Hakikat Tauhid
- Makna Laa Ilaaha Illallaah.
- Syarat-Syarat Laa Ilaaha Illallaah.
- Tidak Sah Islam Bagi Orang Yang Tidak Merealisasikan Tauhid.
- Tidak Boleh Taqlid Di Dalam Tauhid.
- Kufur Kepada Thaghut Dan Iman Kepada Allah.
1. Makna Laa Ilaaha Illallaah
Laa ilaaha illallaah
menunjukan terhadap penafian ketuhanan dari selain Allah ta’ala siapa
saja dia itu, serta penetapannya bagi Allah saja tidak bagi selain-Nya,
di mana tidak ada yang diibadati secara haq kecuali Allah.[1] Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ ﴾
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha
Esa; tidak ada Tuhan yang berhak diibadati melainkan Dia yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 163)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ ﴾
“Dan Kami tidak mengutus seorang
Rasul-pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian
akan Aku.” (Al Anbiya: 25)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا
إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ
إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ ﴾
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus
Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu
Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan yang hak bagimu selain Dia.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Al Mukiminun: 23)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ
“Dan (Kami telah mengutus) kepada
kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain dari-Nya. Maka
mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (Al A’raf: 65)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan kepada Tsamud (kami utus)
saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan (yang haq) selain Dia..” (Huud: 61)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan (Kami telah mengutus) kepada
penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. ia berkata: “Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu
selain-Nya.” (Al A’raf: 85)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ
اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا
تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Mereka berkata: “Apakah kamu datang
kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa
yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang
kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (Al A’raf: 70)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun..” (An Nisa: 36)
(Maka jelaslah dari hal itu
penafian ketuhanan dari selain Allah –yaitu ibadah– dan penetapannya
bagi Allah saja lagi tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Al Qur’an dari awal
sampai akhir adalah menjelaskan hal ini dan menetapkannya serta
mengarahkan kepadanya).[2]
(Dan tauhid uluhiyyah adalah hakikat
Dienul Islam yang mana Allah tidak menerima selainnya dari seorang-pun,
dan tidak ada jalan untuk merealisasikannya kecuali dengan memurnikan
seluruh macam ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berupa
kecintaan, rasa takut, pengharapan, tawakkal, shalat, doa, istighatsah,
penyembelihan, nadzar, thawaf, isti’adzah dan taubat…….).[3]
Kaum musyrikin telah mengibadati
tuhan-tuhan yang lain di samping Allah seraya menginginkan syafa’atnya
dan kedekatan dengannya kepada Allah, akan tetapi niat mereka itu tidak
menolong mereka dan tidak bermanfa’at bagi mereka di sisi Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ
مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا
عِندَ اللّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللّهَ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فِي
السَّمَاوَاتِ وَلاَ فِي الأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا
يُشْرِكُونَ ﴾.
“Dan mereka menyembah selain daripada
Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan
tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi
syafa’at kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu
mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan
tidak (pula) di bumi?” Maha suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang
mereka mempersekutukan (itu).” (Yunus: 18)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن
دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ
زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ ﴾
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”.
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang
mereka berselisih padanya.” (Az Zumar: 3)
Dan alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam tafsirnya terhadap firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ أَئِفْكًا آلِهَةً دُونَ اللَّهِ تُرِيدُونَ.فَمَا ظَنُّكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾
“Apakah kamu menghendaki
sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka Apakah
anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?” (Ash Shaffat: 86-87)
Beliau berkata:
(Yaitu, apa yang kalian
perkirakan balasan yang akan Dia timpakan kepada kalian sedangkan kalian
telah mengibadati yang lain bersama-Nya? Dan apa yang kalian perkirakan
kepada-Nya sehingga kalian berani menjadikan sekutu-sekutu bersama-Nya?
Apakah kalian menduga bahwa Dia itu membutuhkan kepada sekutu-sekutu
dan para pembantu, ataukah kalian menduga bahwa ada yang tersamar
terhadap-Nya sesuatu dari keadaan hamba-hamba-Nya sehingga Dia
membutuhkan kepada sekutu-sekutu yang memberitahukannya kepada-Nya
sebagaimana halnya para raja? Ataukah Dia itu kasar sehingga membutuhkan
kepada para pemberi syafa’at yang melunakkan-Nya terhadap
hamba-hamba-Nya? Ataukah Dia itu hina sehingga membutuhkan kepada
penolong yang menemani-Nya dari keterasingan dan mengokohkan-Nya dari
kehinaan, ataukah Dia itu membutuhkan kepada anak sehingga Dia perlu
mengambil isteri yang melahirkan anak darinya dan dari-Nya? Maha Suci
Allah lagi Maha Besar dari hal itu).[4]
2. Syarat-Syarat Laa Ilaaha Illallaah
Ketahuilah sesungguhnya syarat adalah
sesuatu yang mesti dari ketidakadaannya adalah tidak adanya hukum, namun
tidak mesti dari keberadaannya keberadaan hukum. Bila suatu syarat dari
syarat-syarat (Laa ilaaha illallaah) ini tidak ada, maka orangnya tidak merealisasikan Laa ilaaha illallaah, sehingga saat itu tidak bermanfaatlah pengucapan kalimat ini.
Wahb Ibnu Munabbih ditanya:
( أليس ” لا إله إلا الله ”
مفتاح الجنة؟ قال بلى ولكن ما من مفتاح إلا وله أسنان فإن جئت بمفتاح له
أسنان فتح لك و إلا لم يفتح لك ).
(Bukankah “Laa ilaaha illallaah”
itu kunci surga? Beliau berkata: Ya, akan tetapi tidak satu kunci-pun
melainkan ia itu memiliki gerigi, bila kamu datang dengan membawa kunci
yang memiliki gerigi maka (pintu) dibukakan bagimu, dan bila tidak (ada
geriginya) maka tidak dibukakan bagimu).[5]
1. Syarat Pertama:
Al Ilmu (mengetahui)
makna yang dimaksudkan darinya berupa penafian (peniadaan) dan
penetapan: yang menafikan kejahilan terhadap hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” (Muhammad: 19).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“…akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az Zukhruf: 86)
yaitu bersaksi terhadap Laa ilaaha illallaah sedangkan mereka
mengetahui dengan hati mereka apa yang mereka ucapkan dengan lisan
mereka.
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ
إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا
إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah)melainkan Dia, yang menegakkan keadilan.
Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga bersaksi terhadap hal
itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah)melainkan Dia, yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 18)
وعن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة ).
“Dari Utsman radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Barangsiapa mati sedangkan dia mengetahui bahwa tidak ada
ilah (yang berhak diibadati) selain Allah, maka dia pasti masuk surga.” [6]
2. Syarat Kedua:
Yaqin yang menafikan
keraguan: Dan maknanya bahwa orang yang mengucapkan kalimat ini adalah
harus meyakini apa yang ditunjukan kalimat ini dengan keyakinan yang
pasti, karena sesungguhnya keimanan itu tidak bermanfaat kecuali dengan
ilmul yaqin bukan ilmu adh dhann (ilmu perkiraan). Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ
هُمُ الصَّادِقُونَ ﴾
”Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang jujur.” (Al Hujurat: 15)
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( أشهد ألا إله إلا الله، وأني رسول
الله. لا يلقى الله بهما عبد، غير شاك، فيحجب عن الجنة).
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku
bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah dan
bahwa Aku adalah Rasulullah, tidak seorang hamba-pun menjumpai Allah
dengan membawa keduanya seraya dia tidak ragu, kemudian dia terhalang
dari surga.”[7]
وعن أبي هريرة رضي الله عنه من حديث طويل (… من لقيت وراء هذا الحائط يشهد ألا إله إلا الله مستيقناً بها قلبُه فبشره بالجنة)
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dalam hadits yang panjang: (……Siapa
saja orangnya yang kamu jumpai di belakang kebun ini sedang dia
bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah
seraya hatinya yakin dengannya, maka berilah dia kabar gembira dengan
surga).[8]
3. Syarat Ketiga:
Qabul (penerimaan) terhadap apa yang dituntut oleh kalimat ini dengan hatinya dan lisannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
telah mengkisahkan kepada kita dari kabar umat terdahulu berupa
penyelamatan orang-orang yang menerima kalimat ini dan pengadzaban-Nya
terhadap orang-orang yang menolaknya dan enggan menerimanya, sebagaimana
firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِن
قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا
وَجَدْنَا آبَ اءنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِم مُّقْتَدُونَ *
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُم بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدتُّمْ عَلَيْهِ آبَاءكُمْ
قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُم بِهِ كَافِرُونَ * فَانتَقَمْنَا
مِنْهُمْ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ ﴾
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus
sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
“Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (Rasul itu)
berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang
kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya
kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” Maka
Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan itu.” (Az Zukhruf: 23-25)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ ﴾.
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila
dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri,” (Ash Shaffat: 35)
4. Syarat Keempat:
Inqiyad (tunduk) terhadap apa yang ditunjukannya, yang menafikan sikap meninggalkan hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ
أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ واتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ
حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً ﴾
“Dan siapakah yang lebih baik
agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (An Nisa: 125)
Dan firman-Nya juga:
﴿ وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى
اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ ﴾
“Dan barangsiapa yang menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya
kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22) yaitu berpegang kepada Laa ilaaha illallaah.
Sedangkan tidak ada jalan untuk
merealisasikan inqiyad dan sampai kepada tujuannya kecuali dengan
mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyelisihi hawa nafsu
serta segala yang menghalangi hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
﴿ فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ
حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي
أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا ﴾
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisa: 65)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya terhadap ayat ini:
( يقسم الله تعالى بنفسه الكريمة
المقدسة أنه لا يؤمن أحد حتى يحكم الرسول ص في جميع الأمور فما حكم به فهو
الحق الذي يجب الانقياد له باطناً وظاهراً ولهذا قال: ﴿ ثُمَّ لاَ
يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ
تَسْلِيمًا ﴾، أي: إذا حكموك يطيعونك في بواطنهم، فلا يجدون في أنفسهم
حرجاً مما حكمت به، وينقادون له في الظاهر والباطن فيسلمون لذلك تسليماً
كلياً من غير مُمَانعة ولا مدافعة ولا منازعة كما ورد في الحديث ( والذي
نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعاً لما جئت به )
(Allah ta’ala bersumpah dengan Diri-Nya
Yang Maha Mulia lagi Maha Suci bahwa sesorang tidak beriman sampai dia
menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
hakim (pemutus) dalam semua urusan, sehingga apa yang diputuskannya
aadalah kebenaran yang wajib tunduk kepadanya baik bathin maupun lahir,
oleh sebab itu Allah berfirman:” kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya” yaitu bila mereka menjadikanmu
sebagai hakim maka mereka mentaatimu di dalam bathin mereka juga,
sehingga mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya di dalam
dhahir dan bathin sehingga mereka menerima hal itu dengan sepenuh hati
tanpa penolakan dan penentangan, sebagaimana di dalam hadits: “Demi
Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidaklah seseorang di antara kalian
beriman sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”)[9]
5. Syarat Kelima:
Ash Shidqu (kejujuran)
yang menafikan kebohongan: Yaitu dia mengatakannya dengan kejujuran dari
lubuk hatinya, hatinya selaras dengan lisannya, karena sesungguhnya
orang-orang munafiqin itu mengucapkannya akan tetapi tidak dengan
kejujuran, di mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang mereka:
﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ ﴾
“Di antara manusia ada yang
mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” pada hal
mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Al Baqarah: 8)
وعن معاذ بن جبل عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال ( ما من أحدٍ يشهد ألا إله إلا الله وأن محمداً عبده
ورسوله صدقاً من قلبه إلا حرم الله عليه النار)
Dari Mu’adz Ibnu Jabal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidak
seorangpun bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah secara jujur
dari lubuk hatinya melainkan Allah haramkan neraka terhadapnya.”[10]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
( والتصديق ب ” لا إله إلا الله”
يقتضي الإذعان والإقرار بحقوقها وهي شرائع الإسلام التي هي تفصيل هذه
الكلمة، بالتصديق بجميع أخباره وامتثال أوامره واجتناب نواهيه… فالمصدق بها
على الحقيقة هو الذي يأتي بذلك كله ومعلوم أن عصمة المال والدم على
الإطلاق لم تحصل إلا بها وبالقيام بحقها، وكذلك النجاة من العذاب على
الإطلاق لم تحصل إلا بها وبحقها).
“Pembenaran terhadap Laa ilaaha illallah
adalah menuntut ketundukan dan pengakuan kepada hak-haknya, yaitu
syari’at-syari’at Islam yang merupakan rincian kalimat ini, dengan cara
membenarkan seluruh berita-berita-Nya, merealisasikan
perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya…. Orang yang
membenarkannya secara sebenar-benarnya adalah orang yang mendatangkan
hal itu semuanya, sedangkan sudah diketahui bahwa keterjagaan harta dan
darah itu secara total tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan
menunaikan hak-haknya. Dan begitu juga keselamatan dari adzab secara
total tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan haknya.”[11]
6. Syarat Keenam:
Ikhlash, yaitu
mentauhidkan Allah dalam tujuan (al qashdu), dan membersihkan amal
dengan pelurusan niat dari semua noda-noda syirik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ﴾
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az Zumar: 3)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala juga:
﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء ﴾
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus,” (Al Bayyinah: 5)
وروى البخاري من حديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( أسعد الناس بشفا عتي من قال لا إله إلا الله خالصاً من قلبه )
Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Manusia
yang paling bahagia mendapatkan syafa’atku adalah orang yang
mengucapkan Laa ilaaha illallaah seraya tulus (murni) dari lubuk
hatinya.”[12]
7. Syarat Ketujuh:
Mahabbah (mencintai),
kalimat ini dan apa yang dituntut olehnya serta apa yang ditunjukan
olehnya, dan mencintai para penganutnya yang mengamalkannya lagi
komitmen dengan syarat-syaratnya, serta membenci apa yang membatalkan
hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ
مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ
آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ ﴾
“Dan di antara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al Baqarah: 165)
وفي الصحيحين من حديث أنس أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال ( ثلاث من كن فيه وجد فيهن حلاوة الإيمان، أن
يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرءَ لا يحبه إلا لله وأن
يكره أن يعود في الكفر بعد أن أنقذه الله منه كما يكره أن يقذف في النار
).
Dan di dalam Ash Shahihain dari hadits Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tiga
hal yang barangsiapa ada pada dirinya, maka dia pasti mendapatkan
manisnya iman; Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain
keduanya, dia mencintai seseorang seraya tidak mencintainya kecuali
karena Allah, dan dia tidak menyukai kembali kepada kekafiran setelah
Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana dia tidak menyukai
dilemparkan ke dalam neraka.” [13]
Al Hakami berkata:
( وعلامة حب العبد ربه تقديم
محابه وإن خالفت هواه وبغض ما يبغض ربه وإن مال إليه هواه، وموالاة من والى
الله ورسوله ومعاداة من عاداه، واتباع رسوله ص واقتفاء أثره وقبول هداه )
“Dan tanda kecintaan si hamba kepada
Rabb-nya adalah dia mengedepankan apa yang dicintai-Nya walaupun
menyelisihi hawa nafsunya, membenci apa yang dibenci Rabb-nya walaupun
hawa nafsunya cenderung kepadanya, loyal kepada orang yang loyal kepada
Allah dan Rasul-Nya dan memusuhi orang yang memusuhi-Nya, mengikuti
Rasul-Nya, meneladani jejaknya serta menerima tuntunannya.”[14]
3. Tidak Sah Islam Bagi Orang Yang Tidak Merealisasikan Tauhid
A. Kewajiban Mengetahui Tauhid
Al Bukhari rahimahullah berkata:
( باب العلم قبل القول والعمل لقول الله تعالى: ﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾ فبدأ بالعلم).
“Bab ilmu sebelum ucapan dan amal, berdasarkan firman Allah ta’ala:“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” (Muhammad: 19) di mana Allah memulai dengan ilmu.”
Al Hafidh berkata:
( قوله: “فبدأ بالعلم” أي حديث
قال: ﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾ ثم قال: ﴿
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ﴾ والخطاب وإن كان للنبي صلى الله عليه وسلم فهو
متناول لأمته واستدل سفيان بن عيينة بهذه الآية على فضل العلم، كما أخرجه
أبو نعيم في الحلية في ترجمته من طريق الربيع بن نافع عنه أنه تلاها فقال
ألم تسمع أنه بدأ به فقال “اعلم” ثم أمره بالعمل؟ وينتزع منها دليل ما
يقوله المتكلمون من وجوب المعرفة، لكن النزاع كما قدمناه، إنما هو في إيجاب
تعلم الأدلة على القوانين المذكورة في كتب الكلام )
(Ucapannya “di mana Allah memulai dengan ilmu” yaitu pembicaraan, berkata :“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” kemudian berfirman “dan meminta ampunanlah bagi dosamu.” Khithab ini walaupun ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia meliputi umatnya. Dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah
berdalil dengan ayat ini terhadap keutamaan ilmu, sebagimana yang
diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah pada biografinya dari jalur
Ar Rabi’ Ibnu Nafi’ darinya bahwa ia membaca ayat ini terus berkata:
Apakah engkau tidak mendengar bahwa Allah memulai dengannya, di mana Dia
berfirman “Maka ketahuilah” kemudian Dia memerintahkannya
untuk beramal? Dan diambil darinya suatu dalil terhadap apa yang
dikatakan oleh para ahli kalam prihla wajibnya ma’rifah, akan tetapi
perselisihan itu adalah sebagaimana yang telah kamu ketengahkan yaitu
hanya prihal pengwajiban mempelajari dalil-dalil sesuai cara-cara yang
disebutkan di dalam kitab-kitab (ahli ) kalam).[15]
Maka perhatikanlah –semoga Allah
merahmatimu– kepada apa yang diisyaratkan oleh Al Hafidh bahwa tidak ada
perselisihan prihal wajibnya ma’rifah yaitu ma’rifah (mengetahui)
tauhid, namun yang diperselisihkan itu hanyalah prihal pengwajiban
mempelajari dalil-dalil sesuai cara-cara yang telah ditetapkan oleh ahli
kalam.
B. Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
An Nawawi rahimahullah telah menukil ucapan yang panjang milik Al Qadli ‘Iyadl dan menilainya bagus, berkata: Al Qadli ‘Iyadl berkata:
(… ومذهب أهل السنة أن المعرفة
مرتبطة بالشهادتين لا تنفع إحداهما ولا تنجي من النار دون الأخرى إلا لمن
لم يقدر على الشهادتين لآفة بلسانه أو لم تمهله المدة ليقولها…) .
(…..Dan Madzhab Ahlussunnah bahwa
ma’rifah itu berkaitan dengan syahadatain, salah satu dari keduanya
tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkan dari neraka tanpa yang satunya
lagi kecuali bagi orang yang tidak mampu mengucapkan syahadatain karena
suatu cacat di lisannya atau tidak ada tenggang waktu cukup untuk
mengucapkannya….).[16]
C. Kejahilan Terhadap Allah Adalah Kekafiran Bagaimanapun Keadaannya
Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menuturkan dari Muhammad Ibnu Nashr Al Warwaziy, berkata:
( قالوا ولما كان العلم بالله
إيمانا والجهل به كفراً، وكان العمل بالفرائض إيماناً والجهل بها قبل
نزولها ليس كفراً، لأن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قد أقروا بالله
أول ما بعث الله رسوله صلى الله عليه وسلم إليهم، ولم يعلموا الفرائض التي
افترضت عليهم بعد ذلك، فلم يكن جهلهم بذلك كفراً، ثم أنزل الله عليهم
الفرائض فكان إقرارهم والقيام بها إيماناً وإنما يكفر من جحدها لتكذيبه خبر
الله، ولو لم يأتِ خبر من الله ما كان بجهلها كافراً، وبعد مجيئ الخبر من
لم يسمع الخبر من المسلمين، لم يكن بجهلها كافراً، والجهل بالله في كل حالٍ
كفر قبل الخبر وبعد الخبر)
(Mereka, yaitu Ahlussunnah berkata: Dan
tatkala mengetahui Allah itu adalah keimanan dan kejahilan terhadap-Nya
adalah kekafiran, dan sedangkan mengetahui faraidl (hal-hal
yang difardlukan) itu adalah keimanan dan kejahilan terhadapnya sebelum
ia diturunkan adalah bukan kekafiran; karena sesungguhnya para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, –sedangkan mereka belum mengetahui faraidl yang difardlukan terhadap mereka setelah itu– maka kejahilan mereka terhadap faraidl
itu bukanlah kekafiran, kemudian Allah menurunkan faraidl terhadap
mereka, maka pengakuan dan pengamalan mereka terhadapnya adalah
merupakan keimanan, dan sedangkan orang yang mengingkarinya hanyalah
dikafirkan karena sebab dia mendustakan khabar (peberitahuan) dari Allah, dan seandainya tidak datang khabar
dari Allah tentulah dia tidak menjadi kafir dengan sebab kejahilan
terhadapnya. Sedangkan setelah datangnya khabar maka orang muslim yang
tidak mendengar khabar tersebut tidaklah menjadi kafir dengan sebab
tidak mengetahuinya. Adapun
kejahilan terhadap Allah adalah dalam setiap keadaannya merupakan
kekafiran baik sebelum ada khabar maupun setelah datangnya khabar).[17] [18]
‘Alauddien Abu Bakar Mas’ud Ibnu Ahmad Al Kasaniy berkata: Sesungguhnya Abu Yusuf meriwayatkan dari Abu Hanifah rahimahullah ungkapan ini: Di Mana Abu Hanifah berkata:
لا عذر لأحد من الخلق في جهله
معرفة الرب سبحانه وتعالى وتوحيده لما يرى من خلق السماوات والأرض وخلق
نفسه وسائر ما خلق الله سبحانه، فأما الفرائض فمن لم يعلمها ولم تبلغه فإن
هذا لم تقم عليه حجة حُكمية
“Tidak ada udzur bagi seorang makhluk-pun dalam kejahilan dia terhadap ma’rifah (mengenal) Ar Rabb Subhanahu Wa Ta’ala dan pentauhidan-Nya
dikarenakan apa yang dilihatnya dari penciptaan langit dan bumi,
penciptaan dirinya serta penciptaan apa yang telah Allah subhanahu
ciptakan. Adapun faraidl
(syari’at-syari’at yang difardlukan), barangsiapa yang tidak
mengetahuinya dan hal itu belum sampai kepadanya, maka sesungguhnya
orang ini belum tegak kepadanya hujjah hukmiyyah.”[19]
D. Pembatasan Kejahilan Yang Diudzur Itu Adalah Selain Pada Tauhid
Ucapan-ucapan ulama salaf adalah sangat
banyak dalam hal ini, di mana sesungguhnya mereka membatasi kekafiran
dengan kejahilan itu hanyalah dalam hal meninggalkan faraidl (syari’at-syari’at yang difardlukan) bukan dalam hal tauhid. Abdullah Ibnu Ahmad
berkata: Telah menyampaikan kepada kami Suwaid Ibnu Sa’id Al Harawiy,
berkata: Kami telah bertanya kepada Sufyan Ibnu ‘Uyainah tentang Irja,
maka ia berkata:
يقولون الإيمان قول وعمل، والمرجئة
أوجبوا الجنة لمن شهد ألا إله إلا الله مُصِراً بقلبه على ترك الفرائض،
وسموا ترك الفرائض ذنباً بمنزلة ركوب المحارم، وليس بسواء، لأن رُكوب
المحارم من غير استحلال معصية وترك الفرائض متعمداً من غير جهل ولا عذر هو
كفرٌ
“Mereka (Ahlussunnah) mengatakan: Iman
itu adalah ucapan dan amalan, sedangkan Murji’ah menetapkan surga bagi
orang yang bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain
Allah seraya ia bersikukuh dengan hatinya atas peninggalan faraidl
(kewajiban-kewajiban syari’at), dan mereka menamakan peninggalan faraidl
itu sebagai dzanb (dosa) sama seperti melakukan hal-hal yang
diharamkan. Padahal tidaklah sama, karena sesungguhnya melakukan hal-hal
yang diharamkan tanpa istihlal (penghalalan) adalah maksiat sedangkan
meninggalkan faraidl (kewajiban-kewajiban syari’at) secara sengaja bukan
karena kejahilan dan tanpa udzur adalah kekafiran.”[20]
E. Tuntutan Syahadat Dan Apa Yang Ditunjukannya
Dari ‘Ubadah Ibnu Ash Shamit berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
من شهد ألا إله إلا الله وحده لا
شريك له وأن محمداً عبده ورسوله وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها
إلى مريم وروح منه، والجنة حق، والنار حق، أدخله الله الجنة على ما كان منه
من العمل
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada
ilah (yang berhak diibadati) selain Allah saja lagi tidak ada sekutu
bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwa Isa
adalah hamba Allah dan utusan-Nya dan kalimat-Nya yang Dia masukan
kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan (bahwa) surga adalah haq serta
(bahwa) neraka adalah haq, maka Allah memasukannya ke dalam surga atas
apa yang ada darinya berupa amalan.”[21]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan berkata:
من شهد ألا إله إلا الله أي من
تكلم بها عارفاً لمعناها، عاملاً بمقتضاها باطناً وظاهراً، فلا بد في
الشهادتين من العلم واليقين والعلم بمدلولها كما قال تعالى ﴿ فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾، وقوله ﴿إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ
وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴾، أما النطق بها من غير معرفة لمعناها ولا يقين ولا
عمل بما تقتضيه من البراءة من الشرك وإخلاص القول والعمل، قول القلب
واللسان وعمل القلب والجوارح، فغير نافع بالإجماع
”Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada
ilah (yang berhak diibadati) selain Allah, yaitu barangsiapa
mengucapkannya seraya dia mengetahui maknanya lagi mengamalkan
konsekuensinya lahir batin, karena dua kalimah syahadat ini harus
disertai ilmu (mengetahui), yaqin dan mengetahui kandungannya, sebagaimana firman-Nya ta’ala: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” (Muhammad: 19), dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “…akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya)” (Az
Zukhruf: 86). Adapun pengucapannya tanpa disertai pengetahuan terhadap
maknanya, dan tanpa yaqin serta tanpa pengamalan terhadap konsekuensinya
berupa sikap kebelepasan diri dari syirik dan pengkikhlashan ucapan dan
amalan, yaitu ucapan hati dan lisan serta amalan hati dan anggota
badan, maka pengucapan itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma.”[22]
Dan beliau berkata setelah menuturkan ucapan para ulama tentang makna laa ilaaha illallaah:
فدلت ” لا إله إلا الله ” على نفي
الإلهية عن كل ما سوى الله تعالى كائناً من كان وإثبات الإلهية لله وحده
دون كل ما سواه وهذا هو التوحيد الذي دعت إليه الرسل، ودل عليه القرآن من
أوله إلى آخره، كما قال تعالى عن الجن ﴿ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ
اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا
عَجَبًا * يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ
بِرَبِّنَا أَحَدًا ﴾، فلا إله إلا الله لا تنفع إلا من عرف مدلولها نفياً
وإثباتاً واعتقد ذلك وقبله وعمل به، وأما من قالها من غير علم واعتقاد
وعمل، فقد تقدم في كلام العلماء أن هذا جهل صرف، فهي حجة عليه بلا ريب،
فقوله في الحديث ( وحده لا شريك له ) تأكيد وبيان لمضمون معناها وقد أوضح
الله ذلك وبينه في قصص الأنبياء والمرسلين في كتابه المبين، فما أجهل عباد
القبور بحالهم، وما أعظم ما وقعوا فيه من الشرك المنافي لكلمة الإخلاص ” لا
إله إلا الله ” فإن مشركي العرب ونحوهم جحدوا ” لا إله إلا الله ” لفطاً
ومعنى، وهؤلاء المشركون أقروا بها لفظاً وجحدوها معنى فتجد أحدهم يقولها
وهو يأله غير الله بأنواع العبادة
”Maka Laa ilaaha illallaah
menunjukan terhadap penafian ketuhanan dari selain Allah siapa saja dia
itu dan penetapan ketuhanan bagi Allah saja tidak bagi selain-Nya.
Inilah tauhid yang didakwahkan para rasul dan yang ditunjukan oleh Al
Qur’an dari awal sampai akhir, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang
jin: “Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu
bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu
mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang
menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami
beriman kepadanya, dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan
seseorangpun dengan Tuhan Kami.” (Al Jin: 1-2). Maka
laa ilaaha illallaah tidak berguna kecuali bagi orang yang mengetahui
apa yang dikandungnya berupa penafian dan penetapan, meyakini hal itu,
menerimanya dan mengamalkannya. Adapun orang yang mengucapkannya tanpa
ilmu, keyakinan dan amal, maka telah lalu dalam ucapan para ulama bahwa
hal ini adalah kejahilan yang murni, di mana ia adalah hujjah
terhadapnya tanpa keraguan. Di mana sabdanya di dalam hadits: “Dia saja lagi tidak ada sekutu bagi-Nya”
adalah penekanan dan penjelasan bagi kandungan maknanya, dan Allah
telah menjelaskan hal itu dan menjabarkannya di dalam kisah-kisah para
nabi dan para rasul dalam Kitab-Nya yang nyata, maka alangkah bodohnya
para ‘Ubbadul Qubur terhadap keadaan mereka, dan alangkah dasyatnya
kemusyrikan yang mereka terjatuh di dalamnya yang menafikan kalimatul
ikhlash “laa ilaaha illallaah”. Sesungguhnya kaum musyrikin arab dan
yang lainnya mengingkari “laa ilaaha illallaah” secara lafadh dan makna,
sedangkan kaum musyrikin itu (maksudnya para pelaku kemusyrikan yang
mengaku muslim) adalah mengakui kalimat itu secara lafadh namun
mengingkarinya secara makna, di mana engkau mendapatkan seseorang dari
mereka mengucapkannya sedangkan dia mempertuhankan selain Allah dengan
bermacam-macam ibadah.”[23]
F. Tidak Sah Syahadat Kecuali Bila Disertai Ilmu
Al ‘Alim Al Muhaddits Sulaiman Ibnu Abdillah berkata di dalam kitabnya yang diberi judul Taisirul ‘Azizil Hamid Syarh Kitabit Tauhid saat menjelaskan hadits ini:
قوله ” من شهد ألا إله إلا الله ”
أي من تكلم بهذه الكلمة عارفاً لمعناها عاملاً بمقتضاها باطناً وظاهراً كما
دل عليه قوله: ﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾، وقوله: ﴿
إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴾، أما النطق بها من غير معرفة لمعناها ولا عمل بمقتضاها، فإن ذلك غير نافع بالإجماع. وفي الحديث ما يدل على هذا وهو قوله “من شهد” إذ كيف يشهد وهو لا يعلم ومجرد النطق بشيء لا يسمى شهادة به
Sabdanya “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah”
yaitu barangsiapa mengucapkan kalimat ini seraya mengetahui maknanya
lagi mengamalkan konsekuensinya lahir bathin sebagaimana yang ditunjukan
oleh firman-Nya ta’ala: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah…” (Muhammad: 19), dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “…akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az
Zukhruf: 86)”. Adapun pengucapannya tanpa disertai pengetahuan terhadap
maknanya, dan tanpa pengamalan terhadap konsekuensinya, maka pengucapan
itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma. Dan di dalam hadits ini ada hal
yang menunjukan terhadap hal ini yaitu sabdanya “Barangsiapa bersaksi”
karena bagaimana bersaksi sedangkan dia tidak mengetahui, sedangkan
sekedar pengucapan sesuatu tidaklah dinamakan kesaksian terhadapnya.[24]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata dalam pembicaraannya tentang hadits Mu’adz pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “maka
hendaklah suatu yang paling pertama engkau ajak mereka kepadanya adalah
kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah”:
وكانوا يقولونها لكنهم جهلوا
معناها الذي دلت عليه من إخلاص العبادة لله وحده وترك عبادة ما سواه، فكان
قولهم لا إله إلا الله لا ينفعهم لجهلهم بمعنى هذه الكلمة، كحال أكثر
المتأخرين من هذه الأمة، فإنهم كانوا يقولونها مع ما كانوا يفعلونه من
الشرك بعبادة الأموات والغائبين والطواغيت والمشاهد، فيأتون بما ينافيها،
فيثبتون ما نفته من الشرك باعتقادهم وقولهم وفعلهم وينفون ما أثبتته من
الإخلاص كذلك…..وقد تقدم أن لا إله إلا الله قد قيدت في الكتاب والسنة
بقيود ثقال منها العلم واليقين والإخلاص والصدق والمحبة والقبول والانقياد
والكفر بما يعبد من دون الله، فإذا اجتمعت هذه القيود لمن قالها نفعته هذه
الكلمة وان لم تجتمع هذه لم تنفعه، والناس متفاوتون في العلم بها والعمل،
فمنهم من ينفعه قولها ومنهم من لا ينفعه كما لا يخفى
”Mereka itu mengucapkannya akan tetapi
mereka jahil terhadap makna yang ditunjukan olehnya berupa pemurnian
ibadah bagi Allah saja dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya,
sehingga pengucapan mereka terhadap laa ilaaha illallaah itu tidaklah
bermanfaat bagi mereka karena kejahilan mereka terhadap makna kalimat
ini, seperti keadaan mayoritas orang-orang masa kini dari umat ini, di
mana sesungguhnya mereka itu mengucapkannya padahal di waktu yang sama
mereka itu melakukan kemusyrikan berupa peribadatan kepada orang-orang
yang sudah mati, orang-orang yang ghaib, para thaghut dan
kuburan-kuburan yng dikeramatkan, sehingga mereka itu mendatangkan suatu
yang membatalkannya, di mana mereka menetapkan apa yang dinafikannya
berupa kemusyrikan dengan keyakinan mereka, ucapan mereka dan perbuatan
mereka, dan menafikan apa yang ditetapkannya berupa pemurnian ibadah….
sedangkan telah lalu bahwa laa ilaaha illallaah itu diberi syarat di
dalam Al Kitab dan Assunnah dengan syarat-syarat yang berat, di
antaranya al ilmu, al yaqin, al ikhlash, kejujuran, kecintaan, al qabul (penerimaan), al inqiyad (ketundukan) dan sikap ingkar terhadap segala yang diibadati selain Allah.
Bila syarat-syarat ini terpenuhi pada diri orang yang mengucapkannya,
maka kalimat ini bermanfaat baginya, namun bila syarat-syarat ini tidak
terkumpul padanya maka tidak berguna baginya, sedangkan manusia itu
bertingkat-tingkat dalam kadar pengetahuan terhadap (makna)nya dan
(dalam) pengamalannya, di mana di antara mereka itu ada orang yang
bermanfaat baginya pengucapan kalimat itu dan di antara mereka ada juga
yang tidak bermanfaat baginya pengucapannya, sebagaimana hal ini tidak
samar lagi.”[25]
G. Kesalahan Di Dalam Memahami Hadits-Hadits Orang Yang Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah
Ini adalah ungkapan-ungkapan yang bercahaya dalam membantah orang yang keliru dalam memahami hadits-hadits wa’ad (janji) bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah
di mana mereka menghukumi keislaman orang yang mengucapkannya walaupun
dia tidak melepaskan diri dari peribadatan selain Allah sebagaimana yang
dilakukan oleh para ‘Ubbadul Qubur dan yang lainnya.
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy berkata:
كثير من الناس يخطئون في فهم
أحاديث ” من قال لا إله إلا الله دخل الجنة ” فيظنون أن التلفظ بها يكفي
وحده للنجاة من النار ودخول الجنة وليس كذلك، فإن من يظن ذلك من المغرورين
لم يفهم ” لا إله إلا الله ” لأنه لم يتدبرها إذ أن حقيقة معناها البراءة
من كل معبود والتعهد بتجريد كل أنواع العبادة لله سبحانه وحده، والقيام به
على الوجه الذي يحبه ويرضاه، فمن لم يقم بحقها من العبادة أو قام ببعض
أنواع العبادة ثم عبد مع الله غيره، من دعاء الأولياء والصالحين والنذر لهم
ونحو ذلك، فإنه يكون هادماً لها، فلا تنفعه دعواه ولا تغني عنه شيئاً. ولو
كان مجرد قولها كافياً، لم يقع من المشركين ما وقع من محاربة الرسول صلى
الله عليه وسلم ومعاداته قال الله تعالى ﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ ﴾، وقال: ﴿ إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ
يَعْلَمُونَ ﴾، فمن لم يوف بها ويعمل بمقتضاها، لا ينفعه التلفظ، وكل من
جعل شيئاً من العبادة لغير الله فهو إما جاهل بمعناها أو كاذب في ادعائه
الإيمان وأولئك هم المغرورون الأخسرون أعمالا ﴿ الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ
صُنْعًا ﴾
“Banyak orang keliru dalam memahami hadits-hadits “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah maka dia pasti masuk surga”
di mana mereka mengira bahwa pengucapannya saja cukup bagi keselamatan
dari api neraka dan untuk masuk surga, padahal tidaklah demikian, karena
sesungguhnya orang yang mengira hal itu dari kalangan orang-orang yang
terpedaya tidaklah memahami Laa ilaaha illallaah karena
dia tidak mentadabburinya, karena sesungguhnya hakikat maknanya adalah
keberlepasan diri dari segala yang diibadati dan berjanji untuk
memurnikan seluruh macam ibadah hanya bagi Allah saja, serta
menegakkannya sesuai cara yang dicintai dan diridlai-Nya. Oleh sebab itu
barangsiapa tidak menegakkan haknya berupa ibadah atau dia menegakkan
sebagian macam ibadah kemudian dia beribadah juga kepada yang lain di
samping dia beribadah kepada Allah, seperti berdoa kepada para wali dan
orang-orang shalih, nadzar bagi mereka serta hal serupa itu, maka
sesungguhnya dia itu menggugurkannya, sehingga klaim keislamannya itu
tidaklah berguna dan tidak bermanfaat sama sekali baginya. Dan
seandainya sekedar pengucapan kalimat itu adalah cukup, tentu tidak akan
terjadi dari kaum musyrikin itu apa yang terjadi berupa sikap memerangi
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memusuhinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah…” (Muhammad: 19) dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “…akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az Zukhruf: 86)”.
Barangsiapa tidak memenuhinya dan tidak mengamalkan konsekuensinya,
maka pelafalannya tidaklah bermanfaat bagi dia. Dan setiap orang yang
memalingkan sesuatu dari ibadah kepada selain Allah, maka dia itu bisa
jadi orang yang jahil terhadap maknanya atau orang yang dusta dalam
klaim imannya, sedangkan mereka itu adalah orang-orang yang terpedaya
lagi yang paling rugi amalannya “Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 104)[26]
Dan beliau rahimahullah berkata:
كثير من أدعياء العلم يجهلون ” لا
إله إلا الله ” فيحكمون على من تلفظ بها بالإسلام ولو كان مجاهراً بالكفر
الصراح، كعبادة القبور والموتى والأوثان واستحلال المحرمات المعلوم تحريمها
من الدين ضرورة والحكم بغير ما أنزل الله، واتخاذ أحبارهم ورهبانهم
أرباباً من دون الله، ولو كانت لهؤلاء الجهلة قلوب يفقهون بها لعلموا أن
معنى ” لا إله إلا الله ” البراءة من عبادة غير الله، وإعطاء العهد
والميثاق بالقيام بأداء حق الله في العبادة، يدل على ذلك قول الله تعالى: ﴿
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
وقد شهد النبي ص للخوارج بكثرة الصلاة والصيام وقراءة القرآن المشحون بلا
إله إلا الله، ومع ذلك فقد حكم عليهم بالكفر وقال ( لو أدركتهم لقتلتهم قتل
عاد ) كما في الصحيحين، ولو كان مجرد التلفظ بلا إله إلا الله كافياً ما
وقعت الحرب والعداء بين الرسول ص وبين المشركين الذين كانوا يفهمون لا إله
إلا الله أكثر مما يفهمها أدعياء العلم في هذا الزمن، ولكن طبع الله على
قلوبهم فهم لا يفقهون
“Banyak orang dari kalangan pengklaim ilmu tidak mengetahui Laa ilaaha illallaah sehingga
mereka menghukumi keislaman orang yang mengucapkannya walaupun dia itu
terang-terang melakukan kekafiran yang nyata, seperti peribadatan kepada
kuburan, orang-orang yang sudah mati dan berhala, penghalalan hal-hal
yang diharamkan yang pengharamannya diketahui secara pasti dari dien ini
(Ma’lum minaddien bidldlarurah), berhukum dengan selain apa yang telah
Allah turunkan, dan menjadikan para ulama dan rahib sebagai arbab
(tuhan-tuhan/pembuat hukum) selain Allah. Seandainya orang-orang jahil
itu memiliki hati yang dengannya mereka memahami tentulah mereka
mengetahui bahwa makna Laa ilaaha illallaah itu adalah
keberlepasan diri dari peribadatan kepada selain Allah serta pemberian
janji dan sumpah untuk menunaikan hak Allah di dalam ibadah. Hal itu
ditunjukan oleh firman Allah ta’ala “Barangsiapa yang kafir terhadap
thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang
teguh kepada ikatan tali yang sangat kokoh yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 256) Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersaksi bahwa Khawarij itu banyak melakukan shalat, shaum dan membaca Al Qur’an yang sarat dengan kalimat Laa ilaaha illallaah,
namun demikian beliau telah menghukumi mereka kafir dan beliau berkata:
“Seandainya saya mendapatkan mereka tentu saya telah membunuhi mereka
seperti pembunuhan yang terjadi terhadap kaum ‘Aad”, sebagaimana di
dalam Ash Shahihain. Dan seandainya sekadar pengucapan Laa ilaaha
illallaah itu cukup tentu tidak akan terjadi peperangan dan permusuhan
antara Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum
musyrikin yang lebih memahami makna Laa ilaaha illallaah daripada para
pengklaim ilmu pada zaman ini, akan tetapi Allah mengunci hati mereka
sehingga mereka tidak memahami.”[30]
(Bersambung…)
[1] Lihat Fathul Majid: 54.
[2] Fathul Majid: 52.
[3] Silahkan Rujuk Taisirul ‘Azizil Hamid: 39-42.
[4] Madarijus Salikin 3/325.
[5] Ditururkan oleh Al Bukhari secara ta’liq dalam Kitab Al Janaiz: Bab barangsiapa akhir ucapannya “Laa Ilaaha Illallaah” 3/109.
[6] HR Muslim dalam Kitabul Iman 26.
[7] HR Muslim dalam Kitabul Iman 27.
[8] HR Muslim dalam Kitabul Iman 31.
[9]
Tafsir Ibnu Katsir 2/306, dan hadits ini dihasankan oleh An Nawawi dan
didlaifkan oleh Ibnu Rajab dan yang lainnya, namun tidak diragukan
prihal keshahihan maknanya.
[10] Al Bukhari dalam Kitabul Ilmi 128.
[11] At Tibyan Fi Aqsamil Qur’an hal 43.
[12] Al Bukhari dalam Kitabul Ilmi 99.
[13] Al Bukhari, Al Iman 16 dan Muslim, Al Iman 43.
[14] Ma’arijul Qabul 1/383, silahkan rujuk Al Wala Wal Bara hal 28 sampai 38 dan Ma’arijul Qabul 1/377 sampai 383.
[15] Fathul Bari dalam 3 jilid 1/287.
[16] Syarah Shahih Muslim, milik An Nawawi 1/219.
[17] Majmu Al Fatawa 7/325.
[18] Penterjemah berkata: Syaikh Abu Az Zubair Asy Syinqithiy
berkata menjelaskan nukilan di atas ini: Lihatlah nukilan ini, di mana
kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum adanya khabar
maupun setelah adanya khabar, sedangkan yang dimaksud adalah kejahilan
terhadap tauhid-Nya. Adapun dalil terhadap hal itu adalah ucapannya (Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy): “Karena sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka”. Sedangkan sudah diketahui secara pasti bahwa pengakuan
di sini adalah pengakuan terhadap tauhid ilahiyyah bukan tauhid
rububiyyah saja yang tidak membedakan antara kaum muwahhidin dengan kaum
musyrikin. Jadi kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum
khabar (hujjah) maupun setelah khabar…” (Al Idlah Wat Tabyin Fi Anna Fa’ilasy Syirki Jahlan Laisa Minal Muslimin: 99-100)
Saya berkata: Dalil yang menunjukan bahwa pengakuan terhadap Allah di atas adalah pengakuan terhadap tauhid uluhiyyah bukan tauhid rububiyyah adalah keberadaan para sahabat sebelum mereka menganut islam telah mengakui rububiyyah Allah, sebagaimana firman-Nya:
Saya berkata: Dalil yang menunjukan bahwa pengakuan terhadap Allah di atas adalah pengakuan terhadap tauhid uluhiyyah bukan tauhid rububiyyah adalah keberadaan para sahabat sebelum mereka menganut islam telah mengakui rububiyyah Allah, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ أَمْ مَنْ
يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الأمْرَ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari
langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)….(Pent)
[19] Badaiush Shanai Wa Tartibusy Syarai 7/132.
[20] Assunnah milik Abdullah Ibnu Ahmad 1/347-348.
[21] Assunnah milikAl Bukhari, Kitabul Anbiya 3435, dan Muslim, Kitabul Iman 28,46.
[22] Mili Fathul Majid 51 tahqiq Ahmad Hamid Al Faqiy, ta’liq Ibnu Baz.
[23] Ah Fathul Majid 54.
[24] Taisirul ‘Azizil Hamid hal 72.
[25] Hamid h Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin hal 48.
[26] – Catatan kaki Fathul Majid: 72
[30] Catatan kaki Fathul Majid 258.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar