Sisi lain, adalah bahwa pada awal Islam
itu terdapat sikap lembut dan alot yang mana hal itu tidak ada di akhir
Islam, dan telah lalu hadits Jarir serta janjinya kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan kaum musyrikin, sedangkan keislamannya terjadi di akhir-akhir.
Dan secara umum: Tidak ada pada hadits Al
A’rabiy dan hadits-hadits yang lainnya –seandainya itu shahih– apa yang
menunjukkan bolehnya hidup di tengah-tengah kaum musyrikin sama sekali,
justeru hadits-hadits itu secara jelas menerangkan tentang tinggal di
pedalaman bagi orang yang masuk Islam dan tidak hijrah, dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengatakan kepadanya: “Beramallah di desa-desa,” karena desa-desa saat
itu belum menjadi negeri Islam, akan tetapi beliau mengatakan kepadanya:
“Beramallah di balik desa-desa itu,” yaitu beribadahlah kepada Allah
dan singgahlah di tempat mana saja yang engkau sukai, sedang engkau
tetap dalam status hijrahmu, sebagai bentuk kasih sayang terhadapnya.
Adapun hadits Nahik Ibnu ‘Ashim, sesungguhnya itu tidak menunjukkan bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mengizinkan baginya untuk hidup berdampingan dengan orang musyrik, akan
tetapi beliau mengizinkan baginya untuk tinggal di pedalaman saja, dan
singgah di mana saja ia suka, serta tidak memetik hasil kecuali atas
dirinya sendiri. Dan hal itu telah diisyaratkan oleh apa yang
diriwayatkan oleh Al Bukhariy dari Ash Sha’b Ibnu Jatsamah secara
marfuu’: “Tidak ada batasan kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya,”Ini
makna hadits Nahik dan khabar-khabar yang semakna dengannya, yaitu
bahwa ahlu jahiliyyah mereka itu memiliki batasan tempat, yang mana
mereka melarang dari batas itu orang yang mereka sukai, dan Allah telah
menggugurkan hal itu dengan Islam, karena Islam menuntut keselamatan dan
setiap orang merasa aman.
Dan tatkala Al ‘Alamah Ibnul Qayyim menuturkan kisah ini secara utuh, dan di akhirnya: Saya berkata: “Wahai Rasulullah, terhadap apa saya membai’atmu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan tangannya dan berkata: “Atas mendirikan shalat, menunaikan zakat, meninggalkan kaum musyrikin, dan engkau tidak menyekutukan Allah dengan apapun,” saya berkata: “Wahai Rasulullah, dan sesungguhnya bagi kami apa yang ada di antara timur dan barat?”,
maka Nabi menarik tangannya, dan beliau mengira bahwa saya mensyaratkan
sesuatu yang tidak beliau berikan, beliau berkata: saya berkata: “kami singgah dimana saja tempat yang kami sukai dan orang tidak memetik hasil kecuali atas dirinya sendiri.”
Ibnul Qayyim berkata saat mengomentari hadits itu: Dan ucapannya dalam akad bai’at: “Dan meninggalkan kaum musyrikin,” yaitu
menjauhi dan memusuhinya, maka janganlah bertetanggaan dengannya dan
janganlah loyal kepadanya, sebagaimana dalam hadits As Sunan, “Api keduanya jangan sampai saling melihat,” selesai perkataan Ibnul Qayyim.
Dan ungkapannya dalam hadits itu: “Kami singgah dimana saja tempat yang kami sukai,” dengan ungkapannya: “Dan meninggalkan kaum musyrikin”
adalah menjelaskan kepadamu apa yang diinginkan oleh syari’at. Maka
lihatlah kepada orang yang membolehkan ini -semoga Allah memberikan kita
‘afiyyah- ia berhujjah dengan apa yang menjadi hujjah atas dirinya dan terus mengatakan: Ibnul Qayyim menyebutkannya dalam Al Hadyu.
Dan adapun istidlal-nya dengan
kisah hijrah ke Habasyahh, aka ini tergolong sesuatu yang menunjukan
kehinaannya, dan ia memutarbalikan masalah, dan saya tidak pernah
mengetahui ada seseorang yang mendahuluinya kepada pendapat itu kecuali
sebagian orang yang menentang imam dakwah ini.
Dan ungkapannya: “Sesungguhnya mereka
hijrah dalam rangka mencari keamanan bukan untuk mendapatkan perhiasan,”
adalah sekedar penipuan saja, yang bersumber dari orang yang tidak
mengetahui kedudukan syirik yang merupakan hal terbesar yang menghantam
sisi rububiyyah, dan itu juga pengguguran terhadap isi dakwah para rasul
berupa tauhid uluhiyyah, maka mana rasa aman dan tentram bagi orang
yang menyaksikan penyembahan berhala dan celaan terhadap Allah di setiap
keadaan dan waktu?!
Dan siapa yang berdalil dengan kisah
hijrah tersebut atas hal ini, maka pemahamanya adalah rusak dan
pemikirannya ngawur, sebab setiap orang yang mengerti dari Allah
syari’at-Nya dan memperhatikan keadaan para shahabat dan apa yang mereka
lakukan, berupa pembelaan terhadap dien ini, dan pergi meninggalkan
kaum musyrikin, maka ia pasti mengetahui bahwa hijrah ke Habasyahh
adalah hujjah yang sangat agung dalam wajibnya hijrah, dan itu tergolong
sikap melakukan mafsadah yang paling kecil dari dua mafsadah yang ada
dalam rangka menolak yang paling tinggi kerusakannya. Dan penamaan itu
sebagai hijrah adalah cukup bagi orang yang dituntut sesuai keadaan,
meskipun maksud secara keseluruhan tidak bisa terlaksana secara utuh,
sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal
dakwahnya diperintahkan untuk berpaling, kemudian diperintahkan untuk
terang-terangan, kemudian diperintahkan untuk jihad.
Tampaknya dien ini disebutkan dan
dimaksudkan dengannya adalah nampaknya dengan kekuatan dan kemenangan
dengan jihad, dan ini terjadi di akhir-akhir. Dan disebutkan juga dan
dimaksudkan dengannya nampaknya dien ini serta tersebar beritanya dan
tidak adanya halangan bagi orang yang masuk ke dalamnya, dan ini telah
terealisasi di negeri Habasyahh. Dan itu di namakan sebagai hijrah dan
perpindahan sebagaimana yang dihikayatkan oleh An Nawawi dalam Syarhul Arba’iin.
Dan itu dihikayatkan oleh mujtahid
zamannya, Ibrahim Ibnu Hasan Al Kurdiy dari Al Hafidh Ibnu Hajar, bahwa
beliau berkata: “Hijrah di dalam Islam itu terjadi atas dua macam:
Pertama:Perpindahan dari darul khauf (negeri yang penuh dengan ketakutan) ke darul amni (negeri aman), sebagaimana dalam hijrah Habasyahh serta awal hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Kedua:Hijrah dari darul kufri ke darul iman, dan itu setelah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam menetap
di Madinah, dan orang-orang dari kalangan kaum muslimin yang
memungkinkan hijrah baginya mereka hijrah kepadanya. Dan pada waktu itu
hijrah hanya khusus ke Madinah hingga akhirnya Mekkah di taklukkan, dan
terputuslah kekhususan itu, dan yang berlaku adalah perpindahan dari darul kufri bagi orang yang mampu hijrah.” Selesai.
Dan disebutkan dari Al Asyuthiy: Bahwa hijrah itu ada delapan macam. Hijrah pertama: Ke Habasyahh tatkala orang-orang kafir menindas para shahabat, dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan bagi mereka untuk hijrah ke Habasyahh. Dan diizinkan bagi mereka untuk kedua kalinya, dan ini adalah Hijrah yang kedua. Hijrah yang ketiga: dari Mekkah ke Madinah. Hijrah yang keempat: Hijrah kabilah-kabilah kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mempelajari syari’at ini, kemudian mereka kembali ke kaumnya untuk memberikan peringatan kepada mereka. Hijrah yang kelima: Hijrah orang yang masuk Islam dari Mekkah untuk mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Hijrah yang keenam: Hijrah orang yang muqim di darul kufri sedangkan
dia tidak mampu menampakkan diennya, maka sesungguhnya wajib atasnya
hijrah ke negeri Islam. Ini adalah lafadh Al Asyuthiy dalam Al Muntaha,
dan kami mencukupkan dengan apa yang dimaksud darinya, dan memang hal
itu telah ditegaskan oleh para ‘ulama mahdzab Hanbali, dan hampir dekat
dengannya lafadh An Nawawi dalam Syarah Arba’iin-nya.
Dan tatkala bahasan ini ditetapkan –bihamdillah-
oleh orang yang berkilau cahaya diennya, terbit matahari dan bulannya
menerangi burhan dakwahnya, dan bunga-bunganya berseri-seri di halaman
keindahannya, maka hal ini ditentang oleh orang yang memilih kesesatan
daripada petunjuk dan berbalik dari keselamatan kepada keterpurukan,
bila ia tidak segera ditolong oleh rahmat Allah, dia mengatakan:
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam bahasannya yang diambil dari sirah:
Ketahuilah sesungguhnya manusia tidak bakal tegak keislamannya meskipun
dia itu mentauhidkan Allah kecuali dengan memusuhi kaum musyrikin, dan
tegas-tegasan memusuhi dan membenci mereka.
Orang yang menentang itu berkata: Maka
dhahir perkataannya bahwa An Najasyi itu kafir, di mana ia tidak
tegas-tegasan memusuhi kaumnya, dan begitu juga Ja’far dan para
shahabatnya adalah kafir dengan ungkapan ini, hingga akhir perkataannya
yang tidak bersumber dari orang yang telah mencium bau ilmu yang
bermanfaat, atau dia itu sangat jauh sekali dari pancaran ilmu ini.
Ungkapan itu telah dijawab oleh orang
yang sangat indah dan hebat dalam penguraian saat menjawab serta
ungkapannya itu sangat selaras dengan jalan yang benar, yaitu Syaikh
kami Al ‘Allamah Abdullathif rahimahullah –setelah menuturkan syubhatnya- yang ringkasnya: Dan telah tsabit bahwa An Najasyi tegas-tegasan memusuhi mereka dan baraa’ah
dari ajaran mereka, serta membuat mereka kesal dalam rangka menambah
tegas-tegasannya dengan permusuhan itu, dan beliau (An Najasyi) berkata:
“Dan meskipun kalian mendengus”, tatkala beliau terang-terangan menyatakan bahwa Isa ‘alaihissalam itu adalah hamba, dimana Ja’far membaca awal surat Maryam, yang mana di sana disebutkan tentang Isa, maka An Najasy berkata: “Demi Allah, Isa itu tidak melebihi atas hal ini…. hingga akhirnya.
Permusuhan macam apa? Dan penegasan apa
yang lebih besar dari ini? Namun demikian beliau juga membela
orang-orang yang hijrah dan memberi mereka tempat leluasa di negeri, dan
beliau berkata: “Pergilah, sedang kalian dalam keadaan aman di
negeriku, siapa yang mencerca kalian, ia pasti menyesal, dan siapa yang
mendzalimi kalian, maka ia pasti dikenakan sanksi,” maka beliau
terang-terangan menegaskan bahwa ia memberikan sanksi kepada orang yang
mencela agama mereka dan menjelek-jelekan apa yang mereka pegang.
Sedangkan ini adalah kadar tambahan atas penegasan akan permusuhan
terhadap mereka. Dan tidak ada yang mengatakan: Bahwa Ja’far dan para
shahabatnya, mereka itu menyembunyikan diennya di Al Habasyah, dan
mereka tidak terang-terangan memusuhi orang-orang kafir lagi musyrik,
kecuali orang jahil.
Dan Ja’far bersama para shahabatnya tidak
meninggalkan negeri mereka dan tanah kaumnya, serta memilih negeri
Habasyah kecuali dalam rangka terang-terangan memusuhi kaum musyrikin
dan bara’ah dari mereka secara terang-terangan dalam hal
madzhab dan dien. Seandainya bukan karena itu tentulah mereka tidak
membutuhkan hijrah dan memilih keterasingan, akan tetapi itu semua fi Dzatil Ilah dan dalam rangka memusuhi karena dasar itu. Ini adalah yang nampak tidak membutuhkan akan taqrier seandainya tidak meratanya kejahilan. Selesai dengan intisari.
Syaikh ayahanda -semoga Allah mensucikan
arwahnya- berkata dalam rangka membantah orang tersebut: Adapun
ucapannya: Dhahirnya bahwa An Najasy ini adalah kafir…. hingga akhir
ucapannya…
Jawabannya adalah dari beberapa sisi:
Pertama: sesunggguhnya tidak boleh protes atas hukum Al Qur’an.
Kedua:
Sesungguhnya orang-orang yang hijrah ke Habasyahh, mereka itu hijrah
dalam rangka mencari tempat aman atas dien mereka yang mana tidak ada
satu negeri pun dan tidak ada satu kabilah pun yang mana mereka
mendapatkan rasa aman di dalamnya selain Habasyahh. Saya berkata: Dan
itu atas dasar perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala sampai berita kepada beliau sikap An Najasy yang baik dalam memberikan perlindungan.
Ayahanda rahimahullah berkata:
Kemudian ini adalah di awal dakwah, sebelum kewajiban-kewajiban
difardlukan dan sebelum ayat-ayat tentang penjelasan hukum-hukum turun,
sedangkan kewajiban terbesar setelah tauhid yaitu shalat, belum
difardlukan saat itu kecuali setelah sepuluh tahun, dan begitu juga
hukum-hukum hijrah dan jihad, sampai beliau mengatakan:
Ketiga: Sesunguhnya An Najasy dan sejumlah orang dari kaumnya masuk Islam, maka bagi mereka hal itu berstatus dhuhuur
(nampak), dan hal itu terkenal di dalam sirah dan tafsir, sehingga bila
Islam nampak jelas di suatu negeri maka tidaklah haram iqamah di sana
bagi orang yang bisa menjaga diennya dan menampakkannya. Dan begitu juga
Ja’far dan para shahabatnya, mereka telah dijaga Allah dengan
perlindungan yang diberikan oleh An Najasy, di mana dia berkata: “Siapa yang mencerca kalian, maka ia dikenakan sangsi”.
Dan orang yang mengikuti mereka di negeri itu menerima jaminan itu dan
merekapun menampakkan diennya meskipun ketidaksukaan orang yang tidak
suka, sehingga ayat itu tidak menyangkut mereka. Maka bagaimana hal ini
bila dibandingkan dengan orang yang berkasih sayang dengan orang-orang
musyrik dan menampakkan kepada mereka kecintaan dan perlakuan yang
lembut?! Orang seperti inilah yang keimanannya tidak tersisa. Selesai
ucapan beliau rahimahullah.
Dan tatkala beliau rahimahullah menuturkan
–dalam bantahannya kepada orang Kharaj– kisah An Najasyi dan apa yang
diucapkannya kepada ‘Amr Ibnul Ash utusan Quraisy, beliau berkata: Allah
telah menurunkan Qur’an berkenaan dengan An Najasyi dan para
shahabatnya, dan Allah memuji mereka, sehingga tidak boleh berhujjah
atas bolehnya iqamah bersama ahlul bathil, loyalitas
dan tentram kepada mereka dengan hijrahnya para shahabat dan sikap
mereka melarikan diri membawa diennya agar supaya tidak dipalingkan oleh
kaum musyrikin dari diennya.
Dan setiap orang memahami dari kisah ini:
Bahwa ia adalah hujjah yang agung atas orang yang meninggalkan hijrah
dari beberapa sisi yang tidak samar lagi atas orang yang sedikit
memiliki pengetahuan dan pemahaman, termasuk orang yang bodoh sekalipun,
dan orang yang ngotot tidak mampu berhujjah dengan hujjah yang padahal
ia adalah hujjah atas dirinya, kecuali orang yang ditimpa bencana dengan
buruknya pemahaman dan rusaknya tinjauan. Selesai ucapannya dari
tulisannya rahimahullah.
Maka gugurlah syubhat itu dari
pangkalnya, karena sesungguhnya orang bila ia menampakkan Islam di suatu
negeri, maka tidak haram iqamah di sana bagi orang yang
melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ja’far dan para shahabatnya,
karena mereka itu menampakkan diennya di negeri orang yang meyakini
perselisihan Islam terhadap diennya, sedangkan mereka adalah orang yang
paling dekat kecintaannya daripada kaum musyrikin dengan nash Al Qur’an.
Maka apakah hukum mereka itu disamakan dengan hukum orang yang
seandainya ia mengetahui dari kamu penyelisihan dalam hal keyakinan,
tentu ia jadikan tauhidullah itu sebagai kekafiran dan keluar dari
keislaman? Dan hukum minimal yang ia terapkan kepadamu adalah diusir dan
disuruh keluar? Fallahul Musta’an.
Jadi secara umum, suatu negeri bila
keadaannya seperti ini, Islam nampak di dalamnya, dan penguasanya
memberikan dukungan kepada pemeluk Islam, merestui mereka di atasnya,
mengakui mereka dan berkata kepada rakyatnya seperti apa yang dikatakan
oleh An Najasyi, maka tidak ada seorangpun yang melarang iqamah
di sana. Bila tauhid yang merupakan pokok segala pokokdan kewajiban
yang paling wajib boleh disembunyikan untuk kepentingan (maslahat)
duniawi, sedangkan ibadah-ibadah lainnya yang merupakan cabang-cabangnya
dinamakan idhharud dien, maka apa faedah ilmu itu?!
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
Dalam kisah hijrah ke Habasyahh, Assuhailiy berkata: Dan di dalamnya
terdapat fiqh: Keluar dari tanah air sendiri meskipun tanah air itu
adalah Mekkah yang mempunyai keutamaan, bila keluar itu adalah dalam
rangka lari menyelamatkan dien, meskipun bukan ke negeri Islam, karena
sesungguhnya Habasyahh di sana orang-orang Nasrani menyembah Al Masih
dan mengatakan ia adalah anak Allah, dan mereka dinamakan Muhajirin
dengan hijrah itu.
Dan mereka adalah ashhabul hijratain yang mendapatkan sanjungan Allah. Mereka telah keluar dari negeri Allah al haram ke
negeri kafir, tatkala hal itu dalam rangka menjaga dien mereka, dan
mereka bisa bebas beribadah kepada Rabbnya, mereka bisa berdzikir
kepada-Nya dalam keadaan aman, dan ini adalah hukum yang terus berlaku
tatkala kemungkaran menguasai suatu negeri, orang mukmin ditindas karena
kebenarannya, kebathilan lebih menguasai kebenaran dan ia mengharap di
negeri lain, negeri mana saja, ia bisa menampakkan diennya dan
menampakkan ibadah kepada Rabbnya, maka sesungguhnya keluar dengan
gambaran seperti ini adalah kewajiban atas setiap mukmin. Dan hijrah
semacam ini tidak terputus hingga hari kiamat (dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah) Al Baqarah: 115, selesai perkataan As Suhailiy.
Lihatlah ucapannya: “Bila keluar itu
adalah dalam rangka menyelamatkan dien,” dan ucapannya: “Maka Allah
menyanjung mereka tatkala perbuatan mereka itu dalam rangka menjaga dien
mereka,” dan ucapannya: “Mereka bisa berdzikir kepada-Nya dalam keadaan
aman,” maksudnya mereka mentauhidkan Allah secara terang-terangan di
tengah orang-orang yang tidak mentauhidkan-Nya seperti kaum Nasrani,
berbeda dengan orang yang menyepakati dalam hal Laa Ilaaha Illallaah seperti orang-orang Yahudi, maka tidaklah cukup kecuali dengan terang-terangan menampakkan keyakinan akan risalah (Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang lalu.
Dan ucapannya: “Dan ini adalah hukum yang
terus berlaku tatkala kemungkaran menguasai suatu negeri, orang mukmin
ditindas karena kebenarannya, kebathilan lebih menguasai kebenaran, dan
ia mengharap di negeri lain, negeri mana saja, ia bisa menampakkan
diennya,” apa dien ini? Apakah engkau mengira bahwa ia adalah tergolong
lafadh umum yang dimaksudkan dengannya makna yang khusus? Tentu tidak,
terus apa kehati-hatian ini semoga Allah merahmatimu? Apakah engkau
menyangka kehati-hatian itu dalam bentuk pergi ke negeri kaum musyrikin?
Tatkala engkau disakiti atas dasar kebenaran di negeri kaum muslimin?
Dan engkau melihat kebathilan mendominasi kebenaran? Alangkah besarnya
tindak kriminal orang yang membolehkan itu bila kita memegang lazim dari
ucapannya? Allahu Akbar, apa gerangan yang dilakukan oleh kejahilan
terhadap pelakunya, hati-hatilah berbicara atas nama Allah?!
Dan adapun yang ia nukil dari Syaikhul
Islam tentang seorang tawanan, bila orang-orang musyrik tidak
menghalanginya dari menunaikan kewajiban-kewajiban diennya, maka itu
tidak menunjukkan terhadap apa yang mereka maksudkan sama sekali, karena
perkataan Syaikh ini tidak nampak menunjukkan bahwa dien ini adalah
sekedar ibadah saja, dan tidak nampak juga menunjukkan bahwa para
penyembah berhala itu tidak ridla dengan tauhid darinya, maka ada
kemungkinan bahwa mereka itu adalah orang-orang Nasrani, sehingga
cukuplah dua kalimah syahadat dan shalat dalam idhharud dien ini di sisi mereka.
Kedua: sesungguhnya telah diketahui
secara pasti dari keadaan Syaikhul Islam apa yang bisa membantah klaim
ini, karena sesungguhnya Syaikhul Islam ini memiliki karakter yang
sangat terkenal dari keadaan dan ungkapannya dalam hal pengagungan
terhadap nash-nash, pembelaan terhadapnya, pambelaan akan dien ini
dengan tangan dan lisan, serta dorongannya untuk memutus hubungan antara
wali-wali Allah dengan wali-wali setan.
Syaikh kami Al ‘Allamah Abdullathif telah
menukil darinya: bahwa ayat-ayat ancaman dalam hal loyalitas kepada
kaum musyrikin menunjukkan hilangnya keimanan yang wajib dari
orang-orang yang berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, dan bahwa memusuhi mereka, membencinya serta menjauhinya
merupakan bagian dari kewajiban-kewajiban dien ini, sehingga ucapan
beliau yang masih muhtamal (banyak kemungkinan) dibawa kepada
yang perkataannya sharih. Dan bila para ‘ulama mahdzab Hanbali
menegaskan bahwa tawanan itu tidak boleh menikah di negeri musuh, seraya
mereka memberikan alasan bahwa ia bisa jadi terjerumus ke dalam agama
mereka. Mereka berkata juga: Dan begitu juga pedagang, karena
dikhawatirkan isterinya itu melahirkan anak, terus anak itu tumbuh di
atas agama mereka. Mereka mengatakan: Pernikahannya itu bisa
menggadaikan dirinya pada kerusakan yang besar ini.
Dan inilah perkataan Al Mughni bersama
matannya, ia berkata: Masalah: Dan tidak boleh menikah di negeri musuh,
kecuali bila tidak kuat menahan syahwat, maka ia boleh menikah dengan
muslimah, tapi ia melakukan ‘azl. Pensyarah berkata setelah
ucapan: Dan Imam Ahmad ditanya tentang tawanan yang ditawan bersama
isterinya, apakah boleh ia menggaulinya? Maka beliau menjawab: Bagaimana
ia menggaulinya? Bisa jadi ia (isterinya) melahirkan anak, sehingga ia
bersama mereka. Bila keadaannya demikian, maka gugurlah apa yang mereka
pahami dari perkataan syaikh dan yang lainnya yangg masih ihtimal.
Bila nash-nash yang masih ihtimal
bila itu shahih harus dikembalikan kepada nash-nash yang sharih, maka
apa gerangan dengan perkataan-perkataan yang berseberangan -bihamdillah- dengan parkataan salaf yang lebih sharih (jelas)? Bahwa idhharud dien itu adalah menampakkan keyakinan dan mengingkari kemungkaran, sehingga tetaplah nash-nash itu bebas tidak ada yang menentangnya bi hamdillah.
Dan tatkala sebagian mereka berhujjah dengan perkataan Malik rahimahullah
tentang orang yang tidak mengetahui apakah ia mencerai (isterinya)
dengan talak satu atau tiga, yang dipegang adalah tiga sebagai bentuk
kehati-hatian, maka Ibnul Qayyim berkata: “Ya, memang ini adalah
perkataan Malik rahimahullah, terus apa hujjahnya atas Asy Syafi’iy, Abu Hanifah, Ahmad rahimahumullah dan
atas setiap orang yang menyelisihi Malik dalam masalah ini?
Sampai-sampai wajib atas mereka meninggalkan perkataan ‘ulama-‘ulama itu
karena sekedar ucapan Malik. Selesai.
Dan kalau kita terapkan pada masalah kita
ini, kita katakan: “Inilah jawaban kita terhadap setiap apa yang
dijadikan hujjah oleh orang yang menyelisihi.
Dan adapun istidlal-nya
dengan kisah Al ‘Abbas dan kisah Nu’aim Ibnu Abdillah Ibnu An Nahham,
atas sekedar iqamah di negeri kaum musyrikin, maka itu tergolong
kebodohan yang sangat jelas, justeru kedua kisah itu adalah hujjah
atasnya bukan baginya dari beberapa sisi:
Di antaranya: Apa yang ada dalam kisah
Nu’aim, bahwa Banu ‘Abdi berkata kepadanya tatkala ia hendak hijrah:
“Muqimlah di tengah-tengah kami sedang engkau tetap di atas dienmu, dan
cukupkanlah kami seperti apa yang telah kami berikan kecukupan
kepadamu,” Maka iapun meninggalkan hijrah beberapa saat karena alasan
itu, kemudian dia hijrah, dan berkata kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Kaumku menghambat saya dari hijrah dan dari taat kepada Allah,” dan
ungkapan ini ditinggalkan oleh teman kamu, sedangkan ini adalah
tergolong khianat dalam penukilan, karena ungkapan ini membantah
syubhatnya, karena termasuk hal yang maklum bahwa larangannya dari orang
yang ingin menyakitinya tidak mungkin terjadi kecuali atas dasar
perbedaan dalam hal dien, karena kalau tidak demikian maka sesungguhnya
orang yang diam itu tidak mungkin disakiti.
Dan dalam sebagian lafadh kisah ini:
“Muqimlah di tengah-tengah kami di atas dien apa saja yang kamu sukai,”
dituturkan oleh Ibnu Atsir dalam Jami’ul Ushul. Ini
nampak sekali menunjukkan bahwa dia terang-terangan dengan diennya yang
mana itu adalah penyelisihan terhadap dien Quraisy, karena dia sudah
masuk Islam semenjak dahulu semasa Islamnya Umar, dan ia itu
menyembunyikan keislamannya, dan tatkala ia hendak hijrah, kaumnya
berjanji untuk melindunginya dari orang-orang yang akan menyakitinya,
maka ia pun menetap seraya menampakkan diennya, namun demikian ia telah
menyayangkan atas sikapnya pernah meninggalkan hijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, berdasarkan ungkapannya: “kaumku menghambat saya dari hijrah,”
berarti itu adalah penghambatan dari kewajiban ini, seandainya boleh
bagi orang yang membolehkan untuk berhujjah dengannya, maka sungguh
tidak ada hujjah juga di dalamnya.
Kemudian seandainya kita menerima bahwa ia itu diizinkan oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka jadilah kisah ini tergolong kasus-kasus individu yang khusus,
karena pemberian izin bagi seseorang itu menunjukkan akan adanya
larangan seandainya tidak ada izin, menurut para ahli ma’aniy,
sebagaimana beliau mengizinkan bagi orang Arab badui dan sebagaimana
beliau mengizinkan bagi Aslam (untuk tidak hijrah) dengan ungkapannya: “Hiduplah di pedalaman wahai Aslam, sedang kalian tetap di atas hijrah kalian,”
Dan bagi syari’at boleh mengkhususkan
orang yang dikehendaki dengan apa yang ia kehendaki, dan contohnya
adalah Al ‘Abbas, sesungguhnya dia itu telah diberi izin, sehingga ia
dikhususkan dari larangan, karena dalam menetapnya ‘Abbas di situ ada
maslahat bagi kaum muslimin. Dan tatkala Ibnu Hajar menyebutkan hujjah
bagi larangan, beliau berkata: Dan di kecualikan dari hal itu orang yang
dalam menetapnya itu terdapat maslahat bagi kaum muslimin, karena
diriwayatkan bahwa Al ‘Abbas itu telah masuk Islam sejak lama, dan
keislamannya itu terus berlangsung hingga hijrahnya, dia menulis
berita-berita kaum musyrikin kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ia itu menginginkan untuk mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepadanya bahwa keberadaanya di Mekkah itu lebih baik.
Ibnu Hajar berkata sesudahnya: Dan hal itu tidak tsabit, dan bila ternyata tidak tsabit adanya izin dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam
baginya, maka tidak ada hujjah di dalamnya, karena sebelum hijrah, yang
berlaku atas ‘Abbas adalah hukum-hukum kaum musyrikin. Ia sebelum Badar
telah keberatan untuk hijrah, dan ia justeru keluar bergabung bersama
kaum musyrikin, kemudian kaum muslimin menawannya dan ia menebus dirinya
sendiri. Sebagaimana hal itu masyhur dalam sirah. Sehingga ia itu
adalah orang yang dihambat dari hijrah sebagaimana dihambatnya Nu’aim radliyallahu ‘anhuma,
maka tidak ada hujjah di dalamnya, sebagaimana tidak ada hujjah dalam
tindakan dia ikut keluar bergabung bersama kaum musyrikin pada perang
Badar.
Dan yang shahih: adalah bahwa Al ‘Abbas itu menampakkan Islamnya setelah Badar, karena sesungguhnya telah tsabit bahwa ia tatkala diberitahu oleh Al Hajjaj Ibnu ‘Alath saat ia mendatangi Quraisy bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah menaklukkan Khaibar, sedangkan Al Hajjaj telah menampakkan kepada Quraisy berita yang berlainan karena Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mengizinkan untuk itu. Dan tatkala Al Hajjaj pergi, maka Al ‘Abbas
berdiri di balai pertemuan Quraisy seraya meneriakkan: “Sesungguhnya
Allah telah memuliakan dien-Nya, dan telah menolong Rasul-Nya,” dan
dalam tindakan ini terdapat hal besar yang membuat orang-orang musyrik
geram, sehingga gugurlah berhujjah dengan dua kisah itu dengan kedua
maknanya, dan terurailah syubhat itu dari pangkalnya.
Dan adapun ungkapan dari Ibnul ‘Arabiy: “Bahwa hijrah difardlukan pada zaman Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan terus berlangsung hukumnya bagi orang yang khawatir atas dirinya,” maka jawabannya dari beberapa sisi:
Pertama: Sesungguhnya telah kami jelaskan kepadanya, bahwa itu adalah hadits dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga istidlal dengannya adalah istidlal dengan mafhum,
dan hal itu adalah lemah bila bertentangan dengan nash, bagaimana tidak
sedangkan ia mengandung ungkapan yang tidak ada hujjah di dalamnya.
Kedua: sesungguhnya ungkapan An Nawawiy darinya membantah hal ini, karena beliau rahimahullah berkata dalam Syarah Arba’iinnya: Ibnul Arabiy berkata: Para ‘ulama rahimahumullah membagi (hukum) pergi di bumi ini, dalam rangka mencari dan dalam rangka lari, ke dalam beberapa macam:
- Yang pertama: Terbagi menjadi enam bagian, pertama: Keluar dari darul harbi ke darul Islam, dan ini terus berlangsung hingga hari kiamat, sedangkan yang terputus dengan penaklukan (kota Mekkah) dalam sabdanya: “Tidak ada hijrah setelah penaklukkan (Mekkah),”Adalah hijrah mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
- Kedua: keluar dari negeri bid’ah, dan beliau menuturkan perkataan Al Qasim dari Malik yang lalu. Silahkan bandingkan antara ini dengan global ucapan yang kamu nukil darinya yang tidak ada penegasan di dalamnya.
- Ketiga: Sesungguhnya kekhawatiran akan dirinya dengan idhharud dien adalah salah satu dari dua kemungkinan yang lebih dekat, karena selaras dengan ungkapan pendahulunya.
Dan adapun ucapannya, Al Khaththabiy
berkata: “Hikmah atas wajibnya hijrah atas orang yang masuk Islam adalah
agar ia selamat dari penindasan orang-orang kafir, karena sesunggguhnya
mereka menyiksa orang yang masuk Islam supaya mau meninggalkan
diennya,” Sungguh saya tidak mendapatkan hal itu berasal dari perkataan
Al Khaththabiy, akan tetapi itu adalah berasal dari perkataan Al Hafidh,
sedangkan perkataan Al Khaththabiy ada sedikit sebelumnya, dan itu ada
dalam Fathul Bari, silahkan rujuk.
Kemudian itu adalah tergolong penafsiran
sesuatu dengan sebagian individu-individunya. Dan sebagian orang telah
memberikan alasan: Sesungguhnya hijrah itu hanya difardlukan dalam
rangka memeperbanyak jumlah kaum muslimin. Dan sebagian memberikan
alasan (itu) untuk mempelajari syaraa’i dien ini. Sebagian
mengatakan alasannya adalah karena takut fitnah. Dan telah kami tuturkan
sebelumnya: Bahwa satu hukum bisa saja sebabnya bermacam-macam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Salaf radliyallahu ‘anhum
menyebutkan dalam penafsiran mereka jenis apa yang dimaksud oleh ayat,
dalam rangka memberikan contoh. Maksud mereka itu bukan mengkhususkan
macam tanpa macam yang lainnya. Selesai.
Ash Shan’aniy rahimahullah berkata: ‘Illat (alasan
hukkum) yang disebutkan oleh nash tidak menunjukkan pembatasan
kepadanya saja menurut ahli ushul, dan telah diuraikan kepadamu
sebelumnya berulang-ulang apa yang menunjukkan bahwa takut fitnah itu
adalah dengan sebab dakwah illallaah dan idhharud dien,
karena tidak ada fitnah yang diprediksikan bagi orang yang diam
meskipun dia hidup di negeri Romawi (Barat/Amerika, pent), apakah orang
yang berakal tidak malu dari membawa perkataan para ‘ulama terhadap
pemahaman dia belaka, yaitu bahwa melakukan ibadah-ibadah selain
keyakinan, adalah idhharud dien?! Fallahul musta’aan.
Seandainya ini diterima, tentulah
terurailah ikatan hijrah itu dari pangkalnya. Dan tatkala Al Mawardiy
menyebutkan apa yang secara umum bisa diterima, yaitu bahwa orang yang
mengharapkan dengan keberadaannya itu orang lain masuk Islam, maka boleh
hal itu (muqim) baginya, justeru ungkapannya ini banyak diingkari dan dibantah oleh para ‘ulama, sebagaimana yang telah lalu.
Dan adapun penukilannya dari Al Mawardiy
dan Al Hafidh, keduanya sesuai dengan perkataan Aisyah: “tidak ada
hijrah pada hari ini, dahulu orang mukmin lari membawa diennya kepada
Allah dan Rasul-Nya, karena khawatir ditindas. Adapun pada hari ini,
maka sungguh Allah telah menampakkan Islam ini,” perkataan Aisyah ini
sangatlah tegas bahwa alasan yang karenanya dahulu orang mukmin lari
membawa diennya telah hilang dengan nampaknya (kemenangan) Islam ini.
Dan kami mengatakan sesuai dengan apa yang dituntut oleh hal itu,
sedangkan mahfuum perkataan Al Hafidh bukanlah apa yang
dimaksud oleh perkataan Aisyah, bila itu diterapkan sesuai dengan apa
yang diklaim oleh orang yang membolehkan, padahal itu juga adalah
sekedar ungkapan, dan dalam penukilannya terdapat perubahan yang
mencoreng yang tidak layak dilakukan oleh pencari ilmu. Dan sekarang
saya akan menuturkan kepadamu perkataannya dari pangkalnya, supaya kamu
mengetahui bahwa ilmu ini adalah dien.
Al Hafidh berkata:
Pengisyaratan ‘Aisyah terhadap penjelasan disyari’atkannya hijrah, dan
bahwa penyebabnya adalah takut fitnah, sedangkan hukum itu adalah
berputar bersama alasannya, sehingga muqtadla ungkapannya bahwa
orang yang mampu untuk beribadah kepada Rabbnya di tempat mana saja di
mana ia tinggal, maka hijrah itu tidak wajib atasnya, dan karena atas
dasar itulah Al Mawardiy berkata: Bila ia mampu menampakkan diennya
disuatu negeri di negeri-negeri kafir, maka negeri itu dengannya telah
menjadi negeri Islam. Selesai perkataan Al Hafidh.
Orang yang membolehkan itu menggugurkan
perkataan Al Hafidh, “dan karena atas dasar itulah,” dan bisa jadi dia
lalai darinya. Dan ungkapan itu menunjukkan bahwa perkataan Al Hafidh
itu dibangun di atas dasar itu, dan bahwa Al Mawardiy memahami seperti
apa yang dipahami oleh Al Hafidh, karena makna dari “dan karena atas
dasar itulah,” ini adalah dari keadaan seperi ini, maka ketahuilah bahwa
ia melihat makna itu yang dimaksud oleh Al Mawardiy, yaitu bolehnya iqamah bagi
orang yang menampakkan diennya dan mengharapkan keislaman orang lain,
padahal sesungguhnya perkataan Al Hafidh itu mengisyaratkan: pelemahan
terhadap ungkapan Al Mawardiy akan afdalnya iqamah itu. Dan
telah kami ketengahkan kepada anda pembahasan terhadapnya, dan bahwa apa
yang diungkapkan oleh Al Mawardiy itu tidak bisa diterima, dan begitu
juga tidak bisa diterima apa yang dikatakan oleh Al Hafidh, bila memang
ia setuju dengan Al Mawardiy, lagian ungkapan ini masih mengandung
banyak kemungkinan lagi tidak tegas.
Karena ibadah adalah lafadh yang umum, tidak bisa dibawa kepada apa yang mereka klaim kecuali dengan adanya qarinah –sebagaimana yang dikatakan oleh ‘ulama bayan– sedangkan di sini tidak ada qarinah,
sehingga membawa lafadh itu dan begitu juga membawa apa yang sebelumnya
dan apa yang sesudahnya dari ungkapan-ungkapan muthlaq para ‘ulama,
terhadap apa yang didukung oleh dalil berupa ungkapan syari’at adalah
lebih utama, karena wajibnya mengembalikan kepadanya saat terjadi
perselisihan.
Dan adapun nukilan dari Al Hafidh dan Ibnu Qudamah, yaitu bahwa idhharud dien adalah
melaksanakan kewajiban-kewajiban, maka telah lalu uraian terhadap
engkau uraian yang menunjukkan bahwa tidaklah bisa berdalil dengannya
dengan kemungkinan makna manapun, karena mereka dalam ungkapannya
melakukan pemisahan antara dua ungkapan. Mereka mengatakan: Tidak
memungkinkan baginya untuk menampakkan diennya dan tidak mungkin baginya
untuk melaksanakan kewajiban-kewajiannya. Dan mereka mengulangi kalimat
itu dua kali, sehingga hukum itu terdiri dari dua bagian, dan tidak sah
tanpa keduanya, maka jelaslah bahwa idhharud dien adalah idhhar keyakinan.
Syaikhul Islam berkata:
Hal yang terdiri dari beberapa bagian, maka bentuk gabungan itu dibangun
di atas bagian-bagian itu lagi tersusun darinya, karena pengulangan
imbuhan menurut ahlul ma’aaniy adalah dalam rangka membangun
hukum bukan untuk menguatkan. Dan saya mengira bahwa itu tidak
membedakan antara dua macam itu, sebagaimana ia tidak bisa membedakan
antara al ‘aam al muthlaq yang meliputi seluruh individu-individunya dengan ‘umuumaat
yang mencakup akan sesuatu. Dan ini bukanlah hal yang baru, karena
klaim-klaim itu telah banyak, dan seandainya di sana ada perbedaan tentu
al muta’akhkhirun mengingatkan terhadapnya, karena mereka tegas-tegasan akan yang dimaksud, sebagaimana yang lalu.
Dan adapun penukilannya dari Al Hafidh: Bahwa bila tidak ada Imam, maka wajib atas kaum muslimin…..
Maka jawabannya: sesungguhnya mengangkat
imam itu adalah hujjah yang nampak tentang sikap mencari kekuatan,
sedangkan kekuatan itu tidak bisa terjadi kecuali dengan melaksanakan
perintah dan larangan. Dan maknanya bahwa mereka itu mengangkat imam dan
qadli yang memutuskan dengan hukum Al Qur’an, terus apa imam
ini? Dan apa kekuatan ini bila tidak bisa merealisasikan sesuatupun? Dan
apa sisi pengambilan dalil itu? Dan apa hubungannya dengan iqamah ditengah kaum musyrikin bagi orang Islam yang tidak mampu menampakkan diennya?!
Dan ungkapannya: “Dan perkataan ‘ulama
sangatlah banyak,” adalah sekedar membesar-besarkan yang tidak usah
dipedulikan. Dan bila memang ini adalah ujung pengetahuannya, maka bila
ia hendak tentu ia menukil berjilid-jilid. Dan telah kami jelaskan
padamu di awal jawaban perkataan Ibnul Qayyim, yaitu bahwa bila Al Kitab
dan As Sunnah sepakat atas suatu hukum, maka tidak mungkin bisa
ditentang, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat bagimu dengannya,
karena itu adalah hal pokok yang mampu menghilangkan darimu
syubhat-syubhat yang banyak. Bukanlah yang menjadi patokan itu banyaknya
tulisan, akan tetapi yang menjadi segala patokan adalah berada pada
pemahaman nash-nash yang ada, serta mengembalikan nash-nash yang masih muhtamal kepada nash-nash yang sharih.
Dan tatkala sebagian orang magharibah
(maghrib) melihat suatu ungkapan yang membuat dia terkesan, ia berkata:
“Ahli fiqh itu bukanlah orang yang hafal akan banyak ilmu, akan tetapi
ahli fiqh adalah orang yang mengetahui mawaaqi’ul khithab dan madluulatul alfadh.
Dan siapa yang mengira hal itu, maka ia telah mengira seperti apa yang
dikira oleh banyak orang: Bahwa ahli sepatu adalah orang yang memiliki
banyak sepatu, bukan orang yang mampu membuat sepatu. Bisa jadi ia
didatangi oleh orang yang memiliki kaki yang tidak selaras dengan semua
sepatu yang ia miliki, maka akhirnya ia justeru mendatangi pembuat
sepatu, terus ia membuatkan sepatu yang selaras dengan kaki orang itu.
Dan adapun ihtijaj dia dengan
safarnya Abu Bakar, maka ini adalah tergolong kejahilan yang paling
besar, karena telah ada pada hati-hati para shahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam hal yang sudah terkenal berupa rasa ghirah
terhadap Allah dan dien-Nya, rasa permusuhan terhadap musuh-musuh
Allah, penumpahan darah dalam rangka mencapai keridlaan-Nya, serta
meninggalkan orang tua, saudara dan kerabat. Dan ini semua telah di
kenal lagi tidak samar kecuali atas orang yang ingin mengkaburkan yang
haq dengan yang bathil. Ini contohnya Sa’ad tatkala beliau datang ke
Mekkah, ia langsung menghadang Umayyah dan mengancamnya dengan yang
telah dikabarkan oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu beliau pasti membunuhnya, padahal ia (Sa’ad sedang dalam status
singgah di rumah) Umayyah, sehingga ungkapannya itu membuat dia geram,
akan tetapi Sa’ad tidak mempedulikannya.
Contoh lain, saudari Umar radliyallahu ‘anhu, tatkala
Umar berkata kepadanya: “Perlihatkan kepadaku kitab itu,” ia berkata:
“Sesungguhnya kitab ini tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang
yang suci,” ia tidak mengindahkan Umar, padahal ia (Umar) telah melukai
kepalanya, namun demikian ia justeru mengatakan: “Meskipun hal itu
-maksudnya Islam- tidak kamu sukai,”
Dan begitu juga Ummu Habibah Bintu Abu Sufyan, ia melipat tikar Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam
supaya tidak diduduki oleh ayahnya, maka Abu Sufyan berkata: “Wahai
puteriku, apakah kamu tidak menyukai tikar ini didudukiku, atau engkau
tidak suka aku duduk di atasnya?” Maka ia berkata: “Justeru itu adalah
tikar Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik lagi najis, sehingga saya tidak suka engkau duduk di atasnya”.
Dan hal-hal seperti ini adalah banyak dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan mereka radliyallahu ‘anhum wa arlaahum.
Dan yang dimaksud adalah: Bahwa mereka memiliki ghirah
yang sangat terkenal, dan kepentingan-kepentingan safar mereka itu
adalah untuk dien ini, mendakwahkannya secara terang-terangan, dan
hujjah-hujjah mereka atas musuh-musuhnya adalah tegak lagi menang. Dan
siapa orangnya yang berdalil dengan hal ini untuk apa yang dilakukan
oleh orang masa sekarang, maka dia itu adalah orang yang mukaabir
(ngotot), tidak ada pilihan lain, dan ia itu bagaikan orang yang
berdalil dengan bolehnya mencium di bulan Ramadlan terhadap bolehnya
bersenggama di dalamnya.
Wal hasil: Sesungguhnya orang muslim
tidak dikatakan menampakkan diennya, baik dia itu musafir atau muqim,
sampai ia menyelisihi setiap kelompok dengan ajaran yang masyhur
darinya, dan itulah yang dipahami dari perkataan salaf. Adapun ucapan:
“Wahai kafir,” dan ucapan: “Buktikan kepada kami sebuah dalil atasnya,
meskipun dari tarikh atau yang lainnya,” ini adalah ungkapan yang tidak
dikatakan oleh seorangpun, dan kami tidak mengetahui seorangpun yang
mengatakan disyaratkannya hal itu, karena itu tergolong hal yang tidak
ada maslahat di dalamnya, termasuk seandainya ia mengajak orang lain
kepada dien ini.
Karena sesungguhnya Allah berkata kepada Musa dan Harun, tentang orang yang mengaku sebagai tuhan:
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (٤٤)
“Maka berbicarah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut,” (Thahaa: 44)
Akan tetapi cukup darinya dengan menampakkan tauhid, mengingkari syirik, dan baraa’ah dari mereka, serta terang-terangan terhadap mereka dengan hal itu, wallahu a’lam.
Kita mesti kembali kepada pembahasan yang dituntut oleh keadaan, saya
akan mengetengahkan sebagian ungkapan-ungkapan para imam dakwah ini,
dengannya saya mengakhiri jawaban ini, meskipun saya telah menyebutkan
sedikit darinya dalam uraian yang lalu, dan pengulangan itu terkadang
dirasakan enak, sebagaimana dikatakan:
Terus ulangilah perkataanmu hingga engkau membuatpendengar bosan, Dan sebenarnya siapa oranghya yang bosan dari bernafas.
Dan dalam jawaban-jawaban
putera-putera Syaikh, tatkala mereka ditanya, apakah boleh atau tidak
orang safar ke negeri orang-orang kafir, sedangkan syi’ar-syi’ar
kekafiran nampak, dalam rangka berniaga?
Jawaban dari pertanyaan ini, adalah jawaban bagi hal yang sebelumnya, sama saja, dan tidak ada perbedaan dalam hal itu antara darul harbi dan darushshulhi. Setiap negeri di mana orang muslim tidak mampu menampakkan diennya di dalamnya, maka tidak boleh safar ke sana.
Penanya berkata juga: Apakah di bedakan
antara jangka waktu yang pendek –seperti sebulan atau dua bulan– dengan
jangka waktu yang lama?
Jawabannya: Tidak ada perbedaan antara
waktu yang pendek dengan waktu yang lama, setiap negeri di mana orang
muslim tidak mampu menampakkan diennya di dalamnyadan tidak mampuuntuk
tidak loyalitas kepada kaum musyrikin, maka tidak boleh baginya bermuqim
di sana, meskipun hanya satu hari, bila memang ia mampu untuk keluar
darinya. Selesai.
Dan dalam jawaban-jawaban mereka lainnya:
Apa pendapat antum tentang orang yang masuk dalam dien (tauhid) ini, ia
mencintainya, ia juga mencintai orang yang masuk di dalamnya, serta ia
membenci kemusyrikan? Sedangkan keluarganya terang-terangan memusuhi
Islam, dan mereka memerangi ahlu tauhid, sedangkan ia beralasan bahwa
meninggalkan negerinya itu terasa berat baginya, dan ia tidak
meninggalkan mereka dengan alasan-alasan ini, maka apakah orang ini
muslim atau kafir?
Jawabannya: Adapun orang yang mengetahui
tauhid dan beriman kepadanya, ia mencintai tauhid dan mencintai ahlu
tauhid, ia mengetahui syirik dan membencinya serta membenci pelakunya,
akan tetapi penduduk negerinya berada di atas kekafiran dan kemusyrikan,
dan ia tidak berhijrah, maka ini ada rincian di dalamnya. Bila ia mampu
menampakkan dien (tauhidnya) di tengah-tengah mereka, baraa’ah
dari mereka dan dari keyakinan dien mereka, dan ia menampakkan kepada
mereka kekafiran mereka dan sikap permusuhannya terhadap mereka, serta
mereka tidak memalingkan dia dari diennya karena alasan keluarga atau
harta atau yang lainnya, maka orang seperti ini tidak dihukumi kafir,
akan tetapi bila ia mampu hijrah tapi tidak hijrah, dan terus mati di
tengah-tengah kaum musyrikin, maka kami mengkhawatirkan dia itu telah
masuk dalam golongan orang-orang yang ada dalam ayat ini:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا
كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ
وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ
وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ
سَبِيلا (٩٨)
“Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada
mereka) Malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”
Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),” (An Nisa: 97-98)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak
mengudzur kecuali orang yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak
mengetahui jalan, akan tetapi orang seperti itu sangatlah jarang pada
masa sekarang, hingga akhir jawabannya.
Ini adalah jawaban Syaikh Husain (Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab) dan Syaikh Abdullah Ibnu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahumullah wa ‘afaa ‘anhum. Sungguh mereka telah memahami dari pemuthlakan nash-nash itu larangan dari hidup di tengah-tengah mereka secara muthlaq.
Dan kami mengatakan: Rukhsah
bagi orang yang mampu menampakkan diennya dengan cara terang-terangan
atau membedakan diri dari mereka yang diharapkan dengannya keislaman
orang lain, sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepadamu dari salaf,
akan tetapi rukhsah ini dibatasi dengan batasan aman dari
fitnah, sedangkan engkau mengetahui benar bahwa mayoritas orang-orang
yang safar pada masa sekarang tidak mengetahui apa yang diharamkan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, berupa loyalitas kepada musuh-musuh-Nya Subhanahu Wa Ta’ala
serta macam-macam loyalitas itu, dan tidak mengetahui apa yang membuat
orang muslim menjadi kafir dan apa yang tidak membuat dia kafir, serta
apa yang bisa menjaga diennya.
Bahkan justeru (gerak) loyalitas mereka
terhadap kaum musyrikin lebih cepat daripada air ke tempat yang rendah.
Mana orangnya yang mengetahui dalil-dalilnya dan menampakkannya kepada
lawan bila ia diberi cobaan di sana? Justeru umumnya mereka itu –kecuali
orang yang Allah kehendaki– terkena fitnah pada awal syubhat itu
mendatangi dia. Ini adalah perkataan Aimmatud dakwah, dan siapa
yang mengingkarinya, maka pada hakikatnya dia itu telah mengingkari
mereka, meskipun ia pura-pura buta dari mereka dan justeru menjadikan
pendapat itu sebagai pendapat orang yang sezaman dengan dia.
Dan bila saja Syaikh dan para pengikutnya
hingga hari ini, mereka itu mengatakan sesuai dengan apa yang di tuntut
oleh nash-nash yang telah kami ketengahkan, serta mereka loyalitas dan
memusuhi di atas dasarnya, maka sekarang ia harus ditanya: Apakah mereka
dalam apa yang mereka tetapkan itu berada pada manhaj yang lurus dan shiratul mustaqim
atau mereka itu tergolong orang yang tidak mengetahui kandungan makna
yang dimaksud, serta tidak mengetahui pokok-pokoknya serta
bangunan-bangunannya? Hendaklah ia membuka penutup muka, dan hendaklah
ia menjelaskan sisi kekeliruan dengan keterangan pemungkas.
Adapun banyak ngalor-ngidul dan pentalbisan,
maka ini tidak kami butuhkan, dan kami tidak menerima sekedar penukilan
yang ditempatkan bukan pada tempatnya, akan tetapi yang kami terima
adalah bantahan yang sesuai dengan etika diskusi, di mana bantahan itu
harus dengan yang setara dalam keshahihannya, atau dengan nash yang
memastikan hukum yang tidak mengandung kemungkinan kecuali satu madlul saja, dan mana mungkin ia mendapatkan hal itu, karena seandainya kita berangkat mengikuti hal-hal yang masih muhtamal
(banyak mengandung kemungkinan) dan basa-basi, serta kasus-kasus
individu yang berkenaan dengan orang-orang tertentu atau zaman atau
keadaan, maka di bumi ini tidak tersisa satu sunnahpun yang di amalkan.
Dan tidak ragu lagi bahwa pengadaan
diskusi dalam pokok yang paling pokok ini, hanyalah diserahkan kepada
‘ulama Islam dan orang yang memiliki bashirah dan perhatian
terhadap masalah ini. Dan hal seperi ini membuat orang yang menggeluti
diskusi semacam ini mengalami penyakit gila dan birsaam, maka
kenalilah wahai saudaraku kebenaran itu dengan dalilnya, dan tinggalkan
berdebat di dalamnya, karena berdebat itu adalah pertanda keterhalangan
dari kebaikan. Habrul Ummah radliyallahu ‘anhu berkata: Berdebat itu tidak bisa dipahami hikmahnya dan akibat negatifnya tidak bisa dirasa aman.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Hakikat ta’dhim terhadap perintah dan larangan adalah keduanya tidak boleh ditentang dengan pengambilan rukhshah
yang semaunya, dan tidak bolah ditentang dengan sikap ekstrim yang
berlebihan, serta keduanya tidak boleh dibawa kepada satu alasan yang
melemahkan ketundukkan, karena sesungguhnya yang dimaksud adalah jalan
yang lurus yang menghantarkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sedangkan Allah tidaklah memerintahkan suatu perintah, melainkan
syaithan itu memiliki dua tarikan di dalamnya, bisa jadi dengan taqshiir dan tafriith (penyepelean) dan bisa jadi dengan ifraath dan ghuluww
(berlebihan), kemudian syaithan itu tidak peduli dari hamba ini mana
yang ia dapatkan dari dua tipu daya itu. Selesai. Dan alangkah dekatnya
kedua tipu daya itu, maka siapa orangnya yang syaithan telah
menguasainya, dia loyalitas kepadanya, serta mencari ilmu karena selain
Allah, dan hal yang keadaannya seperti itu, maka inilah akibatnya.
Faqihuz Zaman Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain
memiliki perkataan yang selaras bila disebutkan dalam bahasan ini dalam
risalah beliau kepada Alu Sulaim, beliau berkata: Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah
mengabarkan tentang orang-orang Yahudi bahwa mereka itu suka merubah
perkataan dari yang semestinya, yaitu mereka menta’wil kitabullah kepada
selain apa yang Allah maksud, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (٧٥)
“Padahal segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui.” (Al Baqarah: 75)
Dan Allah mengabarkan tentang mereka juga bahwa mereka itu:
يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
“percaya kepada jibt dan thaghut, dan
mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu
lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (An Nisa: 51)
Dan pasti ada di tengah-tengah umat ini
orang yang mengikuti mereka dalam apa yang Allah cela mereka dengan
sebabnya. Orang bila telah mengetahui kebenaran dan lawannya, maka ia
tidak akan peduli dengan penyelisihan orang yang menyelisihi, siapa saja
orangnya, di hatinya tidak menjadi besar penyelisihan orang ‘alim,
tidak juga orang ahli ibadah. Dan yang paling saya takutkan adalah orang
yang melihat banyak hal (mungkar) yang tidak ada seorangpun yang
mengingkarinya.
Kemudian beliau menyebutkan kamusyrikan,
dan beliau menyebutkan cobaan yang dialami Syaikul Islam dari
‘ulama-‘ulama yang sezaman dengannya. Beliau berkata: “Dan mayoritas
manusia pada hari ini -terutama para penuntut ilmu- samar atas mereka
kemusyrikan ini.” Selesai dari risalahnya yang masyhur.
Faedahnya adalah: Mengetahui bahwa iman ini memiliki andil yang sangat besar dalam mengetahui ushulud dien
dan cabang-cabangnya, semangat imaniyyah karena Allah dan Rasul-Nya,
serta firasatnya yang selalu benar dalam hal pembengkokan cabang dien
ini dan kelayuannya.
Ini adalah akhir apa yang kami utarakan
sebagai tambahan atas jawaban pertanyaan. Yang mendorong saya
melakukannya adalah nasihat bagi kaum muslimin dan rasa kasihan terhadap
ahlud dien ini saat keterasingan Islam (tauhid) ini sangat dahsyat, dan
orang yang mengaku berilmu justeru berpaling dari apa yang menjadi
kewajibannya, serta justeru ia cenderung kepada apa ygn digandrungi
orang awam. Saya lakukan ini seraya saya ungkapkan apa yang dikatakan
oleh sebagian ‘ulama al a’lam:
Engkau persembahkan kepada Allah amalan yang telah saya lakukan, Tidak ada masalah bagimu dengan mereka,Apakah mereka mencelamu atau mereka memujimu
Dan saya memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar Dia meneguhkan kita di atas dien yang lurus dan shiratul mustaqim,
dan Dia tidak menyesatkan hati-hati kami setelah Dia memberikan hidayah
kepada kami. Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Alamiin, semoga
shalawat Allah limpahkan kepada utusan paling mulia, Muhammad,
keluarganya serta para shahabat seluruhnya.
- Pujian Para ‘Ulama Terhadap Tulisan Syaikh Ishaq
Segala puji hanya milik Allah yang
menggugurkan tipu daya orang-orang yang melakukan tipu daya, Dia yang
menegakkan hujjah atas para thaghut dan para pembangkang, Dia yang
memberikan apa yang dikehendaki-Nyaorang yang Dia kehendaki, berupa
pambelaan akan al haq dan dien ini, sebagai bentuk realisasi nyata apa
yang dikabarkan oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda: “Ilmu
ini dibawa oleh orang yang adil dari setiap generasi, mereka menafikan
darinya pengubahan orang-orang yang berlebih-lebihan, dan pengkaburan
orang-orang yang berupaya menggugurkan, serta penta’wilan orang-orang
yang jahil,”
Inilah, dan apa yang ditulis serta
diimlakan oleh Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman dalam lembaran-lembaran ini
adalah kebenaran dalam masalah-masalah yang penting ini, yang mana
dhahir luar orang yang mengutarakan pertanyaan adalah seperti orang yang
mencari kebenaran, sedangkan hakikatnya adalah penentangan, debat,
jidaal dan pembangkangan. Maka beliau mengutarakan jawaban dengan penuh
faedah dan sangat baik dalam menetapkan kebenaran serta dalam menafikan
apa yang menjadi kebalikannya yang dilontarkan oleh orang-orang dungu
dan bodoh itu, yang mana hakikat tujuan mereka itu adalah pengkaburan
dan pentalbisan terhadap orang-orang awam dan orang-orang bodoh,
sehingga mereka itu mendapatkan bagian dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا (١١٥)
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa: 115)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya,” (Ali Imran: 7)
Dan dalam hadits shahih dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bila
kalian melihat orang yang mengikuti mutasyabih, maka mereka itu adalah
orang-orang yang telah Allah sebutkan, maka hati-hatilah dari mereka,”
Maka kami memohon kepada Allah Yang Maha
Agung agar Dia memberikan petunjuk kepada kami dan para ikhwan terhadap
jalan-Nya yang lurus, dan menjauhkan diri kami dan mereka dari jalan
orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Dia-lah yang
mencukupi kami dan Dia-lah sebaik-baiknya penolong.
Dan di antara yang memberikan pujian
terhadap tulisan ini adalah imam zamannya Asy Syaikh Al ‘Alim Al
‘Allamah Abdullah Ibnu Abdillathif, Asy Syaikh Al ‘Allamah Hasan Ibnu
Husain, Syaikh Abdul ‘Aziz Ibnu Muhammad, Syaikh Muhammad Ibnu Mahmuud,
Syaikh Ibrahim Ibnu Abdil Malik dan Syaikh Sa’ad Ibnu ‘Atiq semoga Allah
memberikan rahmat-Nya kepada mereka, serta memaafkan kita dan mereka
dengan karunia dan kemuliaan-Nya, sesungguhnya Dia adalah Maha Dekat
lagi Maha Mengijabah.
Risalah
ini berikut pujiannya ada dalam Kitab Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah
An Najdiyyah 12/393-460. Cetakan III tahun 1417 H/1997 M.
Diambil dari: