PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Selasa, 09 Oktober 2012

Risalah Tentang Makna Idhharuddin (Bag. 2)

Kemudian Allah menegaskan: Bahwa hal itu adalah ucapan dengan lisan yang disertai permusuhan dan kebencian, berbeda dengan orang yang mengatakan: “Saya membenci mereka dengan hati, dan saya berlepas diri dari yang menyembah dan dari yang disembah seluruhnya.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mendahulukan baraa’ah dari yang menyembah, sebagai bentuk celaan akan keburukan perbuatannya, kemudian Dia mengulangnya dengan lafadh lain yang lebih luas dari baraa’ah, yaitu ungkapan-Nya: “…kami ingkari (kekafiranmu)…” yaitu kami ingkari kalian dan kami ingkari apa yang kalian lakukan. Dan Dia membongkar syubhat dengan ungkapan-Nya: “…dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian…”

Sedangkan makna: “…telah nyata…” adalah telah nampak, dan Dia menyertakan antara permusuhan dan kebencian sebagai isyarat terhadap mubaa’adah (sikap saling menjauhi) dan mufaaraqah (saling meninggalkan) dengan bathin dan dhahir secara bersamaan. Dan Dia menguatkan permusuhan dan menegaskannya dengan firman-Nya: “…selama-lamanya…” seraya mengungkapkannya dengan dharaf zamaniy mustaqbal mustamir (kata yang menunjukkan waktu mendatang yang terus-menerus berlangsung) hingga satu tujuan akhir yaitu al iman. Dan Dia menggunakan hatta al ghaa’iyyah (kata sampai) yang menunjukkan perbedaan antara yang sebelumnya dengan yang sesudahnya, sehingga maknanya adalah: Bila kalian tidak beriman maka permusuhan itu masih terus berlangsung.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (١) لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (٢) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٣) وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (٤) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٥) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (٦)
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Al Kafirun: 1-6)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya untuk meng-khithabi mereka: Bahwa mereka itu adalah orang-orang kafir, dan mengabarkan mereka bahwa ia tidak menyembah apa yang mereka sembah, yaitu bahwa ia baraa’ dari agama mereka, dan mengabarkan mereka bahwa mereka itu tidak menyembah apa yang ia sembah, yaitu bahwa mereka itu baraa’ dari tauhid.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي فَلا أَعْبُدُ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ أَعْبُدُ اللَّهَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (١٠٤) وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا وَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٥)
“Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan aku telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman, dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yunus: 104-105)
Dan ayat-ayat yang menjelaskan tentang dakwah ilallah, meninggalkan orang-orang musyrik, menjauhi mereka, menjihadi mereka dengan hujjah dan lisan serta dengan pedang dan tombak adalah sangatlah banyak sekali. Dan keadaan yang agung ini, bagi jiwa terdapat perselisihan dan bagi syaithan terdapat kesempatan, sehingga telah keliru di dalamnya mayoritas manusia, dan bahkan masalahnya pernah tersamarkan terhadap orang sekaliber Al ‘Abbas.
Tadaburilah Al Quran bila engkau menginginkan petunjuk
Karena orang alim berada setelah mentadaburi Al Quran
Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tatkala menjelaskan firman-Nya:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (٢٦) إِلا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (٢٧)
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. (Az Zukhruf 26-27).
Beliau berkata: “Loyalitas karena Allah ini dan permusuhan yang merupakan makna syahadat Laa ilaaha illallaah adalah kekal di keturunannya, yang selalu diwariskan oleh para nabi dan para pengikutnya sampai hari kiamat”. Selesai ucapannya secara ringkas.
Dan itu adalah tergolong penafsiran sesuatu dengan konsekuensinya. Mu’aadaah(saling memusuhi) dan muwaalaah(saling loyalitas) adalah tergolong bentuk mufaa’alah (perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak yang berlawanan) yang menunjukkan adanya musyaarakah, seperti mubaa’ya’ah (jual beli), muqaatalah (perang), dan mu’aahadah (perjanjian). Yang maknanya adalah: Bahwa masing-masing dari kedua pihak itu menampakkan permusuhan kepada lawannya dan sama-sama dalam permusuhan, karena keterlibatan dua pihak adalah intinya, sebagaimana yang diketahui oleh para ulama sharaf (ilmu pembentukan kata). Orang yang menentang kandungan hukum ini tidak memiliki satu dalilpun yang bisa digunakan menolak ayat-ayat muhkamat serta makna-makna yang pasti lagi jelas ini, kecuali klaim kekhususan, dan mana mungkin dia bisa mendapatkan hal itu?!
Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar”. (Ali Imran: 110).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (١٦٥)
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik”. (Al A’raf: 165).
Dan di dalam hadits shahih: “Akan senantiasa dari umatku ini ada sekelompok orang yang selalu menang, orang-orang yang mengecewakan dan menyelisihi mereka tidaklah membahayakan mereka hingga hari kiamat”.
Ja’far dan para sahabatnya telah hijrah ke Habasyahh, dan itu dinamakan sebagai hijrah perpindahan dari darul khauf (negeri yang penuh ketakutan). Mereka sabar atas keterasingan di negeri orang dan sabar meninggalkan tanah air dan bertetangga dengan segala yang berbeda dengan tabi’at mereka, dan itu semua tidak lain adalah untuk merealisasikan baraa’ah ini dan untuk terang-terangan menampakkan apa yang mereka pegang.
Dan tatkala Quraisy berkata kepada Ibnu Ad Dughnah setelah ia mengembalikan Abu Bakar ke Mekkah dan pemberian jaminan keamanan baginya: “Perintahkan dia (Abu Bakar) agar menyembah Tuhan-Nya di dalam rumahnya dan tidak melakukannya secara terang-terangan, karena kami khawatir dia membuat para wanita dan anak-anak kami terkena fitnah”. Akan tetapi Abu Bakar menolak kecuali terang-terangan dalam membaca Al Quran, dan beliau mengembalikan jaminan Ibnu Ad Dugnah, serta beliau mencukupkan diri dengan jaminan Allah, dan beliau terus dalam keadaan seperti itu sampai beliau hijrah. Dan kisahnya sangatlah masyhur dan dijabarkan secara lebar dalam kitab-kitab Islam.
Orang yang keadaannya seperti ini, seraya ia dakwah ilallaah, melarang dari yang mungkar, atau terang-terangan menampakkan ajaran dien yang ia pegang, di mana keberadaannya di tengah-tengah mereka diharapkan membuat yang lain mendapat hidayah, maka menetapnya itu –sedang keadaannya seperti ini– adalah boleh. Al Mawardiy mengatakan bahwa itu lebih utama baginya, akan tetapi pendapatnya ini dikritik banyak ulama, sehingga Asy Syaukani berkata tatkala menyebutkan pendapatnya itu: “Dan tidak samar lagi bahwa pendapat ini menyelisihi hadits-hadits yang ada. Dan akan ada tambahan penjelasan tentangnya dalam jawaban terhadap bantahan yang muncul, insyaa Allah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Al badaai’ saat menjelaskan firman-Nya:
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (٢٨)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[1] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”. (Ali Imran: 28).
Dan sudah sudah diketahui bahwa memelihara diri itu bukanlah dengan cara muwaalaah (loyalitas), akan tetapi tatkala Allah melarang mereka dari muwaalaah kepada orang-orang kafir, maka hal itu menuntut memusuhi mereka dan baraa’ah darinya serta terang-terangan melakukan permusuhannya terhadap mereka dalam setiap keadaan, kecuali bila takut akan kejahatan mereka, maka Allah membolehkan taqiyyah bagi mereka, sedangkan taqiyyah itu bukanlah muwaalaah terhadap mereka. Jadi itu adalah mengeluarkan dari apa yang diduga yang tidak dimaksud. Selesai ucapan beliau.
Lihatlah ucapan beliau: “Dan baraa’ah darinya serta terang-terangan melakukan permusuhannnya terhadap mereka dalam setiap keadaan. Jadi istitsnaa di sini adalah munqathi’ (terputus), dan atas dasar ini berarti taqiyyah itu bukanlah tergolong dari kecenderungan, sehingga tidak ada hujjah di dalamnya bagi si orang yang terkena fitnah itu, bahkan justru itu adalah kebolehan yang sementara yang tidak terjadi kecuali saat takut dibunuh, sebagaimana yang telah dikatakan oleh mayoritas ahli tafsir. Dan dari Sa’id Ibnu Jubair: Taqiyyah itu tidak terjadi saat situasi damai, taqiyyah hanyalah dalam peperangan.[2]
Al ‘Allamah Ibnu Qudamah, Ibnu Abu Umar dan yang lainnya seperti Al Hafidh serta yang lainnya, mereka membangun hukum bolehnya menetap (di tengah orang-orang musyrik) di atas dua muqaddimah:
  • Idhharud dien (menampakkan dien ini).
  • Dan menunaikan kewajibannya.
Sedangkan suatu hukum bila digantungkan pada dua sifat, maka hukum itu tidak bisa tegak tanpa keduanya, terutama bila huruf penyambungnya diulang dan bentuk ungkapannya diulang, sedangkan di sini huruf penyambung dan bentuk ungkapan kedua-duanya telah diulang, di mana mereka mengatakan: Dan tidak mungkin bagi dia untuk idhharud dien, dan tidak mungkin baginya untuk menegakkan kewajiban-kewajiban diennya. Dan ini menunjukkan bahwa masing-masing dari ungkapan itu memiliki makna yang berbeda dengan makna yang lainnya.
Seandainya idhharud dien adalah menunaikan kewajiban-kewajiban badaniyyah saja –sebagaimana yang difahami oleh orang yang membolehkan itu– tentulah hal itu tidak sesuai dengan muqtadal hal (tuntutan keadaan), dan mana mungkin para imam memaksudkan hal itu. Jadi pemahaman itu adalah rusak dan hasilnyapun adalah kerugian. Ya, seandainya kita menerima bahwa idhharud dien adalah menunaikan kewajiban-kewajiban, maka sesungguhnya kewajiban yang paling wajib adalah tauhid dan apa yang dikandungnya, sedangkan tauhid itu lebih wajib dari pada shalat dan ibadah lainnya, dan itulah hal yang masih senantiasa menjadi sumber permusuhan. Dan ungkapan ini bisa di artikan kepadanya.
Menampakkan tauhid adalah terang-terangan dalam menyelisihi keyakinan (yang ada), dan menjauhi apa yang bertentangan dengannya. Tinggalkan dakwah, karena itu adalah masalah lain di belakang hal ini. Dan seandainya hukum itu menyendiri dengan apa yang diklaim oleh orang-orang yang membolehkan itu –semoga Allah memberikan hidayah– yaitu bahwa alasannya boleh muqim adalah tidak adanya larangan dari melaksanakan shalat, maka tentulah nash-nash syari’at itu menjadi tidak berfaedah, karena tidak ada seorangpun yang dilarang dari melaksanakan ibadah-ibadah khusus di mayoritas negeri-negeri yang ada, sehingga bathillah apa yang diklaim oleh orang itu dan gugurlah apa yang di fahami itu.
Syaikhkami Abdullathif rahimahullah berkata dalam sebagian risalah-risalahnya: Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam materi-materi yang beliau kutip dari sirah (maksudnya adalah risalah Syarah Sittatil Mawaadli’ Minas Sirah, ada dalam Majmu’atut Tauhid, pent): Karena sesungguhnya keislaman seseorang tidak bisa berdiri tegak –meskipun dia mentauhidkan Allah dan meninggalkna syirik– kecuali dengan memusuhi orang-orang musyrik dan tashriih (tegas-tegasan) terhadap mereka dengan permusuhan dan kebencian.
Beliau (Syaikh Abdullathif) berkata: Lihatlah akan penegasan Syaikh (Muhammad), bahwa Islam itu tidak bisa berdiri tegak kecuali dengan tegas-tegasan terhadap mereka dengan permusuhan dan kebencian, sedangkan mana tashriih (tegas-tegasan) tersebut dari para musafir itu?! Dan dalil-dalil yang menjadi landasan Syaikh dari Al Kitab dan As Sunnah adalah sangat nampak lagi mutawatir. Dan perkataan ini selaras dengan perkataan para ‘ulama muta’akhkhirin dalam hal bolehnya safar (ke negeri kaum musyrikin) bagi orang yang menampakkan diennya, akan tetapi yang menjadi inti permasalahan adalah tentang idhharud dien itu. Bukankah permusuhan yang sangat dahsyat antara Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Quraisy itu adalah karena beliau menghadapi mereka dengan cara mencela dien mereka, menjelek-jelekkan pemikiran mereka serta hinaan terhadap tuhan-tuhan mereka?[3]
Siapa saja orangnya yang safar menuju mereka dan bergabung dengannya, maka apakah terbukti darinya atau dikabarkan berita tentangnya bahwa ia bisa melakukan kewajiban ini?! Justeru yang ma’ruf lagi mashyur dari mereka adalah meninggalkan itu semua, berpaling darinya serta menggunakan taqiyyah dan mudaahanah (basa-basi), sedangkan bukti akan hal itu adalah sangatlah banyak, hingga beliau mengatakan: Sampai-sampai banyak ‘ulama menyebutkan haramnya mendatangi negeri yang di dalamnya nampak aqidah-aqidah ahli bid’ah, seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Rafidlah, kecuali bagi orang yang telah mengetahui benar diennya dalam masalah-masalah ini, dan mengetahui dalil-dalilnya serta menampakkannya di hadapan lawan. Selesai ucapannya.
Lihatlah ucapan beliau: “Bahwa Islam itu tidak bisa berdiri tegak kecuali dengan tegas-tegasan terhadap mereka dengan permusuhan”, artinya bahwa Islamnya kurang dan pelakunya dihadapkan pada ancaman. Dan lihat ucapannya: “dan dalil-dalil yang menjadi landasan Syaikh dari Al Kitab dan As Sunnah adalah sangat nampak lagi mutawatir”, yaitu atas wajibnya tashriih, karena kalau bukan demikian maka sesungguhnya ‘adaawah (permusuhan) itu pasti dimiliki oleh orang yang beriman kpeada Allah dan Rasul-Nya. Jadi ada perbedaan antara ‘adaawah (permusuhan) dengan idhharul ‘adaawah (menampakkan permusuhan). Dan dari sinilah telah keliru orang yang sangat tebal penghalang tabi’atnya, sehingga dia tidak mengetahui mahfum dari ungkapan dan maksud bahasanya.
Ungkapan Syaikh (Muhammad) ini adalah sama dengan penegasan ulama salaf dahulu dan sekarang, sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepada engkau dari ucapan Sa’id Ibnu Jubair, ‘Athaa, Mujahid dan orang-orang sesudah mereka. Dan telah lewat secara tegas dalam ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah dan yang lainnya. Dan dalam kisah Khalid bersama Muja’ah tatkala Khalid menawannya terdapat dalil yang sangat jelas, di mana Muja’ah berkata kepada Khalid: “Sungguh saya sejak dahulu telah masuk Islam dan membai’at Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan sekarang saya masih tetap di atas apa yang saya yakini, jika memang di (Musailamah) itu adalah kadzdzaab (pendusta) yang keluar di tengah-tengah kami, maka sesungguhnya Allah mengatakan:“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”, (Al An’am: 164). Dan Khalid berkata kepadanya: “Kamu hari ini telah meninggalkan apa yang kamu yakini sebelumnya, dan sikap diam kamu ini adalah sebagai bentuk pengakuan terhadapnya (Musailamah), maka kamu tidak menampakkan alasan dan ikut berbicara bersama orang-orang yang berbicara? Sungguh telah berbicara si Fulan dan si Fulan, kemudian bila kamu berkata: “Saya takut kepada kaum saya”, maka kenapa kamu tidak cepat bergabung menuju saya atau mengutus utusan kepada saya”, sehingga Khalid mengalahkan hujjahnya, terus dia meminta dimaafkan, maka Khalid pun memaafkannya sehingga tidak dibunuh. Dan kisah ini sangatlah mashyur.
Al Imam Al Hafidh Abu Bakar Al Baihaqiy berkata dalam Syu’abul Iman, bunyi teks ucapannya: “Maka yang nampak darinya, yaitu dari hijrah adalah melarikan diri (dengan badan) dari fitnah, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Saya berlepas diri dari pemeluk dua agama yang api keduanya saling nampak”,Nabi shallallaahu alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka, karena tidak adanya cabang hijrah dari mereka, di mana ia adalah di antara cabang keimanan yang paling besar.
Dan berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau menyebutkan berbagai fitnah: “Bagi orang yang beragama tidak mungkin selamat agamanya kecuali orang yang lari dari lereng gunung ke lereng gunung”.
Dan berdasarkan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)”. Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu bisa hijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki maupun wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)”. (An Nisaa: 97-98).
Dan dalam Al Bukhari: Dan lari dari fitnah adalah termasuk iman. Sedangkan hal yang tergolong keimanan, maka sudah dipastikan ia itu tergolong cabang-cabangnya tanpa diragukan lagi. Sehingga lari dari tengah-tengah kaum musyrikin adalah jelas wajib atas setiap muslim, dan begitu juga dari setiap tempat yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah dalam dien ini seperti karena sebab nampaknya bid’ah atau hal yang menggiring kepada kekafiran di negeri mana saja dari negeri-negeri kaum muslimin. Maka hijrah darinya adalah wajib ke negeri Allah yang sangat luas.
Dan perkataan Abu Abdillah Al Halimiy dalam hal ini adalah sangatlah jelas, di mana beliau mengatakan: dan setiap negeri yang nampak kerusakan di dalamnya, dan tangan-tangan para perusak lebih dominan daripada tangan-tangan para pembawa perbaikan, kejahilan merajalela, hawa nafsu (bi’dah) didengar di tengah-tengah mereka, serta mereka secara terpaksa menyembunyikan al haq karena takut akan keselamatan jiwanya bila menampakkannya, maka ia itu seperti kota Mekkah sebelum penaklukannya dalam hal wajibnya hijrah darinya, karena tidak adanya kemampuan untuk terang-terangan. Dan siap orangnya yang tidak hijrah maka ia tergolong orang-orang yang sangat dermawan dengan agamanya.
Dan belaiu berkata: Dan termasuk pelit dengan dien (maksudnya bersikukuh mempertahankannya) adalah orang muslim hijrah dari satu tempat yang tidak memungkinkan baginya untuk memenuhi hak-hak diennya ke tempat yang memungkinkan baginya untuk itu. Bila dia muqim di daarul jahaalah (negeri yang penuh dengan penyimpangan) dalam keadaan hina lagi tertindas padahal memungkinkan baginya untuk pindah darinya, maka ia telah meninggalkan hal yang fardlu menurut perkataan banyak ‘ulama, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)”. Para Malaikat berkata: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu bisa hijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki maupun wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)”. (An Nisaa: 97-98).
Tidak boleh dikatakan bahwa di dalam ayat tersebut tidak ada penegasan akan penyebutan orang-orang yang beriman, sehingga bisa saja yang dimaksud dengannya adalah orang-orang kafir, karena kami mengatakan: Penyebutan ampunan bagi orang yang dikecualikan adalah membantah hal itu, sebab sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang-orang kafir meskipun dia itu ber’azzam untuk beriman selama ia belum beriman. Selesai ucapannya.
Dan ia adalah tegas dalam penjelasan apa yang dimaksud, sehingga dengan ini semuanya bisalah engkau mengetahui bahwa sebagian ‘ulama yang mengungkapkan dengan ungkapan aman fitnah, atau mampu menunaikan kewajiban, atau pengungkapan dengan kata ibadah, maka perkataannya itu masihlah global yang harus dikembalikan kepada ungkapan yang jelas lagi tampak yang telah dikatakan oleh salafush shalih dari kalangan salaf umat ini dan para imamnya, yang di antaranya telah kami sebutkan mereka–mereka itu dan yang lainnya.
Penulis kitab Al Mu’tamad –sedang ia adalah tergolong tokoh terkemuka mahdzab syafi’i– menyebutkan bahwa hijrah itu sebagaimana wajib dari darusy syirki, maka wajib pula dari negeri Islam yang mana ia menampakkan kebenaran (dien maksudnya) di dalamnya, akan tetapi kebenaran itu tidak diterima darinya, dan ia tidak mampu untuk menampakkannya. Dan pernyataan ini selaras dengan perkataan Al Baghawiy yang telah kami ketengahkan: Dan wajib atas setiap orang yang berada di negeri yang mana kemaksiatan dilakukan dan ia tidak memiliki kemampuan untuk merubahnya, (wajib atasnya) hijrah ketempat yang memberikan keleluasaan untuk beribadah. Ini dinukil dari keduanya oleh Ibnu Hajar dalam Syarhul Minhaj.
Dan ini dikatakan pula oleh banyak pensyarah, di antaranya: Al Adzra’iy dan Az Zarkasyi, dan mereka mengakuinya, serta dari kalangan muta’akhkhirin adalah Al Balqiniy. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ia menegaskan hal itu, dan dengan mensyaratkan: Bahwa ia itu mampu pindah ke negeri yang selamat dari hal-hal itu. Jadi idhharud dien adalah apa yang ditegaskan oleh para ‘ulama itu, dan ungkapan mereka itu tidak berbeda di dalamnya. Dan pernyataan bahwa syari’at ini menetapkan ancaman atas sekedar hidup di tengah-tengah mereka dan bergumul dengannya, adalah pernyataan yang ditunjukkan oleh dhahir dalil itu, dan hal ini telah dikatakan oleh ahlul ilmi. Sedangkan pernyataan bahwa idhharud dien itu membolehkan iqamah, adalah rukhsah, dan termasuk jinayat (tindakan aniaya) terhadap syari’at adalah menafsirkan rukhsah ini dengan tafsiran yang selaras dengan pendapat dan hawa nafsu, kemudian penafsiran itu dijadikan sebagai benteng untuk menghadang nash-nash yang jelas lagi terang. Dan adapun kalangan muta’akhkhirin ‘ulama mahdzab Hanbali, maka ungkapan mereka dalam hal ini adalah lebih jelas dari api di atas gunung.
Dikatakan dalam kitab Al Iqnaa’ dan syarahnya: Dan hijrah wajib atas orang yang tidak mampu menampakkan diennya di darul harbi, sedang darul harbi adalah negeri yang mana hukum kafir adalah yang dominan di dalamnya. Sebagian ‘ulama menambahkan dan di pastikan dalam kitab Al Muntaha: Atau negeri para pemberontak, atau bid’ah yang menyesatkan, seperi Rafidlah dan Khawarij, maka ia wajib keluar dari negeri itu ke negeri ahlus sunnah bila memang ia tidak mampu menampakkan madzhab ahlus sunnah di dalamnya.
Maka diketahuilah: Bahwa idhharud dien dalam ungkapan Al Muwaffaq (Ibnu Qudamah) dan ‘ulama mahdzab Hanbali sebelum beliau dan yang sesudahnya adalah menampakkan tauhid yang mana ia adalah mengesakan Allah dengan ibadah di negeri yang mana tauhid samar di dalamnya, akan tetapi (pada masa sekarang) justeru kebalikan tauhid dijadikan sebagai pegangan (dien), dan siapa yang membicarakannya maka ia divonis Wahabiy Khawarij pembawa mahdzab kelima yang mengkafirkan umat.
Al ‘Allamah Asy Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata: Dan adapun masalah idhharud dien, maka banyak orang telah mengira bahwa bila mampu mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat dan tidak dilarang datang ke Mesjid, maka ia telah menampakkan diennya, meskipun ia berada di negeri kaum musyrikin. Dan sungguh ia (orang yang berpendapat seperti itu) telah keliru dalam hal ini dengan kekeliruan yang paling buruk.
Beliau berkata: Orang muslim tidak dikatakan menampakkan diennya sampai ia menyelisihi setiap kelompok dengan keyakinan yang mahsyur dari mereka, serta tegas-tegasan memusuhi kelompok itu. Siapa yang kekafirannya karena sebab syirik, maka idhharud dien terhadapnya adalah dengan terang-terangan menampakkan tauhid dan melarang kemusyrikan itu serta menghati-hatikan darinya.[4] Siapa orang yang kekafirannya karena sebab mengingkari risalah, maka idhharud dien terhadapnya adalah terang-terangan menyatakan di sisinya bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Dan siapa orang yang kekafirannya karena meninggalkan shalat, maka idhharud dien terhadapnya adalah dengan melakukan shalat.
Siapa yang kekafirannya karena sebab loyalitas kepada kaum musyrikin serta taat tunduk kepada mereka, maka idhharud dien dalam hal ini adalah terang-terangan memusuhinya dan baraa’ah darinya dan dari kaum musyrikin itu…. hingga akhir ucapannya rahimahullah. Dan hal ini telah engkau dapatkan secara tegas dalam perkataan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam Syarah Sittati Mawaadli Minas Sirah, serta hal itu dinamakan oleh Al ‘Allamah Abdullathif sebagai kewajiban, beliau berkata di dalamnya: “Dan laki-laki mana yang dinukil darinya sesuatu yang di bawah kewajiban ini?!
Wal hasil adalah apa yang telah kami ketengahkan, yaitu bahwa idhharud dien yang bisa melepaskan tanggungan adalah membedakan diri dari para penyembah berhala dengan cara menampakkan keyakinan, tegas-tegasan menyatakan apa yang dia yakini, menjauhi kemusyrikan itu serta sarana-sarananya. Maka orang yang keadaannya seperti ini bila dia mengetahui dien ini dengan dalilnya dan aman dari fitnah, maka boleh baginya iqamah (menetap di negeri kaum musyrikin). Wallahu a’lam.
Masih ada satu masalah, yaitu orang yang tidak mampu hijrah: “Apa yang harus dia perbuat? Ayahanda (Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan) rahimahullah berkata tatkala ditanya tentang: Dan adapun jika sang muwahhid berada di tengah-tengah kaum ahli bid’ah dan kaum musyrikin dan ia tidak mampu hijrah, maka dia wajib bertakwa kepada Allah dan meninggalkan mereka semampunya, dan mengamalkan apa yang menjadi kewajibannya secara sendirian dan bersama orang yang sepaham dengannya. Dan mereka wajib bersabar atas tindakan aniaya orang yang menindas mereka karena sebab diennya itu, dan orang yang mampu untuk hijrah maka hijrah itu wajib atasnya. Wa Billahittaufiq. Selesai jawabannya. Dan dengan jawaban ini selesailah jawaban atas pertanyaan itu, wa billahittaufiq.
Dan adapun pertanyaan ketiga, yaitu masalah safar ke negeri kaum musyrikin, maka itu adalah cabang dari masalah yang lalu. Sehingga orang yang mengharamkan muqim di tengah-tengah mereka kecuali dengan syarat-syaratnya, maka ia mengharamkan safar itu, akan tetapi itu tidak seperti orang yang muqim di tengah-tengah kamu musyrikin, yang mana ia menyaksikan apa yang mereka lakukan berupa kekafiran yang nyata lagi jelas, berhukum dengan undang-undang (qawaniin), penolakan hukum syari’at dan kekafiran lainnya yang tidak terhitung, bahkan masing-masing memiliki tingkatan-tingkatan dari apa yang mereka lakukan. Dosa orang-orang yang safar lebih ringan dari dosa orang-orang yang muqim, dan dosa orang-orang yang sekedar muqim saja lebih ringan dari dosa orang-orang yang tawalliy kepada mereka dengan cinta kasih, pembelaan, dan ketaatan, yang mana hal itu menafikan keimanan dengan penegasan Al Qur’an.
Dikatakan dalam kitab Al Iqnaa’dan syarahnya, dan dimakruhkan: berniaga dan safar ke negeri musuh dan negeri-negeri kafir secara mutlaq, yaitu baik disertai ada rasa aman atau takut, dan juga ke negeri Khawarij, Rafidlah, pemberontak, dan bid’ah yang menyesatkan, karena sesungguhnya hijrah darinya adalah mustahab (dianjurkan/sunnah) bila ia mampu menampakkan diennya, dan bila ternyata ia tidak mampu menampakkan dien di dalamnya, maka haramlah safar ke negeri itu. Selesai.
Dalam uraian perkataan ulama yang lalu, engkau telah mengetahui makna idhharud dien. Dan dalam hal ini para ulama secara jelas telah menjadikan status hukum musafir sama dengan status hukum orang yang muqim, seraya ungkapan mereka itu selaras dengan pemahaman salaf dalam hal itu. Semoga Allah membalas kebaikan mereka atas upayanya membela Islam.
Syaikh Abdullathif berkata dalam sebagian risalahnya: “Dalam kebolehan safar ke negeri kaum musyrikin haruslah disyaratkan adanya status aman dari fitnah”. Bila dengan sebab idhharud dien itu ia merasa takut akan fitnah dengan berupa paksaan dan penganiayaan mereka, atau khawatir syubhat-syubhat yang dihiasi oleh mulut-mulut mereka, maka tidak diperbolehkan baginya datang kepada mereka, dan mempertaruhkan diennya.
Dan tatkala Ibnu Manshur membantah imam dakwah ini –semoga Allah mensucikan ruhnya– bahwa beliau melarang safar ke seluruh belahan negeri (milik) Islam, Syaikh Abdullathif rahimahullah berkata dalam jawabannya: “Pertama-tama ia dituntut untuk meluruskan hal ini, bila ternyata benar, maka dalam hal ini terdapat ungkapan-ungkapan salaf yang sangat terkenal dalam safar ke negeri yang nampak di dalamnya sebagian dari syi’ar-syi’ar kekafiran dan kefasikan bagi orang yang tidak mampu menampakkan diennya, dan bagi yang mampu juga, sebagaimana yang diketahui oleh para ulama dan ahli fiqih.
Salaf sungguh telah melarang safar ke negeri yang nampak hal-hal bid’ah di dalamnya bagi orang yang mengkhawatirkan fitnah, maka apa gerangan dengan negeri yang mana selain Allah diseru, selain Allah diminta pertolongan, serta tawakkal kepada tuhan-tuhan yang diseru selain-Nya? Sehingga apa salahnya Syaikh kami rahimahullah bila beliau menjaga batas, menutupi jalan serta memutus sarananya, terutama di zaman yang mana kejahilan merajalela, ilmu dicabut, masa telah jauh dari peninggalan-peninggalan kenabian, serta datang generasi-generasi yang tidak mengetahui Ashlul Islam dan bangunannya yang sangat agung.
Mayoritas mereka mengira: Bahwa Islam adalah tawassul dengan cara memohon kepada orang-orang shaleh (yang sudah meninggal), menghadapkan diri kepada mereka dalam suasana genting dan dalam mengadukan kebutuhan, dan bahwa siapa orang yang mengingkarinya, berarti ia telah membawa mahdzab kelima yang tidak di kenal sebelumnya. Bila keadaan seperti ini, maka apa yang mencegah ungkapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, dan dalil apa yang membolehkan safar itu secara mutlaq? Ini tidak dikatakan kecuali oleh orang yang jahil akan pokok syari’at dan madaarkul ahkaam. Selesai ucapannya.
Kami mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh imam ini: Bahwa tidak ada yang mengingkari orang yang mengingkari safar ini sedangkan keadaannya seperti ini kecuali orang yang jahil atau pengikut hawa nafsu, dan ia itu telah menjadi pewaris pemrotes ini (Utsman Ibnu Manshur) dalam hal penyimpangan-penyimpangannya, dan siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia itu tergolong barisan mereka.
Dan tatkala Al ‘Allamah Sulaiman Ibnu Abdillah ditanya tentang hukum safar ke negeri kaum musyrikin, beliau menjawab: Bahwa bila ia mampu menampakkan diennya –sedangkan makna menampakkan dien adalah seperti apa yang telah kami ketengahkan berkai-kali kepada engkau– dan ia tidak muwaalaah kepada orang-orang musyrik, maka safar itu boleh baginya, karena sebagian para shahabat radliyallahu ‘anhum seperti Abu Bakar dan yang lainnya pernah melakukan safar itu. Dan adapun bila ia tidak mampu menampakkan diennya dan tidak mampu untuk memusuhi mereka, maka safar itu tidak boleh baginya, dan hal itu telah ditegaskan oleh para ‘ulama, serta atas makna inilah hadits-hadits yang menunjukkan pelarangan ditafsirkan.
Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mewajibkan atas setiap insan untuk mengamalkan tauhid, dan Dia memfardlukan atasnya untuk memusuhi kaum musyrikin, oleh sebab itu apa yang bisa menjadi jalan dan penyebab untuk menggugurkan hal itu, maka itu dilarangnya. Dan safar itu bisa menjerumuskan kepada muwaalaah, keselarasan dan upaya untuk mencari ridla kaum musyrikin itu, sebagaimana hal itu adalah realita dari banyak orang yang safar (ke negeri kaum musyrikin) dari kalangan orang-orang muslim yang fasiq. Selesai ungkapannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidlaaush Shiraathil Mustaqiim: Sesungguhnya kesimpulan syari’at dari jalur-jalur dan sumber-sumbernya, menunjukkan bahwa apa yang pada umumnya menjerumuskan ke dalam kekafiran adalah diharamkan, dan sedangkan apa yang bisa menjerumuskan ke dalamnya secara samar, maka itu diharamkan. Selesai.
Maka tampaklah dihadapanmu dari ungkapaan para imam-imam itu apa yang cukup dan memuaskan, karena mereka adalah para imam Islam ini dan lentera-lentera dalam kegelapan, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil dien ini, dan janganlah kamu terpedaya dengan orang yang banyak digandrungi orang awam tanpa dasar pemahaman dan wara’, serta janganlah terpedaya dengan orang yang suka menambah-nambah terhadap apa yang telah Allah perintahkan dan Allah syari’atkan.
Dan bila apa yang telah kami ketengahkan ini telah jelas bagimu, maka jelaslah di hadapanmu kebodohan orang yang mengatakan: “Berikan kepada kami dalil meskipun dari sejarah, bahwa kami bila safar (harus) mengatakan: “Wahai orang-orang kafir”. Seandainya hijab dunia dan segala syahwatnya telah tersingkap dari dirinya, dan dia bertaqwa kepada Allah serta ghirah imaniyyah terhadap Allah dan Dien-Nya melekat di hatinya menggantikan kegelapannya, maka tentulah ia mengetahui bahwa Al Kitab, Assunnah, dan sharihul ‘Aqli ada bersama orang yang memerintahkan bersikap keras terhadap orang-orang musyrik dan memperingatkan orang-orang awam dari bahaya mereka, kecuali bagi orang yang memang sudah tidak memiliki sedikitpun rasa ghirah akan dien-nya, dan itu maasyaa’ Allahtelah sulit mencari orangnya, dan ia sudah menjadi bagaikan kibriit ahmar.
Dan tatkala keterasingan Islam telah semakin membesar, dan mayoritas orang yang merasa sebagai ahli fiqh berlindung kepada praduga-praduga, maka mereka membangun akad perdamaian (‘aqdul mushaalahah) antara ahlul Islam dan lawannya yang jahat (atas dasar itu). Oh, atas dasar apa mereka memusuhi kaum musyrikin? Dan apakah mereka telah pernah melakukan ribath meskipun sesaat dalam rangka membela dien ini? Demi Allah sungguh dien ini telah dirajut dengan benang-benang keterlupaan. Dan musuh-musuh Islam ini telah banyak menebar ucapan gila, serta Islam ini telah menjadi berita masa lalu saja bagi mayoritas orang.
Kami memohon perlindungan Allah dari kehinaan dan dari tipuan-tipuan syaitan. Saya sungguh tidak mengetahui siapa orangnya yang engkau nisbatkan hal ini kepadanya, dan saya tidak mengetahui apakah ia itu tergolong orang-orang pendengki, atau justru tergolong orang-orang yang tidak berpengetahuan?! Akan tetapi saya katakan: “Siapa orangnya yang bisa membantah apa yang telah ditetapkan oleh para ulama dien ini? Dan siapa yang Allah jadikan dakwahnya sebagai pelempar syaitan-syaitan dengan perkataan-perkataan yang terbuang lagi terhempas di padang pasir, jauuh… jauuh sekali. Dan ungkapan ini cukuplah bagi orang yang diberikan taufiq kepada sikap obyektif. Wa billahit taufiq dan Dia-lah yang memberikan petunjuk kepada jalan yang paling lurus.
Bila engkau mengatakan: “Engkau telah mengumbar isi pena dalam masalah ini dan telah panjang lebar membeberkannya, maka sekarang jawablah sanggahan ini, meskipun membawa kita keluar dari alur jawaban, karena sangat butuhnya untuk menyingkap hijab ini.
Saya katakan: “Jawaban sanggahan tersebut meskipun bisa diambil kesimpulannya dari uraian yang lalu bagi orang yang telah Allah jadikan cahaya baginya, ia (jawaban itu) adalah dari dua sisi, mujmal dan mufashshal”.
Adapun mujmal: Sesungguhnya seandainya orang yang membolehkan (muqim di negeri kaum musyrikin) memiliki nash dalam perselisihan ini, dan mana mungkin hal itu ia dapatkan, maka sungguh telah menjadi kaidah baku dalam ushul: Bahwa tidak mungkin ada ta’aarudl (kontradiksi) antara dua nash, tidak pula antara nash dengan dhahir, dan tidak pula antara mujmal dengan mufashshal, karena ta’aarudl antara dua nash adalah sangat mustahil, karena sunnah tidak mungkin kontradiksi dan berlawanan, bila nash itu memang shahih, karena bisa jadi nash itu shahih tapi tidak sharih, maka didahulukan nash yang tidak mengandung kecuali satu madlul, dan nash lain dibawa kepada makna itu.
Para imam ushul telah menegaskan: Bahwa dalil yang mengandung dua makna, sedangkan salah satunya adalah nampak, maka dilaalah-nya adalah dhanniyyah dan tidak bisa melawan nash yang memiliki satu makna secara ijma’, akan tetapi penggabungan dalil itulah yang dicari. Kemudian bila kedua-duanya memang memiliki makna satu secara timbal balik sedangkan tidak ada jalan untuk melakukan nasakh juga penggabungan, maka yang dilakukan adalah tawaquf hingga tampak pentarjihan atau ada qarinah-qarinah yang mengiringinya, seperti larangan umpamanya, maka sesungguhnya larangan didahulukan atas pembolehan, terutama bila ia menjadi lebih tampak dalam hal menutupi kerusakan, sebab sesungguhnya syari’at datang dengan membawa maslahat murni.
Kemudian sesungguhnya kasus-kasus pribadi (qadlaayaa ‘ainiyyah) adalah hanya terbatas kepada kejadian-kejadian itu saja, tidak bisa yang lain diqiyaskan kepadanya dan secara mutlak tidak bisa dijadikan untuk menghadang nash-nash menurut para ahli ushul. Kemudian bila yang menentang itu adalah setara, maka para ‘ulama telah menentukan kaidah baku bahwa yang setara itu adalah tertolak, maka apa gerangan halnya dengan yang tidak setara? Ar Rashafiy berkata dalam Adabul Bahts:
Bila ia setara, maka ia tertolak
Dan bila ia lebih khusus, maka ia tidak bermanfaat.
Dan semua apa yang kami sebutkan, berlaku dalam permasalahan kita saat dilakukan pengamatan dan rincian, maka orang yang membolehkan itu hendaklah memaparkan bidlaa’ah-nya (apa yang ia miliki) terhadap landasan pokok ini yang telah sama diterima oleh para imam naql. Dan bila ia tidak bisa lolos darinya maka janganlah ia itu mengklaim apa yang tidak dimilikinya, dan hendaklah ia itu belajar, kemudian silahkan berbicara.
Seharusnya ia itu menggabungkan antara nash-nash yang lalu dengan apa yang ia jadikan sebagai landasan, dan ia tidak melempar dalil yang sharih lagi shahih dengan sebab landasan-landasan yang sangat banyak mengandung kemungkinan itu. Seharusnya ia memberikan setiap hak kepada yang berhak akannya, dan tidak menafikan wajibnya hijrah dari setiap orang, sebagai bentuk mengambil sikap bersama larangan. Dan tidak mewajibkan hijrah kepada setiap orang, sebagai bentuk mengambil sikap bersama rukhshah dengan syarat-syaratnya. Sesungguhnya hal ini lebih baik daripada pemutlakannya yang berulang-ulang dalam ungkapan-ungkapannya, dan ini lebih baik akibatnya dan lebih ringan bahayanya.
Adapun jawaban rincinya:
Ucapannya tentang orang yang melarang (muqim di negeri kaum musyrikin): “Sesungguhnya dia berdalil dengan hadits-hadits yang umum, padahal di dalam hadits-hadits itu terdapat apa yang terdapat di dalamnya (maksudnya cacat, pent),” adalah ucapan yang gugur yang tidak bisa dijadikan sandaran, dan tidak pernah seorangpun sebelumnya dari kalangan orang-orang yang perkataannya dipertimbangkan dan dijadikan rujukan berpendapat seperti pendapatnya. Demi Allah seandainya penolakan dan penerimaan itu hanya berdasarkan hawa nafsu dan apa yang tidak sejalan dengan tujuannya, seraya dikatakan: “Ia adalah dalil-dalil umum dan hadits-hadits yang mana di dalamnya terdapat apa yang terdapat di dalamnya,” maka sesungguhnya lawan tidak susah dari mengatakan seperti ungkapan-ungkapan ini, sehingga tidak ada satu hujjahpun yang bisa tegak dengannya.
Dan bila penolakan itu bukan atas dasar hawa nafsu, akan tetapi atas dasar ilmu dan peninjauan akan syarat-syaratnya menurut pakarnya, maka haruslah adanya kesepakatan terlebih dahulu atas syarat-syarat itu, kemudian mengikutinya di mana syarat-syarat itu didapatkan. Maka kalau keadaannya demikian, maka saya katakan: tidak ragu lagi bahwa bersama orang yang melarang ini ada nash-nash qath’iy dan hujjah-hujjah yang terang yang tidak mengandung kecuali satu makna saja, berbeda halnya dengan apa yang bersama orang yang membolehkannya, sesungguhnya itu adalah khabar-khabar khusus yang tidak bisa menantang ilmu muthlaq yang mencakup semua apa yang pantas baginya, akan tetapi khabar-khabar itu tidak bisa diamalkan kecuali bila selamat dari yang menentangnya.
Dan adapun bila mengamalkannya itu menyebabkan kapada penelantaran sesuatu yang sudah paten lagi jelas, maka wajiblah menggabungkannya sebagaimana yang telah kami utarakan. Dan klaim mereka bahwa itu adalah dalil-dalil umum adalah klaim yang jelas keliru, karena dalil-dalil umum menurut para ‘ulama adalah klaim pencakupan lafadh yang umum terhadap hal yang muhkam yang khusus, sedangkan orang yang menentang tidak menerima hal itu.
Dan adapun lafadh yang umum yang kulliy yang mencakup segala yang pantas baginya, yang layak untuk setiap individu dari individu-individu jenisnya, umpamanya seperti manusia yang dikaitkan dengan sifat seperti Islam umpamanya atau syirik, itu adalah tergolong kulliyyat muthlaqah. Dan siapa yang mengklaim bahwa hal itu bisa ditentang dengan muhtamal atau mujmal, atau dengan kasus-kasus individu, maka ia itu lebih sesat dari keledai keluarganya.
Adapun yang berkaitan dengan sosok, maka ini masih dalam pengamatan, bila tidak ditentang dengan apa yang lebih utama darinya, maka ini adalah ‘aam (lafadh umum), dan dikatakan di dalamnya: Yang menjadi acuan adalah umumnya lafadh bukan khususnya sebab. Dan keumumannya bisa dikuatkan dengan hadits: “Putusanku terhadap seseorang adalah putusanku terhadap  jama’ah”. Dan di dalamnya terdapat pertentangan yang dituturkan dalam kitab Al Mahshuul dan yang lainnya. Di dalam Jam’ul Jawaami’ dikatakan dalam hal wajibnya mentarjih: Dan dilakukan pentarjihan dengan dalil yang di dalamnya terdapat ancaman, dan apa yang bersifat umum muthlaq terhadap apa yang memiliki sebab kecuali dalam sebab itu.
Sedangkan bi hamdillaah nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah telah datang dalam rangka menetapkan hukum umum ini yang berkaitan dengan setiap individu dari individu-individu jenisnya, akan tetapi orang yang mengklaim itu malah memutarbalikan permasalahan, dia jadikan al mutasyabih sebagai dalil yang qath’iy dan ia jadikan dalil muhkam yang merupakan khitab umum yang dikaitkan dengan sifat-sifat yang banyak yang searas dengan madluul-nya, ia menjadikannya bagian dari keumuman yang dilemahkan oleh para ‘ulama, bila itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya! Fallaaahul musta’aan.
Orang yang tidak membedakan antara al ‘aam yang muhtlaq yang selaras dengan madluul-nya dengan al muhkam yang diklaim bahwa ‘umuumat mencakupnya, maka ia itu adalah pencari kayu bakar di malam hari dan haathimu sail.
Al ‘Allamah Asy Syaikh Abdulllathif rahimahullah berkata: Kemudian sesungguhnya nash-nash yang ada tentang wajibnya hijrah dan tentang larangan iqamah di negeri syrik adalah nash-nash yang umum lagi muthlaq serta dalil-dalil qath’iy lagi pasti. Dan siapa yang mengatakan bahwa itu di-takhshish dan di-taqyiid, sungguh hanya berlandaskan kasus-kasus individu yang khusus dan dalil-dalil juz’iyyah yang tidak memiliki nilai keumuman menurut jumhur ‘ulama ushul, yang ia sendiri memiliki kemungkinan untuk takhshish dan taqyiid. Dan orang yang mengatakan rukhshah tidak boleh ditentang dalam umumnya dalil-dalil yang mewajibkan hijrah dari mujaama’ah dan musaakanah…. hingga akhir ungkapannya.
Bila telah engkau ketahui bahwa Syaikh dan orang-orang sebelumnya dari kalangan salaf dan khalaf yang telah kami sebutkan kepadamu di uraian yang lalu, serta yang lainnya, mereka itu memahami dari nash-nash itu bahwa ia adalah dalil-dalil yang qath’iy, sedangkan yang menentangnya bisa menerima takhshish dan taqyiid, maka jelaslah bagimu orang kekeliruan orang yang membolehkan itu dalam mencacat dalil-dalil orang yang melarang, karena setiap orang yang menyelisihi syari’at dia itu memiliki dari syubhat-syubhat dan dalil-dalil muhtamah yang keliru dipahami dan dia tidak mampu menyelaraskan antara hal itu dengan dalil yang menyelisihinya melebihi berlipat-lipat apa yang dimiliki oleh mereka itu, sehingga hal itu mengharuskan kami untuk membantah seluruh kebathilannya dengan melihat seluruh dalil-dalil yang dipakainya, bahkan kami mengatahui keburukan pemahamannya sebelum melihat praduganya karena kami berpegang kepada pokok yang paling mendasar ini, yaitu: Bahwa sunnah itu satu sama lain saling membenarkan, sedangkan bid’ah satu sama lain saling menggugurkan.
Adapun ucapannya: Di dalamnya terdapat apa yang ada di dalamnya (maksudnya ada cacat orang yang melarang). Maka darimana ia mengetahui bahwa di dalamnya terdapat apa yang ada di dalamnya? Sedangkan dia itu tidak meriwayatkannya, tidak pernah melihatnya dan tidak mengetahuinya. Ini demi Allah adalah penerkaman akan nash-nash, dan sepertinya ia memaksudkan hadits Qais Ibnu Abu Hazim dan hadits Samurah, padahal hadits-hadits masyhur yang menguatkannya telah lalu.
Seandainya dalam masalah ini tidak ada kecuali hadits Jabir yang lalu –sedangkan keislaman Jabir ini terjadi di akhir-akhir, dimana ia membai’at Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk ibadah kepada Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan meninggalkan kaum musyrikin– tentulah ini cukup. Al bukhariy telah meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa beliau mengamalkan yang paling akhir dan seterusnya dari urusan Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Dikatakan dalam kitab Mirqaatul Wushuul Illaa ‘Ilmil Ushuul: Suatu hadits bila diterima penuh oleh umat, sedangkan perawinya adalah adil dan memiliki syahid, maka ia bagaikan mutawatir dalam hal dijadikan hujjah dengannya.
An Nawawiy menghikayatkan dalam Syarah Al Muhadzdzab: Bahwa Asy Syafi’iy berhujjah dengan mursal bila dikuatkan oleh satu syahid, sedangkan beliau adalah tergolong imam yang paling tawaqquf di dalamnya. Dan dari kalangan Al Malikiyyiin dan Al Kuufiyyiin bahwa mursal diterima secara muthlaq. Sedangkan mursal ini telah dikuatkan oleh lebih dari dua puluh syahid, disamping ayat-ayat muhkamat dan kaidah-kaidah umum dalam syari’at ini sebagaimana yang telah kami utarakan kepada engkau, di antaranya wajibnya memusuhi orang-orang musyrik, sedangkan permusuhan itu menuntut sikap jauh dan mufaaraqah, dan di antaranya juga suatu kaidah kuliyyah dan pokok yang sangat agung, yaitu menutup jalan yang bisa menghantarkan kepada kerusakan yang paling dahsyat, sebab sarana itu status hukumnya sama dengan hukum tujuan, dan telah ada isyarat terhadap ini semua.
Dan di antaranya: Sesungguhnya apa yang berkenaan dengan janji dan ancaman, maka para shahabat dan tabi’iin itu tidak mengungkapkannya secara marfuu’ kecuali disertai dengan pemastian akan keshahihannya. Sesungguhnya Qais Ibnu Abi Hazim adalah mukhadlram, dan dikatakan baginya riwayat, dia meriwayatkan dari sepuluh orang yang dijamin masuk syurga. Maka atas dasar ini, dia itu bisa jadi tergolong kibar tabi’iin, dan ini adalah yang mu’tabar menurut Asy Syafi’iy dan yang lainnya, dan bisa jadi tergolong shahabat yang riwayatnya mursal, sedangkan mursal shahabiy adalah memiliki hukum marfuu’, karena sesungguhnya shahabat itu semuanya adalah adil. Dan sejumlah para muhadditsiin mentarjih keadaan hadits itu sebagai hadits maushul dari Jabir, sedangkan asalnya ada di dalam Shahih Muslim. Ini bila tidak ada dalam masalah ini kecuali hadits itu.
Jadi ucapan orang yang membolehkan itu: “Sesungguhnya orang-orang yang melarang berdalil dengan hadits-hadits yang di dalamnya terdapat apa yang ada di dalamnya”, adalah sekedar igauan yang tak ada faedahnya sedikitpun. Dan seandainya bersama orang-orang yang melarang itu tidak ada kecuali sekedar larangan yang dikuatkan dengan keberadaan kerusakan yang dipastikan, tentulah itu sudah cukup, ini berdasarkan apa yang ada di dalam Adabul Bahts: Bahwa dalil larangan didahulukan atas dalil pembolehan saat terjadi pertentangan, kecuali dalam hal-hal yang telah mereka sebutkan yang mana asal hukum di dalamnya adalah al baraa’ah (bebas tanggungan/hukum) seperti akad-akad atau sesuatu yang hissiy (konkrit) seperti makanan.
Dan adapun ucapannya: Negeri itu adalah negeri Islam, karena syi’ar-syi’ar Islam nampak di dalamnya, tanpa jaminan dari orang-orang musyrik dan tanpa perlindungan. Dan oleh sebab itu bila hukum dominan adalah bagi ahlul Islam, maka negeri itu menjadi Darul Islam”, adalah ucapan yang bertolak belakang secara lafadh, dan telah lalu tanbiih atas kekeliruan secara makna. Dan ucapannya: “tanpa jaminan dan perlindungan dari orang musyrik”, maka saya mengiranya ia itu melihat kedhaliman terhadap harta dan badan, karena kecintaan terhadap harta telah merusak jiwa manusia, dan musibah dalam harta menurut mereka adalah musibah yang paling besar. Bila ini adalah yang menjadi tujuannya, maka hal itu adalah selalu ada di semua kerajaan, dan dalam hal ini orang-orang Nasrani –semoga Allah melaknatnya- memiliki bagian yang paling banyak.
Adapun kedzaliman terhadap dien dan pelecehan terhadapnya, maka hal ini tidaklah diketehui kecuali oleh orang yang telah Allah beri cahaya terhadap bashirahnya, dan ia menjadi golongan orang-orang yang pelit dengan diennya. Kehinaan dan pelecehan mana yang lebih besar daripada keadaan orang yang mendengar dan melihat kekafiran yang nyata setiap sore dan pagi? Seandainya ia menampakkan bahwa ini adalah perbuatan orang-orangg musyrik tentulah mereka membunuhnya atau mengusirnya.
Dan di antara hukuman yang bersifat takdir terhadap hati adalah hilangnya kepekaan akan keburukan, ini adalah penyakit yang ada yang menimpa hati, dengan sebabnya terputuslah aliran hidup dan kebaikannya, dan bila itu teputus darinya, maka terjadilah lawannya tanpa diragukan lagi, sedangkan hukuman hati itu lebih dahsyat daripada hukuman badan, oleh sebab itu yang ma’ruf menjadi mungkar, dan yang mungkar menjadi ma’ruf.
Dan apakah ada seorang meragukan bahwa orang yang muqim di sana tidak bisa dianggap lapang kecuali oleh pemerintahan yang sesat, dan bahwa anak yang terlahir adalah berada dalam taruhan, dan pungutan hartanya serta pajaknya adalah bagi mereka, serta bencana-bencana lainnya yang semakin bertambah uang suapnya, maka semakin bertambah pula pengendaliannya terhadapnya di dalam hatinya dan dalam gerak-geriknya. Siapa orangnya yang mengklaim selain itu, maka ia itu adalah orang yang membandel. Dan orang yang ikut andil dalam apa yang telah ditetapkan oleh para ‘ulama muhaqqiqun, maka ia pasti mengetahui bahwa negeri itu adalah negeri syirik dan bahwa hukum dominan adalah bagi syirik dan pelakunya, serta bahwa kebenaran itu ada bersama orang yang merujuk hukum kepada nash-nash yang memutuskan dengan larangan, dan ia mengatakan keadilan serta menegakkan syari’at.
Dan adapun apa yang ia nukil dari Syaikh Abdullah, bahwa negeri mereka adalah negeri Islam, maka telah kami utarakan bahwa itu tidak menunjukkan terhadap apa yang mereka tuju, karena Syaikh tetap meniti di atas apa yang telah dititi oleh generasi pertama, yaitu membela tauhid dan membantah terhadap orang yang mencelanya dari kalangan ahli syirik dan tandiid. Perkataannya itu adalah mujmal, yaitu bahwa negeri itu bukan negeri kafir asli yang memiliki hukum tertentu, dan itulah yang dipahami dari perkataan ‘ulama mahdzab Hanbali dan yang lainnya, akan tetapi apakah engkau mengira bahwa beliau ragu akan kekafiran orang yang menampakkan diri dengan penyeruan terhadap orang-orang shalih dan ibadah kepada mereka dengan bentuk isti’aanah dan istighatsah, sembelihan, nadzar, tawakkal dan yang lainnya, seraya menjadikan mereka sebagai perantara antara diri mereka dengan Allah dalam kebutuhan dan kesulitan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan para imam lainnya telah menetapkan: Bahwa hal ini adalah kekafiran yang nyata, dan ia adalah dien kaum musyrikin dan perbuatan orang-orang jahil lagi sesat. Sedangkan mereka itu menambah kekafirannya di atas kekafiran mereka, di mana mereka memohon kebutuhan kepada orang-orang shalih secara istiqlaal sebagaimana yang telah kami saksikan, maka tampaklah bagimu bahwa ucapan orang yang membolehkan: Negeri ini adalah negeri Islam, adalah pembuka buat pernyataan akan bolehnya muqim di alamnya, adalah kekeliruan yang tidak boleh diikuti, sebagaimana yang telah dijelaskan kepadamu berulang-ulang: Bahwa syari’at mengaitkan hukum dengan sebab menyaksikan kekafiran dan maksiat bagi orang yang tidak mampu mengingkarinya.
Alangkah indahnya ucapan orang yang mengatakan:
Ilmu dengan akal adalah ijmal dan kekacauan
Sedangkan ilmu dengan nash adalah tahqiq dan tafshil
Dan telah lalu: Bahwa yang diklaim itu lebih umum dari status negeri itu sebagai negeri Islam atau negeri kafir bila ternyata alasan hukum adalah tidak adanya larangan dari ibadah, dan bahwa pernyataan itu gugur dari pangkalnya, sehingga tidak butuh akan fatwa Abu Buthain dan yang lainnya.
Adapun klaimnya bahwa idhharud dien adalah bila mereka tidak melarangmu dari menunaikan kewajiban-kewajiban dien kamu, yaitu tidak melarang shalat dan ibadah yang khusus, seraya berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhariy: bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang iman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat dan shaum Ramadlan, maka haq atas Allah untuk memasukkannya kesurga, baik ia hijrah atau duduk di negerinya yang mana ia dilahirkan disana.”
Dan hadits shahibul Khadramah.
Maka jawabannya adalah dikatakan:
Pertama: Dalam dua hadits itu tidak ada dilalah bahwa negeri itu adalah negeri syirik, yang ada dalam hadits itu adalah penetapan iman bagi orang yang masuk Islam dan mati di negerinya.
Kedua: Sesungguhnya keduanya menunjukkan akan kesempurnaan iman, keduanya seperti sabdanya: “…meskipun ia zina dan meskipun ia mencuri…”Maka kami mengatakan sesuai dengan apa yang dituntut oleh hadits itu, siapa orangnya yang muqim di negeri syirik padahal ia mampu keluar darinya, karena merasa berat dengan tanah air ataun alasan-alasan lainnya, maka ia melakukan dosa besar, sehingga dikatakan: Ia mukmin kurang imannya.
Ketiga: Sesungguhnya berdalil dengan keduanya dan yang semakna dengannya adalah keluar dari yang dimaksud, karena hadits itu tentang orang yang masuk Islam di negerinya, adapun pergi ke negeri mereka dengan suka rela dan bergabung dengan mereka dengan tujuan menetap, maka hadits itu tidak menunjukkan akan hal itu sama sekali, karena berdalil dengan nash-nash itu adalah cabang keberadaanya terlebih dahulu, kemudian keselarasannya secara makna dengan apa yang ingin didalili, sebagaimana yang telah tetap dalam tempat-tempatnya. Bila saja orang yang beriman dan dia tidak hijrah dari orang-orang a’raab adalah kurang imannya, maka apa gerangan orang yang iman dan tidak hijrah dari negeri kaum musyrikin.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam Iqtidlaaush Shiraathil Mustaqiimtatkala beliau menyebutkan larangan dari menyerupai orang-orang musyrik, dan dekat dengan masalah ini: Menyelisihi orang yang tidak sempurna imannya dari kalangan orang-orang Arab badui, karena kesempurnaan dien adalah dengan hijrah, maka orang yang beriman dan tidak hijrah dari orang-orang Arab badui dan yang serupa dengan meraka adalah kurang imannya.
Keempat: Sesungguhnya ucapannya: Baik hijrah atau duduk, adalah semakna dengan ucapannya: Baik jihad atau duduk, menunjukkan akan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan yang lainnya dari Abu Ad Dardaa secara marfuu’: “Siapa yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, serta mati tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka haq atas Allah untuk mengampuni dia, baik ia hijrah atau mati di tempat kelahirannya,” maka kami berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami kabarkan kepada orang-orang, sehingga mereka bergembira?” maka beliau berkata: “Sesungguhnya surga itu memiliki seratus tingkatan, antara tiap tingkat adalah seperti langit dan bumi, Allah sediakan bagi orang-orang yang berjihad di jalan-Nya.”
Kemudian An Nasa’i berkata setelahnya: Apa gerangan bagi orang yang beriman, hijrah dan berjihad? Yaitu berupa pahala.
Maka itu menunjukkan bahwa hijrah di sana adalah bermakna jihad, dan telah ada dalam riwayat Al Bukhariy dengan lafadh: “Baik ia jihad fi sabilillah atau duduk,”
Dan Al Bukhariy membuat bab dalam jihad, karena di sebut hijrah dan dimaksudkan dengan jihad, sebagaimana Ahmad meriwayatkan dari ‘Amr Ibnu ‘Abasah secara marfuu’: “Hijrah apa yang paling afdlal?” Beliau berkata: “Jihad.”
Maka jelaslah atas dua makna ini bahwa yang dimaksud adalah menetapkan keimanan bagi orang yang masuk Islam dan tidak hijrah kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak jihad, meskipun kesempurnaannya dinafikan, maka dari mana ia mengatakan bahwa hadits itu menunjukkan bolehnya muqim di tengah-tengah kaum musyrikin? Dan orang yang dengan dalil-dalil muhtamal ini ia menolak nash-nash yang shahih lagi sharih yang lalu, seperti hadits Hakim Ibnu Hizam secara marfuu’: “Allah tidak menerima dari orang muslim amalan setelah ia masuk Islam sehingga ia meninggalkan kaum musyrikin”, diriwayatkan oleh An Nasai, dan hadits Abu Malik Al Asyja’iy secara marfu’: “Dan saya memerintahkan kalian akan lima hal yang mana Allah telah memerintahkan saya lima hal itu”, dan beliau menyebutkan hijrah, diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya, dan hadits yang semakna dengannya, adalah orang yang tidak obyektif.
Kelima: Dan ini yang paling nampak, sesungguhnya berhujjah dengan semacam hadits-hadits yang muthlaq ini, meskipun mencapai derajat mutawatir, menuntut batilnya hukum nash-nash yang secara tegas-tegasan menyatakan harusnya meninggalkan kaum musyrikin, sebagaimana di sini, dan sebagaimana dalam hadits Nahik yang lalu: “Dan untuk meninggalkan orang-orang musyrik”, maka dibawalah kemuthlakan makna dalam hujjah yang dipakai oleh orang yang membolehkan –seandainya itu shahih dan banyak jalannya– terhadap muqayyad dari mafhum sifat yang melarang dari iqamah, sehingga dengan hilangnya sifat yang melarang yang menyebabkan adanya hukum meninggalkan negeri sendiri maka factor yang yang menuntut menjadi ada, dan kalau tidak maka tidak pula, sedangkan ini adalah nampak bihamdillah yang wajib dipegang demi menyelaraskan antara nash-nash yang ada, karena tidak ada peluang untuk pendapat dalam hal ini seperti ini bila ternyata ada hadits-hadits yang tsabit dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
            Dan di antara yang menunjukkan bahwa orang yang masuk Islam dan tidak hijrah adalah seperti A’raabul muslimin dan tempat-tempat tinggalnya itu dinamakan negerinya adalah hadits Buraidah radliyallahu ‘anhu secara marfuu’: “Kemudian ajaklah mereka untuk meninggalkan negeri mereka ke negeri kaum muhajirin, dan beri kabar terhadap mereka bahwa bila mereka melakukan hal itu, maka bagi mereka apa yang diberikan kepada kaum muhajirin dan atas mereka apa yang menjadi kewajiban kaum muhajirin”, dan dalam satu lafadh: “Bila mereka enggan dan justru memilih negeri mereka, maka kabarkan kepada mereka bahwa mereka itu seperti a’raabul muslimin, berlaku atas mereka hukum Allah yang berlaku atas kaum mu’minin…”, kecuali bagi satu orang badui yang diizinkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan hijrah dalam ucapannya: “Beramalah di balik perkampungan itu, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun dari amalanmu”, yaitu bahwa ia tetap mendapatkan pahala hijrah dan tidak kurang, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kekurangsabaran dia kalau tinggal di Madinah, “Dan Dia penyayang terhadap orang-orang mu’min”, (Al Ahzab: 43).
Dan begitu juga beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam memberiksn izin bagi Aslam –kabilah terkenal– dalam apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dari Salamah Ibnul Akwa’ radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apakah betah dengan status badui wahai Aslam?”Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami takut hijrah kami ini tercoreng,” Beliau berkata: “Kalian adalah muhajirun di manapun kalian berada.”Dan maknanya: mereka berada di pedalaman sedangkan mereka telah mendapat izin Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak selain mereka, karena orang yang telah diberi izin oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam akan hal itu adalah sama statusnya dengan orang-orang muhajirun, karena mafhum izin bagi mereka menunjukkan tidak diizinkannya yang lain.
Adapun orang-orang a’raab, maka masalahnya berkenaan dengan mereka adalah ringan, dan mereka tidak mendapatkan keutamaan orang-orang yang hijrah karena lemahnya Islam mereka dan cepatnya kecenderungan mereka kepada kebathilan, ini dibuktikan oleh apa yang diriwayatkan oleh An Nasa’i, Ahmad Ibnu Abdillah Al Hakam telah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Muhammad Ibnu Ja’far telah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Syu’bah telah memberitahu kami dari ‘Amr Ibnu Murrah dari Abdullah Ibnu Harits dari Abu Katsir dari Abdillah Ibnu ‘Amr, berkata: Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hijrah itu ada dua, hijrah al hadlir dan hijrah al badiyah, adapun orang badui maka ia itu memenuhi panggilan bila ia diajak dan taat bila diperintah. Adapun orang kota maka ia itu tergolong orang yang paling besar ujiannya dan orang yang paling besar pahalanya.”
Adapun apa yang diriwayatkan oleh An Nasa’i juga dengan sanadnya dari Fudlalah Ibnu ‘Ubaid: Bahwa ia mendengar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya menjamin bagi orang yang beriman kepadaku dan masuk Islam serta hijrah dengan sebuah rumah di tengah surga dan rumah di kamar-kamar surga yang paling tinggi…”. Maka jelaslah bahwa yang dimaksud adalah menetapkan iman bagi orang yang tidak hijrah dan tidak berjihad setelah ia masuk Islam, dan bahwa orang yang berjihad serta berhijrah, maka sungguh keimanannya telah sempurna. Maka dalil macam apa yang terdapat di dalamnya yang menunjukkan bolehnya iqamah di tengah-tengah kaum musyrikin?!
Bila saja orang yang kembali setelah hijrahnya adalah a’ rabiy yang dilaknat, karena ditakutkan sifatnya kasar dan hilang ilmunya, dan karena untuk maslahat Islam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At Thabraniy dari hadits Jabir Ibnu Samurah secara marfuu’: “Allah telah melaknat orang yang kembali ke badui setelah ia hijrah, kecuali fitnah.”
Dan apa yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dari Abdullah Ibnu Mas’ud secara marfuu’: “Allah melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makannya…” dan di dalamnya: “dan orang yang kembali ke pedalaman setelah ia hijrah,”
Ibnu Atsir berkata dalam An Nihayah: “Orang yang kembali setelah hijrahnya ke tempat semula tanpa alasan, sungguh mereka menganggapnya seperti orang yang murtad.” Selesai dari Al Fath.
Dan yang serupa degannya: apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhariy dari Salamah Ibnu Akwa’, sesungguhnya ia masuk menemui Al Hajjaaj, ia berkata: “Wahai Ibnu Akwa’ kamu telah kembali ke belakang, kamu telah menjadi orang pedalaman?” Ia berkata: “Tidak, akan tetapi Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan bagi saya untuk menetapi pedalaman (badui).”
Bila halnya demikian, maka ini menunjukkan dengan fahwaa (mahfumnya) atas sikap menjauhi kaum musyrikin bagi orang yang masuk Islam. Adapun orang yang memang sebelumnya sudah muslim kemudian datang bergabung dengan meraka dan memilih mereka tanpa tujuan maslahat dalam dien ini, maka orang seperti ini dituntut untuk mendatangkan dalilnya, meskipun dari perkataan imam yang diperhitungkan, dan kalau tidak bisa, maka telah kami ketengahkan kepadamu: Bahwa berdalil dengan dalil-dalil yang memiliki banyak kemungkinan ini adalah keluar dari yang dimaksud.
Adapun hadits Al A’rabiy, maka telah lalu isyarat kepadanya, dan sesungguhnya itu tergolong kasus-kasus individu yang berkaitan dengan sosok, keadaan zaman. Al Qurthubiy berkata mengomentari hadits Al A’ Rabiy ini: Bisa ada kemungkinan bahwa hal itu khusus bagi Al A’rabiy tatkala ia mengetahui dari keadaan dan kelemahannya dari menetap di madinah, maka Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam merasa kasihan terhadapnya dan beliau itu selalu belas kasih terhadap orang-orang mukmin. Selesai.
Dan termasuk hal yang maklum: Bahwa kasus ini bila terjadi setelah penaklukan Mekkah, maka sungguh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dalam apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhariy dan yang lainnya tatkala menaklukan Mekkah: “Tidak ada hijrah setelah penaklukan (mekkah).”Maka diketahui bahwa itu sebelum penaklukan Mekkah, sedangkan hijrah kepada Rasulullah itu adalah wajib dengan ijma’. Dan tidak seorangpun memahami bahwa kisah Al A’rabiy ini menggugurkan hukum hijrah. Dan bila ternyata setelah penaklukan Mekkah, maka jawaban terhadapnya adalah jawaban terhadap dua hadits sebelumnya.
Barsambung…


[1] Wali berarti teman akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong. Pent.
[2] Ibnu ‘Abbas berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang orang-orang mu’min berlemah lembut kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai teman akrab dengan meninggalkan orang-orang mu’min, kecuali bila orang-orang kafir itu menguasai mereka, maka orang-orang mu’min menampakkan sikap lembut kepada mereka dan tetap menyelisihi mereka dalam hal dien.
Al Imam al Bukhariy menghikayatkan dari Abu Dardaa’, bahwa beliau berkata: Sesungguhnya kami menampakkan wajah yang di depan orang-orang kafir, sedangkan hati kami melaknat mereka. Lihat tafsir Fathul Qadir Asy Syaukaniy 1/421-422.
Jadi orang yang bertaqiyyah itu adalah dalam hal mu’amalah, bukan dengan cara muwaalaah (loyalitas) atau ikut serta dalam kekafiran dan kemusyrikan mereka.
[3] Di antara tuhan-tuhan orang musyrik zaman sekarang adalah para thaghut yang duduk di lembaga eksekutif dan legislative. Mereka membuat aturan, hukum dan perundang-undangan yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam, bahwa mereka itu mengklaim bahwa mereka itu memiliki hak untuk membuat hukum dan perundang-undangan itu, dan kemudian mereka memerintahkan rakyat untuk mentaati apa yang mereka gulirkan itu. Mereka adalah tuhan-tuhan yang diibadati oleh orang-orang musyrik dustuur pada masa sekarang. Dan di antara dien mereka adalah demokrasi dan paham lainnya yang kafir lagi busuk. Dan sebagai bentuk tauhid, orang muwahhid diwajibkan untuk mencela tuhan-tuhan dan dien syirik lagi kufur itu. Pent.
[4] Sekarang syirik demokrasi, thaghut pancasila dan UUD 45 serta syirik tumbal sesajen dan minta-minta kepada penghuni kuburan juga pesta laut adalah fenomena kemusyrikan di negeri ini yang sangat merata, maka idhharud dien dalam hal ini adalah menyelisihi itu semua, menentangnya, membencinya serta memusuhi para pengusungnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar