RISALAH TAUHID BERSERI
Hai Kedua Penghuni Penjara!
Manakah Yang Lebih Baik, Tuhan-Tuhan Yang Bermacam-macam Itu
Ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
1-3
Penulis: Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi
Alih Bahasa: Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Silsilah Pertama
Tauhidullah Adalah Haq Allah Terhadap Hamba-HambaNYA
(Al Urwah Al Wutsqa)
Bismillahirrahmanirrahim
Ketahuilah olehmu – semoga Allah merahmatimu-, bahwa hal paling pertama yang Allah fardhukan terhadap semua hamba untuk mempelajari dan mengamalkannya sebelum shalat, zakat, shaum, hajji dan segala hal fardhu lainnya, adalah TAUHID. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah! Bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Dan bahwa pada dasarnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menciptakan mereka kecuali untuk merealisasikan hal yang agung ini. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyaat: 56)
Yaitu supaya mereka mentauhidkan-Ku (mereka mengabdi/beribadah HANYA kepada-Ku saja). Dan ia adalah makna LAA ILAAHA ILLALLAH, di mana ia bermakna bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah saja.
Dan bahwa ia adalah tujuan yang karenanyalah diutus para Rasul. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan Jauhilah Thaghut itu!” (QS. An Nahl 36).
Dan firman-Nya: “Sembahlah Allah dan Jauhilah Thaghut!” itu adalah makna kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH. Karena ia meliputi An Nafyu (peniadaan/penghapusan/pembuangan/penolakan terhadap semua macam sesembahan/ tempat pengabdian) dan Al Itsbat (penetapan, yaitu penetapan bahwa hanya Allah saja satu-satunya yang haq dan berhak menjadi ilah/sesembahan tempat tercurahnya segala bentuk ibadah dan pengabdian&ketaatan para hamba). Di mana (yang menunjukkan) nafyu adalah pada kalimat LAA ILAAHA, dan (yang menunjukkan) itsbat adalah pada kalimat ILLALLAH.
Dan LAA ILAAHA (tidak ada ilah yang haq) adalah mengandung makna sikap menjauhi/menolak segala yang diibadahi selain Allah, yaitu Thaghut [1]) bila ia ridho dengan peribadatan tersebut; dan ILLALLAH (kecuali hanya Allah saja) adalah mengandung makna penetapan bahwa segala ibadah/pengabdian/ketaatan hanyalah kepada Allah saja satu-satunya. Dan untuk merealisasikan kalimat syahadat yang agung ini maka harus lengkap menggabungkan sekaligus antara nafyu dan itsbat. Karena jika hanya nafyu saja, itu adalah kekafiran dan ta’thil (pengguguran/pengosongan/ penghapusan) adanya Ilah/ sesembahan. Namun jika hanya itsbat saja tanpa adanya nafyu, maka itu adalah tidak mencukupi karena ia bias memungkinkan terkandungnya keimanan (pengakuan) kepada sesembahan-sesembahan lain selain Allah SWT. Sehingga jika hamba menggabungkan relisasi antara NAFYU dan ITSBAT sekaligus maka bermakna ia hanya beribadah kepada Allah saja satu-satunya dan ia berlepas diri (menolak, menjauhi, mengingkari, menentang, antipati) kepada segala sesembahan yang diibadati selain Allah. Maka baru dengan sikap begitulah ia merealisasikan tauhid yang dibawa oleh semua Rasul. Allah Ta’ala berfirman:
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-perintahNya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasannya tidak ada Sesembahan (yang Haq) melainkan AKU, maka hendaklah kalian bertaqwa kepadaKU” (QS. An Nahl: 2)
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasannya tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah (ibadahilah) Aku!” (QS.Al Anbiya: 25)
Dan dalam As Sunnah, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesuatu yang paling utama yang diucapkan oleh aku dan para Nabi sebelumku adalah LAA ILAAHA ILLALLAH” (HR. Al Bukhari)
Dan karena sebab tujuan ang paling agung ini terjadilah pertentangan antara para Rasul dengan kaum-kaum mereka, dan di dalamnya terjadilah perseteruan, al wala, al baro’, kecintaan, kebencian, loyalitas dan permusuhan. Dan karenanya banyak para nabi dibunuh dan disakiti, serta karenanya para sahabat disiksa dan diintimidasi di Mekkah sebelum diwajibkan shalat, zakat, hajji, dan kewajiban-kewajiban lainnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (Rasul) dari kalangan mereka, dan orang-orang kafir berkata, “ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” (QS. Shaad: 4-5)
Firman Allah Ta’ala tentang ucapan kaum musyrikin dalam hal pengingkaran mereka terhadap urusan terbesar yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja??” adalah juga menunjukkan makna dari ungkapan di ayat lain, “Sembahlah Allah saja dan jauhilah Thaghut itu!, dan ia adalah makna Laa ilaaha illallah.
Dan inilah Al Urwah Al Wutsqa yang Allah telah menjamin bagi hamba-hambaNya bila mereka berpegang teguh padanya, bahwa ia tidak akan putus, dan keselamatan tidak akan terwujud kecuali dengan berpegang teguh padanya. Allah Ta’ala berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa kafir kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat kokoh yang tidak akan putus” (QS.Al Baqarah: 256).
Firman-Nya: ‘Barangsiapa KAFIR KEPADA THAGHUT’ adalah wujud penafiyan yang dikandung/dimaksud oleh Laa ilaaha. Dan firmanNya ‘dan BERIMAN KEPADA ALLAH’ adalah itsbat yang dikandung/dimaksud oleh illallah.
Al Urwah Al wutsqa (buhul tali yang sangat kokoh kuat) yang mana seseorang tidak akan selamat kecuali dengan berpegang teguh kepadanya adalah Laa Ilaaha illallah.
Dan itu dikarenakan, sesungguhnya buhul tali keimanan itu sangat banyak, sedangkan manusia ada yang memegang itu seluruhnya atau sebagiannya. Ada yang memegang buhul tali shalat saja, ada yang memegang buhul tali shodaqoh dan amal-amal kebaikan saja, akan tetapi hal itu semuanya tidak cukup untuk keselamatan tanpa al urwah al wutsqo. Jadi tidak ada keselamatan selamanya kecuali bila al urwah al wutsqo yang agung ini (laa ilaaha illallah) terealisasi sebelum buhul-buhul tali iman lainnya. Karena tanpa al urwah al wutsqo maka buhul-buhul tali iman yang lain itu tidak akan diterima. Oleh karena itu, Fir’aun sesungguhnya ketika menyaksikan kebinasaannya dan ia tenggelam maka ia tidak memegang atau berlindung kecuali dengannya, akan tetapi hal itu terjadi setelah keadaannya terlambat. Allah Ta’ala berfirman:
“Hingga ketika Fir’aun itu telah hampir tenggelam, berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil (yakni Allah), dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus: 90).
Dan karena agungnya posisi tauhid ini maka sungguh telah sah dari hadits Nabi SAW bahwa seandainya langit dan bumi seluruhnya ditaruh di satu sisi timbangan, dan Laa Ilaaha Illallah di sisi yang lain, tentulah laa ilaaha illallah itu lebih berat dari langit dan bumi seluruhnya itu.
Oleh sebab itu tidak ada di sana suatu yang lebih agung dalam menolak bencana daripada tauhid, ini buktinya bahwa do’a saat mengalami kesulitan adalah: [Allah, Allah, Allah adalah Robb-ku dan aku tidak menyekutukan seorang pun denganNYA] dan oleh sebab itu para Nabi –sedanglkan mereka itu adalah orang yang paling mengetahui dan paling paham- mereka itu saat dalam kondisi sulit bersandar pada tauhid dan bertawassul kepada Allah dengannya, karena mereka mengetahui bahwa di sana tidak ada yang lebih agung kedudukannya di sisi Allah dari padanya. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya Yunus ‘alaihissalam:
“Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dholim.” Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anbiyaa: 87-88).
Bila Engkau telah memahami apa yang telah lalu, yaitu pentingnya tauhid (laa ilaaha illallah) serta keagungan posisi dan kedudukannya, dan bahwa maknanya adalah mentauhidkan Allah dengan seluruh ibadah, yaitu bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadati kecuali Allah, maka wajib atas kamu mempelajari makna ‘ibadah agar kamu bisa mentauhidkannya secara total bagi Allah dan kamu MENJAUHI PERIBADATAN selainNya subhanahu wa ta’ala dengan bentuk ibadah apapun, sehingga kamu merealisasikan tauhid secara sempurna.
Dan begitu juga wajib atas kamu memahami makna syirik yang merupakan lawan tauhid supaya kamu menjauhinya.
Dan ketahuilah sebelum itu, bahwa laa ilaaha illallah memiliki banyak syarat yang mana ia tidak sah kecuali dengannya, yaitu:
Pertama: Al Ilmu (mengetahui) akan maknanya, baik nafyu maupun itsbat. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadati melainkan Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Kedua: Al Yaqin (Keyakinan) yang meniadakan keraguan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Manusia yang paling bahagia dengan syafa’at saya di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah[2]) seraya tulus dari hatinya atau dirinya.” (HR. Bukhari).
Ketiga: Ash Shidqu (jujur) yang menafikan kebohongan, di mana ia tidak diterima dari orang yang mengucapkannya seraya berdusta, seperti orang-orang munafiq. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An Nisa: 145).
Keempat: Al Ikhlash (pemurnian) yang menafikan syirik. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga.” (QS. Al Maidah: 72) dan akan datang penjelasan syirik.
Kelima: Al Mahabbah (mencintai). Yaitu mencintai kalimat ini dan kandungannya.
Keenam: Al Inqiyad (tunduk), yakni tunduk kepada hak-haknya. Wahhab bin Munabih berkata: “Laa ilaaha illallah adalah kunci surga, sedangkan setiap kunci itu memiliki gigi-gigi, dan barang siapa datang dengan kunci yang memiliki gigi maka dibukakan baginya, dan barang siapa datang dengan kunci yang tidak memiliki gigi maka tidak akan dibukakan baginya”. Sedangkan gigi-gigi itu adalah hak-hak laa ilaaha illallah berupa rukun-rukun Islam, kefardhuan-kefardhuannya serta ikatan-ikatan al iman dan konsekuensi-konsekuensinya.
Ketujuh: Menjauhi pembatal-pembatalnya. Dan ia itu sangat banyak. Sedangkan yang paling berbahaya adalah menyekutukan Allah. Dan akan datang penjelasan sebagian pembatal-pembatalnya.
Dan ketahuilah bahwa tauhid ini dinamakan oleh ahli ilmu dengan nama Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah. Dan di sana ada dua macam lain yang disebutkan Ulama, yaitu:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu.” (QS. An Nisa: 48).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditanya tentang dosa terbesar, maka beliau berkata: “Kamu menjadikan bagi Allah tandingan sedangkan Dialah yang telah menciptakan kamu.” Dan syirik itu menghapuskan seluruh amalan. Allah Ta’ala berfirman:
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan HAPUSLAH amalan dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65).
Dan syirik itu ada dua macam: AKBAR dan ASHGHAR.
Adapun Syirik Ashghor: maka ia itu seperti sedikit riya’ dan seperti sumpah dengan selain Allah Ta’ala, seperti orang yang sumpah dengan nabi atau dengan ka’bah atau dengan kedudukan atau yang lainnya, maka ini syirik ashghor. Kecuali bila meyakini bahwa yang dijadikan sumpah itulah lebih agung dari Allah, maka ia menjadi syirik akbar. Dan hal itu tampak dari peremehan mereka terhadap sumpah dengan nama Allah serta rasa takut dan khawatir mereka bila disumpahi dengan tuhan-tuhan mereka yang lain.
Adapun syirik akbar maka ia adalah menjadikan bersama Allah sembahan yang lain yang ia sekutukan bersamaNya dalam macam ‘ibadah apapun dari macam-macam ‘ibadah, di mana ia sujud kepadaNya atau shalat atau memohon atau mengharap atau takut darinya seperti dia mengharap dan takut dari Allah atau mencintainya seperti kecintaan kepada Allah atau memohon pertolongan kepadanya dalam melenyapkan bahaya dan dalam mendatangkan manfaat dalam suatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, atau mengikutinya dan mentaatinya dalam hukumnya, penghalalan serta pengharaman semua itu adalah syirik kepada Allah Yang Maha Agung. Dan dari ini diketahui bahwa syirik adalah kebalikan tauhid, di mana ia bisa jadi dalam uluhiyah dan bisa jadi dalam bab al asma wa sifat: yaitu dengan cara mensifati Allah dengan sebagian sifat makhluqNya. Umpamanya, orang mengatakan Tangan Allah itu seperti tangan makhluq, padahal Allah berfirman seraya mensifati DzatNya:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dial ah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11).
Atau mensifati selain Allah dengan sebagian sifatNya Ta’ala, atau membentuk nama baginya dari nama-nama Allah, sebagaimana kaum musyrikin menamakan ‘Uzza dari (asma Allah) Al ‘Aziz.
Meninggalkan shalat juga termasuk hal-hal yang telah dijelaskan Rasulullah SAW bahwa ia menjatuhkan pada syirik, sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya antara seseorang dengan syirik (Asy Syirk) dan kekafiran (Al Kufri) itu adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim) dalam Kitabul Iman dari Jabir ibnu Abdillah radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar melindungi kita dari syirik, karena Dia Ta’ala telah berfirman:
“Sesungguhnya barangsiapa menyekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka Allah telah haramkan surga terhadapnya” (QS. Al Maidah: 72).
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi
Penjara Qafqafa – Yordania- Rabi Ats Tsaniy 1415 H
SILSILAH KEDUA
IBADAH
“Maknanya, Sifat-sifatnya dan Syarat-syarat Penerimaannya”
Makna Ibadah
Ibadah secara bahasa adalah diambil dari kata Al Khudhu’ (ketundukan), inqiyad (kepatuhan penuh penerimaan), dan tadzallul (perendahan diri). Dikatakan ba’iir mu’abbad (unta yang dijinakkan) atau thoriq mu’abbad (jalan yang mudah dilalui) yaitu mudah lagi tunduk untuk digunakan…
Dan ia secara syari’at: ia adalah puncak kecintaan disertai puncak perendahan diri, dan ia sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah adalah: nama yang meliputi segala yang dicintai dan diridhoi Allah berupa ucapan-ucapan dan ‘amalan-amalan yang bathin dan yang dhohir.
Dan atas dasar ini maka makna ibadah itu adalah luas dan tidak seperti apa yang diduga oleh banyak manusia, di mana mereka membatasinya kepada sujud, ruku’ dan shalat padahal bisa jadi mereka mengibadahi selain Allah dengan macam ibadah yang lain, sedangkan mereka tidak menyadari, sehingga mereka jatuh dalam syirik yang tidak mungkin Allah ampuni bagi orang yang mati di atasnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa apa yang selain dari syirik itu bagi orang yang Dia kehendaki”. (QS. An Nisa 48)
Oleh sebab itu wajib atas orang yang menginginkan keselamatan dari neraka, dan masuk surga untuk memahami maknanya dan macam-macamnya agar ia mentauhidkannya seluruhnya bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Itu adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hambaNya, bila mereka menunaikannya maka hak atas Allah subhanahu wa ta’ala untuk memasukkan mereka ke dalam surga sebagaimana dalam hadits Mu’adz ibnu Jabal radhiyallahu ‘anhu.
Ibadah itu datang dengan makna tanassuk (penyembahan) dan ta’alluh (pengILAHan/pentuhanan): seperti sujud, ruku’ dan shalat, dan juga termasuk ibadah, dan di antaranya juga istighatsah dalam hal yang tidak mampu untuknya kecuali Allah, maka ia itu tergolong ibadah yang wajib, tidak dipalingkan kepada selain Allah, Serta juga isti’adzah.
“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al Jin: 6)
Dan begitu juga sembelihan, nadzar dan yang lainnya, maka itu semua termasuk ibadah yang wajib tidak dipalingkan kepada selain-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Robb semesta ‘alam, tiada sekutu bagiNya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah.” (QS. Al An’am: 162-163).
Dan firmanNya Ta’ala:
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah” (QS. Al Kautsar: 2). Nahr dan penyembelihan adalah seperti shalat, wajib ditauhidkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang do’a: “Do’a itu adalah ibadah.”
Dan ibadah itu datang dengan makna tha’ah (ketaatan) dan ketundukan yang muthlaq. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai bani Adam supaya kamu tidak mengibadati syaithan? Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Yaasiin: 60).
Ibadah kepada syaithan ini adalah mentaatinya. Dan begitu juga firman Allah Ta’ala tentang Fir’aun dan kroni-kroninya.
“Dan mereka berkata, ‘Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mukminun: 47).
Yang dimaksud dengan ibadah di sini adalah ketaatan dan ketundukan yang muthlaq dalam segala sesuatu, maka ini tidak boleh kecuali hanya kepada Allah. Dan bila dipalingkan kepada selainNya, maka ia ada dua macam:
Dan firmanNya subhanahu wa ta’ala:
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah” (QS. Yusuf: 40).
Hukum (putusan) dan tasyri’ (pembuatan hukum) itu adalah di antara hak khusus uluhiyyah (ketuhanan) yang paling khusus, oleh sebab itu maka di antara makna ILAH (tuhan) adalah MUSYARRI’ (pembuat hukum/pembuat syari’at), dan di antara asma Allah yang paling baik (Al Asmaa Al Husna) adalah Al Hakam (penentu hukum) dan Al Haakiim. Maka sesungguhnya barang siapa membuat hukum atau menetapkan undang-undang dan hukum selain hukum Allah Azza wa Jalla maka berarti dia telah menyandarkan kepada dirinya suatu sifat dari sifat-sifat ketuhanan, dan berarti dengan hal itu dia seperti Fir’aun saat mengatakan:
“aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku” (QS. Al Qashash: 38).
Dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sekedar taat dan ittiba’ kepada selain Allah Azza wa Jalla dalam hukum dan tasyri’ dianggap syirik adalah banyak. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang MUSYRIK.” (QS. Al An’am: 121).
Jadi mentaati kawan-kawan setan di sini adalah syirik dan ibadah kepada selain Allah azza wa Jalla, karena ia adalah ketaatan dalam hukum dan tasyri’, yaitu dalam penghalalan dan pengharaman yang tidak layak kecuali bagi Allah ‘Azza wa Jalla. Dan itu sebagaimana Al Hakim dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu., “Bahwa sejumlah orang dari kaum musyrikin membantah kaum muslimin perihal masalah sembelihan dan pengharaman bangkai, di mana mereka mengatakan “kalian makan dari apa yang kalian bunuh (sembelih) dan kalian tidak makan dari apa yang Allah bunuh (bangkai).” Maka Allah Ta’ala berfirman, “dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” Jadi sekedar taat dalam hal seperti ini dianggap syirik, Ibnu Katsir rahimahullah, berkata: “yaitu di mana kalian berpaling dari perintah Allah kepada kalian dan syari’atNya kepada pendapat selainNya, yaitu kalian mendahulukan yang lain terhadapNya, maka ini adalah SYIRIK itu.”
Oleh sebab itu sesungguhnya orang yang mentaati ulama, umaro (penguasa) dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan atau penghalalan apa yang Allah haramkan dalam fatwa-fatwa mereka, atau undang-undang mereka yang dengannya mereka menguasai manusia, maka dia itu telah menjadikan mereka sebagai arbab selain Allah dan dengan hal itu dia menjadi musyrik. Dan ini dibuktikan oleh firman-Nya subhanahu wa ta’ala tentang ahli kitab:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (QS. At Taubah: 31). Menjadikan alim ulama dan para rahib sebagai tuhan-tuhan itu maksudnya adalah bukan sujud dan ruku’ kepada mereka, akan tetapi hal itu adalah dengan mentaati mereka dalam hukum tasyri’, penghalalan dan pengharaman, karena ketaatan ini adalah ibadah seperti halnya ruku’ dan sujud yang tidak boleh kecuali kepada Allah Azza wa Jalla, oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala mengingkari hal itu terhadap mereka di akhir ayat:
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
Dan Dia subhanahu wa ta’ala berfirman juga tentang orang-orang semacam mereka itu yang mentaati dan mengikuti selain hukum-Nya:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien (hukum/ajaran) yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu akan memperoleh ‘adzab yang amat pedih.” (QS. Asy Syura: 21).
Maka hati-hatilah dengan baik terhadap hal itu –semoga Allah merahmati kita- karena sungguh telah binasa dengan sebabnya banyak manusia di zaman kita ini. [3])
SIFAT IBADAH YANG BENAR
Ibadah, agar sesuai dengan apa yang dituntut oleh Allah dari kita, maka ia mesti disertai tiga hal, yaitu:
“Adapun orang-orang yang beriman sangat amat cintanya kepada Allah” (QS. Al Baqarah: 165).
Dan begitu juga kita beribadah kepadaNya karena rasa takut kepada Allah dan kepada ‘adzabNya subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 175),
Dan berfirman:
“Sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap.” (QS. As Sajdah: 16). Yaitu takut dari ‘adzabNya dan mengharap ampunan-Nya, surga-Nya dan pahalaNya.
Dan begitu juga harapan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan ‘adzabNya, sesungguhnya ‘adzab Robbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Israa’: 57)
Maka kita beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena kecintaan kepadaNya, rasa takut dari ‘adzabNya serta mengharapkan rahmat dan pahalaNya di waktu yang sama. Dan ini adalah keadaan dan realita kebiasaan orang-orang sholeh, dan itulah sifat ibadah yang benar yang diinginkan Allah dari hamba-hambaNya. Oleh sebab itu, sebagian salaf berkata: “Barang siapa beribadah kepada Allah dengan kecintaan saja maka ia zindiq [4]), dan barang siapa beribadah kepadaNya dengan rasa takut saja maka ia haruri/khawarij [5]), dan barang siapa beribadah kepadaNya dengan pengharapan saja maka dia Murji’/murji’ah [6]). Adapun penganut sunnah maka dia menggabungkan lengkap antara hal itu semuanya.”
SYARAT-SYARAT PENERIMAAN IBADAH
Adapun syarat-syarat penerimaan ibadah adalah:
Ibadah tanpa iman yang benar adalah ditolak, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
”Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan BERIMAN… “ (QS. An Nahl: 97), di mana IMAN dijadikan sebagai syarat bagi hal itu.
Dan beditu juga ikhlash, di mana tanpa keikhlasan, suatu ibadah tidak diterima. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi: “Aku adalah yang paling tidak membutuhkan penyekutuan, barang siapa mengamalkan suatu amalan yang dia menyekutukan selainKu di dalamnya bersamaKu, maka Aku tinggalkan dia dan penyekutuannya.” Maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima dari amalan apa saja kecuali apa yang tulus ikhlas bagiNya.
Dan begitu juga ittiba’: Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima dari ibadah apapun kecuali apa yang sejalan dengan apa yang disyari’atkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini apa yang bukan (bagian) darinya, maka ia ditolak.” (HR. Muslim).
Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan kepada kita taufiq terhadap ibadah shahihah dan menerima amalan kita serta memberikan kepada kita husnul khatimah.
Abu Muhammad ‘Ashim al Maqdisi
Penjara Qafqafa – Yordania – Rabi Ats Tsaniy 1415 H
Silsilah Ketiga
BID’AH PERSATUAN TANAH AIR
Perbedaan Yang Nyata antara Tauhid Para Rasul
Dengan Tauhid Para Pengusung tanah Air
[Wakil rakyat di lembaga legislatif!! (Abdul Mun’im Abu Zanath) berkata dalam bantahannya terhadap pemerintah seusai tragedi penganiayaan terhadapnya setelah shalat Jum’at, yang disiarkan lewat Koran Al Bilad pada edisi ke-95 tanggal 2/11/1994 M: (saya memulai khuthbah seraya mengatakan setelah muqodimahnya: Wahai saudara-saudara kami!! dari kalangan eksekutif takutlah kepada Allah perihal ibu-ibu kalian yang muslimah….. –sampai ucapannya-: Kemudian saya mengakhirinya dengan ucapan saya: Wahai saudara-saudara kami, saya ingatkan kalian dengan Allah pemilik Arsy yang agung agar kita menjaga persaudaran kita, persatuan tanah air kita, rakyat kita dan ketenangan negeri kita, kita ingin keutuhan dan kesatuan, dan kita tidak ingin menjadikan musuh-musuh gembira melihat kita)] [7]
Saya katakana sebagai penjelasan terhadap kesesatan dan pengaburan yang ada di dalamnya:
Segala puji hanya bagi allah yang telah menjadikan pentauhidanNya dengan ibadah sebagai pembeda antara Auliyaaur Rahman dengan auliyaausysyaithan, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada NabiNya Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya, yang mana kecintaan dan kebencian karena Allah serta loyalitas dan permusuhan karena Allah bagi mereka adalah ikatan iman yang paling kokoh…. Wa ba’du:
Sesungguhnya hal terbesar yang karenanya Allah telah mengutus para rosulNya adalah pentauhidan Allah, dan ibadah dalam semua bentuknya serta keberlepasan diri dari syirik dan para pelakunya dengan berbagai macamnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa: 25).
Dan firmanNya subhanahu wa ta’ala:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (menyerukan): “Sembahlah Allah dan Jauhilah Thaghut!”. (QS. An Nahl: 36).
Dan sudah sah dari Nabi SAW dan sabdanya: “Hak Allah atas hamba-hambaNya adalah mereka mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan sesuatupun denganNya.”
Dan di antara lawazim (konsekuensi keharusan) tauhid ini dan pilar-pilarnya yang merupakan di antara sifat dari ciri terpenting para pengikutnya adalah: Mencintai Allah, mencintai wali-wali-Nya yang bertauhid yang hanya beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukan sesuatupun denganNya, loyalitas kepada mereka, nushroh (menolong) mereka, memperbanyak barisan mereka serta mencintai kemenangan dan kejayaan mereka.
Dan di antara lawazim kufur kepada Thaghut adalah: menjauhi syirik dan baro’ darinya, menjauhi para pelakunya, meninggalkan mereka, membenci mereka, memusuhi mereka serta menjihadi mereka dengan lisan dan senjata saat memungkinkan, walupun mereka itu dari kalangan keluarga, marga dan kerabat terdekatnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpin, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang tawalliy kepada mereka maka mereka itulah orang-orang yang dhalim.” (QS. At Taubah: 23).
Dan Allah Ta’ala berfirman dalam mensifati Millah Ibrahim dan dakwah para Nabi dan para Rasul:
“Sesungguhnya telah ada bagi kamu suri tauladan yang baik pada diri Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya saat mereka berkata kepada kaum mereka: ‘sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nampak jelas antara kami dengan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahannah: 4).
FirmanNya Ta’ala: “Dan orang-orang yang bersamanya”, para ahli tafsir berkata: mereka adalah para Rasul yang berada di atas jalannya atau anshornya yang beriman yang bersamanya. Dan kedua penafsiran ini benar.
Dan perhatikan firmanNya Ta’ala: “saat mereka berkata kepada kaum mereka”, di mana ia adalah berhadap-hadapan, sikap keterusterangan, dan ucapan yang diarahkan kepada masyarakat dan keluarga mereka perihal keberlepasan diri yang nyata lagi terang-terangan dari mereka dan dari sembahan-sembahan mereka yang mereka ibadati selain Allah. Dan begitulah seyogyanya keadaan setiap orang yang ingin memegang erat Millah Ibrohim dan meniti jalan Rasul. Di mana ia mesti berlepas diri dari setiap yang diibadati dan diikuti selain Allah, baik yang diibadati itu adalah berhala-berhala dari batu atau pohon atau qowanin (undang-undang) dan hukum-hukum buatan manusia, namun hal itu saja tidak cukup, dan seseorang tidak sempurna dengannya tauhidnya dan keberlepasannya dari syirik sampai ia menyertakan kepadanya sikap BARA’AH dari kaum musyrikin itu sendiri. Dan perhatikan firmanNya Ta’ala dalam ayat itu: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari KAMU dan dari apa yang kamu ibadahi selain Allah”. Dan bagaimana Allah mengedepankan sikap baro’ah dari kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah terhadap sikap baro’ah dari sembahan-sembahan mereka dan kemusyrikan mereka, karena yang pertama adalah lebih utama, di mana berapa banyak orang yang berlepas diri dari syirik dan sesembahan-sesembahan yang bathil namun ia tidak berlepas diri dari para pelaku kesyirikan tersebut, terutama bila mereka itu berasal dari keluarganya, sukunya, orang-orang yang setanah air dan orang-orang yang sebangsa. Adapun bila ia telah berlepas diri dari kaum musyrikin maka ini memastikan keberlepasan diri dari kemusyrikan mereka biasanya. Kemudian Allah Ta’ala menguatkan hal itu dengan firman-Nya: “Kami ingkari (kekafiran)mu.” Dan berfirman: “dan telah nampak” yaitu tampak dengan jelas dan nyata “antara kami dengan kamu permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” Dan perhatikanlah pengedepanan permusuhan terhadap kebencian, karena ia adalah lebih nampak dan lebih penting, di mana kebencian itu biasanya tempatnya adalah hati, adapun permusuhan maka ia memastikan seseorang itu berada di suatu sisi dan pihak, dan sedangkan musuhnya ada di sisi dan pihak yang lain. Dan pilar ini sangat jelas dalam dakwah para Nabi seluruhnya. Dan sebagaimana Ibrohim itu memusuhi bapaknya dan kaumnya, meninggalkan mereka dan berlepas diri dari mereka karena tauhidullah Ta’ala dan karena dien-Nya, maka begitu juga para Nabi lainnya mendakwahi kaum mereka dengan hikmah dan pelajaran yang baik, mereka berlepas diri dari sembahan-sembahan dan kemusyrikan-kemusyrikan mereka, serta mereka sabar di atas dakwahnya. Kemudian jika mereka bersikukuh di atas kemusyrikan dan kebathilannya, maka mereka (para nabi & pengikutnya) berlepas diri dari mereka (kaumnya yang musyrik itu), memusuhi mereka dan meninggalkan mereka. Dan di atas jalan mereka inilah orang-orang sholih berjalan. Contohnya ini para pemuda Ashhaabul Kahfi, mereka meninggalkan kaumnya, tanah airnya dan karib kerabatnya demi mentauhidkan Allah Ta’ala;
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadahi selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam goa itu.” (QS. Al Kahfi: 16)
Dan begitu juga keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sungguh telah datang pensifatan beliau lewat lisan Malaikat dalam Shohih Al Bukhari: “Dan Muhammad adalah pemilah (pemecah/pemisah) di antara manusia”. Dan dalam satu riwayat: “memilah”, dan datang juga pensifatannya lewat lisan musyrikin Quraisy dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan isnad shohih: [-para tokoh Quraisy datang ke Abu Thalib mengeluh mengadukan gerak dakwah Nabi SAW- “dia (Muhammad) telah MENGHINA tuhan-tuhan kita, MENCELA ajaran kita, dan MENGHUJAT nenek moyang kita…”, dan begitu juga apa yang dikatakan Waroqoh ibnu Naufal di awal pengutusan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Andaikata saja saya masih muda saat kaummu mengusirmu”, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apakah mereka akan mengusir saya??” Waroqoh berkata: “ya, tidak seorangpun datang membawa seperti apa yang kamu bawa melainkan ia pasti dimusuhi.”
Bila engkau melihat orang yang mengklaim bahwa ia berada di atas jalan para nabi dan Rasul, terus dia tidak memusuhi ahlul bathil dan kaum musyrikin –(dan dia juga tidak dimusuhi oleh ahlul bathil dan kaum musyrikin)- maka tinggalkanlah dia, karena dia tidak membawa seperti apa yang dibawa oleh para Nabi. Allah Ta’ala telah menamakan kitabNya yang memilah antara ahlul haq dan ahlul bathil –walaupun mereka itu bapak-bapak dan anak-anaknya—sebagai Al Furqon (pemisah), dan ia juga menamakan Perang Badar Al Kubra (perang badar al ‘Udhma) dengan sebutan YAUMAL FURQAN, di mana di dalamnya terjadi peristiwa anak-anak membunuh bapak-bapak mereka dalam rangka nushroh (menolong) kalimat tauhid dan meninggikannya.
Dan begitulah Tauhid Rabbil ‘aalamiin adalah tauhid orang-orang yang bertaqwa lagi beriman, Dia menyatukan hati mereka dan mengumpulkan mereka di dunia dan di akherat,
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain” (QS. At Taubah: 71), dan firman-Nya Ta’ala:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az Zukhruf: 67)
Sedangkan tauhid kaum paganisme kebangsaan atau persatuan kebangsaan (yang merupakan paganisme) adalah menyatukan antara kaum musyrikin, murtaddin (orang-orang murtad) dan orang-orang kafir di dunia kemudian di hari kiamat kelak sebagian mereka melaknat sebagian yang lain dan saling berlepas diri (saling memusuhi), Dan Ibrohim berkata: “
Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian yang lain, dan sebagian kamu melaknati sebagian yang lain, dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun” (QS. Al Ankabut: 25).
Dan Tauhid Robbil ‘aalamiin selamanya tidak akan bertemu dengan tauhid paganisme kebangsaan, yaitu tauhid (PENYATUAN) kesukuan dan ras serta yang lainnya, kecuali dalam salah satu dari dua keadaan:
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, ‘Seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka (kini) berlepas diri dari kami’. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka” (QS. Al Baqarah: 167)
Dan kesimpulannya: Bahwa tauhid kaum paganis kebangsaan atau Persatuan Naional yang merupakan paganisme yang menyatukan antara orang komunis, sekuler, Kristen, demokrat, ba’ath/sosialis, orang yang menghujat Allah dan agamaNya dan orang yang memperolok-olok dienullah, menyatukan mereka dan mengumpulkan barisan mereka di dalam payung kepentingan lain yang diklaim… Tauhid ini adalah tauhid kaum kuffar atau tauhiduth thawaghit tauhidnya para Thaghut, tauhid kaum musyrikin, atau tauhid kuffar Quraisy yang mereka mengajak Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya dan menawarinya terhadapnya demi kepentingan suku dan kabilah serta persatuannya dan demi kepentingan Negara atau kepentingan tanah air, akan tetapi selamanya hal itu tidak akan menjadi tauhid para Rasul, dan mustahil hal itu terjadi, karena tauhid Robbul ‘aalamiin itu memisahkan antara ahlul haq dengan ahlul bathil, sedangkan persatuan kebangsaan (yang syirik) itu mengumpulkan dan mempersaudarakan di antara mereka. Sungguh sangat buruk sekali keputusan mereka itu.
Dan dari ini semuanya engkau mengetahui bahwa hal paling pertama yang dituntut dari orang muslim yang ingin merealisasikan tauhidnya secara sempurna adalah baro’ dari syirik dan kaum musyrikin walaupun mereka itu dari kalangan orang yang paling dekat nasab dan tanah airnya, dan bahwa bid’ah persatuan paganisme kebangsaan yang didengung-dengungkan oleh banyak manusia pada zaman ini adalah membatalkan dan menggugurkan tauhid yang merupakan hak Allah atas hamba-hambaNya. Dan karenanya maka tidak boleh berjuang lewat bingkainya atau penganutnya apalagi membelanya, mendukungnya dan menyokongnya, kecuali saat tanah air dan penduduknya itu memperlakukan dan tunduk kepada hukum Allah dan berlepas diri dari hukum Thaghut, dan saat penduduknya kafir terhadap segala yang dihadapi selain Allah dan mereka berlepas diri dari syirik dan dari pelakunya, serta mereka merealisasikan tauhid para Nabi dan para Rasul, maka saat itu juga kami akan menjadi orang yang paling antusias terhadap persatuan kebangsaan dan di antara bala tentaranya yang paling setia, dan kami akan membuang perselisihan-perselisihan far’iyyah di belakang punggung kami selagi persatuan ini berdiri di atas landasan yang bersih yaitu tauhid robbul ‘aalmiin serta bara’ dari syirik dan kaum musyrikin. Dan tanpa itu maka enyahlah bagi setiap persatuan yang menyelisihi millah Ibrahim dan tauhid para nabi dan para Rasul.
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi
Penjara Qafqafa Yordania,
Kamis 29 Jumada Al Ula 1415 H/ 3 Nopember 1994 M
Penterjemah berkata:
Selesai diterjemah Jum’at siang di LP Sukamiskin UB 30
1428 H / 25 Mei 2007 M
[1]. Dan batasan ini sangat penting, karena batasan ini mengeluarkan dari penamaan sebagai Thaghut atas sesuatu yang diibadati kaum musyrikin tetapi ia tidak ridho dengan peribadatan kaum musyrikin kepadanya itu, seperti misalnya Malaikat, Uzair, Isa Al Masih dan yang lainnya dari para Nabi, para wali dan sholihin atau yang lainnya. Mereka itu diibadati orang-orang musyrik, tapai mereka tidak rela, tidak ridho dirinya diibadati, maka mereka tidak boleh dinamai sebagai Thaghut. Mereka tidak salah dan tidak dibara. Yang salah dan harus dibara’ adalah keyakinan uluhiyah musyrikin dan peribadatan musyrikin kepada mereka dan orang-orang musyriknya itu juga harus dibaro’.
[2] Faidah: Sejumlah tokoh para ulama berbendapat bahwa lontaran-lontaran semacam ini yang datang berkaitan dengan orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah bahwa ia masuk surga atau Allah haramkan neraka terhadapnya dan hal-hal serupa itu, adalah hanya terjadi di awal Islam saat dakwah itu hanya kepada pengakuan Tauhid saja. Kemudian tatkala kefardhuan-kefardhuan telah diwajibkan dan hudud telah ditetapkan maka hal itu dinasakh sedangkan dalil-dalil terhadap hal ini adalah sangat banyak. Dan ini adalah pendapat Adh Dhahak, Adz dzuhri, Sufyan Ats Tsauri dan yang lainnya. Dan segolongan yang lain berkata tidak butuh kepada pengklaiman nasakh dalam hal itu, karena semua yang termasuk rukun-rukun dien dan kewajiban-kewajiban Islam adalah termasuk konsekuensi-konsekuensi pengakuan akan syahadatain dan kesempurnaannya, bila dia mengaku terus menolak diri dari sesuatu dari hal-hal fardhu itu karena pengingkaran, atau malas sesuai rincian perselisihan di dalamya maka kami vonis dia kafir dan tidak masuk surga. Dan pendapat ini juga dekat. Dan kelompok yang lain berkata: pengucapan kalimat tauhid adalah sebab yang menuntut masuk surga dan selamat dari neraka, dengan syarat ia mendatangkan faroidh (kewajiban-kewajiban) dan menjauhi kabaair (dosa-dosa besar). Dan bila dia tidak mendatangkan farooidh dan tidak menjauhi kabaair maka pengucapan kalimat tauhid itu tidak mencegahnya dari masuk neraka. Dan pendapat ini adalah dekat dari yang sebelumnya atau memang itu-itu juga. Wallahu a’lam. (At Targhib wat Tarhib: 2/413-414)
[3] Dan masuk dalam cabang ini juga para pemerintah murtad yang mengaku Islam dan memberlakukan undang-undang yahudi dan nashrani, maka mereka musyrik juga walaupun bukan mereka sendiri yang membuat UU itu, terus mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan atau mengharamkan apa yang Allah halalkan, karena sekedar ketaatan mereka kepada yahudi dan nashrani dalam memberlakukan UU mereka yang keseluruhannya -(sebagian besarnya,ed)- adalah penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal) sebagai pengganti hukum Allah, adalah dianggap sebagai syirik akbar (yaitu ibadah kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla). Kaum musyrikin Arab dahulu membantah kaum muslimin pada satu hukum dari hukum-hukum Islam yaitu penyembelihan, terus Allah ‘Azza wa Jalla menamakan ketaatan mereka dan sikap ittiba’ mereka kepada hal itu sebagai syirik, maka bagaimana dengan orang yang mengikuti Yahudi dan Nashrani dan serta menuruti mereka dalam memberlakukan UU dan hukum-hukum mereka SELURUHNYA serta mencampakkan hukum Allah seluruhnya ?????
[4] Sebagaimana yang diklaim oleh sebagian kaum sufi bahwa mereka itu kekasih-kekasih Allah. Mereka menyembahNya karena kecintaan kepadaNya saja, dan bukan karena takut dari ‘adzabNya serta bukan karena harapan dan keinginan kepada ampunan dan pahalaNya, sehingga hal itu tergolong sebab terbesar kesesatan dan penyimpangan mereka, karena mereka menyelisihi perintah Allah ‘Azza wa Jalla, di mana Dia memerintahkan kita untuk mengibadatiNya dan khouf dan rojaa secara lengkap bersamaan, di mana Dia berfirman: “Dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).” (QS. Al A’raf: 56). Orang-orang sesat itu tidak lebih paham dan tidak lebih mengetahui dari pada para Nabi dan hamba-hamba Allah yang sholih yang telah Allah sifati mereka bahwa mereka itu berdo’a kepada Allah dengan rasa TAKUT dan HARAP serta Dia memuji mereka karena hal itu.
[5] Haruriyah: adalah Khawarij. Dinisbatkan kepada Harurah, suatu daerah awal kemunculan mereka adalah di sana.
[6] Murji’ah, mereka adalah orang-orang yang menyingkirkan amal dari iman dan membiarkannya serta tidak menjadikannya sebagai syarat atau rukun dari rukun-rukun iman, sebagaimana yang sering diucapkan banyak orang pada hari ini apabila diajak untuk shalat atau hal fardhu lainnya: “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Tanpa sedikitpun memenuhi panggilan itu.
[7] Dan ada dalam Koran Ad Dustur tanggal 23/11/1994 M dalam makalah Musa al Kailani di bawah judul: Para Tokoh harokah Islamiyah Yordania (Penegasan abdul Majid Zanibath Muraqib ‘Aam Al Ikhwan Al Muslimin bahwa Al Ikhwan akan menjadi orang yang paling pertama menghadang orang yang berupaya mengusik persatuan tanah air di tengah anak-anak satu bangsa …………)
Hai Kedua Penghuni Penjara!
Manakah Yang Lebih Baik, Tuhan-Tuhan Yang Bermacam-macam Itu
Ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
1-3
Penulis: Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi
Alih Bahasa: Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Silsilah Pertama
Tauhidullah Adalah Haq Allah Terhadap Hamba-HambaNYA
(Al Urwah Al Wutsqa)
Bismillahirrahmanirrahim
Ketahuilah olehmu – semoga Allah merahmatimu-, bahwa hal paling pertama yang Allah fardhukan terhadap semua hamba untuk mempelajari dan mengamalkannya sebelum shalat, zakat, shaum, hajji dan segala hal fardhu lainnya, adalah TAUHID. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah! Bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Dan bahwa pada dasarnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menciptakan mereka kecuali untuk merealisasikan hal yang agung ini. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyaat: 56)
Yaitu supaya mereka mentauhidkan-Ku (mereka mengabdi/beribadah HANYA kepada-Ku saja). Dan ia adalah makna LAA ILAAHA ILLALLAH, di mana ia bermakna bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah saja.
Dan bahwa ia adalah tujuan yang karenanyalah diutus para Rasul. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan Jauhilah Thaghut itu!” (QS. An Nahl 36).
Dan firman-Nya: “Sembahlah Allah dan Jauhilah Thaghut!” itu adalah makna kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH. Karena ia meliputi An Nafyu (peniadaan/penghapusan/pembuangan/penolakan terhadap semua macam sesembahan/ tempat pengabdian) dan Al Itsbat (penetapan, yaitu penetapan bahwa hanya Allah saja satu-satunya yang haq dan berhak menjadi ilah/sesembahan tempat tercurahnya segala bentuk ibadah dan pengabdian&ketaatan para hamba). Di mana (yang menunjukkan) nafyu adalah pada kalimat LAA ILAAHA, dan (yang menunjukkan) itsbat adalah pada kalimat ILLALLAH.
Dan LAA ILAAHA (tidak ada ilah yang haq) adalah mengandung makna sikap menjauhi/menolak segala yang diibadahi selain Allah, yaitu Thaghut [1]) bila ia ridho dengan peribadatan tersebut; dan ILLALLAH (kecuali hanya Allah saja) adalah mengandung makna penetapan bahwa segala ibadah/pengabdian/ketaatan hanyalah kepada Allah saja satu-satunya. Dan untuk merealisasikan kalimat syahadat yang agung ini maka harus lengkap menggabungkan sekaligus antara nafyu dan itsbat. Karena jika hanya nafyu saja, itu adalah kekafiran dan ta’thil (pengguguran/pengosongan/ penghapusan) adanya Ilah/ sesembahan. Namun jika hanya itsbat saja tanpa adanya nafyu, maka itu adalah tidak mencukupi karena ia bias memungkinkan terkandungnya keimanan (pengakuan) kepada sesembahan-sesembahan lain selain Allah SWT. Sehingga jika hamba menggabungkan relisasi antara NAFYU dan ITSBAT sekaligus maka bermakna ia hanya beribadah kepada Allah saja satu-satunya dan ia berlepas diri (menolak, menjauhi, mengingkari, menentang, antipati) kepada segala sesembahan yang diibadati selain Allah. Maka baru dengan sikap begitulah ia merealisasikan tauhid yang dibawa oleh semua Rasul. Allah Ta’ala berfirman:
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-perintahNya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasannya tidak ada Sesembahan (yang Haq) melainkan AKU, maka hendaklah kalian bertaqwa kepadaKU” (QS. An Nahl: 2)
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasannya tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah (ibadahilah) Aku!” (QS.Al Anbiya: 25)
Dan dalam As Sunnah, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesuatu yang paling utama yang diucapkan oleh aku dan para Nabi sebelumku adalah LAA ILAAHA ILLALLAH” (HR. Al Bukhari)
Dan karena sebab tujuan ang paling agung ini terjadilah pertentangan antara para Rasul dengan kaum-kaum mereka, dan di dalamnya terjadilah perseteruan, al wala, al baro’, kecintaan, kebencian, loyalitas dan permusuhan. Dan karenanya banyak para nabi dibunuh dan disakiti, serta karenanya para sahabat disiksa dan diintimidasi di Mekkah sebelum diwajibkan shalat, zakat, hajji, dan kewajiban-kewajiban lainnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (Rasul) dari kalangan mereka, dan orang-orang kafir berkata, “ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” (QS. Shaad: 4-5)
Firman Allah Ta’ala tentang ucapan kaum musyrikin dalam hal pengingkaran mereka terhadap urusan terbesar yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja??” adalah juga menunjukkan makna dari ungkapan di ayat lain, “Sembahlah Allah saja dan jauhilah Thaghut itu!, dan ia adalah makna Laa ilaaha illallah.
Dan inilah Al Urwah Al Wutsqa yang Allah telah menjamin bagi hamba-hambaNya bila mereka berpegang teguh padanya, bahwa ia tidak akan putus, dan keselamatan tidak akan terwujud kecuali dengan berpegang teguh padanya. Allah Ta’ala berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa kafir kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat kokoh yang tidak akan putus” (QS.Al Baqarah: 256).
Firman-Nya: ‘Barangsiapa KAFIR KEPADA THAGHUT’ adalah wujud penafiyan yang dikandung/dimaksud oleh Laa ilaaha. Dan firmanNya ‘dan BERIMAN KEPADA ALLAH’ adalah itsbat yang dikandung/dimaksud oleh illallah.
Al Urwah Al wutsqa (buhul tali yang sangat kokoh kuat) yang mana seseorang tidak akan selamat kecuali dengan berpegang teguh kepadanya adalah Laa Ilaaha illallah.
Dan itu dikarenakan, sesungguhnya buhul tali keimanan itu sangat banyak, sedangkan manusia ada yang memegang itu seluruhnya atau sebagiannya. Ada yang memegang buhul tali shalat saja, ada yang memegang buhul tali shodaqoh dan amal-amal kebaikan saja, akan tetapi hal itu semuanya tidak cukup untuk keselamatan tanpa al urwah al wutsqo. Jadi tidak ada keselamatan selamanya kecuali bila al urwah al wutsqo yang agung ini (laa ilaaha illallah) terealisasi sebelum buhul-buhul tali iman lainnya. Karena tanpa al urwah al wutsqo maka buhul-buhul tali iman yang lain itu tidak akan diterima. Oleh karena itu, Fir’aun sesungguhnya ketika menyaksikan kebinasaannya dan ia tenggelam maka ia tidak memegang atau berlindung kecuali dengannya, akan tetapi hal itu terjadi setelah keadaannya terlambat. Allah Ta’ala berfirman:
“Hingga ketika Fir’aun itu telah hampir tenggelam, berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil (yakni Allah), dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus: 90).
Dan karena agungnya posisi tauhid ini maka sungguh telah sah dari hadits Nabi SAW bahwa seandainya langit dan bumi seluruhnya ditaruh di satu sisi timbangan, dan Laa Ilaaha Illallah di sisi yang lain, tentulah laa ilaaha illallah itu lebih berat dari langit dan bumi seluruhnya itu.
Oleh sebab itu tidak ada di sana suatu yang lebih agung dalam menolak bencana daripada tauhid, ini buktinya bahwa do’a saat mengalami kesulitan adalah: [Allah, Allah, Allah adalah Robb-ku dan aku tidak menyekutukan seorang pun denganNYA] dan oleh sebab itu para Nabi –sedanglkan mereka itu adalah orang yang paling mengetahui dan paling paham- mereka itu saat dalam kondisi sulit bersandar pada tauhid dan bertawassul kepada Allah dengannya, karena mereka mengetahui bahwa di sana tidak ada yang lebih agung kedudukannya di sisi Allah dari padanya. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya Yunus ‘alaihissalam:
“Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dholim.” Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anbiyaa: 87-88).
Bila Engkau telah memahami apa yang telah lalu, yaitu pentingnya tauhid (laa ilaaha illallah) serta keagungan posisi dan kedudukannya, dan bahwa maknanya adalah mentauhidkan Allah dengan seluruh ibadah, yaitu bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadati kecuali Allah, maka wajib atas kamu mempelajari makna ‘ibadah agar kamu bisa mentauhidkannya secara total bagi Allah dan kamu MENJAUHI PERIBADATAN selainNya subhanahu wa ta’ala dengan bentuk ibadah apapun, sehingga kamu merealisasikan tauhid secara sempurna.
Dan begitu juga wajib atas kamu memahami makna syirik yang merupakan lawan tauhid supaya kamu menjauhinya.
Dan ketahuilah sebelum itu, bahwa laa ilaaha illallah memiliki banyak syarat yang mana ia tidak sah kecuali dengannya, yaitu:
Pertama: Al Ilmu (mengetahui) akan maknanya, baik nafyu maupun itsbat. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadati melainkan Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Kedua: Al Yaqin (Keyakinan) yang meniadakan keraguan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Manusia yang paling bahagia dengan syafa’at saya di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah[2]) seraya tulus dari hatinya atau dirinya.” (HR. Bukhari).
Ketiga: Ash Shidqu (jujur) yang menafikan kebohongan, di mana ia tidak diterima dari orang yang mengucapkannya seraya berdusta, seperti orang-orang munafiq. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An Nisa: 145).
Keempat: Al Ikhlash (pemurnian) yang menafikan syirik. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga.” (QS. Al Maidah: 72) dan akan datang penjelasan syirik.
Kelima: Al Mahabbah (mencintai). Yaitu mencintai kalimat ini dan kandungannya.
Keenam: Al Inqiyad (tunduk), yakni tunduk kepada hak-haknya. Wahhab bin Munabih berkata: “Laa ilaaha illallah adalah kunci surga, sedangkan setiap kunci itu memiliki gigi-gigi, dan barang siapa datang dengan kunci yang memiliki gigi maka dibukakan baginya, dan barang siapa datang dengan kunci yang tidak memiliki gigi maka tidak akan dibukakan baginya”. Sedangkan gigi-gigi itu adalah hak-hak laa ilaaha illallah berupa rukun-rukun Islam, kefardhuan-kefardhuannya serta ikatan-ikatan al iman dan konsekuensi-konsekuensinya.
Ketujuh: Menjauhi pembatal-pembatalnya. Dan ia itu sangat banyak. Sedangkan yang paling berbahaya adalah menyekutukan Allah. Dan akan datang penjelasan sebagian pembatal-pembatalnya.
Dan ketahuilah bahwa tauhid ini dinamakan oleh ahli ilmu dengan nama Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah. Dan di sana ada dua macam lain yang disebutkan Ulama, yaitu:
- Tauhid Rubuubiyyah: yaitu keyakinan bahwa Allah lah yang Menciptakan, Memberi Rizqi lagi Mengatur. Dan ini saja tidak cukup untuk keselamatan, di mana orang-orang kafir Quraisy dahulu mengimaninya, namun demikian mereka tidak menjadi orang Islam dengan sebabnya dan darah atau harta mereka juga tidak terjaga, sampai mereka merealisasikan Tauhid ibadah dan mereka berlepas diri dari tuhan-tuhan mereka yang bathil. Allah Ta’ala berfirman:
- Tauhid Al Asmaa Wash Shifaat: yaitu engkau mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia tetapkan bagi Dzat-Nya, tanpa tasybih, tamtsil, dan tanpa takyif ataupun ta’thil, dan engkau tidak mensifati seorangpun dengan sesuatu dari sifat-sifat-Nya.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu.” (QS. An Nisa: 48).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditanya tentang dosa terbesar, maka beliau berkata: “Kamu menjadikan bagi Allah tandingan sedangkan Dialah yang telah menciptakan kamu.” Dan syirik itu menghapuskan seluruh amalan. Allah Ta’ala berfirman:
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan HAPUSLAH amalan dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65).
Dan syirik itu ada dua macam: AKBAR dan ASHGHAR.
Adapun Syirik Ashghor: maka ia itu seperti sedikit riya’ dan seperti sumpah dengan selain Allah Ta’ala, seperti orang yang sumpah dengan nabi atau dengan ka’bah atau dengan kedudukan atau yang lainnya, maka ini syirik ashghor. Kecuali bila meyakini bahwa yang dijadikan sumpah itulah lebih agung dari Allah, maka ia menjadi syirik akbar. Dan hal itu tampak dari peremehan mereka terhadap sumpah dengan nama Allah serta rasa takut dan khawatir mereka bila disumpahi dengan tuhan-tuhan mereka yang lain.
Adapun syirik akbar maka ia adalah menjadikan bersama Allah sembahan yang lain yang ia sekutukan bersamaNya dalam macam ‘ibadah apapun dari macam-macam ‘ibadah, di mana ia sujud kepadaNya atau shalat atau memohon atau mengharap atau takut darinya seperti dia mengharap dan takut dari Allah atau mencintainya seperti kecintaan kepada Allah atau memohon pertolongan kepadanya dalam melenyapkan bahaya dan dalam mendatangkan manfaat dalam suatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, atau mengikutinya dan mentaatinya dalam hukumnya, penghalalan serta pengharaman semua itu adalah syirik kepada Allah Yang Maha Agung. Dan dari ini diketahui bahwa syirik adalah kebalikan tauhid, di mana ia bisa jadi dalam uluhiyah dan bisa jadi dalam bab al asma wa sifat: yaitu dengan cara mensifati Allah dengan sebagian sifat makhluqNya. Umpamanya, orang mengatakan Tangan Allah itu seperti tangan makhluq, padahal Allah berfirman seraya mensifati DzatNya:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dial ah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11).
Atau mensifati selain Allah dengan sebagian sifatNya Ta’ala, atau membentuk nama baginya dari nama-nama Allah, sebagaimana kaum musyrikin menamakan ‘Uzza dari (asma Allah) Al ‘Aziz.
Meninggalkan shalat juga termasuk hal-hal yang telah dijelaskan Rasulullah SAW bahwa ia menjatuhkan pada syirik, sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya antara seseorang dengan syirik (Asy Syirk) dan kekafiran (Al Kufri) itu adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim) dalam Kitabul Iman dari Jabir ibnu Abdillah radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar melindungi kita dari syirik, karena Dia Ta’ala telah berfirman:
“Sesungguhnya barangsiapa menyekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka Allah telah haramkan surga terhadapnya” (QS. Al Maidah: 72).
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi
Penjara Qafqafa – Yordania- Rabi Ats Tsaniy 1415 H
SILSILAH KEDUA
IBADAH
“Maknanya, Sifat-sifatnya dan Syarat-syarat Penerimaannya”
Makna Ibadah
Ibadah secara bahasa adalah diambil dari kata Al Khudhu’ (ketundukan), inqiyad (kepatuhan penuh penerimaan), dan tadzallul (perendahan diri). Dikatakan ba’iir mu’abbad (unta yang dijinakkan) atau thoriq mu’abbad (jalan yang mudah dilalui) yaitu mudah lagi tunduk untuk digunakan…
Dan ia secara syari’at: ia adalah puncak kecintaan disertai puncak perendahan diri, dan ia sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah adalah: nama yang meliputi segala yang dicintai dan diridhoi Allah berupa ucapan-ucapan dan ‘amalan-amalan yang bathin dan yang dhohir.
Dan atas dasar ini maka makna ibadah itu adalah luas dan tidak seperti apa yang diduga oleh banyak manusia, di mana mereka membatasinya kepada sujud, ruku’ dan shalat padahal bisa jadi mereka mengibadahi selain Allah dengan macam ibadah yang lain, sedangkan mereka tidak menyadari, sehingga mereka jatuh dalam syirik yang tidak mungkin Allah ampuni bagi orang yang mati di atasnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa apa yang selain dari syirik itu bagi orang yang Dia kehendaki”. (QS. An Nisa 48)
Oleh sebab itu wajib atas orang yang menginginkan keselamatan dari neraka, dan masuk surga untuk memahami maknanya dan macam-macamnya agar ia mentauhidkannya seluruhnya bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Itu adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hambaNya, bila mereka menunaikannya maka hak atas Allah subhanahu wa ta’ala untuk memasukkan mereka ke dalam surga sebagaimana dalam hadits Mu’adz ibnu Jabal radhiyallahu ‘anhu.
Ibadah itu datang dengan makna tanassuk (penyembahan) dan ta’alluh (pengILAHan/pentuhanan): seperti sujud, ruku’ dan shalat, dan juga termasuk ibadah, dan di antaranya juga istighatsah dalam hal yang tidak mampu untuknya kecuali Allah, maka ia itu tergolong ibadah yang wajib, tidak dipalingkan kepada selain Allah, Serta juga isti’adzah.
“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al Jin: 6)
Dan begitu juga sembelihan, nadzar dan yang lainnya, maka itu semua termasuk ibadah yang wajib tidak dipalingkan kepada selain-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Robb semesta ‘alam, tiada sekutu bagiNya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah.” (QS. Al An’am: 162-163).
Dan firmanNya Ta’ala:
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah” (QS. Al Kautsar: 2). Nahr dan penyembelihan adalah seperti shalat, wajib ditauhidkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang do’a: “Do’a itu adalah ibadah.”
Dan ibadah itu datang dengan makna tha’ah (ketaatan) dan ketundukan yang muthlaq. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai bani Adam supaya kamu tidak mengibadati syaithan? Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Yaasiin: 60).
Ibadah kepada syaithan ini adalah mentaatinya. Dan begitu juga firman Allah Ta’ala tentang Fir’aun dan kroni-kroninya.
“Dan mereka berkata, ‘Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mukminun: 47).
Yang dimaksud dengan ibadah di sini adalah ketaatan dan ketundukan yang muthlaq dalam segala sesuatu, maka ini tidak boleh kecuali hanya kepada Allah. Dan bila dipalingkan kepada selainNya, maka ia ada dua macam:
- Ketaatan dalam maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa penghalalan terhadap maksiat itu; umpamanya syaithan menghiasi zina di hadapannya terus dia mentaatinya, atau majikannya memerintahkan dia agar meminum khomer kemudian dia mentaatinya, atau pimpinannya menyuruh dia agar mencukur jenggot terus dia mentaatinya sedangkan dia meyakini bahwa itu adalah haram, maka ketaatan seperti ini dicakup oleh kata ibadah dan orang yang melakukannya dinamakan orang yang mengibadati syaithan, yaitu mengikutinya. Dan ia tidak sampai kepada kekafiran, kecuali bila ia menghalalkan maksiat. Dan ia hanyalah sesuatu yang diharamkan dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghati-hatikan darinya, di mana beliau berkata: “Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam maksiat kepada Allah, namun ketaatan itu adalah dalam hal yang ma’ruf.” (HR. Muslim).
- Taat dalam hukum dan TASYRI’ yaitu dalam (penghalalan dan pengharaman): dan ini tidak boleh memalingkannya kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, dan bila dipalingkan maka ia syirik akbar, karena hukum (putusan dan tasyri’) itu tidak layak kecuali bagi Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan firmanNya subhanahu wa ta’ala:
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah” (QS. Yusuf: 40).
Hukum (putusan) dan tasyri’ (pembuatan hukum) itu adalah di antara hak khusus uluhiyyah (ketuhanan) yang paling khusus, oleh sebab itu maka di antara makna ILAH (tuhan) adalah MUSYARRI’ (pembuat hukum/pembuat syari’at), dan di antara asma Allah yang paling baik (Al Asmaa Al Husna) adalah Al Hakam (penentu hukum) dan Al Haakiim. Maka sesungguhnya barang siapa membuat hukum atau menetapkan undang-undang dan hukum selain hukum Allah Azza wa Jalla maka berarti dia telah menyandarkan kepada dirinya suatu sifat dari sifat-sifat ketuhanan, dan berarti dengan hal itu dia seperti Fir’aun saat mengatakan:
“aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku” (QS. Al Qashash: 38).
Dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sekedar taat dan ittiba’ kepada selain Allah Azza wa Jalla dalam hukum dan tasyri’ dianggap syirik adalah banyak. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang MUSYRIK.” (QS. Al An’am: 121).
Jadi mentaati kawan-kawan setan di sini adalah syirik dan ibadah kepada selain Allah azza wa Jalla, karena ia adalah ketaatan dalam hukum dan tasyri’, yaitu dalam penghalalan dan pengharaman yang tidak layak kecuali bagi Allah ‘Azza wa Jalla. Dan itu sebagaimana Al Hakim dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu., “Bahwa sejumlah orang dari kaum musyrikin membantah kaum muslimin perihal masalah sembelihan dan pengharaman bangkai, di mana mereka mengatakan “kalian makan dari apa yang kalian bunuh (sembelih) dan kalian tidak makan dari apa yang Allah bunuh (bangkai).” Maka Allah Ta’ala berfirman, “dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” Jadi sekedar taat dalam hal seperti ini dianggap syirik, Ibnu Katsir rahimahullah, berkata: “yaitu di mana kalian berpaling dari perintah Allah kepada kalian dan syari’atNya kepada pendapat selainNya, yaitu kalian mendahulukan yang lain terhadapNya, maka ini adalah SYIRIK itu.”
Oleh sebab itu sesungguhnya orang yang mentaati ulama, umaro (penguasa) dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan atau penghalalan apa yang Allah haramkan dalam fatwa-fatwa mereka, atau undang-undang mereka yang dengannya mereka menguasai manusia, maka dia itu telah menjadikan mereka sebagai arbab selain Allah dan dengan hal itu dia menjadi musyrik. Dan ini dibuktikan oleh firman-Nya subhanahu wa ta’ala tentang ahli kitab:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (QS. At Taubah: 31). Menjadikan alim ulama dan para rahib sebagai tuhan-tuhan itu maksudnya adalah bukan sujud dan ruku’ kepada mereka, akan tetapi hal itu adalah dengan mentaati mereka dalam hukum tasyri’, penghalalan dan pengharaman, karena ketaatan ini adalah ibadah seperti halnya ruku’ dan sujud yang tidak boleh kecuali kepada Allah Azza wa Jalla, oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala mengingkari hal itu terhadap mereka di akhir ayat:
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
Dan Dia subhanahu wa ta’ala berfirman juga tentang orang-orang semacam mereka itu yang mentaati dan mengikuti selain hukum-Nya:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien (hukum/ajaran) yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu akan memperoleh ‘adzab yang amat pedih.” (QS. Asy Syura: 21).
Maka hati-hatilah dengan baik terhadap hal itu –semoga Allah merahmati kita- karena sungguh telah binasa dengan sebabnya banyak manusia di zaman kita ini. [3])
SIFAT IBADAH YANG BENAR
Ibadah, agar sesuai dengan apa yang dituntut oleh Allah dari kita, maka ia mesti disertai tiga hal, yaitu:
- Al Hubb (kecintaan),
- Al Khouf (rasa takut),
- Ar Rojaa (berharap).
“Adapun orang-orang yang beriman sangat amat cintanya kepada Allah” (QS. Al Baqarah: 165).
Dan begitu juga kita beribadah kepadaNya karena rasa takut kepada Allah dan kepada ‘adzabNya subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 175),
Dan berfirman:
“Sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap.” (QS. As Sajdah: 16). Yaitu takut dari ‘adzabNya dan mengharap ampunan-Nya, surga-Nya dan pahalaNya.
Dan begitu juga harapan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan ‘adzabNya, sesungguhnya ‘adzab Robbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Israa’: 57)
Maka kita beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena kecintaan kepadaNya, rasa takut dari ‘adzabNya serta mengharapkan rahmat dan pahalaNya di waktu yang sama. Dan ini adalah keadaan dan realita kebiasaan orang-orang sholeh, dan itulah sifat ibadah yang benar yang diinginkan Allah dari hamba-hambaNya. Oleh sebab itu, sebagian salaf berkata: “Barang siapa beribadah kepada Allah dengan kecintaan saja maka ia zindiq [4]), dan barang siapa beribadah kepadaNya dengan rasa takut saja maka ia haruri/khawarij [5]), dan barang siapa beribadah kepadaNya dengan pengharapan saja maka dia Murji’/murji’ah [6]). Adapun penganut sunnah maka dia menggabungkan lengkap antara hal itu semuanya.”
SYARAT-SYARAT PENERIMAAN IBADAH
Adapun syarat-syarat penerimaan ibadah adalah:
- Iman
- Ikhlash
- Ittiba’ (mengikuti tuntunan)
Ibadah tanpa iman yang benar adalah ditolak, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
”Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan BERIMAN… “ (QS. An Nahl: 97), di mana IMAN dijadikan sebagai syarat bagi hal itu.
Dan beditu juga ikhlash, di mana tanpa keikhlasan, suatu ibadah tidak diterima. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi: “Aku adalah yang paling tidak membutuhkan penyekutuan, barang siapa mengamalkan suatu amalan yang dia menyekutukan selainKu di dalamnya bersamaKu, maka Aku tinggalkan dia dan penyekutuannya.” Maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima dari amalan apa saja kecuali apa yang tulus ikhlas bagiNya.
Dan begitu juga ittiba’: Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima dari ibadah apapun kecuali apa yang sejalan dengan apa yang disyari’atkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini apa yang bukan (bagian) darinya, maka ia ditolak.” (HR. Muslim).
Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan kepada kita taufiq terhadap ibadah shahihah dan menerima amalan kita serta memberikan kepada kita husnul khatimah.
Abu Muhammad ‘Ashim al Maqdisi
Penjara Qafqafa – Yordania – Rabi Ats Tsaniy 1415 H
Silsilah Ketiga
BID’AH PERSATUAN TANAH AIR
Perbedaan Yang Nyata antara Tauhid Para Rasul
Dengan Tauhid Para Pengusung tanah Air
[Wakil rakyat di lembaga legislatif!! (Abdul Mun’im Abu Zanath) berkata dalam bantahannya terhadap pemerintah seusai tragedi penganiayaan terhadapnya setelah shalat Jum’at, yang disiarkan lewat Koran Al Bilad pada edisi ke-95 tanggal 2/11/1994 M: (saya memulai khuthbah seraya mengatakan setelah muqodimahnya: Wahai saudara-saudara kami!! dari kalangan eksekutif takutlah kepada Allah perihal ibu-ibu kalian yang muslimah….. –sampai ucapannya-: Kemudian saya mengakhirinya dengan ucapan saya: Wahai saudara-saudara kami, saya ingatkan kalian dengan Allah pemilik Arsy yang agung agar kita menjaga persaudaran kita, persatuan tanah air kita, rakyat kita dan ketenangan negeri kita, kita ingin keutuhan dan kesatuan, dan kita tidak ingin menjadikan musuh-musuh gembira melihat kita)] [7]
Saya katakana sebagai penjelasan terhadap kesesatan dan pengaburan yang ada di dalamnya:
Segala puji hanya bagi allah yang telah menjadikan pentauhidanNya dengan ibadah sebagai pembeda antara Auliyaaur Rahman dengan auliyaausysyaithan, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada NabiNya Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya, yang mana kecintaan dan kebencian karena Allah serta loyalitas dan permusuhan karena Allah bagi mereka adalah ikatan iman yang paling kokoh…. Wa ba’du:
Sesungguhnya hal terbesar yang karenanya Allah telah mengutus para rosulNya adalah pentauhidan Allah, dan ibadah dalam semua bentuknya serta keberlepasan diri dari syirik dan para pelakunya dengan berbagai macamnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa: 25).
Dan firmanNya subhanahu wa ta’ala:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (menyerukan): “Sembahlah Allah dan Jauhilah Thaghut!”. (QS. An Nahl: 36).
Dan sudah sah dari Nabi SAW dan sabdanya: “Hak Allah atas hamba-hambaNya adalah mereka mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan sesuatupun denganNya.”
Dan di antara lawazim (konsekuensi keharusan) tauhid ini dan pilar-pilarnya yang merupakan di antara sifat dari ciri terpenting para pengikutnya adalah: Mencintai Allah, mencintai wali-wali-Nya yang bertauhid yang hanya beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukan sesuatupun denganNya, loyalitas kepada mereka, nushroh (menolong) mereka, memperbanyak barisan mereka serta mencintai kemenangan dan kejayaan mereka.
Dan di antara lawazim kufur kepada Thaghut adalah: menjauhi syirik dan baro’ darinya, menjauhi para pelakunya, meninggalkan mereka, membenci mereka, memusuhi mereka serta menjihadi mereka dengan lisan dan senjata saat memungkinkan, walupun mereka itu dari kalangan keluarga, marga dan kerabat terdekatnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpin, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang tawalliy kepada mereka maka mereka itulah orang-orang yang dhalim.” (QS. At Taubah: 23).
Dan Allah Ta’ala berfirman dalam mensifati Millah Ibrahim dan dakwah para Nabi dan para Rasul:
“Sesungguhnya telah ada bagi kamu suri tauladan yang baik pada diri Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya saat mereka berkata kepada kaum mereka: ‘sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nampak jelas antara kami dengan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahannah: 4).
FirmanNya Ta’ala: “Dan orang-orang yang bersamanya”, para ahli tafsir berkata: mereka adalah para Rasul yang berada di atas jalannya atau anshornya yang beriman yang bersamanya. Dan kedua penafsiran ini benar.
Dan perhatikan firmanNya Ta’ala: “saat mereka berkata kepada kaum mereka”, di mana ia adalah berhadap-hadapan, sikap keterusterangan, dan ucapan yang diarahkan kepada masyarakat dan keluarga mereka perihal keberlepasan diri yang nyata lagi terang-terangan dari mereka dan dari sembahan-sembahan mereka yang mereka ibadati selain Allah. Dan begitulah seyogyanya keadaan setiap orang yang ingin memegang erat Millah Ibrohim dan meniti jalan Rasul. Di mana ia mesti berlepas diri dari setiap yang diibadati dan diikuti selain Allah, baik yang diibadati itu adalah berhala-berhala dari batu atau pohon atau qowanin (undang-undang) dan hukum-hukum buatan manusia, namun hal itu saja tidak cukup, dan seseorang tidak sempurna dengannya tauhidnya dan keberlepasannya dari syirik sampai ia menyertakan kepadanya sikap BARA’AH dari kaum musyrikin itu sendiri. Dan perhatikan firmanNya Ta’ala dalam ayat itu: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari KAMU dan dari apa yang kamu ibadahi selain Allah”. Dan bagaimana Allah mengedepankan sikap baro’ah dari kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah terhadap sikap baro’ah dari sembahan-sembahan mereka dan kemusyrikan mereka, karena yang pertama adalah lebih utama, di mana berapa banyak orang yang berlepas diri dari syirik dan sesembahan-sesembahan yang bathil namun ia tidak berlepas diri dari para pelaku kesyirikan tersebut, terutama bila mereka itu berasal dari keluarganya, sukunya, orang-orang yang setanah air dan orang-orang yang sebangsa. Adapun bila ia telah berlepas diri dari kaum musyrikin maka ini memastikan keberlepasan diri dari kemusyrikan mereka biasanya. Kemudian Allah Ta’ala menguatkan hal itu dengan firman-Nya: “Kami ingkari (kekafiran)mu.” Dan berfirman: “dan telah nampak” yaitu tampak dengan jelas dan nyata “antara kami dengan kamu permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” Dan perhatikanlah pengedepanan permusuhan terhadap kebencian, karena ia adalah lebih nampak dan lebih penting, di mana kebencian itu biasanya tempatnya adalah hati, adapun permusuhan maka ia memastikan seseorang itu berada di suatu sisi dan pihak, dan sedangkan musuhnya ada di sisi dan pihak yang lain. Dan pilar ini sangat jelas dalam dakwah para Nabi seluruhnya. Dan sebagaimana Ibrohim itu memusuhi bapaknya dan kaumnya, meninggalkan mereka dan berlepas diri dari mereka karena tauhidullah Ta’ala dan karena dien-Nya, maka begitu juga para Nabi lainnya mendakwahi kaum mereka dengan hikmah dan pelajaran yang baik, mereka berlepas diri dari sembahan-sembahan dan kemusyrikan-kemusyrikan mereka, serta mereka sabar di atas dakwahnya. Kemudian jika mereka bersikukuh di atas kemusyrikan dan kebathilannya, maka mereka (para nabi & pengikutnya) berlepas diri dari mereka (kaumnya yang musyrik itu), memusuhi mereka dan meninggalkan mereka. Dan di atas jalan mereka inilah orang-orang sholih berjalan. Contohnya ini para pemuda Ashhaabul Kahfi, mereka meninggalkan kaumnya, tanah airnya dan karib kerabatnya demi mentauhidkan Allah Ta’ala;
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadahi selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam goa itu.” (QS. Al Kahfi: 16)
Dan begitu juga keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sungguh telah datang pensifatan beliau lewat lisan Malaikat dalam Shohih Al Bukhari: “Dan Muhammad adalah pemilah (pemecah/pemisah) di antara manusia”. Dan dalam satu riwayat: “memilah”, dan datang juga pensifatannya lewat lisan musyrikin Quraisy dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan isnad shohih: [-para tokoh Quraisy datang ke Abu Thalib mengeluh mengadukan gerak dakwah Nabi SAW- “dia (Muhammad) telah MENGHINA tuhan-tuhan kita, MENCELA ajaran kita, dan MENGHUJAT nenek moyang kita…”, dan begitu juga apa yang dikatakan Waroqoh ibnu Naufal di awal pengutusan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Andaikata saja saya masih muda saat kaummu mengusirmu”, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apakah mereka akan mengusir saya??” Waroqoh berkata: “ya, tidak seorangpun datang membawa seperti apa yang kamu bawa melainkan ia pasti dimusuhi.”
Bila engkau melihat orang yang mengklaim bahwa ia berada di atas jalan para nabi dan Rasul, terus dia tidak memusuhi ahlul bathil dan kaum musyrikin –(dan dia juga tidak dimusuhi oleh ahlul bathil dan kaum musyrikin)- maka tinggalkanlah dia, karena dia tidak membawa seperti apa yang dibawa oleh para Nabi. Allah Ta’ala telah menamakan kitabNya yang memilah antara ahlul haq dan ahlul bathil –walaupun mereka itu bapak-bapak dan anak-anaknya—sebagai Al Furqon (pemisah), dan ia juga menamakan Perang Badar Al Kubra (perang badar al ‘Udhma) dengan sebutan YAUMAL FURQAN, di mana di dalamnya terjadi peristiwa anak-anak membunuh bapak-bapak mereka dalam rangka nushroh (menolong) kalimat tauhid dan meninggikannya.
Dan begitulah Tauhid Rabbil ‘aalamiin adalah tauhid orang-orang yang bertaqwa lagi beriman, Dia menyatukan hati mereka dan mengumpulkan mereka di dunia dan di akherat,
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain” (QS. At Taubah: 71), dan firman-Nya Ta’ala:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az Zukhruf: 67)
Sedangkan tauhid kaum paganisme kebangsaan atau persatuan kebangsaan (yang merupakan paganisme) adalah menyatukan antara kaum musyrikin, murtaddin (orang-orang murtad) dan orang-orang kafir di dunia kemudian di hari kiamat kelak sebagian mereka melaknat sebagian yang lain dan saling berlepas diri (saling memusuhi), Dan Ibrohim berkata: “
Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian yang lain, dan sebagian kamu melaknati sebagian yang lain, dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun” (QS. Al Ankabut: 25).
Dan Tauhid Robbil ‘aalamiin selamanya tidak akan bertemu dengan tauhid paganisme kebangsaan, yaitu tauhid (PENYATUAN) kesukuan dan ras serta yang lainnya, kecuali dalam salah satu dari dua keadaan:
- Ahli tauhid yang haq menyimpang dari tauhid mereka dan menanggalkan lawazimnya yang di antara ikatan lawazimnya yang paling kokoh adalah kecintaan karena Allah (Al hubbu fillah) dan kebencian karena Allah (al bughdhu fillah), loyalitas karena Allah (al muwalatu fillah) dan permusuhan karena Allah (al mu’aadatu fillah).
- atau, bangsa dan keluarga serta tanah air itu yang berlepas diri dari syirik dan para pelakunya, di mana mereka kafir terhadap segala yang diikuti/dipatuhi tanpa bashiroh (penerangan dari Allah), yaitu berlepas diri dari dien-dien yang bathil, hukum-hukum dan falsafah-falsafah ang menyelisihi danmenentang ajaran Allah Ta’ala, baik itu berupa undang-undang, atau UUD, atau sistem-sistem seperti demokrasi yang mana ia adalah hukum rakyat dan aturannya sesuai dengan UUD, bukan hukum Allah dan aturanNya yang diturunkan dalam Al Qur’an .
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, ‘Seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka (kini) berlepas diri dari kami’. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka” (QS. Al Baqarah: 167)
Dan kesimpulannya: Bahwa tauhid kaum paganis kebangsaan atau Persatuan Naional yang merupakan paganisme yang menyatukan antara orang komunis, sekuler, Kristen, demokrat, ba’ath/sosialis, orang yang menghujat Allah dan agamaNya dan orang yang memperolok-olok dienullah, menyatukan mereka dan mengumpulkan barisan mereka di dalam payung kepentingan lain yang diklaim… Tauhid ini adalah tauhid kaum kuffar atau tauhiduth thawaghit tauhidnya para Thaghut, tauhid kaum musyrikin, atau tauhid kuffar Quraisy yang mereka mengajak Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya dan menawarinya terhadapnya demi kepentingan suku dan kabilah serta persatuannya dan demi kepentingan Negara atau kepentingan tanah air, akan tetapi selamanya hal itu tidak akan menjadi tauhid para Rasul, dan mustahil hal itu terjadi, karena tauhid Robbul ‘aalamiin itu memisahkan antara ahlul haq dengan ahlul bathil, sedangkan persatuan kebangsaan (yang syirik) itu mengumpulkan dan mempersaudarakan di antara mereka. Sungguh sangat buruk sekali keputusan mereka itu.
Dan dari ini semuanya engkau mengetahui bahwa hal paling pertama yang dituntut dari orang muslim yang ingin merealisasikan tauhidnya secara sempurna adalah baro’ dari syirik dan kaum musyrikin walaupun mereka itu dari kalangan orang yang paling dekat nasab dan tanah airnya, dan bahwa bid’ah persatuan paganisme kebangsaan yang didengung-dengungkan oleh banyak manusia pada zaman ini adalah membatalkan dan menggugurkan tauhid yang merupakan hak Allah atas hamba-hambaNya. Dan karenanya maka tidak boleh berjuang lewat bingkainya atau penganutnya apalagi membelanya, mendukungnya dan menyokongnya, kecuali saat tanah air dan penduduknya itu memperlakukan dan tunduk kepada hukum Allah dan berlepas diri dari hukum Thaghut, dan saat penduduknya kafir terhadap segala yang dihadapi selain Allah dan mereka berlepas diri dari syirik dan dari pelakunya, serta mereka merealisasikan tauhid para Nabi dan para Rasul, maka saat itu juga kami akan menjadi orang yang paling antusias terhadap persatuan kebangsaan dan di antara bala tentaranya yang paling setia, dan kami akan membuang perselisihan-perselisihan far’iyyah di belakang punggung kami selagi persatuan ini berdiri di atas landasan yang bersih yaitu tauhid robbul ‘aalmiin serta bara’ dari syirik dan kaum musyrikin. Dan tanpa itu maka enyahlah bagi setiap persatuan yang menyelisihi millah Ibrahim dan tauhid para nabi dan para Rasul.
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi
Penjara Qafqafa Yordania,
Kamis 29 Jumada Al Ula 1415 H/ 3 Nopember 1994 M
Penterjemah berkata:
Selesai diterjemah Jum’at siang di LP Sukamiskin UB 30
1428 H / 25 Mei 2007 M
[1]. Dan batasan ini sangat penting, karena batasan ini mengeluarkan dari penamaan sebagai Thaghut atas sesuatu yang diibadati kaum musyrikin tetapi ia tidak ridho dengan peribadatan kaum musyrikin kepadanya itu, seperti misalnya Malaikat, Uzair, Isa Al Masih dan yang lainnya dari para Nabi, para wali dan sholihin atau yang lainnya. Mereka itu diibadati orang-orang musyrik, tapai mereka tidak rela, tidak ridho dirinya diibadati, maka mereka tidak boleh dinamai sebagai Thaghut. Mereka tidak salah dan tidak dibara. Yang salah dan harus dibara’ adalah keyakinan uluhiyah musyrikin dan peribadatan musyrikin kepada mereka dan orang-orang musyriknya itu juga harus dibaro’.
[2] Faidah: Sejumlah tokoh para ulama berbendapat bahwa lontaran-lontaran semacam ini yang datang berkaitan dengan orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah bahwa ia masuk surga atau Allah haramkan neraka terhadapnya dan hal-hal serupa itu, adalah hanya terjadi di awal Islam saat dakwah itu hanya kepada pengakuan Tauhid saja. Kemudian tatkala kefardhuan-kefardhuan telah diwajibkan dan hudud telah ditetapkan maka hal itu dinasakh sedangkan dalil-dalil terhadap hal ini adalah sangat banyak. Dan ini adalah pendapat Adh Dhahak, Adz dzuhri, Sufyan Ats Tsauri dan yang lainnya. Dan segolongan yang lain berkata tidak butuh kepada pengklaiman nasakh dalam hal itu, karena semua yang termasuk rukun-rukun dien dan kewajiban-kewajiban Islam adalah termasuk konsekuensi-konsekuensi pengakuan akan syahadatain dan kesempurnaannya, bila dia mengaku terus menolak diri dari sesuatu dari hal-hal fardhu itu karena pengingkaran, atau malas sesuai rincian perselisihan di dalamya maka kami vonis dia kafir dan tidak masuk surga. Dan pendapat ini juga dekat. Dan kelompok yang lain berkata: pengucapan kalimat tauhid adalah sebab yang menuntut masuk surga dan selamat dari neraka, dengan syarat ia mendatangkan faroidh (kewajiban-kewajiban) dan menjauhi kabaair (dosa-dosa besar). Dan bila dia tidak mendatangkan farooidh dan tidak menjauhi kabaair maka pengucapan kalimat tauhid itu tidak mencegahnya dari masuk neraka. Dan pendapat ini adalah dekat dari yang sebelumnya atau memang itu-itu juga. Wallahu a’lam. (At Targhib wat Tarhib: 2/413-414)
[3] Dan masuk dalam cabang ini juga para pemerintah murtad yang mengaku Islam dan memberlakukan undang-undang yahudi dan nashrani, maka mereka musyrik juga walaupun bukan mereka sendiri yang membuat UU itu, terus mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan atau mengharamkan apa yang Allah halalkan, karena sekedar ketaatan mereka kepada yahudi dan nashrani dalam memberlakukan UU mereka yang keseluruhannya -(sebagian besarnya,ed)- adalah penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal) sebagai pengganti hukum Allah, adalah dianggap sebagai syirik akbar (yaitu ibadah kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla). Kaum musyrikin Arab dahulu membantah kaum muslimin pada satu hukum dari hukum-hukum Islam yaitu penyembelihan, terus Allah ‘Azza wa Jalla menamakan ketaatan mereka dan sikap ittiba’ mereka kepada hal itu sebagai syirik, maka bagaimana dengan orang yang mengikuti Yahudi dan Nashrani dan serta menuruti mereka dalam memberlakukan UU dan hukum-hukum mereka SELURUHNYA serta mencampakkan hukum Allah seluruhnya ?????
[4] Sebagaimana yang diklaim oleh sebagian kaum sufi bahwa mereka itu kekasih-kekasih Allah. Mereka menyembahNya karena kecintaan kepadaNya saja, dan bukan karena takut dari ‘adzabNya serta bukan karena harapan dan keinginan kepada ampunan dan pahalaNya, sehingga hal itu tergolong sebab terbesar kesesatan dan penyimpangan mereka, karena mereka menyelisihi perintah Allah ‘Azza wa Jalla, di mana Dia memerintahkan kita untuk mengibadatiNya dan khouf dan rojaa secara lengkap bersamaan, di mana Dia berfirman: “Dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).” (QS. Al A’raf: 56). Orang-orang sesat itu tidak lebih paham dan tidak lebih mengetahui dari pada para Nabi dan hamba-hamba Allah yang sholih yang telah Allah sifati mereka bahwa mereka itu berdo’a kepada Allah dengan rasa TAKUT dan HARAP serta Dia memuji mereka karena hal itu.
[5] Haruriyah: adalah Khawarij. Dinisbatkan kepada Harurah, suatu daerah awal kemunculan mereka adalah di sana.
[6] Murji’ah, mereka adalah orang-orang yang menyingkirkan amal dari iman dan membiarkannya serta tidak menjadikannya sebagai syarat atau rukun dari rukun-rukun iman, sebagaimana yang sering diucapkan banyak orang pada hari ini apabila diajak untuk shalat atau hal fardhu lainnya: “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Tanpa sedikitpun memenuhi panggilan itu.
[7] Dan ada dalam Koran Ad Dustur tanggal 23/11/1994 M dalam makalah Musa al Kailani di bawah judul: Para Tokoh harokah Islamiyah Yordania (Penegasan abdul Majid Zanibath Muraqib ‘Aam Al Ikhwan Al Muslimin bahwa Al Ikhwan akan menjadi orang yang paling pertama menghadang orang yang berupaya mengusik persatuan tanah air di tengah anak-anak satu bangsa …………)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar