Asy’ariyyah adalah nama sebuah kelompok atau firqah ahli kalam yang menisbatkan diri kepada Abul-Hasan al-Asy’ari ketika menyatakan diri keluar dari kelompok Mu’tazilah.
Asy’ariyyah menjadikan hujjah-hujjah dan dalil-dalil akal serta ilmu kalam untuk membantah kelompok Mu’tazilah, kaum filosof dan kelompok lain yang menyelisihinya. Bantahan itu dilakukan ketika menetapkan hakikat agama dan akidah Islam, mengikuti pemikiran Ibnu Kullab.
Mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlus-Sunnah. Di negara kita sering disalah-pahamkan bahwa metode Asy’ariyah, sebagaimana Maturidiyah, adalah sama dengan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Mengenal Abu Hasan al-Asy’ari
Namanya adalah Abul-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, nashab-nya bersambung hingga Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.1 Lahir di kota Bashrah pada tahun 260 H2 dan wafat pada tahun 324 H di kota Baghdad –menurut pendapat yang benar3– serta dimakamkan di sana. Keyakinan dan pemikiran4 hidupnya mengalami tiga fase, yaitu:
Pertama, ia hidup di bawah asuhan dan bimbingan Abu Ali al-Juba’i –seorang tokoh dan guru kaum Mu’tazilah–, mengambil ilmu darinya dan menjadi wakil serta kepercayaannya. Sehingga dia menjadi seorang Mu’tazilah yang menyerukan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, yang mendahulukan akal daripada naql (nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits). Hal itu berlangsung selama kurun waktu 40 tahun.
Kedua, pada suatu ketika dia meneliti ulang tentang keyakinan dan pemikiran Mu’tazilahnya. Dan sempat menghilang dari tengah-tengah khalayak selama 15 hari, berdiam diri di rumahnya guna merenungi dan mengkaji ulang keyakinan dan pemikirannya, lalu beristikharah (meminta petunjuk) kepada Allah hingga ia mendapatkan ketenangan.
Setelah itu dia pun muncul kembali di tengah khalayak dan menyatakan bara’ah-nya (berlepas diri) dari Mu’tazilah, pemahaman yang sejak awal dipelajari dan diyakininya. Dalam hal ini dia menulis kitab al-Luma’ fir-Raddi ‘ala Ahliz-Zaighi wal-Bida’.
Namun setelah ia meniti jalan yang baru, dia kembali terperosok dalam penakwilan nash-nash sifat-sifat Allah yang dianggapnya sesuai dengan hukum akal. Dalam hal ini ia mengikuti jalan yang ditempuh oleh Abdullah bin Sa’id bin Kullab5 yang menetapkan tujuh “sifat dzat” bagi Allah dengan dalil akal, yaitu: sifat Hayat (hidup), sifat ‘Ilmu, sifat Iradah (keinginan), sifat Qudrah (kekuasaan/kemampuan), sifat Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan) dan sifat Kalam (berbicara).
Adapun sifat khabariyyah, seperti sifat Wajah, sifat Dua Tangan, sifat Telapak Kaki dan Betis6 maka ditakwilkan kepada makna yang menurutnya selaras dengan hukum akal. Sedangkan sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan masyi’ah (kehendak)7 ditolaknya (tidak menetapkannya).
Keyakinan dan pemikiran Abul-Hasan al-Asy’ari pada fase kedua inilah yang kemudian diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah sampai sekarang. Mereka “menyangka” bahwa inilah fase terakhir yang dialaminya.
Ketiga, yaitu fase di mana Abul-Hasan menemukan jalan Ahlus-Sunnah yang menetapkan semua sifat Allah tanpa tahrif8 dan tasybih/tamtsil9, serta tanpa takyif10 dan ta’thil11; mengikuti manhaj (jalan) yang ditempuh oleh Salafush-Shalih (generasi utama seperti Sahabat, Tabi’in dan Atba at-Tabi’in). Pada fase ini dia menulis beberapa kitab yang utamanya adalah kitab “al-Ibanah ‘An Ushulid-Diyanah.12”
Didalamnya dia menjelaskan bagaimana dia memilih akidah dan manhaj Salaf, serta menyatakan dirinya merujuk kepada Imam Ahlus-Sunnah, Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Dia menyatakan di kitab al-Ibanah tersebut (hal. 43);
“Pendapat dan agama yang kami pegang adalah berpegang kepada kitab Rabb kami (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi kami (Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang diriwayatkan oleh para sahabat, tabi’in dan para imam hadits; kami berpegang erat kepada itu semua.
Kami sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal –semoga Allah menjadikan wajahnya berseri, mengangkat derajatnya dan melimpahkan pahalanya–, dan kita menjauhi orang-orang yang menyelisihinya, karena dia adalah imam yang utama dan pemimpin yang sempurna; melaluinya Allah menjelaskan kebenaran disaat muncul kesesatan dan melaluinya pula Allah menjelaskan jalan yang terang, mengalahkan bid’ah-bid’ah, penyimpangan dan keraguan yang dilakukan oleh para pelakunya…”
Disamping itu dia juga telah menulis kitab “Maqalat al-Islamiyyin” dan “al-Risalah Ila Ahli al-Tsaghr.”
Namun demikian, karena telah begitu lamanya dia mendalami madzhab Mu’tazilah, sehingga menjadikannya tidak selamat dari beberapa kesalahan. Semoga Allah merahmati Beliau dan mengampuni segala kesalahannya.
Sebagian Pemikiran Asy’ariyyah yang Menyimpang dari Ahlus-Sunnah
Dalam banyak hal, pemikiran kelompok Asy’ariyyah menyepakati akidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, namun tidak sedikit pula yang menyelisihinya. Di antaranya yang terpenting adalah:
Pertama: Tentang Sifat-sifat Allah.
Kelompok Asy’ariyyah hanya menetapkan tujuh sifat dzat: Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, Kalam dan Hayat; berdasarkan dalil akal semata. Adapun sifat-sifat khabariyyah, mereka takwilkan; seperti sifat istiwa’ (tinggi di atas arsy-Nya) mereka takwilkan dengan istila’ (menguasai). Mereka juga menolak atau mentakwilkan sifat-sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan masyi’ah; seperti sifat Nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya)13 yang mereka takwilkan dengan nuzul-amrihi (turunnya keputusan Allah); sifat Tangan yang mereka takwilkan dengan qudrat atau nikmat dan lain-lain yang semisalnya. Menurut mereka, menetapkan sifat-sifat itu berdasarkan dzahir nash, berarti menjadikan Allah ber-jisim (tubuh) dan menyerupakan Allah dengan makhluk.
Ahlus-Sunnah menetapkan semua sifat Allah yang telah Allah tetapkan sendiri untuk-Nya dalam al-Qur’an dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam as-Sunnah tanpa tahrif, tasybih/tamtsil, takyif maupun ta’thil. Karena Allah telah menyatakan (yang artinya);
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11)
Dengan kaidah ayat ini, Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah yang sesuai dengan kekhususan keagungan dan kebesaran Allah yang tidak bisa diserupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Dan ini berlaku untuk semua sifat Allah, tidak berbeda antara sebagian sifat dengan sifat yang lain.
Karena menetapkan sebagian sifat Allah berarti mengharuskan untuk menetapkan sebagian sifat yang lainnya. Maka, jika mereka bisa menetapkan sebagian sifat, seperti Ilmu, Qudrat (kuasa/mampu), Iradat (keinginan/kehendak), Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Kalam dan Hayat, mengapa mereka tidak bisa menetapkan sifat-sifat yang lainnya –dengan alasan bahwa menetapkannya akan jatuh kepada menyerupakan Allah dengan makhluk.
Bukankah sifat-sifat yang mereka tetapkan seperti ilmu dan lainnya juga dinisbatkan pada makhluk? Maka berarti mereka sendiri telah jatuh pada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kalau mereka mengatakan bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut hanya layak bagi Allah yang tidak sama dengan yang dimiliki makhluk-Nya.
Maka mengapa mereka bisa mengatakan hal itu untuk sifat-sifat yang mereka tetapkan saja. Mengapa mereka tidak bisa mengatakan yang sama untuk sifat-sifat yang lainnya, dengan mengatakan bahwa menetapkan semua sifat-sifat Allah itu adalah hanya layak bagi Allah yang tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Jadi, dengan kaidah ayat diatas, bisa disimpulkan bahwa kesamaan lafazh sifat antara yang ada pada Allah dengan yang ada pada makhluk tidak mengharuskan kita menyerupakan hakikat antara sifat Allah dan sifat makhluk. Dan hakikat sifat-sifat Allah itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah sendiri. Wallahu a’lam.
Kedua: Tentang Perbuatan Hamba.
Kelompok Asy’ariyyah mengatakan bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah sekaligus merupakan usaha (kasb) hamba. Yang maksudnya bahwa qudrat (kemampuan) hamba tidak memiliki pengaruh terhadap perbuatannya –dengan berbagai bentuknya– yang muncul dari dirinya; karena Allah telah memberlakukan penciptaan perbuatan hamba tersebut bergandengan dengan qodrat-nya –dalam waktu yang bersamaan–, dan inilah yang mereka sebut sebagai kasb. Jadi, yang murni berpengaruh terhadap kemunculan perbuatan hamba adalah qodrat Allah, dalam arti bahwa hamba tidak memiliki ikhtiyar (pilihan). Pendapat mereka dalam masalah ini serupa dengan pendapat Jabriyyah (suatu kelompok dari kalangan Jahmiyyah).
Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, hal tersebut merupakan perkara yang mustahil dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karena jika hamba tidak memiliki ikhtiar (pilihan) atas perbuatan, maka apa yang mereka sebut sebagai kasb itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Dan perkataan tersebut menghasilkan konsekuensi bahwa kalau hamba tidak dikatakan sebagai pelaku perbuatan yang hakiki, maka berarti pelaku hakiki perbuatan tersebut adalah Allah. Padahal perbuatan tersebut melekat pada hamba dan tidak pada Allah.
Sehingga kalau hamba bukan pelakunya –padahal jelas ia yang melakukannya, maka bagaimana dikatakan bahwa Allah yang menjadi pelakunya? Karena kalau Allah pelakunya, maka hukum-hukum syari’at yang Allah tetapkan akan kembali kepada-Nya –termasuk balasan pahala dan siksa–, dan ini suatu hal yang mustahil. Allah Mahatinggi lagi Mahasuci dari hal ini. Jika demikian, apakah akan dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut tidak ada pelakunya?! Dan ini adalah bathil.
Sedangkan Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan (hamba) itu pelakunya yang hakiki adalah hamba itu sendiri dengan ikhtiarnya, namun hal itu termasuk di antara perkara yang telah ada catatan takdirnya dari Allah. Jadi hambalah yang betul-betul melakukannya, tetapi Allah yang menciptakannya, yang menciptakan qodrat, iradat dan sebab; yang dengannya hamba melakukan perbuatan.
Periksa kembali bantahan dan jawaban terhadap kelompok Jahmiyyah dalam masalah ini di majalah Fatawa edisi 05/II.
Catatan Kaki:
1. ^ Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah Amir bin Abu Musa ‘Abdullah bin Qais al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. al-Asy’ari adalah penisbatan kepada kabilah Asy’ar yang terkenal di Yaman. Asy’ar nama aslinya adalah Nabt bin Udad. (Tarikh Baghdad 11/346 oleh al-Khathib al-Baghdadi; dan Tabyin Kadzibil-Muftara 34-35 oleh Ibnu Asakir)
2. ^ Inilah yang benar sebagaimana dalam Tarikh Baghdad (11/346); lihat juga Muqaddimah Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari terhadap kitab al-Ibanah karya Abul-Hasan al-Asy’ari (hal. 5-6). Adapun yang tercantum dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah fil Adyan wal-Madzahib (1/87) yaitu tahun 270 H, barangkali merupakan kesalahan cetak, wallahu a’lam.
3. ^ Merupakan pendapat Ibnu Hazm sebagaimana dinukil oleh al-Khathib dalam Tarikh-nya (11/346); lihat juga Tabyin Kadzibil-Muftara (hal. 56) oleh Ibnu Asakir.
4. ^ Diantaranya dijelaskan oleh Syaikh Hammad al-Anshari dalam muqaddimahnya terhadap kitab al-Ibanah (hal. 8-12); Beliau nukilkan beberapa perkataan para ulama yang menetapkan tentang fase-fase kehidupan Abul-Hasan al-Asy’ari sehingga menjadi seorang yang berjalan di atas manhaj Salafush-Shalih.
5. ^ Kemudian dikenal dengan Ibnu Kullab dan pengikutnya disebut Kullabiyah.
6. ^ Sifat dzat Allah terbagi dua: pertama, yaitu sifat dzat khabariyyah (yang dari sisi lafazhnya digunakan untuk anggota-anggota tubuh makhluk, namun hakikatnya berbeda antara Allah dengan makhluk-Nya, karena kesamaan dalam lafazh tidak mesti harus sama hakikatnya) seperti sifat Wajah, Dua Tangan, Dua Mata dan lainnya. Kedua, sifat dzat maknawiyyah (selain dari sifat khabariyyah) seperti sifat Hayat (Hidup), Ilmu, Iradah (Keinginan) dan lainnya.
7. ^ Maksudnya adalah sifat-sifat fi’liyyah (perbuatan) yang terkait erat dengan kehendak-Nya. Sifat-sifat fi’liyyah ini terbagi dua pula, yaitu: pertama, sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan sebab yang ada pada hamba seperti Mencintai, Membenci, Ridha, Murka (marah) dan lainnya. Kedua, sifat fi’liyyah yang tidak terkait dengan sebab yang ada pada makhluk, seperti sifat Nuzul (turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam yang terakhir), Sifat Dhahik (Tertawa) dan lainnya. Yang kesemuanya berbeda hakikatnya dengan perbuatan-perbuatan makhluk, walaupun sama dalam lafazhnya.
8. ^ Tahrif yaitu menyimpangkan lafazh maupun makna dari nama atau sifat Allah kepada lafazh lain atau makna lain dengan tanpa dalil.
9. ^ Tasybih/tamtsil yaitu menyerupakan atau menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
10. ^ Takyif yaitu menetapkan suatu bentuk atau hakikat tertentu dari sifat-sifat Allah, padahal sifat-sifat Allah itu ghaib sebagaimana dzat-Nya.
11. ^ Ta’thil yaitu meniadakan atau mengingkari sebagian maupun keseluruhan dari sifat-sifat Allah.
12. ^ Sebagian orang menolak kebenaran penisbatan kitab ini kepada Abul-Hasan. Namun hal ini terbantah dengan apa yang ditetapkan oleh Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzibil-Muftara dan Ibnu Darbas dalam kitabnya adz-Dzabbu ‘An Abil-Hasan al-Asy’ari. Lihat disertasi magister yang ditulis oleh Khalid bin Abdul-Lathif bin Muhammad Nur dengan judul Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah wa Manhaj al-Asya’irah (1/32-39).
13. ^ Lihat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim no. 758.
Asy’ariyyah menjadikan hujjah-hujjah dan dalil-dalil akal serta ilmu kalam untuk membantah kelompok Mu’tazilah, kaum filosof dan kelompok lain yang menyelisihinya. Bantahan itu dilakukan ketika menetapkan hakikat agama dan akidah Islam, mengikuti pemikiran Ibnu Kullab.
Mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlus-Sunnah. Di negara kita sering disalah-pahamkan bahwa metode Asy’ariyah, sebagaimana Maturidiyah, adalah sama dengan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Mengenal Abu Hasan al-Asy’ari
Namanya adalah Abul-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, nashab-nya bersambung hingga Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.1 Lahir di kota Bashrah pada tahun 260 H2 dan wafat pada tahun 324 H di kota Baghdad –menurut pendapat yang benar3– serta dimakamkan di sana. Keyakinan dan pemikiran4 hidupnya mengalami tiga fase, yaitu:
Pertama, ia hidup di bawah asuhan dan bimbingan Abu Ali al-Juba’i –seorang tokoh dan guru kaum Mu’tazilah–, mengambil ilmu darinya dan menjadi wakil serta kepercayaannya. Sehingga dia menjadi seorang Mu’tazilah yang menyerukan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, yang mendahulukan akal daripada naql (nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits). Hal itu berlangsung selama kurun waktu 40 tahun.
Kedua, pada suatu ketika dia meneliti ulang tentang keyakinan dan pemikiran Mu’tazilahnya. Dan sempat menghilang dari tengah-tengah khalayak selama 15 hari, berdiam diri di rumahnya guna merenungi dan mengkaji ulang keyakinan dan pemikirannya, lalu beristikharah (meminta petunjuk) kepada Allah hingga ia mendapatkan ketenangan.
Setelah itu dia pun muncul kembali di tengah khalayak dan menyatakan bara’ah-nya (berlepas diri) dari Mu’tazilah, pemahaman yang sejak awal dipelajari dan diyakininya. Dalam hal ini dia menulis kitab al-Luma’ fir-Raddi ‘ala Ahliz-Zaighi wal-Bida’.
Namun setelah ia meniti jalan yang baru, dia kembali terperosok dalam penakwilan nash-nash sifat-sifat Allah yang dianggapnya sesuai dengan hukum akal. Dalam hal ini ia mengikuti jalan yang ditempuh oleh Abdullah bin Sa’id bin Kullab5 yang menetapkan tujuh “sifat dzat” bagi Allah dengan dalil akal, yaitu: sifat Hayat (hidup), sifat ‘Ilmu, sifat Iradah (keinginan), sifat Qudrah (kekuasaan/kemampuan), sifat Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan) dan sifat Kalam (berbicara).
Adapun sifat khabariyyah, seperti sifat Wajah, sifat Dua Tangan, sifat Telapak Kaki dan Betis6 maka ditakwilkan kepada makna yang menurutnya selaras dengan hukum akal. Sedangkan sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan masyi’ah (kehendak)7 ditolaknya (tidak menetapkannya).
Keyakinan dan pemikiran Abul-Hasan al-Asy’ari pada fase kedua inilah yang kemudian diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah sampai sekarang. Mereka “menyangka” bahwa inilah fase terakhir yang dialaminya.
Ketiga, yaitu fase di mana Abul-Hasan menemukan jalan Ahlus-Sunnah yang menetapkan semua sifat Allah tanpa tahrif8 dan tasybih/tamtsil9, serta tanpa takyif10 dan ta’thil11; mengikuti manhaj (jalan) yang ditempuh oleh Salafush-Shalih (generasi utama seperti Sahabat, Tabi’in dan Atba at-Tabi’in). Pada fase ini dia menulis beberapa kitab yang utamanya adalah kitab “al-Ibanah ‘An Ushulid-Diyanah.12”
Didalamnya dia menjelaskan bagaimana dia memilih akidah dan manhaj Salaf, serta menyatakan dirinya merujuk kepada Imam Ahlus-Sunnah, Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Dia menyatakan di kitab al-Ibanah tersebut (hal. 43);
“Pendapat dan agama yang kami pegang adalah berpegang kepada kitab Rabb kami (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi kami (Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang diriwayatkan oleh para sahabat, tabi’in dan para imam hadits; kami berpegang erat kepada itu semua.
Kami sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal –semoga Allah menjadikan wajahnya berseri, mengangkat derajatnya dan melimpahkan pahalanya–, dan kita menjauhi orang-orang yang menyelisihinya, karena dia adalah imam yang utama dan pemimpin yang sempurna; melaluinya Allah menjelaskan kebenaran disaat muncul kesesatan dan melaluinya pula Allah menjelaskan jalan yang terang, mengalahkan bid’ah-bid’ah, penyimpangan dan keraguan yang dilakukan oleh para pelakunya…”
Disamping itu dia juga telah menulis kitab “Maqalat al-Islamiyyin” dan “al-Risalah Ila Ahli al-Tsaghr.”
Namun demikian, karena telah begitu lamanya dia mendalami madzhab Mu’tazilah, sehingga menjadikannya tidak selamat dari beberapa kesalahan. Semoga Allah merahmati Beliau dan mengampuni segala kesalahannya.
Sebagian Pemikiran Asy’ariyyah yang Menyimpang dari Ahlus-Sunnah
Dalam banyak hal, pemikiran kelompok Asy’ariyyah menyepakati akidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, namun tidak sedikit pula yang menyelisihinya. Di antaranya yang terpenting adalah:
Pertama: Tentang Sifat-sifat Allah.
Kelompok Asy’ariyyah hanya menetapkan tujuh sifat dzat: Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, Kalam dan Hayat; berdasarkan dalil akal semata. Adapun sifat-sifat khabariyyah, mereka takwilkan; seperti sifat istiwa’ (tinggi di atas arsy-Nya) mereka takwilkan dengan istila’ (menguasai). Mereka juga menolak atau mentakwilkan sifat-sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan masyi’ah; seperti sifat Nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya)13 yang mereka takwilkan dengan nuzul-amrihi (turunnya keputusan Allah); sifat Tangan yang mereka takwilkan dengan qudrat atau nikmat dan lain-lain yang semisalnya. Menurut mereka, menetapkan sifat-sifat itu berdasarkan dzahir nash, berarti menjadikan Allah ber-jisim (tubuh) dan menyerupakan Allah dengan makhluk.
Ahlus-Sunnah menetapkan semua sifat Allah yang telah Allah tetapkan sendiri untuk-Nya dalam al-Qur’an dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam as-Sunnah tanpa tahrif, tasybih/tamtsil, takyif maupun ta’thil. Karena Allah telah menyatakan (yang artinya);
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11)
Dengan kaidah ayat ini, Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah yang sesuai dengan kekhususan keagungan dan kebesaran Allah yang tidak bisa diserupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Dan ini berlaku untuk semua sifat Allah, tidak berbeda antara sebagian sifat dengan sifat yang lain.
Karena menetapkan sebagian sifat Allah berarti mengharuskan untuk menetapkan sebagian sifat yang lainnya. Maka, jika mereka bisa menetapkan sebagian sifat, seperti Ilmu, Qudrat (kuasa/mampu), Iradat (keinginan/kehendak), Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Kalam dan Hayat, mengapa mereka tidak bisa menetapkan sifat-sifat yang lainnya –dengan alasan bahwa menetapkannya akan jatuh kepada menyerupakan Allah dengan makhluk.
Bukankah sifat-sifat yang mereka tetapkan seperti ilmu dan lainnya juga dinisbatkan pada makhluk? Maka berarti mereka sendiri telah jatuh pada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kalau mereka mengatakan bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut hanya layak bagi Allah yang tidak sama dengan yang dimiliki makhluk-Nya.
Maka mengapa mereka bisa mengatakan hal itu untuk sifat-sifat yang mereka tetapkan saja. Mengapa mereka tidak bisa mengatakan yang sama untuk sifat-sifat yang lainnya, dengan mengatakan bahwa menetapkan semua sifat-sifat Allah itu adalah hanya layak bagi Allah yang tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Jadi, dengan kaidah ayat diatas, bisa disimpulkan bahwa kesamaan lafazh sifat antara yang ada pada Allah dengan yang ada pada makhluk tidak mengharuskan kita menyerupakan hakikat antara sifat Allah dan sifat makhluk. Dan hakikat sifat-sifat Allah itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah sendiri. Wallahu a’lam.
Kedua: Tentang Perbuatan Hamba.
Kelompok Asy’ariyyah mengatakan bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah sekaligus merupakan usaha (kasb) hamba. Yang maksudnya bahwa qudrat (kemampuan) hamba tidak memiliki pengaruh terhadap perbuatannya –dengan berbagai bentuknya– yang muncul dari dirinya; karena Allah telah memberlakukan penciptaan perbuatan hamba tersebut bergandengan dengan qodrat-nya –dalam waktu yang bersamaan–, dan inilah yang mereka sebut sebagai kasb. Jadi, yang murni berpengaruh terhadap kemunculan perbuatan hamba adalah qodrat Allah, dalam arti bahwa hamba tidak memiliki ikhtiyar (pilihan). Pendapat mereka dalam masalah ini serupa dengan pendapat Jabriyyah (suatu kelompok dari kalangan Jahmiyyah).
Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, hal tersebut merupakan perkara yang mustahil dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karena jika hamba tidak memiliki ikhtiar (pilihan) atas perbuatan, maka apa yang mereka sebut sebagai kasb itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Dan perkataan tersebut menghasilkan konsekuensi bahwa kalau hamba tidak dikatakan sebagai pelaku perbuatan yang hakiki, maka berarti pelaku hakiki perbuatan tersebut adalah Allah. Padahal perbuatan tersebut melekat pada hamba dan tidak pada Allah.
Sehingga kalau hamba bukan pelakunya –padahal jelas ia yang melakukannya, maka bagaimana dikatakan bahwa Allah yang menjadi pelakunya? Karena kalau Allah pelakunya, maka hukum-hukum syari’at yang Allah tetapkan akan kembali kepada-Nya –termasuk balasan pahala dan siksa–, dan ini suatu hal yang mustahil. Allah Mahatinggi lagi Mahasuci dari hal ini. Jika demikian, apakah akan dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut tidak ada pelakunya?! Dan ini adalah bathil.
Sedangkan Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan (hamba) itu pelakunya yang hakiki adalah hamba itu sendiri dengan ikhtiarnya, namun hal itu termasuk di antara perkara yang telah ada catatan takdirnya dari Allah. Jadi hambalah yang betul-betul melakukannya, tetapi Allah yang menciptakannya, yang menciptakan qodrat, iradat dan sebab; yang dengannya hamba melakukan perbuatan.
Periksa kembali bantahan dan jawaban terhadap kelompok Jahmiyyah dalam masalah ini di majalah Fatawa edisi 05/II.
Catatan Kaki:
1. ^ Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah Amir bin Abu Musa ‘Abdullah bin Qais al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. al-Asy’ari adalah penisbatan kepada kabilah Asy’ar yang terkenal di Yaman. Asy’ar nama aslinya adalah Nabt bin Udad. (Tarikh Baghdad 11/346 oleh al-Khathib al-Baghdadi; dan Tabyin Kadzibil-Muftara 34-35 oleh Ibnu Asakir)
2. ^ Inilah yang benar sebagaimana dalam Tarikh Baghdad (11/346); lihat juga Muqaddimah Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari terhadap kitab al-Ibanah karya Abul-Hasan al-Asy’ari (hal. 5-6). Adapun yang tercantum dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah fil Adyan wal-Madzahib (1/87) yaitu tahun 270 H, barangkali merupakan kesalahan cetak, wallahu a’lam.
3. ^ Merupakan pendapat Ibnu Hazm sebagaimana dinukil oleh al-Khathib dalam Tarikh-nya (11/346); lihat juga Tabyin Kadzibil-Muftara (hal. 56) oleh Ibnu Asakir.
4. ^ Diantaranya dijelaskan oleh Syaikh Hammad al-Anshari dalam muqaddimahnya terhadap kitab al-Ibanah (hal. 8-12); Beliau nukilkan beberapa perkataan para ulama yang menetapkan tentang fase-fase kehidupan Abul-Hasan al-Asy’ari sehingga menjadi seorang yang berjalan di atas manhaj Salafush-Shalih.
5. ^ Kemudian dikenal dengan Ibnu Kullab dan pengikutnya disebut Kullabiyah.
6. ^ Sifat dzat Allah terbagi dua: pertama, yaitu sifat dzat khabariyyah (yang dari sisi lafazhnya digunakan untuk anggota-anggota tubuh makhluk, namun hakikatnya berbeda antara Allah dengan makhluk-Nya, karena kesamaan dalam lafazh tidak mesti harus sama hakikatnya) seperti sifat Wajah, Dua Tangan, Dua Mata dan lainnya. Kedua, sifat dzat maknawiyyah (selain dari sifat khabariyyah) seperti sifat Hayat (Hidup), Ilmu, Iradah (Keinginan) dan lainnya.
7. ^ Maksudnya adalah sifat-sifat fi’liyyah (perbuatan) yang terkait erat dengan kehendak-Nya. Sifat-sifat fi’liyyah ini terbagi dua pula, yaitu: pertama, sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan sebab yang ada pada hamba seperti Mencintai, Membenci, Ridha, Murka (marah) dan lainnya. Kedua, sifat fi’liyyah yang tidak terkait dengan sebab yang ada pada makhluk, seperti sifat Nuzul (turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam yang terakhir), Sifat Dhahik (Tertawa) dan lainnya. Yang kesemuanya berbeda hakikatnya dengan perbuatan-perbuatan makhluk, walaupun sama dalam lafazhnya.
8. ^ Tahrif yaitu menyimpangkan lafazh maupun makna dari nama atau sifat Allah kepada lafazh lain atau makna lain dengan tanpa dalil.
9. ^ Tasybih/tamtsil yaitu menyerupakan atau menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
10. ^ Takyif yaitu menetapkan suatu bentuk atau hakikat tertentu dari sifat-sifat Allah, padahal sifat-sifat Allah itu ghaib sebagaimana dzat-Nya.
11. ^ Ta’thil yaitu meniadakan atau mengingkari sebagian maupun keseluruhan dari sifat-sifat Allah.
12. ^ Sebagian orang menolak kebenaran penisbatan kitab ini kepada Abul-Hasan. Namun hal ini terbantah dengan apa yang ditetapkan oleh Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzibil-Muftara dan Ibnu Darbas dalam kitabnya adz-Dzabbu ‘An Abil-Hasan al-Asy’ari. Lihat disertasi magister yang ditulis oleh Khalid bin Abdul-Lathif bin Muhammad Nur dengan judul Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah wa Manhaj al-Asya’irah (1/32-39).
13. ^ Lihat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim no. 758.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar