Punk pada awal kemunculannya di Inggris merupakan reaksi protes atas ketidakberesan sistem dan pemerintahan yang kapitalis. Mereka menganggap bahwa pemerintahan yang ada adalah penindas yang memaksakan kehendak pada rakyatnya. Sehingga, Punk menginginkan terbentuknya tatanan masyarakat tanpa negara, dimana aturan dalam masyarakat ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan komunal saja. Ia merupakan suatu fenomena budaya “alternatif” yang berusaha membangun sebuah wadah yang dapat menampung segala aktivitas dan ekspresi dalam rangka mencari jati diri, sekaligus sebagai media perlawanan terhadap berbagai aturan dan norma-norma keumuman yang berlaku di masyarakat.
Secara garis besar, beberapa prinsip dalam budaya punk yaitu :
- Anti kemapanan : yaitu melawan nilai-nilai dan gaya hidup kebudayaan yang umum di masyarakat, termasuk agama
- DIY (Do It Yourself): mengusahakan segala sesuatu secara mandiri sesuai kemampuan
- Anarkis : menginginkan masyarakat tanpa negara, tanpa pemerintah
- Kesetaraan : semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama
Namun, pergerakan aktif dari kaum punk lalu mengalami perbedaan untuk memilih bersikap politis atau tidak, yang lalu kaum yang tidak berorientasi politis inilah yang justru mendominasi. Mereka menyebarkan isu-isu betapa nikmatnya menjadi seorang yang cuek, yang tidak pernah terganggu oleh isu apapun selain kenikmatan menenggak alkohol atau menghisap ganja. Punk yang sejatinya adalah budaya perlawanan sosial, berubah wujud menjadi budaya bagi kaum yang egois, yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Di sinilah punk menjadi budaya yang gagal.
Yang ironis, punk lalu dimanfaatkan sebagai budaya fashion, budaya trend semata yang bisa dijual mahal oleh kaum kapitalis, musuh utama kaum punk. Tidak heran jika kita menemukan pernak-pernik punk mulai dari kaos, emblem bordir,hingga CD musik beraliran punk di mall-mall besar dengan harga mahal.
Ya, punk telah gagal. Ia tidak bisa menemukan jati diri sebenarnya karena ia tidak memiliki konsep yang jelas dalam membenahi masyarakat. Konsep anarkisme (yaitu tidak adanya pemerintah yang dipandang sebagai penindas) dan konsep kebebasan mutlak yang ditawarkan hanyalah semu, tidak menghasilkan sumbangsih apapun bagi masyarakat.
Pemberontak Itu pun Akhirnya Menyerah
Jika kita lihat, seiring bertambahnya usia, para remaja “anti kemapanan”itu pun akan meninggalkan dunia pemberontakannya, kembali menjadi orang yang dianggap “wajar” oleh masyarakat. Ada yang kembali melanjutkan sekolahnya karena berpikir hanya pendidikanlah yang bisa menunjang masa depannya. Ada yang sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak bisa meluangkan waktu untuk sekedar duduk mengobrol, berbagi dengan sesama komunitas punk. Sebagian lagi memulai kehidupan berumah tangga, yang berarti mereka harus mulai berjuang untuk menafkahi keluarganya, tidak bisa terus-terusan nongkrong dan bermain band yang tidak akan mendatangkan apapun.
Sangat menarik ucapan dari Kent McLard, seorang punkers dari Amerika yang aktif dalam memproduksi dan menyebarkan rekaman-rekaman musik dan majalah-majalah komunitas punk. Ia berkata,
” Menentang arus, menjadi seorang anarkis, tinggal di gedung kosong pada usia 20an tampaknya menjadi sebuah hal yang menyenangkan. Tetapi pada usia 30an, tampaknya akan lebih menyenangkan apabila kita justru menceburkan diri kedalam arus dan mengikuti alurnya”Dari beberapa kenyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa memang budaya punk hanya diadaptasi oleh remaja-remaja labil, yang masih mencari jati diri dan belum matang konsep berpikirnya.
Manusia Hidup Ada Aturannya
Manusia hidup di dunia ini tentu memiliki aturan. Jika suatu masyarakat hidup tanpa aturan dan pemerintahan yang jelas, maka terjadilah kerusuhan dan perampasan hak antara yang satu dengan yang lain. Ali bin Abi Thalib berkata,
“Tidaklah memperbaiki kehidupan masyarakat kecuali pemimpin, baik dia orang yang shalih ataupun jahat.” Sebagian orang bertanya kepada beliau, “Wahai Amirul Mukminin, kami terima ini pada pemimpin yang shalih. Tapi pemimpin yang jahat, kami tidak setuju.” Beliau menjelaskan, “Karena melalui mereka, Allah memberikan keamanan jalan-jalan, berjihad melawan musuh, -beliau menyebutkan peran para pemimpin-, kaum muslimin bisa berhaji dengan aman, dan beribadah kepada Allah hingga ajal menjemput.” [H.R. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman].
Karena itulah, dengan adanya pemerintah dan norma-norma, manusia tidak bisa hidup bebas semaunya sendiri. Norma inilah yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan budi pekerti, berbeda dengan binatang.
Kita lihat sekarang ini, atas nama “kebebasan”, manusia bahkan sering tidak terlihat sebagai makhluk yang berbudi lagi. Atas nama kebebasan, sepasang muda-mudi tinggal bersama satu atap tanpa ikatan nikah yang sah. Dilandasi rasa suka sama suka, tanpa tekanan, mereka merasa berhak dan bebas untuk saling mencurahkan kasih sayang dan hasrat biologisnya. Hingga lahirlah anak yang tidak jelas garis nasabnya. Atas nama kebebasan, seorang artis dan seniman bisa tampil di atas panggung dengan pakaian yang tidak senonoh, sambil mendendangkan musik yang berisi kata-kata jorok.
Dari contoh-contoh “kebebasan” diatas, masihkah kita melihat manusia sebagai makhluk yang berbudi ketika mereka mengumbar semua keinginannya? Allah berfirman,
“Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara baginya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” [Q,S. Al Furqan: 43-44]
Manusia Tidak Bisa Hidup Tanpa Rahmat-Nya
Bahkan dari hati kecil kita semua, walau yang meneriakkan “anti kemapanan” sekalipun, kita pasti mengakui bahwa kita sangat bergantung kepada pencipta kita, yaitu Allah. Tanpa nikmat dan pertolonganNya, kita tak mungkin bisa hidup di dunia ini. Sehingga pada hakikatnya sebagai makhluk-Nya kita adalah hamba yang harus mengikuti perintah Allah. Betapa angkuhnya kita, jika dengan alasan “anti kemapanan” lalu menganggap norma agama sebagai kejumudan, kemudian berusaha hidup sebebas-bebasnya, tanpa mengindahkan aturan dari Allah.
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” [Q.S. Al Qashash: 68].
Masih Percaya dengan Punk ?
Dari semua pemaparan diatas, masihkah kita berpikir bahwa punk merupakan budaya yang bisa menyelesaikan persoalan di masyarakat ? Masihkah kita percaya dengan budaya yang justru berlawanan dengan fitrah manusia yang percaya dengan penciptanya ? Orang berakal pasti akan menjawab bahwa punk telah gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar