Cabang iman itu banyak jumlahnya. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam haditsbahwa iman itu ada lebih dari enam puluh atau tujuh puluh cabang. Iman yang paling tinggi adalah memahami kalimat tauhid laa ilaaha illallah, sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan.
Di antara cabang keimanan yang paling tinggi setelah kalimat tauhid adalah mendirikan shalat. Ini bersesuaian juga dengan tahapan kedudukannya dalam rukun Islam. Mendirikan shalat bukan sekadar perbuatan, tetapi perlu dengan keimanan, penghayatan, perkataan, ilmu, dan kesungguhan.
Berdasarkan dalil-dalil yang shahih, ditunjukkan bahwa shalat memiliki nilai kedudukan yang tinggi. Antaranya ia menjadi pembeda di antara kafir dan Islam sekaligus menunjukkan agama tidak akan tertegak jika ia ditinggalkan. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Yang membedakan antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, Kitab al-Iman, 1/228, no. 116)
Selain sebagai tanda keimanan dan keislaman, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikannya termasuk di antara tanda-tanda keberuntungan dan asas-asas kebahagian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Qs. Al-Mukminun : 1-2)
Maka dari sini menunjukkan bahawa amalan shalat itu amat penting kepada umat Islam. Ia menjadi nadi keimanan, tiang agama, dan asas-asas utama sebuah kejayaan.
Shalat Ikut Nabi
Di antara ciri utama shalat yang sempurna adalah dengan mengikuti sifat shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Kerana tatacara shalat ini tidak dapat diketahui dan dipelajari melainkan dengan melihat kepada praktik shalat Rasulullah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari, 3/7, no. 595)
Demi melaksanakan tuntutan hadits ini pada hari ini, tidak dapat tidak, setiap gerakan shalat yangkita lakukan harus melalui penjelasan yang disampaikan oleh hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang shahih.
Pernahkah kita terfikir, “Sejauh manakah shalat yang kita praktikkan pada hari ini sesuai dengantatacara shalatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam?”. “Adakah yang kita amalkan selama ini benar-benar mengikuti sunnah Rasulullah?”. “Apa dalil dan landasannya?”. Maka, apa tindakan kita terhadap persoalan-persoalan yang ditimbulkan ini?
Pada hari ini, buku-buku atau kitab-kitab yang menjelaskan tentang tatacara sifat shalat Rasulullah berdasarkan hadits-hadits yang shahih telah banyak diterjemahkan dan beredar di pasaran. Inilah antara nikmat Allah kepada kita dengan memudahkan proses meraih ilmu.
Selain itu, para pembaca juga bisa mendapatkan bantuan dari para ulama untuk mendapat lebih penjelasan sekiranya perkara ini sukar difahami. Adalah termasuk perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya kita bertanya kepada para ulama dan orang-orang yang mengetahui tentang al-Qur’an dan al-Hadits apabila kita tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan (tentang al-Qur’an dan as-Sunnah) jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. An-Nahl : 43)
Termasuk kefahaman dari ayat ini juga, adalah menjadi tanggungjawab bagi para ulama agarmenjelaskan dan menyampaikan ilmu-ilmu Islam kepada masyarakat berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Yaitu bukan sekadar pendapat yang diada-adakan sendiri tanpa dalil yang jelas.
Jika praktek shalat kita ini nantinya timbul permasalahan, maka kita hanya tahu menyandarkannya kepada si fulan, ustaz fulan, dan kitab fulan. Maka kelak nanti akan timbul gejala perpecahan dan perselisihan disebabkan masing-masing melaksanakan agamanya berdasarkan idea si fulan dan tokoh si fulan. Sedangkan Rasulullah Shallalalhu ‘alaihi wa Sallam meminta kita merujuk kepadanya. Dan ini tidak dapat dilakukan melainkan berdasarkan kemampuan, ilmu, dan usaha yang bersungguh-sungguh.
Dan perkara ini bersesuaian dengan wasiat para imam madzhab yang empat termasuk Imam asy-Syafi’i rahimahullah sendiri.
Imam asy-Syafi’i berkata (Wafat 204 H) : “Tidak ada seorang pun melainkan ia wajib bermadzhab dengan sunnah Rasulullah dan mengikutinya. Apabila yang aku ucapkan atau tetapkan tentang sesuatu perkara (ushul), sedangkan ucapanku itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka yang diambil adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan demikianlah madzhabku(dengan mengikuti sabda Rasulullah).” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqq’in, 2/286)
Jadi, apabila para ulama besar seperti imam asy-Syafi’i sendiri telah menyatakan demikian, maka tidak boleh lagi ada alasan bagi kita untuk menganggap enteng persoalan agama ini terutamanya isu-isu berkaitan shalat selaku amalan terbesar sebagai seorang muslim. Tidak boleh kita hanya memberi alasan aku ikut madzhab si fulan, aku ikut mazhab imam ini, dan aku ikut ustadz si fulan. Sedangkan kita sendiri tidak mengetahui apa dalil yang menjadi pijakan kita dibalik perbuatan mengikuti mereka.
Imam Abu Hanifah rahimahullah (Wafat 150 H) pernah menegaskan : “Tidak halal bagi seorang pun mengikuti perkataan kami apabila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya.” (Ibn ‘Abidin, Hasyiah al-Bahri ar-Ra’iq, 4/293 – Dinukil dari Shifah ash-Shalah oleh al-Albani)
Maka tuntulah ilmu, dan perbaikilah shalat-shalat kita. Jangan jadikan perbedaan yang ada pada hari ini sebagai alat perselisihan dan medan perdebatan. Sebaliknya ambillah perbedaan dengan sikap insaf dan muhasabah diri, yaitu dengan mengembalikannya kepada dalil-dalil yang jelas,yaitu dalil-dalil yang menyatukan kita. Jadikan khazanah peninggalan imam-imam madzhab dan ilmu-ilmu para ulama salaf sebagai pedoman untuk mencari pegangan yang terbaik dalam setiap perselisihan.
Pastikan sumbernya jelas, rujukannya diketahui, dan dalil-dalilnya shahih. Prinsip ini sekaligus membantu kita untuk mencapai kesempurnaan dalam agama bukan sekadar dalam persoalan shalat, tetapi juga permasalahan-permasalahan yang lainnya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar