan ini ditetapkan –bihamdillah- oleh orang yang berkilau cahaya diennya, terbit matahari dan bulannya menerangi burhan dakwahnya, dan bunga-bunganya berseri-seri di halaman keindahannya, maka hal ini ditentang oleh orang yang memilih kesesatan daripada petunjuk dan berbalik dari keselamatan kepada keterpurukan, bila ia tidak segera ditolong oleh rahmat Allah, dia mengatakan: Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam bahasannya yang diambil dari sirah: Ketahuilah sesungguhnya manusia tidak bakal tegak keislamannya meskipun dia itu mentauhidkan Allah kecuali dengan memusuhi kaum musyrikin, dan tegas-tegasan memusuhi dan membenci mereka.
Orang yang menentang itu berkata: Maka dhahir perkataannya bahwa An Najasyi itu kafir, di mana ia tidak tegas-tegasan memusuhi kaumnya, dan begitu juga Ja’far dan para shahabatnya adalah kafir dengan ungkapan ini, hingga akhir perkataannya yang tidak bersumber dari orang yang telah mencium bau ilmu yang bermanfaat, atau dia itu sangat jauh sekali dari pancaran ilmu ini.
Ungkapan itu telah dijawab oleh orang yang sangat indah dan hebat dalam penguraian saat menjawab serta ungkapannya itu sangat selaras dengan jalan yang benar, yaitu Syaikh kami Al ‘Allamah Abdullathif rahimahullah –setelah menuturkan syubhatnya- yang ringkasnya: Dan telah tsabit bahwa An Najasyi tegas-tegasan memusuhi mereka dan baraa’ah dari ajaran mereka, serta membuat mereka kesal dalam rangka menambah tegas-tegasannya dengan permusuhan itu, dan beliau (An Najasyi) berkata: “Dan meskipun kalian mendengus”,  tatkala beliau terang-terangan menyatakan bahwa Isa ‘alaihissalam itu adalah hamba, dimana Ja’far membaca awal surat Maryam, yang mana di sana disebutkan tentang Isa, maka An Najasy berkata: “Demi Allah, Isa itu tidak melebihi atas hal ini…. hingga akhirnya.
Permusuhan macam apa? Dan penegasan apa yang lebih besar dari ini? Namun demikian beliau juga membela orang-orang yang hijrah dan memberi mereka tempat leluasa di negeri, dan beliau berkata: “Pergilah, sedang kalian dalam keadaan aman di negeriku, siapa yang mencerca kalian, ia pasti menyesal, dan siapa yang mendzalimi kalian, maka ia pasti dikenakan sanksi,” maka beliau terang-terangan menegaskan bahwa ia memberikan sanksi kepada orang yang mencela agama mereka dan menjelek-jelekan apa yang mereka pegang. Sedangkan ini adalah kadar tambahan atas penegasan akan permusuhan terhadap mereka. Dan tidak ada yang mengatakan: Bahwa Ja’far dan para shahabatnya, mereka itu menyembunyikan diennya di Al Habasyah, dan mereka tidak terang-terangan memusuhi orang-orang kafir lagi musyrik, kecuali orang jahil.
Dan Ja’far bersama para shahabatnya tidak meninggalkan negeri mereka dan tanah kaumnya, serta memilih negeri Habasyah kecuali dalam rangka terang-terangan memusuhi kaum musyrikin dan bara’ah dari mereka secara terang-terangan dalam hal madzhab dan dien. Seandainya bukan karena itu tentulah mereka tidak membutuhkan hijrah dan memilih keterasingan, akan tetapi itu semua fi Dzatil Ilah dan dalam rangka memusuhi karena dasar itu. Ini adalah yang nampak tidak membutuhkan akan taqrier seandainya tidak meratanya kejahilan. Selesai dengan intisari.
Syaikh ayahanda -semoga Allah mensucikan arwahnya- berkata dalam rangka membantah orang tersebut: Adapun ucapannya: Dhahirnya bahwa An Najasy ini adalah kafir…. hingga akhir ucapannya…
Jawabannya adalah dari beberapa sisi:
Pertama: sesunggguhnya tidak boleh protes atas hukum Al Qur’an.
Kedua: Sesungguhnya orang-orang yang hijrah ke Habasyahh, mereka itu hijrah dalam rangka mencari tempat aman atas dien mereka yang mana tidak ada satu negeri pun  dan tidak ada satu kabilah pun yang mana mereka mendapatkan rasa aman di dalamnya selain Habasyahh. Saya berkata: Dan itu atas dasar perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala sampai berita kepada beliau sikap An Najasy yang baik dalam memberikan perlindungan.
Ayahanda rahimahullah berkata: Kemudian ini adalah di awal dakwah, sebelum kewajiban-kewajiban difardlukan dan sebelum ayat-ayat tentang penjelasan hukum-hukum turun, sedangkan kewajiban terbesar setelah tauhid yaitu shalat, belum difardlukan saat itu kecuali setelah sepuluh tahun, dan begitu juga hukum-hukum hijrah dan jihad, sampai beliau mengatakan:
Ketiga: Sesunguhnya An Najasy dan sejumlah orang dari kaumnya masuk Islam, maka bagi mereka hal itu berstatus dhuhuur (nampak), dan hal itu terkenal di dalam sirah dan tafsir, sehingga bila Islam nampak jelas di suatu negeri maka tidaklah haram iqamah di sana bagi orang yang bisa menjaga diennya dan menampakkannya. Dan begitu juga Ja’far dan para shahabatnya, mereka telah dijaga Allah dengan perlindungan yang diberikan oleh An Najasy, di mana dia berkata: “Siapa yang mencerca kalian, maka ia dikenakan sangsi”. Dan orang yang mengikuti mereka di negeri itu menerima jaminan itu dan merekapun menampakkan diennya meskipun ketidaksukaan orang yang tidak suka, sehingga ayat itu tidak menyangkut mereka. Maka bagaimana hal ini bila dibandingkan dengan orang yang berkasih sayang dengan orang-orang musyrik dan menampakkan kepada mereka kecintaan dan perlakuan yang lembut?! Orang seperti inilah yang keimanannya tidak tersisa. Selesai ucapan beliau rahimahullah.
Dan tatkala beliau rahimahullah menuturkan –dalam bantahannya kepada orang Kharaj– kisah An Najasyi dan apa yang diucapkannya kepada ‘Amr Ibnul Ash utusan Quraisy, beliau berkata: Allah telah menurunkan Qur’an berkenaan dengan An Najasyi dan para shahabatnya, dan Allah memuji mereka, sehingga tidak boleh berhujjah atas bolehnya iqamah bersama ahlul bathil, loyalitas dan tentram kepada mereka dengan hijrahnya para shahabat dan sikap mereka melarikan diri membawa diennya agar supaya tidak dipalingkan oleh kaum musyrikin dari diennya.
Dan setiap orang memahami dari kisah ini: Bahwa ia adalah hujjah yang agung atas orang yang meninggalkan hijrah dari beberapa sisi yang tidak samar lagi atas orang yang sedikit memiliki pengetahuan dan pemahaman, termasuk orang yang bodoh sekalipun, dan orang yang ngotot tidak mampu berhujjah dengan hujjah yang padahal ia adalah hujjah atas dirinya, kecuali orang yang ditimpa bencana dengan buruknya pemahaman dan rusaknya tinjauan. Selesai ucapannya dari tulisannya rahimahullah.
Maka gugurlah syubhat itu dari pangkalnya, karena sesungguhnya orang bila ia menampakkan Islam di suatu negeri, maka tidak haram iqamah di sana bagi orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ja’far dan para shahabatnya, karena mereka itu menampakkan diennya di negeri orang yang meyakini perselisihan Islam terhadap diennya, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat kecintaannya daripada kaum musyrikin dengan nash Al Qur’an. Maka apakah hukum mereka itu disamakan dengan hukum orang yang seandainya ia mengetahui dari kamu penyelisihan dalam hal keyakinan, tentu ia jadikan tauhidullah itu sebagai kekafiran dan keluar dari keislaman? Dan hukum minimal yang ia terapkan kepadamu adalah diusir dan disuruh keluar? Fallahul Musta’an.
Jadi secara umum, suatu negeri bila keadaannya seperti ini, Islam nampak di dalamnya, dan penguasanya memberikan dukungan kepada pemeluk Islam, merestui mereka di atasnya, mengakui mereka dan berkata kepada rakyatnya seperti apa yang dikatakan oleh An Najasyi, maka tidak ada seorangpun yang melarang iqamah di sana. Bila tauhid yang merupakan pokok segala pokokdan kewajiban yang paling wajib boleh disembunyikan untuk kepentingan (maslahat) duniawi, sedangkan ibadah-ibadah lainnya yang merupakan cabang-cabangnya dinamakan idhharud dien, maka apa faedah ilmu itu?!
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Dalam kisah hijrah ke Habasyahh, Assuhailiy berkata: Dan di dalamnya terdapat fiqh: Keluar dari tanah air sendiri meskipun tanah air itu adalah Mekkah yang mempunyai keutamaan, bila keluar itu adalah dalam rangka lari menyelamatkan dien, meskipun bukan ke negeri Islam, karena sesungguhnya Habasyahh di sana orang-orang Nasrani menyembah Al Masih dan mengatakan ia adalah anak Allah, dan mereka dinamakan Muhajirin dengan hijrah itu.
Dan mereka adalah ashhabul hijratain yang mendapatkan sanjungan Allah. Mereka telah keluar dari negeri Allah al haram ke negeri kafir, tatkala hal itu dalam rangka menjaga dien mereka, dan mereka bisa bebas beribadah kepada Rabbnya, mereka bisa berdzikir kepada-Nya dalam keadaan aman, dan ini adalah hukum yang terus berlaku tatkala kemungkaran menguasai suatu negeri, orang mukmin ditindas karena kebenarannya, kebathilan lebih menguasai kebenaran dan ia mengharap di negeri lain, negeri mana saja, ia bisa menampakkan diennya dan menampakkan ibadah kepada Rabbnya, maka sesungguhnya keluar dengan gambaran seperti ini adalah kewajiban atas setiap mukmin. Dan hijrah semacam ini tidak terputus hingga hari kiamat (dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah) Al Baqarah: 115, selesai perkataan As Suhailiy.
Lihatlah ucapannya: “Bila keluar itu adalah dalam rangka menyelamatkan dien,” dan ucapannya: “Maka Allah menyanjung mereka tatkala perbuatan mereka itu dalam rangka menjaga dien mereka,” dan ucapannya: “Mereka bisa berdzikir kepada-Nya dalam keadaan aman,” maksudnya mereka mentauhidkan Allah secara terang-terangan di tengah orang-orang yang tidak mentauhidkan-Nya seperti kaum Nasrani, berbeda dengan orang yang menyepakati dalam hal Laa Ilaaha Illallaah seperti orang-orang Yahudi, maka tidaklah cukup kecuali dengan terang-terangan menampakkan keyakinan akan risalah (Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang lalu.
Dan ucapannya: “Dan ini adalah hukum yang terus berlaku tatkala kemungkaran menguasai suatu negeri, orang mukmin ditindas karena kebenarannya, kebathilan lebih menguasai kebenaran, dan ia mengharap di negeri lain, negeri mana saja, ia bisa menampakkan diennya,” apa dien ini? Apakah engkau mengira bahwa ia adalah tergolong lafadh umum yang dimaksudkan dengannya makna yang khusus? Tentu tidak, terus apa kehati-hatian ini semoga Allah merahmatimu? Apakah engkau menyangka kehati-hatian itu dalam bentuk pergi ke negeri kaum musyrikin? Tatkala engkau disakiti atas dasar kebenaran di negeri kaum muslimin? Dan engkau melihat kebathilan mendominasi kebenaran? Alangkah besarnya tindak kriminal orang yang membolehkan itu bila kita memegang lazim dari ucapannya? Allahu Akbar, apa gerangan yang dilakukan oleh kejahilan terhadap pelakunya, hati-hatilah berbicara atas nama Allah?!
Dan adapun yang ia nukil dari Syaikhul Islam tentang seorang tawanan, bila orang-orang musyrik tidak menghalanginya dari menunaikan kewajiban-kewajiban diennya, maka itu tidak menunjukkan terhadap apa yang mereka maksudkan sama sekali, karena perkataan Syaikh ini tidak nampak menunjukkan bahwa dien ini adalah sekedar ibadah saja, dan tidak nampak juga menunjukkan bahwa para penyembah berhala itu tidak ridla dengan tauhid darinya, maka ada kemungkinan bahwa mereka itu adalah orang-orang Nasrani, sehingga cukuplah dua kalimah syahadat dan shalat dalam idhharud dien ini di sisi mereka.
Kedua: sesungguhnya telah diketahui secara pasti dari keadaan Syaikhul Islam apa yang bisa membantah klaim ini, karena sesungguhnya Syaikhul Islam ini memiliki karakter yang sangat terkenal dari keadaan dan ungkapannya dalam hal pengagungan terhadap nash-nash, pembelaan terhadapnya, pambelaan akan dien ini dengan tangan dan lisan, serta dorongannya untuk memutus hubungan antara wali-wali Allah dengan wali-wali setan.
Syaikh kami Al ‘Allamah Abdullathif telah menukil darinya: bahwa ayat-ayat ancaman dalam hal loyalitas kepada kaum musyrikin menunjukkan hilangnya keimanan yang wajib dari orang-orang yang berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan bahwa memusuhi mereka, membencinya serta menjauhinya merupakan bagian dari kewajiban-kewajiban dien ini, sehingga ucapan beliau yang masih muhtamal (banyak kemungkinan) dibawa kepada yang perkataannya sharih. Dan bila para ‘ulama mahdzab Hanbali menegaskan bahwa tawanan itu tidak boleh menikah di negeri musuh, seraya mereka memberikan alasan bahwa ia bisa jadi terjerumus ke dalam agama mereka. Mereka berkata juga: Dan begitu juga pedagang, karena dikhawatirkan isterinya itu melahirkan anak, terus anak itu tumbuh di atas agama mereka. Mereka mengatakan: Pernikahannya itu bisa menggadaikan dirinya pada kerusakan yang besar ini.
Dan inilah perkataan Al Mughni bersama matannya, ia berkata: Masalah: Dan tidak boleh menikah di negeri musuh, kecuali bila tidak kuat menahan syahwat, maka ia boleh menikah dengan muslimah, tapi ia melakukan ‘azl. Pensyarah berkata setelah ucapan: Dan Imam Ahmad ditanya tentang tawanan yang ditawan bersama isterinya, apakah boleh ia menggaulinya? Maka beliau menjawab: Bagaimana ia menggaulinya? Bisa jadi ia (isterinya) melahirkan anak, sehingga ia bersama mereka. Bila keadaannya demikian, maka gugurlah apa yang mereka pahami dari perkataan syaikh dan yang lainnya yangg masih ihtimal.
Bila nash-nash yang masih ihtimal bila itu shahih harus dikembalikan kepada nash-nash yang sharih, maka apa gerangan dengan perkataan-perkataan yang berseberangan -bihamdillah- dengan parkataan salaf yang lebih sharih (jelas)? Bahwa idhharud dien itu adalah menampakkan keyakinan dan mengingkari kemungkaran, sehingga tetaplah nash-nash itu bebas tidak ada yang menentangnya bi hamdillah.
Dan tatkala sebagian mereka berhujjah dengan perkataan Malik rahimahullah tentang orang yang tidak mengetahui apakah ia mencerai (isterinya) dengan talak satu atau tiga, yang dipegang adalah tiga sebagai bentuk kehati-hatian, maka Ibnul Qayyim berkata: “Ya, memang ini adalah perkataan Malik rahimahullah, terus apa hujjahnya atas Asy Syafi’iy, Abu Hanifah, Ahmad rahimahumullah dan atas setiap orang yang menyelisihi Malik dalam masalah ini? Sampai-sampai wajib atas mereka meninggalkan perkataan ‘ulama-‘ulama itu karena sekedar ucapan Malik. Selesai.
Dan kalau kita terapkan pada masalah kita ini, kita katakan: “Inilah jawaban kita terhadap setiap apa yang dijadikan hujjah oleh orang yang menyelisihi.
Dan adapun istidlal-nya dengan kisah Al ‘Abbas dan kisah Nu’aim Ibnu Abdillah Ibnu An Nahham, atas sekedar iqamah di negeri kaum musyrikin, maka itu tergolong kebodohan yang sangat jelas, justeru kedua kisah itu adalah hujjah atasnya bukan baginya dari beberapa sisi:
Di antaranya: Apa yang ada dalam kisah Nu’aim, bahwa Banu ‘Abdi berkata kepadanya tatkala ia hendak hijrah: “Muqimlah di tengah-tengah kami sedang engkau tetap di atas dienmu, dan cukupkanlah kami seperti apa yang telah kami berikan kecukupan kepadamu,” Maka iapun meninggalkan hijrah beberapa saat karena alasan itu, kemudian dia hijrah, dan berkata kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Kaumku menghambat saya dari hijrah dan dari taat kepada Allah,” dan ungkapan ini ditinggalkan oleh teman kamu, sedangkan ini adalah tergolong khianat dalam penukilan, karena ungkapan ini membantah syubhatnya, karena termasuk hal yang maklum bahwa larangannya dari orang yang ingin menyakitinya tidak mungkin terjadi kecuali atas dasar perbedaan dalam hal dien, karena kalau tidak demikian maka sesungguhnya orang yang diam itu tidak mungkin disakiti.
Dan dalam sebagian lafadh kisah ini: “Muqimlah di tengah-tengah kami di atas dien apa saja yang kamu sukai,” dituturkan oleh Ibnu Atsir dalam Jami’ul Ushul. Ini nampak sekali menunjukkan bahwa dia terang-terangan dengan diennya yang mana itu adalah penyelisihan terhadap dien Quraisy, karena dia sudah masuk Islam semenjak dahulu semasa Islamnya Umar, dan ia itu menyembunyikan keislamannya, dan tatkala ia hendak hijrah, kaumnya berjanji untuk melindunginya dari orang-orang yang akan menyakitinya, maka ia pun menetap seraya menampakkan diennya, namun demikian ia telah menyayangkan atas sikapnya pernah meninggalkan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, berdasarkan ungkapannya: “kaumku menghambat saya dari hijrah,” berarti itu adalah penghambatan dari kewajiban ini, seandainya boleh bagi orang yang membolehkan untuk berhujjah dengannya, maka sungguh tidak ada hujjah juga di dalamnya.
Kemudian seandainya kita menerima bahwa ia itu diizinkan oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jadilah kisah ini tergolong kasus-kasus individu yang khusus, karena pemberian izin bagi seseorang itu menunjukkan akan adanya larangan seandainya tidak ada izin, menurut para ahli ma’aniy, sebagaimana beliau mengizinkan bagi orang Arab badui dan sebagaimana beliau mengizinkan bagi Aslam (untuk tidak hijrah) dengan ungkapannya: “Hiduplah di pedalaman wahai Aslam, sedang kalian tetap di atas hijrah kalian,”
Dan bagi syari’at boleh mengkhususkan orang yang dikehendaki dengan apa yang ia kehendaki, dan contohnya adalah Al ‘Abbas, sesungguhnya dia itu telah diberi izin, sehingga ia dikhususkan dari larangan, karena dalam menetapnya ‘Abbas di situ ada maslahat bagi kaum muslimin. Dan tatkala Ibnu Hajar menyebutkan hujjah bagi larangan, beliau berkata: Dan di kecualikan dari hal itu orang yang dalam menetapnya itu terdapat maslahat bagi kaum muslimin, karena diriwayatkan bahwa Al ‘Abbas itu telah masuk Islam sejak lama, dan keislamannya itu terus berlangsung hingga hijrahnya, dia menulis berita-berita kaum musyrikin kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ia itu menginginkan untuk mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepadanya bahwa keberadaanya di Mekkah itu lebih baik.
Ibnu Hajar berkata sesudahnya: Dan hal itu tidak tsabit, dan bila ternyata tidak tsabit adanya izin dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam baginya, maka tidak ada hujjah di dalamnya, karena sebelum hijrah, yang berlaku atas ‘Abbas adalah hukum-hukum kaum musyrikin. Ia sebelum Badar telah keberatan untuk hijrah, dan ia justeru keluar bergabung bersama kaum musyrikin, kemudian kaum muslimin menawannya dan ia menebus dirinya sendiri. Sebagaimana hal itu masyhur dalam sirah. Sehingga ia itu adalah orang yang dihambat dari hijrah sebagaimana dihambatnya Nu’aim radliyallahu ‘anhuma, maka tidak ada hujjah di dalamnya, sebagaimana tidak ada hujjah dalam tindakan dia ikut keluar bergabung bersama kaum musyrikin pada perang Badar.
Dan yang shahih: adalah bahwa Al ‘Abbas itu menampakkan Islamnya setelah Badar, karena sesungguhnya telah tsabit bahwa ia tatkala diberitahu oleh Al Hajjaj Ibnu ‘Alath saat ia mendatangi Quraisy bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah menaklukkan Khaibar, sedangkan Al Hajjaj telah menampakkan kepada Quraisy berita yang berlainan karena Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan untuk itu. Dan tatkala Al Hajjaj pergi, maka Al ‘Abbas berdiri di balai pertemuan Quraisy seraya meneriakkan: “Sesungguhnya Allah telah memuliakan dien-Nya, dan telah menolong Rasul-Nya,” dan dalam tindakan ini terdapat hal besar yang membuat orang-orang musyrik geram, sehingga gugurlah berhujjah dengan dua kisah itu dengan kedua maknanya, dan terurailah syubhat itu dari pangkalnya.
Dan adapun ungkapan dari Ibnul ‘Arabiy: “Bahwa hijrah difardlukan pada zaman Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan terus berlangsung hukumnya bagi orang yang khawatir atas dirinya,” maka jawabannya dari beberapa sisi:
Pertama: Sesungguhnya telah kami jelaskan kepadanya, bahwa itu adalah hadits dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga istidlal dengannya adalah istidlal dengan mafhum, dan hal itu adalah lemah bila bertentangan dengan nash, bagaimana tidak sedangkan ia mengandung ungkapan yang tidak ada hujjah di dalamnya.
Kedua: sesungguhnya ungkapan An Nawawiy darinya membantah hal ini, karena beliau rahimahullah berkata dalam Syarah Arba’iinnya: Ibnul Arabiy berkata: Para ‘ulama rahimahumullah membagi (hukum) pergi di bumi ini, dalam rangka mencari dan dalam rangka lari, ke dalam beberapa macam:
  • Yang pertama: Terbagi menjadi enam bagian, pertama: Keluar dari darul harbi ke darul Islam, dan ini terus berlangsung hingga hari kiamat, sedangkan yang terputus dengan penaklukan (kota Mekkah) dalam sabdanya: “Tidak ada hijrah setelah penaklukkan (Mekkah),”Adalah hijrah mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
  • Kedua: keluar dari negeri bid’ah, dan beliau menuturkan perkataan Al Qasim dari Malik yang lalu. Silahkan bandingkan antara ini dengan global ucapan yang kamu nukil darinya yang tidak ada penegasan di dalamnya.
  • Ketiga: Sesungguhnya kekhawatiran akan dirinya dengan idhharud dien adalah salah satu dari dua kemungkinan yang lebih dekat, karena selaras dengan ungkapan pendahulunya.
Dan adapun ucapannya, Al Khaththabiy berkata: “Hikmah atas wajibnya hijrah atas orang yang masuk Islam adalah agar ia selamat dari penindasan orang-orang kafir, karena sesunggguhnya mereka menyiksa orang yang masuk Islam supaya mau meninggalkan diennya,” Sungguh saya tidak mendapatkan hal itu berasal dari perkataan Al Khaththabiy, akan tetapi itu adalah berasal dari perkataan Al Hafidh, sedangkan perkataan Al Khaththabiy ada sedikit sebelumnya, dan itu ada dalam Fathul Bari, silahkan rujuk.
Kemudian itu adalah tergolong penafsiran sesuatu dengan sebagian individu-individunya. Dan sebagian orang telah memberikan alasan: Sesungguhnya hijrah itu hanya difardlukan dalam rangka memeperbanyak jumlah kaum muslimin. Dan sebagian memberikan alasan (itu) untuk mempelajari syaraa’i dien ini. Sebagian mengatakan alasannya adalah karena takut fitnah. Dan telah kami tuturkan sebelumnya: Bahwa satu hukum bisa saja sebabnya bermacam-macam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Salaf radliyallahu ‘anhum menyebutkan dalam penafsiran mereka jenis apa yang dimaksud oleh ayat, dalam rangka memberikan contoh. Maksud mereka itu bukan mengkhususkan macam tanpa macam yang lainnya. Selesai.
Ash Shan’aniy rahimahullah berkata: ‘Illat (alasan hukkum) yang disebutkan oleh nash tidak menunjukkan pembatasan kepadanya saja menurut ahli ushul, dan telah diuraikan kepadamu sebelumnya berulang-ulang apa yang menunjukkan bahwa takut fitnah itu adalah dengan sebab dakwah illallaah dan idhharud dien, karena tidak ada fitnah yang diprediksikan bagi orang yang diam meskipun dia hidup di negeri Romawi (Barat/Amerika, pent), apakah orang yang berakal tidak malu dari membawa perkataan para ‘ulama terhadap pemahaman dia belaka, yaitu bahwa melakukan ibadah-ibadah selain keyakinan, adalah idhharud dien?! Fallahul musta’aan.
Seandainya ini diterima, tentulah terurailah ikatan hijrah itu dari pangkalnya. Dan tatkala Al Mawardiy menyebutkan apa yang secara umum bisa diterima, yaitu bahwa orang yang mengharapkan dengan keberadaannya itu orang lain masuk Islam, maka boleh hal itu (muqim) baginya, justeru ungkapannya ini banyak diingkari dan dibantah oleh para ‘ulama, sebagaimana yang telah lalu.
Dan adapun penukilannya dari Al Mawardiy dan Al Hafidh, keduanya sesuai dengan perkataan Aisyah: “tidak ada hijrah pada hari ini, dahulu orang mukmin lari membawa diennya kepada Allah dan Rasul-Nya, karena khawatir ditindas. Adapun pada hari ini, maka sungguh Allah telah menampakkan Islam ini,” perkataan Aisyah ini sangatlah tegas bahwa alasan yang karenanya dahulu orang mukmin lari membawa diennya telah hilang dengan nampaknya (kemenangan) Islam ini. Dan kami mengatakan sesuai dengan apa yang dituntut oleh hal itu, sedangkan mahfuum perkataan Al Hafidh bukanlah apa yang dimaksud oleh perkataan Aisyah, bila itu diterapkan sesuai dengan apa yang diklaim oleh orang yang membolehkan, padahal itu juga adalah sekedar ungkapan, dan dalam penukilannya terdapat perubahan yang mencoreng yang tidak layak dilakukan oleh pencari ilmu. Dan sekarang saya akan menuturkan kepadamu perkataannya dari pangkalnya, supaya kamu mengetahui bahwa ilmu ini adalah dien.
Al Hafidh berkata: Pengisyaratan ‘Aisyah terhadap penjelasan disyari’atkannya hijrah, dan bahwa penyebabnya adalah takut fitnah, sedangkan hukum itu adalah berputar bersama alasannya, sehingga muqtadla ungkapannya bahwa orang yang mampu untuk beribadah kepada Rabbnya di tempat mana saja di mana ia tinggal, maka hijrah itu tidak wajib atasnya, dan karena atas dasar itulah Al Mawardiy berkata: Bila ia mampu menampakkan diennya disuatu negeri di negeri-negeri kafir, maka negeri itu dengannya telah menjadi negeri Islam. Selesai perkataan Al Hafidh.
Orang yang membolehkan itu menggugurkan perkataan Al Hafidh, “dan karena atas dasar itulah,” dan bisa jadi dia lalai darinya. Dan ungkapan itu menunjukkan bahwa perkataan Al Hafidh itu dibangun di atas dasar itu, dan bahwa Al Mawardiy memahami seperti apa yang dipahami oleh Al Hafidh, karena makna dari “dan karena atas dasar itulah,” ini adalah dari keadaan seperi ini, maka ketahuilah bahwa ia melihat makna itu yang dimaksud oleh Al Mawardiy, yaitu bolehnya iqamah bagi orang yang menampakkan diennya dan mengharapkan keislaman orang lain, padahal sesungguhnya perkataan Al Hafidh itu mengisyaratkan: pelemahan terhadap ungkapan Al Mawardiy akan afdalnya iqamah itu. Dan telah kami ketengahkan kepada anda pembahasan terhadapnya, dan bahwa apa yang diungkapkan oleh Al Mawardiy itu tidak bisa diterima, dan begitu juga tidak bisa diterima apa yang dikatakan oleh Al Hafidh, bila memang ia setuju dengan Al Mawardiy, lagian ungkapan ini masih mengandung banyak kemungkinan lagi tidak tegas.
Karena ibadah adalah lafadh yang umum, tidak bisa dibawa kepada apa yang mereka klaim kecuali dengan adanya qarinah –sebagaimana yang dikatakan oleh ‘ulama bayan– sedangkan di sini tidak ada qarinah, sehingga membawa lafadh itu dan begitu juga membawa apa yang sebelumnya dan apa yang sesudahnya dari ungkapan-ungkapan muthlaq para ‘ulama, terhadap apa yang didukung oleh dalil berupa ungkapan syari’at adalah lebih utama, karena wajibnya mengembalikan kepadanya saat terjadi perselisihan.
Dan adapun nukilan dari Al Hafidh dan Ibnu Qudamah, yaitu bahwa idhharud dien adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban, maka telah lalu uraian terhadap engkau uraian yang menunjukkan bahwa tidaklah bisa berdalil dengannya dengan kemungkinan makna manapun, karena mereka dalam ungkapannya melakukan pemisahan antara dua ungkapan. Mereka mengatakan: Tidak memungkinkan baginya untuk menampakkan diennya dan tidak mungkin baginya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiannya. Dan mereka mengulangi kalimat itu dua kali, sehingga hukum itu terdiri dari dua bagian, dan tidak sah tanpa keduanya, maka jelaslah bahwa idhharud dien adalah idhhar keyakinan.
Syaikhul Islam berkata: Hal yang terdiri dari beberapa bagian, maka bentuk gabungan itu dibangun di atas bagian-bagian itu lagi tersusun darinya, karena pengulangan imbuhan menurut ahlul ma’aaniy adalah dalam rangka membangun hukum bukan untuk menguatkan. Dan saya mengira bahwa itu tidak membedakan antara dua macam itu, sebagaimana ia tidak bisa membedakan antara al ‘aam al muthlaq yang meliputi seluruh individu-individunya dengan ‘umuumaat yang mencakup akan sesuatu. Dan ini bukanlah hal yang baru, karena klaim-klaim itu telah banyak, dan seandainya di sana ada perbedaan tentu al muta’akhkhirun mengingatkan terhadapnya, karena mereka tegas-tegasan akan yang dimaksud, sebagaimana yang lalu.
Dan adapun penukilannya dari Al Hafidh: Bahwa bila tidak ada Imam, maka wajib atas kaum muslimin…..
Maka jawabannya: sesungguhnya mengangkat imam itu adalah hujjah yang nampak tentang sikap mencari kekuatan, sedangkan kekuatan itu tidak bisa terjadi kecuali dengan melaksanakan perintah dan larangan. Dan maknanya bahwa mereka itu mengangkat imam dan qadli yang memutuskan dengan hukum Al Qur’an, terus apa imam ini? Dan apa kekuatan ini bila tidak bisa merealisasikan sesuatupun? Dan apa sisi pengambilan dalil itu? Dan apa hubungannya dengan iqamah ditengah kaum musyrikin bagi orang Islam yang tidak mampu menampakkan diennya?!
Dan ungkapannya: “Dan perkataan ‘ulama sangatlah banyak,” adalah sekedar membesar-besarkan yang tidak usah dipedulikan. Dan bila memang ini adalah ujung pengetahuannya, maka bila ia hendak tentu ia menukil berjilid-jilid. Dan telah kami jelaskan padamu di awal jawaban perkataan Ibnul Qayyim, yaitu bahwa bila Al Kitab dan As Sunnah sepakat atas suatu hukum, maka tidak mungkin bisa ditentang, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat bagimu dengannya, karena itu adalah hal pokok yang mampu menghilangkan darimu syubhat-syubhat yang banyak. Bukanlah yang menjadi patokan itu banyaknya tulisan, akan tetapi yang menjadi segala patokan adalah berada pada pemahaman nash-nash yang ada, serta mengembalikan nash-nash yang masih muhtamal kepada nash-nash yang sharih.
Dan tatkala sebagian orang magharibah (maghrib) melihat suatu ungkapan yang membuat dia terkesan, ia berkata: “Ahli fiqh itu bukanlah orang yang hafal akan banyak ilmu, akan tetapi ahli fiqh adalah orang yang mengetahui mawaaqi’ul khithab dan madluulatul alfadh. Dan siapa yang mengira hal itu, maka ia telah mengira seperti apa yang dikira oleh banyak orang: Bahwa ahli sepatu adalah orang yang memiliki banyak sepatu, bukan orang yang mampu membuat sepatu. Bisa jadi ia didatangi oleh orang yang memiliki kaki yang tidak selaras dengan semua sepatu yang ia miliki, maka akhirnya ia justeru mendatangi pembuat sepatu, terus ia membuatkan sepatu yang selaras dengan kaki orang itu.
Dan adapun ihtijaj dia dengan safarnya Abu Bakar, maka ini adalah tergolong kejahilan yang paling besar, karena telah ada pada hati-hati para shahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam hal yang sudah terkenal berupa rasa ghirah terhadap Allah dan dien-Nya, rasa permusuhan terhadap musuh-musuh Allah, penumpahan darah dalam rangka mencapai keridlaan-Nya, serta meninggalkan orang tua, saudara dan kerabat. Dan ini semua telah di kenal lagi tidak samar kecuali atas orang yang ingin mengkaburkan yang haq dengan yang bathil. Ini contohnya Sa’ad tatkala beliau datang ke Mekkah, ia langsung menghadang Umayyah dan mengancamnya dengan yang telah dikabarkan oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu beliau pasti membunuhnya, padahal ia (Sa’ad sedang dalam status singgah di rumah) Umayyah, sehingga ungkapannya itu membuat dia geram, akan tetapi Sa’ad tidak mempedulikannya.
Contoh lain, saudari Umar radliyallahu ‘anhu, tatkala Umar berkata kepadanya: “Perlihatkan kepadaku kitab itu,” ia berkata: “Sesungguhnya kitab ini tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci,” ia tidak mengindahkan Umar, padahal ia (Umar) telah melukai kepalanya, namun demikian ia justeru mengatakan: “Meskipun hal itu -maksudnya Islam- tidak kamu sukai,”
Dan begitu juga Ummu Habibah Bintu Abu Sufyan, ia melipat tikar Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam supaya tidak diduduki oleh ayahnya, maka Abu Sufyan berkata: “Wahai puteriku, apakah kamu tidak menyukai tikar ini didudukiku, atau engkau tidak suka aku duduk di atasnya?” Maka ia berkata: “Justeru itu adalah tikar Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik lagi najis, sehingga saya tidak suka engkau duduk di atasnya”.
Dan hal-hal seperti ini adalah banyak dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan mereka radliyallahu ‘anhum wa arlaahum.
Dan yang dimaksud adalah: Bahwa mereka memiliki ghirah yang sangat terkenal, dan kepentingan-kepentingan safar mereka itu adalah untuk dien ini, mendakwahkannya secara terang-terangan, dan hujjah-hujjah mereka atas musuh-musuhnya adalah tegak lagi menang. Dan siapa orangnya yang berdalil dengan hal ini untuk apa yang dilakukan oleh orang masa sekarang, maka dia itu adalah orang yang mukaabir (ngotot), tidak ada pilihan lain, dan ia itu bagaikan orang yang berdalil dengan bolehnya mencium di bulan Ramadlan terhadap bolehnya bersenggama di dalamnya.
Wal hasil: Sesungguhnya orang muslim tidak dikatakan menampakkan diennya, baik dia itu musafir atau muqim, sampai ia menyelisihi setiap kelompok dengan ajaran yang masyhur darinya, dan itulah yang dipahami dari perkataan salaf. Adapun ucapan: “Wahai kafir,” dan ucapan: “Buktikan kepada kami sebuah dalil atasnya, meskipun dari tarikh atau yang lainnya,” ini adalah ungkapan yang tidak dikatakan oleh seorangpun, dan kami tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan disyaratkannya hal itu, karena itu tergolong hal yang tidak ada maslahat di dalamnya, termasuk seandainya ia mengajak orang lain kepada dien ini.
Karena sesungguhnya Allah berkata kepada Musa dan Harun, tentang orang yang mengaku sebagai tuhan:
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (٤٤)
“Maka berbicarah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut,” (Thahaa: 44)
Akan tetapi cukup darinya dengan menampakkan tauhid, mengingkari syirik, dan baraa’ah dari mereka, serta terang-terangan terhadap mereka dengan hal itu, wallahu a’lam. Kita mesti kembali kepada pembahasan yang dituntut oleh keadaan, saya akan mengetengahkan sebagian ungkapan-ungkapan para imam dakwah ini, dengannya saya mengakhiri jawaban ini, meskipun saya telah menyebutkan sedikit darinya dalam uraian yang lalu, dan pengulangan itu terkadang dirasakan enak, sebagaimana dikatakan:
Terus ulangilah perkataanmu hingga engkau membuatpendengar bosan, Dan sebenarnya siapa oranghya yang bosan dari bernafas.
Dan dalam jawaban-jawaban putera-putera Syaikh, tatkala mereka ditanya, apakah boleh atau tidak orang safar ke negeri orang-orang kafir, sedangkan syi’ar-syi’ar kekafiran nampak, dalam rangka berniaga?
Jawaban dari pertanyaan ini, adalah jawaban bagi hal yang sebelumnya, sama saja, dan tidak ada perbedaan dalam hal itu antara darul harbi dan darushshulhi. Setiap negeri di mana orang muslim tidak mampu menampakkan diennya di dalamnya, maka tidak boleh safar ke sana.
Penanya berkata juga: Apakah di bedakan antara jangka waktu yang pendek –seperti sebulan atau dua bulan– dengan jangka waktu yang lama?
Jawabannya: Tidak ada perbedaan antara waktu yang pendek dengan waktu yang lama, setiap negeri di mana orang muslim tidak mampu menampakkan diennya di dalamnyadan tidak mampuuntuk tidak loyalitas kepada kaum musyrikin, maka tidak boleh baginya bermuqim di sana, meskipun hanya satu hari, bila memang ia mampu untuk keluar darinya. Selesai.
Dan dalam jawaban-jawaban mereka lainnya: Apa pendapat antum tentang orang yang masuk dalam dien (tauhid) ini, ia mencintainya, ia juga mencintai orang yang masuk di dalamnya, serta ia membenci kemusyrikan? Sedangkan keluarganya terang-terangan memusuhi Islam, dan mereka memerangi ahlu tauhid, sedangkan ia beralasan bahwa meninggalkan negerinya itu terasa berat baginya, dan ia tidak meninggalkan mereka dengan alasan-alasan ini, maka apakah orang ini muslim atau kafir?
Jawabannya: Adapun orang yang mengetahui tauhid dan beriman kepadanya, ia mencintai tauhid dan mencintai ahlu tauhid, ia mengetahui syirik dan membencinya serta membenci pelakunya, akan tetapi penduduk negerinya berada di atas kekafiran dan kemusyrikan, dan ia tidak berhijrah, maka ini ada rincian di dalamnya. Bila ia mampu menampakkan dien (tauhidnya) di tengah-tengah mereka, baraa’ah dari mereka dan dari keyakinan dien mereka, dan ia menampakkan kepada mereka kekafiran mereka dan sikap permusuhannya terhadap mereka, serta mereka tidak memalingkan dia dari diennya karena alasan keluarga atau harta atau yang lainnya, maka orang seperti ini tidak dihukumi kafir, akan tetapi bila ia mampu hijrah tapi tidak hijrah, dan terus mati di tengah-tengah kaum musyrikin, maka kami mengkhawatirkan dia itu telah masuk dalam golongan orang-orang yang ada dalam ayat ini:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para Malaikat berkata: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),” (An Nisa: 97-98)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengudzur kecuali orang yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan, akan tetapi orang seperti itu sangatlah jarang pada masa sekarang, hingga akhir jawabannya.
Ini adalah jawaban Syaikh Husain (Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab) dan Syaikh Abdullah Ibnu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahumullah wa ‘afaa ‘anhum. Sungguh mereka telah memahami dari pemuthlakan nash-nash itu larangan dari hidup di tengah-tengah mereka secara muthlaq.
Dan kami mengatakan: Rukhsah bagi orang yang mampu menampakkan diennya dengan cara terang-terangan atau membedakan diri dari mereka yang diharapkan dengannya keislaman orang lain, sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepadamu dari salaf, akan tetapi rukhsah ini dibatasi dengan batasan aman dari fitnah, sedangkan engkau mengetahui benar bahwa mayoritas orang-orang yang safar pada masa sekarang tidak mengetahui apa yang diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berupa loyalitas kepada musuh-musuh-Nya Subhanahu Wa Ta’ala serta macam-macam loyalitas itu, dan tidak mengetahui apa yang membuat orang muslim menjadi kafir dan apa yang tidak membuat dia kafir, serta apa yang bisa menjaga diennya.
Bahkan justeru (gerak) loyalitas mereka terhadap kaum musyrikin lebih cepat daripada air ke tempat yang rendah. Mana orangnya yang mengetahui dalil-dalilnya dan menampakkannya kepada lawan bila ia diberi cobaan di sana? Justeru umumnya mereka itu –kecuali orang yang Allah kehendaki– terkena fitnah pada awal syubhat itu mendatangi dia. Ini adalah perkataan Aimmatud dakwah, dan siapa yang mengingkarinya, maka pada hakikatnya dia itu telah mengingkari mereka, meskipun ia pura-pura buta dari mereka dan justeru menjadikan pendapat itu sebagai pendapat orang yang sezaman dengan dia.
Dan bila saja Syaikh dan para pengikutnya hingga hari ini, mereka itu mengatakan sesuai dengan apa yang di tuntut oleh nash-nash yang telah kami ketengahkan, serta mereka loyalitas dan memusuhi di atas dasarnya, maka sekarang ia harus ditanya: Apakah mereka dalam apa yang mereka tetapkan itu berada pada manhaj yang lurus dan shiratul mustaqim atau mereka itu tergolong orang yang tidak mengetahui kandungan makna yang dimaksud, serta tidak mengetahui pokok-pokoknya serta bangunan-bangunannya? Hendaklah ia membuka penutup muka, dan hendaklah ia menjelaskan sisi kekeliruan dengan keterangan pemungkas.
Adapun banyak ngalor-ngidul dan pentalbisan, maka ini tidak kami butuhkan, dan kami tidak menerima sekedar penukilan yang ditempatkan bukan pada tempatnya, akan tetapi yang kami terima adalah bantahan yang sesuai dengan etika diskusi, di mana bantahan itu harus dengan yang setara dalam keshahihannya, atau dengan nash yang memastikan hukum yang tidak mengandung kemungkinan kecuali satu madlul saja, dan mana mungkin ia mendapatkan hal itu, karena seandainya kita berangkat mengikuti hal-hal yang masih muhtamal (banyak mengandung kemungkinan) dan basa-basi, serta kasus-kasus individu yang berkenaan dengan orang-orang tertentu atau zaman atau keadaan, maka di bumi ini tidak tersisa satu sunnahpun yang di amalkan.
Dan tidak ragu lagi bahwa pengadaan diskusi dalam pokok yang paling pokok ini, hanyalah diserahkan kepada ‘ulama Islam dan orang yang memiliki bashirah dan perhatian terhadap masalah ini. Dan hal seperi ini membuat orang yang menggeluti diskusi semacam ini mengalami penyakit gila dan birsaam, maka kenalilah wahai saudaraku kebenaran itu dengan dalilnya, dan tinggalkan berdebat di dalamnya, karena berdebat itu adalah pertanda keterhalangan dari kebaikan. Habrul Ummah radliyallahu ‘anhu berkata: Berdebat itu tidak bisa dipahami hikmahnya dan akibat negatifnya tidak bisa dirasa aman.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Hakikat ta’dhim terhadap perintah dan larangan adalah keduanya tidak boleh ditentang dengan pengambilan rukhshah yang semaunya, dan tidak bolah ditentang dengan sikap ekstrim yang berlebihan, serta keduanya tidak boleh dibawa kepada satu alasan yang melemahkan ketundukkan, karena sesungguhnya yang dimaksud adalah jalan yang lurus yang menghantarkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan Allah tidaklah memerintahkan suatu perintah, melainkan syaithan itu memiliki dua tarikan di dalamnya, bisa jadi dengan taqshiir dan tafriith (penyepelean) dan bisa jadi dengan ifraath dan ghuluww (berlebihan), kemudian syaithan itu tidak peduli dari hamba ini mana yang ia dapatkan dari dua tipu daya itu. Selesai. Dan alangkah dekatnya kedua tipu daya itu, maka siapa orangnya yang syaithan telah menguasainya, dia loyalitas kepadanya, serta mencari ilmu karena selain Allah, dan hal yang keadaannya seperti itu, maka inilah akibatnya.
Faqihuz Zaman Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain memiliki perkataan yang selaras bila disebutkan dalam bahasan ini dalam risalah beliau kepada Alu Sulaim, beliau berkata: Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengabarkan tentang orang-orang Yahudi bahwa mereka itu suka merubah perkataan dari yang semestinya, yaitu mereka menta’wil kitabullah kepada selain apa yang Allah maksud, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (٧٥)
“Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” (Al Baqarah: 75)
Dan Allah mengabarkan tentang mereka juga bahwa mereka itu:
يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
“percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (An Nisa: 51)
Dan pasti ada di tengah-tengah umat ini orang yang mengikuti mereka dalam apa yang Allah cela mereka dengan sebabnya. Orang bila telah mengetahui kebenaran dan lawannya, maka ia tidak akan peduli dengan penyelisihan orang yang menyelisihi, siapa saja orangnya, di hatinya tidak menjadi besar penyelisihan orang ‘alim, tidak juga orang ahli ibadah. Dan yang paling saya takutkan adalah orang yang melihat banyak hal (mungkar) yang tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.
Kemudian beliau menyebutkan kamusyrikan, dan beliau menyebutkan cobaan yang dialami Syaikul Islam dari ‘ulama-‘ulama yang sezaman dengannya. Beliau berkata: “Dan mayoritas manusia pada hari ini -terutama para penuntut ilmu- samar atas mereka kemusyrikan ini.” Selesai dari risalahnya yang masyhur.
Faedahnya adalah: Mengetahui bahwa iman ini memiliki andil yang sangat besar dalam mengetahui ushulud dien dan cabang-cabangnya, semangat imaniyyah karena Allah dan Rasul-Nya, serta firasatnya yang selalu benar dalam hal pembengkokan cabang dien ini dan kelayuannya.
Ini adalah akhir apa yang kami utarakan sebagai tambahan atas jawaban pertanyaan. Yang mendorong saya melakukannya adalah nasihat bagi kaum muslimin dan rasa kasihan terhadap ahlud dien ini saat keterasingan Islam (tauhid) ini sangat dahsyat, dan orang yang mengaku berilmu justeru berpaling dari apa yang menjadi kewajibannya, serta justeru ia cenderung kepada apa ygn digandrungi orang awam. Saya lakukan ini seraya saya ungkapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ‘ulama al a’lam:
Engkau persembahkan kepada Allah amalan yang telah saya lakukan, Tidak ada masalah bagimu dengan mereka,Apakah mereka mencelamu atau mereka memujimu
Dan saya memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar Dia meneguhkan kita di atas dien yang lurus dan shiratul mustaqim, dan Dia tidak menyesatkan hati-hati kami setelah Dia memberikan hidayah kepada kami. Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Alamiin, semoga shalawat Allah limpahkan kepada utusan paling mulia, Muhammad, keluarganya serta para shahabat seluruhnya.
  1. Pujian Para ‘Ulama Terhadap Tulisan Syaikh Ishaq
Segala puji hanya milik Allah yang menggugurkan tipu daya orang-orang yang melakukan tipu daya, Dia yang menegakkan hujjah atas para thaghut dan para pembangkang, Dia yang memberikan apa yang dikehendaki-Nyaorang yang Dia kehendaki, berupa pambelaan akan al haq dan dien ini, sebagai bentuk realisasi nyata apa yang dikabarkan oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda: “Ilmu ini dibawa oleh orang yang adil dari setiap generasi, mereka menafikan darinya pengubahan orang-orang yang berlebih-lebihan, dan pengkaburan orang-orang yang berupaya menggugurkan, serta penta’wilan orang-orang yang jahil,”
Inilah, dan apa yang ditulis serta diimlakan oleh Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman dalam lembaran-lembaran ini adalah kebenaran dalam masalah-masalah yang penting ini, yang mana dhahir luar orang yang mengutarakan pertanyaan adalah seperti orang yang mencari kebenaran, sedangkan hakikatnya adalah penentangan, debat, jidaal dan pembangkangan. Maka beliau mengutarakan jawaban dengan penuh faedah dan sangat baik  dalam menetapkan kebenaran serta dalam menafikan apa yang menjadi kebalikannya yang dilontarkan oleh orang-orang dungu dan bodoh itu, yang mana hakikat tujuan mereka itu adalah pengkaburan dan pentalbisan terhadap orang-orang awam dan orang-orang bodoh, sehingga mereka itu mendapatkan bagian dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (١١٥)
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa: 115)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya,” (Ali Imran: 7)
Dan dalam hadits shahih dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bila kalian melihat orang yang mengikuti mutasyabih, maka mereka itu adalah orang-orang yang telah Allah sebutkan, maka hati-hatilah dari mereka,”
Maka kami memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar Dia memberikan petunjuk kepada kami dan para ikhwan terhadap jalan-Nya yang lurus, dan menjauhkan diri kami dan mereka dari jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Dia-lah yang mencukupi kami dan Dia-lah sebaik-baiknya penolong.
Dan di antara yang memberikan pujian terhadap tulisan ini adalah imam zamannya Asy Syaikh Al ‘Alim Al ‘Allamah Abdullah Ibnu Abdillathif, Asy Syaikh Al ‘Allamah Hasan Ibnu Husain, Syaikh Abdul ‘Aziz Ibnu Muhammad, Syaikh Muhammad Ibnu Mahmuud, Syaikh Ibrahim Ibnu Abdil Malik dan Syaikh Sa’ad Ibnu ‘Atiq semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada mereka, serta memaafkan kita dan mereka dengan karunia dan kemuliaan-Nya, sesungguhnya Dia adalah Maha Dekat lagi Maha Mengijabah.
Risalah ini berikut pujiannya ada dalam Kitab Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah 12/393-460. Cetakan III tahun 1417 H/1997 M.
Diambil dari:

Kumpulan Risalah Ulama Dakwah Tauhid Nejed

Risalah Tentang Makna Idhharuddin (Bag. 2)

Kemudian Allah menegaskan: Bahwa hal itu adalah ucapan dengan lisan yang disertai permusuhan dan kebencian, berbeda dengan orang yang mengatakan: “Saya membenci mereka dengan hati, dan saya berlepas diri dari yang menyembah dan dari yang disembah seluruhnya.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mendahulukan baraa’ah dari yang menyembah, sebagai bentuk celaan akan keburukan perbuatannya, kemudian Dia mengulangnya dengan lafadh lain yang lebih luas dari baraa’ah, yaitu ungkapan-Nya: “…kami ingkari (kekafiranmu)…” yaitu kami ingkari kalian dan kami ingkari apa yang kalian lakukan. Dan Dia membongkar syubhat dengan ungkapan-Nya: “…dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian…”

Sedangkan makna: “…telah nyata…” adalah telah nampak, dan Dia menyertakan antara permusuhan dan kebencian sebagai isyarat terhadap mubaa’adah (sikap saling menjauhi) dan mufaaraqah (saling meninggalkan) dengan bathin dan dhahir secara bersamaan. Dan Dia menguatkan permusuhan dan menegaskannya dengan firman-Nya: “…selama-lamanya…” seraya mengungkapkannya dengan dharaf zamaniy mustaqbal mustamir (kata yang menunjukkan waktu mendatang yang terus-menerus berlangsung) hingga satu tujuan akhir yaitu al iman. Dan Dia menggunakan hatta al ghaa’iyyah (kata sampai) yang menunjukkan perbedaan antara yang sebelumnya dengan yang sesudahnya, sehingga maknanya adalah: Bila kalian tidak beriman maka permusuhan itu masih terus berlangsung.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (١) لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (٢) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٣) وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (٤) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٥) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (٦)
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Al Kafirun: 1-6)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya untuk meng-khithabi mereka: Bahwa mereka itu adalah orang-orang kafir, dan mengabarkan mereka bahwa ia tidak menyembah apa yang mereka sembah, yaitu bahwa ia baraa’ dari agama mereka, dan mengabarkan mereka bahwa mereka itu tidak menyembah apa yang ia sembah, yaitu bahwa mereka itu baraa’ dari tauhid.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي فَلا أَعْبُدُ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ أَعْبُدُ اللَّهَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (١٠٤) وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا وَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٥)
“Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan aku telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman, dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yunus: 104-105)
Dan ayat-ayat yang menjelaskan tentang dakwah ilallah, meninggalkan orang-orang musyrik, menjauhi mereka, menjihadi mereka dengan hujjah dan lisan serta dengan pedang dan tombak adalah sangatlah banyak sekali. Dan keadaan yang agung ini, bagi jiwa terdapat perselisihan dan bagi syaithan terdapat kesempatan, sehingga telah keliru di dalamnya mayoritas manusia, dan bahkan masalahnya pernah tersamarkan terhadap orang sekaliber Al ‘Abbas.
Tadaburilah Al Quran bila engkau menginginkan petunjuk
Karena orang alim berada setelah mentadaburi Al Quran
Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tatkala menjelaskan firman-Nya:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (٢٦) إِلا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (٢٧)
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. (Az Zukhruf 26-27).
Beliau berkata: “Loyalitas karena Allah ini dan permusuhan yang merupakan makna syahadat Laa ilaaha illallaah adalah kekal di keturunannya, yang selalu diwariskan oleh para nabi dan para pengikutnya sampai hari kiamat”. Selesai ucapannya secara ringkas.
Dan itu adalah tergolong penafsiran sesuatu dengan konsekuensinya. Mu’aadaah(saling memusuhi) dan muwaalaah(saling loyalitas) adalah tergolong bentuk mufaa’alah (perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak yang berlawanan) yang menunjukkan adanya musyaarakah, seperti mubaa’ya’ah (jual beli), muqaatalah (perang), dan mu’aahadah (perjanjian). Yang maknanya adalah: Bahwa masing-masing dari kedua pihak itu menampakkan permusuhan kepada lawannya dan sama-sama dalam permusuhan, karena keterlibatan dua pihak adalah intinya, sebagaimana yang diketahui oleh para ulama sharaf (ilmu pembentukan kata). Orang yang menentang kandungan hukum ini tidak memiliki satu dalilpun yang bisa digunakan menolak ayat-ayat muhkamat serta makna-makna yang pasti lagi jelas ini, kecuali klaim kekhususan, dan mana mungkin dia bisa mendapatkan hal itu?!
Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar”. (Ali Imran: 110).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (١٦٥)
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik”. (Al A’raf: 165).
Dan di dalam hadits shahih: “Akan senantiasa dari umatku ini ada sekelompok orang yang selalu menang, orang-orang yang mengecewakan dan menyelisihi mereka tidaklah membahayakan mereka hingga hari kiamat”.
Ja’far dan para sahabatnya telah hijrah ke Habasyahh, dan itu dinamakan sebagai hijrah perpindahan dari darul khauf (negeri yang penuh ketakutan). Mereka sabar atas keterasingan di negeri orang dan sabar meninggalkan tanah air dan bertetangga dengan segala yang berbeda dengan tabi’at mereka, dan itu semua tidak lain adalah untuk merealisasikan baraa’ah ini dan untuk terang-terangan menampakkan apa yang mereka pegang.
Dan tatkala Quraisy berkata kepada Ibnu Ad Dughnah setelah ia mengembalikan Abu Bakar ke Mekkah dan pemberian jaminan keamanan baginya: “Perintahkan dia (Abu Bakar) agar menyembah Tuhan-Nya di dalam rumahnya dan tidak melakukannya secara terang-terangan, karena kami khawatir dia membuat para wanita dan anak-anak kami terkena fitnah”. Akan tetapi Abu Bakar menolak kecuali terang-terangan dalam membaca Al Quran, dan beliau mengembalikan jaminan Ibnu Ad Dugnah, serta beliau mencukupkan diri dengan jaminan Allah, dan beliau terus dalam keadaan seperti itu sampai beliau hijrah. Dan kisahnya sangatlah masyhur dan dijabarkan secara lebar dalam kitab-kitab Islam.
Orang yang keadaannya seperti ini, seraya ia dakwah ilallaah, melarang dari yang mungkar, atau terang-terangan menampakkan ajaran dien yang ia pegang, di mana keberadaannya di tengah-tengah mereka diharapkan membuat yang lain mendapat hidayah, maka menetapnya itu –sedang keadaannya seperti ini– adalah boleh. Al Mawardiy mengatakan bahwa itu lebih utama baginya, akan tetapi pendapatnya ini dikritik banyak ulama, sehingga Asy Syaukani berkata tatkala menyebutkan pendapatnya itu: “Dan tidak samar lagi bahwa pendapat ini menyelisihi hadits-hadits yang ada. Dan akan ada tambahan penjelasan tentangnya dalam jawaban terhadap bantahan yang muncul, insyaa Allah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Al badaai’ saat menjelaskan firman-Nya:
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (٢٨)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[1] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”. (Ali Imran: 28).
Dan sudah sudah diketahui bahwa memelihara diri itu bukanlah dengan cara muwaalaah (loyalitas), akan tetapi tatkala Allah melarang mereka dari muwaalaah kepada orang-orang kafir, maka hal itu menuntut memusuhi mereka dan baraa’ah darinya serta terang-terangan melakukan permusuhannya terhadap mereka dalam setiap keadaan, kecuali bila takut akan kejahatan mereka, maka Allah membolehkan taqiyyah bagi mereka, sedangkan taqiyyah itu bukanlah muwaalaah terhadap mereka. Jadi itu adalah mengeluarkan dari apa yang diduga yang tidak dimaksud. Selesai ucapan beliau.
Lihatlah ucapan beliau: “Dan baraa’ah darinya serta terang-terangan melakukan permusuhannnya terhadap mereka dalam setiap keadaan. Jadi istitsnaa di sini adalah munqathi’ (terputus), dan atas dasar ini berarti taqiyyah itu bukanlah tergolong dari kecenderungan, sehingga tidak ada hujjah di dalamnya bagi si orang yang terkena fitnah itu, bahkan justru itu adalah kebolehan yang sementara yang tidak terjadi kecuali saat takut dibunuh, sebagaimana yang telah dikatakan oleh mayoritas ahli tafsir. Dan dari Sa’id Ibnu Jubair: Taqiyyah itu tidak terjadi saat situasi damai, taqiyyah hanyalah dalam peperangan.[2]
Al ‘Allamah Ibnu Qudamah, Ibnu Abu Umar dan yang lainnya seperti Al Hafidh serta yang lainnya, mereka membangun hukum bolehnya menetap (di tengah orang-orang musyrik) di atas dua muqaddimah:
  • Idhharud dien (menampakkan dien ini).
  • Dan menunaikan kewajibannya.
Sedangkan suatu hukum bila digantungkan pada dua sifat, maka hukum itu tidak bisa tegak tanpa keduanya, terutama bila huruf penyambungnya diulang dan bentuk ungkapannya diulang, sedangkan di sini huruf penyambung dan bentuk ungkapan kedua-duanya telah diulang, di mana mereka mengatakan: Dan tidak mungkin bagi dia untuk idhharud dien, dan tidak mungkin baginya untuk menegakkan kewajiban-kewajiban diennya. Dan ini menunjukkan bahwa masing-masing dari ungkapan itu memiliki makna yang berbeda dengan makna yang lainnya.
Seandainya idhharud dien adalah menunaikan kewajiban-kewajiban badaniyyah saja –sebagaimana yang difahami oleh orang yang membolehkan itu– tentulah hal itu tidak sesuai dengan muqtadal hal (tuntutan keadaan), dan mana mungkin para imam memaksudkan hal itu. Jadi pemahaman itu adalah rusak dan hasilnyapun adalah kerugian. Ya, seandainya kita menerima bahwa idhharud dien adalah menunaikan kewajiban-kewajiban, maka sesungguhnya kewajiban yang paling wajib adalah tauhid dan apa yang dikandungnya, sedangkan tauhid itu lebih wajib dari pada shalat dan ibadah lainnya, dan itulah hal yang masih senantiasa menjadi sumber permusuhan. Dan ungkapan ini bisa di artikan kepadanya.
Menampakkan tauhid adalah terang-terangan dalam menyelisihi keyakinan (yang ada), dan menjauhi apa yang bertentangan dengannya. Tinggalkan dakwah, karena itu adalah masalah lain di belakang hal ini. Dan seandainya hukum itu menyendiri dengan apa yang diklaim oleh orang-orang yang membolehkan itu –semoga Allah memberikan hidayah– yaitu bahwa alasannya boleh muqim adalah tidak adanya larangan dari melaksanakan shalat, maka tentulah nash-nash syari’at itu menjadi tidak berfaedah, karena tidak ada seorangpun yang dilarang dari melaksanakan ibadah-ibadah khusus di mayoritas negeri-negeri yang ada, sehingga bathillah apa yang diklaim oleh orang itu dan gugurlah apa yang di fahami itu.
Syaikhkami Abdullathif rahimahullah berkata dalam sebagian risalah-risalahnya: Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam materi-materi yang beliau kutip dari sirah (maksudnya adalah risalah Syarah Sittatil Mawaadli’ Minas Sirah, ada dalam Majmu’atut Tauhid, pent): Karena sesungguhnya keislaman seseorang tidak bisa berdiri tegak –meskipun dia mentauhidkan Allah dan meninggalkna syirik– kecuali dengan memusuhi orang-orang musyrik dan tashriih (tegas-tegasan) terhadap mereka dengan permusuhan dan kebencian.
Beliau (Syaikh Abdullathif) berkata: Lihatlah akan penegasan Syaikh (Muhammad), bahwa Islam itu tidak bisa berdiri tegak kecuali dengan tegas-tegasan terhadap mereka dengan permusuhan dan kebencian, sedangkan mana tashriih (tegas-tegasan) tersebut dari para musafir itu?! Dan dalil-dalil yang menjadi landasan Syaikh dari Al Kitab dan As Sunnah adalah sangat nampak lagi mutawatir. Dan perkataan ini selaras dengan perkataan para ‘ulama muta’akhkhirin dalam hal bolehnya safar (ke negeri kaum musyrikin) bagi orang yang menampakkan diennya, akan tetapi yang menjadi inti permasalahan adalah tentang idhharud dien itu. Bukankah permusuhan yang sangat dahsyat antara Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Quraisy itu adalah karena beliau menghadapi mereka dengan cara mencela dien mereka, menjelek-jelekkan pemikiran mereka serta hinaan terhadap tuhan-tuhan mereka?[3]
Siapa saja orangnya yang safar menuju mereka dan bergabung dengannya, maka apakah terbukti darinya atau dikabarkan berita tentangnya bahwa ia bisa melakukan kewajiban ini?! Justeru yang ma’ruf lagi mashyur dari mereka adalah meninggalkan itu semua, berpaling darinya serta menggunakan taqiyyah dan mudaahanah (basa-basi), sedangkan bukti akan hal itu adalah sangatlah banyak, hingga beliau mengatakan: Sampai-sampai banyak ‘ulama menyebutkan haramnya mendatangi negeri yang di dalamnya nampak aqidah-aqidah ahli bid’ah, seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Rafidlah, kecuali bagi orang yang telah mengetahui benar diennya dalam masalah-masalah ini, dan mengetahui dalil-dalilnya serta menampakkannya di hadapan lawan. Selesai ucapannya.
Lihatlah ucapan beliau: “Bahwa Islam itu tidak bisa berdiri tegak kecuali dengan tegas-tegasan terhadap mereka dengan permusuhan”, artinya bahwa Islamnya kurang dan pelakunya dihadapkan pada ancaman. Dan lihat ucapannya: “dan dalil-dalil yang menjadi landasan Syaikh dari Al Kitab dan As Sunnah adalah sangat nampak lagi mutawatir”, yaitu atas wajibnya tashriih, karena kalau bukan demikian maka sesungguhnya ‘adaawah (permusuhan) itu pasti dimiliki oleh orang yang beriman kpeada Allah dan Rasul-Nya. Jadi ada perbedaan antara ‘adaawah (permusuhan) dengan idhharul ‘adaawah (menampakkan permusuhan). Dan dari sinilah telah keliru orang yang sangat tebal penghalang tabi’atnya, sehingga dia tidak mengetahui mahfum dari ungkapan dan maksud bahasanya.
Ungkapan Syaikh (Muhammad) ini adalah sama dengan penegasan ulama salaf dahulu dan sekarang, sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepada engkau dari ucapan Sa’id Ibnu Jubair, ‘Athaa, Mujahid dan orang-orang sesudah mereka. Dan telah lewat secara tegas dalam ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah dan yang lainnya. Dan dalam kisah Khalid bersama Muja’ah tatkala Khalid menawannya terdapat dalil yang sangat jelas, di mana Muja’ah berkata kepada Khalid: “Sungguh saya sejak dahulu telah masuk Islam dan membai’at Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan sekarang saya masih tetap di atas apa yang saya yakini, jika memang di (Musailamah) itu adalah kadzdzaab (pendusta) yang keluar di tengah-tengah kami, maka sesungguhnya Allah mengatakan:“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”, (Al An’am: 164). Dan Khalid berkata kepadanya: “Kamu hari ini telah meninggalkan apa yang kamu yakini sebelumnya, dan sikap diam kamu ini adalah sebagai bentuk pengakuan terhadapnya (Musailamah), maka kamu tidak menampakkan alasan dan ikut berbicara bersama orang-orang yang berbicara? Sungguh telah berbicara si Fulan dan si Fulan, kemudian bila kamu berkata: “Saya takut kepada kaum saya”, maka kenapa kamu tidak cepat bergabung menuju saya atau mengutus utusan kepada saya”, sehingga Khalid mengalahkan hujjahnya, terus dia meminta dimaafkan, maka Khalid pun memaafkannya sehingga tidak dibunuh. Dan kisah ini sangatlah mashyur.
Al Imam Al Hafidh Abu Bakar Al Baihaqiy berkata dalam Syu’abul Iman, bunyi teks ucapannya: “Maka yang nampak darinya, yaitu dari hijrah adalah melarikan diri (dengan badan) dari fitnah, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Saya berlepas diri dari pemeluk dua agama yang api keduanya saling nampak”,Nabi shallallaahu alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka, karena tidak adanya cabang hijrah dari mereka, di mana ia adalah di antara cabang keimanan yang paling besar.
Dan berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau menyebutkan berbagai fitnah: “Bagi orang yang beragama tidak mungkin selamat agamanya kecuali orang yang lari dari lereng gunung ke lereng gunung”.
Dan berdasarkan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)”. Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu bisa hijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki maupun wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)”. (An Nisaa: 97-98).
Dan dalam Al Bukhari: Dan lari dari fitnah adalah termasuk iman. Sedangkan hal yang tergolong keimanan, maka sudah dipastikan ia itu tergolong cabang-cabangnya tanpa diragukan lagi. Sehingga lari dari tengah-tengah kaum musyrikin adalah jelas wajib atas setiap muslim, dan begitu juga dari setiap tempat yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah dalam dien ini seperti karena sebab nampaknya bid’ah atau hal yang menggiring kepada kekafiran di negeri mana saja dari negeri-negeri kaum muslimin. Maka hijrah darinya adalah wajib ke negeri Allah yang sangat luas.
Dan perkataan Abu Abdillah Al Halimiy dalam hal ini adalah sangatlah jelas, di mana beliau mengatakan: dan setiap negeri yang nampak kerusakan di dalamnya, dan tangan-tangan para perusak lebih dominan daripada tangan-tangan para pembawa perbaikan, kejahilan merajalela, hawa nafsu (bi’dah) didengar di tengah-tengah mereka, serta mereka secara terpaksa menyembunyikan al haq karena takut akan keselamatan jiwanya bila menampakkannya, maka ia itu seperti kota Mekkah sebelum penaklukannya dalam hal wajibnya hijrah darinya, karena tidak adanya kemampuan untuk terang-terangan. Dan siap orangnya yang tidak hijrah maka ia tergolong orang-orang yang sangat dermawan dengan agamanya.
Dan belaiu berkata: Dan termasuk pelit dengan dien (maksudnya bersikukuh mempertahankannya) adalah orang muslim hijrah dari satu tempat yang tidak memungkinkan baginya untuk memenuhi hak-hak diennya ke tempat yang memungkinkan baginya untuk itu. Bila dia muqim di daarul jahaalah (negeri yang penuh dengan penyimpangan) dalam keadaan hina lagi tertindas padahal memungkinkan baginya untuk pindah darinya, maka ia telah meninggalkan hal yang fardlu menurut perkataan banyak ‘ulama, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)”. Para Malaikat berkata: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu bisa hijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki maupun wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)”. (An Nisaa: 97-98).
Tidak boleh dikatakan bahwa di dalam ayat tersebut tidak ada penegasan akan penyebutan orang-orang yang beriman, sehingga bisa saja yang dimaksud dengannya adalah orang-orang kafir, karena kami mengatakan: Penyebutan ampunan bagi orang yang dikecualikan adalah membantah hal itu, sebab sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang-orang kafir meskipun dia itu ber’azzam untuk beriman selama ia belum beriman. Selesai ucapannya.
Dan ia adalah tegas dalam penjelasan apa yang dimaksud, sehingga dengan ini semuanya bisalah engkau mengetahui bahwa sebagian ‘ulama yang mengungkapkan dengan ungkapan aman fitnah, atau mampu menunaikan kewajiban, atau pengungkapan dengan kata ibadah, maka perkataannya itu masihlah global yang harus dikembalikan kepada ungkapan yang jelas lagi tampak yang telah dikatakan oleh salafush shalih dari kalangan salaf umat ini dan para imamnya, yang di antaranya telah kami sebutkan mereka–mereka itu dan yang lainnya.
Penulis kitab Al Mu’tamad –sedang ia adalah tergolong tokoh terkemuka mahdzab syafi’i– menyebutkan bahwa hijrah itu sebagaimana wajib dari darusy syirki, maka wajib pula dari negeri Islam yang mana ia menampakkan kebenaran (dien maksudnya) di dalamnya, akan tetapi kebenaran itu tidak diterima darinya, dan ia tidak mampu untuk menampakkannya. Dan pernyataan ini selaras dengan perkataan Al Baghawiy yang telah kami ketengahkan: Dan wajib atas setiap orang yang berada di negeri yang mana kemaksiatan dilakukan dan ia tidak memiliki kemampuan untuk merubahnya, (wajib atasnya) hijrah ketempat yang memberikan keleluasaan untuk beribadah. Ini dinukil dari keduanya oleh Ibnu Hajar dalam Syarhul Minhaj.
Dan ini dikatakan pula oleh banyak pensyarah, di antaranya: Al Adzra’iy dan Az Zarkasyi, dan mereka mengakuinya, serta dari kalangan muta’akhkhirin adalah Al Balqiniy. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ia menegaskan hal itu, dan dengan mensyaratkan: Bahwa ia itu mampu pindah ke negeri yang selamat dari hal-hal itu. Jadi idhharud dien adalah apa yang ditegaskan oleh para ‘ulama itu, dan ungkapan mereka itu tidak berbeda di dalamnya. Dan pernyataan bahwa syari’at ini menetapkan ancaman atas sekedar hidup di tengah-tengah mereka dan bergumul dengannya, adalah pernyataan yang ditunjukkan oleh dhahir dalil itu, dan hal ini telah dikatakan oleh ahlul ilmi. Sedangkan pernyataan bahwa idhharud dien itu membolehkan iqamah, adalah rukhsah, dan termasuk jinayat (tindakan aniaya) terhadap syari’at adalah menafsirkan rukhsah ini dengan tafsiran yang selaras dengan pendapat dan hawa nafsu, kemudian penafsiran itu dijadikan sebagai benteng untuk menghadang nash-nash yang jelas lagi terang. Dan adapun kalangan muta’akhkhirin ‘ulama mahdzab Hanbali, maka ungkapan mereka dalam hal ini adalah lebih jelas dari api di atas gunung.
Dikatakan dalam kitab Al Iqnaa’ dan syarahnya: Dan hijrah wajib atas orang yang tidak mampu menampakkan diennya di darul harbi, sedang darul harbi adalah negeri yang mana hukum kafir adalah yang dominan di dalamnya. Sebagian ‘ulama menambahkan dan di pastikan dalam kitab Al Muntaha: Atau negeri para pemberontak, atau bid’ah yang menyesatkan, seperi Rafidlah dan Khawarij, maka ia wajib keluar dari negeri itu ke negeri ahlus sunnah bila memang ia tidak mampu menampakkan madzhab ahlus sunnah di dalamnya.
Maka diketahuilah: Bahwa idhharud dien dalam ungkapan Al Muwaffaq (Ibnu Qudamah) dan ‘ulama mahdzab Hanbali sebelum beliau dan yang sesudahnya adalah menampakkan tauhid yang mana ia adalah mengesakan Allah dengan ibadah di negeri yang mana tauhid samar di dalamnya, akan tetapi (pada masa sekarang) justeru kebalikan tauhid dijadikan sebagai pegangan (dien), dan siapa yang membicarakannya maka ia divonis Wahabiy Khawarij pembawa mahdzab kelima yang mengkafirkan umat.
Al ‘Allamah Asy Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata: Dan adapun masalah idhharud dien, maka banyak orang telah mengira bahwa bila mampu mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat dan tidak dilarang datang ke Mesjid, maka ia telah menampakkan diennya, meskipun ia berada di negeri kaum musyrikin. Dan sungguh ia (orang yang berpendapat seperti itu) telah keliru dalam hal ini dengan kekeliruan yang paling buruk.
Beliau berkata: Orang muslim tidak dikatakan menampakkan diennya sampai ia menyelisihi setiap kelompok dengan keyakinan yang mahsyur dari mereka, serta tegas-tegasan memusuhi kelompok itu. Siapa yang kekafirannya karena sebab syirik, maka idhharud dien terhadapnya adalah dengan terang-terangan menampakkan tauhid dan melarang kemusyrikan itu serta menghati-hatikan darinya.[4] Siapa orang yang kekafirannya karena sebab mengingkari risalah, maka idhharud dien terhadapnya adalah terang-terangan menyatakan di sisinya bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Dan siapa orang yang kekafirannya karena meninggalkan shalat, maka idhharud dien terhadapnya adalah dengan melakukan shalat.
Siapa yang kekafirannya karena sebab loyalitas kepada kaum musyrikin serta taat tunduk kepada mereka, maka idhharud dien dalam hal ini adalah terang-terangan memusuhinya dan baraa’ah darinya dan dari kaum musyrikin itu…. hingga akhir ucapannya rahimahullah. Dan hal ini telah engkau dapatkan secara tegas dalam perkataan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam Syarah Sittati Mawaadli Minas Sirah, serta hal itu dinamakan oleh Al ‘Allamah Abdullathif sebagai kewajiban, beliau berkata di dalamnya: “Dan laki-laki mana yang dinukil darinya sesuatu yang di bawah kewajiban ini?!
Wal hasil adalah apa yang telah kami ketengahkan, yaitu bahwa idhharud dien yang bisa melepaskan tanggungan adalah membedakan diri dari para penyembah berhala dengan cara menampakkan keyakinan, tegas-tegasan menyatakan apa yang dia yakini, menjauhi kemusyrikan itu serta sarana-sarananya. Maka orang yang keadaannya seperti ini bila dia mengetahui dien ini dengan dalilnya dan aman dari fitnah, maka boleh baginya iqamah (menetap di negeri kaum musyrikin). Wallahu a’lam.
Masih ada satu masalah, yaitu orang yang tidak mampu hijrah: “Apa yang harus dia perbuat? Ayahanda (Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan) rahimahullah berkata tatkala ditanya tentang: Dan adapun jika sang muwahhid berada di tengah-tengah kaum ahli bid’ah dan kaum musyrikin dan ia tidak mampu hijrah, maka dia wajib bertakwa kepada Allah dan meninggalkan mereka semampunya, dan mengamalkan apa yang menjadi kewajibannya secara sendirian dan bersama orang yang sepaham dengannya. Dan mereka wajib bersabar atas tindakan aniaya orang yang menindas mereka karena sebab diennya itu, dan orang yang mampu untuk hijrah maka hijrah itu wajib atasnya. Wa Billahittaufiq. Selesai jawabannya. Dan dengan jawaban ini selesailah jawaban atas pertanyaan itu, wa billahittaufiq.
Dan adapun pertanyaan ketiga, yaitu masalah safar ke negeri kaum musyrikin, maka itu adalah cabang dari masalah yang lalu. Sehingga orang yang mengharamkan muqim di tengah-tengah mereka kecuali dengan syarat-syaratnya, maka ia mengharamkan safar itu, akan tetapi itu tidak seperti orang yang muqim di tengah-tengah kamu musyrikin, yang mana ia menyaksikan apa yang mereka lakukan berupa kekafiran yang nyata lagi jelas, berhukum dengan undang-undang (qawaniin), penolakan hukum syari’at dan kekafiran lainnya yang tidak terhitung, bahkan masing-masing memiliki tingkatan-tingkatan dari apa yang mereka lakukan. Dosa orang-orang yang safar lebih ringan dari dosa orang-orang yang muqim, dan dosa orang-orang yang sekedar muqim saja lebih ringan dari dosa orang-orang yang tawalliy kepada mereka dengan cinta kasih, pembelaan, dan ketaatan, yang mana hal itu menafikan keimanan dengan penegasan Al Qur’an.
Dikatakan dalam kitab Al Iqnaa’dan syarahnya, dan dimakruhkan: berniaga dan safar ke negeri musuh dan negeri-negeri kafir secara mutlaq, yaitu baik disertai ada rasa aman atau takut, dan juga ke negeri Khawarij, Rafidlah, pemberontak, dan bid’ah yang menyesatkan, karena sesungguhnya hijrah darinya adalah mustahab (dianjurkan/sunnah) bila ia mampu menampakkan diennya, dan bila ternyata ia tidak mampu menampakkan dien di dalamnya, maka haramlah safar ke negeri itu. Selesai.
Dalam uraian perkataan ulama yang lalu, engkau telah mengetahui makna idhharud dien. Dan dalam hal ini para ulama secara jelas telah menjadikan status hukum musafir sama dengan status hukum orang yang muqim, seraya ungkapan mereka itu selaras dengan pemahaman salaf dalam hal itu. Semoga Allah membalas kebaikan mereka atas upayanya membela Islam.
Syaikh Abdullathif berkata dalam sebagian risalahnya: “Dalam kebolehan safar ke negeri kaum musyrikin haruslah disyaratkan adanya status aman dari fitnah”. Bila dengan sebab idhharud dien itu ia merasa takut akan fitnah dengan berupa paksaan dan penganiayaan mereka, atau khawatir syubhat-syubhat yang dihiasi oleh mulut-mulut mereka, maka tidak diperbolehkan baginya datang kepada mereka, dan mempertaruhkan diennya.
Dan tatkala Ibnu Manshur membantah imam dakwah ini –semoga Allah mensucikan ruhnya– bahwa beliau melarang safar ke seluruh belahan negeri (milik) Islam, Syaikh Abdullathif rahimahullah berkata dalam jawabannya: “Pertama-tama ia dituntut untuk meluruskan hal ini, bila ternyata benar, maka dalam hal ini terdapat ungkapan-ungkapan salaf yang sangat terkenal dalam safar ke negeri yang nampak di dalamnya sebagian dari syi’ar-syi’ar kekafiran dan kefasikan bagi orang yang tidak mampu menampakkan diennya, dan bagi yang mampu juga, sebagaimana yang diketahui oleh para ulama dan ahli fiqih.
Salaf sungguh telah melarang safar ke negeri yang nampak hal-hal bid’ah di dalamnya bagi orang yang mengkhawatirkan fitnah, maka apa gerangan dengan negeri yang mana selain Allah diseru, selain Allah diminta pertolongan, serta tawakkal kepada tuhan-tuhan yang diseru selain-Nya? Sehingga apa salahnya Syaikh kami rahimahullah bila beliau menjaga batas, menutupi jalan serta memutus sarananya, terutama di zaman yang mana kejahilan merajalela, ilmu dicabut, masa telah jauh dari peninggalan-peninggalan kenabian, serta datang generasi-generasi yang tidak mengetahui Ashlul Islam dan bangunannya yang sangat agung.
Mayoritas mereka mengira: Bahwa Islam adalah tawassul dengan cara memohon kepada orang-orang shaleh (yang sudah meninggal), menghadapkan diri kepada mereka dalam suasana genting dan dalam mengadukan kebutuhan, dan bahwa siapa orang yang mengingkarinya, berarti ia telah membawa mahdzab kelima yang tidak di kenal sebelumnya. Bila keadaan seperti ini, maka apa yang mencegah ungkapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, dan dalil apa yang membolehkan safar itu secara mutlaq? Ini tidak dikatakan kecuali oleh orang yang jahil akan pokok syari’at dan madaarkul ahkaam. Selesai ucapannya.
Kami mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh imam ini: Bahwa tidak ada yang mengingkari orang yang mengingkari safar ini sedangkan keadaannya seperti ini kecuali orang yang jahil atau pengikut hawa nafsu, dan ia itu telah menjadi pewaris pemrotes ini (Utsman Ibnu Manshur) dalam hal penyimpangan-penyimpangannya, dan siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia itu tergolong barisan mereka.
Dan tatkala Al ‘Allamah Sulaiman Ibnu Abdillah ditanya tentang hukum safar ke negeri kaum musyrikin, beliau menjawab: Bahwa bila ia mampu menampakkan diennya –sedangkan makna menampakkan dien adalah seperti apa yang telah kami ketengahkan berkai-kali kepada engkau– dan ia tidak muwaalaah kepada orang-orang musyrik, maka safar itu boleh baginya, karena sebagian para shahabat radliyallahu ‘anhum seperti Abu Bakar dan yang lainnya pernah melakukan safar itu. Dan adapun bila ia tidak mampu menampakkan diennya dan tidak mampu untuk memusuhi mereka, maka safar itu tidak boleh baginya, dan hal itu telah ditegaskan oleh para ‘ulama, serta atas makna inilah hadits-hadits yang menunjukkan pelarangan ditafsirkan.
Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mewajibkan atas setiap insan untuk mengamalkan tauhid, dan Dia memfardlukan atasnya untuk memusuhi kaum musyrikin, oleh sebab itu apa yang bisa menjadi jalan dan penyebab untuk menggugurkan hal itu, maka itu dilarangnya. Dan safar itu bisa menjerumuskan kepada muwaalaah, keselarasan dan upaya untuk mencari ridla kaum musyrikin itu, sebagaimana hal itu adalah realita dari banyak orang yang safar (ke negeri kaum musyrikin) dari kalangan orang-orang muslim yang fasiq. Selesai ungkapannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidlaaush Shiraathil Mustaqiim: Sesungguhnya kesimpulan syari’at dari jalur-jalur dan sumber-sumbernya, menunjukkan bahwa apa yang pada umumnya menjerumuskan ke dalam kekafiran adalah diharamkan, dan sedangkan apa yang bisa menjerumuskan ke dalamnya secara samar, maka itu diharamkan. Selesai.
Maka tampaklah dihadapanmu dari ungkapaan para imam-imam itu apa yang cukup dan memuaskan, karena mereka adalah para imam Islam ini dan lentera-lentera dalam kegelapan, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil dien ini, dan janganlah kamu terpedaya dengan orang yang banyak digandrungi orang awam tanpa dasar pemahaman dan wara’, serta janganlah terpedaya dengan orang yang suka menambah-nambah terhadap apa yang telah Allah perintahkan dan Allah syari’atkan.
Dan bila apa yang telah kami ketengahkan ini telah jelas bagimu, maka jelaslah di hadapanmu kebodohan orang yang mengatakan: “Berikan kepada kami dalil meskipun dari sejarah, bahwa kami bila safar (harus) mengatakan: “Wahai orang-orang kafir”. Seandainya hijab dunia dan segala syahwatnya telah tersingkap dari dirinya, dan dia bertaqwa kepada Allah serta ghirah imaniyyah terhadap Allah dan Dien-Nya melekat di hatinya menggantikan kegelapannya, maka tentulah ia mengetahui bahwa Al Kitab, Assunnah, dan sharihul ‘Aqli ada bersama orang yang memerintahkan bersikap keras terhadap orang-orang musyrik dan memperingatkan orang-orang awam dari bahaya mereka, kecuali bagi orang yang memang sudah tidak memiliki sedikitpun rasa ghirah akan dien-nya, dan itu maasyaa’ Allahtelah sulit mencari orangnya, dan ia sudah menjadi bagaikan kibriit ahmar.
Dan tatkala keterasingan Islam telah semakin membesar, dan mayoritas orang yang merasa sebagai ahli fiqh berlindung kepada praduga-praduga, maka mereka membangun akad perdamaian (‘aqdul mushaalahah) antara ahlul Islam dan lawannya yang jahat (atas dasar itu). Oh, atas dasar apa mereka memusuhi kaum musyrikin? Dan apakah mereka telah pernah melakukan ribath meskipun sesaat dalam rangka membela dien ini? Demi Allah sungguh dien ini telah dirajut dengan benang-benang keterlupaan. Dan musuh-musuh Islam ini telah banyak menebar ucapan gila, serta Islam ini telah menjadi berita masa lalu saja bagi mayoritas orang.
Kami memohon perlindungan Allah dari kehinaan dan dari tipuan-tipuan syaitan. Saya sungguh tidak mengetahui siapa orangnya yang engkau nisbatkan hal ini kepadanya, dan saya tidak mengetahui apakah ia itu tergolong orang-orang pendengki, atau justru tergolong orang-orang yang tidak berpengetahuan?! Akan tetapi saya katakan: “Siapa orangnya yang bisa membantah apa yang telah ditetapkan oleh para ulama dien ini? Dan siapa yang Allah jadikan dakwahnya sebagai pelempar syaitan-syaitan dengan perkataan-perkataan yang terbuang lagi terhempas di padang pasir, jauuh… jauuh sekali. Dan ungkapan ini cukuplah bagi orang yang diberikan taufiq kepada sikap obyektif. Wa billahit taufiq dan Dia-lah yang memberikan petunjuk kepada jalan yang paling lurus.
Bila engkau mengatakan: “Engkau telah mengumbar isi pena dalam masalah ini dan telah panjang lebar membeberkannya, maka sekarang jawablah sanggahan ini, meskipun membawa kita keluar dari alur jawaban, karena sangat butuhnya untuk menyingkap hijab ini.
Saya katakan: “Jawaban sanggahan tersebut meskipun bisa diambil kesimpulannya dari uraian yang lalu bagi orang yang telah Allah jadikan cahaya baginya, ia (jawaban itu) adalah dari dua sisi, mujmal dan mufashshal”.
Adapun mujmal: Sesungguhnya seandainya orang yang membolehkan (muqim di negeri kaum musyrikin) memiliki nash dalam perselisihan ini, dan mana mungkin hal itu ia dapatkan, maka sungguh telah menjadi kaidah baku dalam ushul: Bahwa tidak mungkin ada ta’aarudl (kontradiksi) antara dua nash, tidak pula antara nash dengan dhahir, dan tidak pula antara mujmal dengan mufashshal, karena ta’aarudl antara dua nash adalah sangat mustahil, karena sunnah tidak mungkin kontradiksi dan berlawanan, bila nash itu memang shahih, karena bisa jadi nash itu shahih tapi tidak sharih, maka didahulukan nash yang tidak mengandung kecuali satu madlul, dan nash lain dibawa kepada makna itu.
Para imam ushul telah menegaskan: Bahwa dalil yang mengandung dua makna, sedangkan salah satunya adalah nampak, maka dilaalah-nya adalah dhanniyyah dan tidak bisa melawan nash yang memiliki satu makna secara ijma’, akan tetapi penggabungan dalil itulah yang dicari. Kemudian bila kedua-duanya memang memiliki makna satu secara timbal balik sedangkan tidak ada jalan untuk melakukan nasakh juga penggabungan, maka yang dilakukan adalah tawaquf hingga tampak pentarjihan atau ada qarinah-qarinah yang mengiringinya, seperti larangan umpamanya, maka sesungguhnya larangan didahulukan atas pembolehan, terutama bila ia menjadi lebih tampak dalam hal menutupi kerusakan, sebab sesungguhnya syari’at datang dengan membawa maslahat murni.
Kemudian sesungguhnya kasus-kasus pribadi (qadlaayaa ‘ainiyyah) adalah hanya terbatas kepada kejadian-kejadian itu saja, tidak bisa yang lain diqiyaskan kepadanya dan secara mutlak tidak bisa dijadikan untuk menghadang nash-nash menurut para ahli ushul. Kemudian bila yang menentang itu adalah setara, maka para ‘ulama telah menentukan kaidah baku bahwa yang setara itu adalah tertolak, maka apa gerangan halnya dengan yang tidak setara? Ar Rashafiy berkata dalam Adabul Bahts:
Bila ia setara, maka ia tertolak
Dan bila ia lebih khusus, maka ia tidak bermanfaat.
Dan semua apa yang kami sebutkan, berlaku dalam permasalahan kita saat dilakukan pengamatan dan rincian, maka orang yang membolehkan itu hendaklah memaparkan bidlaa’ah-nya (apa yang ia miliki) terhadap landasan pokok ini yang telah sama diterima oleh para imam naql. Dan bila ia tidak bisa lolos darinya maka janganlah ia itu mengklaim apa yang tidak dimilikinya, dan hendaklah ia itu belajar, kemudian silahkan berbicara.
Seharusnya ia itu menggabungkan antara nash-nash yang lalu dengan apa yang ia jadikan sebagai landasan, dan ia tidak melempar dalil yang sharih lagi shahih dengan sebab landasan-landasan yang sangat banyak mengandung kemungkinan itu. Seharusnya ia memberikan setiap hak kepada yang berhak akannya, dan tidak menafikan wajibnya hijrah dari setiap orang, sebagai bentuk mengambil sikap bersama larangan. Dan tidak mewajibkan hijrah kepada setiap orang, sebagai bentuk mengambil sikap bersama rukhshah dengan syarat-syaratnya. Sesungguhnya hal ini lebih baik daripada pemutlakannya yang berulang-ulang dalam ungkapan-ungkapannya, dan ini lebih baik akibatnya dan lebih ringan bahayanya.
Adapun jawaban rincinya:
Ucapannya tentang orang yang melarang (muqim di negeri kaum musyrikin): “Sesungguhnya dia berdalil dengan hadits-hadits yang umum, padahal di dalam hadits-hadits itu terdapat apa yang terdapat di dalamnya (maksudnya cacat, pent),” adalah ucapan yang gugur yang tidak bisa dijadikan sandaran, dan tidak pernah seorangpun sebelumnya dari kalangan orang-orang yang perkataannya dipertimbangkan dan dijadikan rujukan berpendapat seperti pendapatnya. Demi Allah seandainya penolakan dan penerimaan itu hanya berdasarkan hawa nafsu dan apa yang tidak sejalan dengan tujuannya, seraya dikatakan: “Ia adalah dalil-dalil umum dan hadits-hadits yang mana di dalamnya terdapat apa yang terdapat di dalamnya,” maka sesungguhnya lawan tidak susah dari mengatakan seperti ungkapan-ungkapan ini, sehingga tidak ada satu hujjahpun yang bisa tegak dengannya.
Dan bila penolakan itu bukan atas dasar hawa nafsu, akan tetapi atas dasar ilmu dan peninjauan akan syarat-syaratnya menurut pakarnya, maka haruslah adanya kesepakatan terlebih dahulu atas syarat-syarat itu, kemudian mengikutinya di mana syarat-syarat itu didapatkan. Maka kalau keadaannya demikian, maka saya katakan: tidak ragu lagi bahwa bersama orang yang melarang ini ada nash-nash qath’iy dan hujjah-hujjah yang terang yang tidak mengandung kecuali satu makna saja, berbeda halnya dengan apa yang bersama orang yang membolehkannya, sesungguhnya itu adalah khabar-khabar khusus yang tidak bisa menantang ilmu muthlaq yang mencakup semua apa yang pantas baginya, akan tetapi khabar-khabar itu tidak bisa diamalkan kecuali bila selamat dari yang menentangnya.
Dan adapun bila mengamalkannya itu menyebabkan kapada penelantaran sesuatu yang sudah paten lagi jelas, maka wajiblah menggabungkannya sebagaimana yang telah kami utarakan. Dan klaim mereka bahwa itu adalah dalil-dalil umum adalah klaim yang jelas keliru, karena dalil-dalil umum menurut para ‘ulama adalah klaim pencakupan lafadh yang umum terhadap hal yang muhkam yang khusus, sedangkan orang yang menentang tidak menerima hal itu.
Dan adapun lafadh yang umum yang kulliy yang mencakup segala yang pantas baginya, yang layak untuk setiap individu dari individu-individu jenisnya, umpamanya seperti manusia yang dikaitkan dengan sifat seperti Islam umpamanya atau syirik, itu adalah tergolong kulliyyat muthlaqah. Dan siapa yang mengklaim bahwa hal itu bisa ditentang dengan muhtamal atau mujmal, atau dengan kasus-kasus individu, maka ia itu lebih sesat dari keledai keluarganya.
Adapun yang berkaitan dengan sosok, maka ini masih dalam pengamatan, bila tidak ditentang dengan apa yang lebih utama darinya, maka ini adalah ‘aam (lafadh umum), dan dikatakan di dalamnya: Yang menjadi acuan adalah umumnya lafadh bukan khususnya sebab. Dan keumumannya bisa dikuatkan dengan hadits: “Putusanku terhadap seseorang adalah putusanku terhadap  jama’ah”. Dan di dalamnya terdapat pertentangan yang dituturkan dalam kitab Al Mahshuul dan yang lainnya. Di dalam Jam’ul Jawaami’ dikatakan dalam hal wajibnya mentarjih: Dan dilakukan pentarjihan dengan dalil yang di dalamnya terdapat ancaman, dan apa yang bersifat umum muthlaq terhadap apa yang memiliki sebab kecuali dalam sebab itu.
Sedangkan bi hamdillaah nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah telah datang dalam rangka menetapkan hukum umum ini yang berkaitan dengan setiap individu dari individu-individu jenisnya, akan tetapi orang yang mengklaim itu malah memutarbalikan permasalahan, dia jadikan al mutasyabih sebagai dalil yang qath’iy dan ia jadikan dalil muhkam yang merupakan khitab umum yang dikaitkan dengan sifat-sifat yang banyak yang searas dengan madluul-nya, ia menjadikannya bagian dari keumuman yang dilemahkan oleh para ‘ulama, bila itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya! Fallaaahul musta’aan.
Orang yang tidak membedakan antara al ‘aam yang muhtlaq yang selaras dengan madluul-nya dengan al muhkam yang diklaim bahwa ‘umuumat mencakupnya, maka ia itu adalah pencari kayu bakar di malam hari dan haathimu sail.
Al ‘Allamah Asy Syaikh Abdulllathif rahimahullah berkata: Kemudian sesungguhnya nash-nash yang ada tentang wajibnya hijrah dan tentang larangan iqamah di negeri syrik adalah nash-nash yang umum lagi muthlaq serta dalil-dalil qath’iy lagi pasti. Dan siapa yang mengatakan bahwa itu di-takhshish dan di-taqyiid, sungguh hanya berlandaskan kasus-kasus individu yang khusus dan dalil-dalil juz’iyyah yang tidak memiliki nilai keumuman menurut jumhur ‘ulama ushul, yang ia sendiri memiliki kemungkinan untuk takhshish dan taqyiid. Dan orang yang mengatakan rukhshah tidak boleh ditentang dalam umumnya dalil-dalil yang mewajibkan hijrah dari mujaama’ah dan musaakanah…. hingga akhir ungkapannya.
Bila telah engkau ketahui bahwa Syaikh dan orang-orang sebelumnya dari kalangan salaf dan khalaf yang telah kami sebutkan kepadamu di uraian yang lalu, serta yang lainnya, mereka itu memahami dari nash-nash itu bahwa ia adalah dalil-dalil yang qath’iy, sedangkan yang menentangnya bisa menerima takhshish dan taqyiid, maka jelaslah bagimu orang kekeliruan orang yang membolehkan itu dalam mencacat dalil-dalil orang yang melarang, karena setiap orang yang menyelisihi syari’at dia itu memiliki dari syubhat-syubhat dan dalil-dalil muhtamah yang keliru dipahami dan dia tidak mampu menyelaraskan antara hal itu dengan dalil yang menyelisihinya melebihi berlipat-lipat apa yang dimiliki oleh mereka itu, sehingga hal itu mengharuskan kami untuk membantah seluruh kebathilannya dengan melihat seluruh dalil-dalil yang dipakainya, bahkan kami mengatahui keburukan pemahamannya sebelum melihat praduganya karena kami berpegang kepada pokok yang paling mendasar ini, yaitu: Bahwa sunnah itu satu sama lain saling membenarkan, sedangkan bid’ah satu sama lain saling menggugurkan.
Adapun ucapannya: Di dalamnya terdapat apa yang ada di dalamnya (maksudnya ada cacat orang yang melarang). Maka darimana ia mengetahui bahwa di dalamnya terdapat apa yang ada di dalamnya? Sedangkan dia itu tidak meriwayatkannya, tidak pernah melihatnya dan tidak mengetahuinya. Ini demi Allah adalah penerkaman akan nash-nash, dan sepertinya ia memaksudkan hadits Qais Ibnu Abu Hazim dan hadits Samurah, padahal hadits-hadits masyhur yang menguatkannya telah lalu.
Seandainya dalam masalah ini tidak ada kecuali hadits Jabir yang lalu –sedangkan keislaman Jabir ini terjadi di akhir-akhir, dimana ia membai’at Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk ibadah kepada Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan meninggalkan kaum musyrikin– tentulah ini cukup. Al bukhariy telah meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa beliau mengamalkan yang paling akhir dan seterusnya dari urusan Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Dikatakan dalam kitab Mirqaatul Wushuul Illaa ‘Ilmil Ushuul: Suatu hadits bila diterima penuh oleh umat, sedangkan perawinya adalah adil dan memiliki syahid, maka ia bagaikan mutawatir dalam hal dijadikan hujjah dengannya.
An Nawawiy menghikayatkan dalam Syarah Al Muhadzdzab: Bahwa Asy Syafi’iy berhujjah dengan mursal bila dikuatkan oleh satu syahid, sedangkan beliau adalah tergolong imam yang paling tawaqquf di dalamnya. Dan dari kalangan Al Malikiyyiin dan Al Kuufiyyiin bahwa mursal diterima secara muthlaq. Sedangkan mursal ini telah dikuatkan oleh lebih dari dua puluh syahid, disamping ayat-ayat muhkamat dan kaidah-kaidah umum dalam syari’at ini sebagaimana yang telah kami utarakan kepada engkau, di antaranya wajibnya memusuhi orang-orang musyrik, sedangkan permusuhan itu menuntut sikap jauh dan mufaaraqah, dan di antaranya juga suatu kaidah kuliyyah dan pokok yang sangat agung, yaitu menutup jalan yang bisa menghantarkan kepada kerusakan yang paling dahsyat, sebab sarana itu status hukumnya sama dengan hukum tujuan, dan telah ada isyarat terhadap ini semua.
Dan di antaranya: Sesungguhnya apa yang berkenaan dengan janji dan ancaman, maka para shahabat dan tabi’iin itu tidak mengungkapkannya secara marfuu’ kecuali disertai dengan pemastian akan keshahihannya. Sesungguhnya Qais Ibnu Abi Hazim adalah mukhadlram, dan dikatakan baginya riwayat, dia meriwayatkan dari sepuluh orang yang dijamin masuk syurga. Maka atas dasar ini, dia itu bisa jadi tergolong kibar tabi’iin, dan ini adalah yang mu’tabar menurut Asy Syafi’iy dan yang lainnya, dan bisa jadi tergolong shahabat yang riwayatnya mursal, sedangkan mursal shahabiy adalah memiliki hukum marfuu’, karena sesungguhnya shahabat itu semuanya adalah adil. Dan sejumlah para muhadditsiin mentarjih keadaan hadits itu sebagai hadits maushul dari Jabir, sedangkan asalnya ada di dalam Shahih Muslim. Ini bila tidak ada dalam masalah ini kecuali hadits itu.
Jadi ucapan orang yang membolehkan itu: “Sesungguhnya orang-orang yang melarang berdalil dengan hadits-hadits yang di dalamnya terdapat apa yang ada di dalamnya”, adalah sekedar igauan yang tak ada faedahnya sedikitpun. Dan seandainya bersama orang-orang yang melarang itu tidak ada kecuali sekedar larangan yang dikuatkan dengan keberadaan kerusakan yang dipastikan, tentulah itu sudah cukup, ini berdasarkan apa yang ada di dalam Adabul Bahts: Bahwa dalil larangan didahulukan atas dalil pembolehan saat terjadi pertentangan, kecuali dalam hal-hal yang telah mereka sebutkan yang mana asal hukum di dalamnya adalah al baraa’ah (bebas tanggungan/hukum) seperti akad-akad atau sesuatu yang hissiy (konkrit) seperti makanan.
Dan adapun ucapannya: Negeri itu adalah negeri Islam, karena syi’ar-syi’ar Islam nampak di dalamnya, tanpa jaminan dari orang-orang musyrik dan tanpa perlindungan. Dan oleh sebab itu bila hukum dominan adalah bagi ahlul Islam, maka negeri itu menjadi Darul Islam”, adalah ucapan yang bertolak belakang secara lafadh, dan telah lalu tanbiih atas kekeliruan secara makna. Dan ucapannya: “tanpa jaminan dan perlindungan dari orang musyrik”, maka saya mengiranya ia itu melihat kedhaliman terhadap harta dan badan, karena kecintaan terhadap harta telah merusak jiwa manusia, dan musibah dalam harta menurut mereka adalah musibah yang paling besar. Bila ini adalah yang menjadi tujuannya, maka hal itu adalah selalu ada di semua kerajaan, dan dalam hal ini orang-orang Nasrani –semoga Allah melaknatnya- memiliki bagian yang paling banyak.
Adapun kedzaliman terhadap dien dan pelecehan terhadapnya, maka hal ini tidaklah diketehui kecuali oleh orang yang telah Allah beri cahaya terhadap bashirahnya, dan ia menjadi golongan orang-orang yang pelit dengan diennya. Kehinaan dan pelecehan mana yang lebih besar daripada keadaan orang yang mendengar dan melihat kekafiran yang nyata setiap sore dan pagi? Seandainya ia menampakkan bahwa ini adalah perbuatan orang-orangg musyrik tentulah mereka membunuhnya atau mengusirnya.
Dan di antara hukuman yang bersifat takdir terhadap hati adalah hilangnya kepekaan akan keburukan, ini adalah penyakit yang ada yang menimpa hati, dengan sebabnya terputuslah aliran hidup dan kebaikannya, dan bila itu teputus darinya, maka terjadilah lawannya tanpa diragukan lagi, sedangkan hukuman hati itu lebih dahsyat daripada hukuman badan, oleh sebab itu yang ma’ruf menjadi mungkar, dan yang mungkar menjadi ma’ruf.
Dan apakah ada seorang meragukan bahwa orang yang muqim di sana tidak bisa dianggap lapang kecuali oleh pemerintahan yang sesat, dan bahwa anak yang terlahir adalah berada dalam taruhan, dan pungutan hartanya serta pajaknya adalah bagi mereka, serta bencana-bencana lainnya yang semakin bertambah uang suapnya, maka semakin bertambah pula pengendaliannya terhadapnya di dalam hatinya dan dalam gerak-geriknya. Siapa orangnya yang mengklaim selain itu, maka ia itu adalah orang yang membandel. Dan orang yang ikut andil dalam apa yang telah ditetapkan oleh para ‘ulama muhaqqiqun, maka ia pasti mengetahui bahwa negeri itu adalah negeri syirik dan bahwa hukum dominan adalah bagi syirik dan pelakunya, serta bahwa kebenaran itu ada bersama orang yang merujuk hukum kepada nash-nash yang memutuskan dengan larangan, dan ia mengatakan keadilan serta menegakkan syari’at.
Dan adapun apa yang ia nukil dari Syaikh Abdullah, bahwa negeri mereka adalah negeri Islam, maka telah kami utarakan bahwa itu tidak menunjukkan terhadap apa yang mereka tuju, karena Syaikh tetap meniti di atas apa yang telah dititi oleh generasi pertama, yaitu membela tauhid dan membantah terhadap orang yang mencelanya dari kalangan ahli syirik dan tandiid. Perkataannya itu adalah mujmal, yaitu bahwa negeri itu bukan negeri kafir asli yang memiliki hukum tertentu, dan itulah yang dipahami dari perkataan ‘ulama mahdzab Hanbali dan yang lainnya, akan tetapi apakah engkau mengira bahwa beliau ragu akan kekafiran orang yang menampakkan diri dengan penyeruan terhadap orang-orang shalih dan ibadah kepada mereka dengan bentuk isti’aanah dan istighatsah, sembelihan, nadzar, tawakkal dan yang lainnya, seraya menjadikan mereka sebagai perantara antara diri mereka dengan Allah dalam kebutuhan dan kesulitan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan para imam lainnya telah menetapkan: Bahwa hal ini adalah kekafiran yang nyata, dan ia adalah dien kaum musyrikin dan perbuatan orang-orang jahil lagi sesat. Sedangkan mereka itu menambah kekafirannya di atas kekafiran mereka, di mana mereka memohon kebutuhan kepada orang-orang shalih secara istiqlaal sebagaimana yang telah kami saksikan, maka tampaklah bagimu bahwa ucapan orang yang membolehkan: Negeri ini adalah negeri Islam, adalah pembuka buat pernyataan akan bolehnya muqim di alamnya, adalah kekeliruan yang tidak boleh diikuti, sebagaimana yang telah dijelaskan kepadamu berulang-ulang: Bahwa syari’at mengaitkan hukum dengan sebab menyaksikan kekafiran dan maksiat bagi orang yang tidak mampu mengingkarinya.
Alangkah indahnya ucapan orang yang mengatakan:
Ilmu dengan akal adalah ijmal dan kekacauan
Sedangkan ilmu dengan nash adalah tahqiq dan tafshil
Dan telah lalu: Bahwa yang diklaim itu lebih umum dari status negeri itu sebagai negeri Islam atau negeri kafir bila ternyata alasan hukum adalah tidak adanya larangan dari ibadah, dan bahwa pernyataan itu gugur dari pangkalnya, sehingga tidak butuh akan fatwa Abu Buthain dan yang lainnya.
Adapun klaimnya bahwa idhharud dien adalah bila mereka tidak melarangmu dari menunaikan kewajiban-kewajiban dien kamu, yaitu tidak melarang shalat dan ibadah yang khusus, seraya berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhariy: bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang iman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat dan shaum Ramadlan, maka haq atas Allah untuk memasukkannya kesurga, baik ia hijrah atau duduk di negerinya yang mana ia dilahirkan disana.”
Dan hadits shahibul Khadramah.
Maka jawabannya adalah dikatakan:
Pertama: Dalam dua hadits itu tidak ada dilalah bahwa negeri itu adalah negeri syirik, yang ada dalam hadits itu adalah penetapan iman bagi orang yang masuk Islam dan mati di negerinya.
Kedua: Sesungguhnya keduanya menunjukkan akan kesempurnaan iman, keduanya seperti sabdanya: “…meskipun ia zina dan meskipun ia mencuri…”Maka kami mengatakan sesuai dengan apa yang dituntut oleh hadits itu, siapa orangnya yang muqim di negeri syirik padahal ia mampu keluar darinya, karena merasa berat dengan tanah air ataun alasan-alasan lainnya, maka ia melakukan dosa besar, sehingga dikatakan: Ia mukmin kurang imannya.
Ketiga: Sesungguhnya berdalil dengan keduanya dan yang semakna dengannya adalah keluar dari yang dimaksud, karena hadits itu tentang orang yang masuk Islam di negerinya, adapun pergi ke negeri mereka dengan suka rela dan bergabung dengan mereka dengan tujuan menetap, maka hadits itu tidak menunjukkan akan hal itu sama sekali, karena berdalil dengan nash-nash itu adalah cabang keberadaanya terlebih dahulu, kemudian keselarasannya secara makna dengan apa yang ingin didalili, sebagaimana yang telah tetap dalam tempat-tempatnya. Bila saja orang yang beriman dan dia tidak hijrah dari orang-orang a’raab adalah kurang imannya, maka apa gerangan orang yang iman dan tidak hijrah dari negeri kaum musyrikin.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam Iqtidlaaush Shiraathil Mustaqiimtatkala beliau menyebutkan larangan dari menyerupai orang-orang musyrik, dan dekat dengan masalah ini: Menyelisihi orang yang tidak sempurna imannya dari kalangan orang-orang Arab badui, karena kesempurnaan dien adalah dengan hijrah, maka orang yang beriman dan tidak hijrah dari orang-orang Arab badui dan yang serupa dengan meraka adalah kurang imannya.
Keempat: Sesungguhnya ucapannya: Baik hijrah atau duduk, adalah semakna dengan ucapannya: Baik jihad atau duduk, menunjukkan akan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan yang lainnya dari Abu Ad Dardaa secara marfuu’: “Siapa yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, serta mati tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka haq atas Allah untuk mengampuni dia, baik ia hijrah atau mati di tempat kelahirannya,” maka kami berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami kabarkan kepada orang-orang, sehingga mereka bergembira?” maka beliau berkata: “Sesungguhnya surga itu memiliki seratus tingkatan, antara tiap tingkat adalah seperti langit dan bumi, Allah sediakan bagi orang-orang yang berjihad di jalan-Nya.”
Kemudian An Nasa’i berkata setelahnya: Apa gerangan bagi orang yang beriman, hijrah dan berjihad? Yaitu berupa pahala.
Maka itu menunjukkan bahwa hijrah di sana adalah bermakna jihad, dan telah ada dalam riwayat Al Bukhariy dengan lafadh: “Baik ia jihad fi sabilillah atau duduk,”
Dan Al Bukhariy membuat bab dalam jihad, karena di sebut hijrah dan dimaksudkan dengan jihad, sebagaimana Ahmad meriwayatkan dari ‘Amr Ibnu ‘Abasah secara marfuu’: “Hijrah apa yang paling afdlal?” Beliau berkata: “Jihad.”
Maka jelaslah atas dua makna ini bahwa yang dimaksud adalah menetapkan keimanan bagi orang yang masuk Islam dan tidak hijrah kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak jihad, meskipun kesempurnaannya dinafikan, maka dari mana ia mengatakan bahwa hadits itu menunjukkan bolehnya muqim di tengah-tengah kaum musyrikin? Dan orang yang dengan dalil-dalil muhtamal ini ia menolak nash-nash yang shahih lagi sharih yang lalu, seperti hadits Hakim Ibnu Hizam secara marfuu’: “Allah tidak menerima dari orang muslim amalan setelah ia masuk Islam sehingga ia meninggalkan kaum musyrikin”, diriwayatkan oleh An Nasai, dan hadits Abu Malik Al Asyja’iy secara marfu’: “Dan saya memerintahkan kalian akan lima hal yang mana Allah telah memerintahkan saya lima hal itu”, dan beliau menyebutkan hijrah, diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya, dan hadits yang semakna dengannya, adalah orang yang tidak obyektif.
Kelima: Dan ini yang paling nampak, sesungguhnya berhujjah dengan semacam hadits-hadits yang muthlaq ini, meskipun mencapai derajat mutawatir, menuntut batilnya hukum nash-nash yang secara tegas-tegasan menyatakan harusnya meninggalkan kaum musyrikin, sebagaimana di sini, dan sebagaimana dalam hadits Nahik yang lalu: “Dan untuk meninggalkan orang-orang musyrik”, maka dibawalah kemuthlakan makna dalam hujjah yang dipakai oleh orang yang membolehkan –seandainya itu shahih dan banyak jalannya– terhadap muqayyad dari mafhum sifat yang melarang dari iqamah, sehingga dengan hilangnya sifat yang melarang yang menyebabkan adanya hukum meninggalkan negeri sendiri maka factor yang yang menuntut menjadi ada, dan kalau tidak maka tidak pula, sedangkan ini adalah nampak bihamdillah yang wajib dipegang demi menyelaraskan antara nash-nash yang ada, karena tidak ada peluang untuk pendapat dalam hal ini seperti ini bila ternyata ada hadits-hadits yang tsabit dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
            Dan di antara yang menunjukkan bahwa orang yang masuk Islam dan tidak hijrah adalah seperti A’raabul muslimin dan tempat-tempat tinggalnya itu dinamakan negerinya adalah hadits Buraidah radliyallahu ‘anhu secara marfuu’: “Kemudian ajaklah mereka untuk meninggalkan negeri mereka ke negeri kaum muhajirin, dan beri kabar terhadap mereka bahwa bila mereka melakukan hal itu, maka bagi mereka apa yang diberikan kepada kaum muhajirin dan atas mereka apa yang menjadi kewajiban kaum muhajirin”, dan dalam satu lafadh: “Bila mereka enggan dan justru memilih negeri mereka, maka kabarkan kepada mereka bahwa mereka itu seperti a’raabul muslimin, berlaku atas mereka hukum Allah yang berlaku atas kaum mu’minin…”, kecuali bagi satu orang badui yang diizinkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan hijrah dalam ucapannya: “Beramalah di balik perkampungan itu, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun dari amalanmu”, yaitu bahwa ia tetap mendapatkan pahala hijrah dan tidak kurang, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kekurangsabaran dia kalau tinggal di Madinah, “Dan Dia penyayang terhadap orang-orang mu’min”, (Al Ahzab: 43).
Dan begitu juga beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam memberiksn izin bagi Aslam –kabilah terkenal– dalam apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dari Salamah Ibnul Akwa’ radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apakah betah dengan status badui wahai Aslam?”Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami takut hijrah kami ini tercoreng,” Beliau berkata: “Kalian adalah muhajirun di manapun kalian berada.”Dan maknanya: mereka berada di pedalaman sedangkan mereka telah mendapat izin Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak selain mereka, karena orang yang telah diberi izin oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam akan hal itu adalah sama statusnya dengan orang-orang muhajirun, karena mafhum izin bagi mereka menunjukkan tidak diizinkannya yang lain.
Adapun orang-orang a’raab, maka masalahnya berkenaan dengan mereka adalah ringan, dan mereka tidak mendapatkan keutamaan orang-orang yang hijrah karena lemahnya Islam mereka dan cepatnya kecenderungan mereka kepada kebathilan, ini dibuktikan oleh apa yang diriwayatkan oleh An Nasa’i, Ahmad Ibnu Abdillah Al Hakam telah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Muhammad Ibnu Ja’far telah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Syu’bah telah memberitahu kami dari ‘Amr Ibnu Murrah dari Abdullah Ibnu Harits dari Abu Katsir dari Abdillah Ibnu ‘Amr, berkata: Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hijrah itu ada dua, hijrah al hadlir dan hijrah al badiyah, adapun orang badui maka ia itu memenuhi panggilan bila ia diajak dan taat bila diperintah. Adapun orang kota maka ia itu tergolong orang yang paling besar ujiannya dan orang yang paling besar pahalanya.”
Adapun apa yang diriwayatkan oleh An Nasa’i juga dengan sanadnya dari Fudlalah Ibnu ‘Ubaid: Bahwa ia mendengar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya menjamin bagi orang yang beriman kepadaku dan masuk Islam serta hijrah dengan sebuah rumah di tengah surga dan rumah di kamar-kamar surga yang paling tinggi…”. Maka jelaslah bahwa yang dimaksud adalah menetapkan iman bagi orang yang tidak hijrah dan tidak berjihad setelah ia masuk Islam, dan bahwa orang yang berjihad serta berhijrah, maka sungguh keimanannya telah sempurna. Maka dalil macam apa yang terdapat di dalamnya yang menunjukkan bolehnya iqamah di tengah-tengah kaum musyrikin?!
Bila saja orang yang kembali setelah hijrahnya adalah a’ rabiy yang dilaknat, karena ditakutkan sifatnya kasar dan hilang ilmunya, dan karena untuk maslahat Islam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At Thabraniy dari hadits Jabir Ibnu Samurah secara marfuu’: “Allah telah melaknat orang yang kembali ke badui setelah ia hijrah, kecuali fitnah.”
Dan apa yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dari Abdullah Ibnu Mas’ud secara marfuu’: “Allah melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makannya…” dan di dalamnya: “dan orang yang kembali ke pedalaman setelah ia hijrah,”
Ibnu Atsir berkata dalam An Nihayah: “Orang yang kembali setelah hijrahnya ke tempat semula tanpa alasan, sungguh mereka menganggapnya seperti orang yang murtad.” Selesai dari Al Fath.
Dan yang serupa degannya: apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhariy dari Salamah Ibnu Akwa’, sesungguhnya ia masuk menemui Al Hajjaaj, ia berkata: “Wahai Ibnu Akwa’ kamu telah kembali ke belakang, kamu telah menjadi orang pedalaman?” Ia berkata: “Tidak, akan tetapi Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan bagi saya untuk menetapi pedalaman (badui).”
Bila halnya demikian, maka ini menunjukkan dengan fahwaa (mahfumnya) atas sikap menjauhi kaum musyrikin bagi orang yang masuk Islam. Adapun orang yang memang sebelumnya sudah muslim kemudian datang bergabung dengan meraka dan memilih mereka tanpa tujuan maslahat dalam dien ini, maka orang seperti ini dituntut untuk mendatangkan dalilnya, meskipun dari perkataan imam yang diperhitungkan, dan kalau tidak bisa, maka telah kami ketengahkan kepadamu: Bahwa berdalil dengan dalil-dalil yang memiliki banyak kemungkinan ini adalah keluar dari yang dimaksud.
Adapun hadits Al A’rabiy, maka telah lalu isyarat kepadanya, dan sesungguhnya itu tergolong kasus-kasus individu yang berkaitan dengan sosok, keadaan zaman. Al Qurthubiy berkata mengomentari hadits Al A’ Rabiy ini: Bisa ada kemungkinan bahwa hal itu khusus bagi Al A’rabiy tatkala ia mengetahui dari keadaan dan kelemahannya dari menetap di madinah, maka Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam merasa kasihan terhadapnya dan beliau itu selalu belas kasih terhadap orang-orang mukmin. Selesai.
Dan termasuk hal yang maklum: Bahwa kasus ini bila terjadi setelah penaklukan Mekkah, maka sungguh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dalam apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhariy dan yang lainnya tatkala menaklukan Mekkah: “Tidak ada hijrah setelah penaklukan (mekkah).”Maka diketahui bahwa itu sebelum penaklukan Mekkah, sedangkan hijrah kepada Rasulullah itu adalah wajib dengan ijma’. Dan tidak seorangpun memahami bahwa kisah Al A’rabiy ini menggugurkan hukum hijrah. Dan bila ternyata setelah penaklukan Mekkah, maka jawaban terhadapnya adalah jawaban terhadap dua hadits sebelumnya.
Barsambung…


[1] Wali berarti teman akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong. Pent.
[2] Ibnu ‘Abbas berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang orang-orang mu’min berlemah lembut kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai teman akrab dengan meninggalkan orang-orang mu’min, kecuali bila orang-orang kafir itu menguasai mereka, maka orang-orang mu’min menampakkan sikap lembut kepada mereka dan tetap menyelisihi mereka dalam hal dien.
Al Imam al Bukhariy menghikayatkan dari Abu Dardaa’, bahwa beliau berkata: Sesungguhnya kami menampakkan wajah yang di depan orang-orang kafir, sedangkan hati kami melaknat mereka. Lihat tafsir Fathul Qadir Asy Syaukaniy 1/421-422.
Jadi orang yang bertaqiyyah itu adalah dalam hal mu’amalah, bukan dengan cara muwaalaah (loyalitas) atau ikut serta dalam kekafiran dan kemusyrikan mereka.
[3] Di antara tuhan-tuhan orang musyrik zaman sekarang adalah para thaghut yang duduk di lembaga eksekutif dan legislative. Mereka membuat aturan, hukum dan perundang-undangan yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam, bahwa mereka itu mengklaim bahwa mereka itu memiliki hak untuk membuat hukum dan perundang-undangan itu, dan kemudian mereka memerintahkan rakyat untuk mentaati apa yang mereka gulirkan itu. Mereka adalah tuhan-tuhan yang diibadati oleh orang-orang musyrik dustuur pada masa sekarang. Dan di antara dien mereka adalah demokrasi dan paham lainnya yang kafir lagi busuk. Dan sebagai bentuk tauhid, orang muwahhid diwajibkan untuk mencela tuhan-tuhan dan dien syirik lagi kufur itu. Pent.
[4] Sekarang syirik demokrasi, thaghut pancasila dan UUD 45 serta syirik tumbal sesajen dan minta-minta kepada penghuni kuburan juga pesta laut adalah fenomena kemusyrikan di negeri ini yang sangat merata, maka idhharud dien dalam hal ini adalah menyelisihi itu semua, menentangnya, membencinya serta memusuhi para pengusungnya