PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 12 Juli 2012

Mawani Takfir (lanjutan1)

4. Tidak Boleh Taqlid Di Dalam Tauhid.


(1)   Definisi Taqlid Dan Larangannya.
Asy Syaukani rahimahullah berkata tentang taqlid: ”Taqlid adalah mengamalkan pendapat orang lain tanpa hujjah.”[1] Dan berkata juga setelah menuturkan sebagian ucapan para ulama tentang hal itu: “Dan dengan ini diketahui bahwa larangan dari taqlid itu bila bukan ijma, maka ia itu adalah pendapat jumhur ulama.”[2]
(2)   Taqlid Dalam Tauhid.
Asy Syaukani rahimahullah berkata di awal kitabnya Assailul Jarrar: Sesungguhnya ucapannya “al far’iyyah/hal yang bersifat furu’ (cabang)” adalah mengeluarkan al ashliyyah yaitu perasalahan ushuluddien dan ushulul fiqh, dan ini adalah pendapat jumhur apalagi dalam ushuluddien. Bahkan Al Ustadz Abu Ishaq telah menghikayatkan dala Syarh At Tartib: “Bahwa larangan dari taqlid di dalamnya adalah ijma para ulama dari kalangan ahlul haq dan kelompok lainnya.” Abul Hasan Ibnul Qaththan berkata: “Kami tidak mengetahui penyelisihan prihal larangan dari taqlid di dalam tauhid,” dan hal ini dihikayatkan oleh Ibnu Assam’aniy dari semua ahli kalam dan sejumlah fuqaha. Imam Al Haramain berkata dalam Asy Syamail: “Tidak berpendapat bolehnya taqlid di dalam ushul kecuali hanabilah.” Al Isfirayiniy berkata: “Tidak menyelisihi dalam hal ini kecuali Ahlu Adh Dhahir.” Dan Ibnul Hajib tidak menghikayatkan penyelisihan dalam hal itu kecuali dari Al ‘Anbariy, dan menghikayatkannya dalam Al Mahshul dari banyak para fuqaha. Jumhur berdalil atas larangan taqlid dalam hal itu dengan pernyataan bahwa umat telah ijma atas wajibnya ma’rifah (mengetahui) Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan bahwa ma’rifah itu tidak terealisasi dengan taqlid, karena sesungguhnya orang yang taqlid itu tidak memiliki kecuali mengambil pendapat orang yang dia taqlid kepadanya, sedangkan dia tidak mengetahui apakah dia itu benar atau salah.”[3]
Al Qurthubiy rahimahullah berkata dalam tafsirnya pada surat Al A’raf di ayat Mitsaq: “Dan tidak ada udzur bagi muqallid dalam tauhid.”[4]
(3)   Nasib Akhir Orang Yang Taqlid Dalam Aqidah.
Al Bukhari telah meriwayatkan dari hadits Qatadah dari Anas bahwa ia menyampaikan kepada mereka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إن العبد إذا وضع في قبره وتولى عنه أصحابه – وإنه ليسمع قرع نعالهم-أتاه ملكان فيقعدانه فيقولان ما كنت تقول في هذا الرجل؟ لمحمد صلى الله عليه وسلم ؟ فأما المؤمن فيقول: أشهد أنه عبد الله ورسوله فيقال له، انظر إلى مقعدك من النار قد أبدلك الله به مقعداً من الجنة، فيراهما جميعاً ” قال قتادة: وذكر لنا أنه يُفسحُ له في قبره، ثم رجع إلى حديث أنس قال: وأما المنافق والكافر، فيقال له ما كنت تقول في هذا الرجل؟ فيقول لا أدري كنت أقول ما يقول الناس، فيقال: لا دريت ولا تليت ويضرب بمطارق من حديد ضربة، فيصيح صيحة يسمعها من يليه غير الثقلين )
”Sesungguhnya seorang hamba bila diletakkan di dalam kuburannya dan kawan-kawannya telah meninggalkannya – sesungguhnya dia itu benar-benar mendengar suara derap sandal mereka- maka dia didatangi oleh dua malaikat, terus keduanya mendudukan dia dan berkata kepadanya: Apa yang dahulu kamu katakan tentang pria ini? kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Adapun orang mukmin maka dia berkata: Saya bersaksi bahwa ia adalah hamba dan utusan Allah,” maka dikatakan kepadanya: Lihatlah tempat dudukmu dari neraka sungguh Allah telah menggantikannya bagimu dengan tempat duduk dari surga,” maka diapun melihat kedua tempat duduk itu semuanya.” Qatadah berkata: Dan dituturkan kepada kami bahwa dilapangkan baginya di dalam kuburnya, kemudian ia (Qatadah) kembali kepada hadits Anas, berkata: Dan adapun orang munafiq dan orang kafir, maka dikatakan kepadanya: Apa yang dahulu kamu katakan tentang pria ini? Maka dia berkata: Saya tidak mengetahui, dahulu saya mengatakan apa yang dikatakan manusia,” maka dikatakan kepadanya: Kamu tidak mengetahui dan kamu tidak membaca,” dan diapun dipukul satu pukulan dengan pukulan besi, sehingga dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh makhluk yang ada di sekitarnya selain manusia dan jin.”[5]
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata: “dan di dalam hadits ini ada celaan terhadap taqlid di dalam i’tiqadat (keyakinan-keyakinan) karena pemberian sangsi kepada orang yang mengucapkan: Saya dahulu mendengar manusia mengucapkan sesuatu, maka sayapun mengucapkannya….”[6]
(4)   Taqlid Adalah Sebab Bagi Kesesatan.
Bukankah penyakit banyak makhluk ini adalah taqlid? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ … مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ * قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءنَا لَهَا عَابِدِينَ  ﴾
“…….”Patung-patung Apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”. (Al Anbiya: 52-53)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِم مُّهْتَدُونَ ﴾
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Az Zukhruf: 22)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴾
“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al Ahzab: 67)
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan السادة dan الكبراء adalah para pemimpin dan para komandan yang mana bawahan melaksanakan perintah mereka di dunia dan mengikuti mereka. Di dalam hal ini terdapat penjeraan yang dasyat dari taqlid, berapa banyak di dalam Al Kitabul Aziz terdapat pengingatan terhadap hal ini, penghati-hatian darinya dan penjauhan darinya, akan tetapi hal itu bagi orang yang memahami makna firman Allah dan mengikutinya serta bersifat jujur terhadap dirinya sendiri, tidak bagi orang yang berwatak seperti hewan ternak dalam keburukan dalam memahami, kedunguan yang sangat dan bersikap panatik buta.”[7]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ ﴾
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.” (Al Maidah: 104)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “yaitu: Bila mereka diajak kepada dienullah dan syari’at-Nya serta apa yang diwajibkan-Nya dan diajak untuk meninggalkan apa yang diharamkan-Nya, maka mereka berkata: Cukup bagi kami apa yang kami dapatkan dari apa yang dianut oleh nenek moyang kami berupa ajaran dan tuntunan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman “Dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” yaitu mereka itu tidak memahami kebenaran, tidak mengetahuinya dan tidak mendapatkan petunjuk kepadanya, maka bagaimana mereka mengikutinya padahal keadaannya seperti ini? Tidak mengikuti mereka kecuali orang yang lebih bodoh dari mereka dan lebih sesat jalannya.”[8]
Dan para ulama muhaqqiqun telah bersepakat untuk berdalil dengan ayat-ayat (semacam) ini – walaupun ia itu datang berkenaan dengan orang-orang musyrik (asli) – dan menuturkannya pada orang-orang yang taqlid dengan bentuk taqlid tercela macam apa saja, maka bagaimana gerangan dengan taqlid di dalam syirik akbar dan kekafiran?
(5)   Taqlid Adalah Sebab Bagi Pendustaan Dan Pembangkangan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ بَلْ كَذَّبُواْ بِمَا لَمْ يُحِيطُواْ بِعِلْمِهِ وَلَمَّا يَأْتِهِمْ تَأْوِيلُهُ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ ﴾
“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.” (Yunus: 39)
Asy Syaukani berkata: “Dia pindah menjelaskan bahwa mereka itu bergegas untuk mendustakan Al Qur’an sebelum mentadabburinya dan sebelum memahami makna-maknanya dan apa yang dikandungknya. Begitulah tindakan orang yang membatu di dalam taqlid dan tidak peduli dengan apa yang dibawa oleh orang yang mengajak kepada al haq dan berpegang teguh dengan prinsif obyektifitas, akan tetapi dia menolaknya dengan sekedar bahwa hal itu tidak sejalan dengan seleranya dan tidak sesuai dengan keinginannya sebelum dia mengenal maknanya dan mengetahui kandungannya, sebagaimana yang bisa engkau lihat dan engkau ketahui secara nyata. Walhasil bahwa orang yang mendustakkan hujjah yang terang dan bukti yang nyata sebelum dia mengetahuinya secara jelas, maka dia itu tidak berpegang kepada sesuatupun di dalam pendustaan ini kecuali sekedar kejahilan dia terhadap apa yang didustakkannya itu, sehingga dengan pendustaan semacam ini berarti dia telah mengumumkan kepada khalayak dengan suara lantang prihal kebodohan dia, dan mencatat dengan catatan yang jelas prihal kebodohan dia dari bisa memahami hujjah, sedangkan hujjah dan orang yang membawanya itu sama sekali tidak merasa rugi sedikitpun dengan pendustaan dia itu.
Musuh tidak akan mencapai dari orang jahil
Apa yang dicapai orang jahil dari dirinya sendiri[9]
(6)   Orang Yang Mencari Kebenaran Pasti Mendapatkan Apa Yang Dicarinya.
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Bila telah terbukti jelas di hadapanmu bahwa orang awam itu adalah bertanya kepada ahli ilmu dan orang yang kurang bertanya kepada orang yang sempurna, maka dia wajib bertanya kepada ahli ilmu yang terkenal dengan keshalihan dan kewara’annya tentang orang yang alim terhadap Al Kitab dan Assunnah lagi memahami apa yang ada di dalam keduanya lagi menguasai ilmu-ilmu alat yang dia perlukan di dalam memahami keduanya, agar mereka mengarahkannya kepada orang alim itu, terus dia bertanya kepadanya tentang masalahnya seraya meminta darinya agar menyebutkan kepadanya dalil dari Kitabullah Subhanahu Wa Ta’ala atau dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia-pun mengambil al haq dari sumbernya dan mengambil faidah hukum dari tempatnya serta ia selamat dari pendapat orang yang mana orang yang berpegang kepadanya tidak aman dari keterjatuhan dalam kekeliruan yang menyelisihi syari’at lagi bersebrangan dengan al haq. Barangsiapa meniti manhaj ini dan menelusuri jalan ini maka dia pasti mendapatkan apa yang dicarinya dan tidak akan kehilangan orang yang menunjukannya kepada al haq.”[10]
Al ‘Allamah Abu Bithin mufti Diyar Najdiyyah berkata rahimahullah: “dan termasuk yang mengherankan adalah bahwa sebagian orang bila mendengar orang yang berbicara prihal makna kalimat (laa ilaaha illallaah) ini yang berisi penafian dan itsbat (penetapan), maka dia mencelanya dan malah berkata: Kami tidak diperintahkan untuk menilai manusia dan menjelaskan status mereka. Maka dikatakan kepadanya: Justeru kamu diwajibkan untuk memahami tauhid yang merupakan tujuan Allah dari menciptakan jin dan manusia dan yang mana semua rasul mengajak kepadanya, dan diwajibkan juga mengetahui lawannya yaitu  syirik yang merupakan dosa yang tidak diampuni dan tidak ada udzur bagi mukallaf dalam kebodohan terhadapnya serta tidak boleh taqlid di dalamnya, karena ia adalah ashlul ushul (pokok dari segala pokok). Barangsiapa tidak mengenal hal ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran, maka dia itu binasa, apalagi hal ma’ruf terbesar yaitu tauhid dan hal mungkar terbesar yaitu syirik.”[11]

5. Kufur Kepada Thaghut Dan Iman Kepada Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al Baqarah: 256)
            Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
 ( أي من خلع الأنداد والأوثان وما يدعو إليه الشيطان من عبادة كل ما يعبد من دون الله، ووحد الله فعبده وحده وشهد ألا إله إلا الله ﴿ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا ﴾ أي فقد ثبت في أمره واستقام على الطريقة المثلى والصراط المستقيم )
“Yaitu barangsiapa berlepas diri dari andad (tandingan-tandingan yang diibadati), autsan (berhala) dan apa yang diajakkan oleh syaithan berupa peribadatan kepada selain Allah, dan dia mentauhidkan Allah, di mana dia hanya beribadah kepada-Nya dan dia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah “maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” yaitu dia itu telah tegap di atas perintah-Nya dan istiqamah di atas jalan yang benar dan ash shirathil mustaqim.”[12]
1. Definisi Thaghut
( والطاغوت مشتق من الطغيان وهو مجاوزة الحد، وقد فسرهُ السلف ببعض أفراده، قال عمرُ بن الخطاب رضي الله عنه: الطاغوت الشيطان وقال جابر رضي الله عنه الطواغيت كهانُ ُ كانت تنزل عليهم الشياطين رواهما ابن أبي حاتم وقال مجاهد: الطاغوت الشيطان في صورة الإنسان يتحاكمون إليه وهو صاحب أمرهم، وقال مالك: الطاغوت كل ما عبد من دون الله )
“Thaghut itu diambil dari kata thughyan yaitu melampaui batas. Salaf telah menafsirkan thaghut dengan sebagian individu-individunya, Umar Ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhu berkata: Thaghut adalah syaithan, Jabir radliyallahu ‘anhu berkata: Thawaghit itu adalah dukun-dukun yang mana syaithan-syaithan turun mendatangi mereka,” dua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. Mujahid berkata: Thaghut adalah syaithan dalam wujud orang yang mana manusia merujuk hukum kepadanya sedangkan dia itu adalah pemimpin mereka. Malik berkata: Thaghut adalah setiap yang diibadati selain Allah.”[13]
Ucapan Umar ini dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya bahwa ia adalah ucapan Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Mujahid, ‘Atha, Ikrimah, Sa’id Ibnu Jubair, Asy Sya’biy, Al Hasan, Adl Dlahhak dan Assuddiy, dan Ibnu Katsir berkata: Sesungguhnya ia adalah kuat sekali, karena ia mencakup segala keburukan yang dianut oleh orang-orang jahiliyyah berupa peribadatan kepada berhala, bertahakum kepadanya dan meminta pertolongan dengannya.”[14]
Allah ta’ala berfirman:
﴿ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا ﴾
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An Nisa: 60)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menuturkan sebagian makna-makna ayat itu:
 ( والآية أعم من ذلك كلهِ، فإنها ذامة لمن عدل عن الكتاب والسنة وتحاكم إلى ما سواهما من الباطل، وهو المراد بالطاغوت هنا… )
“Ayat ini lebih umum dari itu semuanya, karena sesungguhnya ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Kitab dan Assunnah dan malah bertahakum kepada selain keduanya yang merupakan kebatilan, dan ialah yang dimaksud dengan thaghut di sini….”[15]
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ الَّذِينَ آمَنُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُواْ أَوْلِيَاء الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا ﴾
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (An Nisa: 76).
            Ath Thabari berkata:
 ( طاعة الشيطان وطريقه ومنهاجه الذي شرع لأوليائه من أهل الكفر بالله… )
“(yaitu) taat kepada syaitan, jalannya dan manhajnya yang dia syari’atkan bagi wali-walinya dari kalangan orang-orang yang kafir kepada Allah….”[16]
2. Macam-Macam Thaghut
Walaupun para thaghut itu banyak, akan tetapi ia kembali kepada tiga yang telah disebutkan oleh Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman, beliau berkata:
( الطاغوت ثلاثة أنواع طاغوت حكم وطاغوت عبادة وطاغوت طاعة ومتابعة )
“Thaghut itu ada tiga macam, thaghut hukum, thaghut ibadah, serta thaghut tha’at dan mutaba’ah.”[17]
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
 ( الطاغوت: كل ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع، فطاغوت كل قوم من يتحاكمون إليه غير الله ورسوله أو يعبدونه من دون الله أو يتبعونه على غير بصيرة من الله، أو يطيعونه فيما لا يعلمون أنه طاعة لله ، فهذه طواغيت العالم، إذا تأملتها وتأملت أحوال الناس معها، رأيت أكثرهم عدلوا عن عبادة الله إلى عبادة الطاغوت وعن التحاكم إلى الله والرسول إلى التحاكم إلى الطاغوت وعن طاعته ومتابعة رسوله ص إلى طاعة الطاغوت ومتابعته )
Thaghut adalah segala yang dilampaui batasnya oleh si hamba, baik itu yang diibadati ataupun yang diikuti ataupun yang ditaati, maka thaghut setiap kaum adalah orang yang mana mereka merujuk hukum kepadanya selain Allah dan Rasul-Nya, atau yang mereka ibadati selain Allah, atau yang mereka ikuti di atas selain petunjuk dari Allah, atau yang mereka taati di dalam apa yang mereka tidak ketahui bahwa itu adalah ketaatan kepada Allah; ini adalah thaghut-thaghut di dunia, jika memperhatikannya dan memperhatikan keadaan manusia bersamanya tentu engkau melihat mayoritas mereka telah berpaling dari peribadatan kepada Allah (ibadatullah) terhadap peribadatan kepada thaghut (ibadatuththaghut), dan dari ketaatan kepada-Nya serta ittiba kepada Rasul-Nya terhadap ketaatan dan ittiba kepada thaghut.”[18]
3. Keterjagaan darah Dan Harta Adalah Dengan Peribadatan Hanya Kepada Allah dan Kufur Terhadap Segala yang Diibadati Selain Allah
Muslim telah meriwayatkan (23) dari hadits Abu Malik dari ayahnya, berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
 ( من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله )
”Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia ingkar terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka terjagalah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah kepada Allah.”[19]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang Laa ilaaha illallaah:
 ( … ومعلوم أن عصمة المال والدم على الإطلاق لم تحصل إلا بها وبالقيام بحقها، وكذلك النجاة من العذاب على الإطلاق لم تحصل إلا بها وبحقها)
”…..Dan sudah maklum bahwa keterjagaan harta dan darah secara total itu tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan menegakkan haknya, dan begitu juga keselamatan dari adzab secara total tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan menegakkan haknya.”[20]
4. Orang Yang Bukan Muwahhid Maka Pasti Musyrik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤْمِنٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴾
“Dia-lah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (At Taghabun: 2)
Al Baghawi rahimahullah berkata:
(… وجملة القول فيه، أن الله خلق الكافر وكفره فعلُ ُ له وكسب، وخلق المؤمن وإيمانه فعلُ ُ له وكسب، فلكل واحدٍ من الفريقين كسب واختيار، وكسبه واختياره بتقدير الله ومشيئته، فالمؤمن بعد خلق الله إياه يختار الإيمان، لأن الله تعالى أراد ذلك منه، وقدره عليه، وعلمه منه، والكافر بعد خلق الله تعلى إياه يختار الكفر، لأن الله تعلى أراد ذلك منه وقدره عليه وعلمه منه، وهذا طريق أهل السنة والجماعة من سلكه أصاب الحق وسَلِمَ من الجبر والقدَر)
(…..Dan ringkasnya, bahwa Allah telah menciptakan orang kafir sedangkan kekafirannya adalah perbuatan dan usahanya, dan Dia telah menciptakan orang mukmin sedangkan keimanannya adalah perbuatan dan usahanya, sehingga bagi masing-masing dari kedua pihak ini memiliki usaha dan pilihan, sedangkan usaha dan pilihannya itu adalah terjadi dengan taqdir dan masyi-ah (kehendak) Allah. Orang mukmin setelah Allah menciptakannya dia itu memilih iman, karena Allah ta’ala menginginkan hal itu darinya, mentaqdirkan dia di atasnya dan mengetahui hal itu darinya, sedangkan orang kafir setelah Allah menciptakannya dia itu memilih kekafiran, karena Allah ta’ala menginginkan hal itu darinya, mentaqdirkan dia di atasnya dan mengetahui hal itu darinya. Ini adalah jalan Ahlussunnah wal Jama’ah, barangsiapa meniti jalan ini maka ia mencapai kepada kebenaran dan selamat dari paham Jabriyyah dan Qadariyyah).[21]
 Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ ﴾
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri,” (Al Baqarah: 130)
Al Baghawi rahimahullah berkata:
( قال ابن عباس: من خسر نفسه، وقال الكلبي: ضل من قبل نفسه، وقال أبو عبيدة: أهلك نفسه، وقال ابن كيسان والزجاج: معناه جهل نفسه، والسفاهة الجهل وضعف الرأي وكل سفيه جاهل، وذلك أن من عبد غير الله فقد جهِلَ نفسه، لأنه لم يعرف أن الله خَلَقَهَا )
(Ibnu ‘Abbas berkata: Barangsiapa merugikan dirinya sendiri,” Al Kalbiy berkata: Dia tersesat akibat dirinya sendiri,” Abu Ubaidah berkata: Dia membinasakan dirinya,” Ibnu Kaisan dan Az Zajjaj berkata: Maknanya: membodohi dirinya sendiri, Safahah itu adalah kebodohan dan lemahnya pikiran sehingga setiap orang safih adalah jahil, itu dikarenakan bahwa orang yang beribadah kepada selain Allah itu maka dia itu jahil terhadap dirinya sendiri dikarenakan dia itu tidak mengetahui bahwa Allah telah menciptaknnya).[22]
Ibnul Qayyim berkata tentang ayat itu:
( فقسم سبحانه الخلائق قسمين سفيهاً لا أسفه منه ورشيداً، فالسفيه من رغب عن ملته إلى الشرك، والرشيد من تبرأ من الشرك قولاً وعملاً وحالاً فكان قولُه توحيداً وعمله توحيداً وحاله توحيداً ودعوته إلى التوحيد )
(Allah subhanahu telah membagi makhluk menjadi dua bagian, yaitu safih (orang bodoh) yang tidak ada yang lebih bodoh darinya dan rasyid (orang yang cerdas). Orang safih adalah orang yang membenci millahnya dan malah beralih kepada syirik, sedangkan orang rasyid adalah orang yang berlepas diri dari syirik baik berbentuk ucapan, amalan dan keadaan, sehingga ucapannya adalah tauhid, amalannya adalah tauhid, keadaannya adalah tauhid dan dakwahnya juga kepada tauhid).[23]
Dan berkata juga rahimahullah:
( فالمعرض عن التوحيد مشرك شاء أم أبى والمعرض عن السنة مبتدع ضال شاء أم أبى )
(Orang yang berpaling dari tauhid itu adalah orang musyrik, baik dia mau ataupun tidak, sedangkan orang yang berpaling dari sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, baik dia mau ataupun tidak).[24]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
( من لم يعبد الله وحده فلا بد أن يكون عابداً لغيره، يعبد غيره فيكون مشركاً، فليس في بني آدم قسم ثالث، بل إما موحدٌ وإما مشرك، أو من خلط هذا بهذا كالمبدلين من أهل الملل، النصارى ومن أشبههم من الضلال المنتسبين إلى الإسلام )
(Orang yang tidak beribadah kepada Allah saja, maka dia itu mesti beribadah kepada selain-Nya, dia beribadah kepada selain-Nya sehingga dia menjadi orang musyrik. Di mana di tengah Bani Adam ini tidak ada orang macam ketiga, namun yang ada hanya muwahhid dan orang musyrik, atau orang yang mencampurkan ini  dan itu seperti orang-orang yang merubah (ajaran) dari kalangan pemeluk agama-agama, yaitu orang-orang nashrani dan orang-orang yang menyerupai mereka dari kalangan orang-orang sesat yang mengaku muslim).[25]
Dan beliau rahimahullah berkata:
(… فكل من لم يعبد الله مخلصاً له الدين فلا بد أن يكون مشركاً عابداً لغير الله وهو في الحقيقة عابد للشيطان )
(….Sehingga setiap orang yang tidak beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepada-Nya, maka dia itu sudah pasti menjadi orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah, sedangkan pada hakikatnya dia itu adalah beribadah kepada syaithan).[26]
(Bersambung…)


[1] Irsyadul Fuhul 441.
[2] Irsyadul Fuhul 445.
[3] Assailul Jarrar, cetakan pertama dalam  satu jilid hal 12.
[4] Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 7/319.
[5] Shahih Al Bukhari, Kitabul Janaiz 1374.
[6] Fathul Bari (1/806) cetakan 3 jilid.
[7] Fahul Qadir 4/441.
[8] Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim 2/108-109.
[9] Fathul Qadir dalam satu jilid cetakan pertama hal 765.
[10] Irsyadul Fuhul hal 451.
[11] ‘Aqidatul Muwahhidin, Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidien: 11.
[12] Tafsir Ibnu Katsir 1/311.
[13] Taisirul ‘Azizil Hamid hal: 50.
[14] Tafsir Ibnu Katsir 1/311
[15] Tafsir Ibnu Katsir 1/519.
[16] Tafsir Ath Thabari 5/169.
[17] Ad Durar Assaniyyah 8/272.
[18] I’lamul Muwaqqi’in 1/50.
[19] Muslim 23.
[20] At Tibyan Fi Aqsamil Qur’an hal: 43.
[21] Ma’alim At Tanzil hal 1319.
[22] Ma’alim At Tanzil  cetakan pertama dalam  satu jilid hal 66.
[23] Madarijus Salikin 3/466.
[24] Ighatsatul Luhfan 1/214.
[25] Majmu Al Fatawa 14/282.
[26] Majmu Al Fatawa 14/285..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar