Al Muhaddits Asy Syaikh
Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab
- rahimahullah -
Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab
- rahimahullah -
Alih Bahasa
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
***
Pengantar Penerjemah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji hanya milik Allah Rabbul
‘Aalamiin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi akhir
zaman, Muhammad, keluarganya, serta para sahabatnya.
Sering kita mendengar dari sebagian orang yang intisab kepada salaf –padahal salaf baraa’ dari mereka– bahwa yang namanya idhharud dien (menampakkan dien ini) adalah bolehnya shalat, ta’lim, datang ke masjid dan seterusnya…
Kemudian setelah mengatakan itu mereka
membangun suatu hukum di atas apa yang mereka ucapkan, bahwa kalau di
suatu negeri masih boleh shalat, shaum, haji, ta’lim dan datang ke
masjid, maka negeri itu adalah negeri Islam (Negara Islam). Dan para
penguasanya kalau masih shalat –meskipun berpaham demokrasi dan membuat
undang-undang lagi loyalitas kepada kaum kuffar– maka mereka itu adalah
pemerintah muslim yang sah, dan orang yang menetang dan mengkafirkannya
adalah kaum Khawarij yang harus dihabisi lagi dijauhi, bahkan wajib
dilaporkan kepada thaghut.
Mereka merasa telah menampakkan dien mereka sehingga mereka merasa tentram lagi nyaman hidup di bawah daulah kafirah
–yang mereka anggap sebagai negera Islam–, sebagian mereka menafikan
jihad, dan mereka tidak pernah menyingkap kebobrokan dan kekafiran para
penguasa thaghut itu bersama sistem syiriknya, atau meskipun ada di
antara mereka yang menganggap ini adalah sistem thaghut tapi para
pelaksananya menurut mereka tidak boleh dikafirkan.
Apa mereka tidak melihat tarikh dan sirah Rasulullah bersama para sahabatnya, apakah Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dilempari
dan dicekik serta dituduh gila lagi pendusta, Bilal dijemur seraya
ditelentangkan di tempat yang panas lagi disiksa, Ammar disiksa, Khabbab
disiksa, Sumayyah dan Yasir disiksa hingga menemui syahadah, dan para
sahabat saking tidak tahannya akan penindasan dan penganiayaan mereka
pergi meninggalkan tanah air, harta dan rumah serta keluarga ke
Habasyah, apakah semua itu terjadi dan berlangsung karena sebab mereka
melakukan shalat, shaum, haji, berinfaq dan berjihad? Padahal semua itu
belum disyari’atkan. Apa gerangan penyebab itu semua… ternyata itu semua
karena mereka menampakkan tauhid (iman kepada Allah dan kufur kepada
thaghut). Jadi ternyata tauhid itu menuntut penampakkan, berupa celaan
terhadap kemusyrikan dan para pelakunya, bara’ dari mereka, menjelek-jelekkan keyakin mereka serta mengkafirkan mereka.
Bukankah demokrasi itu syirik, bukankah
penyandaran hak membuat hukum kepada selain Allah itu adalah syirik
akbar, bukankah pembuatan undang-undang yang berseberangan dengan Islam
itu adalah kekafiran dengan sendirinya, bukankah tawalliy
kepada majelis/lembaga/badan/organisasi kafir lokal maupun regional dan
dunia internasional itu adalah kekafiran akbar, bukankah para
penguasa/para pejabat/para aparat keamanan di negeri ini tawalliy kepada falsafah thaghutiyyah,
bukankah janji untuk setia kepada hukum thaghut itu adalah kekafiran
akbar, bukankah tumbal itu syirik, bukankah meminta kepada para wali dan
orang-orang yang sudah meninggal lainnya itu syirik, bukankah
persembahan kepada jin itu adalah syirik?
Nah, itu semua menuntut kita baraa’ darinya, membencinya serta memusuhi para pelakunya. Dan itu dilakukan secara sharaahah (terang-terangan), sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ
إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan
yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia;
ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas
diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan
dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al Mumtahanah: 4).
Perhatikan kata “Dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya”, nyata adalah nampak di luar bukan di hati saja. Jadi Idhharud Dien adalah menampakkan keyakinan serta bara’ dari keyakinan yang berlawanan dengannya.
Di dalam risalah ini, Al Muhaddits Asy Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah akan
menjelaskan secara tuntas tentang hukum hijrah dan idhharud dien. Kami
sengaja mengambil risalah ini dari sekian risalah yang ada dalam Ad Durar Assaniyyah,
karena ini sangat penting sekali bagi kita yang hidup di negara kafir
Indonesia, bagaimana kita harus bersikap terhadapnya dan terhadap kaum
musyrikin yang banyak hidup di dalamnya.
Silahkan Anda baca dengan seksama dan dengan penuh lapang dada dengan menghilangkan rasa ta’ashshub terhadap sosok manusia selain Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi sebelum Anda beranjak, saya
ingin menyampaikan ungkapan para ulama tentang realita yang mana kita
hidup di dalamnya. Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah mengatakan bahwa para ulama muhaqqiqien
menetapkan: bahwa suatu negeri bila kemusyrikan nampak di dalamnya,
hal-hal yang haram dilakukan terang-terangan, dan aturan-aturan dien ini
ditelantarkan (digugurkan), maka negeri itu menjadi negeri kafir, harta
penduduknya dijadikan ghanimah dan darah-darah mereka dihalalkan”.
Terus beliau mengatakan tentang negeri
Ahsaa saat itu (sekarang bagian Saudi): Penduduk negeri ini telah
menambah dalam hal penampakkan celaan terhadap Allah dan dien-Nya, di
mana mereka menetapkan undang-undang buatan yang mereka terapkan di
tengan masyarakat yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah
Nabi-Nya, padahal sudah diketahui bahwa ini (penetapan undang-undang
buatan) dengan sendirinya saja sudah cukup untuk mengeluarkan pelakunya
dari Islam. Ini di samping kami mengatakan: “Bahwa bisa jadi di dalam
negeri itu ada orang yang tidak dihukumi kafir secara bathin, dari
kalangan orang-orang yang tertindas dan yang lainnya, dan adapun hukum
secara dhahir –wa lillahil hamd– adalah sangat jelas. (Ad Durar Assaniyyah 12/471).
Silahkan hubungkan dengan realita yang ada di sekitar kita.
Insya Allah bila ada kesempatan saya akan menghadirkan kepada pembaca sekalian risalah lain, yaitu Hukmu Muwaalati Ahlil Isyraakkarya Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad dan para pengikutnya. Wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.
***
بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan–Nya kami memohon pertolongan, dan
tidak ada daya serta tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan
Allah. Segala puji bagi Allah yang telah rela Islam sebagai jalan hidup
kami. Dia menetapkan dalil-dalil yang menunjukkan akan kebenarannya
serta Dia menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya. Dia membantu orang
yang diinginkan mendapatkan hidayah-Nya untuk melaksanakan ketaatan
kepada-Nya. Dan cukuplah Rabb-mu sebagai pemberi petunjuk dan sebagai
penolong.
Dari Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan kepada Al Akh Al Mukarram Abdullah Alu Ahmad semoga Allah memberikan kemudahan bagi kami dan baginya untuk menempuh jalan yang terpuji.
Amma Ba’du:
“Sungguh engkau telah mengajukan
pertanyaan tentang hukum yang benar yang berkenaan dengan negeri-negeri
kaum musyrikin, dan apakah boleh safar kepadanya bagi orang yang mampu idhharud dien (menampakkan diennya)? Dan apakah makna idhharud dien
yang bisa melepaskan tanggungan? Dan engkau telah mengirim kepada saya
jawaban dari sebagian orang yang mengaku berilmu tentang kebolehan safar
ke negeri kaum musyrikin itu, dan bahwa di tengah-tengah kalian ada
orang yang melarangnya dan ada pula yang membolehkannya. Kami berlindung
kepada Allah dari perpecahan dan perselisihan”.
Hal ini tidaklah aneh bila terjadi pada
masa sekarang ini, di mana di dalamnya Islam dan iman telah melemah, dan
fitnah telah membesar dengan sebab para penyembah berhala serta
orang-orang yang sejalan dengan mereka dari kalangan orang-orang munafiq syaithaniy,
sehingga syubhat-syubhat telah mencapai pada tingkat yang sangat parah
di tangan mayoritas masyarakat. Mereka itu adalah sebagaimana yang
dikatakan oleh Ali Ibnu Abi Thalib radliyallahu ‘anhu kepada Kamil Ibnu Ziyad:
“Manusia itu ada tiga macam, orang alim rabbaniy, pelajar yang berada
di jalan selamat, dan orang kacau pengekor yang selalu menjadi pengikut
setiap orang yang memanggil, mereka selalu cenderung bersama setiap
orang yang berteriak, mereka tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu,
serta mereka tidak berlindung kepada pilar yang kokoh. Atau dia itu
pembawa kebenaran yang tidak memiliki bashirah dalam menghidupkannya,
sehingga keraguan cepat berpengaruh di dalam hatinya dengan sebab
munculnya satu syubhat, ia tidak mengetahui mana kebenaran itu. Bila dia
berbicara dia keliru, dan bila dia keliru dia tidak mengetahuinya. Dia
tersibukan dengan sesuatu yang tidak dia ketahui hakikatnya, dan dia
adalah fitnah bagi orang yang terkena fitnah dengannya… hingga akhir
ucapan Ali radliyallahu ‘anhu.
Masalah yang tadi disebutkan adalah sangatlah jelas –bihamdillah– tidak samar sedikitpun bagi orang yang mengetahui Ashlu Dienil Islam dan pilar-pilarnya, dan mengetahui kandungan Laa ilaaha illallaah
atau konsekuensinya. Para imam dakwah tauhid ini memiliki tulisan dan
penjelasan dalam hal ini yang bisa menyembuhkan orang yang sakit dan
memuaskan orang yang dahaga, seraya mereka berdalil dengan Al Quran dan
As Sunnah, yang seandainya semuanya dikumpulkan tentulah mendekati
batasan mutawatir maknawiy, yaitu yang memberikan faidah ilmu
yang meyakinkan, padahal engkau telah mengetahui tentang keadaan mereka
tatkala Allah memberikan ujian mereka dengan datangnya pasukan
bersenjata dari Mesir (yang menindas mereka).
Siapa orangnya yang berpaling dari jalan
mereka dan tidak ikut serta menemani mereka, maka itu karena sebab
buruknya bagian dia dalam dien ini dan karena perbuatan aniayanya
terhadap diri sendiri. Dan yang sangat mengherankan adalah orang yang
mencari pentarjihan dari kami, sedangkan perkataan para imam dakwah ini ada di hadapannya. Dan kami ini belum sampai ke tepi apa yang telah mereka tahqiq
dan mereka tetapkan. Kami belum mencapai langkah mereka dalam bidang
yang telah mereka jelaskan dan mereka uraikan, justru kami ini bila
dibandingkan dengan mereka adalah sebagaimana yang dikatakan:
Adapun tendanya adalah sungguh seperti tenda-tenda mereka.
Dan saya melihat wanita desa sekarang adalah bukan seperti wanitanya dahulu.
Dan saya melihat wanita desa sekarang adalah bukan seperti wanitanya dahulu.
Dan khusus bagi orang yang seperti saya
ini: “Cukuplah menjauhkan diri dari menjawab pertanyaan–pertanyaan itu,
kami cukupkan dengan jawaban syaikh-syaikh kami yang mulia dan
ikhwan-ikhwan kami yang setingkat. Akan tetapi karena sebab baiknya
dugaan saya dan karena jauhnya sang penanya, maka saya memenuhi
permintaan engkau, karena sesungguhnya orang yang bertanya itu memiliki
hak meskipun dia datang di atas kuda. Sesungguhnya saya bertawasul
kepada Allah dengan nama-nama-Nya sangat indah serta sifat-sifat-Nya
yang Maha Tinggi, mudah-mudahan Dia mengumpulkan kita di atas kalimah
Islam, merapikan kesemerawutan kami dengan sebabnya serta memperbagusnya
di dalam hati kami hingga kami tiba di tujuan”.
Ketahuilah sesungguhnya setelah
penyerahan diri sepenuhnya terhadap ketentuan Al Quran dan Assunnah,
serta wajibnya mengembalikan setiap perselisihan kepada keduanya atas
setiap insan, maka sungguh ulama Sunnah telah ijma: “Bahwa bila Al Kitab
dan As Sunnah serta akal yang sharih sepakat atas penetapan suatu
hukum, maka tidak mungkin terjadi ketetapannya itu diselisihi oleh dalil
yang shahih lagi sharih”.
Bahkan justru bila yang menyelisihi itu adalah dalil sam’iy,
maka sudah bisa dipastikan kedustaannya, atau isi yang dijadikan
sebagai penyelisihnya itu adalah keliru dalam memahaminya, atau bila
dalil itu adalah aqliy, maka begitu juga.
Bila landasan ini sudah jelas pasti, maka
pertanyaan tentang hukum status negeri itu di mana di atasnya dibangun
apa yang diklaim oleh orang yang membolehkan (menetap di tengah kaum
musyrikin): adalah tidak benar dilihat dari dua sisi:
Pertama: Sesungguhnya
para ulama mengaitkan hukum hijrah atas keberadaan kemusyrikan, bid’ah,
dan maksiat bagi orang yang tidak mampu mengingkarinya.
Dan sudah menjadi hal yang diketahui
secara pasti: Sesungguhnya syirik dengan sebab mayyit dan orang-orang
yang ghaib, serta penggantungan diri terhadap para nabi dan orang-orang
shalih,[1]
bahkan terhadap orang-orang linglung dan gila, telah nampak jelas
syi’ar-syi’arnya di negeri-negeri mereka, kilatan apinya telah menyebar,
serta debunya telah merambah ke mana-mana. Para pembela dan pendukung
tauhid tiada, dan di samping kemusyrikan, mereka juga berlumuran bid’ah
dalam hal ibadah dan keyakinan, serta berlumuran berbagai macam
kemaksiatan yang membuat semua rambut beruban.
Adapun pertanyaan tentang status negeri itu: Apakah
ia negeri Islam atau bukan? Yang artinya bahwa orang yang muqim di
dalamnya seperti orang yang muqim di negeri yang bersih dari noda-noda
itu semua, adalah kesalahan yang jelas sekali. Sungguh telah menjadi hal
yang pasti dalam ungkapan-ungkapan para imam-imam kita yang bermadzhab
Hanbali dan yang lainnya: Bahwa mereka mewajibkan hijrah dengan sebab
orang melihat penyimpangan-penyimpangan yang lebih rendah dari yang tadi
disebutkan, termasuk dari negeri yang nampak di dalamnya aqidah-aqidah
ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Khawarij, dan Rafidlah.
Ibnul ‘Arabi Al Malikiy telah menghikayatkan dari Ibnul Qasim, beliau berkata: “Saya mendengar Malik berkata”: “Tidak halal bagi seorangpun muqim
(menetap) di negeri yang di sana salaf dicela”. Dan beliau berkata
dalam Al Iqnaa’ dan syarahnya –tatkala menyebutkannya– “Maka wajib
atasnya untuk keluar dari negeri itu, bila dia tidak mampu untuk
menampakkan hukum ini dengan suatu sifat, yaitu adanya bid’ah dan
maksiat bagi orang yang tidak mampu mengingkarinya, bukan dengan status
negeri”.
Bila saja termasuk hal yang sudah maklum
bahwa Mesir adalah negeri Islam, yang ditaklukan oleh Amr’ Ibnul ‘Ash
pada zaman khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhu,
maka apa sebabnya para ulama berijma’ bahwa Mesir adalah negeri kafir
harbiy pada zaman Banu ‘Ubaid Al Qadaah?! Begitu juga jazirah Arab pada
masa riddah (terjadi kemurtadan), padahal negeri itu asalnya adalah negeri Islam, bukan negeri kafir asli dengan ijma.
Akan tetapi tatkala ada pada diri mereka
sifat yang menghalalkan darah dan harta, maka penamaan negeri itu dengan
negeri Islam adalah tidak memiliki nilai hukum, dan jadilah status
hukum itu bagi sifat yang datang muncul.[2]
Contohnya seperti kotoran yang mengotori tempat yang bersih (maka
namanya bukan tempat bersih lagi, tapi tempat kotor, pent). Dan sesuatu
itu memiliki status hukum hal yang menyertainya, maka apa gerangan
dengan sesuatu yang lebih buruk dan lebih dahsyat?! Maka dengan uraian
ini gugurlah kaidah yang dibangun oleh orang yang membolehkan itu, yaitu
bergantung kepada nama status negeri.
Adapun definisi negeri
bila ditinjau dari sisi hukum-hukum yang dibangun di atasnya, adalah
bila yang menguasai negeri itu adalah kafir asli, maka berkaitanlah
dengannya hukum-hukum yang berbeda dengan orang murtad, seperti hukum (laqith)
anak hilang tak berorang tua (yang ditemukan), harta dan yang lainnya.
Dan ini memiliki cabang-cabang bahasan yang dipaparkan oleh para fuqaha. Sebagian ‘ulama menjadikan status negeri itu sebagai landasan untuk hal-hal yang sebagiannya masih dipertentangkan.
Dalam kitab At Tanqiih dikatakan: Bila laqith ditemukan di negeri orang-orang kafir harbiy, yang tidak ada satu orang Islampun di dalamnya, atau di dalamnya ada orang muslim seperti sebagai pedagang atau tawanan, maka laqith itu adalah kafir lagi sebagai budak. Bila kaum Musliminnya banyak, maka laqith itu adalah muslim. Dan seperti hal itu adalah apa yang ditegaskan oleh para ‘ulama madzhab Hanbali dan yang lainnya: Bahwa
negeri yang di dalamnya berlaku hukum-hukum kafir dan hukum-hukukm
Islam tidak tampak di dalamnya, maka itu adalah negeri kafir.
Dan adapun yang dihikayatkan oleh Ibnu
Muflih dari Syaikh Taqiyyuddien: “Bahwa negeri yang tampak di dalamnya
hukum-hukum kafir dan hukum-hukum Islam, maka ia tidak diberi status
hukum Islam dari semua sisi dan juga tidak diberi status hukum kafir
dari semua sisi”, maka itulah apa yang dimaksudkan oleh Syaikh Abdullah
Ibnu Abdirrahman Aba Buthain. Sesungguhnya beliau tatkala ditanya oleh
ayahanda (Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab)
–semoga Allah mensucikan ruhnya– tentang hukum apa yang mereka jual
atau yang mereka hibahkan dari apa yang mereka kuasai di negeri Nejed?
Maka beliau menjawab: Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang murtad,
negerinya adalah negeri Islam, sedangkan orang murtad itu tidak
memiliki hartanya menurut jumhur ‘ulama. Dan teks ucapan beliau adalah:
Sesungguhnya musuh-musuh itu yang menguasai Nejed, orang yang kami
hukumi di antara mereka sebagai orang-orang kafir, maka hukumnya adalah
seperti hukum orang-orang murtad, bukan sebagai orang-orang kafir asli,
karena negeri mereka adalah negeri Islam (Darul Islam), dan hukum Islam
adalah yang menguasainya. Inilah inti perkataannya, dan tulisan asli
beliau ada pada kami.
Dan maknanya adalah: Bahwa Islam yang
menguasai negeri itu, dengan makna bahwa kita menangkan sisi Islam dalam
apa yang mereka kuasai –sedangkan keadaannya adalah seperti ini– karena
mereka adalah orang-orang murtad, sedangkan orang murtad tidak bisa
memiliki harta oang Muslim. Orang yang menukil itu mengambil mutlak
ucapan beliau, sedangkan dia tidak memahami pokok bahasan. Jadi mana
hukum hijrah dan hukum meninggalkan orang-orang musyrik yang dikaitkan
dengan sebab mendengar kemusyrikan, bid’ah dan maksiat dari orang yang
tidak mampu merubahnya, siapa orangnya, seandainya mereka mengetahui?
Ini dijelaskan dengan realita bahwa para fuqaha syaffi’iyyah dari kalangan muta’akhkhiriin telah menegaskan akan hal itu. Ibnu Hajar berkata dalam Syarhul Minhaj: Dan yang tampak adalah bahwa negeri Islam yang telah mereka kuasai adalah memiliki status hukum negeri kafir.
Beliau menamakan negeri itu sebagai darul Islam karena melihat kepada
hukum asal, dan beliau memberikan kepada hal yang baru muncul hukum yang
sesuai dengannya.[3]
Sisi kedua: Sesungguhnya orang yang membolehkan (menetap di tengah kaum musyrikin) itu menggantungkan hukum bolehnya muqim
(di negeri kaum musyrikin) dalam apa yang engkau nukil darinya terhadap
keadaan bila orang-orang musyrik itu tidak menghalang-halangi dari
melaksanakan kewajiban-kewajiban dien-mu. Dan ia menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan kewajiban-kewajiban dien itu adalah mengucapkan dua
kalimah syahadat, shalat, dan ibadah-ibadah badaniyyah yang mana
orang-orang musyrik pada masa sekarang juga sama denganmu melakukan
ibadah-ibadah itu. Dan bila keadaannya seperti itu maka berarti apa yang
diklaimnya itu adalah lebih luas daripada dalilnya. Karena tidak adanya
larangan untuk melaksanakan ibadah-ibadah badaniyyah serta dari
mengumandangkan adzan, itu adalah ada hampir di mayoritas belahan bumi
ini. Jadi pertanyaan itu adalah tertolak dari asalnya, dan bisa jadi si
penanya itu telah menjadikan pertanyaannya itu sebagai sumur di tengah
jalan, serta ia akan memetik buah kerugiannya di kemudian hari. Dan
kewajiban kami adalah mengatakan kebenaran, kita tidak akan peduli
dengan celaan orang yang mencela. Dan inilah jawaban kami atas
pertanyaan pertama.
Dan adapun pertanyaan kedua, yaitu: Apa makna Idhharud dien itu?
Jawabannya –dan kepada Allah-lah kami memohon taufiq– bahwa idhharud dien
(menampakkan dien) yang sesuai dengan tuntunan syari’at adalah
dibolehkan dengannya tinggal (di tengah kaum musyrikin) dengan syarat
aman fitnah. Dan itu tidak bertentangan dengan nash-nash hijrah yang
dikaitkan dengan sekedar tinggal di tengah mereka, karena nash-nash
tersebut adalah hukum asal, sedangkan menggugurkan dalil pembolehan dan
dalil pengharaman (secara bersamaan) adalah pasti tidak bisa terjadi,
sehingga wajiblah menggabungkannya dengan berdasarkan kaidah yang sudah
terkenal dalam masalah ushul fiqh, yaitu bahwa dalil umum itu dibangun
di atas dalil yang khusus, dan tidak mungkin menyelisihinya.
Dan bila keadaannya seperti itu, maka
saya harus menyebutkan sebagian dari dalil-dalil itu sebelum saya
membicarakan hal itu secara panjang lebar.
Saya katakan: “Al Kitab, Assunnah, ijma, serta sharihul ‘aqli (akal sehat yang jelas) dan ashlul wadl’i telah menunjukkan akan wajibnya hijrah dari darusy syirki wal ma’ashii (negeri yang sarat dengan kemusyrikan dan maksiat) serta haramnya iqamah (menetap) di dalamnya”.
Adapun Al Kitab, sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا
كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ
وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧)إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ
وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ
سَبِيلا (٩٨)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”.
orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki ataupun wanita atau anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)” (An Nisaa: 97-98).
Ayat ini menegaskan wajibnya hijrah dengan ijma para ahli tafsir, dan di dalamnya ada wa’iid (ancaman) atas sekedar muqim beserta orang-orang musyrik. Sedangkan Al Quran bila mengaitkan suatu hukum dengan ‘illat (alasan) atau sifat tertentu, maka memalingkannya darinya adalah tergolong takwil yang telah ditolak salaf, sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mencela orang yang berpaling dari hukum itu, maka apa gerangan dengan orang yang menentangnya?!
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ (٥٦)
“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja”. (Al Ankabut: 56).
Abu Ja’far Ibnu Jarir rahimahullah berkata: Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkata
kepada orang-orang mukmin dari hamba-hamba-Nya: “Wahai hamba-hamba-Ku
yang mentauhidkan-Ku dan beriman kepada Rasul-Ku, sesungguhnya bumi-Ku
ini adalah luas, tidak sempit atas kalian, kemudian justeru
kalian muqim di tempat yang tidak halal bagi kalian untuk menetap di
dalamnya, akan tetapi bila di tempat di bumi ini dilakukan maksiat
kepada Allah, dan kalian tidak mampu untuk merubahnya, maka larilah
kalian darinya.
Dan beliau menuturkan riwayat dengan sanadnya dari Sa’id Ibnu jubair dalam penafsiran firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “Sesungguhnya bumi-Ku luas”,
Beliau berkata: Bila dilakukan maksiat di dalamnya, maka larilah
darinya. Dan beliau menuturkan lewat jalur Wakii’ dari Sa’id Ibnu Jubair
seperti itu pula.
Dan dari ‘Atha: “Bila kalian melewati maksiat, maka larilah (darinya)”, dan darinya: “Menjauhi pelaku maksiat”.
Dan dari Mujahid dalam tafsir firman-Nya: “Sesungguhnya bumi-Ku luas”,
beliau berkata: “maka hijrahlah dan berjihadlah”, dan beliau menuturkan
dari yang lainnya: “Sesungguhnya rizki yang keluar dari bumi-Ku ini
adalah lapang bagi kalian”. Dan beliau menguatkan pendapat yang pertama.
Muhyis Sunnah Al Baghawi rahimahullah berkata
dalam tafsirnya: Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang tidak
ikut hijrah di Mekkah, dan mereka mengatakan: “Kami khawatir kelaparan
dan kesempitan hidup bila kami hijrah”. Dan beliau menuturkan perkataan
Sa’id Ibnu Jubair dan yang lainnya, kemudian beliau berkata: “Dan wajib
atas setiap orang yang berada di negeri yang mana kemaksiatan dilakukan
dan ia tidak memiliki kemampuan untuk merubahnya, (wajib atasnya) hijrah
ke tempat yang memberikan keleluasaan untuk beribadah.
Beliau (Al Baghawi) menamakan taghyiirul ma’aashii
(merubah kemaksiatan) sebagai ibadah, yang mana wajib atas setiap
muslim untuk hijrah bila dia tidak bisa merubah maksiat itu. Sikap
beliau menamakan perbuatan itu sebagai ibadah adalah tergolong penamaan
sesuatu yang dan yang dimaksudkan adalah bagian besarnya. Sedangkan
maksiat bila disebutkan dan tidak disertakan dengan yang lain, juga
bukan dalam rangka membandingi sesuatu yang lebih tinggi darinya, maka
ia adalah umum, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam dalam Kitabul Iman dan ‘ulama yang lainnya menetapkan pula.
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ يَجِدْ فِي الأرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ
مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ
الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا (١٠٠)
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas
dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nisa: 100)
Dan makna ayat ini: Sesungguhnya orang
yang berhijrah di jalan Allah, maka ia pasti mendapat di muka bumi ini
tempat untuk tinggal di dalamnya, meskipun kaum yang ia tinggalkan itu
tidak menyukainya, dan ia pasti akan mendapatkan kelapangan di bumi ini.
Ada yang mengatakan maksudnya: (kelapangan) dalam rizki. Ada juga yang
mengatakan: (kelapangan) dalam idhharud dien, atau dalam merubah rasa takut dengan keamanan, atau dari kesesatan kepada petunjuk.
Ini adalah tafsiran para tabi’iin dan orang-orang yang sesudahnya, dan inilah yang dipahami oleh para ulama tafsir.
Siapa orangnya yang mengutamakan realita dan menjadikannya sebagai nash
dalam wajibnya hijrah, atas orang yang tidak melarang dari ibadah
kepada Rabb-Nya yang mana ibadah itu menurut klaimnya adalah: shalat dan
segala apa yang berhubungan dengan badan, serta ia menafsirkan idhharud dien itu dengan hal yang tersebut, dan ia memahami dari firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “Maka sembahlah Aku saja”,
Yaitu di setiap tempat baik di negeri Islam atau negeri kafir, maka ia
itu telah menjungkirkan permasalahan dan sungguh telah keliru dalam
pemahamannya.
Dan yang benar adalah: Bahwa hukum di
dalamnya itu dikaitkan dengan sekedar muqim bersama kaum musyrikin dan
menyaksikan hal-hal yang diharamkan. Ibnu Katsir rahimahullah berkata saat menafsirkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah”. (Al Kahfi: 16).
Beliau berkata: “Dan apabila kalian
menjauhi mereka dan menyelisihi mereka dengan agama kalian dalam hal
peribadatan mereka kepada selain Allah, maka menjauhlah dari mereka juga
dengan badan-badan kalian”, makanya mereka itu melarikan diri ke gua.
Beliau berkata dalam penafsiran ayat
surat An Nisaa’, tatkala beliau sudah menyebutkan perkataan-perkataan
salaf tentang sebab turunnya ayat tersebut: “Ayat ini adalah umum
mencakup setiap orang yang muqim di tengah-tengah kaum musyrikin
sedangkan dia itu mampu untuk hijrah dan tidak kuasa untuk menampakkan
diennya, maka dia itu telah dhalim terhadap dirinya sendiri lagi
melakukan hal yang diharamkan dengan ijma dan dengan nash ayat ini, di
mana Allah mengatakan:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri”, yaitu dengan
sebab meninggalkan hijrah.
قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ
(kepada mereka) Malaikat bertanya:
“Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?”, yaitu kenapa kalian tinggal di sana
dan meninggalkan hijrah?
قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ
Mereka menjawab: “Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. (An Nisaa’: 97).
Al Hanafiy
berkata dalam tafsirnya: “Urusan hijrah adalah wajib, dan tidak ada
kelapangan dalam meninggalkan, sehingga orang yang telah jelas dalam
keadaan dlarurat sekalipun –yaitu orang yang tertindas– wajib atas dia
untuk mengatakan: “Mudah-mudahan Allah mengampuni saya”, maka apa
gerangan dengan yang lainnnya?” Diambil secara ikhtishar.
Saya berkata: Dan pengecualian orang-orang yang mustadl’af (tertindas) dalam ayat ini menggugurkan klaim orang yang membatasi makna idhharud dien terhadap sekedar ibadah, karena jika idhharud dien itu diartikan terhadap makna itu, maka tentulah telah sama antara mustatsnaa (yang dikecualikan) dengan mustatsnaa minhu (yang dikecualikan darinya) karena itu adalah sumber rukhshah
(keringanan) menurut klaim orang yang membolehkan itu. Dan mustahil
orang yang tertindas itu meninggalkan ibadah kepada Rabb-Nya, dan
kemudian apa faidah ancaman tersebut dikaitkan terhadap orang yang mampu
untuk hijrah, tidak kepada yang tidak mampu? Sedangkan sudah diketahui
bahwa ististsnaa itu adalah tolak ukur keumuman tersebut.
Bila engkau berkata: “Faidah di dalamnya
adalah aman dari fitnah, memperbanyak jumlah kaum muslimin, serta
berjihad bersama mereka”. Maka kami katakan: “Ini adalah di antara
sekian faidah hijrah, akan tetapi membatasi faidahnya kepada hal-hal itu
adalah tergolong kesempitan ilmu, karena hal seperti ini meskipun
diperintahkan, akan tetapi tidak mengandung ancaman yang sangat dahsyat
ini.
Dan bisa jadi sebab-sebab satu hukum itu
bermacam-macam lagi beragam, dan sebagiannya lebih besar dari sebagian
yang lain, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ
أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ
أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu”, (Al Maidah: 91).
Ini adalah sebab-sebab larangan, dan masing-masing sebab itu menyendiri dengan hukum itu.
Dan larangan dari melakukan yang haram
ini bisa terus hingga hari kiamat meskipun tidak di dapatkan
sebab-sebabnya itu. Seandainya ada seseorang mengklaim bahwa khamr itu
tidak membuat dia mabuk dan tidak menghalanginya dari ketaatan kepada
Allah, serta tidak menimbulkan permusuhan, maka sesungguhnya klaimnya
itu tidaklah bisa diterima. Sehingga diketahuilah bahwa tidak berlaku mahfum bagi kata fitnah untuk adanya kemestian larangan yang dikaitkan dengan sebab mendengar kemusyrikan dalam ayat-ayat muhkamaat dan dalam hadits-hadits Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang tidak berkata dari hawa nafsu.
Maka siapa orangnya menafsirkan ayat-ayat
dan hadits-hadits itu khusus dengan orang yang difitnah oleh
orang-orang musyrik, maka ia telah mempersempit makna nash-nash itu.
Justeru aman fitnah itu telah membatasi bolehnya muqim
(ditengah kaum musyrikin) bagi orang yang menampakkan diennya dan
terang-terangan menyelisihi keyakinan mereka. Menentukan sebagian
individu-individu yang dikandung oleh nash umum adalah telah dikenal
dalam tafsir salaf, yang mana tidak ada yang membatasi atas hal itu
kecuali orang jahil.
Dan tatkala Al Hafidh Ibnu Hajar menyebutkan bahasan khushuushus sabab (sebab khusus), beliau berrkata: Dan begitu juga mufaraqah (meninggalkan orang-orang musyrik) dengan satu sebab yang mengandung maslahat bagi dia, seperti melarikan diri dari darul kufri, dan beliau menuturkan ungkapan yang bagus, dan beliau juga membantah ungkapan At Tayyibiy: Maka putuslah yang pertama, dan tinggalah dua lagi yang lain, sebagai bentuk perlindungan terhadap keagungan nash-nash itu.
Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Syarah Al Arba’iin: Siapa orangnya hijrah ke darul Islam dalam
rangka menjaga Allah dan Rasul-Nya, dan karena ingin mempelajari dienul
Islam, serta dalam rangka menampakkan diennya di mana dia tidak mampu
melakukan hal itu di darusy syirki, maka dia itu adalah benar-benar orang yang hijrah (muhajir). Selesai ucapan beliau.
Dien adalah kata yang
mencakup segala macam kebaikan, yang paling tinggi dan paling mahal
adalah tauhid dan konsekwensi-konsekwensinya. Dan siapa orangnya
membatasi dien itu atas ibadah-ibadah yang juga dilakukan oleh orang
musyrik, bahkan orang musyrik itu loyal kepadamu atas ibadah tersebut,
maka dia itu telah keliru.[4]
Dan adapun hadits-hadits maka itu adalah sangat banyak. Di antaranya:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim dari Samurah secara marfu’:
من جامع المشرك أو سكن معه فهو مثله – ولفظ الحاكم:- ”وساكنهم أو جامعهم فليس منا” وقال: صحيح على شرط البخاري
“Siapa yang berkumpul dengan orang musyrik atau tinggal bersamanya, maka ia itu seperti dia” -lafal Al Hakim:- “dan tinggal bersama mereka atau berkumpul bersama mereka, maka ia bukan termasuk golongan kami” Dan beliau berkata: Shahih sesuai syarat Al Bukhariy.
Dan di antaranya: Apa yang di riwayatkan oleh Abu Dawud, An Nasa’i dan At Tirmidzi dari Jabir Ibnu Abdillah secara marfu’:
أنا بريء من مسلم يقيم بين ظهراني المشركين ، لا تراءى ناراهما
“Saya berlepas diri dari orang muslim
yang muqim di tengah-tengah kaum musyrikin, jangan sampai kedua api
mereka ini saling melihat”Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah, sedangkan para perawi isnadnya adalah tsiqat. Dan hadits ini bila shahih secara mursal, maka itu juga adalah merupakan hujjah dari beberapa sisi yang diketahui oleh para ‘ulama ushulul hadits, di antaranya: Sesungguhnya hadits mursal bila didukung oleh satu syahid saja adalah merupakan hujjah.
Sedangkan hadits ini telah didukung oleh lebih dari dua puluh syahid, dan didukung juga oleh ayat-ayat muhkamaat beserta kaidah-kaidah umum dari syari’at ini dan landasan-landasan pokok yang diterima oleh para ‘ulama.
Dan di antaranya adalah hadits Jarir yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan yang lainnya:
أنه بايع النبي صلى الله عليه وسلم أن يعبد الله ويقيم الصلاة و يؤتي الزكاة ويغارق المشركين – وفي لفظ:- وعلى فراق المشركين .
“Sesungguhnya ia membai’at Nabi
shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk ibadah kepada Allah, mendirikan
sshalat, menunaikan zakat dan meninggalkan orang-orang musyrik.” -Dan dalam satu lafadz:- “Dan untuk meninggalkan orang-orang musyrik.”
Seandainya tidak ada kecuali hadits ini,
tentulah cukup sebagai hujjah, karena Jarir itu masuk Islam di
akhir-akhir (masa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam).[5]
Dan di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ath Thabraniy dan Al Baihaqiy dari Jarir secara marfu’:
من أقام مع المشركين فقد برئت منه الذمة
“Siapa orangnya yang muqim (tinggal) bersama-sama orang-orang musyrik, maka dzimmah (Allah) telah lepas darinya.”
Al Munawiy berkata: Hadits hasan ini tidak sampai kepada tingkatan hadits shahih, dan sebagian ‘ulama menshahihkannya.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan
oleh An Nasa’i dan yang lainnya dari hadits Bahz Ibnu Hakim dari
ayahnya dari kakeknya secara marfu’:
لا يقبل الله من مشرك عملا بعد ما أسلم أو يفارق المشركين
“Allah tidak menerima dari orang musyrik satu amalanpun setelah dia masuk Islam sehingga ia meninggalkan orang-orang musyrik.”
Dan di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan yang lainnya dari Abu Said radliyallahu ‘anhu secara marfu’:
لا تنقطع الهجرة ما قوتل الكفار
“Hijrah tidak terputus selama orang-orang kafir diperangi.”
Dan yang semakna adalah hadits Mu’awiyah:
لا تنقطع يلهجرة حتى تنقطع التوبة
“Hijrah tidak terputus sehingga taubat terputus.”
Dan apa yang dirriwayatkan oleh Said Ibnu Manshuur dan yang lainnya:
لا تنقطع الهجرة ماكان الجهاد
“Hijrah tidak terputus selama jihad masih ada.”
Dalam hadits-hadits ini yang berbeda-beda
sumbernya dan beragam-ragam jalannya, terdapat satu kesamaan yang
dengannya bisa dipastikan hukum yang sangat agung ini (yaitu wajibnya
hijrah) yang merupakan di antara maslahat syari’at terbesar.
Abu Abdillah Al Halimi
berkata dalam Al Majalis, sedangkan beliau adalah tergolong ‘ulama
terbesar madzhab Syafi’iy dan tergolong Imam hadits pada zamannya,
setingkat dalam thabaqah Al Hakim, tatkala beliau menyebutkan
tetapnya hijrah, beliau berkata: “Sesungguhnya hijrah adalah pindah dari
kekafiran kepada keimanan, dan dari darul harbiy ke darul Islam, serta dari keburukan kepada kebaikan, sedangkan hal-hal ini selalu ada selama taklif masih ada.”
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath: Ibnu Umar sungguh telah menegaskan apa yang dimaksud dalam apa yang dituturkan oleh Al Isma’iliy dengan lafadz:
انقطعت الهجرة بعد الفتح إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا تنقطع ما قوتل الكفار
“Hijrah kepada Rasulullah telah terputus setelah penaklukan (kota Mekkah), dan tidak putus selama orang-orang kafir diperangi.”
Yaitu selama di dunia ini ada darul kufri.
Dan perkataan para imam mahdzab dalam hal itu adalah sangatlah gamblang dan sangat kuat. Berkata dalam Asy Syarhul Kabir: Dan
hukum hijrah adalah tetap tidak terputus hingga hari kiamat berdasarkan
hadits Mu’awiyyah dan apa yang diriwayatkan oleh Said Ibnu Manshuur dan
yang lainnya bersama kemutlakkan ayat-ayat Al Qur’an dan khabar-khabar
yang menunjukkan atas hal itu, serta terpenuhi alasan yang menuntut
adanya hijrah di setiap zaman dan tempat.
Dan adapun ijma’ yang menunjukkan haramnya iqamah
(menetap) di tengah-tengah kauam musyrikin adalah apa yang telah
dihikayatkan oleh Al Hafidh Ibnu Katsir, dan tidak ada seorangpun yang
menyelisihi hal itu sesuai apa yang kami ketahui. Dan itu telah lalu
penjelasannya. Ibnu Hubairah berkata dalam kitab Al Ifshaah: “Dan mereka sepakat, yaitu para imam yang empat, atas wajibnya hijrah dari negeri kaum kuffar bila mampu melakukan hal itu”.
Dan adapun yang menunjukkan atas hal itu dari sisi bahasa, yaitu sesungguhnya asal kata hijrah artinya adalah at tarku (meninggalkan), sedangkan hijrah kepada sesuatu adalah pindah dari yang lainnya kepadanya. Dan diambil dari kata ‘adaawah (permusuhan), karena ‘adaawah digunakan dalam arti bahasa untuk makna mujaanabah (menyelisihi) dan mubaayanah (membedakan diri), sebab sesungguhnya asal ‘adaawah (permusuhan) adalah engkau berada di satu lembah sedangkan musuh berada di lembah yang lain. Dan asal makna al baraa’ah (berlepas diri) adalah al firaq (meninggalkan) dan al mubaayanah (membedakan diri) juga, diambil dari ungkapan baraahu yang bermakna qatha’ahu (memutusnya). Al Hafidh (Ibnu Hajar) berkata dalam Fathul Bariy: “Memusuhi itu menggiring kepada membenci.”
Maka ketahuilah: Sesungguhnya ‘adaawah itu adalah sebab dan washilah untuk membenci (baghdlaa’), sedangkan membenci orang kafir itu adalah syarat dalam al iman lagi dicintai oleh Arrahman, sehingga itu adalah menjadi hal yang dituntut, karena washilah
yang dituntut lagi dicintai adalah dituntut lagi dicintai pula. Maka
syari’at dan bahasa sepakat atas makna ini yang tergolong cabang
keimanan yang paling agung.
Adapun wajibnya hijrah dan (wajibnya) meninggalkan kaum musyikin secara akal, adalah karena al hubb (kecintaan) adalah landasan setiap amalan, baik amalan itu haq atau bathil,
sedangkan di antara tanda bukti benarnya kecintaan adalah menyelaraskan
diri dengan yang dicintai dalam apa yang ia cintai dan apa yang ia
benci, dan kecintaan ini tidak mungkin terealisasi kecuali dengan hal
itu. Dan mustahil kecintaan itu ada dengan disertai kesejalanan dengan
musuh-musuh zat yang dicintai. Ini adalah hal yang tidak bisa dibenarkan
oleh kecintaan itu, maka apa gerangan bila yang dicintai (al mahbuub)
itu telah mewanti-wanti engkau dari (bahaya) musuhnya yang telah ia
usir dari pintunya dan telah ia jauhkan dari sisinya serta ia telah
mensyaratkan atas dirimu agar tidak terpedaya dengannya. Demi Allah, ini
adalah tergolong hal yang tidak bisa dibenarkan oleh orang yang
mencintainya, serta tidak bisa dicerna oleh orang yang berakal.
متى صدقت محبة من يراني من الأعداء في أمر فظيع
فتسمح أذنه بسماع شتمي وتسمح عينه لي بالدموع
Bila hal itu telah bisa dipahami, maka pembahasan tentang idhharud dien yang merupakan inti pertanyaan dan yang mana terjadi kekeliruan di dalamnya, maka ini terdiri dari dua hal:
Pertama: Yang paling tinggi, adalah ad dakwah ilallah dengan penuh hikmah dan mau’idhah
yang baik, dan sebagian bahasannya telah lalu dalam apa yang dinukil
oleh Ibnu Jarir dan ‘ulama salaf lainnya, dan engkau akan mendapatkan
tambahan penjelasan dalam ungkapan ‘ulama-‘ulama mahdzab Hanbali,
Syafi’iy serta yang lainnya. Dan itulah yang diisyaratkan oleh perkataan
Al Mawardiy rahimahullah.
Kedua: Memisahkan
diri dari para penyembah berhala dan patung, sikap terang-terangan
orang muslim dalam menampakkan dienul Islam yang ia pegang, serta
menjauhkan diri dari syirik dan sarana-sarananya. Dan tingkatan yang
kedua ini di bawah tingkatan yang pertama. Maka siapkan pendengaranmu
untuk menerima dalil dua tingkatan ini, mudah-mudahan Allah memberikan
manfaat kepadamu dengannya.
Ketahuilah: Sesungguhnya dien adalah kata yang mencakup segala cabang kebaikan, dan yang paling tinggi adalah tauhid sebagaimana dalam uraian yang lalu. Dan tauhiditu adalah harus dengan hati dengan cara meyakini, jujur dan mencintai, dan dengan lisan dengan cara memastikannya, merealisasikannya, mendakwahkannya dan mengucapkannya serta dengan al jawaarih (anggota badan)
dengan cara mengamalkan tuntutannya, dan berupaya merealisasikan
sarana-sarananya, serta menjauhi hal-hal yang bertentangan dengannya.[6]
Ayahanda (Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab) rahimahullah berkata
dalam risalahnya kepada penduduk Al Ahsaa: “Sesungguhnya orang itu
tidak sah keislaman dan keimanannya kecuali dengan mengetahui (makna)
tauhid ini, menerimanya, mencintainya dan mendakwahkannya, serta dicari
dalil-dalinya dan memahaminya secara pemikiran, ucapan, pencarian dan
penuh keinginan.”
Dan hal itu telah dijelaskan dengan
sejelas-jelasnya oleh Al Qur’an, dan ia menjamin kebahagiaan dan
kemenangan bagi orang yang menegakkannya, mendakwahkannya serta sabar di
atasnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا وَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٥)
“Dan (aku telah diperintah):
“Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah
kamu Termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yunus: 105)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا
وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ
إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا
تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ
اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu
tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama
yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya.” (Asy Syuura: 13)
Firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “Tegakkanlah agama…”
Adalah perintah yang umum (luas), dan ini telah dikutip oleh Al Hafidh
Ibnu Katsir dalam uraian yang lalu pada ucapan beliau: Dan tidak kuasa
untuk menampakkan diennya.
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ
الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah
dengan masa, yaitu zaman atau waktu, atas ruginya seluruh macam manusia
kecuali orang yang Dia kecualikan, dan mereka itu adalah orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya
mentaati kebenaran dengan cara mendakwahkannnya dan sabar atas
penindasan di dalamnya. Ini adalah pokok segala pokok, dan ia adalah
jalan Rasulullah, sedangkan shalat dan ibadah-ibadah lainnya adalah
cabang-cabangnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ
إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan
yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia;
ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya Kami berlepas
diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan
dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja.” (Al Mumtahanah: 4)
Di dalam ayat ini penunjukkan yang paling agung terhadap tingkatan-tingkatan idhharud dien yang paling tinggi, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan
hukum yang menyeluruh ini, dan Dia menguatkan kedudukkan yang sangat
agung ini, yaitu kedudukan bersuri-tauladan terhadap para nabi dan para
rasul seraya Dia mengungkapkan-nya dengan bentuk fi’il madly (kata kerja lampau) dan dengan gad tahqiiqiyyah yang menunjukkan akan keharusan dan keberlangsungannya yang harus terus-menerus atas manusia, serta Dia mensifatinya dengan al hasan (yang baik), sedangkan kebalikan al hasan adalah al qabiih (yang buruk), dan Dia menghilangkan klaim permusuhan dengan ungkapan-Nya: (“…dan orang-orang yang bersama dengan dia…”) dalam rangka pemberian dorongan untuk selalu beserta para auliya-Nya.
Bersambung….
[1]
Bahkan di negeri-negeri yang dihuni kaum muslimin pada masa sekarang
sungguh kemusyrikannya telah nampak jelas lagi beraneka ragam, seperti:
Tumbal, permohonan terhadap yang sudah mati, demokrasi (penyandaran
hukum kepada selain Allah), serta yang lainnya, bahkan syirik demokrasi
ini diterapkan dengan perlindungan besi dan api. Orang-orang
tergila-gila dengannya, dan berlomba-lomba untuk mengusungnya dan
bersaing untuk menjadi thagut dan arbab. Semoga Allah membinasakan
orang-orang kafir dan kaum musyrikin seluruhnya… (Pent).
[2]
Maksudnya adalah bahwa negeri itu dahulunya adalah negeri Islam, akan
tetapi ketika penduduknya murtad atau sistemnya kafir, maka statusnya
berubah. Ya dari sisi kepemilikan itu adalah negeri milik kaum muslimin
yang dirampas oleh orang-orang kafir, yang wajib diambil kembali oleh
kaum muslimin. Pent.
[3]
Negeri yang dahulunya dikuasai oleh kaum Muslimin itu asalnya adalah
negeri Islam, tapi tatkala dikuasai oleh orang-orang kafir atau murtad,
maka statusnya berubah menjadi negeri kafir, contohnya seperti Mesir,
dahulu adalah negeri Islam setelah di taklukkan oleh ‘Amr Ibnul Ashpada
masa Umar Ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhuma, akan tetapi
saat negeri itu dikuasaidan diperintah oleh Banu ‘Ubaid Al Qadaah (baca:
daulah Fathimiyyah) maka para ‘ulama ijma’ bahwa negeri Mesir adalah
negeri kafir harbiy yang wajib diperangi dan direbut lagi, padahal
mayoritas penduduknya Muslim. Silahkan lihat risalah Syaikh Muhammad
Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah kepada Ahmad Ibnu Abdil Karim dalam tarikh Nejed. Pent.
[4]
Ibadah yang sama dilakukan oleh orang musyrik adalah seperti sekedar
mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, zakat, shaum, haji, adzan,
datang ke masjid, taklim dan yang lainnya. Jadi orang yang mengatakan
bahwa idhharud dien adalah bebas untuk shalat, taklim, datang ke masjid… maka sungguh dia itu adalah orang yang jahil akan isi dakwah Islamiyyah serta perjalanan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam serta
salaf dalam menyampaikan dakwah tauhid ini. Di Mekkah di awal pertama
dakwah apakah sudah ada kewajiban shalat, zakat, shaum, haji, adzan???
Tapi kenapa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dicekik
dan dilempari, Bilal disiksa, ‘Ammar disiksa, Khabbab dianiaya,
Sumayyah dan Yasir dibunuh, serta yang lain hijrah ke Habasyah karena
tak tahan akan penindasan serta ingin leluasa menampakkan dien ini?
Apakah karena mereka mereka melakukan ibadah-ibadah itu atau karena
tauhid? Kalau tauhid itu hanya di hati tak ada bukti konkrit pengamalan
di lisan dan tindakan, mana mungkin ada penindasan seperti yang terjadi
dalam sejarah. (Pent).
[5] Sedangkan kaum musyrikin di negeri yang kita hidup di dalamnya adalah sangatlah banyak sekali, orang-orang musyrik quubuuriyyuun dan orang-orang musyrik dustuuriyyuun,
sehingga kita seolah susah dan terjepit ketika ingin menampakkan tauhid
ini, yaitu di antaranya mencela syirik kubur, tumbal, syirik demokrasi
dan para pengusungnya, membencinya dan memusuhi para pelakunya. Apakah
kita akan terus merasa betah dengan keadaan seperti ini wahai para
ikhwan???
Saya sadar akan hal ini dan saya ingin antum sekalian juga sadar akan realita sehingga kita bisa bersama-sama berbuat untuk menyelamatkan dien kita ini. Ya Allah… hilangkanlah dalam diri kami ini rasa berat akan keluarga dan dunia ini dalam rangka ingin mencapai apa yang Engkau ridlai… dan jadikanlah kami ini orang-orang yang tidak peduli dengan celaan orang-orang yang mencela, bila apa yang kami tempuh ini adalah ridla-Mu, Ya Allah… (Pent).
Saya sadar akan hal ini dan saya ingin antum sekalian juga sadar akan realita sehingga kita bisa bersama-sama berbuat untuk menyelamatkan dien kita ini. Ya Allah… hilangkanlah dalam diri kami ini rasa berat akan keluarga dan dunia ini dalam rangka ingin mencapai apa yang Engkau ridlai… dan jadikanlah kami ini orang-orang yang tidak peduli dengan celaan orang-orang yang mencela, bila apa yang kami tempuh ini adalah ridla-Mu, Ya Allah… (Pent).
[6] Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata:
Tidak ada perbedaan bahwa tauhid itu harus dengan hati, lisan dan
amalan. Bila salah satu dari hal ini tidak ada maka orang itu bukanlah
sebagai muslim. Bila dia mengetahui tauhid tapi tidak mengamalkannya,
maka dia itu adalah kafir mu’aanid seperti Fir’aun, Ibisdan yang serupa
dengannya… Bila dia mengamalkan tauhid secara amal dhahir sedangkan dia
tidak memahaminya dan tidak meyakininya dengan hatinya, maka dia itu munafiq, dan dia itu lebih jahat daripada kafir murni. (Kasysyfusyubhaat, Majmu’ah At Tauhid 70).
Beliau berkata juga: Dan sekedar mengucapkan dua kalimah syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya, maka orang itu tidak menjadi muslim dengannya, bahkan justeru menjadi hujjah bagi Ibnu Adam. (lihat Minhajut Ta’siis 60).
Oleh sebab itu bila ada orang mengucapkan kalimat kekaffiran dan kemusyrikan, maka dia itu kafir meskipun ia di dalam hatinya meyakini itu bathil dan membenci apa yang ia ucapkan itu. Seperti orang yang sedia untuk setia dan patuh kepada pancasila dan UUD 45 secara lisan saja tetapi hatinya tidak suka dengan pancasila itu dan dia sebenarnya tidak akan patuh di masa mendatang, tapi ini ia ucapkan dalam rangka thaghut senang, atau supaya diterima menjadi pegawai thaghut, atau supaya urusan lancar, maka ia itu kafir. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Kedelapan belas: Sesungguhnya mengucapkan satu saja kata kemusyrikan, maka tidak disyaratkan dalam kekafiran orang yang mengucapkan kalimat itu adanya keyakinan hati dan tidak pula (disyaratkan) senangnya dia akan kemusyrikan itu. Kesembilan belas: Sesungguhnya orang yang mengucapkannya itu tidak diudzur meskipun dia bertujuan (dengan pengucapan kalimat itu) untuk mencapai tujuan yang sangat penting. (Ad Durar As Saniyyah 13/93). Ini dikarenakan segala tujuan dan maslahat tidak ada artinya bila dibandingkan dengan maslahat tauhid. Ketahuilah sesungguhnya tidak ada maslahat yang lebih tinggi dari tauhid dan tidak ada mafsadah yang lebih tinggi daripada kemusyrikan dan kekafiran. (Pent).
Beliau berkata juga: Dan sekedar mengucapkan dua kalimah syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya, maka orang itu tidak menjadi muslim dengannya, bahkan justeru menjadi hujjah bagi Ibnu Adam. (lihat Minhajut Ta’siis 60).
Oleh sebab itu bila ada orang mengucapkan kalimat kekaffiran dan kemusyrikan, maka dia itu kafir meskipun ia di dalam hatinya meyakini itu bathil dan membenci apa yang ia ucapkan itu. Seperti orang yang sedia untuk setia dan patuh kepada pancasila dan UUD 45 secara lisan saja tetapi hatinya tidak suka dengan pancasila itu dan dia sebenarnya tidak akan patuh di masa mendatang, tapi ini ia ucapkan dalam rangka thaghut senang, atau supaya diterima menjadi pegawai thaghut, atau supaya urusan lancar, maka ia itu kafir. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Kedelapan belas: Sesungguhnya mengucapkan satu saja kata kemusyrikan, maka tidak disyaratkan dalam kekafiran orang yang mengucapkan kalimat itu adanya keyakinan hati dan tidak pula (disyaratkan) senangnya dia akan kemusyrikan itu. Kesembilan belas: Sesungguhnya orang yang mengucapkannya itu tidak diudzur meskipun dia bertujuan (dengan pengucapan kalimat itu) untuk mencapai tujuan yang sangat penting. (Ad Durar As Saniyyah 13/93). Ini dikarenakan segala tujuan dan maslahat tidak ada artinya bila dibandingkan dengan maslahat tauhid. Ketahuilah sesungguhnya tidak ada maslahat yang lebih tinggi dari tauhid dan tidak ada mafsadah yang lebih tinggi daripada kemusyrikan dan kekafiran. (Pent).
Adapun tendanya adalah sungguh seperti tenda-tenda mereka
BalasHapusDan saya melihat wanita desa sekarang adalah bukan seperti wanitanya dahulu
Mohon dijelaskan artinya