Sesungguhnya ibadah itu dibangun di atas dalil baik dari Al-Qur’an
maupun as-Sunnah yang dipahami oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Tatkala para pemakmur kuburan yang mencari barokah di sana mengetahui
bahwasanya perbuatan mereka menyelisihi dan bertentangan dengan terlalu
banyak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka merekapun
berusaha untuk berdalil dengan perkataan ulama yang sepakat dengan
aqidah mereka.
Diantara perkataan para ulama yang dijadikan dalil untuk menguatkan
kebiasaan mereka beribadah di kuburan adalah perkataan Al-Baidhowi
rahimahullah.
Padahal perkataan Al-Baidhoowi ini menyelisihi kesepakatan para ulama
besar madzhab As-Syafi’iyah. Dan para pemakmur kuburan di tanah air
kita secara umum mengaku bermadzhab As-Syafiiyah. Akan tetapi tatkala
ada perkataan seorang ulama yang sesuai dengan keyakinan mereka maka
merekapun ramai-ramai memegang teguh perkataan tersebut dan meninggalkan
hadits-hadits yang begitu banyak yang tidak sesuai dengan kebiasaan
mereka…serta meninggalkan kesepakatan perkataan para ulama besar
Asy-Syafiiyah.
“Berkata Imam Ibn Hajar : Berkata Imam Al Baidhawiy : ketika orang
yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para Nabi mereka dan berkiblat
dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat
patung-patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka, dan melarang muslimin
berbuat itu,
tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabaruuk dengan kedekatan pada mereka
tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk
pada ucapan yang dimaksud hadits itu” (Fathul Baari Al Masyhur Juz 1 hal
525)” (lihat Meniti Kesempurnaan Iman hal 31)
SANGGAHAN
Kita lihat kembali perkataan Al-Baidhawi rahimahullah :
“Adapun orang yang menjadikan mesjid di dekat (kuburan) seorang yang
sholeh dan bermaksud untuk mencari keberkahan dengan dekat dari orang
sholeh tersebut, dan
bukan untuk mengagungkannya dan juga bukan untuk mengarah kepadanya (tatkala sholat-pen) maka tidak termasuk dalam ancaman (laknat-pen) tersebut”
Bantahan terhadap Al-Baidhowi :
Pertama : Perkataan Al-Baidhowi tentang bolehnya
beribadah di kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan
seluruh dalil yang menunjukan larangan menjadikan kuburan sebagai
masjid,
karena hadits-hadits tersebut melarang sholat di kuburan secara mutlak, tanpa membedakan niat mencari berkah atau tidak.
Dan telah lalu atsar kisah Anas bin Malik yang sholat di dekat
kuburan tanpa ia sadari, dan tentunya Anas tidak sedang mencari barokah
dikuburan. Namun demikian ia tetap ditegur oleh Umar bin Al-Khottoob
radhiallahu ‘anhu.
Oleh karenanya wajib bagi Habib Munzir –yang telah menukil dan
sepakat dengan perkataan Al-Baidhowi ini- untuk mendatangkan dalil yang
mengkhususkan dalil-dalil umum dan mutlak larangan sholat di kuburan…!!!
Karena sebagaimana yang dikenal dalam ilmu ushul fikih jika
datang dalil secara umum dan mutlak lantas tidak ada dalil yang
mengkhususkannya atau mentaqyidnya maka dalil tersebut tetap pada
keumuman dan kemutlakannya.
Kedua : Kontradiksi perkataan Al-Baidhowi yang
melarang pengagungan terhadap kuburan orang sholeh, namun membolehkan
sholat di dekat kuburan orang sholeh untuk bertabaruuk. Padahal
bertabaruuk dengan kuburan orang sholeh itu merupakan bentuk pengagungan
terhadap kuburan tersebut.
Setelah menukil perkataan Al-Baidhowiy, As-Shon’aani berkata :
“Aku katakan : Perkataan Al-Baidhoowi : “
Bukan untuk mengagungkannya“, maka jawabannya :
(*1)”Membangun masjid-masjid di dekatnya dan sengaja bertabaruuk (mencari barokah) dengannya
merupakan (bentuk) pengagungan kepadanya.
(*2)Kemudian hadits-hadits yang melarang datang secara mutlak, tidak
ada dalil yang menunjukan ta’lil (sebab larangan) sebagaimana yang
disebutkan oleh Baidhoowi.
(*3) Tampaknya ‘illahnya (sebab pelarangannya) adalah :
- sadd adz-dzarii’ah (*menutup pintu yang mengantarkan pada keysirikan)
- dan juga menjaauh dari bertasyabbuh (menyerupai) para
penyembah berhala yang mereka mengagungkan benda-benda mati yang tidak
mendengar dan tidak memberi manfaat atau bahaya
- dan juga mengeluarkan biaya harta untuk hal ini termasuk
perkara sia-sia dan mubadzir yang sama sekali kosong dari manfaat,
- dan hal ini juga menyebabkan pemasangan lantera di atas kuburan yang pelakunya dilaknat
- serta kerusakan-kerusakan yang tidak terhingga yang timbul
akibat membangun di atas kuburan berupa masyaahid (situs ziarah) dan
kubah-kubah di atas kuburan” (Subulus salaam syarh Buluughil Maroom,
Daar Al-Ma’aarif, cetakan pertama, juz 1 hal 445)
Ketiga : Perkataan Al-Baidhoowi akan bolehnya sholat
dekat kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan
kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafii. Padahal kita ketahui
bersama bahwasanya orang-orang yang “hobi” memakmurkan kuburan dan
sholat di kuburan di tanah air kita rata-rata mengaku bermadzhab
As-Syafii.
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata :
“Dan
telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga
Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat
masyhur dengan kesholehan atau tidak karena
keumuman hadits-hadits (*yang melarang).
Ay-Syafii dan para Ash-haab berkata, “Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak“.
Al-Haafizh Abu Muusa berkata, “Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan
Az-Za’farooni rahimhullah : Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya,
baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits
Nabi, wallahu A’lam”.(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu’
syarh Al-Muhadzdzab 5/289)
Nukilan ini sangatlah tinggi nilainya dalam madzhab As-Syafiiah, dari sisi-sisi berikut:
Pertama : Yang menukil adalah Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang dikenal sebagai
muhaqqiqul madzhab.
Tentunya para pemakmur kuburan yang senantiasa berkecimpung dengan
madzhab As-Syafii sangat mengetahui kedudukan Imam An-Nawawi dalam
madzhab As-Syafii?, bahkan dialah yang paling paham tentang
pendapat-pendapat para ulama As-Syafi’iyah, demikian juga perbedaan
pendapat yang di antara para ulama As-Syafiiyah.
Ibnu Hajr Al-Haitsami As-Syafii berkata :
أَنَّ الْكُتُبَ الْمُتَقَدِّمَةَ عَلَى الشَّيْخَيْنِ لَا يُعْتَمَدُ
شَيْءٌ مِنْهَا إلَّا بَعْدَ مَزِيدِ الْفَحْصِ وَالتَّحَرِّي حَتَّى
يَغْلِبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ الْمَذْهَبُ وَلَا يُغْتَرُّ بِتَتَابُعِ
كُتُبٍ مُتَعَدِّدَةٍ عَلَى حُكْمٍ وَاحِدٍ فَإِنَّ هَذِهِ الْكَثْرَةَ
قَدْ تَنْتَهِي إلَى وَاحِدٍ ….
وَهَكَذَا أَنَّ الْمُعْتَمَدَ مَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ أَيْ مَا لَمْ يُجْمِعْ مُتَعَقِّبُو كَلَامِهِمَا عَلَى أَنَّهُ سَهْوٌ
“Sesungguhnya kitab-kitab (*fiqh madzhab Asy-Syafi’i) yang terdahulu
sebelum dua syaikh (*yaitu Ar-Roofi’i dan An-Nawawi) tidaklah dijadikan
sandaran kecuali setelah pengecekan dan pemeriksaan yang ekstra
sehingga kita mencapai perkiraan kuat bahwasanya hal itu (*suatu hukum
fiqh) adalah madzhab Asy-Syafii. Dan janganlah terpedaya dengan
banyaknya buku yang menyebutkan satu hukum karena buku-buku yang banyak
tersebut bisa jadi kembalinya kepada satu buku saja…
Dan demikianlah yang menjadi patokan adalah apa yang disepakati oleh
keduanya (*Ar-Rofi’i wa An-Nawawi) yaitu selama para pengkritik
perkataan mereka berdua tidak bersepakat bahwa kesepakatan mereka berdua
tersebut adalah sahw (*keteledoran)…”(Tuhfatul Muhtaaj juz 1/40)
Bahkan jika terjadi perbedaan antara Ar-Rofii dan An-Nawawi dalam
mengenal pendapat yang roojih menurut madzhab As-y-Syafii maka
didahulukan pendapat An-Nawawi dari pada pendapat Ar-Rofii
Kedua : Al-Imam An-Nawawi menukil hal ini
dalam kitabnya Al-Majmuu’, yang telah masyhuur bahwa kitab beliau
Al-Majmuu’ memiliki tempat yang tinggi di hati para pengikut madzhab
Syafi’i terutama dalam mengenal pendapat yang sesungguhnya merupakan
madzhab syafii dan juga mengenal perbedaan pendapat dan wujuuh dalah
fiqih As-Syafii.
Ketiga : Al-Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hal ini merupakan nas (yaitu perkataan) dari Al-Imam As-Syafii
Keempat : Al-Imam An- Nawawi menyatakan
bahwa nash dari Al-Imam Asy-Syafii sepakat dengan nash-nash Ash-hab. Dan
tentunya para pemakmur kuburan yang mengaku bermadzhab Asy-Syafi’i
mengerti pengertian الأَصْحَاب “Ash-hab” dalam perkataan Al-Imam
An-Nawawi di atas. Yaitu para ulama besar Syafi’iyah yang telah mencapai
derajat yang tinggi sehingga mereka memiliki ijtihad-ijtihad dalam
fiqih yang mereka keluarkan (takhrij) berdasarkan metode ijtihad (ushul)
Imam Asy-Syafii dan mereka mengambil istinbath hukum-hukum dengan
mempraktekan kaidah-kaidah Imam Asy-Syafii. Ibnu Hajr Al-Haitami
berpendapat bahwa Ash-hab berakhir pada abad ke-4 H (lihat Al-Fatawa
Al-Kubro Al-Fiqhiyah 4/63)
Dan ternyata para ulama yang dikenal dengan ashabul wujuh ini sepakat
dengan nash Imam Asy-Syafii. Maka hal ini menunjukan bahwa para ulama
besar yang merupakan patokan di madzhab Asy-Syafii telah sepakat akan
hal ini, yaitu tidak bolehnya membangun di atas kuburan orang sholeh dan
tidak boleh sholat ke arah kuburan orang sholeh.
Kelima : Bahkan untuk menguatkan hal ini Al-Imam An-Nawawi juga menukil dari Az-Za’farooni rahimahullah yang berkata : “
Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau pengagungan, karena hadits-hadits Nabi“
Dan Az-Za’farooni ini adalah murid langsung Imam As-Syafii dan
termasuk murid-murid Imam As-Syafii yang meriwayatkan qoul qodiim
(pendapat lama) Imam As-Syafii.
Keenam : An-Nawawi juga telah menukil kesepakatan para
ulama tentang dilarangnya mengusap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam rangka mencari barokah. Beliau rahimahullah berkata :
“Tidak boleh thowaf di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini
telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap
kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan. Bahkan adab (*ziarah
kuburan Nabi) adalah ia menjauh dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari
Nabi kalau dia bertemu dengan Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam tatkala
masih hidup. Dan inilah yang benar,
dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah sepakat akan hal ini.
Dan hendaknya jangan terpedaya oleh banyaknya orang awam yang
menyelisihi hal ini, karena teladan dan amalan itu dengan perkataan para
ulama. Jangan berpaling pada perbuatan-perbuatan baru yang dilakukan
oleh orang-orang awam dan kebodohan-kebodohan mereka. Sungguh yang mulia
Abu Ali al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah telah berbuat baik dalam
perkataannya :
“Ikutilah jalan petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya
yang sedikit. Berhati-hatilah akan jalan kesesatan dan jangan terpedaya
oleh banyaknya orang yang binasa (*karena mengikut jalan kesesatan
tersebut).”
Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwasanya
mengusap kuburan dengan tangan dan perbuatan yang semisalnya lebih
berkah, maka ini karena kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan
itu pada sikap mengikuti syari’at dan perkataan para ulama. Bagaimana
mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi kebenaran??” (Lihat
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab 8/257, perkataan An-Nawawi ini juga
terdapat dalam Hasyiah Al-’Allamah Ibni Hajr al-Haitami ‘ala Syarh
Al-Idhoh fi Manasik Al-Haj, cetakan Dar Al-Hadits, Beirut, Libanon hal.
501)
Peringatan :
Sebagian pemakmur kuburan berdalil, dengan apa yang termaktub dalam
kitab Roudhoh at-Thoolibiin karya Imam An-Nawawi, sebagaimana berikut
ini :
“Boleh bagi seorang muslim atau seorang kafir dzimmi untuk berwashiat
untuk mengurus (*membangun) al-masjid al-aqsho dan masjid-masjid yang
lainnya, dan juga untuk membangun kuburan para nabi, para ulama, dan
sholihin, karena hal itu menghidupkan ziaroh dan bertabarruk dengan
kuburan-kuburan tersebut” (Roudotut Thoolibiin, tahqiiq : Adil Ahmad
Abdul Maujuud dan Ali Muhammad Mu’awwadl. Cetakan Daar ‘Aalam al-Kutub,
juz 5 hal 94)
Kalau kita perhatikan di dalam perkataan Imam An Nawawi terkesan diperbolehkan bertabarruk (mencari barokah) dari kuburan.
Maka apakah hal ini membatalkan kesepakatan Imam As-Syafii dan para
ulama besar syafiiyah yang telah dinukil An-Nawawi dalam Al-Majmuu’??
Jawabannya tentu adalah tidak, dan ini bisa dijelaskan dari dari beberapa segi :
Pertama : Al-Imam An-Nawawi terkadang menyebutkan
pendapat yang mungkar dalam madzhab as-Syafii dalam kitabnya Roudhot
Toolibiin. Sebagaimana hal ini beliau jelaskan dalam muqoddimah kitab
beliau tersebut. Beliau berkata –menjelaskan metode penulisan kitab
beliau ini-:
“Dan aku menyebutkan seluruh fiqih kitab (*yaitu kitab Al-’Aziiz syarh
al-wajiiz karya Ar-Rofi’i yang kemudian diringkas oleh An-Nawawi dalam
Roudotut Toolibiin),
bahkan aku menyebutkan wajah-wajah (*pendapat-pendapat para ulama besar syafiiyah) yang aneh nan munkar, dan aku mencukupkan dalam menyebutkan hukum-hukum
tanpa mengkritik dengan kritikan lafzia” (Roudot Toolibiin, juz 1 hal 113)
Maka bisa jadi pendapat tentang bolehnya membangun di atas kuburan
para ulama dan sholihin termasuk salah satu dari pendapat-pendapat yang
mungkar yang ada di madzhab as-Syafi’i
Kedua : Kitab al-Majmuu’ karya an-Nawawi lebih
didahulukan daripada kitab Roudotut Tolibin (lihat penjelasan Ibnu Hajr
al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaaj 1/40)
Ketiga : Sebagian ulama As-Syafiiah menafsirkan kata
‘imaaroh dalam teks di atas adalah bukan membangun bangunan seperti
kubah di atas kuburan, akan tetapi maksudnya adalah
mengembalikan tanah dan memperbaiki kuburan tersebut sehingga tidak hilang tanda-tandanya.
Az-Zarkasyi berkata dalam kitabnya Al-Khoodim,
“Akan tetapi ta’lil yang disebutkan disini (*yaitu membangun kuburan
para nabi dan solihin) karena untuk menghidupkan ziaroh menunjukan
bolehnya ‘imaaroh kuburan secara mutlak. Dan An-Nawawi diam (*tidak
berkomentar) mengikuti asal kitab (*yaitu syarh al-Wajiiz karya Ar-Rofii
yang juga menyebutkan tentang ‘imaaroh kuburan sholihin) tanpa
menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata ‘imaaroh?. Jika yang dimaksud
dengan ‘imaaroh adalah membangun kuburan dengan peralatan dan membangun
(*bangunan) di atas kuburan maka hal ini tidak diperbolehkan, demikian
juga jika ia berwashiat untuk membangun kubah dan maksudnya adalah untuk
mengagungkan kuburan
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
Dan jika yang dimaksud dengan ‘imaaroh kuburan adalah mengembalikan
tanah ke kuburan dan melazimi kuburan karena khawatir timbulnya rasa
keterasingan dan sebagai pemberitahuan bagi orang-orang yang
menziarahinya agar tidak hilang kuburan tersebut maka maknanya dekat
(*pada kebenaran)” (Sebagaimana dinukil oleh muhaqqiq kitab Roudhotut
Tolibiin dalam catatan kaki kitab Roudotut Toolibiin juz 5 hal 94)
Keempat : Ibnu Hajar Al-Haitami (salah seorang ulama
besar dari madzhab As-Syafiiah yang dikenal juga sebagai muhaqqiq
madzhab setelah zaman Ar-Rofii dan An-Nawawi) telah menjelaskan bahwa
pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab As-Sayfii adalah dilarangnya
membangun di atas kuburan para ulama dan sholihin.
Dalam Al-fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubroo Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya :
وما قَوْلُكُمْ فَسَّحَ اللَّهُ في مُدَّتِكُمْ وَأَعَادَ عَلَيْنَا من
بَرَكَتِكُمْ في قَوْلِ الشَّيْخَيْنِ في الْجَنَائِزِ يُكْرَهُ الْبِنَاءُ
على الْقَبْرِ وَقَالَا في الْوَصِيَّةِ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِعِمَارَةِ
قُبُورِ الْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ لِمَا في ذلك من الْإِحْيَاءِ
بِالزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ بها هل هذا تَنَاقُضٌ مع عِلْمِكُمْ أَنَّ
الْوَصِيَّةَ لَا تَنْفُذُ بِالْمَكْرُوهِ فَإِنْ قُلْتُمْ هو تَنَاقُضٌ
فما الرَّاجِحُ وَإِنْ قُلْتُمْ لَا فما الْجَمْعُ بين الْكَلَامَيْنِ؟
“Dan apa pendapat anda –semoga Allah memperpanjang umar anda dan
memberikan kepada kami bagian dari keberkahanmu- tentang perkataan dua
syaikh (*Ar-Rofi’I dan An-Nawawi) dalam (*bab) janaa’iz : “Dibencinya
membangun di atas kuburan”, akan tetapi mereka berdua berkata dalam
(*bab) wasiat : “Dibolehkannya berwasiat untuk ‘imaaroh kuburan para
ulama dan solihin karena untuk menghidupkan ziaroh dan tabaaruk dengan
kuburan tersebut”. Maka apakah ini merupakan bentuk kontradiksi?,
padahal anda mengetahui bahwasanya wasiat tidak berlaku pada perkara
yang dibenci. Jika anda mengatakan perkataan mereka berdua kontradiktif
maka manakah yang roojih (*yang lebih kuat)?, dan jika anda mengatakan :
“Tidak ada kontradikisi (*dalam perkataan mereka berdua)”, maka
bagaimana mengkompromikan antara dua perkataan tersebut? (Al-Fataawaa
Al-Fiqhiyah Al-Kubro 2/17)
Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab :
الْمَنْقُولُ الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ
الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنْ
بُنِيَ فيها هُدِمَ وَلَا فَرْقَ في ذلك بين قُبُورِ الصَّالِحِينَ
وَالْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ وما في الْخَادِمِ مِمَّا يُخَالِفُ ذلك
ضَعِيفٌ لَا يُلْتَفَتُ إلَيْهِ وَكَمْ أَنْكَرَ الْعُلَمَاءُ على بَانِي
قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَغَيْرِهَا وَكَفَى
بِتَصْرِيحِهِمْ في كُتُبِهِمْ إنْكَارًا وَالْمُرَادُ بِالْمُسَبَّلَةِ
كما قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ التي اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ
الدَّفْنَ فيها أَمَّا الْمَوْقُوفَةُ وَالْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ إذْنِ
مَالِكِهَا فَيَحْرُمُ الْبِنَاءُ فِيهِمَا مُطْلَقًا قَطْعًا إذَا
تَقَرَّرَ ذلك فَالْمَقْبَرَةُ التي ذَكَرَهَا السَّائِلُ يَحْرُمُ
الْبِنَاءُ فيها وَيُهْدَمُ ما بُنِيَ فيها وَإِنْ كان على صَالِحٍ أو
عَالِمٍ فَاعْتَمِدْ ذلك وَلَا تَغْتَرَّ بِمَا يُخَالِفُهُ
“Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan -sebagaimana yang
ditegaskan (*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (*Al-Majmuu’) syarh
Al-Muhadzdzab- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah
(*yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara
umum), maka jika dibangun di atas pekuburan tersebut maka dihancurkan,
dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan sholihin dan para
ulama dengan kuburan selain mereka. Dan pendapat yang terdapat di
al-khoodim (*maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi,
Khodim Ar-Rofi’i wa Ar-Roudhoh, wallahu a’lam) yang menyelisihi hal ini
maka lemah dan tidak dipandang.
Betapa sering para ulama
mengingkari para pembangun kubah (*di kuburan) Imam Asy-Syafii
radhiallahu ‘anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan cukuplah
penegasan para ulama (*tentang dibencinya membangun di atas kuburan)
dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran. Dan yang dimaksud
dengan musabbalah –sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama
yang lain- yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri pekuburan. Adapun
pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya maka
diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut secara mutlaq. Jika
telah jelas hal ini maka pekuburan yang disebutkan oleh penanya maka
diharamkan membangun di situ dan haurs dihancurkan apa yang telah
dibangun, meskipun di atas (*kuburan) orang sholeh atau ulama.
Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan dan jangan terpedaya dengan
pendapat yang menyelisihinya. (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/17)
Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafii juga berkata :
وَوَجَبَ على وُلَاةِ الْأَمْرِ هَدْمُ الْأَبْنِيَةِ التي في
الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ وَلَقَدْ أَفْتَى جَمَاعَةٌ من عُظَمَاءِ
الشَّافِعِيَّةِ بِهَدْمِ قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ
عنه وَإِنْ صُرِفَ عليها أُلُوفٌ من الدَّنَانِيرِ لِكَوْنِهَا في
الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ وَهَذَا أَعْنِي الْبِنَاءَ في الْمَقَابِرِ
الْمُسَبَّلَةِ مِمَّا عَمَّ وَطَمَّ ولم يَتَوَقَّهُ كَبِيرٌ وَلَا
صَغِيرٌ فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan wajib atas para penguasa untuk menghancurkan bangunan-bangunan yang terdapat di pekuburan umum.
Sekelompok
ulama besar madzhab syafii telah berfatwa untuk menghancurkan kubah
(*di kuburan) Imam As-Syafi’i radhiallahu ‘anhu, meskipun telah
dikeluarkan biaya ribuan dinar (*untuk membangun kubah tersebut) karena
kubah tersebut terdapat di pekuburan umum. Dan perkara ini –maksudku
yaitu membangun di pekuburan umum- merupakan perkara yang telah
merajalela dan tidak menghindar darinya baik orang besar maupun orang
kecil” (al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/25)
Ibnu Hajar juga berkata
“Sebagaimana diisyaratkan riwayat (hadits) “
Jika ada di antara mereka orang sholeh” Dari sini berkata para sahabat kami (*yaitu para ulama besar Syafi’iyah) : “
Diharamkan sholat menghadap kuburan para nabi dan para wali untuk mencari barokah dan pengagungan“,
mereka mensyaratkan dua perkara, yaitu: (1) kuburan orang yang
diagungkan, (2) maksud dari sholat menghadapnya -dan yang menyerupainya
sholat di atas kuburan- adalah mencari keberkahan dan pengagungan. Dan
sangat jelas dari hadits-hadits yang telah disebutkan bahwa perbuatan
ini termasuk dosa besar sebagaimana engkau telah mengetahuinya. Dan
seakan-akan Nabi mengkiaskan terhadap hal ini seluruh bentuk pengagungan
terhadap kuburan, seperti menyalakan lentera di atas kuburan dalam
rangka pengagungan atau untuk mencari keberkahan. ” (Az-Zawaajir ‘an
Iqtirof al-Kabair 1/155)
Kesimpulan :
Pertama : Para pemakmur kuburan yang banyak mengaku pengikut
setia madzhab Asy-Syafii ternyata telah menyelisihi kesepakatan para
ulama besar madzhab As-Syafii sebagaimana yang telah dinyatakan oleh
An-Nawawi
Kedua : Jika ada diantara mereka yang mengatakan
bahwa sebagian ulama syafiiyah membolehkan membangun di atas kuburan
maka kita katakan :
- Pendapat ini menyelisihi kesepakatan ulama besar syafiiyah
- Pendapat ini bukanlah pendapat yang mu’tamad (yang jadi
patokan) dalam madzhab syafii, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu
Hajr Al-Haitami. Maka siapakah yang lebih paham dengan madzhab
Asy-Syafii?, Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajr Al-Haitami ataukah para
pemakmur kuburan dari tanah air kita sekarang ini???
Apalagi
bahwa Az-Zarkasyi dengan tegas menyebutnya sebagai perbuatan orang
Jahiliyah. Adakah yang lebih keras dari pernyataan Az-Zarkasyi ini?
- Taruhlah dalam madzhab Asy-Syafi’i ada pendapat bolehnya
membangun di atas kuburan, maka kita katakan bahwasanya kita
diperintahkan untuk mengikuti dalil. Dan ulama tidaklah ada yang ma’shum
(terbebas dari kesalahan). Allah telah memerintahkan kita jika terjadi
perselisihan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Dalil-dalil yang
ada berdasarkan hadits-hadits yang shahih yang jelas sejelas matahari
di siang bolong telah melarang untuk beribadah di kuburan.
Allah telah memerintahkan kita jika terjadi perselisihan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa : 59)
Ketiga :
Kenapa tidak sekalian saja
mengatakan bahwa Imam As-Syafii dan Imam An- Nawawi dan Ibnu Hajr
Al-Haitamiy (yang tidak setuju dengan hobi mereka memakmurkan dan
mencari barokah dikuburan) juga adalah wahabi??!!,