PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Selasa, 09 Oktober 2012

Risalah Tentang Makna Idhharud Dien (Bag. 3 – TAMAT)

Sisi lain, adalah bahwa pada awal Islam itu terdapat sikap lembut dan alot yang mana hal itu tidak ada di akhir Islam, dan telah lalu hadits Jarir serta janjinya kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan kaum musyrikin, sedangkan keislamannya terjadi di akhir-akhir.
Dan secara umum: Tidak ada pada hadits Al A’rabiy dan hadits-hadits yang lainnya –seandainya itu shahih– apa yang menunjukkan bolehnya hidup di tengah-tengah kaum musyrikin sama sekali, justeru hadits-hadits itu secara jelas menerangkan tentang tinggal di pedalaman bagi orang yang masuk Islam dan tidak hijrah, dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya: “Beramallah di desa-desa,” karena desa-desa saat itu belum menjadi negeri Islam, akan tetapi beliau mengatakan kepadanya: “Beramallah di balik desa-desa itu,” yaitu beribadahlah kepada Allah dan singgahlah di tempat mana saja yang engkau sukai, sedang engkau tetap dalam status hijrahmu, sebagai bentuk kasih sayang terhadapnya.

Adapun hadits Nahik Ibnu ‘Ashim, sesungguhnya itu tidak menunjukkan bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan baginya untuk hidup berdampingan dengan orang musyrik, akan tetapi beliau mengizinkan baginya untuk tinggal di pedalaman saja, dan singgah di mana saja ia suka, serta tidak memetik hasil kecuali atas dirinya sendiri. Dan hal itu telah diisyaratkan oleh apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhariy dari Ash Sha’b Ibnu Jatsamah secara marfuu’: “Tidak ada batasan kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya,”Ini makna hadits Nahik dan khabar-khabar yang semakna dengannya, yaitu bahwa ahlu jahiliyyah mereka itu memiliki batasan tempat, yang mana mereka melarang dari batas itu orang yang mereka sukai, dan Allah telah menggugurkan hal itu dengan Islam, karena Islam menuntut keselamatan dan setiap orang merasa aman.
Dan tatkala Al ‘Alamah Ibnul Qayyim menuturkan kisah ini secara utuh, dan di akhirnya: Saya berkata: “Wahai Rasulullah, terhadap apa saya membai’atmu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan tangannya dan berkata: “Atas mendirikan shalat, menunaikan zakat, meninggalkan kaum musyrikin, dan engkau tidak menyekutukan Allah dengan apapun,” saya berkata: “Wahai Rasulullah, dan sesungguhnya bagi kami apa yang ada di antara timur dan barat?”, maka Nabi menarik tangannya, dan beliau mengira bahwa saya mensyaratkan sesuatu yang tidak beliau berikan, beliau berkata: saya berkata: “kami singgah dimana saja tempat yang kami sukai dan orang tidak memetik hasil kecuali atas dirinya sendiri.”
Ibnul Qayyim berkata saat mengomentari hadits itu: Dan ucapannya dalam akad bai’at: “Dan meninggalkan kaum musyrikin,” yaitu menjauhi dan memusuhinya, maka janganlah bertetanggaan dengannya dan janganlah loyal kepadanya, sebagaimana dalam hadits As Sunan, “Api keduanya jangan sampai saling melihat,” selesai perkataan Ibnul Qayyim.
Dan ungkapannya dalam hadits itu: “Kami singgah dimana saja tempat yang kami sukai,” dengan ungkapannya: “Dan meninggalkan kaum musyrikin” adalah menjelaskan kepadamu apa yang diinginkan oleh syari’at. Maka lihatlah kepada orang yang membolehkan ini -semoga Allah memberikan kita ‘afiyyah- ia berhujjah dengan apa yang menjadi hujjah atas dirinya dan terus mengatakan: Ibnul Qayyim menyebutkannya dalam Al Hadyu.
Dan adapun istidlal-nya dengan kisah hijrah ke Habasyahh, aka ini tergolong sesuatu yang menunjukan kehinaannya, dan ia memutarbalikan masalah, dan saya tidak pernah mengetahui ada seseorang yang mendahuluinya kepada pendapat itu kecuali sebagian orang yang menentang imam dakwah ini.
Dan ungkapannya: “Sesungguhnya mereka hijrah dalam rangka mencari keamanan bukan untuk mendapatkan perhiasan,” adalah sekedar penipuan saja, yang bersumber dari orang yang tidak mengetahui kedudukan syirik yang merupakan hal terbesar yang menghantam sisi rububiyyah, dan itu juga pengguguran terhadap isi dakwah para rasul berupa tauhid uluhiyyah, maka mana rasa aman dan tentram bagi orang yang menyaksikan penyembahan berhala dan celaan terhadap Allah di setiap keadaan dan waktu?!
Dan siapa yang berdalil dengan kisah hijrah tersebut atas hal ini, maka pemahamanya  adalah rusak dan pemikirannya ngawur, sebab setiap orang yang mengerti dari Allah syari’at-Nya dan memperhatikan keadaan para shahabat dan apa yang mereka lakukan, berupa pembelaan terhadap dien ini, dan pergi meninggalkan kaum musyrikin, maka ia pasti mengetahui bahwa hijrah ke Habasyahh adalah hujjah yang sangat agung dalam wajibnya hijrah, dan itu tergolong sikap melakukan mafsadah yang paling kecil dari dua mafsadah yang ada dalam rangka menolak yang paling tinggi kerusakannya. Dan penamaan itu sebagai hijrah adalah cukup bagi orang yang dituntut sesuai keadaan, meskipun maksud secara keseluruhan tidak bisa terlaksana secara utuh, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal dakwahnya diperintahkan untuk berpaling, kemudian diperintahkan untuk terang-terangan, kemudian diperintahkan untuk jihad.
Tampaknya dien ini disebutkan dan dimaksudkan dengannya adalah nampaknya dengan kekuatan dan kemenangan dengan jihad, dan ini terjadi di akhir-akhir. Dan disebutkan juga dan dimaksudkan dengannya nampaknya dien ini serta tersebar beritanya dan tidak adanya halangan bagi orang yang masuk ke dalamnya, dan ini telah terealisasi di negeri Habasyahh. Dan itu di namakan sebagai hijrah dan perpindahan sebagaimana yang dihikayatkan oleh An Nawawi dalam Syarhul Arba’iin.
Dan itu dihikayatkan oleh mujtahid zamannya, Ibrahim Ibnu Hasan Al Kurdiy dari Al Hafidh Ibnu Hajar, bahwa beliau berkata: “Hijrah di dalam Islam itu terjadi atas dua macam:
Pertama:Perpindahan dari darul khauf (negeri yang penuh dengan ketakutan) ke darul amni (negeri aman), sebagaimana dalam hijrah Habasyahh serta awal hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Kedua:Hijrah dari darul kufri ke darul iman, dan itu setelah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam menetap di Madinah, dan orang-orang dari kalangan kaum muslimin yang memungkinkan hijrah baginya mereka hijrah kepadanya. Dan pada waktu itu hijrah hanya khusus ke Madinah hingga akhirnya Mekkah di taklukkan, dan terputuslah kekhususan itu, dan yang berlaku adalah perpindahan dari darul kufri bagi orang yang mampu hijrah.” Selesai.
Dan disebutkan dari Al Asyuthiy: Bahwa hijrah itu ada delapan macam. Hijrah pertama: Ke Habasyahh tatkala orang-orang kafir menindas para shahabat, dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan bagi mereka untuk hijrah ke Habasyahh. Dan diizinkan bagi mereka untuk kedua kalinya, dan ini adalah Hijrah yang kedua. Hijrah yang ketiga: dari Mekkah ke Madinah. Hijrah yang keempat: Hijrah kabilah-kabilah kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mempelajari syari’at ini, kemudian mereka kembali ke kaumnya untuk memberikan peringatan kepada mereka. Hijrah yang kelima: Hijrah orang yang masuk Islam dari Mekkah untuk mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Hijrah yang keenam: Hijrah orang yang muqim di darul kufri sedangkan dia tidak mampu menampakkan diennya, maka sesungguhnya wajib atasnya hijrah ke negeri Islam. Ini adalah lafadh Al Asyuthiy dalam Al Muntaha, dan kami mencukupkan dengan apa yang dimaksud darinya, dan memang hal itu telah ditegaskan oleh para ‘ulama mahdzab Hanbali, dan hampir dekat dengannya lafadh An Nawawi dalam Syarah Arba’iin-nya.
Dan tatkala bahasan ini ditetapkan –bihamdillah- oleh orang yang berkilau cahaya diennya, terbit matahari dan bulannya menerangi burhan dakwahnya, dan bunga-bunganya berseri-seri di halaman keindahannya, maka hal ini ditentang oleh orang yang memilih kesesatan daripada petunjuk dan berbalik dari keselamatan kepada keterpurukan, bila ia tidak segera ditolong oleh rahmat Allah, dia mengatakan: Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam bahasannya yang diambil dari sirah: Ketahuilah sesungguhnya manusia tidak bakal tegak keislamannya meskipun dia itu mentauhidkan Allah kecuali dengan memusuhi kaum musyrikin, dan tegas-tegasan memusuhi dan membenci mereka.
Orang yang menentang itu berkata: Maka dhahir perkataannya bahwa An Najasyi itu kafir, di mana ia tidak tegas-tegasan memusuhi kaumnya, dan begitu juga Ja’far dan para shahabatnya adalah kafir dengan ungkapan ini, hingga akhir perkataannya yang tidak bersumber dari orang yang telah mencium bau ilmu yang bermanfaat, atau dia itu sangat jauh sekali dari pancaran ilmu ini.
Ungkapan itu telah dijawab oleh orang yang sangat indah dan hebat dalam penguraian saat menjawab serta ungkapannya itu sangat selaras dengan jalan yang benar, yaitu Syaikh kami Al ‘Allamah Abdullathif rahimahullah –setelah menuturkan syubhatnya- yang ringkasnya: Dan telah tsabit bahwa An Najasyi tegas-tegasan memusuhi mereka dan baraa’ah dari ajaran mereka, serta membuat mereka kesal dalam rangka menambah tegas-tegasannya dengan permusuhan itu, dan beliau (An Najasyi) berkata: “Dan meskipun kalian mendengus”,  tatkala beliau terang-terangan menyatakan bahwa Isa ‘alaihissalam itu adalah hamba, dimana Ja’far membaca awal surat Maryam, yang mana di sana disebutkan tentang Isa, maka An Najasy berkata: “Demi Allah, Isa itu tidak melebihi atas hal ini…. hingga akhirnya.
Permusuhan macam apa? Dan penegasan apa yang lebih besar dari ini? Namun demikian beliau juga membela orang-orang yang hijrah dan memberi mereka tempat leluasa di negeri, dan beliau berkata: “Pergilah, sedang kalian dalam keadaan aman di negeriku, siapa yang mencerca kalian, ia pasti menyesal, dan siapa yang mendzalimi kalian, maka ia pasti dikenakan sanksi,” maka beliau terang-terangan menegaskan bahwa ia memberikan sanksi kepada orang yang mencela agama mereka dan menjelek-jelekan apa yang mereka pegang. Sedangkan ini adalah kadar tambahan atas penegasan akan permusuhan terhadap mereka. Dan tidak ada yang mengatakan: Bahwa Ja’far dan para shahabatnya, mereka itu menyembunyikan diennya di Al Habasyah, dan mereka tidak terang-terangan memusuhi orang-orang kafir lagi musyrik, kecuali orang jahil.
Dan Ja’far bersama para shahabatnya tidak meninggalkan negeri mereka dan tanah kaumnya, serta memilih negeri Habasyah kecuali dalam rangka terang-terangan memusuhi kaum musyrikin dan bara’ah dari mereka secara terang-terangan dalam hal madzhab dan dien. Seandainya bukan karena itu tentulah mereka tidak membutuhkan hijrah dan memilih keterasingan, akan tetapi itu semua fi Dzatil Ilah dan dalam rangka memusuhi karena dasar itu. Ini adalah yang nampak tidak membutuhkan akan taqrier seandainya tidak meratanya kejahilan. Selesai dengan intisari.
Syaikh ayahanda -semoga Allah mensucikan arwahnya- berkata dalam rangka membantah orang tersebut: Adapun ucapannya: Dhahirnya bahwa An Najasy ini adalah kafir…. hingga akhir ucapannya…
Jawabannya adalah dari beberapa sisi:
Pertama: sesunggguhnya tidak boleh protes atas hukum Al Qur’an.
Kedua: Sesungguhnya orang-orang yang hijrah ke Habasyahh, mereka itu hijrah dalam rangka mencari tempat aman atas dien mereka yang mana tidak ada satu negeri pun  dan tidak ada satu kabilah pun yang mana mereka mendapatkan rasa aman di dalamnya selain Habasyahh. Saya berkata: Dan itu atas dasar perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala sampai berita kepada beliau sikap An Najasy yang baik dalam memberikan perlindungan.
Ayahanda rahimahullah berkata: Kemudian ini adalah di awal dakwah, sebelum kewajiban-kewajiban difardlukan dan sebelum ayat-ayat tentang penjelasan hukum-hukum turun, sedangkan kewajiban terbesar setelah tauhid yaitu shalat, belum difardlukan saat itu kecuali setelah sepuluh tahun, dan begitu juga hukum-hukum hijrah dan jihad, sampai beliau mengatakan:
Ketiga: Sesunguhnya An Najasy dan sejumlah orang dari kaumnya masuk Islam, maka bagi mereka hal itu berstatus dhuhuur (nampak), dan hal itu terkenal di dalam sirah dan tafsir, sehingga bila Islam nampak jelas di suatu negeri maka tidaklah haram iqamah di sana bagi orang yang bisa menjaga diennya dan menampakkannya. Dan begitu juga Ja’far dan para shahabatnya, mereka telah dijaga Allah dengan perlindungan yang diberikan oleh An Najasy, di mana dia berkata: “Siapa yang mencerca kalian, maka ia dikenakan sangsi”. Dan orang yang mengikuti mereka di negeri itu menerima jaminan itu dan merekapun menampakkan diennya meskipun ketidaksukaan orang yang tidak suka, sehingga ayat itu tidak menyangkut mereka. Maka bagaimana hal ini bila dibandingkan dengan orang yang berkasih sayang dengan orang-orang musyrik dan menampakkan kepada mereka kecintaan dan perlakuan yang lembut?! Orang seperti inilah yang keimanannya tidak tersisa. Selesai ucapan beliau rahimahullah.
Dan tatkala beliau rahimahullah menuturkan –dalam bantahannya kepada orang Kharaj– kisah An Najasyi dan apa yang diucapkannya kepada ‘Amr Ibnul Ash utusan Quraisy, beliau berkata: Allah telah menurunkan Qur’an berkenaan dengan An Najasyi dan para shahabatnya, dan Allah memuji mereka, sehingga tidak boleh berhujjah atas bolehnya iqamah bersama ahlul bathil, loyalitas dan tentram kepada mereka dengan hijrahnya para shahabat dan sikap mereka melarikan diri membawa diennya agar supaya tidak dipalingkan oleh kaum musyrikin dari diennya.
Dan setiap orang memahami dari kisah ini: Bahwa ia adalah hujjah yang agung atas orang yang meninggalkan hijrah dari beberapa sisi yang tidak samar lagi atas orang yang sedikit memiliki pengetahuan dan pemahaman, termasuk orang yang bodoh sekalipun, dan orang yang ngotot tidak mampu berhujjah dengan hujjah yang padahal ia adalah hujjah atas dirinya, kecuali orang yang ditimpa bencana dengan buruknya pemahaman dan rusaknya tinjauan. Selesai ucapannya dari tulisannya rahimahullah.
Maka gugurlah syubhat itu dari pangkalnya, karena sesungguhnya orang bila ia menampakkan Islam di suatu negeri, maka tidak haram iqamah di sana bagi orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ja’far dan para shahabatnya, karena mereka itu menampakkan diennya di negeri orang yang meyakini perselisihan Islam terhadap diennya, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat kecintaannya daripada kaum musyrikin dengan nash Al Qur’an. Maka apakah hukum mereka itu disamakan dengan hukum orang yang seandainya ia mengetahui dari kamu penyelisihan dalam hal keyakinan, tentu ia jadikan tauhidullah itu sebagai kekafiran dan keluar dari keislaman? Dan hukum minimal yang ia terapkan kepadamu adalah diusir dan disuruh keluar? Fallahul Musta’an.
Jadi secara umum, suatu negeri bila keadaannya seperti ini, Islam nampak di dalamnya, dan penguasanya memberikan dukungan kepada pemeluk Islam, merestui mereka di atasnya, mengakui mereka dan berkata kepada rakyatnya seperti apa yang dikatakan oleh An Najasyi, maka tidak ada seorangpun yang melarang iqamah di sana. Bila tauhid yang merupakan pokok segala pokokdan kewajiban yang paling wajib boleh disembunyikan untuk kepentingan (maslahat) duniawi, sedangkan ibadah-ibadah lainnya yang merupakan cabang-cabangnya dinamakan idhharud dien, maka apa faedah ilmu itu?!
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Dalam kisah hijrah ke Habasyahh, Assuhailiy berkata: Dan di dalamnya terdapat fiqh: Keluar dari tanah air sendiri meskipun tanah air itu adalah Mekkah yang mempunyai keutamaan, bila keluar itu adalah dalam rangka lari menyelamatkan dien, meskipun bukan ke negeri Islam, karena sesungguhnya Habasyahh di sana orang-orang Nasrani menyembah Al Masih dan mengatakan ia adalah anak Allah, dan mereka dinamakan Muhajirin dengan hijrah itu.
Dan mereka adalah ashhabul hijratain yang mendapatkan sanjungan Allah. Mereka telah keluar dari negeri Allah al haram ke negeri kafir, tatkala hal itu dalam rangka menjaga dien mereka, dan mereka bisa bebas beribadah kepada Rabbnya, mereka bisa berdzikir kepada-Nya dalam keadaan aman, dan ini adalah hukum yang terus berlaku tatkala kemungkaran menguasai suatu negeri, orang mukmin ditindas karena kebenarannya, kebathilan lebih menguasai kebenaran dan ia mengharap di negeri lain, negeri mana saja, ia bisa menampakkan diennya dan menampakkan ibadah kepada Rabbnya, maka sesungguhnya keluar dengan gambaran seperti ini adalah kewajiban atas setiap mukmin. Dan hijrah semacam ini tidak terputus hingga hari kiamat (dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah) Al Baqarah: 115, selesai perkataan As Suhailiy.
Lihatlah ucapannya: “Bila keluar itu adalah dalam rangka menyelamatkan dien,” dan ucapannya: “Maka Allah menyanjung mereka tatkala perbuatan mereka itu dalam rangka menjaga dien mereka,” dan ucapannya: “Mereka bisa berdzikir kepada-Nya dalam keadaan aman,” maksudnya mereka mentauhidkan Allah secara terang-terangan di tengah orang-orang yang tidak mentauhidkan-Nya seperti kaum Nasrani, berbeda dengan orang yang menyepakati dalam hal Laa Ilaaha Illallaah seperti orang-orang Yahudi, maka tidaklah cukup kecuali dengan terang-terangan menampakkan keyakinan akan risalah (Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang lalu.
Dan ucapannya: “Dan ini adalah hukum yang terus berlaku tatkala kemungkaran menguasai suatu negeri, orang mukmin ditindas karena kebenarannya, kebathilan lebih menguasai kebenaran, dan ia mengharap di negeri lain, negeri mana saja, ia bisa menampakkan diennya,” apa dien ini? Apakah engkau mengira bahwa ia adalah tergolong lafadh umum yang dimaksudkan dengannya makna yang khusus? Tentu tidak, terus apa kehati-hatian ini semoga Allah merahmatimu? Apakah engkau menyangka kehati-hatian itu dalam bentuk pergi ke negeri kaum musyrikin? Tatkala engkau disakiti atas dasar kebenaran di negeri kaum muslimin? Dan engkau melihat kebathilan mendominasi kebenaran? Alangkah besarnya tindak kriminal orang yang membolehkan itu bila kita memegang lazim dari ucapannya? Allahu Akbar, apa gerangan yang dilakukan oleh kejahilan terhadap pelakunya, hati-hatilah berbicara atas nama Allah?!
Dan adapun yang ia nukil dari Syaikhul Islam tentang seorang tawanan, bila orang-orang musyrik tidak menghalanginya dari menunaikan kewajiban-kewajiban diennya, maka itu tidak menunjukkan terhadap apa yang mereka maksudkan sama sekali, karena perkataan Syaikh ini tidak nampak menunjukkan bahwa dien ini adalah sekedar ibadah saja, dan tidak nampak juga menunjukkan bahwa para penyembah berhala itu tidak ridla dengan tauhid darinya, maka ada kemungkinan bahwa mereka itu adalah orang-orang Nasrani, sehingga cukuplah dua kalimah syahadat dan shalat dalam idhharud dien ini di sisi mereka.
Kedua: sesungguhnya telah diketahui secara pasti dari keadaan Syaikhul Islam apa yang bisa membantah klaim ini, karena sesungguhnya Syaikhul Islam ini memiliki karakter yang sangat terkenal dari keadaan dan ungkapannya dalam hal pengagungan terhadap nash-nash, pembelaan terhadapnya, pambelaan akan dien ini dengan tangan dan lisan, serta dorongannya untuk memutus hubungan antara wali-wali Allah dengan wali-wali setan.
Syaikh kami Al ‘Allamah Abdullathif telah menukil darinya: bahwa ayat-ayat ancaman dalam hal loyalitas kepada kaum musyrikin menunjukkan hilangnya keimanan yang wajib dari orang-orang yang berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan bahwa memusuhi mereka, membencinya serta menjauhinya merupakan bagian dari kewajiban-kewajiban dien ini, sehingga ucapan beliau yang masih muhtamal (banyak kemungkinan) dibawa kepada yang perkataannya sharih. Dan bila para ‘ulama mahdzab Hanbali menegaskan bahwa tawanan itu tidak boleh menikah di negeri musuh, seraya mereka memberikan alasan bahwa ia bisa jadi terjerumus ke dalam agama mereka. Mereka berkata juga: Dan begitu juga pedagang, karena dikhawatirkan isterinya itu melahirkan anak, terus anak itu tumbuh di atas agama mereka. Mereka mengatakan: Pernikahannya itu bisa menggadaikan dirinya pada kerusakan yang besar ini.
Dan inilah perkataan Al Mughni bersama matannya, ia berkata: Masalah: Dan tidak boleh menikah di negeri musuh, kecuali bila tidak kuat menahan syahwat, maka ia boleh menikah dengan muslimah, tapi ia melakukan ‘azl. Pensyarah berkata setelah ucapan: Dan Imam Ahmad ditanya tentang tawanan yang ditawan bersama isterinya, apakah boleh ia menggaulinya? Maka beliau menjawab: Bagaimana ia menggaulinya? Bisa jadi ia (isterinya) melahirkan anak, sehingga ia bersama mereka. Bila keadaannya demikian, maka gugurlah apa yang mereka pahami dari perkataan syaikh dan yang lainnya yangg masih ihtimal.
Bila nash-nash yang masih ihtimal bila itu shahih harus dikembalikan kepada nash-nash yang sharih, maka apa gerangan dengan perkataan-perkataan yang berseberangan -bihamdillah- dengan parkataan salaf yang lebih sharih (jelas)? Bahwa idhharud dien itu adalah menampakkan keyakinan dan mengingkari kemungkaran, sehingga tetaplah nash-nash itu bebas tidak ada yang menentangnya bi hamdillah.
Dan tatkala sebagian mereka berhujjah dengan perkataan Malik rahimahullah tentang orang yang tidak mengetahui apakah ia mencerai (isterinya) dengan talak satu atau tiga, yang dipegang adalah tiga sebagai bentuk kehati-hatian, maka Ibnul Qayyim berkata: “Ya, memang ini adalah perkataan Malik rahimahullah, terus apa hujjahnya atas Asy Syafi’iy, Abu Hanifah, Ahmad rahimahumullah dan atas setiap orang yang menyelisihi Malik dalam masalah ini? Sampai-sampai wajib atas mereka meninggalkan perkataan ‘ulama-‘ulama itu karena sekedar ucapan Malik. Selesai.
Dan kalau kita terapkan pada masalah kita ini, kita katakan: “Inilah jawaban kita terhadap setiap apa yang dijadikan hujjah oleh orang yang menyelisihi.
Dan adapun istidlal-nya dengan kisah Al ‘Abbas dan kisah Nu’aim Ibnu Abdillah Ibnu An Nahham, atas sekedar iqamah di negeri kaum musyrikin, maka itu tergolong kebodohan yang sangat jelas, justeru kedua kisah itu adalah hujjah atasnya bukan baginya dari beberapa sisi:
Di antaranya: Apa yang ada dalam kisah Nu’aim, bahwa Banu ‘Abdi berkata kepadanya tatkala ia hendak hijrah: “Muqimlah di tengah-tengah kami sedang engkau tetap di atas dienmu, dan cukupkanlah kami seperti apa yang telah kami berikan kecukupan kepadamu,” Maka iapun meninggalkan hijrah beberapa saat karena alasan itu, kemudian dia hijrah, dan berkata kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Kaumku menghambat saya dari hijrah dan dari taat kepada Allah,” dan ungkapan ini ditinggalkan oleh teman kamu, sedangkan ini adalah tergolong khianat dalam penukilan, karena ungkapan ini membantah syubhatnya, karena termasuk hal yang maklum bahwa larangannya dari orang yang ingin menyakitinya tidak mungkin terjadi kecuali atas dasar perbedaan dalam hal dien, karena kalau tidak demikian maka sesungguhnya orang yang diam itu tidak mungkin disakiti.
Dan dalam sebagian lafadh kisah ini: “Muqimlah di tengah-tengah kami di atas dien apa saja yang kamu sukai,” dituturkan oleh Ibnu Atsir dalam Jami’ul Ushul. Ini nampak sekali menunjukkan bahwa dia terang-terangan dengan diennya yang mana itu adalah penyelisihan terhadap dien Quraisy, karena dia sudah masuk Islam semenjak dahulu semasa Islamnya Umar, dan ia itu menyembunyikan keislamannya, dan tatkala ia hendak hijrah, kaumnya berjanji untuk melindunginya dari orang-orang yang akan menyakitinya, maka ia pun menetap seraya menampakkan diennya, namun demikian ia telah menyayangkan atas sikapnya pernah meninggalkan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, berdasarkan ungkapannya: “kaumku menghambat saya dari hijrah,” berarti itu adalah penghambatan dari kewajiban ini, seandainya boleh bagi orang yang membolehkan untuk berhujjah dengannya, maka sungguh tidak ada hujjah juga di dalamnya.
Kemudian seandainya kita menerima bahwa ia itu diizinkan oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jadilah kisah ini tergolong kasus-kasus individu yang khusus, karena pemberian izin bagi seseorang itu menunjukkan akan adanya larangan seandainya tidak ada izin, menurut para ahli ma’aniy, sebagaimana beliau mengizinkan bagi orang Arab badui dan sebagaimana beliau mengizinkan bagi Aslam (untuk tidak hijrah) dengan ungkapannya: “Hiduplah di pedalaman wahai Aslam, sedang kalian tetap di atas hijrah kalian,”
Dan bagi syari’at boleh mengkhususkan orang yang dikehendaki dengan apa yang ia kehendaki, dan contohnya adalah Al ‘Abbas, sesungguhnya dia itu telah diberi izin, sehingga ia dikhususkan dari larangan, karena dalam menetapnya ‘Abbas di situ ada maslahat bagi kaum muslimin. Dan tatkala Ibnu Hajar menyebutkan hujjah bagi larangan, beliau berkata: Dan di kecualikan dari hal itu orang yang dalam menetapnya itu terdapat maslahat bagi kaum muslimin, karena diriwayatkan bahwa Al ‘Abbas itu telah masuk Islam sejak lama, dan keislamannya itu terus berlangsung hingga hijrahnya, dia menulis berita-berita kaum musyrikin kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ia itu menginginkan untuk mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepadanya bahwa keberadaanya di Mekkah itu lebih baik.
Ibnu Hajar berkata sesudahnya: Dan hal itu tidak tsabit, dan bila ternyata tidak tsabit adanya izin dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam baginya, maka tidak ada hujjah di dalamnya, karena sebelum hijrah, yang berlaku atas ‘Abbas adalah hukum-hukum kaum musyrikin. Ia sebelum Badar telah keberatan untuk hijrah, dan ia justeru keluar bergabung bersama kaum musyrikin, kemudian kaum muslimin menawannya dan ia menebus dirinya sendiri. Sebagaimana hal itu masyhur dalam sirah. Sehingga ia itu adalah orang yang dihambat dari hijrah sebagaimana dihambatnya Nu’aim radliyallahu ‘anhuma, maka tidak ada hujjah di dalamnya, sebagaimana tidak ada hujjah dalam tindakan dia ikut keluar bergabung bersama kaum musyrikin pada perang Badar.
Dan yang shahih: adalah bahwa Al ‘Abbas itu menampakkan Islamnya setelah Badar, karena sesungguhnya telah tsabit bahwa ia tatkala diberitahu oleh Al Hajjaj Ibnu ‘Alath saat ia mendatangi Quraisy bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah menaklukkan Khaibar, sedangkan Al Hajjaj telah menampakkan kepada Quraisy berita yang berlainan karena Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan untuk itu. Dan tatkala Al Hajjaj pergi, maka Al ‘Abbas berdiri di balai pertemuan Quraisy seraya meneriakkan: “Sesungguhnya Allah telah memuliakan dien-Nya, dan telah menolong Rasul-Nya,” dan dalam tindakan ini terdapat hal besar yang membuat orang-orang musyrik geram, sehingga gugurlah berhujjah dengan dua kisah itu dengan kedua maknanya, dan terurailah syubhat itu dari pangkalnya.
Dan adapun ungkapan dari Ibnul ‘Arabiy: “Bahwa hijrah difardlukan pada zaman Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan terus berlangsung hukumnya bagi orang yang khawatir atas dirinya,” maka jawabannya dari beberapa sisi:
Pertama: Sesungguhnya telah kami jelaskan kepadanya, bahwa itu adalah hadits dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga istidlal dengannya adalah istidlal dengan mafhum, dan hal itu adalah lemah bila bertentangan dengan nash, bagaimana tidak sedangkan ia mengandung ungkapan yang tidak ada hujjah di dalamnya.
Kedua: sesungguhnya ungkapan An Nawawiy darinya membantah hal ini, karena beliau rahimahullah berkata dalam Syarah Arba’iinnya: Ibnul Arabiy berkata: Para ‘ulama rahimahumullah membagi (hukum) pergi di bumi ini, dalam rangka mencari dan dalam rangka lari, ke dalam beberapa macam:
  • Yang pertama: Terbagi menjadi enam bagian, pertama: Keluar dari darul harbi ke darul Islam, dan ini terus berlangsung hingga hari kiamat, sedangkan yang terputus dengan penaklukan (kota Mekkah) dalam sabdanya: “Tidak ada hijrah setelah penaklukkan (Mekkah),”Adalah hijrah mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
  • Kedua: keluar dari negeri bid’ah, dan beliau menuturkan perkataan Al Qasim dari Malik yang lalu. Silahkan bandingkan antara ini dengan global ucapan yang kamu nukil darinya yang tidak ada penegasan di dalamnya.
  • Ketiga: Sesungguhnya kekhawatiran akan dirinya dengan idhharud dien adalah salah satu dari dua kemungkinan yang lebih dekat, karena selaras dengan ungkapan pendahulunya.
Dan adapun ucapannya, Al Khaththabiy berkata: “Hikmah atas wajibnya hijrah atas orang yang masuk Islam adalah agar ia selamat dari penindasan orang-orang kafir, karena sesunggguhnya mereka menyiksa orang yang masuk Islam supaya mau meninggalkan diennya,” Sungguh saya tidak mendapatkan hal itu berasal dari perkataan Al Khaththabiy, akan tetapi itu adalah berasal dari perkataan Al Hafidh, sedangkan perkataan Al Khaththabiy ada sedikit sebelumnya, dan itu ada dalam Fathul Bari, silahkan rujuk.
Kemudian itu adalah tergolong penafsiran sesuatu dengan sebagian individu-individunya. Dan sebagian orang telah memberikan alasan: Sesungguhnya hijrah itu hanya difardlukan dalam rangka memeperbanyak jumlah kaum muslimin. Dan sebagian memberikan alasan (itu) untuk mempelajari syaraa’i dien ini. Sebagian mengatakan alasannya adalah karena takut fitnah. Dan telah kami tuturkan sebelumnya: Bahwa satu hukum bisa saja sebabnya bermacam-macam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Salaf radliyallahu ‘anhum menyebutkan dalam penafsiran mereka jenis apa yang dimaksud oleh ayat, dalam rangka memberikan contoh. Maksud mereka itu bukan mengkhususkan macam tanpa macam yang lainnya. Selesai.
Ash Shan’aniy rahimahullah berkata: ‘Illat (alasan hukkum) yang disebutkan oleh nash tidak menunjukkan pembatasan kepadanya saja menurut ahli ushul, dan telah diuraikan kepadamu sebelumnya berulang-ulang apa yang menunjukkan bahwa takut fitnah itu adalah dengan sebab dakwah illallaah dan idhharud dien, karena tidak ada fitnah yang diprediksikan bagi orang yang diam meskipun dia hidup di negeri Romawi (Barat/Amerika, pent), apakah orang yang berakal tidak malu dari membawa perkataan para ‘ulama terhadap pemahaman dia belaka, yaitu bahwa melakukan ibadah-ibadah selain keyakinan, adalah idhharud dien?! Fallahul musta’aan.
Seandainya ini diterima, tentulah terurailah ikatan hijrah itu dari pangkalnya. Dan tatkala Al Mawardiy menyebutkan apa yang secara umum bisa diterima, yaitu bahwa orang yang mengharapkan dengan keberadaannya itu orang lain masuk Islam, maka boleh hal itu (muqim) baginya, justeru ungkapannya ini banyak diingkari dan dibantah oleh para ‘ulama, sebagaimana yang telah lalu.
Dan adapun penukilannya dari Al Mawardiy dan Al Hafidh, keduanya sesuai dengan perkataan Aisyah: “tidak ada hijrah pada hari ini, dahulu orang mukmin lari membawa diennya kepada Allah dan Rasul-Nya, karena khawatir ditindas. Adapun pada hari ini, maka sungguh Allah telah menampakkan Islam ini,” perkataan Aisyah ini sangatlah tegas bahwa alasan yang karenanya dahulu orang mukmin lari membawa diennya telah hilang dengan nampaknya (kemenangan) Islam ini. Dan kami mengatakan sesuai dengan apa yang dituntut oleh hal itu, sedangkan mahfuum perkataan Al Hafidh bukanlah apa yang dimaksud oleh perkataan Aisyah, bila itu diterapkan sesuai dengan apa yang diklaim oleh orang yang membolehkan, padahal itu juga adalah sekedar ungkapan, dan dalam penukilannya terdapat perubahan yang mencoreng yang tidak layak dilakukan oleh pencari ilmu. Dan sekarang saya akan menuturkan kepadamu perkataannya dari pangkalnya, supaya kamu mengetahui bahwa ilmu ini adalah dien.
Al Hafidh berkata: Pengisyaratan ‘Aisyah terhadap penjelasan disyari’atkannya hijrah, dan bahwa penyebabnya adalah takut fitnah, sedangkan hukum itu adalah berputar bersama alasannya, sehingga muqtadla ungkapannya bahwa orang yang mampu untuk beribadah kepada Rabbnya di tempat mana saja di mana ia tinggal, maka hijrah itu tidak wajib atasnya, dan karena atas dasar itulah Al Mawardiy berkata: Bila ia mampu menampakkan diennya disuatu negeri di negeri-negeri kafir, maka negeri itu dengannya telah menjadi negeri Islam. Selesai perkataan Al Hafidh.
Orang yang membolehkan itu menggugurkan perkataan Al Hafidh, “dan karena atas dasar itulah,” dan bisa jadi dia lalai darinya. Dan ungkapan itu menunjukkan bahwa perkataan Al Hafidh itu dibangun di atas dasar itu, dan bahwa Al Mawardiy memahami seperti apa yang dipahami oleh Al Hafidh, karena makna dari “dan karena atas dasar itulah,” ini adalah dari keadaan seperi ini, maka ketahuilah bahwa ia melihat makna itu yang dimaksud oleh Al Mawardiy, yaitu bolehnya iqamah bagi orang yang menampakkan diennya dan mengharapkan keislaman orang lain, padahal sesungguhnya perkataan Al Hafidh itu mengisyaratkan: pelemahan terhadap ungkapan Al Mawardiy akan afdalnya iqamah itu. Dan telah kami ketengahkan kepada anda pembahasan terhadapnya, dan bahwa apa yang diungkapkan oleh Al Mawardiy itu tidak bisa diterima, dan begitu juga tidak bisa diterima apa yang dikatakan oleh Al Hafidh, bila memang ia setuju dengan Al Mawardiy, lagian ungkapan ini masih mengandung banyak kemungkinan lagi tidak tegas.
Karena ibadah adalah lafadh yang umum, tidak bisa dibawa kepada apa yang mereka klaim kecuali dengan adanya qarinah –sebagaimana yang dikatakan oleh ‘ulama bayan– sedangkan di sini tidak ada qarinah, sehingga membawa lafadh itu dan begitu juga membawa apa yang sebelumnya dan apa yang sesudahnya dari ungkapan-ungkapan muthlaq para ‘ulama, terhadap apa yang didukung oleh dalil berupa ungkapan syari’at adalah lebih utama, karena wajibnya mengembalikan kepadanya saat terjadi perselisihan.
Dan adapun nukilan dari Al Hafidh dan Ibnu Qudamah, yaitu bahwa idhharud dien adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban, maka telah lalu uraian terhadap engkau uraian yang menunjukkan bahwa tidaklah bisa berdalil dengannya dengan kemungkinan makna manapun, karena mereka dalam ungkapannya melakukan pemisahan antara dua ungkapan. Mereka mengatakan: Tidak memungkinkan baginya untuk menampakkan diennya dan tidak mungkin baginya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiannya. Dan mereka mengulangi kalimat itu dua kali, sehingga hukum itu terdiri dari dua bagian, dan tidak sah tanpa keduanya, maka jelaslah bahwa idhharud dien adalah idhhar keyakinan.
Syaikhul Islam berkata: Hal yang terdiri dari beberapa bagian, maka bentuk gabungan itu dibangun di atas bagian-bagian itu lagi tersusun darinya, karena pengulangan imbuhan menurut ahlul ma’aaniy adalah dalam rangka membangun hukum bukan untuk menguatkan. Dan saya mengira bahwa itu tidak membedakan antara dua macam itu, sebagaimana ia tidak bisa membedakan antara al ‘aam al muthlaq yang meliputi seluruh individu-individunya dengan ‘umuumaat yang mencakup akan sesuatu. Dan ini bukanlah hal yang baru, karena klaim-klaim itu telah banyak, dan seandainya di sana ada perbedaan tentu al muta’akhkhirun mengingatkan terhadapnya, karena mereka tegas-tegasan akan yang dimaksud, sebagaimana yang lalu.
Dan adapun penukilannya dari Al Hafidh: Bahwa bila tidak ada Imam, maka wajib atas kaum muslimin…..
Maka jawabannya: sesungguhnya mengangkat imam itu adalah hujjah yang nampak tentang sikap mencari kekuatan, sedangkan kekuatan itu tidak bisa terjadi kecuali dengan melaksanakan perintah dan larangan. Dan maknanya bahwa mereka itu mengangkat imam dan qadli yang memutuskan dengan hukum Al Qur’an, terus apa imam ini? Dan apa kekuatan ini bila tidak bisa merealisasikan sesuatupun? Dan apa sisi pengambilan dalil itu? Dan apa hubungannya dengan iqamah ditengah kaum musyrikin bagi orang Islam yang tidak mampu menampakkan diennya?!
Dan ungkapannya: “Dan perkataan ‘ulama sangatlah banyak,” adalah sekedar membesar-besarkan yang tidak usah dipedulikan. Dan bila memang ini adalah ujung pengetahuannya, maka bila ia hendak tentu ia menukil berjilid-jilid. Dan telah kami jelaskan padamu di awal jawaban perkataan Ibnul Qayyim, yaitu bahwa bila Al Kitab dan As Sunnah sepakat atas suatu hukum, maka tidak mungkin bisa ditentang, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat bagimu dengannya, karena itu adalah hal pokok yang mampu menghilangkan darimu syubhat-syubhat yang banyak. Bukanlah yang menjadi patokan itu banyaknya tulisan, akan tetapi yang menjadi segala patokan adalah berada pada pemahaman nash-nash yang ada, serta mengembalikan nash-nash yang masih muhtamal kepada nash-nash yang sharih.
Dan tatkala sebagian orang magharibah (maghrib) melihat suatu ungkapan yang membuat dia terkesan, ia berkata: “Ahli fiqh itu bukanlah orang yang hafal akan banyak ilmu, akan tetapi ahli fiqh adalah orang yang mengetahui mawaaqi’ul khithab dan madluulatul alfadh. Dan siapa yang mengira hal itu, maka ia telah mengira seperti apa yang dikira oleh banyak orang: Bahwa ahli sepatu adalah orang yang memiliki banyak sepatu, bukan orang yang mampu membuat sepatu. Bisa jadi ia didatangi oleh orang yang memiliki kaki yang tidak selaras dengan semua sepatu yang ia miliki, maka akhirnya ia justeru mendatangi pembuat sepatu, terus ia membuatkan sepatu yang selaras dengan kaki orang itu.
Dan adapun ihtijaj dia dengan safarnya Abu Bakar, maka ini adalah tergolong kejahilan yang paling besar, karena telah ada pada hati-hati para shahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam hal yang sudah terkenal berupa rasa ghirah terhadap Allah dan dien-Nya, rasa permusuhan terhadap musuh-musuh Allah, penumpahan darah dalam rangka mencapai keridlaan-Nya, serta meninggalkan orang tua, saudara dan kerabat. Dan ini semua telah di kenal lagi tidak samar kecuali atas orang yang ingin mengkaburkan yang haq dengan yang bathil. Ini contohnya Sa’ad tatkala beliau datang ke Mekkah, ia langsung menghadang Umayyah dan mengancamnya dengan yang telah dikabarkan oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu beliau pasti membunuhnya, padahal ia (Sa’ad sedang dalam status singgah di rumah) Umayyah, sehingga ungkapannya itu membuat dia geram, akan tetapi Sa’ad tidak mempedulikannya.
Contoh lain, saudari Umar radliyallahu ‘anhu, tatkala Umar berkata kepadanya: “Perlihatkan kepadaku kitab itu,” ia berkata: “Sesungguhnya kitab ini tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci,” ia tidak mengindahkan Umar, padahal ia (Umar) telah melukai kepalanya, namun demikian ia justeru mengatakan: “Meskipun hal itu -maksudnya Islam- tidak kamu sukai,”
Dan begitu juga Ummu Habibah Bintu Abu Sufyan, ia melipat tikar Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam supaya tidak diduduki oleh ayahnya, maka Abu Sufyan berkata: “Wahai puteriku, apakah kamu tidak menyukai tikar ini didudukiku, atau engkau tidak suka aku duduk di atasnya?” Maka ia berkata: “Justeru itu adalah tikar Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik lagi najis, sehingga saya tidak suka engkau duduk di atasnya”.
Dan hal-hal seperti ini adalah banyak dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan mereka radliyallahu ‘anhum wa arlaahum.
Dan yang dimaksud adalah: Bahwa mereka memiliki ghirah yang sangat terkenal, dan kepentingan-kepentingan safar mereka itu adalah untuk dien ini, mendakwahkannya secara terang-terangan, dan hujjah-hujjah mereka atas musuh-musuhnya adalah tegak lagi menang. Dan siapa orangnya yang berdalil dengan hal ini untuk apa yang dilakukan oleh orang masa sekarang, maka dia itu adalah orang yang mukaabir (ngotot), tidak ada pilihan lain, dan ia itu bagaikan orang yang berdalil dengan bolehnya mencium di bulan Ramadlan terhadap bolehnya bersenggama di dalamnya.
Wal hasil: Sesungguhnya orang muslim tidak dikatakan menampakkan diennya, baik dia itu musafir atau muqim, sampai ia menyelisihi setiap kelompok dengan ajaran yang masyhur darinya, dan itulah yang dipahami dari perkataan salaf. Adapun ucapan: “Wahai kafir,” dan ucapan: “Buktikan kepada kami sebuah dalil atasnya, meskipun dari tarikh atau yang lainnya,” ini adalah ungkapan yang tidak dikatakan oleh seorangpun, dan kami tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan disyaratkannya hal itu, karena itu tergolong hal yang tidak ada maslahat di dalamnya, termasuk seandainya ia mengajak orang lain kepada dien ini.
Karena sesungguhnya Allah berkata kepada Musa dan Harun, tentang orang yang mengaku sebagai tuhan:
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (٤٤)
“Maka berbicarah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut,” (Thahaa: 44)
Akan tetapi cukup darinya dengan menampakkan tauhid, mengingkari syirik, dan baraa’ah dari mereka, serta terang-terangan terhadap mereka dengan hal itu, wallahu a’lam. Kita mesti kembali kepada pembahasan yang dituntut oleh keadaan, saya akan mengetengahkan sebagian ungkapan-ungkapan para imam dakwah ini, dengannya saya mengakhiri jawaban ini, meskipun saya telah menyebutkan sedikit darinya dalam uraian yang lalu, dan pengulangan itu terkadang dirasakan enak, sebagaimana dikatakan:
Terus ulangilah perkataanmu hingga engkau membuatpendengar bosan, Dan sebenarnya siapa oranghya yang bosan dari bernafas.
Dan dalam jawaban-jawaban putera-putera Syaikh, tatkala mereka ditanya, apakah boleh atau tidak orang safar ke negeri orang-orang kafir, sedangkan syi’ar-syi’ar kekafiran nampak, dalam rangka berniaga?
Jawaban dari pertanyaan ini, adalah jawaban bagi hal yang sebelumnya, sama saja, dan tidak ada perbedaan dalam hal itu antara darul harbi dan darushshulhi. Setiap negeri di mana orang muslim tidak mampu menampakkan diennya di dalamnya, maka tidak boleh safar ke sana.
Penanya berkata juga: Apakah di bedakan antara jangka waktu yang pendek –seperti sebulan atau dua bulan– dengan jangka waktu yang lama?
Jawabannya: Tidak ada perbedaan antara waktu yang pendek dengan waktu yang lama, setiap negeri di mana orang muslim tidak mampu menampakkan diennya di dalamnyadan tidak mampuuntuk tidak loyalitas kepada kaum musyrikin, maka tidak boleh baginya bermuqim di sana, meskipun hanya satu hari, bila memang ia mampu untuk keluar darinya. Selesai.
Dan dalam jawaban-jawaban mereka lainnya: Apa pendapat antum tentang orang yang masuk dalam dien (tauhid) ini, ia mencintainya, ia juga mencintai orang yang masuk di dalamnya, serta ia membenci kemusyrikan? Sedangkan keluarganya terang-terangan memusuhi Islam, dan mereka memerangi ahlu tauhid, sedangkan ia beralasan bahwa meninggalkan negerinya itu terasa berat baginya, dan ia tidak meninggalkan mereka dengan alasan-alasan ini, maka apakah orang ini muslim atau kafir?
Jawabannya: Adapun orang yang mengetahui tauhid dan beriman kepadanya, ia mencintai tauhid dan mencintai ahlu tauhid, ia mengetahui syirik dan membencinya serta membenci pelakunya, akan tetapi penduduk negerinya berada di atas kekafiran dan kemusyrikan, dan ia tidak berhijrah, maka ini ada rincian di dalamnya. Bila ia mampu menampakkan dien (tauhidnya) di tengah-tengah mereka, baraa’ah dari mereka dan dari keyakinan dien mereka, dan ia menampakkan kepada mereka kekafiran mereka dan sikap permusuhannya terhadap mereka, serta mereka tidak memalingkan dia dari diennya karena alasan keluarga atau harta atau yang lainnya, maka orang seperti ini tidak dihukumi kafir, akan tetapi bila ia mampu hijrah tapi tidak hijrah, dan terus mati di tengah-tengah kaum musyrikin, maka kami mengkhawatirkan dia itu telah masuk dalam golongan orang-orang yang ada dalam ayat ini:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para Malaikat berkata: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),” (An Nisa: 97-98)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengudzur kecuali orang yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan, akan tetapi orang seperti itu sangatlah jarang pada masa sekarang, hingga akhir jawabannya.
Ini adalah jawaban Syaikh Husain (Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab) dan Syaikh Abdullah Ibnu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahumullah wa ‘afaa ‘anhum. Sungguh mereka telah memahami dari pemuthlakan nash-nash itu larangan dari hidup di tengah-tengah mereka secara muthlaq.
Dan kami mengatakan: Rukhsah bagi orang yang mampu menampakkan diennya dengan cara terang-terangan atau membedakan diri dari mereka yang diharapkan dengannya keislaman orang lain, sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepadamu dari salaf, akan tetapi rukhsah ini dibatasi dengan batasan aman dari fitnah, sedangkan engkau mengetahui benar bahwa mayoritas orang-orang yang safar pada masa sekarang tidak mengetahui apa yang diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berupa loyalitas kepada musuh-musuh-Nya Subhanahu Wa Ta’ala serta macam-macam loyalitas itu, dan tidak mengetahui apa yang membuat orang muslim menjadi kafir dan apa yang tidak membuat dia kafir, serta apa yang bisa menjaga diennya.
Bahkan justeru (gerak) loyalitas mereka terhadap kaum musyrikin lebih cepat daripada air ke tempat yang rendah. Mana orangnya yang mengetahui dalil-dalilnya dan menampakkannya kepada lawan bila ia diberi cobaan di sana? Justeru umumnya mereka itu –kecuali orang yang Allah kehendaki– terkena fitnah pada awal syubhat itu mendatangi dia. Ini adalah perkataan Aimmatud dakwah, dan siapa yang mengingkarinya, maka pada hakikatnya dia itu telah mengingkari mereka, meskipun ia pura-pura buta dari mereka dan justeru menjadikan pendapat itu sebagai pendapat orang yang sezaman dengan dia.
Dan bila saja Syaikh dan para pengikutnya hingga hari ini, mereka itu mengatakan sesuai dengan apa yang di tuntut oleh nash-nash yang telah kami ketengahkan, serta mereka loyalitas dan memusuhi di atas dasarnya, maka sekarang ia harus ditanya: Apakah mereka dalam apa yang mereka tetapkan itu berada pada manhaj yang lurus dan shiratul mustaqim atau mereka itu tergolong orang yang tidak mengetahui kandungan makna yang dimaksud, serta tidak mengetahui pokok-pokoknya serta bangunan-bangunannya? Hendaklah ia membuka penutup muka, dan hendaklah ia menjelaskan sisi kekeliruan dengan keterangan pemungkas.
Adapun banyak ngalor-ngidul dan pentalbisan, maka ini tidak kami butuhkan, dan kami tidak menerima sekedar penukilan yang ditempatkan bukan pada tempatnya, akan tetapi yang kami terima adalah bantahan yang sesuai dengan etika diskusi, di mana bantahan itu harus dengan yang setara dalam keshahihannya, atau dengan nash yang memastikan hukum yang tidak mengandung kemungkinan kecuali satu madlul saja, dan mana mungkin ia mendapatkan hal itu, karena seandainya kita berangkat mengikuti hal-hal yang masih muhtamal (banyak mengandung kemungkinan) dan basa-basi, serta kasus-kasus individu yang berkenaan dengan orang-orang tertentu atau zaman atau keadaan, maka di bumi ini tidak tersisa satu sunnahpun yang di amalkan.
Dan tidak ragu lagi bahwa pengadaan diskusi dalam pokok yang paling pokok ini, hanyalah diserahkan kepada ‘ulama Islam dan orang yang memiliki bashirah dan perhatian terhadap masalah ini. Dan hal seperi ini membuat orang yang menggeluti diskusi semacam ini mengalami penyakit gila dan birsaam, maka kenalilah wahai saudaraku kebenaran itu dengan dalilnya, dan tinggalkan berdebat di dalamnya, karena berdebat itu adalah pertanda keterhalangan dari kebaikan. Habrul Ummah radliyallahu ‘anhu berkata: Berdebat itu tidak bisa dipahami hikmahnya dan akibat negatifnya tidak bisa dirasa aman.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Hakikat ta’dhim terhadap perintah dan larangan adalah keduanya tidak boleh ditentang dengan pengambilan rukhshah yang semaunya, dan tidak bolah ditentang dengan sikap ekstrim yang berlebihan, serta keduanya tidak boleh dibawa kepada satu alasan yang melemahkan ketundukkan, karena sesungguhnya yang dimaksud adalah jalan yang lurus yang menghantarkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan Allah tidaklah memerintahkan suatu perintah, melainkan syaithan itu memiliki dua tarikan di dalamnya, bisa jadi dengan taqshiir dan tafriith (penyepelean) dan bisa jadi dengan ifraath dan ghuluww (berlebihan), kemudian syaithan itu tidak peduli dari hamba ini mana yang ia dapatkan dari dua tipu daya itu. Selesai. Dan alangkah dekatnya kedua tipu daya itu, maka siapa orangnya yang syaithan telah menguasainya, dia loyalitas kepadanya, serta mencari ilmu karena selain Allah, dan hal yang keadaannya seperti itu, maka inilah akibatnya.
Faqihuz Zaman Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain memiliki perkataan yang selaras bila disebutkan dalam bahasan ini dalam risalah beliau kepada Alu Sulaim, beliau berkata: Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengabarkan tentang orang-orang Yahudi bahwa mereka itu suka merubah perkataan dari yang semestinya, yaitu mereka menta’wil kitabullah kepada selain apa yang Allah maksud, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (٧٥)
“Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” (Al Baqarah: 75)
Dan Allah mengabarkan tentang mereka juga bahwa mereka itu:
يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
“percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (An Nisa: 51)
Dan pasti ada di tengah-tengah umat ini orang yang mengikuti mereka dalam apa yang Allah cela mereka dengan sebabnya. Orang bila telah mengetahui kebenaran dan lawannya, maka ia tidak akan peduli dengan penyelisihan orang yang menyelisihi, siapa saja orangnya, di hatinya tidak menjadi besar penyelisihan orang ‘alim, tidak juga orang ahli ibadah. Dan yang paling saya takutkan adalah orang yang melihat banyak hal (mungkar) yang tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.
Kemudian beliau menyebutkan kamusyrikan, dan beliau menyebutkan cobaan yang dialami Syaikul Islam dari ‘ulama-‘ulama yang sezaman dengannya. Beliau berkata: “Dan mayoritas manusia pada hari ini -terutama para penuntut ilmu- samar atas mereka kemusyrikan ini.” Selesai dari risalahnya yang masyhur.
Faedahnya adalah: Mengetahui bahwa iman ini memiliki andil yang sangat besar dalam mengetahui ushulud dien dan cabang-cabangnya, semangat imaniyyah karena Allah dan Rasul-Nya, serta firasatnya yang selalu benar dalam hal pembengkokan cabang dien ini dan kelayuannya.
Ini adalah akhir apa yang kami utarakan sebagai tambahan atas jawaban pertanyaan. Yang mendorong saya melakukannya adalah nasihat bagi kaum muslimin dan rasa kasihan terhadap ahlud dien ini saat keterasingan Islam (tauhid) ini sangat dahsyat, dan orang yang mengaku berilmu justeru berpaling dari apa yang menjadi kewajibannya, serta justeru ia cenderung kepada apa ygn digandrungi orang awam. Saya lakukan ini seraya saya ungkapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ‘ulama al a’lam:
Engkau persembahkan kepada Allah amalan yang telah saya lakukan, Tidak ada masalah bagimu dengan mereka,Apakah mereka mencelamu atau mereka memujimu
Dan saya memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar Dia meneguhkan kita di atas dien yang lurus dan shiratul mustaqim, dan Dia tidak menyesatkan hati-hati kami setelah Dia memberikan hidayah kepada kami. Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Alamiin, semoga shalawat Allah limpahkan kepada utusan paling mulia, Muhammad, keluarganya serta para shahabat seluruhnya.
  1. Pujian Para ‘Ulama Terhadap Tulisan Syaikh Ishaq
Segala puji hanya milik Allah yang menggugurkan tipu daya orang-orang yang melakukan tipu daya, Dia yang menegakkan hujjah atas para thaghut dan para pembangkang, Dia yang memberikan apa yang dikehendaki-Nyaorang yang Dia kehendaki, berupa pambelaan akan al haq dan dien ini, sebagai bentuk realisasi nyata apa yang dikabarkan oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda: “Ilmu ini dibawa oleh orang yang adil dari setiap generasi, mereka menafikan darinya pengubahan orang-orang yang berlebih-lebihan, dan pengkaburan orang-orang yang berupaya menggugurkan, serta penta’wilan orang-orang yang jahil,”
Inilah, dan apa yang ditulis serta diimlakan oleh Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman dalam lembaran-lembaran ini adalah kebenaran dalam masalah-masalah yang penting ini, yang mana dhahir luar orang yang mengutarakan pertanyaan adalah seperti orang yang mencari kebenaran, sedangkan hakikatnya adalah penentangan, debat, jidaal dan pembangkangan. Maka beliau mengutarakan jawaban dengan penuh faedah dan sangat baik  dalam menetapkan kebenaran serta dalam menafikan apa yang menjadi kebalikannya yang dilontarkan oleh orang-orang dungu dan bodoh itu, yang mana hakikat tujuan mereka itu adalah pengkaburan dan pentalbisan terhadap orang-orang awam dan orang-orang bodoh, sehingga mereka itu mendapatkan bagian dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (١١٥)
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa: 115)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya,” (Ali Imran: 7)
Dan dalam hadits shahih dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bila kalian melihat orang yang mengikuti mutasyabih, maka mereka itu adalah orang-orang yang telah Allah sebutkan, maka hati-hatilah dari mereka,”
Maka kami memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar Dia memberikan petunjuk kepada kami dan para ikhwan terhadap jalan-Nya yang lurus, dan menjauhkan diri kami dan mereka dari jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Dia-lah yang mencukupi kami dan Dia-lah sebaik-baiknya penolong.
Dan di antara yang memberikan pujian terhadap tulisan ini adalah imam zamannya Asy Syaikh Al ‘Alim Al ‘Allamah Abdullah Ibnu Abdillathif, Asy Syaikh Al ‘Allamah Hasan Ibnu Husain, Syaikh Abdul ‘Aziz Ibnu Muhammad, Syaikh Muhammad Ibnu Mahmuud, Syaikh Ibrahim Ibnu Abdil Malik dan Syaikh Sa’ad Ibnu ‘Atiq semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada mereka, serta memaafkan kita dan mereka dengan karunia dan kemuliaan-Nya, sesungguhnya Dia adalah Maha Dekat lagi Maha Mengijabah.
Risalah ini berikut pujiannya ada dalam Kitab Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah 12/393-460. Cetakan III tahun 1417 H/1997 M.
Diambil dari:

Kumpulan Risalah Ulama Dakwah Tauhid Nejed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar