Penulis :
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Alih bahasa :
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
±Minbar Tauhid dan Jihad±
Bismillahirrahmanirrahiim…
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah…
Ketahuialah ─semoga Allah merahmatimu─ bahwa sebagian
ikhwan muwahhidin di penjara Sawaqah telah menyodorkan kepada kami di
akhir bulan Dzul Hujjah tahun 1416 H lembaran-lembaran yang berjudul “Al
Iman” yang ditulis oleh seorang narapidana yang berasal dari Hazbut
Tahrir (HT) yang dipanggil Abu ‘Abdil Shubh Shurshur.
Di dalamnya dia membahas definisi Al Iman sesuai apa
yang dia anut dan dianut oleh HT. Dan seandainya dia berhenti di batas
itu saja tentulah kami tidak akan menyibukan diri kami dengan
membantahnya, karena apa yang dianut dan diyakini oleh dia dan oleh HT
tidaklah penting bagi kami, akan tetapi dia menyambung hal itu dengan
dua hal:
Pertama : Bahwa dia menyinggung aqidah kami Aqidah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang Al Iman, dan dia mencap definisi Al
Iman menurut Ahlus Sunnah sebagai definisi yang mencakup dan tidak
menutup, serta dia mensifati definisi Al Iman yang dianutnya dan dianut
oleh HT serta sejalan dengan pendapat Murji-ah sebagai definisi mencakup
(jami’) lagi menutup (mani’).
Kedua : Bahwa menambah hal itu dengan menyinggung
permasalahan majelis-majelis syirik, kefasikan dan kemaksiatan (yaitu
lembaga-lembaga Legislatif), dimana dia berbicara seputar hal itu dengan
ucapan yang ngawur yang di dalamnya dia membantah terhadap orang-orang
yang mengkafirkan orang-orang yang ikut serta dalam sarang-sarang
berhalaisme ini.
Dikarenakan kami adalah tergolong orang-orang yang
terkenal mengkafirkan lembaga-lembaga syirik ini dan para anggotanya,
bahkan di penjara ini tidak ada orang yang menganut hal itu selain kami
dan orang-orang yang tersentuh dengan dakwah kami, maka wajib atas kami
membantah lontaran-lontaran ngawur penulis tersebut demi membela aqidah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam hal Al Iman dan membela pendapat ahlul
haq perihal pengkafiran seluruh anggota Parlemen, terutama setelah
sampai kabar kepada kami bahwa dia memperbanyak tulisannya itu dan
menyebarkannya di penjara. Dan salah satunya sampai ke tangan saudara
muwahhid tadi, kemudian dia segera memperlihatkannya kepada kami seraya
bertanya tentang pendapat kami mengenai tulisan itu, maka saya
menjawabnya dengan penulisan risalah ini di hari itu juga, dan saya
menamakannya Ijaabatus Saail Fir'aun Radli ‘Alaa Waraqatil Iman
Li Abii ‘Aadil. Semoga Allah ta’ala memberikan manfaat
dengannya kepada saya penulis dan kepada pembacanya, dan semoga Dia
menjadikannya tulus karena Wajah-Nya Yang Mulia, sesungguhnya Dia adalah
yang menangani hal itu dan Yang Kuasa terhadapnya.
Sebelum saya memulai dalam bantahan terhadapnya, saya
ingin mengingatkan bahwa saya telah mengirim kepada juru bicara resmi HT
orang yang menanyakan kepadanya tentang tulisan tersebut, maka si jubir
itu menjawa: “Bahwa apa yang ada di dalam tulisan itu bukanlah pendapat
HT…”[1]
Dan sekarang kami mulai dalam tujuan dengan
pertolongan Allah Al Malik Al Ma’bud. Penulis lembaran itu berkata saat
dia berbicara perihal definisi Al Iman: “Dan dikarenakan kalimat Al
Iman itu adalah lafadh bahasa Arab yang dengannya Allah mengkhithabi
bangsa Arab, dan bangsa Arab memahaminya dengan sekedar mereka
mendengarnya” ─sampai ucapannya─ “tanpa mereka menanyakan
tentang maknanya, maka ini adalah dalil yang menunjukan bahwa mereka
memahaminya seperti apa adanya, yaitu sebagaimana mereka memahaminya
sebelum turun Al Qur’an, oleh sebab itu kita wajib menelusuri makna yang
mereka pahami bagi kalimat ini, dan kita boleh memberikan makna-makna
dari kantong kita sendiri”. Selesai.
Ucapannya: “dan bangsa Arab memahaminya dengan
sekedar mereka mendengarnya”.
Maka saya katakan : Yang mereka pahami dengan sekedar
mereka mendengarnya adalah makna lughawiy (makna secara
bahasa), bukan makna yang syar’iy, dan ini sangat jelas dari ucapan si
penulis setelah itu, yaitu: “sebagaimana mereka memahaminya sebelum
turun Al Qur’an”, jadi pemahaman mereka yang sejalan dengan
pemahaman mereka sebelum turun Al Qur’an adalah bukan makna syar’iy yang
dibawa oleh Al Qur’an dan yang mana orang muslim dituntut untuk
mengikuti dan memahaminya.
Dari itu engkau mengetahui kesalahan fatal si penulis
saat dia mengatakan “oleh sebab itu kita wajib menelusuri makna yang
mereka pahami bagi kaliaman ini”, justeru yang benar sebaliknya,
kita wajib mengetahui dan menelusuri makna yang mereka pahami dari Al
Qur’an, bukan sebelum turun Al Qur’an.
Itu dikarenakan Allah ‘Azza Wa Jalla telah memindahkan
banyak kata-kata bahasa Arab dari maknanya dan hakikatnya yang secara
bahasa kepada hakikat dan makna syar’iy, sehingga dalam hal seperti ini
kita wajib mengikuti hakikat syar’iyyah dan mengedepankannya
terhadap hakikat lughawiyyah (bahasa).
Contoh hal itu adalah firman Allah ta’ala : “Dirikanlah
Shalat dan tunaikanlah zakat”. Shalat dalam bahasa Arab artinya
adalah do’a, sedangkan zakat artinya berkembang dan bertambah, akan
tetapi Allah Sang Pembuat Syari’at menjadikan bagi dua kalimat ini
hakikat syar’iyyah dan makna syar’iy yang mengedepankan terhadap makna
lughawiy.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan shalat
sebagai makna yang menunjukan terhadap perbuatan-perbuatan dan
ucapan-ucapan khusus lagi tertentu yang dimulai dengan takbir dan
berakhir dengan salam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengajarkannya kepada kita dan beliau menjelaskan kepada kita
syarat-syarat sahnya dan hal-hal yang membatalkannya.
Begitu juga zakat, Allah ta’ala telah memindahkan
kalimat ini dari makna lughawiy-nya yang dipahami oleh orang-orang Arab
sebelum turun Al Qur’an kepada makna syar’iy yang khusus, yang dipakai
bagi sikap mengeluarkan harta tertentu dengan nishab yang
ditentukan yang sudah mencapai haul (putaran setahun) kepada
pihak-pihak yang sudah ditentukan Allah.
Dan begitu pula halnya dengan kata Al Iman, dimana di
dalam bahasa Arab ia bermakna at tashdiq al jazim (pembenaran
yang pasti), kemudian Allah Sang Pembuat Syari’at datang memperluas
maknanya dan memindahkannya kepada hakikat syar’iyah yang meliputi at
tashdiq al jazim, ikrar yang shalih, serta amalan hati dan anggota
badan.
Adapun at tashdiq al jazim maka ia ditunjukan oleh
firman Allah ta’ala :
$yJ¯RÎ) cqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur
§NèO öNs9 (#qç/$s?öt
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang
yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu” (Al Hujurat : 15)
Ini mencakup iman kepada segala yang dikabarkan dan
segala keyakinan yang disebutkan Allah dan Rasul-Nya.
Adapun amalan hati dan angora badan, maka ia
ditunjukan oleh firman Allah ta’ala :
$yJ¯RÎ) cqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sÎ) tÏ.è ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è%
#sÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍkön=tã ¼çmçG»t#uä öNåkøEy#y $YZ»yJÎ) 4n?tãur óOÎgÎn/u
tbqè=©.uqtGt ÇËÈ úïÏ%©!$# cqßJÉ)ã no4qn=¢Á9$# $£JÏBur öNßg»uZø%yu
tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang
bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat
dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”.
(Al Anfal 2-4)
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Iman
itu adalah enam puluh sekian cabang, yang tertinggi adalah Laa ilaaha
illallaah dan yang paling rendah adalah penyingkiran kotoran dari jalan,
sedangkan rasa malu adalah salah satu cabang iman”, oleh sebab itu
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mendefinisikan Al Iman dengan ucapan : Keyakinan
dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan dan
semua rukun.
Dien, Islam dan Iman menurut Ahlus Sunnah Wal jama’ah
adalah makna-makna yang dipindahkan dari hakikat-hakikatnya yang secara
bahasa lagi terbatas kepada makna-makna syar’iy yang lebih luas. Ia itu
sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah meliputi
khabar dan insyaa’. Adapun khabar maka ia membutuhkan
at tashdiq al jazim (pembenaran yang pasti) seperti iman kepada Allah,
para malaikat, para rasul, kitab-kitab, hari akhir, dan qadar. Sedangkan
insyaa’ maka ia membutuhkan kepada pengamalan, kepatuhan, dan
ketundukan.
Oleh sebab itu, maka definisi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
yang lalu adalah definisi iman yang paling mencakup dan paling menutup.
Adapun definisi iman menurut Murji-ah dan para pengikut mereka yaitu at
tashdiq al jazim, maka ia adalah definisi yang tidak menutup, karena
Allah ta’ala telah menuturkan tentang banyak orang-orang kafir bahwa
mereka itu membenarkan banyak kebenaran dan Dia kabarkan bahwa mereka
itu mengenal kebenaran seperti mereka mengenal anak-anak mereka, akan
tetapi mereka tidak meraih hakikat iman yang syar’iy dan mereka tidak
diberi predikat iman yang syar’iy, karena mereka tidak menyertai dengan
hal itu taslim (penerimaan penuh) dan inqiyyad (ketundukan).
Dan begitu juga firman Allah ta’ala :
(#rßysy_ur $pkÍ5 !$yg÷FoYs)øoKó$#ur öNåkߦàÿRr& $VJù=àß #vqè=ãæur
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan
(mereka) Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya”. (An Naml :
14)
Mereka itu meyakini kebenaran, namun hal ini aja tidak bermanfaat
bagi mereka.
Sebagaimana definisi ini bukan definisi yang mencakup,
karena ia tidak memutuskan ikrar dengan lisan dan pengamalan dengan
anggota badan dan semua rukun, sebagaimana ia adalah definisi Al Firqah
An Najiyyah dan Ath Thaifah Al Manshurah…
Dan ucapan si penulis: “dan bangsa Arab
memahaminya dengan sekedar mereka mendengarnya” ─sampai ucapannya─ “tanpa
mereka menanyakan tentang maknanya, maka ini adalah dalil yang
menunjukan mereka bahwa mereka memahaminya seperti apa adanya, yaitu
sebagaimana mereka memahaminya sebelum turun Al Qur’an”, adalah
ucapan yang penuh ngawur. Di antara yang paling penting adalah
ucapannya: “tanpa mereka menanyakan tentang maknanya”.
Bagaimana dia berkata seperti itu, sedangkan
hadits-hadits perihal pertanyaan orang-orang Arab dari kalangan shahabat
dan yang lainnya tentang iman adalah sangat banyak, dan Jibril ‘alaihissalam
telah mengajarkan hal itu kepada mereka saat jibril datang dengan
penampilan seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih lagi berambut
sangat hitam yang tidak seorangpun dari kalangan shahabat mengenalinya
dan tidak kelihatan padanya bekas-bekas perjalanan jauh, kemudian Jibril
mengajarkan kepada mereka bagaimana mereka bertanya dan mempelajari
dien mereka, dimana Jibril menanyakan tentang Al Islam, Al Iman dan Al
Ihsan, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata
setelah Jibril pergi : “Ini adalah Jibril, datang kepada kalian
(untuk) mengajarkan kepada kalian dien kalian”.
Di dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan dalam
hadits shahih Al Bukhariy bahwa rombongan Abdul Qais tatkala mendatangi
Nabi, beliau memerintahkan mereka dengan empat hal, beliau memerintahkan
agar beriman kepada Allah saja, beliau berkata : “Tahukah kalian
apa iman kepada Allah saja itu ?”, mereka berkata: “Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui”
Ini sangat jelas bahwa mereka itu tidak berbelit-belit
sebagaimana berbelit-belitnya Murji-ah zaman sekarang ini, dimana
mereka berkata iman itu dalam bahasa kita adalah at tashdiq al jazim,
padahal sesungguhnya rombongan itu adalah bangsa Arab asli yang berasal
dari suku Rabi’ah, dan tidak seperti orang-orang yang mengaku berbahasa
Arab namun mereka tidak mengetahui inti dasar-dasarnya, namun demikian
rombongan itu berkata tatkala ditanya: “apakah kalian mengetahui
apakah iman kepada Allah saja itu ?”, dan mereka berkata: “Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui”.
Kenapa mereka tidak mencukupkan diri dengan pemahaman
mereka terhadap Al Iman dengan bahasa mereka sebelum turun Al Qur’an
sebagaimana yang diklaim si penulis dalam igauannya itu? Bahkan dia
mengklaim bahwa itulah pemahaman yang wajib kita pelajari…!!
Saya katakan : Karena sesungguhnya mereka itu beretika
di hadapan Allah sang Pembuat Syari’at, maka mereka mencari al haq dan
mereka mengetahui bahwa ilmu itu adalah Allah berfirman dan Rasulullah
bersabda, dan ia itu bukan pemikiran Hizb serta bukan pemahaman saya dan
pemahaman kamu…
Oleh sebab itu Rasulullah mengajari mereka makna Al
Iman, beliau berkata: “syahadat Laa ilaaha illallaah wahdahuu laa
syarikalahuu wa anna Muhammadan rasulullah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, shaum ramadhan dan kalian memberikan seperlima dari
ghaniman…”
Perhatikan bagaimana beliau menuturkan amalan-amalan
ini di dalam Al Iman, dan ia adalah khabar shahih yang ada dalam kitab
yang mana ummat telah ijma untuk menerimanya, serta ia adalah kitab yang
paling shahih setelah Kitabullah. Maka hapalkan ini untuk supaya
dengannya engkau membungkam kaum Murji-ah dan para pengikut mereka.
Sama seperti itu juga apa yang diriwayatkan Al Iman
Ahmad di dalam Musnad-nya dari ‘Amr ibnu ‘Anbasah, berkata : Seorang
laki-laki datang kepada Nabi saw, terus berkata: “Wahai Rasulullah,
apakah Islam itu ?”, beliau menjawab: “Kamu memasrahkan hati
kamu kepada Allah dan kaum muslim selamat dari dari lisan dan tangan
kamu”. Orang itu berkata: “Islam macam apa yang paling utama ?”,
beliau menjawab: “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya,
Kitab-Kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan kebangkitan setelah kematian…”
Ini, dia juga bertanya tentang Iman, dan tidak seperti
apa yang diklaim oleh si penulis bahwa mereka tidak pernah bertanya
tentang makna Al Iman, sedangkan hadits-hadits dalam hal ini sangat
banyak.
Bila telah jelas ucapan dia: “Dan bangsa Arab
memahaminya dengan sekedar mereka mendengarnya tanpa mereka menanyakan
tentang maknanya”, adalah tidak benar, bahkan digugurkan dengan
hadits-hadits tadi. MAKA sesungguhnya apa yang dia bangun di atasnya
adalah gugur juga, karena sesuatu yang dibangun di atas suatu yang rusak
adalah rusak, yaitu ucapan dia: “Maka ini adalah dalil yang
menunjukan bahwa mereka memahaminya apa adanya, yaitu sebagaimana mereka
memahaminya sebelum turun Al Qur’an”. Sungguh engkau telah
mengetahui bahwa mereka memahaminya sesuai apa yang Allah maksudkan
dalam Kitab-Nya dan dalam sunnah Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wa
sallam setelah turun Al Qur’an, dan bahwa mereka itu karena
kelurusan akal mereka dan penerimaan diri mereka secara penuh terhadap
hukum Allah dan syari’at-Nya, serta sikap mereka tidak mengedepankan
pemahaman, anggapan baik dan pemikiran mereka terhadap hukum Allah, maka
mereka mengedepankan hakikat syar’iyyah (makna syar’iy) yang
telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya terhadap hakikat lughawiyyah
(makna bahasa) yang telah mereka ketahui.
Bahkan Allah ta’ala telah mengabarkan bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mana beliau berasal dari
inti bangsa Arab adalah dahulunya tidak mengetahui hakikat Al Iman
sebelum turun Al Qur’an, Allah ta’ala berfirman :
y7Ï9ºxx.ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) %[nrâ ô`ÏiB $tRÌøBr& 4 $tB
|MZä. Íôs? $tB Ü=»tGÅ3ø9$# wur ß`»yJM}$#
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan
perintah Kami, sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al
Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu” (Asy Syura : 52)
maka bagaimana dengan orang-orang Arab lainnya ?
Kemudian si penulis itu menuturkan berbagai definisi
Al Iman yang sebagiannya milik Ahlus Sunnah dan sebagiannya milik bukan
Ahlus Sunnah, dan di antara definisi yang dia sebutkan: “Mereka
berkata: Iman itu adalah ucapan, amalan dan niat, dan mereka berkata:
keyakinan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan al
arkaan”, dan dia menuturkan definisi-definisi yang lain terus dia
berkata tentang itu semuanya: “Definisi-definisi ini adalah tidak
mencakup dan tidak akurat…” ─sampai ucapannya─ “karena di sana
ada amalan-amalan yang mana pelakunya tidak dikafirkan dengan sebabnya,
namun demikian mereka memasukan amal dalam definisi itu…”
Terus setelah itu dia menguatkan seraya berkata: “Dan
definisi yang shahih untuk kalimat (iman) itu adalah at tashdiq al
jazim yang selaras dengan realita berdasarkan dalil”.
Kami katakan: Justeru definisi Al firqah An Najiyyah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang dia sebutkan di awal adalah definisi yang
mencakup lagi menutup (yaitu akurat), dan para ahli telah
membicarakannya, menjelaskannya dan menjabarkan maksud Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah di dalamnya. Tidak aneh bila cahaya matahari tersamar atas orang
yang ada penyakit di dua kelopak matanya, dimana dia memandang definisi
yang benar sebagai definisi yang tidak mencakup dan tidak menutup
(yaitu tidak akurat), terus dia memilih definisi Murji-ah dan
mencampurnya dengan pendapat Khawarij ─sebagaimana yang akan datang─
kemudian memandangnya sebagai definisi yang mencakup lagi menutup (yaitu
akurat). Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka
sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang)
daripada Allah. Saya menasihati penulis ─semoga Allah memberinya hidayah
kepada kebenaran─ dan setiap orang yang terpedaya dengan ucapannya atau
orang yang sejalan dengan pahamnya, agar mereka membaca Kitabul
Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan pembahasan bantahan
terhadap penganut Irja dalam kitab Al Fashl Fil Milal Wal Ahwaa Wan
Nihal karya Ibnu Hazm.
Adapun ucapannya: “Karena di sana ada
amalan-amalan yang mana pelakunya dikafirkan, dan di sana ada
amalan-amalan yang mana pelakunya tidak dikafirkan dengan sebabnya,
namun demikian mereka memasukan amalan dalam definisi itu”.
Maka kami katakan: Memang ada aib di dalam itu?
Bukankah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah menyebutkan di dalam definisi
iman menurut mereka itu : Bahwa iman bertambah dengan ketaatan
dan berkurang dengan maksiat, sedang ini tidak di anut oleh
Murji-ah dan para pengikut mereka seperti si penulis tersebut. Inilah
batasan yang tidak dia tuturkan disamping batasan lain yaitu bahwa : Iman
itu memiliki banyak pembatal sebagaimana ia memiliki banyak hal-hal
yang menguranginya, sedang pembatal-pembatal ini bisa berupa keyakinan
atau ucapan atau amalan.
Rincian yang dipotong oleh si penulis dari definisi
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini adalah menjadikan definisi Ahlus Sunnah itu
akurat (mencakup lagi menutup)
Adapun ucapannya: “dan definisi yang shahih untuk
kalimat (iman) ini adalah tashdiq al jazim yang selaras dengan realita
yang berdasarkan dalil”.
Kami katakan : Shahih (benar/sah) dan rusak itu adalah
termasuk ahkam syar’iyyah yang tergolong ahkamul wadli,
sedangkan ia adalah wewenang Allah ta’ala, dimana hanya Dia sajalah
yang menetapkan definisi itu shahih atau rusak, oleh sebab itu
barangsiapa menshahihkan atau menggugurkan suatu definisi, maka ia
dituntut mendatangkan dalil Allah, Dia ta’ala berfirman :
ö@è% (#qè?$yd öNà6uZ»ydöç/ bÎ) óOçGZà2 úüÏ%Ï»|¹
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang
benar”. (Al Baqarah : 111)
Bila kalian tidak bisa mendatangkan bukti yang benar
terhadap keshahihan definisi kalian ini, maka kalian bukan termasuk
oranbg-orang yang benar, sedangkan bukti yang benar itu adalah firman
Allah ta’ala atau sabda rasul, dan bukan ucapan-ucapan ngawur yang mana
si penulis memenuhi tulisannya dengan hal itu. Sungguh saya telah
mengamati di dalamnya dari awal lembaran sampai akhir tulisan itu
ternyata saya mendapatkan ucapan yang berlandaskan pemikiran belaka dan
akal-akalan yang ngawur tanpa bersandarkan kepada dalil. Dan bagaimana
keadaannya… sesungguhnya si penulis diktat itu dari awal sampai akhir
tidak menuturkan di dalamnya kecuali tiga ayat saja, padahal tulisan itu
berjumlah enam halaman folio, dan tiga ayat tadi tidak dia tuturkan
dalam inti permasalahan.
Ilmu macam apa ini… dan dien macam apa yang
penganutnya hanya menyandarkan kepada ucapan-ucapan para tokoh yang di
dalamnya tidak ada “Allah berfirman” atau “Rasul bersabda ??”, padahal
Allah ta’ala berfirman :
(#qãèÎ7®?$# !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB óOä3În/§ wur (#qãèÎ7Fs?
`ÏB ÿ¾ÏmÏRrß uä!$uÏ9÷rr&
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”. (Al A’raf : 3)
dan firman-Nya :
ö@è% !$yJ¯RÎ) Nà2âÉRé& ÄÓóruqø9$$Î/ 4 wur ßìyJó¡t OÁ9$#
uä!%tæ$!$# #sÎ) $tB crâxZã ÇÍÎÈ
“Katakanlah (hai Muhammad): “Sesungguhnya aku hanya memberi
peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang
yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan”. (Al
Anbiya : 45)
Kemudian dia berkata tentang definisinya yang dia
klaim bahwa itulah yang benar: “Definisi inilah yang mencakup (al
jami’), karena ia sejalan dan tepat untuk setiap sesuatu yang wajib
diimani, umpamanya orang yang beriman bahwa shalat itu fardhu, maka ia
mempraktekan apa yang dia imani secara sukarela, yaitu dia mengarahkan
perilakunya sesuai iman ini. Orang yang beriman bahwa mencuri itu haram,
maka ia mempraktekan apa yang dia imani secara sukarela, yaitu dia
mengarahkan perilakunya sesuai iman ini, yaitu dia menahan diri dari
melakukan pencurian dengan dorongan iman ini atas dasar ridha dan
kerelaan”. Selesai.
Maka saya katakan : Definisi yang ngawur yang diklaim
oleh si penulis bahwa ia-lah definisi al jami’ al mani’ (yang
mencakup lagi menutup) ini adalah telah tampak jelas kekontradiksiannya
di dalam alinea ini…
Si penulis dan orang-orang yang sejalan dengannya
tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat kecuali bila dia
mengingkarinya. Adapun bila dia meninggalkan shalat dan berkata: “Saya
tidak mengingkarinya, akan tetapi saya meninggalkannya karena malas”,
maka orang seperti ini menurut mereka tidak kafir. Namun demikian kami
mendapatkan si penulis di sini membuat cabang masalah di atas definisi
imannya ini, dimana dia berkata : “Orang yang beriman bahwa shalat
itu fardhu, maka ia mempraktekan apa yang dia imani secara realita,
yaitu dia mengarahkan perilakunya sesuai iman ini atas dasar ridha dan
sukarela”. Selesai.
Mafhumnya, bahwa orang yang tidak mengarahkan
perilakunya sesuai iman yang diklaimnya dimana ia tidak shalat, maka ia
kafir meskipun dia mengatakan bahwa saya beriman shalat itu fardhu,
karena iman itu sebagaimana dalam definisi kalian adalah harus selaras
dengan realita, dan kalau tidak selaras maka ia bukan iman sesuai
definisi kalian yang mencakup lagi menutup itu, sedangkan iman itu tidak
berlawanan kecuali dengan kekafiran menurut kalian, bahkan mereka
mengatakan: “Tidak ada iman yang kurang…!”, dan ini menampakkan
di hadapanmu sebagian kekontradiksian mereka.
Ucapannya setelah itu: “Orang yang beriman bahwa
mencuri itu haram, maka dia mempraktekan apa yang dia imani secara
relita, yaitu dia mengarahkan perilakunya sesuai iman ini, yaitu dia
menahan diri dari melakukan pencurian dengan dorongan iman ini atas
dasar ridha dan kerelaan”. Selesai.
Saya katakan : Percontohan ini bila dikaitkan dengan
definisi iman menurut mereka adalah menunjukan bahwa si penulis ini
memiliki pandangan seperti Khawarij dalam hal takfier dengan sebab dosa
besar.
Pencurian bukanlah kekafiran dengan dalil bahwa si
pencuri dalam ajaran Allah tidaklah dibunuh, namun dipotong tangannya,
dan andaikata dia menjadi kafir murtad adalah tebasan dengan pedang…
Akan tetapi Khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa
besar itu kafir, karena dosa besarnya menunjukan bahwa dia tidak
beriman, sedangkan ini adalah makna ucapan kawan kita itu.
Bila ia bukan atau itu bukan dia maka sungguh dia adalah saudaranya
Ibunya susui dia dengan air susunya
Dia membuat cabang yang memberikan contoh terhadap
definisi iman yang dia pilih dan dia menjadikannya sebagai definisi yang
shalih lagi akurat !!
Dia mengatakan bahwa; “Orang yang beriman bahwa
mencuri itu haram, maka dia mempraktekan apa yang dia imani secara
sukarela, yaitu dia mengarahkan perilakunya sesuai iman ini, yaitu dia
menahan diri dari melakukan pencurian dengan dorongan iman ini”.
Maka mafhumnya adalah bahwa orang yang tidak menahan
diri dari melakukan pencurian, maka dia tidak memiliki iman yang
menghalanginya, yaitu tidak beriman menurut mereka dan berarti dia
kafir, karena menurut paham mereka tidak ada lawan iman kecuali kufur,
sebab menurut mereka tidak ada yang namanya iman yang berkurang.
Sedangkan ini adalah pendapat Khawarij. Kami tidak tahu di atas paham
apa pemikiran dan pendapatnya itu menetap !?
Sesekali engkau melihat dia di atas paham Murji-ah,
dan tiba-tiba engkau mendapati dia loncat mengambil paham Khawarij… dia
bimbang antara mereka ini dengan mereka itu.
Padahal tidak mustahil secara syar’iy dan akal akan
adanya orang yang melakukan pencurian sedang dia mengatakan: “Saya
beriman dengan iman yang pasti bahwa mencuri itu haram”.
Bahkan ini adalah relita keadaan mayoritas para
pencuri, dan ia itu buktinya blok kasus pencurian di penjara dekat kamu;
coba pergi dan tanya mereka !!, maka kamu akan mendapatkan mayoritas
mereka mengatakan: “Kami tahu bahwa mencuri itu haram dalam ajaran Allah
dan kami mengimani itu dengan keimanan yang pasti, akan tetapi kami
ingin hidup den memberi makan anak-anak”, ATAU mereka mengatakan: “Yang
haram sudah merata dan para pencuri itu bukan kami saja, justeru
pemerintahlah pencuri paling besar dan tidak seorangpun
mempermasalahkannya…”, serta alasan-alasan mereka lainnya. Ini adalah
iman bahwa mencuri itu haram, namun ia tidak sejalan dengan realita
perbuatan, karena orangnya tidak mengarahkan kehidupannya di atas
imannya itu dan dia tidak menahan diri dari mencuri, maka berdasarkan
definisi iman menurut kalian dan sesuai mafhum ucapan kalian di sini
berarti orang seperti ini adalah kafir..!!?
Sedangkan sudah maklum bahwa ini adalah pendapat
Khawarij yang sesat…
Kemudian si penulis tersebut malah mengklaim bahwa
definisi yang rancu ini adalah definisi yang shahih lagi akurat…!
Sungguh mengenaskan, memang apa yang dicakupkannya..?!
Ia tidak mencakup dan tidak mengumpulkan, kecuali
kontradiksi dan pencampur- adukan antara paham-paham yang sesat dan
kelompok-kelompok yang menyimpang dari madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah…
Kemudian si penulis berkata : “Sekarang kami ingin
memberikan contoh tentang Dewan Perwakilan (Parlemen) sehingga jelas
bagi kita bagaimana hukum syar’iy itu dipahami” ─sampai ucapannya─ “dan
agar vonis hukum itu syar’iy, maka pertama-tama kita meneliti realita
yang ingin kita hukumi, kita menelitinya dengana cara atau metode yang
telah Allah ajarkan kepada kita dengan penelitian yang akurat lagi
cemerlang, agar kita mengetahui realitanya dengan segala kondisi yang
melingkarinya, kemudian setelah itu kita meneliti hukum syar’iy yang
tepat baginya”, terus berkata: “Dewan Perwakilan (Parlemen)
adalah sekelompok orang yang dipercayai rakyat sebagai wakil mereka
untuk menjalankan tugas-tugas perwakilan atas nama mereka di hadapan
pemerintah. Apakah boleh bekerja mewakili rakyat dan apa saja
pekerjaan-pekerjaan ini ?, sesungguhnya Undang Undang Dasar Yordania
mengatakan: [Sesungguhnya wakil rakyat melakukan
perbuatan-perbuatan ini : Pertama, dia harus sumpah setia. Kedua, ia
memberikan kepercayaan atau mosi tidak percaya terhadap pemerintah.
Ketiga, mengawasi kerja pemerintah. Keempat, membuat undang-undang. Dan
kelima, menyampaikan tuntutan rakyat kepada pemerintah berupa perbaikan
kondisi, baik itu berkaitan dengan idividu maupun umum…]”,
sampai dia berkata: “Perwakilan itu adalah suatu perbuatan, maka
apakah orang muslim boleh mengangkat orang lain sebagai wakilnya untuk
melakukan apa yang ingin ia kerjakan. (Ya !) di sana ada hal-hal yang
tidak bisa diwakilkan seperti fardhu ‘ain bagi seseorang seperti
kewajiban shalat” ─sampai ucapannya─ “adapun hal-hal yang mubah
dan hal-hal yang wajib dilakukan tanpa melihat siapa yang melakukan
perbuatan-perbuautan macam kedua (yaitu hal-hal yang mubah dan
fardhu kifayah, Pent), maka hal itu boleh baginya, sedangkan dalil
hal itu adalah bahwa para shahabat suka saling mewakilkan satu sama lain
di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena mewakilkan itu
adalah boleh secara syari’at. Adapun berkaitan dengan pekerjaan si
wakil rakyat, maka ini dilihat, bila dia itu melakukan amalan-amalan
pokok kaum muslimin, dia bersaksi bahwa Laa ilaaha illallaah dan dia
berkata bahwa ia beriman, maka seluruh penduduk bumi tidak bisa
mengeluarkan dia dari Islam walaupun dia fasiq dan dzalim”.
Maka saya katakan : Ketahuilah pertama-tama bahwa
tabi’at pekerjaan atau tugas wakil rakyat (di Dewan Perwakilan Rakyat)
atau anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah telah ditentukan oleh
Dustur Kufriy (Undang Undang Dasar kafir), dan hakikatnya atau
tabi’atnya tidak berubah oleh filsafat atau pentakwilan si penulis atau
yang lain terhadapnya…
Undang Undang Dasar Yordania telah menegaskan
sebagaimana dalam pasal (24) ayat (1) bahwa rakyat adalah sumber segala
kekuasaan. Dan ayat (2) dari pasal yang sama menjelaskan cara yang
dengannya rakyat lewat wakil-wakilnya dan menteri-menterinya menjalankan
kekuasan-kekuasaannya ini; baik itu Legislatif atau Eksekutif ataupun
Yudikatif.
Sedangkan teksnya : (Rakyat menjalankan semua
kekuasannya sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan di dalam Undang
Undang Dasar). Jadi si wakil rakyat itu mengawasi pemerintah atau
membuat hukum atau mengutarakan tuntutan atau mewakili rakyat sesuai
dengan ketentuan yang dijelaskan di dalam Undang Undang Dasar, dan bukan
sesuai firman Allah atau sabda Rasulullah. Bila kita telah mengetahui
hakikat ini, maka setelah itu kita bisa mengetahui hukum menjadi wakil
rakyat atau membuat hukum atau iktu serta di dalam majelis-majelis
syirik ini. Dan begitulah penelitian tentang hukum syar’iy ini
benar-benar penelitian yang akurat lagi cemerlang. Adapun si penulis,
maka sungguh dia telah mensyaratkan bahwa pengkajiannya itu adalah
pengkajian yang akurat lagi cemerlang, kemudian dia malah memplintir
tugas wakil rakyat dan cara kerjanya dengan cara yang menyelisihi
realita parlemen-parlemen ini telah ditentukan oleh Undang Undang Dasar.
Dia menyamakan kerja wakil rakyat dengan wikaalah
(akad perwakilan) yang terjadi di antara para shahabat dalam furudhul
kifayah, dimana dia berkata sebelumnya “adapun hal-hal yang mubah
dan hal-hal yang wajib dilakukan tanpa melihat siapa yang melakukan
perbuatan-perbuautan macam kedua (yaitu hal-hal yang mubah dan
fardhu kifayah, Pent), maka hal itu boleh baginya, sedangkan dalil
hal itu adalah bahwa para shahabat suka saling mewakilkan satu sama lain
di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena mewakilkan itu
adalah boleh secara syari’at”.
Maka saya katakan : Enyahlah dan enyahlah bagi
akal-akalan semacam ini yang tidak laku dijual walau dengan sayuran[2],
dan enyahlah bagi qiyas yang dengannya kaum musyrikin berikut
lembaga-lembaga perwakilan syirik mereka diqiyaskan dengan shahabat dan
akad perwakilan mereka yang syar’iy.
Apakah ini yang kalian namakan pengkajian yang akurat
lagi cemerlang…?! ataukah seperti hukum syar’iy yang di ambil…?!.
Engkau telah mengetahui wahai saudara tauhid bahwa di
antara hakikat dan tabi’at tugas wakil rakyat yang telah ditentukan oleh
Undang Undang Dasar adalah bahwa ia itu dijalankan sesuai dengan
ketentuan yang telah dijelaskan di dalam Undang Undang Dasar kafir
mereka, bukan dengan ketentuan yang dibuat-buat oleh mereka itu.
Pelaksanaan perwakilan di dalam lembaga-lembaga syirik ini adalah
dilakukan berdasarkan panduan point Undang Undang Dasar. Jadi ia secara
pasti tidak seperti wikaalah syar’iyyah (akad perwakilan yang
syar’iy) di dalam jual beli, nikah, sembelihan, sewa-menyewa atau
hal-hal mubah dan boleh lainnya dalam syari’at ini.
Sedangakan perwakilan di sana adalah perwakilan di
dalam melakukan kekafiran yang nyata yang Allah ta’ala telah
mengingkarinya terhadap kaum musyrikin. Dia ta’ala berfirman :
÷Pr& óOßgs9 (#às¯»2uà° (#qããu° Oßgs9 z`ÏiB ÉúïÏe$!$# $tB öNs9
.bsù't ÏmÎ/ ª!$# 4 wöqs9ur èpyJÎ=2 È@óÁxÿø9$# zÓÅÓà)s9 öNæhuZ÷t/ 3
¨bÎ)ur úüÏJÎ=»©à9$# öNßgs9 ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇËÊÈ
“Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak Allah izinkan?” (Asy
Syura : 21)
Jadi para wakil rakyat yang membuat hukum sesuai
ketentuan Undang Undang Dasar itu adalah sembahan-sembahan yang dipilih
oleh orang yang mewakilkan wewenangnya dalam pembutan hukum kepada
mereka serta dia sekutukan mereka bersama Allah ta’ala :
ÄÓt<Ås9|Á»t Ç`ôfÅb¡9$# Ò>$t/ör&uä cqè%ÌhxÿtGB îöyz ÏQr&
ª!$# ßÏnºuqø9$# â$£gs)ø9$# ÇÌÒÈ
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang beraneka ragam itu ataukah
Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf : 39)
Orang yang mengqiyaskan perwakilan-perwakilan syirik
ini terhadap wikaalah (akad perwakilan) dalam hal-hal yang fardhu
kifayah atau yang lainnya yang terjadi di antara shahabat adalah berada
di atas bahaya yang sangat besar, karena dia mengqiyaskan kaum musyrikin
terhadap para shahabat yang bertauhid dan dia menyerupakan syirik
dengan Islam dan tauhid, baik dia menyadari maupun tidak. Dan
menyebabkan dia berbuat seperti itu adalah fanatik buta terhadap
pendapat dan pemikiran yang membuatnya buta dan tuli serta menjerumuskan
para penganutnya ke dalam ketergelinciran dan sikap ngawur.
Adapun ucapannya: “Adapun berkaitan dengan
pekerjaan si wakil rakyat, maka ini dilihat, bila itu melakukan
amalan-amalan pokok kaum muslimin, dia bersaksi bahwa Laa ilaaha
illallaah dan dia berkata bahwa dia beriman, maka seluruh penduduk bumi
tidak bisa mengeluarkan dia dari Islam walaupun dia fasiq dan dzalim”.
Maka dikatakan : Hai orang… kefasikan dan kedzaliman
macam apa yang kamu bicarakan ini ??!
Sesungguhnya tugas para wakil rakyat itu adalah
membuat undang-undang. Sesungguhnya ia adalah Al Fasiq Al Akbar dan Adh
Dhulmun Akbar :
cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã
“Sesungguhnya syirik itu adalah benar-benar kezaliman yang amat
besar”. (Luqman : 13).
Sesungguhnya ia adalah salah satu pembatal (Laa ilaaha
illallaah) yang di antara konsekuensinya adalah kafir kepada selain
Allah, dengan bentuk ibadah macam apa saja, baik itu sujud, ruku,
sembelihan, do’a, atau penyandaran hukum. Allah ta’ala berfirman :
3 ¨bÎ)ur úüÏÜ»u¤±9$# tbqãmqãs9 #n<Î) óOÎgͬ!$uÏ9÷rr&
öNä.qä9Ï»yfãÏ9 ( ÷bÎ)ur öNèdqßJçG÷èsÛr& öNä3¯RÎ) tbqä.Îô³çRmQ
“Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya
agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya
kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am : 121)
Al Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadrak-nya
dengan isnad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu'anhu
bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sejumlah kaum musyrikin yang
mendebat kaum muslimin perihal satu hukum saja, yaitu sembelihan, mereka
berkata seraya mengingkari: “Apa yang Allah sembelih –yaitu
bangkai- adalah haram, sedangkan apa yang kalian sembelih adalah
halal…”, maka Allah ta’ala menurunkan : “Dan bila kamu menuruti
mereka, maka sungguh kalian ini adalah benar-benar orang-orang
musyrik”. (Al An’am : 121).
Bila saja orang yang menuruti para pembuat hukum
dalam satu hukum saja adalah musyrik, maka bagaimana dengan orang yang
memang dia sebagai pembuat hukum dan undang-undang dan kekuasaan
pembuatan hukum dan undang-undang secara mutlak dilimpahkan kepadanya,
sebagaimana dalam penegasan pasal (25) dari Undang Undang Dasar Yordania
[Kekuasaan Pembuatan hukum dipegang oleh Majelis Rakyat dan
Raja]…??![3].
Sedangkan amalan-amalan pokok Islam yang dituturkan
oleh si penulis dan klaim iman serta syahadat Laa ilaaha illallaah
adalah tidak bermanfaat bila disertai syirik akbar yang telah Allah
firmankan :
ôs)s9ur zÓÇrré& y7øs9Î) n<Î)ur tûïÏ%©!$# `ÏB Î=ö6s% ÷ûÈõs9
|Mø.uõ°r& £`sÜt6ósus9 y7è=uHxå £`tRqä3tGs9ur z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÏÎÈ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
rasul-rasul sebelummu; “Jika kamu berbuat syirik niscaya akan hapuslah
amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (Az
Zumar : 65)
Kemudian bagaimana dia berani mengatakan bahwa: “si
wakil rakyat yang melakukan amalan-amalan pokok kaum muslimin, dia
bersaksi Laa ilaaha illallaah dan dia berkata bahwa ia beriman, maka
seluruh penduduk bumi tidak bisa mengeluarkan dia dari Islam”. Dan
apakah lontaran ini benar setelah engkau mengetahui bahwa tabi’at
tugasnya itu adalah syirik akbar, dan Allah ta’ala sendiri telah
mengkafirkan orang-orang yang telah muncul dari mereka kekafiran yang
lebih rendah dari hal ini, dan tidak berguna bagi mereka amalan-amalan
pokok Islam, kesaksian Laa ilaaha illallaah dan klaim iman tatkala
mereka mendatangkan hal yang mambatalkannya…
Mereka itu adalah orang-orang yang ikut dalam peperang
yang tergolong peperang terbesar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu ghazwah al ‘usrah (Tabuk), mereka
ikut sebagai mujahidin lagi menampakkan al iman dan amalan-amalan pokok
Islam serta mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadati
selain Allah, kemudian tatkala muncul dari mereka ungkapan-ungkapan yang
hakikatnya adalah perolok-olokan terhadap para shahabat penghapal Al
Qur’an, maka Allah ta’ala mengkafirkan mereka, padahal mereka itu
mengutarakan alasan bahwa mereka tidak bermaksud dengan hal itu atau
meyakininya atau menghalalkannya, dan mereka tidak mengingkari
sesuatupun dari dien, Islam dan iman, namun sebagaimana yang mereka
katakan : “Ia itu adalah obrolan para penempuh yang dengannya kami
menghilangkan kepenatan di perjalanan”. Allah ta’ala berfirman :
ûÈõs9ur óOßgtFø9r'y Æä9qà)us9 $yJ¯RÎ) $¨Zà2 ÞÚqèwU Ü=yèù=tRur 4 ö@è%
«!$$Î/r& ¾ÏmÏG»t#uäur ¾Ï&Î!qßuur óOçFYä. crâäÌöktJó¡n@ ÇÏÎÈ w
(#râÉtG÷ès? ôs% Länöxÿx. y÷èt/ óOä3ÏY»yJÎ)
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah
kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. (At Taubah :
31)
Mereka itu adalah asalnya orang-orang yang beriman
berdasarkan penegasan firman Allah, mereka ikut berangkat sebagai
mujahidin bersama Rasulullah dalam peperangan terbesar !!, mereka
melaksanakan amalan-amalan pokok Islam, dan mereka bersyahadat Laa
ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah, namun demikian mereka dikafirkan
tatkala melontarkan ucapan-ucapan seperti itu.
Maka bagaimana dengan orang yang menjadikan dirinya
sebagai tuhan pembuat hukum berdasarkan ketentuan Undang Undang Dasar
kafir?? Yang melimpahkan kekuasaan pembuatan undang-undang (sulthah
basyri’iyyah) secara mutlak kepadanya, sebagaimana telah lalu dalam
pasal (25) dan sebagaimana ditegaskan oleh pasal (95) ayat (1) bahwa
[Boleh bagi 10 orang atau lebih dari anggota-anggora dewan kehormatan
dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengusulkan pembuatan undang-undang].
Jadi permasalahannya tidak seperti apa yang
dikhayalkan dan dipelintir oleh si penulis ini saat dia berbicara
setelah itu di tengah-tengah pembicaraanya tentang tugas-tugas wakil
rakyat… “Adapun keempat, yaitu membuat undang-undang, maka
sesungguhnya yang pertama-tama membuat undang-undang adalah pemerintah
terus pasal-pasal itu disodorkan kepada wakil rakyat, terus ia disetujui
atau ditolak”. Selesai.
Sungguh engkau mengetahui bahwa ungkapan ini tidak
akurat dan tidak cemerlang sebagaimana yang diisyaratkan oleh si penulis
di dalam pengkajiannya sebelumnya, karena sungguh telah nampak jelas
dihadapanmu dari pasal-pasal Undang Undang Dasar yang lalu bahwa si
wakil rakyat itu membuat hukum dan mengusulkan pembuatan undang-undang.
Adapun ucapannya langsung setelah itu: “Dan dalam
keadaannya seperti ini, maka diambil putusan berdasarkan suara mayoritas
bila pasal ini berisi penghalalan yang haram atau pengharaman yang
halal, terus si wakil rakyat itu memberikan suara penolakan karena pasal
itu bukan dari Islam, maka si wakil rakyat yang menolak pasal yang
mengharamkan yang halal atau sebaliknya itu telah melakukan maksiat,
karena itu tidak menggunakan metode yang syar’iy dalam merubah
kemungkaran ini, akan tetapi dia itu tidak keluar dari Islam sehingga ia
tetap berstatus muslim lagi mukmin selagi dia mengakku Islam dan Iman”.
Selesai. Maka ucapan yang disebut oleh penulisnya sebagai kajian yang
akurat dan cemerlang ini menggambarkan si wakil rakyat itu seolah dia
loncat masuk ke Parlemen begitu saja tanpa sebelumnya melakukan suatu
dari al mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) seperti sumpah
untuk komitmen dengan Undang Undang Dasar kafir dan setia kepada thaghut
serta yang lainnya.
Dia menggambarkan tugas wakil rakyat seolah hanya
penolakan terhadap undang-undang yang menentang ajaran Allah, padahal
sesungguhnya hakikat sebenarnya adalah bukan ini sebagaimana yang
sebagiannya telah engkau ketahui, sedangkan realita para wakil rakyat di
perlemen-parleman syirik ini adalah mereka itu berlumuran berbagai mukaffirat
(hal-hal yang mengkafirkan). Kita memohon keselamatan kepada
Allah…
Akan tetapi kami di sini mengutarakan sebuah
pertanyaan kepada pemilik ‘pengkajian yang cemerlang’ ini…
Kenapa kamu mengandai-andai pengajuan rancangan
undang-undang yang menentang ajaran Allah, terus kamu mengandai-andai
penentangan si wakil rakyat terhadapnya, dan kamu tidak mengandai sikap
setuju dia terhadapnya, terus kamu menunjukan kami terhadap status hukum
akan hal itu…??
Kami telah menyaksikan banyak wakil rakyat di lembaga
Legislatif menyetujui dan memberikan suara dukungan terhadap
undang-undang yang menyelisihi lagi menentang hukum Allah Yang Maha Esa
lagi Maha Perkasa, serta mereka ikut serta dalam penggodokannya, maka
apakah ini hanya sekedar maksiat menurut kalian ?
Dan bila saya diminta mengutarakan contoh, maka
contohnya –demi Allah- sangat banyak dan saya akan sebutkan untuk kamu
contoh yang paling masyhur, yaitu Piagam Nasional yang mana kalangan Al
Ikhwan Al Muslimin (IM) ikut serta di dalam panitia yang membuatnya.
Piagam Nasional ini tidak lain adalah saudara Undang Undang Dasar,
bahkan kembarannya yang tidak jauh berbeda kecuali sedikit saja, dan
barangsiapa menginginkannya maka silahkan rujuk kesana.
Kami katakan juga, kenapa kamu tidak mengandai-andai
pengajuan rancangan undang-undang yang sejalan dengan syari’at Allah,
baik pengajuan itu dari pihak pemerintah atau dari wakil rakyat YANG
MENGAKU MUSLIM ? ataukah kamu memilih-milih dalam pengkajianmu yang
cemerlang ini contoh yang sejalan dengan hawa nafsu dan keinginanmu ?.
Bukankah dalam dewan yang lalu sebagian wakil rakyat
yang mengaku Islam menuntut pembuatan undang-undang pengharaman khamr,
terus rancangan undang-undang ini dilimpahkan untuk pemungutan suara,
dan ternyata ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolak lagi
menentang… maka apakah ini termasuk ajaran Allah ataukah termasuk ajaran
thaghut ? dan bagaimana agama Allah disodorkan untuk pemungutan suara
dimana ia diakui atau ditolak oleh mayoritas yang kafir lagi bejat…??!
Bukankah ini tergolong perolok-olokan terbesar
terhadap agama Allah ta’ala…
ôs%ur tA¨tR öNà6øn=tæ Îû É=»tGÅ3ø9$# ÷br& #sÎ) ÷Läê÷èÏÿx ÏM»t#uä
«!$# ãxÿõ3ã $pkÍ5 é&töktJó¡çur $pkÍ5 xsù (#rßãèø)s? óOßgyètB 4Ó®Lym
(#qàÊqès Îû B]Ïtn ÿ¾ÍnÎöxî 4 ö/ä3¯RÎ) #]Î) óOßgè=÷VÏiB 3 ¨bÎ) ©!$#
ßìÏB%y` tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# tûïÌÏÿ»s3ø9$#ur Îû tL©èygy_ $·èÏHsd ÇÊÍÉÈ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran
bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga
mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu
berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya
Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir
di dalam Jahannam”. (An Nisa : 140)
Kemudian ucapannya: “diambil putusan berdasarkan
suara mayoritas”, dia tuturkan begitu saja dan tidak dia ingkari,
bukankah ini adalah hukum rakyat buat rakyat atau Demokrasi yang kafir
(hukum mayoritas) ?. Bukankah ia bukan agama Allah ta’ala dan ajaran
yang bukan ajaran-Nya ?, sedangkan Allah ta’ala berfirman :
`tBur Æ÷tGö;t uöxî ÄN»n=óM}$# $YYÏ `n=sù @t6ø)ã çm÷YÏB uqèdur Îû
ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali Imran : 85)
Karena sesungguhnya hukum Allah Yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa tidak menganggap pendapat mayoritas dan tidak menghiraukan
penolakan dan penerimaan suara mayoritas, manusia tidak memiliki hak
pilih dan tidak berhak membuat hukum:
/uur ß,è=øs $tB âä!$t±o â$tFøsur 3 $tB c%2 ãNßgs9 äouzÏø:$# 4
z`»ysö6ß «!$# 4n?»yès?ur $£Jtã tbqà2Îô³ç ÇÏÑÈ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.
sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka, Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”. (Al Qashash : 68)
dan firman-Nya :
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 wur >puZÏB÷sãB #sÎ) Ó|Ós% ª!$#
ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3t ãNßgs9 äouzÏø:$# ô`ÏB
öNÏdÌøBr& 3 `tBur ÄÈ÷èt ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê
$YZÎ7B ÇÌÏÈ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Al Ahzab : 36)
dan firman-Nya :
xsù y7În/uur w cqãYÏB÷sã 4Ó®Lym x8qßJÅj3ysã $yJÏù tyfx© óOßgoY÷t/
§NèO w (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøÒs% (#qßJÏk=|¡çur
$VJÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya”. (An Nisa : 65)
Allah ta’ala berfirman tentang hukum dan pendapat
mayoritas :
!$tBur çsYò2r& Ĩ$¨Y9$# öqs9ur |Mô¹tym tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÊÉÌÈ
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu
sangat menginginkannya”. (Yusuf : 103)
dan firman-Nya :
bÎ)ur ôìÏÜè? usYò2r& `tB Îû ÇÚöF{$# x8q=ÅÒã `tã È@Î6y «!$# 4 bÎ)
tbqãèÎ7Ft wÎ) £`©à9$# ÷bÎ)ur öNèd wÎ) tbqß¹ãøs ÇÊÊÏÈ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (Al An’am : 116)
Sedangkan para anggota Parlemen yang mana si penulis
dalam kajiannya yang ‘cemerlang’ menghalangi (orang lain) dari
mengkafirkan mereka itu adalah telah ikut serta di dalam Parlemen itu
untuk merealisasikan tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan mereka
lewat permainan mayoritas ini yang mana ia adalah Demokrasi, hukum
rakyat untuk rakyat alias agama kafir baru. Terus si penulis malah
memandang bahwa mereka dengan perbuatannya itu hanya sekedar berbuat
maksiat dan bukan kekafiran, karena mereka itu ─sebagimana klaim dia─
hanya mengikuti suatu metode yang bukan metode syar’iy di dalam merubah
yang mungkar, padahal sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa metode
mereka itu adalah metode yang kafir lagi syirik.
Si penulis berkata dalam point pertama dari perbuatan
wakil rakyat: “yaitu sumpah, dia bersumpah dengan nama Allah Yang
Maha Agung untuk setia kepada Raja dan komitmen terhadap Undang Undang
Dasar serta melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dengan
amanah. Seandainya kita bertanya kepadanya: “Bagaimana kamu sumpah
seperti ini ?” –dan pertanyaan ini memang sudah terjadi- maka dia
berkata: [Pertama, saya bersumpah untuk setia kepada Raja, dan ini benar
karena saya ini muslim dan saya menginginkan kebaikan bagi semua
manusia, sedangkan Raja itu termasuk manusia, jadi kesetiaan saya
kepadanya adalah bahwa saya sangat menginginkan ia itu komitmen dengan
Islam, sedangkan komitmen saya dengan Undang Undang Dasar dan
pelaksanaan tugas-tugas wajib yang diemban saya, sungguh di akhir
sumpah saya mengatakan ‘sesuai dengan apa yang mendatangkan
ridha Allah’]. Maka dalam keadaan seperti ini saya tidak bisa
mencap dia kafir dengan sebab sumpah ini, namun ia tetap termasuk orang
muslim”. Selesai.
Saya katakan : Ucapan kamu tentang wakil rakyat : “Saya
bersumpah untuk setia kepada Raja, dan ini benar”, bagaimana kamu
tulis ini dan mengakuinya di dalam kajianmu yang cemerlang ini,
sedangkan Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
ôs%ur (#ÿrâÉDé& br& (#rãàÿõ3t ¾ÏmÎ/
“Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu”.
(An Nisa : 60)
Dan ucapannya setelah itu: “Sedangkan Raja itu
termasuk manusia”. Kami tahu bahwa dia itu termasuk manusia dan
bukan termasuk jin, tapi termasuk manusia macam apa ??. Manusia itu ada
yang kafir… Jadi kamu ini membuat pengkaburan dan mengakuinya. Bukankah
si Raja ini adalah tuhan mereka tertinggi yang mana tidak ada satu
hukumpun digulirkan kecuali dengan pengesahannya, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Undang Undang Dasar mereka dan kepadanya kewenangan
pembuatan hukum di sandarkan secara mutlak ?? Bukankah dia yang telah
mengugurkan ayri’at Allah dan menggantinya dengan Undang Undang Dasar
buatan yang busuk ?? Bukankah dia yang telah mengugurkan ajaran Allah
dan menyebarkan kekafiran dan perolok-olokan kepada ajaran Allah di
tengah negeri dan di tengah manusia serta melindungi dan menjaganya
dengan undang-undang dan aparat keamanannya ?? Bukankah dengan
perintahnya dan dengan undang-undangnya dilegalkan semua kebejatan,
minuman keras, pelacuran dan pornografi, dan musuh-musuh Allah dari
kalangan Yahudi dan yang lainnya dijadikan saudara, serta wali-wali
Allah yang bertauhid dijadikan musuh ??.
Adapun ucapannya setelah itu: “Jadi kesetiaan saya
kepadanya adalah bahwa saya sangat menginginkan ia itu komitmen dengan
Islam”, hingga akhir igauannya yang dengannya ia jejali kerjanya
yang ‘cemerlang’ itu dalam rangka menutupi (kekafiran) para anggota
Legislatif.
Maka saya katakan : Pasal (80) dari Undang Undang
Dasar Yordania telah menegaskan bahwa [Setiap anggota dari
anggota-anggota Dewan Kehormatan dan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum
memulai dalam tugasnya, wajib menyatakan di hadapan dewannya sumpah yang
berbunyi : “Saya bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Agung untuk
setia kepada Raja dan tanah air , dan untuk komitmen terhadap Undang
Undang Dasar”]
Sedangkan telah ada dalam hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Muslim dengan sanadnya dari Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bahwa : “Sumpah itu berdasarkan niat orang
yang sumpah”.
Sedangkan semua sudah maklum bahwa maksud orang yang
meminta sumpah di sini dan hakikat ucapannya: “Saya sumpah setia
kepada Raja”, bukanlah seperti apa yang dibuat-buat dan dinukil
oleh si penulis dalam nukilannya dari orang-orang yang dia bela : “Bahwa
saya menginginkan ia itu komitmen dengan Islam”, akan tetapi
maksud orang yang meminta sumpah dari hal itu adalah : (Tidak
membangkang terhadapnya atau khianat kepadanya atau menghujatnya atau
berupaya mengkudeta pemerintahnya atau membantu musuhnya walaupun musuh
itu dari kalangan muwahhidin pilihan serta hal-hal seperti itu). Inilah
yang mereka maksudkan dari sumpah itu, dan ini adalah maksud dari niat
orang yang meminta sumpah, sedangkan sumpah itu sebagaimana di dalam
hadits adalah keluar sesuai dengan niat orang yang meminta sumpah ini,
bukan sesuai niat orang yang sumpah…
Sedangkan pentakwilan-pentakwilan dan akal-akalan yang
dituturkan oleh si penulis tersebut adalah tidak bisa merubah hakikat
sumpah kafir ini, karena pengrubahan nama-nama itu tidaklah merubah
sedikitpun dari hakikat isi sebenarnya. Alangkah serupanya mereka itu
dengan orang-orang yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam : “Segolongan dari ummatku meminum khamr seraya
menamakannya dengan selain namanya”, maka ini adalah seperti ini,
bahkan Allah adalah lebih dasyat, karena syirik dan sumpah untuk
menghormati thaghut yang padahal Allah telah memerintahkan agar kafir
terhadapnya dan berlepas diri dari undang-undangnya adalah tidak ragu
bahwa itu lebih dasyat dan lebih busuk daripada minum khamr.
Suri tauladan mereka dalam mempermainkan nama untuk
mengkaburkan hakikat sebenarnya itu adalah Iblis terlaknat, karena
dialah yang paling pertama memcontohkan kesesatan ini saat dia menamakan
pohon kenistaan dan kerugian dengan nama pohon kekekalan dalam rangka
mengeluarkan al haq dengan al bathil dan dalam rangka menyesatkan Adam ‘alaihissalam.
Adapun pengudzuran dia bagi para anggota Legislatif
yang musyrik itu dengan sebab ucapan mereka: “Sedangkan komitmen
saya dengan Undang Undang Dasar dan tugas-tugas yang wajib diemban saya,
sungguh saya di akhir sumpah saya mengatakan : ‘Sesuai dengan
apa yang mendatangkan ridha Allah’. Maka dalam keadaan seperti
ini saya tidak bisa mencap kafir dengan sebab sumpah ini, namun ia tetap
termasuk orang muslim”.
Maka saya katakan : Demi Allah, ini termasuk keajaiban
yang sangat mengherankan, dan ia termasuk keajaiban-keajaiban zaman ini
yang mana akal orang-orangnya sudah terbalik.
Andai kau hidup, sungguh akan melihat keajaiban-keajaiban
Bila hatimu masih hidup lagi tak tersesatkan…
Siapa hatinya mati, maka selamanya tidak akan sadar
Walau kau datangkan berbagai bukti nyata…
Karena hakikat sebenarnya ucapan kafir ini adalah
sebagai berikut : [Saya bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Agung
untuk komitmen terhadap kemusyrikan yang nyata dan untuk menjalankan
kemusyrikan yang jelas (Sesuai dengan apa yang mendatangkan ridha Allah)
!!!].
Undang Undang Dasar itu adalah kekafiran yang nyata[4]
dan kewajiban terpenting anggota Legislatif itu adalah membuat
undang-undang sesuai ketentuan Undang Undang Dasar…!!
Bagaimana dia bersumpah dengan nama Allah Yang Maha
Agung untuk setia kepada ajaran yang bukan ajaran Allah, bahkan (untuk
setia) kepada ajaran yang memerangi ajaran Allah, dan bagaimana dia
bersumpah untuk menjalankan kemusyrikan yang telah Allah haramkan (sesuai
dengan apa yang mendatangkan ridha Allah) ??. Dalam ajaran apa
bahkan dalam akal model apa kekafiran yang hina lagi kontradiksi ini
bisa sejalan ?? Apakah Allah ta’ala meridhai sesuatu dari kekafiran atau
kemusyrikan atau undang-undang thaghut ?? Bukankah ini termasuk
perolok-olokan terhadap ajaran Allah ta’ala dan menjadikannya bahan
mainan dan lelucon…??
Adapun ucapannya setelah itu: “Adapun yang kedua
–yaitu tugas wakil rakyat- yaitu memberikan kepercayaan atau mosi tidak
percaya terhadap pemerintah, maka sesungguhnya ia adalah keluar dari
hukum syar’iy dan bukan keluar dari Islam…”, terus dia mulai
menjelaskan bahwa mosi tidak percaya terhadap pemerintah ini di dalam
Islam adalah bukan dengan cara ini, sehingga perbuatan si wakil rakyat
ini hanya mukhaalafah syar’iyyah (yaitu maksiat) dan bukan
kekafiran.
Maka kami katakan kepada pemilik kajian yang akurat
lagi cemerlang ini; ini pada mosi tidak percaya… kita tinggalkan ini
dulu, sekarang kami memiliki bantahan terhadapnya, tapi bagaimana
tentang pemberian kepercayaan terhadap sistem thaghut dan pemerintah
yang mengugurkan syari’at Allah, memerangi ajaran Allah dan menyebarkan
perolok-olokan terhadap hududullah, menjaganya dan
melindunginya lewat sarana-sarana informasinya siang dan malam, baik
yang dibaca, yang didengar maupun yang dilihat, dia loyalitas kepada
musuh-musuh Allah dan memusuhi wali-wali-Nya. Bagaimana kamu lancang
mengatakan bahwa itu sekedar keluar dari hukum syar’iy dan bukan keluar
dari Islam ??? Apa timbangan syar’iy menurut kamu ? Bukankah pemberian
kepercayaan itu adalah penampakkan dukungan terhadap pemerintah dan
persetujuan terhadapnya, bukankah ia sama seperti pembai’atan kepadanya,
ridha dengannya, menerima kekuasannya dan kepemimpinannya, serta
berserah pada hukum-hukum thaghutnya ?, terus si penulis malah
mengatakan tentangnya: “Memberikan kepercayaan atau mosi tidak
percaya terhadap pemerintah adalah keluar dari hukum syar’iy dan bukan
keluar dari Islam” ???, sungguh dangat mengherankan…!
Apakah termasuk pengkajian yang akurat ucapan ini
dilontarkan, terus kamu menipu dan menyibukan pembaca dengan penjelasan
tentang (mosi tidak percaya) karena ia ringan menurut kamu, dan kamu
berpaling dari (pemberian kepercayaan) yang kamu jadikan sama dengan
mosi tidak percaya ?
Terus dia berbicara tentang tugas ketiga si wakil
rakyat, yaitu PENGAWASAN pemerintah dimana dia berbicara tentang
kekurangan di dalam pelaksanaan tugas ini, umpamanya memerintahkan hal
yang ma’ruf dan meninggalkan hal yang ma’ruf lainnya, atau melarang dari
yang munkar dan meninggalkan lainnya, dan dia namakan hal seperti itu
sebagai maksiat dan bukan kekafiran, seperti hal yang lalu, sehingga si
wakil rakyat itu menurut dia masih berada dalam lingkaran Islam.
Pembicaraan dia yang panjang lebar perihal penetapan
dosa bagi si wakil rakyat, mengingkari sesuatu dan membiarkan sesuatu
yang lain adalah memberikan anggapan bahwa pokok tugasnya dalam bidang
ini adalah diisyaratkan, padahal telah nampak di hadapanmu dalam uraian
yang lalu bahwa muhasabah (pengawasan) yang dibandingkan oleh
mereka itu ─karena kedunguan─ dengan hisbah (amar ma’ruf dan nahi
munkar) di dalam Islam adalah tidak bisa dijadikan juga tugas-tugas yang
lainnya oleh si wakil rakyat tersebut kecuali lewat ketentuan Undang
Undang Dasar dan langkah-langkah yang telah digariskan oleh
undang-undang. Sungguh engkau telah mengetahui sebagaimana telah lalu
dalam pasal (24) ayat (2), bahwa [Rakyat menjalankan kekuasaannya sesuai
ketentuan yang telah dijelaskan oleh Undang Undang Dasar].
Kekuasaan Legislatif dan para anggotanya melakukan
pengawasan sesuai dengan Undang Undang Dasar dan undang-undang , dimana
si wakil rakyat itu menjelaskan bahwa pemerintah atau pihak terkait
tertentu telah menyalahi undang-undang pidana umpamanya atau pasal
sekian dari Undang Undang Dasar Yordania…
Pengawasannya ini tidak terjadi kecuali dengan cara
ini, dan tidak seperti apa yang diakal-akali oleh mereka itu, dimana
mereka menjadikannya seperti hisbah di dalam Islam, terus mereka
mengklaim paling pengalaman terhadap waqi’ dan politik, dan
mereka menuduh orang lain tidak ahli dalam hal ini…
Sudah maklum bahwa si wakil rakyat seandainya
melakukan pengawasan dengan ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits Nabi
tentulah hal itu tidak diterima darinya selamanya, serta pengawasannya
dengan ayat-ayat dan hadits-hadits itu tidak akan merubah sedikitpun
dari realita kekafiran mereka, dan lagi pula itu tidak akan diterima
darinya kecuali bila dia memberikan kepada ayat-ayat dan hadits-hadits
itu celupan hukum dari Undang Undang Dasar dan undang-undang, umpamanya
dia menyebutkan pasal Undang Undang Dasar yang menegaskan bahwa (agama
negara adalah Islam) atau bahwa (syari’at Islam adalah salah satu sumber
hukum) sebagaimana ia dalam banyak negara, terus dia menyebutkan
nash-nash syari’at (berupa ayat dan hadits) itu di dalam cara ini
dikendalikan oleh pasal-pasal dari undang-undang thaghut mereka, maka
tetap saja pengawasan dengan cara yang busuk ini tidak akan diterima,
akan tetapi ia harus melewati jalur-jalurnya yang sudah diatur
undang-undang, juga jalan-jalannya, panitia-panitianya, pengambilan
suara, diskusi, tarik ulur dan pelembekan, yang semuanya termasuk
menjadikan ajaran Allah sebagai mainan dan perolok-olokan. Maka enyahlah
bagi orang yang menempuh jalan yang bengkok dan cara yang kafir seperti
ini, atau orang yang menambali cara ini dan mendatangkan
syubhat-syubhat yang bathil dalam rangka melegalkannya.
Si penulis berkata di akhir tulisannya: “Ibadah
kepada thaghut adalah mensucikannya, sedang thaghut adalah apa yang
diibadati selain Allah. Adapun pelaksanaan pemerintah dan komitmen
dengannya adalah sama sekali bukan termasuk ibadah, karena ibadah itu
tunduk, taat dan loyalitas atas dasar kerelaan”. Selesai.
Ucapannya: “Ibadah kepada thaghut adalah
mensucikannya”. Ia adalah definisi yang tidak mencakup, karena di
antara ibadah kepada thaghut adalah mentaatinya di dalam hukum buatannya
dan berhakim kepadanya walaupun tidak mensucikannya. Allah ta’ala
berfirman :
öNs9r& ts? n<Î) úïÏ%©!$# tbqßJãã÷t öNßg¯Rr& (#qãYtB#uä
!$yJÎ/ tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö6s% tbrßÌã br&
(#þqßJx.$yÛtFt n<Î) ÏNqäó»©Ü9$# ôs%ur (#ÿrâÉDé& br& (#rãàÿõ3t
¾ÏmÎ/ ßÌãur ß`»sÜø¤±9$# br& öNßg¯=ÅÒã Kx»n=|Ê #YÏèt/ ÇÏÉÈ
“Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah
diperintahkan untuk kafir kepadanya” (An Nisa : 60)
dan firman-Nya ta’ala :
(#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß
«!$# y
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan selain Allah” (At taubah : 31) hingga akhir
ayat.
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
telah menafsirkan hal itu dalam hadits ‘Adiy ibnu Hatim yang shahih dari
gabungan seluruh riwayat-riwayatnya, bahwa ia adalah mentaati mereka
dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan bukan
mensucikan mereka sebagaimana yang di klaim oleh si penulis.
Ibadah kepada thaghut adalah lebih luas daripada
mensucikan, dan orang yang mendefinisikannya atau membatasinya dengan
pensucian adalah dituntut untuk mendatangkan dalil, justeru pemalingan
suatu ibadah kepada thaghut adalah peribadatan kepadanya, lagi pula
pendefinisian (ibadah kepada thaghut dengan pensucian) adalah definisi
yang yang tidak menutup, karena ini berarti bolehnya mengabdi thaghut
dengan selain pensucian.
Padahal sudah maklum bahwa di antara ibadah itu ada
suatu yang berbentuk kecintaan kepada dunia atau pengedepanan berbagai
kepentingan, dan berat dengan materi atau khawatir terhadap harta benda,
sebagaimana yang Allah ta’ala tuturkan tentang Fir'aun perihal Banu
Israin :
(#þqä9$s)sù ß`ÏB÷sçRr& Èûøïu|³t6Ï9 $uZÎ=÷WÏB $yJßgãBöqs%ur $uZs9
tbrßÎ7»tã ÇÍÐÈ
“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua
orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil)
adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?”. (Al
Mukminuun : 47)
padahal Banu Israil itu tidak mensucikan Fir'aun, dan sebagaimana
firman-Nya :
* óOs9r& ôygôãr& öNä3ös9Î) ûÓÍ_t6»t tPy#uä cr& w
(#rßç7÷ès? z`»sÜø¤±9$# ( ¼çm¯RÎ) ö/ä3s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇÏÉÈ
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya
kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi kamu” (Yasin : 60)
sedangkan mayoritas orang yang menyembah syaitan adalah tidak
mensucikannya[5], dan peribadatan kepadanya adalah mengikutinya dan
tunduk kepada kebathilannya, dan di antara hal itu ada yang merupakan
kekafiran dan ada yang merupakan maksiat tergantung apa yang diikutinya.
Barangsiapa yang mengikuti dan mentaati syaitan dalam menghina Allah
atau ajaran-Nya maka dia telah mengibadatinya dan mentaatinya dengan
peribadatan dan ketaatan yang mengkafirkan tanpa pensucian. Barangsiapa
mentaatinya dalam maksiat, maka dia telah mengibadatinya dengan
peribadatan yang tidak mengkafirkan. Syaitan itu adalah thaghut… bahkan
dialah thaghut terbesar, dan jarang yang mensucikannya padahal sangat
banyak para penyembahnya.
Adapun ucapannya: “Sedang thaghut adalah yang
diibati selain Allah”, maka ini juga definisi yang tidak menutup
dan tidak akurat, karena ia adalah luas mencakup segala yang diibadahi
selain Allah, seperti para Malaikat, para nabi seperti Isa ibnu Maryam
serta para wali yang shalih yang tidak ridha dengan peribadatan kaum
mereka terhadap mereka, sehingga konsekuensi definisi ini adalah bahwa
Isa ibnu Maryam itu thaghut… dan mana mungkin kita menamakan ini, akan
tetapi si penulis ini menjerumuskan dirinya sendiri dan kajiannya yang
‘akurat lagi cemerlang’ berikut definisi-definisi yang ‘akurat’ itu
telah menjebak dirinya sendiri… semoga Allah memberinya hidayah kepada
kebenaran yang nyata.
Jadi definisi ini harus dibatasi dengan suatu batasan,
dimana semestinya dikatakan “Thaghut adalah suatu yang
diibadati selain Allah dengan macam ibadah apa saja sedang dia ridha
dengan peribadatan itu”. Ini berkaitan dengan makhluk, sehingga
keluar dengan sebab ucapan kita (sedang dia ridha dengan peribadatan
itu) makhluk yang diibadati namun dia tidak ridha dengan peribadatan itu
seperti Malaikat, para nabi dan orang-orang shalih. Dan masuk dengan
ucapan kita (dengan macam ibadah apa saja) ini shalat, sembelihan, do’a,
begitu juga penyandaran pembuatan hukum, putusan hukum, penghalalan dan
pengharaman.
Ucapannya: “Adapun pelaksanaan perintah dan
komitmen dengannya adalah sama sekali bukan termasuk ibadah”.
Selesai.
Maka saya katakan : Ini adalah ucapan yang ngawur dan
tidak akurat karena ia tidak dibatasi, padahal sudah maklum bahwa di
antara perintah itu ada yang merupakan kekafiran dan kemusyrikan, dan di
antaranya ada yang dibawah itu, jadi mesti ada rincian, pemilahan dan
pembatasan…
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengabarkan
tentang sebagian orang yang sebelumnya muslim, bahwa mereka itu murtad
dengan sebab mereka menjanjikan kepada orang-orang kafir bahwa mereka
akan mentaati mereka dalam sebagian perintah !!. Allah ta’ala berfirman :
¨bÎ) úïÏ%©!$# (#rs?ö$# #n?tã OÏdÌ»t/÷r& .`ÏiB Ï÷èt/ $tB tû¨üt7s?
ÞOßgs9 yßgø9$# ß`»sÜø¤±9$# tA§qy öNßgs9 4n?øBr&ur óOßgs9 ÇËÎÈ
Ï9ºs óOßg¯Rr'Î/ (#qä9$s% úïÏ%©#Ï9 (#qèdÌx. $tB ^¨tR ª!$# öNà6ãèÏÜãZy Îû
ÇÙ÷èt/ ÌøBF{$#
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada
kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah
menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan
mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada
orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan
mematuhi kamu dalam beberapa urusan”. (Muhammad : 25-26)
Mereka itu menjanjikan kepada orang-orang kafir
bahwa mereka akan mentaati mereka dalam sebagian urusan mereka, maka
bagaimana dengan orang-orang yang benar-benar mentaati orang-orang kafir
dan orang-orang musyrik dalam sebagian undang-undang mereka dan urusan
kafir mereka…?? Dan bagaimana dengan orang yang mentaati mereka dalam
segala perintah dan undang-undang mereka…??
Adapun ucapannya yang terakhir: “Karena ibadah itu
tunduk, taat dan loyalitas atas dasar keridhaan dan kerelaan”.
Maka saya katakan : Dengan ucapan ini dia menggugurkan
ucapannya yang lalu (ibadah kepada thaghut adalah mensucikannya)
sebagaimana ia juga menggugurkan ucapannya setelah itu (Adapun
pelaksanann perintah dan komitmen dengannya adalah sama sekali bukan
termasuk ibadah) karena di sini dia menetapkan bahwa tunduk dan
taat adalah ibadah. Apa yang dia maksud dengan pelaksanaan perintah dan
komitmen dengannya secara mutlak tanpa merinci antara macam perintah
dengan perintah macam lain selain ketundukan dan ketaatan ?
Ini catatan paling penting terhadap tulisan tersebut,
saya memohon kepada Allah agar Dia memberi petunjuk kepada saya dan
kepada si penulis kepada jalan yang lurus, dan semoga dia menjadikan
bantahan saya ini sebagai pembelaan bagi al haq dan dien lagi tulus
untuk Wajah-Nya Yang Mulia.
Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail dan Israfil. Dzat Yang
Mengetahui hal yang ghaib dan yang nampak, Pencipta langit dan bumi.
Engkau memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam apa yang mereka
perselisihkan. Tunjukilah kami kepada al haq dalam apa yang
diperselisihkan, sesungguhnya Engkau memberi hidayah orang yang Engkau
kehendaki kepada jalan yang lurus…
Ditulis oleh : Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Penjara Sawaqah, 24 Dzul Hijjah 1416 H
Ya, kami akan mati… namun kami akan mencabut dari negeri kami semua
kekafiran.
Ya, kami akan mati… namun kami akan hadiahkan kepada anak kami
kesyahidan !
Selesai diterjemahkan : Malam Sabtu, 29 Jumada Ats Tsaniyah 1428 H
Penjara Sukamiskin Bandung
[1] Dia katakan ini setelah dia mengetahui bahwa saya telah menulis
bantahan terhadap lontaran tulisan itu. Adapun sebelum itu sungguh dia
telah berkata kepada kepada al akh yang saya utus itu: “Bahwa
definisi Al Iman yang dituturkan Abu ‘Abdil adalah definisi yang dianut
HT, akan tetapi ia memiliki pemahaman khusus seputar penerapan ‘amaliy
terhadapnya, dan bahwa mereka tidak keberatan bila anggota-anggota HT
memiliki ijtihad-ijtihad khusus bagi mereka, akan tetapi ini tidak
berati bahwa HT menganutnya”. Selesai.
[2] Dari ungkapan Abdurrahman ibnu Hajar Al Hasaniy Al Jazairiy rahimahullah
dalam bantahannya terhadap orang-orang yang menambali kekafiran
pengusung undang-undang.
[3] Undang Undang Dasar Yordania hanya sebagai contoh, karena syaikh
berada di sana, dan Undang Undang Dasar semua negara inti-intinya adalah
sama, termasuk Undang Undang Dasar Negara Indonesia ini.Pent.
[4] Orang yang tidak mengetahui bahwa Undang Undang Dasar itu adalah
kekafiran yang nyata, semestinya dia menangisi dirinya dan bersegera dia
mengkaji dan mempelajarinya. Dia bisa merujuk risalah kami yang ringkas
seputar contoh-contoh kekafiran Undang Undang Dasar, kami telah
menulisnya di penjara ini dengan judul Kasyfuz Zuur Fii Ifki Nushush
Ad Dustur dan ia adalah Mukhtashar Kasyfi An Niqab ‘An
Syari’atil Ghaab.
[5] Saya katakan (mayoritas), karena ada orang yang menyembahnya
dengan peribadatan pensucian, mereka itu adalah kelompok Yazidiyyah di
Irak dan Suriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar