4. Tidak Boleh Taqlid Di Dalam Tauhid.
(1) Definisi Taqlid Dan Larangannya.
Asy Syaukani rahimahullah berkata tentang taqlid: ”Taqlid adalah mengamalkan pendapat orang lain tanpa hujjah.”[1]
Dan berkata juga setelah menuturkan sebagian ucapan para ulama tentang
hal itu: “Dan dengan ini diketahui bahwa larangan dari taqlid itu bila
bukan ijma, maka ia itu adalah pendapat jumhur ulama.”[2]
(2) Taqlid Dalam Tauhid.
Asy Syaukani rahimahullah berkata di awal kitabnya Assailul Jarrar: Sesungguhnya ucapannya “al far’iyyah/hal
yang bersifat furu’ (cabang)” adalah mengeluarkan al ashliyyah yaitu
perasalahan ushuluddien dan ushulul fiqh, dan ini adalah pendapat jumhur
apalagi dalam ushuluddien. Bahkan Al Ustadz Abu Ishaq telah
menghikayatkan dala Syarh At Tartib: “Bahwa larangan dari taqlid di
dalamnya adalah ijma para ulama dari kalangan ahlul haq dan kelompok
lainnya.” Abul Hasan Ibnul Qaththan berkata: “Kami tidak mengetahui
penyelisihan prihal larangan dari taqlid di dalam tauhid,” dan hal ini
dihikayatkan oleh Ibnu Assam’aniy dari semua ahli kalam dan sejumlah
fuqaha. Imam Al Haramain berkata dalam Asy Syamail: “Tidak berpendapat
bolehnya taqlid di dalam ushul kecuali hanabilah.” Al Isfirayiniy
berkata: “Tidak menyelisihi dalam hal ini kecuali Ahlu Adh Dhahir.” Dan
Ibnul Hajib tidak menghikayatkan penyelisihan dalam hal itu kecuali dari
Al ‘Anbariy, dan menghikayatkannya dalam Al Mahshul dari banyak para
fuqaha. Jumhur berdalil atas larangan taqlid dalam hal itu dengan
pernyataan bahwa umat telah ijma atas wajibnya ma’rifah (mengetahui)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan bahwa ma’rifah itu tidak terealisasi
dengan taqlid, karena sesungguhnya orang yang taqlid itu tidak memiliki
kecuali mengambil pendapat orang yang dia taqlid kepadanya, sedangkan
dia tidak mengetahui apakah dia itu benar atau salah.”[3]
Al Qurthubiy rahimahullah berkata dalam tafsirnya pada surat Al A’raf di ayat Mitsaq: “Dan tidak ada udzur bagi muqallid dalam tauhid.”[4]
(3) Nasib Akhir Orang Yang Taqlid Dalam Aqidah.
Al Bukhari telah meriwayatkan dari hadits
Qatadah dari Anas bahwa ia menyampaikan kepada mereka bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إن العبد إذا وضع في قبره وتولى
عنه أصحابه – وإنه ليسمع قرع نعالهم-أتاه ملكان فيقعدانه فيقولان ما كنت
تقول في هذا الرجل؟ لمحمد صلى الله عليه وسلم ؟ فأما المؤمن فيقول: أشهد
أنه عبد الله ورسوله فيقال له، انظر إلى مقعدك من النار قد أبدلك الله به
مقعداً من الجنة، فيراهما جميعاً ” قال قتادة: وذكر لنا أنه يُفسحُ له في
قبره، ثم رجع إلى حديث أنس قال: وأما المنافق والكافر، فيقال له ما كنت
تقول في هذا الرجل؟ فيقول لا أدري كنت أقول ما يقول الناس، فيقال: لا دريت
ولا تليت ويضرب بمطارق من حديد ضربة، فيصيح صيحة يسمعها من يليه غير
الثقلين )
”Sesungguhnya seorang hamba bila
diletakkan di dalam kuburannya dan kawan-kawannya telah meninggalkannya –
sesungguhnya dia itu benar-benar mendengar suara derap sandal mereka-
maka dia didatangi oleh dua malaikat, terus keduanya mendudukan dia dan
berkata kepadanya: Apa yang dahulu kamu katakan tentang pria ini? kepada
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Adapun orang mukmin maka dia
berkata: Saya bersaksi bahwa ia adalah hamba dan utusan Allah,” maka
dikatakan kepadanya: Lihatlah tempat dudukmu dari neraka sungguh Allah
telah menggantikannya bagimu dengan tempat duduk dari surga,” maka
diapun melihat kedua tempat duduk itu semuanya.” Qatadah berkata: Dan
dituturkan kepada kami bahwa dilapangkan baginya di dalam kuburnya,
kemudian ia (Qatadah) kembali kepada hadits Anas, berkata: Dan adapun
orang munafiq dan orang kafir, maka dikatakan kepadanya: Apa yang dahulu
kamu katakan tentang pria ini? Maka dia berkata: Saya tidak mengetahui,
dahulu saya mengatakan apa yang dikatakan manusia,” maka dikatakan
kepadanya: Kamu tidak mengetahui dan kamu tidak membaca,” dan diapun
dipukul satu pukulan dengan pukulan besi, sehingga dia berteriak dengan
teriakan yang didengar oleh makhluk yang ada di sekitarnya selain
manusia dan jin.”[5]
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata: “dan di
dalam hadits ini ada celaan terhadap taqlid di dalam i’tiqadat
(keyakinan-keyakinan) karena pemberian sangsi kepada orang yang
mengucapkan: Saya dahulu mendengar manusia mengucapkan sesuatu, maka
sayapun mengucapkannya….”[6]
(4) Taqlid Adalah Sebab Bagi Kesesatan.
Bukankah penyakit banyak makhluk ini adalah taqlid? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ … مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ * قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءنَا لَهَا عَابِدِينَ ﴾
“…….”Patung-patung Apakah ini yang
kamu tekun beribadat kepadanya?” Mereka menjawab: “Kami mendapati
bapak-bapak kami menyembahnya”. (Al Anbiya: 52-53)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِم مُّهْتَدُونَ ﴾
“Sesungguhnya kami mendapati
bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang
yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Az Zukhruf: 22)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴾
“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar
kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al Ahzab: 67)
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Yang
dimaksud dengan السادة dan الكبراء adalah para pemimpin dan para
komandan yang mana bawahan melaksanakan perintah mereka di dunia dan
mengikuti mereka. Di dalam hal ini terdapat penjeraan yang dasyat dari
taqlid, berapa banyak di dalam Al Kitabul Aziz terdapat pengingatan
terhadap hal ini, penghati-hatian darinya dan penjauhan darinya, akan
tetapi hal itu bagi orang yang memahami makna firman Allah dan
mengikutinya serta bersifat jujur terhadap dirinya sendiri, tidak bagi
orang yang berwatak seperti hewan ternak dalam keburukan dalam memahami,
kedunguan yang sangat dan bersikap panatik buta.”[7]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ
حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ
يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ ﴾
“Apabila dikatakan kepada mereka:
“Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”.
mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak
kami mengerjakannya”. Dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang
mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan
tidak (pula) mendapat petunjuk?.” (Al Maidah: 104)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “yaitu:
Bila mereka diajak kepada dienullah dan syari’at-Nya serta apa yang
diwajibkan-Nya dan diajak untuk meninggalkan apa yang diharamkan-Nya,
maka mereka berkata: Cukup bagi kami apa yang kami dapatkan dari apa
yang dianut oleh nenek moyang kami berupa ajaran dan tuntunan. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman “Dan Apakah mereka itu akan mengikuti
nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” yaitu mereka itu tidak
memahami kebenaran, tidak mengetahuinya dan tidak mendapatkan petunjuk
kepadanya, maka bagaimana mereka mengikutinya padahal keadaannya seperti
ini? Tidak mengikuti mereka kecuali orang yang lebih bodoh dari mereka
dan lebih sesat jalannya.”[8]
Dan para ulama muhaqqiqun telah
bersepakat untuk berdalil dengan ayat-ayat (semacam) ini – walaupun ia
itu datang berkenaan dengan orang-orang musyrik (asli) – dan
menuturkannya pada orang-orang yang taqlid dengan bentuk taqlid tercela
macam apa saja, maka bagaimana gerangan dengan taqlid di dalam syirik
akbar dan kekafiran?
(5) Taqlid Adalah Sebab Bagi Pendustaan Dan Pembangkangan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ بَلْ كَذَّبُواْ بِمَا لَمْ
يُحِيطُواْ بِعِلْمِهِ وَلَمَّا يَأْتِهِمْ تَأْوِيلُهُ كَذَلِكَ كَذَّبَ
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ ﴾
“Bahkan yang sebenarnya, mereka
mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna Padahal
belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang
sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana
akibat orang-orang yang zalim itu.” (Yunus: 39)
Asy Syaukani berkata: “Dia pindah
menjelaskan bahwa mereka itu bergegas untuk mendustakan Al Qur’an
sebelum mentadabburinya dan sebelum memahami makna-maknanya dan apa yang
dikandungknya. Begitulah tindakan orang yang membatu di dalam taqlid
dan tidak peduli dengan apa yang dibawa oleh orang yang mengajak kepada
al haq dan berpegang teguh dengan prinsif obyektifitas, akan tetapi dia
menolaknya dengan sekedar bahwa hal itu tidak sejalan dengan seleranya
dan tidak sesuai dengan keinginannya sebelum dia mengenal maknanya dan
mengetahui kandungannya, sebagaimana yang bisa engkau lihat dan engkau
ketahui secara nyata. Walhasil bahwa orang yang mendustakkan hujjah yang
terang dan bukti yang nyata sebelum dia mengetahuinya secara jelas,
maka dia itu tidak berpegang kepada sesuatupun di dalam pendustaan ini
kecuali sekedar kejahilan dia terhadap apa yang didustakkannya itu,
sehingga dengan pendustaan semacam ini berarti dia telah mengumumkan
kepada khalayak dengan suara lantang prihal kebodohan dia, dan mencatat
dengan catatan yang jelas prihal kebodohan dia dari bisa memahami
hujjah, sedangkan hujjah dan orang yang membawanya itu sama sekali tidak
merasa rugi sedikitpun dengan pendustaan dia itu.
Musuh tidak akan mencapai dari orang jahil
Apa yang dicapai orang jahil dari dirinya sendiri[9]
(6) Orang Yang Mencari Kebenaran Pasti Mendapatkan Apa Yang Dicarinya.
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Bila
telah terbukti jelas di hadapanmu bahwa orang awam itu adalah bertanya
kepada ahli ilmu dan orang yang kurang bertanya kepada orang yang
sempurna, maka dia wajib bertanya kepada ahli ilmu yang terkenal dengan
keshalihan dan kewara’annya tentang orang yang alim terhadap Al Kitab
dan Assunnah lagi memahami apa yang ada di dalam keduanya lagi menguasai
ilmu-ilmu alat yang dia perlukan di dalam memahami keduanya, agar
mereka mengarahkannya kepada orang alim itu, terus dia bertanya
kepadanya tentang masalahnya seraya meminta darinya agar menyebutkan
kepadanya dalil dari Kitabullah Subhanahu Wa Ta’ala atau dari Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia-pun mengambil al
haq dari sumbernya dan mengambil faidah hukum dari tempatnya serta ia
selamat dari pendapat orang yang mana orang yang berpegang kepadanya
tidak aman dari keterjatuhan dalam kekeliruan yang menyelisihi syari’at
lagi bersebrangan dengan al haq. Barangsiapa meniti manhaj ini dan
menelusuri jalan ini maka dia pasti mendapatkan apa yang dicarinya dan
tidak akan kehilangan orang yang menunjukannya kepada al haq.”[10]
Al ‘Allamah Abu Bithin mufti Diyar Najdiyyah berkata rahimahullah:
“dan termasuk yang mengherankan adalah bahwa sebagian orang bila
mendengar orang yang berbicara prihal makna kalimat (laa ilaaha
illallaah) ini yang berisi penafian dan itsbat (penetapan), maka dia
mencelanya dan malah berkata: Kami tidak diperintahkan untuk menilai
manusia dan menjelaskan status mereka. Maka dikatakan kepadanya: Justeru
kamu diwajibkan untuk memahami tauhid yang merupakan tujuan Allah dari
menciptakan jin dan manusia dan yang mana semua rasul mengajak
kepadanya, dan diwajibkan juga mengetahui lawannya yaitu syirik yang
merupakan dosa yang tidak diampuni dan tidak ada udzur bagi mukallaf
dalam kebodohan terhadapnya serta tidak boleh taqlid di dalamnya, karena
ia adalah ashlul ushul (pokok dari segala pokok). Barangsiapa tidak
mengenal hal ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran, maka dia itu
binasa, apalagi hal ma’ruf terbesar yaitu tauhid dan hal mungkar
terbesar yaitu syirik.”[11]
5. Kufur Kepada Thaghut Dan Iman Kepada Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ
وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ
انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
“Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al Baqarah: 256)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
( أي من خلع الأنداد والأوثان
وما يدعو إليه الشيطان من عبادة كل ما يعبد من دون الله، ووحد الله فعبده
وحده وشهد ألا إله إلا الله ﴿ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا ﴾ أي فقد ثبت في أمره واستقام على الطريقة
المثلى والصراط المستقيم )
“Yaitu barangsiapa berlepas diri dari
andad (tandingan-tandingan yang diibadati), autsan (berhala) dan apa
yang diajakkan oleh syaithan berupa peribadatan kepada selain Allah, dan
dia mentauhidkan Allah, di mana dia hanya beribadah kepada-Nya dan dia
bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah “maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” yaitu dia itu telah tegap di atas perintah-Nya dan istiqamah di atas jalan yang benar dan ash shirathil mustaqim.”[12]
1. Definisi Thaghut
( والطاغوت مشتق من الطغيان وهو مجاوزة الحد، وقد فسرهُ السلف ببعض أفراده، قال عمرُ بن الخطاب رضي الله عنه: الطاغوت الشيطان وقال جابر رضي الله عنه
الطواغيت كهانُ ُ كانت تنزل عليهم الشياطين رواهما ابن أبي حاتم وقال
مجاهد: الطاغوت الشيطان في صورة الإنسان يتحاكمون إليه وهو صاحب أمرهم،
وقال مالك: الطاغوت كل ما عبد من دون الله )
“Thaghut itu diambil dari kata thughyan
yaitu melampaui batas. Salaf telah menafsirkan thaghut dengan sebagian
individu-individunya, Umar Ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhu berkata:
Thaghut adalah syaithan, Jabir radliyallahu ‘anhu berkata: Thawaghit itu
adalah dukun-dukun yang mana syaithan-syaithan turun mendatangi
mereka,” dua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. Mujahid
berkata: Thaghut adalah syaithan dalam wujud orang yang mana manusia
merujuk hukum kepadanya sedangkan dia itu adalah pemimpin mereka. Malik
berkata: Thaghut adalah setiap yang diibadati selain Allah.”[13]
Ucapan Umar ini dikatakan oleh Ibnu
Katsir di dalam tafsirnya bahwa ia adalah ucapan Ibnu Abbas, Abul
‘Aliyah, Mujahid, ‘Atha, Ikrimah, Sa’id Ibnu Jubair, Asy Sya’biy, Al
Hasan, Adl Dlahhak dan Assuddiy, dan Ibnu Katsir berkata: Sesungguhnya
ia adalah kuat sekali, karena ia mencakup segala keburukan yang dianut
oleh orang-orang jahiliyyah berupa peribadatan kepada berhala,
bertahakum kepadanya dan meminta pertolongan dengannya.”[14]
Allah ta’ala berfirman:
﴿ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن
قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ
أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ
ضَلاَلاً بَعِيدًا ﴾
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An Nisa: 60)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menuturkan sebagian makna-makna ayat itu:
( والآية أعم من ذلك كلهِ، فإنها ذامة لمن عدل عن الكتاب والسنة وتحاكم إلى ما سواهما من الباطل، وهو المراد بالطاغوت هنا… )
“Ayat ini lebih umum dari itu semuanya,
karena sesungguhnya ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Kitab
dan Assunnah dan malah bertahakum kepada selain keduanya yang merupakan
kebatilan, dan ialah yang dimaksud dengan thaghut di sini….”[15]
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
﴿ الَّذِينَ آمَنُواْ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي
سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُواْ أَوْلِيَاء الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ
الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا ﴾
“Orang-orang yang beriman berperang
di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut,
sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu
daya syaitan itu adalah lemah.” (An Nisa: 76).
Ath Thabari berkata:
( طاعة الشيطان وطريقه ومنهاجه الذي شرع لأوليائه من أهل الكفر بالله… )
“(yaitu) taat kepada syaitan, jalannya
dan manhajnya yang dia syari’atkan bagi wali-walinya dari kalangan
orang-orang yang kafir kepada Allah….”[16]
2. Macam-Macam Thaghut
Walaupun para thaghut itu banyak, akan
tetapi ia kembali kepada tiga yang telah disebutkan oleh Syaikh Sulaiman
Ibnu Sahman, beliau berkata:
( الطاغوت ثلاثة أنواع طاغوت حكم وطاغوت عبادة وطاغوت طاعة ومتابعة )
“Thaghut itu ada tiga macam, thaghut hukum, thaghut ibadah, serta thaghut tha’at dan mutaba’ah.”[17]
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
( الطاغوت: كل ما تجاوز به
العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع، فطاغوت كل قوم من يتحاكمون إليه غير
الله ورسوله أو يعبدونه من دون الله أو يتبعونه على غير بصيرة من الله، أو
يطيعونه فيما لا يعلمون أنه طاعة لله ، فهذه طواغيت العالم، إذا تأملتها
وتأملت أحوال الناس معها، رأيت أكثرهم عدلوا عن عبادة الله إلى عبادة
الطاغوت وعن التحاكم إلى الله والرسول إلى التحاكم إلى الطاغوت وعن طاعته
ومتابعة رسوله ص إلى طاعة الطاغوت ومتابعته )
“Thaghut adalah
segala yang dilampaui batasnya oleh si hamba, baik itu yang diibadati
ataupun yang diikuti ataupun yang ditaati, maka thaghut setiap kaum
adalah orang yang mana mereka merujuk hukum kepadanya selain Allah dan
Rasul-Nya, atau yang mereka ibadati selain Allah, atau yang mereka ikuti
di atas selain petunjuk dari Allah, atau yang mereka taati di dalam apa
yang mereka tidak ketahui bahwa itu adalah ketaatan kepada Allah; ini
adalah thaghut-thaghut di dunia, jika memperhatikannya dan memperhatikan
keadaan manusia bersamanya tentu engkau melihat mayoritas mereka telah
berpaling dari peribadatan kepada Allah (ibadatullah) terhadap
peribadatan kepada thaghut (ibadatuththaghut), dan dari ketaatan
kepada-Nya serta ittiba kepada Rasul-Nya terhadap ketaatan dan ittiba
kepada thaghut.”[18]
3. Keterjagaan darah Dan Harta Adalah Dengan Peribadatan Hanya Kepada Allah dan Kufur Terhadap Segala yang Diibadati Selain Allah
Muslim telah meriwayatkan (23) dari
hadits Abu Malik dari ayahnya, berkata: Saya mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
( من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله )
”Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha
illallaah dan dia ingkar terhadap segala sesuatu yang diibadati selain
Allah, maka terjagalah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya
adalah kepada Allah.”[19]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang Laa ilaaha illallaah:
( … ومعلوم أن عصمة المال والدم
على الإطلاق لم تحصل إلا بها وبالقيام بحقها، وكذلك النجاة من العذاب على
الإطلاق لم تحصل إلا بها وبحقها)
”…..Dan sudah maklum bahwa keterjagaan
harta dan darah secara total itu tidak terealisasi kecuali dengannya dan
dengan menegakkan haknya, dan begitu juga keselamatan dari adzab secara
total tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan menegakkan
haknya.”[20]
4. Orang Yang Bukan Muwahhid Maka Pasti Musyrik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤْمِنٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴾
“Dia-lah yang menciptakan kamu maka
di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (At Taghabun: 2)
Al Baghawi rahimahullah berkata:
(… وجملة القول فيه، أن الله خلق
الكافر وكفره فعلُ ُ له وكسب، وخلق المؤمن وإيمانه فعلُ ُ له وكسب، فلكل
واحدٍ من الفريقين كسب واختيار، وكسبه واختياره بتقدير الله ومشيئته،
فالمؤمن بعد خلق الله إياه يختار الإيمان، لأن الله تعالى أراد ذلك منه،
وقدره عليه، وعلمه منه، والكافر بعد خلق الله تعلى إياه يختار الكفر، لأن
الله تعلى أراد ذلك منه وقدره عليه وعلمه منه، وهذا طريق أهل السنة
والجماعة من سلكه أصاب الحق وسَلِمَ من الجبر والقدَر)
(…..Dan ringkasnya, bahwa Allah telah
menciptakan orang kafir sedangkan kekafirannya adalah perbuatan dan
usahanya, dan Dia telah menciptakan orang mukmin sedangkan keimanannya
adalah perbuatan dan usahanya, sehingga bagi masing-masing dari kedua
pihak ini memiliki usaha dan pilihan, sedangkan usaha dan pilihannya itu
adalah terjadi dengan taqdir dan masyi-ah (kehendak) Allah. Orang
mukmin setelah Allah menciptakannya dia itu memilih iman, karena Allah
ta’ala menginginkan hal itu darinya, mentaqdirkan dia di atasnya dan
mengetahui hal itu darinya, sedangkan orang kafir setelah Allah
menciptakannya dia itu memilih kekafiran, karena Allah ta’ala
menginginkan hal itu darinya, mentaqdirkan dia di atasnya dan mengetahui
hal itu darinya. Ini adalah jalan Ahlussunnah wal Jama’ah, barangsiapa
meniti jalan ini maka ia mencapai kepada kebenaran dan selamat dari
paham Jabriyyah dan Qadariyyah).[21]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
﴿ وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ ﴾
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri,” (Al Baqarah: 130)
Al Baghawi rahimahullah berkata:
( قال ابن عباس: من خسر نفسه،
وقال الكلبي: ضل من قبل نفسه، وقال أبو عبيدة: أهلك نفسه، وقال ابن كيسان
والزجاج: معناه جهل نفسه، والسفاهة الجهل وضعف الرأي وكل سفيه جاهل، وذلك أن من عبد غير الله فقد جهِلَ نفسه، لأنه لم يعرف أن الله خَلَقَهَا )
(Ibnu ‘Abbas berkata: Barangsiapa
merugikan dirinya sendiri,” Al Kalbiy berkata: Dia tersesat akibat
dirinya sendiri,” Abu Ubaidah berkata: Dia membinasakan dirinya,” Ibnu
Kaisan dan Az Zajjaj berkata: Maknanya: membodohi dirinya sendiri,
Safahah itu adalah kebodohan dan lemahnya pikiran sehingga setiap orang
safih adalah jahil, itu dikarenakan bahwa orang yang beribadah kepada
selain Allah itu maka dia itu jahil terhadap dirinya sendiri dikarenakan
dia itu tidak mengetahui bahwa Allah telah menciptaknnya).[22]
Ibnul Qayyim berkata tentang ayat itu:
( فقسم سبحانه الخلائق قسمين
سفيهاً لا أسفه منه ورشيداً، فالسفيه من رغب عن ملته إلى الشرك، والرشيد من
تبرأ من الشرك قولاً وعملاً وحالاً فكان قولُه توحيداً وعمله توحيداً
وحاله توحيداً ودعوته إلى التوحيد )
(Allah subhanahu telah membagi makhluk
menjadi dua bagian, yaitu safih (orang bodoh) yang tidak ada yang lebih
bodoh darinya dan rasyid (orang yang cerdas). Orang safih adalah orang
yang membenci millahnya dan malah beralih kepada syirik, sedangkan orang
rasyid adalah orang yang berlepas diri dari syirik baik berbentuk
ucapan, amalan dan keadaan, sehingga ucapannya adalah tauhid, amalannya
adalah tauhid, keadaannya adalah tauhid dan dakwahnya juga kepada
tauhid).[23]
Dan berkata juga rahimahullah:
( فالمعرض عن التوحيد مشرك شاء أم أبى والمعرض عن السنة مبتدع ضال شاء أم أبى )
(Orang yang berpaling dari tauhid itu
adalah orang musyrik, baik dia mau ataupun tidak, sedangkan orang yang
berpaling dari sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, baik dia
mau ataupun tidak).[24]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
( من لم يعبد الله وحده فلا بد
أن يكون عابداً لغيره، يعبد غيره فيكون مشركاً، فليس في بني آدم قسم ثالث،
بل إما موحدٌ وإما مشرك، أو من خلط هذا بهذا كالمبدلين من أهل الملل،
النصارى ومن أشبههم من الضلال المنتسبين إلى الإسلام )
(Orang yang tidak beribadah kepada Allah
saja, maka dia itu mesti beribadah kepada selain-Nya, dia beribadah
kepada selain-Nya sehingga dia menjadi orang musyrik. Di mana di tengah
Bani Adam ini tidak ada orang macam ketiga, namun yang ada hanya
muwahhid dan orang musyrik, atau orang yang mencampurkan ini dan itu
seperti orang-orang yang merubah (ajaran) dari kalangan pemeluk
agama-agama, yaitu orang-orang nashrani dan orang-orang yang menyerupai
mereka dari kalangan orang-orang sesat yang mengaku muslim).[25]
Dan beliau rahimahullah berkata:
(… فكل من لم يعبد الله مخلصاً له الدين فلا بد أن يكون مشركاً عابداً لغير الله وهو في الحقيقة عابد للشيطان )
(….Sehingga setiap orang yang tidak
beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepada-Nya,
maka dia itu sudah pasti menjadi orang musyrik yang beribadah kepada
selain Allah, sedangkan pada hakikatnya dia itu adalah beribadah kepada
syaithan).[26]
(Bersambung…)
[1] Irsyadul Fuhul 441.
[2] Irsyadul Fuhul 445.
[3] Assailul Jarrar, cetakan pertama dalam satu jilid hal 12.
[4] Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 7/319.
[5] Shahih Al Bukhari, Kitabul Janaiz 1374.
[6] Fathul Bari (1/806) cetakan 3 jilid.
[7] Fahul Qadir 4/441.
[8] Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim 2/108-109.
[9] Fathul Qadir dalam satu jilid cetakan pertama hal 765.
[10] Irsyadul Fuhul hal 451.
[11] ‘Aqidatul Muwahhidin, Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidien: 11.
[12] Tafsir Ibnu Katsir 1/311.
[13] Taisirul ‘Azizil Hamid hal: 50.
[14] Tafsir Ibnu Katsir 1/311
[15] Tafsir Ibnu Katsir 1/519.
[16] Tafsir Ath Thabari 5/169.
[17] Ad Durar Assaniyyah 8/272.
[18] I’lamul Muwaqqi’in 1/50.
[19] Muslim 23.
[20] At Tibyan Fi Aqsamil Qur’an hal: 43.
[21] Ma’alim At Tanzil hal 1319.
[22] Ma’alim At Tanzil cetakan pertama dalam satu jilid hal 66.
[23] Madarijus Salikin 3/466.
[24] Ighatsatul Luhfan 1/214.
[25] Majmu Al Fatawa 14/282.
[26] Majmu Al Fatawa 14/285..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar