RISALAH
TAUHID WAL JIHAD
Disampaikan dalam ta’lim protein islam:
“MUSRYIK DAN KAFIR”
Siapa yang dijuluki orang musyrik, DAN SIAPA YANG kafir
?
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus , dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus.(QS.98:5)
Ibnul
Qayyim rahimahullah menjelaskan
bahwa: “Islam adalah mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya saja tidak ada
sekutu bagi-Nya…”. (Thariq Al Hijratain, Thabaqah yang ke-17).
Umar Ibnul Khaththab radliyallaahu ‘anhu
berkata: “Ikatan-ikatan Islam ini lepas satu demi satu bila tumbuh di dalam
Islam ini orang yang tidak mengenal jahiliyyah.”
Dahulu
ada seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam tentang ayahnya yang meninggal pada zaman fatrah
(zaman ketika tidak ada dakwah) di atas ajaran syirik, maka Rasulullah
menjawab: “Ayahmu di neraka”, mendengar jawaban itu si laki-laki mukanya
merah, dan ketika dia berpaling, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
memanggilnya dan mengatakan kepadanya : “Ayahku dan ayahmu di neraka.”
(HR. Muslim).
Ayah
Rasulullah ~’Abdullah~ meninggal pada zaman jahiliyyah, saat tidak ada dakwah
dan tidak ada hujjah risaliyyah, meninggal di atas ajaran syirik
kaumnya. Rasulullah bukan hanya menetapkan status nama di dunia, tapi juga
langsung hukum pasti bagi ayahnya di akhirat kelak, berupa api neraka. Dari
hadits ini Imam Nawawiy rahimahullah menyatakan bahwa orang yang
berbuat syirik akbar, baik zaman fatrah atau bukan, baik ada dakwah atau tidak,
dia itu adalah calon penghuni neraka.
“Dan bila ada satu orang dari
kalangan orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka berilah dia
perlindungan sampai dia mendengar firman Allah.” (QS. At Taubah [9]: 6).
Dalam
ayat ini Allah menamakan pelaku syirik sebagai orang musyrik, meskipun dia
belum mendengar firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan
dengan pelaku syirik yang telah mendengar firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
dia membaca Al Qur’an dan terjemahannya. Bahkan mungkin juga menghafalnya…
“Tidak selayaknya bagi Nabi
dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan bagi kaum musyrikin, meskipun
mereka itu kerabat dekat.” (QS.
At Taubah [9]: 113).
Ayat
ini berkenaan dengan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam saat
meminta izin kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memintakan ampunan
bagi ibunya yang meninggal sebelum Rasulullah diutus, dan meninggal di atas
ajaran kaumnya yang syirik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menggolongkan
ibunda beliau dalam jajaran kaum musyrikin, padahal saat itu dalam kebodohan,
belum ada dakwah dan hujjah risaliyyah (saat itu terjadi kekosongan
dakwah.). Maka apa gerangan dengan pelaku syirik akbar yang mengaku Islam,
padahal hujjah ada di sekeliling mereka dan Al Qur’an mereka baca bahkan
mereka hafal…?
Bahkan
para ‘ulama menjelaskan bahwa nama musyrik itu ada sebelum adanya Risalah. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Nama musyrik itu sudah
ada sebelum risalah, karena dia (pelakunya) menyekutukan Tuhannya, menjadikan
tandingan bagi-Nya dan mengangkat tuhan-tuhan lain bersama-Nya.” (Majmu Al
Fatawa: 20/38).
“Orang-orang yang kafir dari
kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyrikin (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sehingga datang kepada mereka bayyinah, yaitu utusan dari
Allah yang membaca lembaran-lembaran yang disucikan.” (QS. Al Bayyinah [98]: 1-2).
Perhatikanlah, dikarenakan mereka berbuat syirik akbar, maka
mereka dinamakan kaum musyrikin, meskipun rasul belum datang kepada mereka.
Maka apa gerangan dengan pelaku syirik masa sekarang, rasul telah datang, Al
Qur’an ada di setiap rumah mereka, bahkan sebagian mengaku sebagai ‘ulama dan
ahli Islam ? Tidak ragu lagi –jika mereka berbuat syirik akbar– mereka itu
adalah kaum musyrikin, baik dia ustadz, kyai, ‘ulama atau cendekiawan atau
orang umum, karena syirik dan status musyrik tidak mengenal status atau jabatan
Al Imam Su’ud Ibnu ‘Abdil ‘Aziz Ibnu
Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah
berkata : “Siapa yang
memalingkan satu macam dari (ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu
musyrik, baik dia itu ahli ibadah atau orang fasiq, dan sama saja (apakah)
tujuannya baik atau buruk.” (Ad Durar As Saniyyah: 9/270).
Sebagian
‘ulama yang lain sepakat dengan penamaan status musyrik itu di dunia, walaupun
mereka berselisih tentang statusnya di akhirat. Ini adalah kaitan dengan pelaku
syirik di zaman fatrah. Apa gerangan dengan pelaku syirik akbar masa sekarang,
karena Rasulullah sudah diutus, dakwah ada, hujjah beraneka ragam bentuknya,
dan Al Qur’an dilantunkan di masjid-masjid…?! Sungguh mereka itu adalah
orang-orang musyrik bukan kaum muslimin. Di antara mereka ada yang meminta ke
kuburan keramat, ada yang membuat tumbal, sesajen, dan ada pula yang
menyandarkan wewenang hukum kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Mereka adalah kaum musyrikin tanpa diragukan lagi.
Ada
rombongan dari Banu Al Muntafiq, mereka bertanya tentang ayah mereka Al
Muntafiq yang meninggal pada zaman fatrah. Rasulullah menjelaskan bahwa dia itu
di neraka, kemudian beliau menyatakan : “Demi Allah, kamu tidak melewati
satu kuburan pun dari orang ‘Amiriy atau Quraisy dari kalangan orang musyrik,
maka katakan: “Saya diutus kepada kalian oleh Muhammad untuk memberi kabar
bahwa kalian digusur di dalam api neraka.” (shahih, riwayat Al Imam Ahmad).
Dalam
hadits ini orang yang meninggal di atas syirik dari kalangan Ahlul Fatrah
disebut musyrik. Maka apa halnya dengan zaman yang zaman bukan fatrah?
Para ulama ijma bahwa orang yang berbuat syirik akbar itu
dinamakan musyrik. Hal yang menjadi perbedaan di antara mereka hanyalah masalah
‘adzab di akhirat bagi yang belum tegak hujjah risaliyyah atasnya.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah
berkata : “Para ulama ijma’
bahwa orang yang memalingkan satu macam dari 2 do’a (do’a ibadah dan do’a
permintaan) kepada selain Allah maka dia itu telah musyrik, meskipun
mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, shalat, dan mengaku muslim.” (Ibthal At
Tandid).
Bila banyak orang yang berbuat syirik akbar namun dia masih
rajin shalat, dsb, padahal sebenarnya dia tahu bahwa orang musyrik itu amalannya
tak berarti, kekal di neraka bila mati di atasnya, serta tidak diampuni. Itu
terjadi tak lain karena dia tidak tahu bahwa yang dia lakukan itu perbuatan
syirik atau tidak tahu bahwa dirinya musyrik, namun demikian para ulama sepakat
bahwa orang jahil (bodoh) itu adalah
musyrik
Syaikh ‘Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: “Orang yang berbuat syirik itu musyrik, baik mau
atau tidak (dengan nama itu).” (Al Intishar).
Syaikh
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata saat menjelaskan para pelaku syirik yang mengaku muslim: “Maka
macam orang-orang musyrik itu dan yang semisal dengan mereka dari kalangan yang
beribadah kepada para wali dan orang-orang shalih, kami vonis mereka itu
sebagai orang-orang musyrik, dan kami memandang kekafiran mereka bila hujjah
risaliyyah telah tegak atas mereka.” (Ad Durar: 1/322 cet.
lama).
Pelaku syirik akbar bila belum tegak hujjah dinamakan
musyrik, sedangkan bila sudah tegak hujjah atasnya maka dinamakan musyrik
kafir.
Syaikh
Hamd Ibnu Nashir Alu Mu’ammar
dan putra-putra Syaikh Muhamamd Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang para
pelaku syirik yang mengaku Islam yang belum tersentuh dakwah tauhid: “Bila dia
melakukan kemusyrikan dan kekafiran karena kebodohan dan tidak adanya orang yang
mengingatkannya, maka kami tidak memvonis dia kafir hingga hujjah risaliyyah
ditegakkan atasnya, namun kami tidak menghukumi dia sebagai orang
muslim.” (Ad Durar).
Dia bukan orang kafir karena belum
tegak hujjah risaliyyah, dan dia bukan muslim karena melakukan syirik
akbar, tapi dia musyrik. Semoga antum faham istilah ini.
Abu Bakar Al Hishniy Asy Syafii’y berkata dalam Kifayatul
Ahkyar: “Riddah menurut syari’at adalah kembali dari Islam kepada
kekafiran dan memutus keIslaman sedang ia bisa terjadi kadang dengan ucapan dan
kadang dengan perbuatan dan kadang dengan keyakinan. Dan masing-masing dari
ketiga macam ini di dalamnya banyak masalah yang tidak terhitung.” (Kifayatul
Ahkyar 2/123)
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq An Najdiy rahimahullah
(wafat 1301) berkata: “Sesunggguhnya ulama sunnah dan hadits berkata
“Sesungguhnya orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah keIslamannya
baik berupa ucapan, perbuatan maupun keyakinan.. Mereka menetapkan bahwa orang
yang mengucapkan kekafiran adalah kafir walaupun tidak meyakininya dan tidak
mengamalkannya bila dipaksa. Begitu juga bila ia melakukan kekafiran, maka ia
kafir walaupun tidak meyakininya dan tidak mengucapkannya. Begitu juga bila ia
melapangkan dadaanya dengan kekafiran yaitu dia membukanya dan meluaskanya
(maka ia kafir), walaupun ia tidak mengucapkan hal itu dan tidak
mengamalkannya. Ini adalah sesuatu yang maklum secara pasti dari kitab-kitab
mereka dan orang ynag memiliki kesibukan dalam ilmu, maka mesti telah mencapai
sebagaian dari hal itu“ (Ad Difa’ An Ahlis Sunnah Wal I’ttiba’
karya Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq terbitan Darul Qur-anil Karim 1400 H hal: 30)
Para
ulama menuturkan bahwa orang yang mengingkari kewajiban salah satu ibadah yang
lima atau mengatakan pada salah satunya bahwa ia sunnah tidak wajib atau
mnegingkari kehalalan roti dan yang lainnya atau mengingkari keharaman khamr
atau yang lainnya atau ragu akan hal itu sedangkan orang seperti dia itu (tidak
layak) tidak mengetahuinya,… maka dia kafir, dan bila orang seperti dia itu
layak tidak mengetahuinya maka dia diberitahu hal itu terlebih dahulu kemudian
bila dia bersikukuh setelah diberitahu… maka dia kafir dan dibunuh, dan para ulama
tidak mengatakan bila nampak jelas baginya al haq dan ia membangkang maka ia
kafir. Dan juga kita tidak mengetahui bahwa dia mu’anid sehingga dia berkata,
“Saya mengetahui bahwa hal itu haq namun saya tidak mengkomitmeninya atau saya
tidak menganutnya”, ini hampir tidak ada.
Memvonis kafir
seseorang yaitu yang dikenal dengan nama takfir mu’ayyan adalah memiliki
dua sisi pembahasan, keduanya ada di dalam berbagai kitab-kitab ilmu, yaitu:
1. Sisi i’tiqod (keyakinan): yang berkaitan dengan
hakikat kekafiran dan macam-macamnya sedangkan tempat pembahasannya adalah
bab-bab al iman dan pembatal-pembatalnya dalam buku ‘aqidah.
2. Dan sisi qodloiy (peradilan): Ini membahas dua
hal:
Pertama: Hal yang mengkafirkan –yaitu asbaabul kufri–
dan sanksi orang kafir. Dan tempat bahasan masalah ini adalah bab-bab riddah
dan murtad dalam kitab fiqh.
Ke dua: Pembuktian terjadinya hal yang mengakfirkan –yaitu sebab
kekafiran- dari orang tertentu dan memandangnya pada kekosongannya dari
penghalang-penghalang hukum yang dianggap secara syariat dan itu untuk
memvonisnya dengan kekafiran atau untuk membebaskannya. Tempat pembahasan
masalah ini adalah bab-bab qadla (peradilan), dakwaan dan bukti-bukti
dalam kitab fiqh.
Sedangkan maksud di sini adalah mengingatkan
bahwa tidak boleh memfatwakan dalam masalah takfir mu’ayyan dengan hanya
melihat pada kitab-kitab ‘aqidah tanpa melihat pada proses peradilan yang
berkaitan dengan hal itu. Dan akan datang sesuatu dari rincian dalam hal itu
saat berbicara tentang kaidah takfier.
Sebagaian ulama membatasi dengan tiga
sebab kekafiran (ucapan, perbuatan atau keyakinan) dan sebagian dari mereka
menambahkan: [atau keraguan] dan itu demi membedakan keraguan dari keyakinan,
padahal sesungguhnya keduanya termasuk amalan hati, akan tetapi keyakinan
adalah suatu yang terikat lagi menetap, adapun keraguan maka ia adalah sesuatu
yang tidak terikat dan tidak menetap dikarenakan ia dan kebalikannya adalah
seimbang. Barangsiapa yang bersarang dalam hatinya kedustaan Rasul maka ini
kufur i’tiqod (keyakinan) dan barangsiapa yang ragu akan kebenaran Rasul dan
bagi dia Rasul itu bisa jadi berdusta, maka ini adalah kufur keraguan (syak)
Adapun dalam hukum-hukum dunia yang
berjalan sesuai zhahir, maka tidak divonis murtad, kecuali dengan sebab ucapan
mukaffir (yang mengkafirkan) atau perbuatan mukaffir, karena
perbuatan dan perkatan keduanya adalah apa yang nampak dari manusia,
adapun keyakinan dan keraguan yang mana tempatnya adalah hati maka tidak ada
sanksi dengan sebab keduanya di dunia selagi keduanya tidak nampak pada ucapan
atau perbuatan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
berkata dalam hadits shahih “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk
mengorek hati manusia” dan di dalam Ash Shahih juga bahwa beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada Usamah: ”Apakah kamu membelah hatinya“
Barang siapa
kafir dengan hatinya (dengan keyakinan atau keraguan) dan dia tidak
menampakkannya dalam ucapan atau perbuatan maka ia muslim dalam hukum
dunia akan tetapi ia kafir pada hakikat sebenarnya di sisi Allah dan dia
adalah orang munafiq dengan nifaq akbar yang menutupi dirinya dengan
kekafirannya.
Ibnul Qoyyim berkata: ”Dan beliau tidak memberlakukan
hukum-hukum itu terhadap sekedar apa yang ada di dalam jiwa tanpa ada indikasi
perbuatan atau ucapan” (I’lamul Muwaqqiin, 3/117)
Berkata Al Imam
Ath Thahawiy rahimahullah dalam I’tiqadnya –tentang ahli kiblat- “Dan
kami tidak memvonis mereka kafir, musyrik dan munafiq selama tidak nampak
dari mereka sesuatu dari hal itu dan kami serahkan rahasia-rahasia mereka
kepada Allah Ta’ala“ Pensyarah berkata: “Karena kita telah diperintahkan
untuk menghukumi berdasarkan zhahir dan kita dilarang dari praduga dan
dari mengikuti apa yang tidak diketahui ilmunya“ (Syarhul ‘Aqidah At
Thahawiyyah hal 427 terbitan Al Maktabah Al Islamiy 1403)
Dan berkata juga: ”Dan secara umum barang
siapa yang mengucapkan atau melakukan yang merupakan kekafiran maka ia kafir
dengan hal itu meskipun ia tidak bermaksud untuk kafir, kerena tidak
seorangpun bermaksud kafir, kecuali apa yang telah Allah kehendaki” (Ash
Sharimul Maslul 177-178)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Orang yang
murtad adalah setiap orang yang mendatangkan setelah keIslamannya sesuatu yang
menggugurkan keIslamannya berupa ucapan dan perkatan, dimana ia tidak bisa
bersatu kumpul bersama” (Ash Sharimul Maslul: 459)
Seseorang bisa kafir dengan satu
kalimat yang ia lontarkan walaupun ia bersenda gurau (bercanda main-main) oleh
sebab itu pensyarah Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah berkata: ”Dienul Islam adalah
apa yang disyariatkan Allah ta’ala untuk hamba-hambaNya lewat lisan para
Rasul-Nya. Inti dan cabang-cabang dien ini, periwayatannya adalah dari para
rasul dan ia sangat jelas sekali, mungkin bagi setiap mumayyiz ~baik kecil
maupun besar, orang fashih maupun non arab, pandai maupun bodoh~ untuk masuk di
dalamnya dengan waktu yang sesingkat mungkin dan sesungguhnya keluar darinya
juga bisa lebih cepat dari itu“ (Syarhul Aqidah Ath Thahawiyyah,
terbitan Al Maktab Al Islamiy 1403 H hal: 585)
Dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai dhahir,
orang tertentu dihukumi kafir dengan sebab ucapan mukaffir atau perbuatan
mukaffir, yang telah terbukti terhadapnya secara keterbuktian syar’iy. Bila
syarat-syarat hukum terpenuhi dan penghalang-penghalang tidak ada pada dirinya,
dan memvonis terhadapnya orang yang layak untuk menghukumi, kemudian dilihat;
Bila orang itu adalah maqdur ‘alaih di Darul Islam, maka ia disuruh
bertaubat secara wajib sebelum dikenakan hukuman terhadapnya oleh pihak
penguasa. Dan bila dia itu mumtani’ dengan kekuatan atau dengan darul
harbi, maka boleh bagi setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya
tanpa proses istitabah, dan dalam hal ini melihat kepada mashlahat dan mafsadat
yang ditimbulkan oleh hal itu. Bila berbenturan mashlahat dan mafsadat, maka
didahulukan yang paling kuat dari keduanya.
Penentuan apa yang dimaksud dari
perbuatan si pelaku bukan pencarian kejelasan maksud dia untuk kafir
dengan hal itu, maka di dalam contoh yang lalu, bila ia berkata: “Sesungguhnya
saya menyeru mayit agar menyelamatkan saya dari bencana”, maka maksud inilah
yang dituntut pencarian kejelasannya dan inilah yang berpengaruh dalam hukum,
dan tidak mesti menanyakan kepada dia: Apa kamu bermaksud kafir dengan
hal itu…? bahkan andai kata ia berkata: “Sesungguhnya saya tidak bermaksud
kufur dengan hal hal itu“ tentulah peniadaan (maksud kafir) ini tidak
berpengaruh dalam hukum
Contoh: seandainya seorang melemparkan mushhaf
ke dalam api, maka ini ada kemungkinan bahwa ia itu melecehkan mushhaf,
maka ia kafir seperti halnya orang yang melemparkannya ke dalam kotoran dan ada
kemungkinan ia memusnahkan mushhaf yang lama yang ada padanya dengan
dibakar sebagaimana Utsman radliallahu’anhu telah membakar mushhaf-mushhaf
(selain mushhaf Utsmani), maka ini adalah sunnah khalifah rasyid,
maka ia tidak kafir. Bila kita telah mencari kejelasan maksud dia dan ia
berkata bahwa ia ingin memusnahkannya, kemudian dengan mencari kejelasan
indikasi keadaannya terbukti bahwa mushhaf itu baru atau bahwa dia itu
tertuduh zindiq, maka indikasi-indikasi ini membuktikan bahwa ia itu dusta
dalam ucapannya bahwa ia ingin memusnahkan mushhaf itu ; akan tetapi ia itu
justeru melecehkannya.
Dan andai kata ia mengisyaratkan kepada
orang muslim untuk kafir, maka ia kafir begitu juga seandainya dikatakan
kepadanya “Potonglah kukumu atau kumismu karena ia sunnah”, kemudian ia malah
berkata: “Saya tidak akan melakukan meskipun ia sunnah”, maka ia kafir, hal ini
dikatakan Ar Rafi’iy dari para sahabat Abu Hanifah dan ia mengikuti mereka
Bila dua orang berbantah-bantahan,
terus salah satunya mengatakan: “Laa haula wala quwwata illaa billah”,
maka yang satu mengatakan: ”Laa haula walaa quwwati tidak bermanfat dari
lapar”, maka dia kafir. Dan seandainya ia mendengar adzan muadzin, terus ia
berkata: “Sesungguhnya ia itu dusta”, maka ia telah kafir. Dan jika ia berkata:
“Saya tidak takut kiamat“ maka ia kafir.
Seandainya seseorang berkata kepadanya: “Hai Yahudi dan
Nashrani” kemudian ia menjawab “Ya, ada apa?”, maka ia kafir. Begitulah Ar
Rafi’iy menukilnya dan ia mendiamkannya dan An Nawawiy berkata: “Dalam hal ini
perlu ditinjau bila ia tidak meniatkan apapun, Wallohu A’lam. Seandainya
pengajar anak-anak berkata: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi lebih baik
daripada kaum muslimin karena mereka memenuhi kebutuhan para pengajar anak-anak
mereka” maka ia kafir. Begtulah Ar Rafi’iy menukilnya dari para sahabat Abu Hanifah
radliallahu’anhu dan ia mendiamkannya dan diikuti oleh An Nawawiy. Saya
berkata: “Dan kata-kata ini sering terjadi muncul dari tukang kuli dan para
mencari upah. Dan dalam takfir dengan sebab itu perlu ditinjau karena
pengeluaran muslim dari agama nya dengan lafadz yang mengandung kemungkinan
benar apalagi adanya qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah bahwa
perlakuan orang ini lebih baik dari perlakuan ini, apalagi bila ia menegaskan
bahwa ia adalah maksudnya atau terjatuh dalam kata yang jelas seperti masalah
yang dinukilkan wallahu ‘alam”.
Ini adalah contoh riddah dengan ucapan. dituturkan Abu Bakar Al
Hishniy
“Dan adapun kekafiran dengan perbuatan, maka seperti
sujud kepada berhala, matahari dan bulan, melemparkan mushhaf, begitu juga sembelihan
(tumbal/sesajen) untuk berhala, memperolok-olok salah satu nama dari nama-nama
Allah Ta’ala atau terhadap perintah-Nya atau ancaman-Nya atau membaca Al Quran
dengan tabuhan rebana, dan begitu juga andai ia meminum khamr dan melakukan
zina dan ia menyebut nama Allah (bismillah) sebagai bentuk pelecehan maka
sesungguhnya ia adalah kafir”.
Ucapan dan keyakinan yang
menyebabkan kufur. :
(1) Setiap orang yang mencaci Allah atau mencaci seorang Rasul dari para Rasul Allah, atau satu malaikat dari malaikat Allah, maka sungguh orang itu telah kafir.
(2) Setiap orang yang mengingkari rububiyyah (hanya Allah Dzat yang menciptakan dan memelihara alam ini) atau uluhiyyah (hanya Allah Dzat yang berhaq disembah) atau risalah seorang Rasul dari para Rasul Allah, atau mempunyai keyakinan bahwa akan ada nabi setelah Nabi akhir zaman, Muhammad saw, maka orang tersebut telah menjadi kufur.
(3) Setiap orang yang mengingkari salah satu yang difardhukan (diwajibkan) dari kewajiban-kewajiban agama yang telah disepakati (ijma’) seperti sholat, zakat, puasa, ibadah haji, berbuat baik kepada orang tua atau jihad misalnya, maka orang itu telah kufur.
(4) Setiap orang yang membolehkan segala macam yang diharamkan agama yang keharamannya telah disepakati, diketahui secara dhoruri (mudah) dalam syari’at, seperti zina, minum khamr, mencuri, membunuh, dan menyihir, maka sungguh orang itu telah kufur.
(5) Setiap orang yang mengingkari satu surat, satu ayat, atau satu huruf dalam Al-Qur’an, maka sungguh orang itu telah kufur.
(6) Setiap orang yang mengingkari satu sifat dari sifat-sifat Allah, seperti sifat hidup, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Penyayang, maka sungguh telah kufur orang tersebut.
(7) Setiap orang yang jelas kelihatan meremehkan agama, apa yang diwajibkan atau disunnahkannya, mempermainkan, menghinanya, melempari Al-Qur’an dengan kotoran, menginjak dengan kakinya, karena menghina dan merendahkannya, maka sungguh orang itu telah kufur.
(8) Setiap orang yang memiliki keyakinan bahwa tidak ada bi’tsah (kebangkitan setelah alam kubur), tidak ada siksa, tidak ada ni’mat pada hari qiyamat, atau berkeyakinan bahwa siksa dan ni’mat pada hari qiyamat nanti bahwa bersifat ma’nawi saja, maka menjadi kufurlah orang tersebut.
(9) Setiap orang yang berpendapat bahwa para wali itu lebih utama dari para nabi, atau bahwa ibadah itu gugur (tidak wajib) dari sebagian para wali, maka sungguh orang itu telah kufur.
Adapun alasan semua hal tersebut di atas, dalam ijma’ ulama kaum muslimin setelah firman Allah:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: Sesungguhnya kami hanyalah bersanda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, rasul-Nya, kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman…” (At-taubah: 65-66).
Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang secara nyata mempermainkan Allah, atau sifat-sifatnya, atau syari’atnya, atau Rasul-Nya, maka sungguh orang itu telah kufur.
(1) Setiap orang yang mencaci Allah atau mencaci seorang Rasul dari para Rasul Allah, atau satu malaikat dari malaikat Allah, maka sungguh orang itu telah kafir.
(2) Setiap orang yang mengingkari rububiyyah (hanya Allah Dzat yang menciptakan dan memelihara alam ini) atau uluhiyyah (hanya Allah Dzat yang berhaq disembah) atau risalah seorang Rasul dari para Rasul Allah, atau mempunyai keyakinan bahwa akan ada nabi setelah Nabi akhir zaman, Muhammad saw, maka orang tersebut telah menjadi kufur.
(3) Setiap orang yang mengingkari salah satu yang difardhukan (diwajibkan) dari kewajiban-kewajiban agama yang telah disepakati (ijma’) seperti sholat, zakat, puasa, ibadah haji, berbuat baik kepada orang tua atau jihad misalnya, maka orang itu telah kufur.
(4) Setiap orang yang membolehkan segala macam yang diharamkan agama yang keharamannya telah disepakati, diketahui secara dhoruri (mudah) dalam syari’at, seperti zina, minum khamr, mencuri, membunuh, dan menyihir, maka sungguh orang itu telah kufur.
(5) Setiap orang yang mengingkari satu surat, satu ayat, atau satu huruf dalam Al-Qur’an, maka sungguh orang itu telah kufur.
(6) Setiap orang yang mengingkari satu sifat dari sifat-sifat Allah, seperti sifat hidup, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Penyayang, maka sungguh telah kufur orang tersebut.
(7) Setiap orang yang jelas kelihatan meremehkan agama, apa yang diwajibkan atau disunnahkannya, mempermainkan, menghinanya, melempari Al-Qur’an dengan kotoran, menginjak dengan kakinya, karena menghina dan merendahkannya, maka sungguh orang itu telah kufur.
(8) Setiap orang yang memiliki keyakinan bahwa tidak ada bi’tsah (kebangkitan setelah alam kubur), tidak ada siksa, tidak ada ni’mat pada hari qiyamat, atau berkeyakinan bahwa siksa dan ni’mat pada hari qiyamat nanti bahwa bersifat ma’nawi saja, maka menjadi kufurlah orang tersebut.
(9) Setiap orang yang berpendapat bahwa para wali itu lebih utama dari para nabi, atau bahwa ibadah itu gugur (tidak wajib) dari sebagian para wali, maka sungguh orang itu telah kufur.
Adapun alasan semua hal tersebut di atas, dalam ijma’ ulama kaum muslimin setelah firman Allah:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: Sesungguhnya kami hanyalah bersanda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, rasul-Nya, kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman…” (At-taubah: 65-66).
Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang secara nyata mempermainkan Allah, atau sifat-sifatnya, atau syari’atnya, atau Rasul-Nya, maka sungguh orang itu telah kufur.
Hukumannya: Orang
murtad hendaknya diajak kembali kepada agama Islam, selama 3 hari dan
diingatkan dengan disertai peringatan-peringatan. Jika kembali lagi kepada
agama Islam maka tidak dibunuh, tetapi jika tidak mau kembali, maka hukumannya
adalah dibunuh dengan pedang, sebagai hukuman.
Dari Qatadah, dari Al-Hasan berkata, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia. (HR An-Nasai, Al-Bukhori, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan lainnya).
Juga sabdanya:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah kecuali salah satu di antara tiga perkara ini: yaitu seorang janda (yang sudah pernah nikah, laki-laki ataupun perempuan) yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain dan orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang memisahkan dirinya dari jamaah. (Muttafaq ‘alaih).
Hukuman setelah dibunuh: Apabila orang yang murtad telah dibunuh, maka jangan dimandikan, jangan disholatkan atau dikubur di dalam kuburan orang-orang Muslim, dan jangan diwarisi atau menerima warisan. Harta yang ditinggalkannya jadi harta fai’ atau rampasan bagi kaum muslimin untuk kepentingan dan kemaslahatan hidup mereka. Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburannya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasiq.” (At-Taubah: 84).
Demikian pula sabda rasulullah saw:
Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Muttafaq ‘alaih).
Ulama kaum muslimin telah sepakat (ijma’) terhadap hukum-hukum murtad tersebut di atas.
Hukuman orang kufur disebabkan hal tersebut di atas. : Hukuman bagi orang kufur dengan sebab apa yang dikemukakan di atas, adalah diperintahkan untuk bertaubat, selama 3 hari, jika ia bertaubat dari ucapan dan keyakinannya itu (maka taubatnya diterima), tetapi jika tidak, maka ia harus dibunuh, sebagai hukuman. Dan hukumannya setelah mati adalah sama dengan hukuman bagi orang yang murtad. Sebagian ahli ilmu membuat pengecualian, bahwa orang yang mencacimaki Allah atau Rasul-Nya, maka dibunuh pada saat itu juga, dan tidak diterima tobatnya. Sebagian lagi berpendapat, bahwa ia diperintahkan untuk bertobat lebih dulu dan tobatnya itu diterima, lalu ia mengucapkan dua kalimah syahadat, membaca istighfar dan bertobat kepada Allah.
Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan: Dan lebih jelas dari itu bahwa di antara mereka ada yang mengarang buku mengenai agama orang musyrikin dan murtad dari Islam, seperti Ar-Razi telah mengarang buku mengenai penyembahan bintang-bintang dan berhala-berhala, dan dia menegakkan dalil-dalil atas bagusnya hal itu dan manfaatnya, dan ia mencintainya. Ini adalah murtad dari Islam secara kesepakatan Muslimin, dan walaupun kadang dia bertaubat darinya dan kembali ke Islam.
Telah diketahui bahwa menyakiti Rasul adalah sebesar-besar keharaman, Sesungguhnya orang yang menyakiti beliau maka sungguh telah menyakiti Allah. Membunuh pencaci beliau itu adalah wajib, menurut kesepakatan umat, baik dikatakan bahwa dibunuhnya itu karena keadaannya yang murtad atau karena keadaannya murtad mugholladhoh (berat) yang telah mewajibkan jadinya pembunuhan terhadap pencaci Nabi saw itu adalah satu had (ketentuan hukum) dari hudud (hukum-hukum yang jenis hukumannya telah ditentukan).
Dari Qatadah, dari Al-Hasan berkata, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia. (HR An-Nasai, Al-Bukhori, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan lainnya).
Juga sabdanya:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah kecuali salah satu di antara tiga perkara ini: yaitu seorang janda (yang sudah pernah nikah, laki-laki ataupun perempuan) yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain dan orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang memisahkan dirinya dari jamaah. (Muttafaq ‘alaih).
Hukuman setelah dibunuh: Apabila orang yang murtad telah dibunuh, maka jangan dimandikan, jangan disholatkan atau dikubur di dalam kuburan orang-orang Muslim, dan jangan diwarisi atau menerima warisan. Harta yang ditinggalkannya jadi harta fai’ atau rampasan bagi kaum muslimin untuk kepentingan dan kemaslahatan hidup mereka. Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburannya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasiq.” (At-Taubah: 84).
Demikian pula sabda rasulullah saw:
Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Muttafaq ‘alaih).
Ulama kaum muslimin telah sepakat (ijma’) terhadap hukum-hukum murtad tersebut di atas.
Hukuman orang kufur disebabkan hal tersebut di atas. : Hukuman bagi orang kufur dengan sebab apa yang dikemukakan di atas, adalah diperintahkan untuk bertaubat, selama 3 hari, jika ia bertaubat dari ucapan dan keyakinannya itu (maka taubatnya diterima), tetapi jika tidak, maka ia harus dibunuh, sebagai hukuman. Dan hukumannya setelah mati adalah sama dengan hukuman bagi orang yang murtad. Sebagian ahli ilmu membuat pengecualian, bahwa orang yang mencacimaki Allah atau Rasul-Nya, maka dibunuh pada saat itu juga, dan tidak diterima tobatnya. Sebagian lagi berpendapat, bahwa ia diperintahkan untuk bertobat lebih dulu dan tobatnya itu diterima, lalu ia mengucapkan dua kalimah syahadat, membaca istighfar dan bertobat kepada Allah.
Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan: Dan lebih jelas dari itu bahwa di antara mereka ada yang mengarang buku mengenai agama orang musyrikin dan murtad dari Islam, seperti Ar-Razi telah mengarang buku mengenai penyembahan bintang-bintang dan berhala-berhala, dan dia menegakkan dalil-dalil atas bagusnya hal itu dan manfaatnya, dan ia mencintainya. Ini adalah murtad dari Islam secara kesepakatan Muslimin, dan walaupun kadang dia bertaubat darinya dan kembali ke Islam.
Telah diketahui bahwa menyakiti Rasul adalah sebesar-besar keharaman, Sesungguhnya orang yang menyakiti beliau maka sungguh telah menyakiti Allah. Membunuh pencaci beliau itu adalah wajib, menurut kesepakatan umat, baik dikatakan bahwa dibunuhnya itu karena keadaannya yang murtad atau karena keadaannya murtad mugholladhoh (berat) yang telah mewajibkan jadinya pembunuhan terhadap pencaci Nabi saw itu adalah satu had (ketentuan hukum) dari hudud (hukum-hukum yang jenis hukumannya telah ditentukan).
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar