Kebathilan Dan Keburukan Syirik
(1) Mitsaq Dan Fithrah Adalah Hujjah dalam Kebatilan Syirik
(2) Keburukan Syirik Menurut Akal
(3) Berhujjah Dengan Rububiyyah Terhadap Kebatilan Syirik Dalam Uluhiyyah
(4) Kebersamaan Selalu Antara Syirik dengan Kebodohan
———————————————–
(1) Mitsaq Dan Fithrah Adalah Hujjah dalam Kebatilan Syirik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ أَفَمَن كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ
مِّن رَّبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِّنْهُ وَمِن قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى
إَمَامًا وَرَحْمَةً أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ
مِنَ الأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ فَلاَ تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِّنْهُ
إِنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ
يُؤْمِنُونَ ﴾
“Apakah (orang-orang kafir itu sama
dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al Quran) dari
Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan
sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan
rahmat?. mereka itu beriman kepada Al Quran. Dan barangsiapa di antara
mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al
Quran, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu
janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Quran itu. Sesungguhnya (Al Quran)
itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (Huud: 17)
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: (Allah ta’ala mengabarkan tentang keadaan kaum mukminin yang
mana mereka itu berada di atas fithrah Allah ta’ala yang telah
memfithrahkan hamba-hamba-Nya di atasnya, berupa pengakuan kepada-Nya
bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Dia, sebagaimana
firman-Nya ta’ala:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ
حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ
لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar Ruum: 30)
Di dalam Ash Shahihain dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
( كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصرانه أويمجسانه كما تولد البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء )
“Setiap yang terlahir itu dilahirkan
di atas fithrah, kemudian kedua orang tuanya menjadikannya yahudi,
nashrani atau majusi, sebagaimana hewan dilahirkan sebagai hewan yang
mulus, apakah kalian mendapatkan suatu cacat padanya.”[1] [2]
Dan berkata pada firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن
بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ ﴾
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al A’raf: 172)
(Yaitu: Dia menciptakan mereka dala
keadaan mereka bersaksi terhadap hal itu lagi mengatakan kepadanya baik
secara keadaan maupun ucapan. Sedangkan kesaksian itu bisa berbentuk
ucapan seperti firman-Nya:
﴿ يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ
وَالإِنسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ
آيَاتِي وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَاء يَوْمِكُمْ هَـذَا قَالُواْ شَهِدْنَا
عَلَى أَنفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُواْ عَلَى
أَنفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُواْ كَافِرِينَ ﴾
“Hai golongan jin dan manusia, apakah
belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang
menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu
terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata: “Kami menjadi
saksi atas diri kami sendiri”, kehidupan dunia telah menipu mereka, dan
mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah
orang-orang yang kafir.” (Al An’am: 130)
Dan kadang berbentuk keadaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَن
يَعْمُرُواْ مَسَاجِدَ الله شَاهِدِينَ عَلَى أَنفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ
أُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ﴾
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik
itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka
sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka
kekal di dalam neraka.” (At Taubah: 17)
Yaitu keadaan mereka manjadi saksi atas
mereka prihal hal itu, bukan bahwa mereka mengatakan hal itu. Dan
sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ ﴾
“Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya.” (Al ‘Adiyat: 7)
Sebagaimana bahwa pertanyaan itu kadang dengan ucapan dan kadang dengan keadaan, sebagaimana di dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ ﴾
“Dan Dia telah memberikan kepadamu
(keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.
Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat
Allah).” (Ibrahim: 34)
Mereka berkata: Dan di antara yang
menunjukan bahwa itulah yang dimaksud dengan hal ini, adalah bahwa
penjadian pengambilan kesaksian itu sebagai hujjah atas diri mereka di
dalam penyukutuan (Allah) seandainya hal itu telah terjadi -sebagaimana
yang dikatakan oleh orang yang mengatakannya-, tentulah setiap orang
mengingatnya agar menjadi hujjah terhadapnya. Bila ada yang mengatakan
bahwa pemberitahuan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah cukup prihal keberadaannya?
Maka jawabanya: Bahwa orang-orang yang mendustakan dari kalangan kaum musyrikin, mereka itu mendustakan semua yang dibawa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
baik ini maupun yang lainnya. Sedangkan hal ini adalah dijadikan
sebagai hujjah yang berdiri sendiri terhadap diri mereka, maka ini
menunjukan bahwa ia itu adalah fithrah yang mana manusia difithrahkan di
atasnya berupa pengakuan terhadap tauhid, oleh sebab itu Dia berfirman (
أَن تَقُولُواْ )yaitu: “agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan” ( إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ ) “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” yaitu terhadap ketauhidan, “atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu,”[3]
Al Baghawi rahimahullah
berkata: ( أَوْ تَقُولُواْ إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِن قَبْلُ
وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِّن بَعْدِهِمْ ) Dia berkata: Sebab Aku mengambil
mitsaq itu atas diri kalian adalah supaya kalian wahai orang-orang
musyrik tidak berkata: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu dan mereka telah melanggar perjanjian
sedangkan kami adalah keturunan setelah mereka,” yaitu bahwa kami
ini dahulu adalah para pengikut mereka, sehingga kami mencontoh sepak
terjang mereka, terus kalian menjadikan hal ini sebagai udzur bagi diri
kalian dan kalian mengatakan ( أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ
الْمُبْطِلُونَ ) “Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”
yaitu apakah Engkau mengadzab kami dengan sebab dosa orang-orang tua
kami yang sesat dahulu. Maka mereka tidak bisa berhujjah lagi dengan
ucapan semacam ini setelah pengingatan Allah ta’ala prihal pengambilan
mitsaq terhadap tauhid ini. ( وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ ) yaitu Kami
menjelaskan ayat-ayat itu supaya manusia semuanya mentadabburinya (
وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ) dan supaya mereka kembali dari kekafiran
kepada tauhid.[4]
Asy Syaukaniy berkata: (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini.” Yaitu dari keberadaan bahwa Rab kami itu adalah Esa lagi
tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan firman-Nya ( أَوْ تَقُولُواْ
إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِن قَبْلُ ) adalah di’athafkan kepada (
تَقُولُواْ ) yang pertama, yaitu Kami lakukan hal itu karena untuk
menghindari kalian beralasan dengan kelengahan atau kalian menyandarkan
syirik kepada orang-orang tua kalian tidak kepada diri kalian. Dan “أو”
(atau) adalah untuk mencegah kekosongan hukum bila tidak digabungkan, di
mana bisa saja mereka beralasan dengan gabungan kedua alasan itu, مِن
قَبْلُ yaitu sebelum zaman kami, “sedangkan kami adalah keturunan setelah mereka,” tidak mendapatkan petunjuk kepada al haq dan tidak mengetahui kebenaran, “Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”
dari kalangan orang-orang tua kami sedangkan tidak ada dosa bagi kami
karena kejahilan kami dan kelemahan kami dari mengamati serta karena
sikap kami mengikuti jejak para pendahulu kami.
Allah ta’ala telah menjelaskan di dalam
ayat ini hikmah yang karenanya Dia mengeluarkan mereka dari punggung
Adam dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka sendiri, bahwa
Dia melakukan hal itu terhadap mereka supaya di hari kiamat mereka
tidak mengatakan ucapan ini dan tidak beralasan dengan alasan yang batil
ini serta tidak berudzur dengan udzur yang gugur ini. “وكذلك” Yaitu:
Penjelasan semacam itu ( نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ) “Kami menjelaskan ayat-ayat itu supaya mereka kembali” kepada al haq dan meninggalkan kebatilan yang selama ini mereka anut.”[5]
(2) Keburukan Syirik Menurut Akal
Al Qur’an sangat sarat dengan ajakan
untuk bertadabbur, mengamati dan mempergunakan akal untuk mencapai
kepada hakikat kebenaran terutama hakikat tauhid dan urgensinya serta
(hakikat) syirik dan kebatilannya. Allah telah memberikan
perumpamaan-perumpamaan terhadap hal itu bagi manusia dengan tujuan
supaya mereka memahami. Seandainya keburukan syirik dan kebaikan tauhid
itu tidak bisa diketahui oleh akal, tentulah perumpamaan-perumpamaan itu
tidak memiliki makna.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: (Begitu juga pengingkaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala
terhadap keburukan penyekutuan-Nya di dalam ilahiyyah-Nya dan
peribadatan yang lain bersama-Nya dengan permisalan-permisalan yang Dia
berikan, dan Dia menegakkan dalil-dalil ‘aqli terhadap kebatilannya.
Seandainya syirik itu menjadi buruk hanya dengan syari’at, tentulah
dalil-dalil ‘aqli dan permisalan-permisalan tersebut tidak memiliki
makna. Dan menurut orang-orang yang mengatakan bahwa akal itu tidak bisa
mengetahui hal baik dan hal buruk, bahwa menurut akal boleh saja Allah
memerintahkan penyekutuan dan peribadatan kepada selain-Nya, dan bahwa
syirik itu hanya diketahui keburukannya dengan sebab adanya larangan
Allah darinya, oh sungguh sangat mengherankan! Faidah apa yang tersisa
di dalam permisalan-permisalan, hujjah-hujjah dan bukti-bukti nyata yang
menunjukan terhadap keburukannya dalam pandangan akal yang sehat dan
fithrah?dan bahwa syirik itu adalah keburukan yang paling buruk dan
kedzaliman yang paling dzalim. Dan hal apa yang bisa dianggap sah pada
akal bila ia tidak mengetahui keburukan syirik sedangkan pengetahuan
prihal keburukannya itu adalah hal yang jelas lagi diketahui secara
pasti oleh akal, dan bahwa para rasul itu telah mengingatkan
umat-umatnya terhadap apa yang ada di dalam akal dan fithrah mereka
prihal keburukan syirik itu.
Al Qur’an adalah penuh dengan hal ini
-yaitu dalil-dalil ‘aqli terhadap kebatilan dan keburukan syirik- bagi
orang yang mentadabburinya, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ ضَرَبَ لَكُم مَّثَلًا مِنْ
أَنفُسِكُمْ هَل لَّكُم مِّن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن شُرَكَاء فِي
مَا رَزَقْنَاكُمْ فَأَنتُمْ فِيهِ سَوَاء تَخَافُونَهُمْ كَخِيفَتِكُمْ
أَنفُسَكُمْ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ ﴾
“Dia membuat perumpamaan untuk kalian
dari diri kalian sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang kalian
miliki, sekutu bagi kalian dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami
berikan kepada kalian; sehingga kalian sama dengan mereka dalam (hak
mempergunakan) rezeki itu, kalian takut kepada mereka sebagaimana kalian
takut kepada diri kalian sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat
bagi kaum yang berakal.” (Ar Ruum: 28).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menghujjahi mereka dengan apa yang ada di dalam akal mereka prihal
buruknya hamba sahaya seseorang menjadi sekutu baginya. Bila saja orang
menganggap buruk dan tidak rela hamba sahayanya itu menjadi sekutunya,
maka bagaimana kalian menjadikan bagi-Ku dari hamba-hamba-Ku
sekutu-sekutu yang kalian ibadati seperti peribadatan kalian kepada-Ku?
Ini menunjukan bahwa keburukan peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala
itu adalah terpancang di dalam akal dan fithrah, sedangkan dalil naqli
mengingatkan akal dan mengarahkannya untuk mengetahui apa yang telah
tersimpan di dalamnya berupa keburukan syirik itu.
Begitu juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا
رَّجُلًا فِيهِ شُرَكَاء مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ
يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ ﴾
“Allah membuat perumpamaan (yaitu)
seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang
berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik
penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya?
segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Az Zumar: 29).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berhujjah terhadap keburukan syirik dengan apa yang diketahui akal,
berupa perbedaan antara seorang hamba sahaya yang dimiliki banyak
pemilik yang saling bertengkar lagi buruk prilaku dengan seorang hamba
sahaya yang dimiliki seorang tuan saja yang mana dia telah menyerahkan
dirinya sepenuhnya kepadanya. Maka apakah sah menurut akal bila keadaan
dua hamba sahaya ini sama? Maka begitu juga keadaan orang musyrik dan
muwahhid yang telah menyerahkan ‘ubudiyyahnya kepada Ilah-nya yang haq,
tentu keduanya tidak sama).[6]
(3) Berhujjah Dengan Rububiyyah Terhadap Kebatilan Syirik Dalam Uluhiyyah
Ini adalah ucapan yang sangat indah milik Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Walad Muhammad Al Mukhtar Al Jakniy (Asy Syinqithiy, pent) rahimahullah saat beliau menafsirkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ
يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ
يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا ﴾
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira
kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka
ada pahala yang besar.” (Al Isra: 9)
Beliau berkata: (Di
dalam Al Qur’anul ‘Adhim banyak sekali pengutaraan dalil terhadap
orang-orang kafir dengan pengakuan mereka kepada Rububiyyah-Nya jalla wa
‘alaa terhadap kewajiban mentauhidkan-Nya di dalam ibadah-Nya. Oleh
sebab itu Dia mengkhithabi mereka di dalam tauhid rububiyyah dengan istifham taqriri
(pertanyaan yang bersifat pengukuhan/pengakuan), kemudian bila mereka
sudah mengakui rububiyyah-Nya, maka Dia menghujjahi mereka dengannya
terhadap keberadaan bahwa Dia sajalah Yang Berhak untuk diibadati, dan
Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas penyekutuan-Nya
dengan yang lain padahal mereka itu mengakui bahwa bahwa Dia-lah
satu-satunya Rabb, karena barangsiapa yang telah mengakui bahwa Dia
adalah satu-satunya Rabb, maka sudah suatu kemestian dia itu mengakui
bahwa hanya Dia-lah yang berhak untuk diibadati.
Di antara contoh hal itu adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ
السَّمَاء وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن
يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ
وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ ﴾
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi
rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan
menjawab: “Allah”….” (Yunus: 31)
Kemudian tatkala mereka telah mengakui
rububiyyah-Nya, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas
kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ ﴾
Maka Katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (Yunus: 31)
Dan di antaranya juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ قُل لِّمَنِ الْأَرْضُ وَمَن فِيهَا إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” (Al Mu’minun: 84)
﴿ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ﴾
“Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” (Al Mu’minun: 85)
Kemudian tatkala mereka telah mengakui
rububiyyah-Nya, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas
kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ﴾
Katakanlah: “Maka Apakah kamu tidak ingat?” (Al Mu’minun: 85)
Kemudian berfirman:
﴿ قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ﴾
“Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?” (Al Mu’minun: 86)
Kemudian tatkala mereka telah mengakui
rububiyyah-Nya, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas
kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ ﴾
“Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” (Al Mu’minun: 87)
Kemudian berfirman:
﴿ قُلْ مَن بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾
“Katakanlah: “Siapakah yang di
Tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi,
tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu
mengetahui?” (Al Mu’minun: 88)
Kemudian tatkala mereka telah mengakui
rububiyyah-Nya, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas
kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ ﴾
“Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (Mu’minun: 89)
Dan di antaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ﴾
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan
kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan
matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah” (Al ‘Ankabut: 61)
Kemudian tatkala telah sah pengakuan
mereka itu, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas
kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ ﴾
“Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (Al ‘Ankabut: 61)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ﴾
“Dan sesungguhnya jika kamu
menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu
menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan
menjawab: “Allah”(Al ‘Ankabut: 63)
Kemudian tatkala telah sah pengakuan
mereka itu, maka Dia mencerca mereka seraya mengingkari mereka atas
kemusyrikannnya, dengan firman-Nya:
﴿ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ ﴾
“Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (Al ‘Ankabut: 63)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا
يُشْرِكُونَ * أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنزَلَ لَكُم
مِّنَ السَّمَاء مَاء فَأَنبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَّا
كَانَ لَكُمْ أَن تُنبِتُوا شَجَرَهَا ﴾
“Apakah Allah yang lebih baik,
ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” atau siapakah yang
telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari
langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang
berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan
pohon-pohonnya?” ).” (An Naml: 59-60)
Tidak diragukan lagi bahwa jawaban yang
tidak ada lagi jawaban lain adalah bahwa Dzat Yang Maha Kuasa terhadap
penciptaan langit dan bumi serta apa yang disebutkan bersama keduanya
adalah lebih baik dari benda mati yang tidak kuasa terhadap sesuatupun.
Kemudian tatkala telah pasti pengakuan mereka itu, maka Dia mencerca
mereka seraya mengingkari mereka atas kemusyrikannnya, dengan
firman-Nya:
﴿ أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ ﴾
Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).” (An Naml: 60).
Ayat-ayat semacam ini sangat banyak, oleh
karena itu kami telah menuturkan di tempat lain bahwa setiap pertanyaan
yang berkaitan dengan tauhid rububiyyah adalah istifham taqriri
(pertanyaan yang bersifat pengukuhan) yang dimaksudkan darinya bahwa
mereka itu bila telah mengakui, maka disematkan bagi mereka cercaan dan
pengingkaran di atas pengakuan itu, karena orang yang mengakui
rububiyyah itu secara pasti harus mengakui uluhiyyah).[7]
Ibnul Qayyim berkata rahimahullah: (Ilahiyyah yang mana para rasul telah mengajak umat-umatnya untuk mentauhidkan Rabb (Allah) dengannya adalah ibadah dan ta-alluh (penghambaan diri), dan di antara lawazim
(kemestian-kemestian)nya adalah: tauhid rububiyyah yang telah diakui
oleh keum musyrikin, kemudian Allah menghujjahi mereka dengannya, karena
bila sudah mengakui tauhid rububiyyah maka sudah pasti harus mengakui
tauhid ilahiyyah).[8]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: (Tempat ini adalah prihal penetapan rububiyyah dan tauhid uluhiyyah, di mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ ﴾
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur: 35)
Yaitu: Apakah mereka itu ada tanpa ada
yang mengadakan? Ataukah mereka mengadakan diri mereka sendiri? Yaitu
tidak ini dan tidak yang ini juga, namun Allah-lah yang telah
menciptakan mereka setelah sebelumnya mereka itu tidak ada).[9]
Assa’diy rahimahullah
berkata di dalam tafsirnya: (Ini adalah penghujjahan terhadap mereka
dengan sesuatu yang tidak memungkinkan mereka kecuali menerima penuh
kebenaran atau keluar dari tuntutan akal dan dien. Penjelasannya adalah
bahwa mereka itu mengingkari tauhidullah lagi mendustakan
rasul-rasul-Nya, dan sikap ini memestikan mereka untuk mengingkari bahwa
Allah itu telah menciptakan mereka, sedangkan telah baku di dalam akal
bersama syari’at bahwa hal itu tidak lepas dari tiga hal: Yaitu bahwa
mereka itu ada tanpa ada yang menciptakan mereka, namun mereka itu ada
tanpa penciptaan dan tanpa yang menciptakan, sedangkan ini adalah hal
mustahil, atau merekalah yang menciptakan diri mereka sendiri? Sedangkan
ini juga adalah mustahil, karena tidak terbayang seseorang itu
menciptakan dirinya sendiri. Bila dua hal ini telah gugur dan nampak
kemustahilannya, maka pastilah hal yang ketiga, yaitu bahwa Allah-lah
yang telah menciptakan mereka, kemudian bila hal ini sudah pasti, maka
diketahuilah bahwa hanya Allah-lah yang (berhak) diibadati yang tidak
layak dan tidak pantas suatu ibadahpun kecuali bagi-Nya Subhanahu Wa Ta’ala).[10]
Perhatian:
Akal itu mengajak kepada tauhid dan
menganggapnya bagus dan ia menganggap buruk syirik, akan tetapi akal itu
bukan hujjah tersendiri terhadap pengadzaban orang yang mati di atas
selain tauhid, dan demikian pula fithrah dan mitsaq, di mana taklif
tidak ditetapkan dengannya, di mana hujjah yang mana orang yang
meninggalkannya itu diadzab adalah apa yang dibawa oleh para rasul.
Ahli fatrah:
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang ahli fatrah dan orang-orang yang statusnya sama dengan mereka dari kalangan yang belum tegak hujjah risaliyyah terhadapnya:
( هؤلاء لا يحكم لهم بكفر ولا
إيمان فإن الكفر هو جحود ما جاء به الرسول، فشرط تحققه بلوغ الرسالة،
والإيمان هو تصديق الرسول فيما أخبر، وطاعته فيما أمر، وهذا أيضا مشروط
ببلوغ الرسالة، ولايلزم من انتفاء أحدهما وجود الآخر إلا بعد قيام سببه،
فلما لم يكن هؤلاء في الدنيا كفارا ولا مؤمنين كان لهم في الآخرة حكم آخر
غير حكم الفريقين.
فإن قيل فأنتم تحكمون لهم بأحكام
الكفار في الدنيا من التوارث والولاية والمناكحة قيل إنما نحكم لهم بذلك
في أحكام الدنيا لا في الثواب والعقاب كما تقدم بيانه.
الوجه الثاني: سلمنا أنهم كفار لكن انتفاء العذاب عنهم لانتفاء شرطه وهو قيام الحجة عليهم فإن الله لا يعذب إلا من قامت عليه حجته)
(Mereka itu tidak dihukumi kafir dan
tidak dihukimi mu’min, karena sesungguhnya kekafiran itu adalah
pengingkaran terhadap apa yang dibawa oleh Rasul, di mana syarat
keterbuktiannya adalah sampainya risalah (hujjah), sedangkan iman itu
adalah pembenaran kepada Rasul dalam apa yang dikabarkannya dan ketaatan
kepadanya dalam apa yang diperintahkannya, dan ini juga disyaratkan
sampainya risalah. Dan tidaklah mesti dari lenyapnya salah satu dari
keduanya (kufur dan iman) adanya yang satu lagi kecuali setelah tegak
sebabnya. Dan tatkala mereka itu di hukum dunia bukan kafir dan bukan
mu’min, maka tentu di akhirat juga mereka memiliki hukum lain di luar
hukum dua kelompok itu.
Bila ada yang mengatakan: “Kalian di
dunia menghukumi mereka dengan hukum orang-orang kafir, seperti dalam
hal hukum saling mewarisi, perwalian dan pernikahan,” maka dikatakan:
Kami menghukumi mereka dengan hukum itu hanya di dalam hukum-hukum
dunia, bukan dalam hal pahala dan siksa sebagaimana yang telah lalu
penjelasannya.
Sisi kedua: Kami terima bahwa mereka itu
adalah kafir, akan tetapi tidak adanya adzab atas mereka adalah karena
tidak tidak terpenuhinya syarat adzab itu, yaitu tegaknya hujjah atas
mereka, karena sesungguhnya Allah tidak mengadazb kecuali orang yang
telah tegak hujjah-Nya atas dirinya).[11]
(4) Kebersamaan Selalu Antara Syirik dengan Kebodohan
Asy Syaukani rahimahullah berkata di dalam tafsir firman Allah ta’ala:
﴿ وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ
الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ
ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَعْلَمُونَ ﴾
“Dan jika seorang diantara
orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia sehingga ia mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah
ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka itu
adalah kaum yang tidak mengetahui.” (At Taubah: 6)
(Jika meminta perlindungan kepadamu
seorang diantara orang-orang musyrikin yang mana kamu sudah
diperintahkan untuk memerangi mereka, maka “lindungilah ia” yaitu hendaklah kamu menjadi pelindung dan penjamin baginya “sehingga ia mendengar firman Allah” darimu dan mentadabburinya dengan benar serta mengkaji hakikat apa yang kamu dakwahkan “kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya”
yaitu ke negeri yang mana dia aman di dalamnya setelah dia mendengar
firman Allah bila dia tidak masuk islam. Kemudian setelah kamu
mengantarkan dia ke tempat yang aman baginya, maka perangilah dia karena
dia sudah keluar dari jaminanmu dan kembali kepada keadaan dia semula
yaitu kehalalan darahnya dan kewajiban membunuhnya di mana dia
didapatkan. Sedangkan isyarat dengan firman-Nya “Demikian itu” adalah kepada yang telah lalu berupa pemberian perlindungan dan apa yang sesudahnya “disebabkan mereka itu adalah kaum yang tidak mengetahui”
yaitu dengan sebab mereka itu tidak memiliki ilmu yang bermanfaat yang
bisa membedakan antara kebaikan dengan keburukan di masa sekarang dan di
masa mendatang).[12]
Dan di antara hal yang tidak samar lagi
bahwa penyematan nama musyrik itu adalah telah ada sebelum tegaknya
hujjah risaliyyah, sedangkan Al Qur’an adalah sangat sarat dengan hal
itu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
( اسم الشرك يثبت قبل الرسالة، لأنه يشرك بربه ويعدل به )
(Nama syirik itu sudah ada sebelum risalah, karena dia itu menyekutukan Rabb-nya dan menjadikan tandingan bagi-Nya).[13]
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata tentang “Thabaqah (tingkatan) orang-orang yang taqlid,
orang-orang kafir yang jahil dan para pengikut mereka serta
keledai-keledai (para pembeo) mereka yang selalu ikut-ikutan kepada
mereka”:
( وقد اتفقت الأمة على أن هذه
الطبقة كفار وإن كانوا جهالا مقدلين لرؤسائهم وأئمتهم ) إلى أن قال (
والإسلام هو توحيد الله وعبادته وحده لا شريك له والإيمان بالله وبرسوله
واتباعه فيما جاء به فما لم يأت العبد بهذا فليس بمسلم، وإن لم يكن كافرا
معاندا فهو كافر جاهل)
(Umat ini telah sepakat bahwa thabaqah
(tingkatan orang-orang) ini adalah orang-orang kafir walaupun mereka itu
adalah orang-orang bodoh lagi taqlid kepada para pemimpin dan para
tokoh mereka) sampai beliau berkata (Islam adalah mentauhidkan Allah,
beribadah kepada-Nya saja lagi tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada
Allah dan Rasul-Nya, serta mengikutinya di dalam apa yang dibawanya. Dan
bila seorang hamba tidak mendatangkan hal ini, maka dia itu bukan orang
muslim, dan bila dia itu bukan orang kafir yang mu’anid maka berarti
dia itu adalah orang kafir yang jahil).[14]
Ibnu Taimiyyah berkata:
( وأعظم من ذلك أن يقول اغفر لي وتب علي كما يفعله طائفة من الجهال المشركين)
(Dan lebih dasyat dari hal itu adalah
orang mengatakan “ampunilah (dosa) saya dan terimalah taubat saya”
sebagaimana yang suka dilakukan oleh sekelompok dari kalangan
orang-orang jahil yang musyrik).[15]
Dan berkata juga:
( وأتباع الهوى درجات: فمنهم المشركون والذين يعبدون من دون الله ما يستحسنون بلا علم ولا برهان)
(Para pengikut hawa nafsu itu ada
beberapa tingkatan: Di antara mereka itu adalah kaum musyrikin dan
orang-orang yang mengibadati selain Allah apa yang mereka anggap baik
tanpa dasar ilmu dan dalil),[16] yaitu di atas dasar kebodohan.
Dan berkata rahimahullah:
( فإن باب جحود الحق ومعاندته غير باب جهله والعمى عنه والكفار فيهم هذا وفيهم هذا)
(Karena sesungguhnya pintu pengingkaran
al haq dan pembangkangannya adalah selain pintu kejahilannya dan
kebutaan darinya, sedangkan orang-orang kafir itu di antara mereka ada
yang ini dan ada yang itu).[17]
Dan beliau rahimahullah berkata
prihal kemusyrikan orang-orang quburiyyun yang mengatakan karena
kebodohan mereka bahwa mesjid (nabawi) itu dibangun karena mengikuti
kuburan (Nabi):
( فمن ظن هذا في مسجد نبينا صلى
الله عليه وسلم فهو من أضل الناس وأجهلهم بدين الإسلام وأجهلهم بأحوال
الرسول وأصحابه وسيرته وأقواله وأفعاله. وهذا محتاج إلى أن يتعلم ما جهله
من دين الإسلام حتى يدخل في الإسلام ولا يأخذ بعض الإسلام ويترك بعضه)
(Barangsiapa mengira ini pada Masjid Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka dia itu adalah manusia paling sesat dan paling bodoh terhadap
dienul islam dan paling bodoh terhadap keadaan Rasul dan para
sahabatnya, sirahnya, ucapan-ucapannya dan perbuatan-perbuatannya. Dan
orang semacam ini adalah membutuhkan untuk belajar apa yang tidak dia
ketahui dari dienul islam sehingga dia masuk ke dalam islam dan dia tidak boleh mengambil sebagian islam dan meninggalkan sebagian yang lain).[18]
- Syirik Ibadah Tidak Terjadi Kecuali Bersama Kebodohan.
Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Abu Bithin rahimahullah berkata prihal bahwa syirik itu tidak terjadi kecuali bersama kebodohan:
( لأنه من المعلوم أنه إذا كان
إنسان يقر برسالة محمد صلى الله عليه وسلم ويؤمن بالقرآن ويسمع ما ذكر الله
سبحانه في كتابه من تعظيم أمر الشرك بأنه لا يغفره وأن صاحبه مخلد في
النار ثم يقدم عليه وهو يعرف أنه شرك هذا مما لا يفعله عاقل .وإنما يقع فيه
من جهل أنه شرك )
(Karena sesungguhnya termasuk hal yang maklum bahwa orang bila dia itu mengakui kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan beriman kepada Al Qur’an serta mendengar apa yang Allah subhanahu
sebutkan di dalam Kitab-Nya berupa dasyatnya urusan syirik di mana ia
itu tidak diampuni-Nya dan bahwa pelakunya kekal di dalam neraka, terus
dia melakukannya sedangkan dia itu mengetahui bahwa itu syirik, ini
adalah tergolong hal yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang
berakal, justeru yang jatuh ke dalamnya hanyalah orang yang tidak
mengetahui bahwa ia itu adalah syirik).[19]
Dan bila engkau mengetahui bahwa orang
itu tidak mungkin bertaqarrub kepada Allah dengan suatu amalan yang dia
yakini kebatilannya, tentu engkau mengetahui bahwa orang musyrik yang
mengklaim taqarrub kepada Allah dengan amalan syiriknya itu adalah tidak
mungkin kecuali dia itu orang yang jahil. Sedangkan (pengudzuran kerena
kejahilan dalam syirik akbar) itu mengharuskan si lawan (yaitu orang
yang mengudzur) untuk mengatakan bahwa kekafiran itu tidak terjadi
kecuali dengan sebab ‘inad (pembangkangan). Al Baghawi berkata dalam
tafsir firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ
إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا
وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan tidak ada yang benci kepada
agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan
sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat
benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (Al Baqarah: 130)
(والسفاهة الجهل وضعف الرأي وكل سفيه جاهل وذلك أن من عبد غير الله فقد جهل نفسه لأنه لم يعرف أن الله خلقها)
(Safahah adalah kebodohan dan kelemahan
pikiran. Setiap orang safih adalah orang jahil. Itu dikarenakan
sesungguhnya orang yang beribadah kepada selain Allah itu adalah telah
bodoh kepada dirinya sendiri, karena dia itu tidak mengetahui bahwa
Allah adalah yang telah menciptakannya).[20]
- Tidak Ada Adzab Kecuali Setelah Tegak Hujjah Risaliyyah.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Maka
tidak selamat dari adzab Allah kecuali orang yang memurnikan diennya
dan ibadahnya kepada Allah dan dia menyeru-Nya seraya memurnikan seluruh
ketundukan kepada-Nya. Barangsiapa tidak menyekutukan-Nya dan tidak
mengibadati-Nya, maka dia itu mu’aththil (orang yang mengosongkan) dari
peribadatan kepada-Nya dan peribadatan kepada selain-Nya, seperti
Fir’aun dan yang semisal dengannya, di mana dia itu lebih buruk
keadaannya dari orang musyrik. Jadi semestinya adalah mengibadati Dia
saja, dan ini adalah kewajiban atas setiap orang dan tidak gugur dari
seorangpun sama sekali, di mana ia adalah islam yang umum mana Allah
tidak menerima dien selainnya, akan tetapi Allah tidak mengadzab
seorangpun sehingga Dia mengutus Rasul kepadanya, dan sebagaimana Dia
tidak mengadzabnya maka begitu juga tidak masuk surga kecuali jiwa yang
muslim lagi mukmin.[21]
Dan surga itu tidak mungkin dimasuki oleh orang musyrik dan tidak pula
dimasuki oleh mustakbir (orang yang menolak) dari beribadah kepada
Rabb-nya. Barangsiapa yang belum sampai dakwah kepadanya di dunia ini,
maka dia diuji di akhirat, dan tidak akan masuk neraka kecuali orang
yang mengikuti syaithan, sedangkan orang yang tidak memiliki dosa, maka
dia tidak akan masuk neraka, dan Allah tidak akan mengadzab seorangpun
dengan neraka kecuali setelah Dia mengutus Rasul kepadanya. Sedangkan
orang yang tidak sampai dakwah seorang rasulpun kepadanya seperti anak
kecil, orang gila dan orang yang mati di masa fatrah mahdlah
(total/murni), maka orang-orang semacam ini adalah diuji di akhirat
sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak atsar).[22]
- Peniadaan Adzab Sebelum Tegak Hujjah Bukanlah Peniadaan Vonis Kafir Dan Sesat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Orang-orang
yang mendapatkan petunjuk dan keberuntungan adalah orang-orang yang
mengikuti para nabi, dan merekalah kaum muslimin mukminin di setiap
zaman dan tempat. Sedangkan orang-orang yang diadzab dan orang-orang
sesat itu adalah orang-orang yang mendustakan para nabi. Tinggallah
orang-orang jahiliyyah yang belum sampai kepada mereka apa yang dibawa
oleh para nabi, maka mereka itu adalah di dalam kesesatan, kejahilan,
keburukan dan kemusyrikan, akan tetapi Allah mengatakan:
﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً﴾
“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al Israa: 15).
Dan berkata:
﴿رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ
وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ
الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا﴾
“(Mereka Kami utus) selaku
rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya
tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An Nissa: 165)
Dan berfirman:
﴿وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ
الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ﴾
“Dan tidak adalah Tuhanmu
membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang
Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah
(pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan
melakukan kezaliman.” (Al Qashash: 59)
Mereka itu tidak Allah binasakan dan
tidak diadzab-Nya sampai Dia mengutus Rasul kepada mereka, sedangkan
telah diriwayatkan berbagai atsar yang menunjukan bahwa orang yang belum
sampai risalah kepada mereka di dunia maka diutus kepadanya rasul di
hari kiamat di ‘Arashat Kiamat).[23]
- Peniadaan Sematan Satu Nama Atau Penetapannya Adalah Sesuai Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengannya.
Ringkasan masalah adalah: (Bahwa
satu nama itu ditiadakan dan ditetapkan sesuai hukum-hukum yang
berkaitan dengannya, di mana suatu nama itu bila ditetapkan atau
dinafikan pada suatu hukum maka tidak wajib nama itu seperti itu juga
pada hukum-hukum yang lain. Ini adalah pada ucapan orang-orang arab dan
umat-umat yang lainnya, karena maknanya sudah maklum. Contoh hal itu
adalah orang-orang munafiq di mana mereka kadang dijadikan dalam jajaran
kaum mukminin di suatu tempat sedangkan di tempat yang lain dikatakan
“mereka (munafiqin) itu bukan bagian dari mereka (mukminin)”. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ
الْمُعَوِّقِينَ مِنكُمْ وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ
إِلَيْنَا وَلَا يَأْتُونَ الْبَأْسَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾
“Sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang menghalang- halangi di antara kamu dan orang-orang yang
berkata kepada saudara- saudaranya: “Marilah kepada kami”. dan mereka
tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar.” (Al Ahzab: 18)
Di ayat ini Allah menjadikan kaum
munafiqin yang takut kepada musuh yang menghindar dari jihad yang
melarang orang lain lagi mencela orang-orang mukmin sebagai bagian dari
mereka, sedangkan di ayat yang lain Allah berfirman:
﴿ وَيَحْلِفُونَ بِاللّهِ إِنَّهُمْ لَمِنكُمْ وَمَا هُم مِّنكُمْ وَلَـكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ ﴾
“Dan mereka (orang-orang munafik)
bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk
golonganmu; padahal mereka bukanlah dari golonganmu, akan tetapi mereka
adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu).” (At Taubah: 56)
Mereka itu dosanya lebih ringan, di mana
sesungguhnya mereka itu tidak menyakiti kaum mukminin, baik dengan
serangan maupun dengan ucapan lidah mereka yang tajam, akan tetapi
mereka bersumpah dengan Nama Allah bahwa mereka itu termasuk bagian dari
kaum mukminin di dalam bathin dengan hati mereka, karena kaum mumkminin
telah mengetahui bahwa mereka itu termasuk bagian mereka secara dhahir,
maka Allah mendustakan mereka dan berfirman “padahal mereka bukanlah dari golonganmu” sedangkan di ayat sebelumnya Allah berfirman “Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang- halangi di antara kamu”
di mana khithabnya adalah bagi orang yang secara dhahir adalah muslim
mukmin padahal dia itu bukan mukmin, karena di antara kalian ada orang
yang memiliki sifat semacam ini padahal dia itu bukan mukmin, namun
Allah menghapuskan amalannya, di mana dia itu adalah bagian dari kalian
secara dhahir tidak secara bathin).[24]
- Kekafiran Yang Berkonsekuensi Adzab Dan Kekafiran Yang Tidak berkonsekuensi Adzab Kecuali Setelah Tegak Hujjah.
Ibnu Taimiyyah berkata: (Sesungguhnya
keadaan orang kafir itu tidak lepas dari keadaan apakah dia itu bisa
membayangkan adanya risalah ataukah tidak. Bila dia itu tidak bisa
membayangkan adanya risalah, maka dia itu berada di dalam ghaflah (kelalaian/kejahilan) darinya dan ketidak imanan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴾
“Dan janganlah kamu mengikuti orang
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti
hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al Kahfi: 28)
Dan berfirman:
﴿ فَانتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَكَانُواْ عَنْهَا غَافِلِينَ ﴾
“Kemudian Kami menghukum mereka, maka
Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan
ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat
Kami itu.” (Al A’raf: 136)
Akan tetapi kelalaian yang total tidaklah
terjadi kecuali bagi orang yang belum sampai risalah kepadanya,
sedangkan kekafiran yang berkonsekuensi adzab tidaklah terbukti kecuali
setelah sampainya risalah…. Jadi setiap orang yang mendustakan apa yang
dibawa para rasul maka dia itu kafir, dan tidak setiap orang kafir itu
adalah orang yang mendustakkan, akan tetapi bisa jadi dia itu orang yang
bimbang bila dia itu orang yang meninjau di dalamnya, atau orang yang
berpaling darinya setelah dia itu tidak meninjau di dalamnya, dan bisa
jadi dia itu orang yang lalai darinya lagi tidak bisa membayangkannya
sama sekali, akan tetapi hukuman orang semacam ini adalah tergantung
kepada penyampaian orang yang diutus kepadanya).[25] dan
berkata juga: (Kekafiran setelah tegakknya hujjah adalah mengharuskan
adanya adzab, sedangkan kekafiran sebelum itu adalah mengurangi nikmat
dan tidak menambahnya. Sedangkan sesungguhnya mesti adanya pengutusan
rasul yang bersamanya nikmat atau adzab didapatkan, karena sesungguhnya
di sana itu tidak ada Negeri kecuali surga atau neraka).[26]
Maka dari sini engkau mendapatkan bahwa para ulama menafikan kekafiran
dari orang yang melakukannya sedangkan mereka memaksudkan dengan hal itu
kekafiran yang berkonsekuensi adzab, di mana mereka mengatakan: Kami
tidak mengkafirkannya” padahal hakikat pokoknya adalah tetap ada
melekat, yaitu bahwa dia itu kafir akan tetapi hukum-hukum yang
berkaitan terhadap kekafirannya hanyalah berkaitan dengan penegakkan
hujjah kepadanya, sehingga satu nama itu ditetapkan atau dinafikan
sesuai dengan hukum-hukum (yang berkaitan dengannya). Dan bila engkau
telah mengetahui hal ini, maka engkau selamat dengan izin Allah dari
kesalahan dan kerancuan dalam memahami ucapan ulama.
(Bersambung…)
[1] Al Bukhari (1385) dan Muslim (2658)
[2] Mukhtashar Tafsir Ibni Katsir milik Ahmad Muhammad Syakir (2/223) cetakan pertama Darul Wafa 1424-2003.
[3] Mukhtashar tafsir Ibni Katsir 2/65-66.
[4] Tafsir Al Baghawiy cetakan pertama dala satu jilid hal 5oo, Dar Ibni Hazm 1423H-2002M.
[5] Fathul Qadir hal 630 cetakan pertama dalam satu jilid 1421H-2002M Dar Ibni Hazm.
[6] Madarijus Salikin 1/253-256.
[7] Adlwaul Bayan.
[8] Ighatsatl Luhfan 2/135.
[9] Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim 4/244.
[10] Tafsir Assa’diy 7/195-196.
[11] Tariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain 387.
[12] Fathul Qadir cetakan pertama dalam satu jilid hal 686.
[13] Al Fatawa 20/38.
[14] Thariqul Hijratain hal : 414.
[15] Al Fatawa 1/351.
[16] Al Fatawa 10/592.
[17] Al Fatawa 11/345.
[18] Al Fatawa 27/254
[19] Ad Durar Assaniyyah 10/394.
[20] Tafsir Al Baghawi dalam satu jilid hal 66.
[21] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Jihad (3062) dan Muslim dalam Al Iman (111)
[22] Al Fatawa 14/477.
[23] Al Fatawa 17/307-308.
[24] Al Fatawa 7/418.
[25] Al Fatawa 2/78-79.
[26] Al Fatawa 16/252-253.