Habib Munzir berkata :
“Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta
pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di
vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam,
pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya
adalah hal yg diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan
diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia
masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata,
karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka
kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat
kecuali dengan izin Allah swt, ketika seseorang berkata bahwa orang
mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat,
maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena
menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah
mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan
kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.
Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya dokter lah yang bisa
menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain dokter, maka
ia telah membatasi Kodrat Allah swt untuk memberikan kesembuhan, yang
bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari petani, atau bahkan
sembuh dengan sendirinya.” (Kenalilah Aqidahmu 2 hal 75-76)
Habib Munzir juga berkata :
“Kesimpulannya saudaraku, meminta pada para wali Allah swt tidak syirik, apakah ia masih hidup atau telah wafat,
karena kita tak meminta pada diri orang itu, kita meminta padanya
karena keshalihannya, karena ia ulama, karena ia orang yg dicintai Allah
maka hal ini tidak terlarang dalam syariah dg dalil yg jelas. (Silahkan
lihat di
http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=25356&catid=7)
Dari perkataan Habib Munzir di atas bisa ditarik beberapa kesimpulan:
Pertama : Habib Munzir menyatakan bahwa ada
sekelompok muslimin yang menghukumi bahwa hanya sekedar memanggil nama
seseorang untuk meminta pertolongannya secara mutlak adalah
kesyirikan??, tanpa membedakan apakah itu istighatsah kepada orang yang
masih hidup atau yang sudah meninggal. Bahkan Habib Munzir juga memvonis
mereka dengan dangkalnya pemahaman terhadap Islam.
Kedua : Habib Munzir menyatakan bahwa
meminta dan beristighootsah kepada mayat yang sholeh merupakan sebab
yang diperbolehkan dalam mendatangkan kemanfaatan
Ketiga: Pernyataan Habib Munzir bahwa: ” karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata,” Bahkan orang seperti ini menurut Habib Munzir dikhawatirkan terjerumus dalam kekufuran
Keempat: Sehingga Habib Munzir berkesimpulan bolehnya beristighootsah kepada mayat dengan meyakini bahwa mayat hanyalah sekedar sebab, akan tetapi datangnya kemanfaatan dan tertoloaknya mudhorot semuanya berasal dari Allah
Kelima : Habib Munzir mempersyaratkan bahwa
mayat yang boleh diistighotsahi adalah mayat seorang mukmin yang shalih
yang diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah, tak pula terikat ia
masih hidup atau telah wafat.
SANGGAHAN
Adapun sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan Habib Munzir ini maka sebagai berikut :
PERTAMA : Pernyataan Habib Munzir : “Istighatsah
adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk
sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis
mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam“.
Di dalam pernyataannya ini Habib Munzir menyatakan bahwa ada
sekelompok muslimin yang menghukumi bahwa hanya sekedar memanggil nama
seseorang untuk meminta pertolongannya secara mutlak adalah
kesyirikan??, tanpa membedakan apakah itu istighatsah kepada orang yang
masih hidup atau yang sudah meninggal.
Bahkan Habib Munzir juga memvonis mereka dengan dangkalnya pemahaman terhadap Islam.
Sanggahan:
Sebagaimana telah lalu penjelasan saya
bahwa yang dimaksud dengan istighotsah adalah menyeru dengan disertai
permohonan pertolongan kepada seseorang untuk menghilangkan kesulitan
yang genting dan mendesak. Adapun hanya sekedar “memanggil nama” tanpa
disertai permohonan pertolongan maka hal ini tidak dinamakan dengan
istighotsah, baik secara bahasa Arab apalagi secara syari’at. Maka
benarlah perkataan Habib Munzir bahwasanya kelompok yang menganggap
“sekedar memanggil nama adalah syirik” merupakan kelompok yang dangkal
ilmu agamanya. Akan tetapi…
Apakah ada kelompok yang seperti ini?? Kelompok apakah itu?? Dalam
kitab apa perkataan mereka itu..?? ataukah ini hanyalah khayalan Habib
Munzir saja??
Namun jika yang dimaksud dengan kelompok tersebut adalah
kelompok yang mengharamkan beristighotsah (memanggil nama mayat) untuk
menghilangkan kesulitan maka tentu kelompok ini bukanlah kelompok yang
dangkal ilmu agamanya –sebagaimana vonis Habib Munzir kepada mereka-.
Justru mereka adalah kelompok yang berjuang membela tauhid…agar doa
seluruhnya hanyalah untuk Allah semata. Maka siapakah yang dangkal ilmu
agamanya..? yang tertuduh ataukah yang menuduh..???!!
KEDUA : Pernyataan Habib Munzir : “Ketika seseorang
berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa
memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena
menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah
mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Habib Munzir memandang bahwa
beristighotsah kepada mayat yang sholeh merupakan sebab yang
diperbolehkan dalam mendatangkan kemanfaatan.
Sanggahan :
Semua orang sepakat tentang sebab yang menimbulkan akibat. Tidak ada
yang mengingkari bahwa makanan merupakan sebab yang mengakibatkan
kenyang, dokter merupakan sebab yang mengakibatkan kesembuhan, dan
seorang muslim meyakini bahwa yang menentukan akibat adalah Allah
pencipta sebab dan akibat.
Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak semua sebab yang menimbulkan akibat maka otomatis disyari’atkan untuk dikerjakan.
Sebagai contoh Allah mengharamkan perkara-perkara yang memiliki
kemaslahatan akan tetapi kemudhorotannya lebih banyak, seperti bir.
Dengan bir terkadang menyebabkan tercapai beberapa maslahat, akan tetapi
diharamkan oleh Allah. Terkadang beberapa makanan yang haram dimakan
bisa digunakan untuk menjadi obat, akan tetapi hukumnya haram. Daging
babi merupakan sebab yang menimbulkan rasa kenyang, akan tetapi daging
babi diharamkan. Dukun merupakan sebab kesembuhan banyak penyakit
–bahkan telah banyak terbukti- akan tetapi mendatangi dukun diharamkan
oleh syari’at apalagi sampai mempercayai dukun. Bisa jadi masuk ke dalam
agama nashrani merupakan sebab mendapatkan banyaknya harta.
Kita semua tahu bahwa malaikat telah diberi kekuasaan oleh Allah
untuk mengatur beberapa bagian dari alam ini, ada malaikat yang mengatur
awan, ada malaikat yang mengatur angin dll, akan tetapi kita tidak
boleh berdoa meminta hujan kepada malaikat.
Kita semua juga tahu bahwasanya jin juga memiliki kekuatan dan
kemampuan, dan secara logika jin yang kuat bisa mengalahkan dan
menundukkan jin yang lemah, akan tetapi kita dilarang untuk meminta
bantuan jin yang kuat agar melindungi kita dari jin yang lemah. Allah
berfirman :
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا (٦)
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia
meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka
jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS Al-Jin : 6)
Ibnu Katsir As-Syafi’i berkata :
“Dan firman Allah ((Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di
antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara
jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan))
yaitu : Kami (*para jin) memandang bahwa kami memiliki jasa terhadap
manusia, karena mereka pernah meminta perlindungan kepada kami. Yaitu
jika mereka berhenti di sebuah lembah atau sebuah tempat yang terasa
asing (*angker/menakutkan) di padang atau yang lainnya, sebagaimana
kebiasaan orang-orang Arab di zaman jahiliyah mereka berlindung kepada
penguasa tempat tersebut agar mereka tidak diganggu jin sehingga
tertimpa sesuatu yang mereka benci, sebagaimana jika salah seorang dari
mereka masuk ke negara musuhnya di bawah perlindungan dan penjagaan
seorang pembesar. Maka tatkala para jin melihat bahwasanya manusia
berlindung kepada mereka karena ketakutan terhadap mereka ((Para Jin
semakin menambahkan kepada manusia dosa)) yaitu menambah rasa takut
kepada mereka, agar manusia semakin takut kepada para jin dan semakin
berlindung kepada para jin” (Tafsir Ibnu Katsiir 14/148)
Ibnu Katsir juga menyebutkan riwayat dari jalan Ibnu Abi Hatim dari Kardam bin Abi As-Saaib Al-Anshooriy ia berkata :
“Aku bersama ayahku keluar dari kota Madinah karena ada keperluan –dan
tatkala itu pertama kali disebut tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam di Mekah-. Maka kamipun bermalam di salah seorang penggembala
kambing. Tatkala tengah malam, datanglah seekor serigala dan mengambil
seekor anak kambing, maka sang penggembala kambingpun terjaga dan
berkata, “Wahai penghuni lembah, (*kami butuh) perlindunganmu !!”. Maka
berserulah seorang penyeru –dan kami tidak melihatnya- seraya berkata :
“Wahai Sarhaan lepaskanlah (*anak kambing tersebut) !!”. Maka datanglah
anak kambing tersebut segera masuk dalam kawanan kambing, ia sama sekali
tidak terluka apapun. Dan Allah menurunkan kepada Rasulullah di Mekah
firmanNya ((Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara
manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin,
Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan))” (Tafsir Ibnu Katsir 14/149)
Tatkala menafsirkan firman Allah
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ
اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ
رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي
أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا
شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ (١٢٨)
Dan (ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): “Hai
golongan jin, Sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia”, lalu
berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia: “Ya Tuhan Kami,
Sesungguhnya sebahagian daripada Kami telah dapat kesenangan dari
sebahagian (yang lain) dan Kami telah sampai kepada waktu yang telah
Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman: “Neraka Itulah tempat diam
kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki
(yang lain)”. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui. (QS Al-An’aam : 128)
Ibnu Jariir At-Thobari berkata ;
“Adapun manusia mendapat kesenangan dengan para jin, maka sebagaimana
yang dikabarkan….dari Ibnu Juraij ia berkata :… Dahulu seseorang di
zaman jahiliyah menempati sebuah tempat (*lembah) kemudian ia berkata :
“Aku berlindung kepada pembesar lembah ini”, maka inilah bentuk
bersenang-senangnya manusia dengan para jin” (Tafsir At-Thobari 12/116)
Al-Qurthubiy berkata :
“Dan dikatakan bahwasanya seseorang tatkala bersafar jika melewati
sebuah lembah dan khawatir akan keselamatannya maka ia berkata, “Aku
berlindung kepada penguasa lembah ini dari segala yang aku khawatirkan”.
Dan dalam Al-Qur’an ((Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di
antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara
jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan)), maka
inilah bentuk bersenang-senangnya manusia dengan jin…
Dan dikatakan : Bahwa bersenang-senangnya jin dengan manusia yaitu
manusia mengakui bahwasanya para jin mampu untuk menolak apa yang mereka
khawatirkan” (Tafsiir Al-Qurthubi 9/28)
Kesimpulannya : Kita hanya bisa menjalankan suatu sebab jika memenuhi dua persyaratan :
- Sebab tersebut benar-benar menimbulkan akibat secara kasat mata, seperti obat sebab kesembuhan
- Sebab tersebut harus dibenarkan oleh syari’at (ada dalil yang membolehkan untuk menempuh sebab tersebut)
Lantas kita bertanya kepada Habib Munzir…mana dalilnya bahwa meminta
kepada penghuni kuburan merupakan sebab diangkatnya bencana dan
dipenuhinya kebutuhan???, adakah dalilnya baik dalil naqli maupun dalil
‘aqli (akal)??!!
Jika secara dalil ‘akal ternyata memang penghuni kubur bisa menolong
maka kita masih butuh dalil yang lain yang menunjukkan bolehnya atau
disyari’atkannya meminta tolong kepada penghuni kuburan, maka apakah ada
dalilnya ??!! Apakah ada ayat al-Qur’an..? ataukah hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam?, ataukah amal perbuatan para sahabat??.
Bisa dipastikan tidak akan pernah kita dapatkan dalil yang
shahih dan jelas yang menunjukkan bahwa diperbolehkan untuk meminta
tolong atau istighatsah kepada mayat yang sudah dikubur, apalagi dalil
yang menganjurkan!!!
Kalaupun ada dalil, maka dalilnya tidak keluar dari beberapa keadaan berikut:
- dalilnya ada dan shahih tetapi keliru memahaminya, hal ini karena
tidak bersandarkan dengan pemahaman para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
- dalilnya ada tetapi tidak shahih, maka dalam permasalahan akidah
sebuah perbuatan tercela jika bergantung dengan dalil yang tidak shahih.
Bagaimana bisa dijadikan sebuah keyakinan sebuah perkara yang didasari
dengan hadits tidak shahih. Dan ini kebanyakan yang terjadi wallahul
musta’an.
- dalilnya tidak ada.
KETIGA: Pernyataan Habib Munzir bahwa: ”karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Habib Munzir memvonis kepada
orang yang melarang meminta kepada orang mati telah terjerumus “dalam
kemusyrikan yang nyata”.
Sanggahan :
Ini merupakan pernyataan yang aneh dan nekat. Aneh karena menyamakan
antara kehidupan dan kematian…dan sekaligus pernyataan yang nekat karena
nekat dan memaksa menghukum orang yang membedakan antara kehidupan dan
kematian telah terjerumus dalam kesyirikan. Bukan hanya
kesyirikan..bahkan kesyirikan yang nyata !!!. jika perkaranya demikian
maka terlalu banyak orang yang membedakan antara orang hidup dengan
orang mati…maka apakah mereka semua terjerumus dalam kesyirikan yang
nyata?..terjerumus dalam kekufuran..??!!
Sesungguhnya dalil-dalil baik dalil ayat dan hadits juga dalil akal
serta sikap salaf bertentangan dengan pernyataan Habib Munzir ini.
Pertama : Allah membedakan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati.
Allah berfirman :
وَمَا يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ (١٩)وَلا الظُّلُمَاتُ وَلا
النُّورُ (٢٠)وَلا الظِّلُّ وَلا الْحَرُورُ (٢١)وَمَا يَسْتَوِي
الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا
أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)إِنْ أَنْتَ إِلا نَذِيرٌ (٢٣)
Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan
tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang
teduh dengan yang panas, dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.
Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang
didalam kubur dapat mendengar, kamu tidak lain hanyalah seorang pemberi
peringatan (QS Faathir : 19-23)
Ibnu Katsiir Asy-Syafii berkata ;
“Allah berkata : Sebagaimana tidaklah sama antara perkara-perkara yang
berbeda ini, seperti orang buta dan orang yang melihat keduanya tidak
sama, bahkan antara keduanya terdapat perbedaan yang banyak, dan
sebagaimana tidak sama antara gelap gulita dan cahaya, dan antara teduh
dengan panas, maka demikian pula tidak sama antara orang yang hidup dengan mayat-mayat.
Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allah bagi kaum mukminin
seperti orang-orang yang hidup, dan perumpamaan orang-orang kafir
seperti mayat-mayat, sebagaimana firman Allah
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا
يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ
بِخَارِجٍ مِنْهَا
Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
dari padanya? (QS Al-An’aam : 122)
Dan Allah berfirman :
مَثَلُ الْفَرِيقَيْنِ كَالأعْمَى وَالأصَمِّ وَالْبَصِيرِ وَالسَّمِيعِ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا
Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan
orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat
melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama Keadaan dan
sifatnya?. (QS Huud : 24)” (Tafsir Al-Qur’aan al-’Adziim 11/317)
Orang yang menyamakan antara orang mati dan orang hidup sama dengan
orang yang menyamakan antara orang melihat dan mendengar dengan orang
buta dan tuli !!.
Kedua : Seseorang jika telah jadi mayat
maka telah berubah banyak hukum-hukum yang berlaku padanya tatkala masa
hidupnya, diantaranya hartanya jadi milik ahli warisnya, istri-istrinya
boleh dinikahi oleh orang lain, sang mayat tidak lagi wajib untuk
menafkahi anak-anaknya, demikian juga amalan ibadahnya terputus kecuali
dari tiga perkara (sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih), dan
lain-lain. Inilah yang berlaku pada seluruh mayat, termasuk mayat para
wali dan sholihin. Akan tetapi berbeda dengan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka istri-istri beliau tidak boleh dinikahi setelah wafat
beliau karena istri-istri beliau adalah ummahaatul mukminin dan juga
istri-istri beliau di dunia akan menjadi istri-istri beliau di surga
kelak. Demikian halnya pula dengan harta warisan yang ditinggalkan Nabi
maka tidak diwariskan kepada ahli waris beliau akan tetapi menjadi
sedekah sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ketiga : Tentunya semua orang berakal
mengetahui perbedaan antara orang yang masih hidup dan orang yang sudah
mati dari sisi memberi manfaat dan mudhorot. Karena perbedaan antara
orang hidup dan orang mati sangat jelas seperti matahari di siang
bolong.
Mayat yang telah mati tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa memberi
manfaat apalagi memberi mudhorot…jangankan untuk menyembuhkan penyakit
orang lain, untuk di bawa ke kuburannya saja ia harus diangkat oleh
orang lain, dan sebelumnya harus dimandikan dan dikafankan serta
disholatkan oleh orang lain. Ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Keempat : Para sahabat betapa sering
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa kehidupan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka meminta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan
mereka dan agar Nabi beristghfar bagi mereka. Jika mereka menghadapi
kondisi yang genting maka mereka meminta pertolongan Nabi dan
beristighotsah kepada Nabi, karena Nabi adalah orang yang paling sayang
dan rahmat kepada umatnya.
Lantas setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat kenapa semua
hal ini berhenti mereka lakukan…??? Mereka tidak lagi mendatangi kuburan
Nabi untuk meminta doa Nabi…?, untuk memohon agar Nabi beristghfar bagi
mereka…?? Tidak lagi beristighootsah kepada Nabi…?? Kenapa semua ini
berhenti tatkala Nabi wafat???!!
Apakah sebabnya karena mereka meyakini bahwa kedudukan Nabi setelah
wafat menjadi berkurang..???, apakah mereka meyakini bahwa rasa rahmat
dan kasih sayang Nabi kepada mereka hilang…??? Jawabannya : Tentu Tidak,
akan tetapi mereka meninggalkan semua itu karena mereka sangat paham
bahwasanya hal ini bertentangan dengan tauhid yang telah diajarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhoi para sahabat.
Kelima : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menganjurkan kepada Umar untuk meminta Uwais Al-Qoroni (dari kalangan
tabi’in) untuk beristighfar buat Umar
Karenanya Umar bin Al-Khottob setelah wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beliau tidak pergi ke kuburan Nabi untuk meminta Nabi
mendoakan beliau akan tetapi malah mencari-cari Uwais Al-Qoroni untuk
minta didoakan. Kenapa bisa demikian..?? karena Umar tahu perbedaan
antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup.
Keenam : Tatkala terjadi musim kemarau di zaman Umar
maka Umarpun meminta Abbas untuk berdoa agar Allah menurunkan hujan.
Padahal kita tahu bahwasanya kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam setelah wafat tetap tinggi di sisi Allah dan tidak bisa
dibandingkan dengan kedudukan Abbas. Akan tetapi kenapa Umar tidak
berdoa atau beristighotsah di kuburan Nabi…??, malah meminta doa kepada
Abbas bin Abdil Muththolib??. Jawabannya karena Umar tahu perbedaan
antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup !!
Ketujuh : Setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam terkadang timbul perselisihan diantara para sahabat, bahkan
terkadang perselisihan tersebut sangatlah sengit, akan tetapi tidak
seorangpun dari sahabat kemudian datang ke kuburan Nabi lantas
menjelaskan permasalahan kepada Nabi agar Nabi shallallahu ‘alaihi
memberi solusi dalam permasalahan atau pertikaian yang sendang mereka
hadapi
Kedelapan : Setelah wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, para sahabat menghadapi banyak
permasalahan-permasalahan yang baru yang dimana mereka sangat
membutuhkan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi
tidak seorangpun dari para sahabat kemudian mendatangi kuburan Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam untuk meminta bimbingan dan fatwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi permasalahan-permasalahan
tersebut.
Kesembilan : Habib Ali bin Al-Husain (cucu Ali bin
Abi Tholib radhiallahu ‘anhu) telah menegur seseorang yang sengaja untuk
berdoa kepada Allah di kuburan Habiibunaa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam mushonnafnya.
أن علي بن الحُسين رضي الله عنه رأى رجلاً يأتي فرجة كانت عند قبر النبي
صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو ، فنهاه وقال: ((ألا أحدثكم حديثاً
سمعته من أبي عن جدي-يعني علي بن أبي طال رضي الله عنه- عن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال: لا تتخذوا قبري عيداً ولا تجعلوا بيوتكم قبوراً وسلموا
على فإن تسليمكم يبلغني أينما كنتم((
Bahwasanya Ali bin Al-Husain –radhiallahu ‘anhu- melihat seseorang
yang mendatangi sebuah celah yang ada di kuburan Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- maka orang itupun masuk ke dalam celah tersebut dan berdoa.
Maka Ali bin Al-Husain pun melarang orang ini dan berkata, “Maukah aku
kabarkan kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku (Al-Husain)
dari kakekku (yaitu Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu) dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Janganlah
kalian menjadikan kuburanku sebagi ‘ied, dan janganlah kalian
menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan hendakanya kalian
memberi salam kepadaku, karena sesungguhnya salam kalian akan sampai
kepadaku dimanapun kalian berada” (HR Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushonnafnya 5/178 no 7625. Hadits ini dikatakan oleh As-Sakhoowi
dalam Al-Qoul Al-Badii’ hal 161 : Hadits hasan. Muhammad ‘Awwamah
pentahqiq Musonnaf Ibni abi Syaibah 5/178 : Secara umum haditsnya kuat
shahih lighoirihi)
Inilah nasehat seorang Habib sejati yang paling paham tentang perkataan Habiibunaa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika berdoa kepada Allah saja di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak dianjurkan, maka terlebih lagi beristighotsah (meminta
pertolongan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam???!! Maukah Habib
Munzir menerima nasihat yang disampaikan oleh para habib ini??
Kesepuluh : Tidak seorang muslimpun yang ragu
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sekarang hidup di alam
Barzakh dengan kehidupan yang baik bahkan lebih baik dari kehidupan para
syuhadaa’ di alam barzakh. Akan tetapi tentu kita tidak boleh
menyatakan bahwa kehidupan alam barzakh sama dengan kehidupan di dunia
dengan alasan-alasan berkiut ini
- Kesembilan poin sebelumnya menunjukkan akan adanya
perbedaan antara orang hidup dan orang mati (yang hidup di alam
barazakh)
- Kita tidak tahu bagaimana sebenarnya hakekat kehidupan alam
barzakh, sebaliknya kita sangat tahu bagaimana kehidupan di dunia.
Karenanya bagaimana bisa kita mengqiaskan antara kehidupan dunia dengan
kehidupan alam barzakh, antara sesuatu yang kita tidak tahu hakekatnya
dengan sesuatu yang kita tahu hakekatnya??
- Meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di alam
barzakh, akan tetapi hal ini tidak melazimkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengetahui apa yang terjadi di dunia, apalagi sampai memenuhi
kebutuhan orang-orang yang beristighotsah kepada beliau. Sebagai bukti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
وَإِنَّهُ يُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ
الشِّمَالِ فَأَقُوْلُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالَ : إِنَّكَ لاَ
تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ، فَأَقُوْلُ كَمَا قَالَ الْعَبْدُ
الصَّالِحُ { وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًا مَا دُمْتَ فِيْهِمْ فَلَمَّا
تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلَّ
شَيْءٍ شَهِيْدٌ }
“Sungguh akan didatangkan beberapa orang dari umatku, lalu mereka
dibawa ke arah kiri, maka aku berkata, “Wahai Robku, mereka adalah
sahabatku”, maka dikatakan : “Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang
telah mereka perbuat setelahmu”, maka aku berkata sebagaimana perkataan
hamba yang sholeh (*Nabi Isa ‘alaihis salaam) :
وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا
تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدٌ
Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada
di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang
mengawasi mereka. dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu
(QS Al-Maaidah : 117)” (HR Al-Bukhari no 4652 dan 4740).
Para pembaca yang budiman lihatlah dua Nabi yang sangat mulia ini,
Nabi Muhammad dan Nabi Isa ‘alaihimas salaam yang keduanya tidak
mengetahui apa yang dilakukan oleh umatnya setelah mereka berdua
diwafatkan oleh Allah. Jika kedua Nabi ini saja tidak tahu apalagi hanya
sekedar para wali yang jauh kedudukannya di bawah para nabi.
KEEMPAT: Pernyataan Habib Munzir “Karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt”
Sehingga Habib Munzir berkesimpulan bolehnya beristighootsah kepada
mayat dengan meyakini bahwa mayat hanyalah sekedar sebab, akan tetapi
datangnya kemanfaatan dan tertoloaknya mudhorot semuanya berasal dari
Allah.
Sanggahan :
Para pembaca yang budiman… inilah hakekat keysirikan kaum muysrikin
Arab dahulu, merekapun tatkala meminta kepada sesembahan-sesembahan
mereka dari kalangan orang-orang sholih mereka tidak meyakini bahwasanya
sesembahan-sesembahan mereka ikut mengatur alam semesta. Justru mereka
mengakui bahwasanya yang mengatur alam semesta hanyalah Allah saja,
adapun sesembahan-sesembahan mereka hanyalah sebab, dan adapun akibat
hanyalah dari Allah semata.
KELIMA : Pernyataan Habib Munzir : “Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yg diperbolehkan
selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai
manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah
wafat”
Dalam pernyataan ini Habib Munzir mempersyaratkan bahwa mayat yang
boleh diistighotsahi adalah mayat seorang mukmin yang shalih yang
diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah, tak pula terikat ia masih
hidup atau telah wafat.
Sanggahan:
Sebelum menyanggah pernyataan ini saya mengajak Habib Munzir untuk berfikir tentang berikut ini :
Jika kita memiliki tetangga seorang polisi muslim akan tetapi tukang
korupsi, lalu dihadapkan rumah kita dimasuki perampok yang ingin
menciderai kita lantas kita beristighotsah kepada polisi tersebut sambil
memanggil namanya minta pertolongan agar bisa menangkap sang perampok
tentu Habib Munzir membolehkan hal ini. Karena sang polisi koruptor
tersebut masih hidup dan memiliki senjata sehingga mampu untuk menolong.
Sekarang saya ingin bertanya kepada Habib Munzir, kalau polisi tukang
korupsi ini telah meninggal kemudian di kubur, maka jika rumah kita
distroni perampok untuk yang kedua kali, maka apakah kita boleh
beristighotsah kepada mayat (ruh) polisi koruptor tersebut??!!
Tentunya Habib Munzir akan menjawab tidak boleh karena beliau
mempersyaratkan bahwa yang boleh diitighotsahi hanyalah seorang muslim
yang sholeh yang diyakini memiliki manzilah di sisi Allah. Maka saya
bertanya lagi kepada Habib Munzir :
- Bukankah Habib Munzir melarang membedakan antara kehidupan
dan kematian?, jika sang polisi boleh untuk diistighotsahi tatkala hidup
lantas kenapa tidak boleh jika telah wafat??
- Lantas bagaimana jika kasusnya ternyata sang polisi adalah
seorang kafir??, bukankah tatkala ia masih hidup kita boleh meminta
pertolongan kepadanya untuk menangkap sang perampok??. Jawabannya tentu
boleh dengan kesepakatan seluruh orang yang berakal. Lantas jika sang
polisi kafir tersebut telah meninggal apakah masih boleh bagi kita untuk
beristighootsah kepadanya tatkala rumah kita kemasukan perampok?. Tentu
Habib Munzir tidak membolehkannya, karena orang kafir tidak memiliki
manzilah di sisi Allah. Hal ini berarti Habib Munzir membedakan antara
kehidupan dan kematian, dengan demikian Habib Munzir telah membatalkan
apa yang ia tetapkan.
Adapun sanggahan terhadap pernyataan Habib Munzir ini, maka kita katakana bahwasanya persayaratan
yang dipasang oleh Habib Munzir –bahwasanya yang boleh ditujukan
istighotsah dan permintaan hanyalah orang-orang sholeh- maka inilah juga
persyaratan yang dipasang oleh sebagian kaum musyrikin Arab, mereka
juga berdoa dan meminta kepada orang-orang sholeh.
Karenanya kita dapati bahwasanya kaum musyrikin Arab yang diperangi
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdoa dan meminta
pertolongan kepada orang-orang sholeh. Hal ini ditunjukkan oleh
perkara-perkara berikut ini :
Pertama : Diantara sesembahan-sesembahan kaum musyrikin adalah orang-orang sholeh, bahkan para nabi.
Allah berfirman
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ
الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ
عَذَابَهُ (٥٧)
Orang-orang yang mereka doai itu, mereka sendiri
mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih
dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya
(QS Al-Isroo’ : 57).
Ibnu Jariir At-Thobari menyebutkan bahwasanya orang-orang yang kaum
musyrikin berdoa kepada mereka adalah orang-orang yang beriman kepada
Allah, bahkan berusaha untuk dekat kepada Allah. Hanya saja para ahli
tafsir memiliki beberapa pendapat tentang siapakah mereka tersebut yang
kaum musyrikin berdoa kepada mereka?. Ada tiga pendapat, ada yang
mengatakan bahwa mereka adalah para jin yang masuk Islam. Ada yang
berpendapat bahwasanya mereka adalah para malaikat, dan pendapat yang
ketiga mengatakan bahwasanya mereka adalah Uzair, nabi Isa, dan ibunya
(Maryam). Dan pendapat yang dipilih oleh At-Thobari adalah mereka adalah
para jin yang masuk Islam atau para malaikat. (Lihat Tafsiir At-Thobari
14/627-632)
Adapun Ibnu Abbas dan Mujahid mereka manafsirkan bahwa orang-orang
yang kaum musyrikin berdoa kepadanya adalah Isa ‘alaihis salaam, ibunya
(Maryam), dan Uzair, sebagaimana berikut ini :
“Dari Ibnu Abbaas, ia berkata, “Isa, Ibunya, dan Uzair”…
Dari Mujahid, ia berkata, “Isa bin Maryam, Uzair, dan Malaikat” (Tafsir At-Thobari 14/631)
Jadi beristighootsah (meminta pertolongan) kepada mayat orang sholeh
ternyata juga dilakukan oleh kaum musyrikin Arab, dimana mereka berdoa
kepada orang sholeh, jin sholeh, dan malaikat.
Kedua : Diantara sesembahan kaum musyrikin
Arab adalah patung-patung yang merupakan simbol dari orang-orang sholeh.
Seperti patung-patung orang-orang sholeh yang ada di zaman Nabi Nuh
yang kemudian disembah oleh kaum Quraisy, demikian juga patung Latta
yang juga merupakan patung orang sholeh.
Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbaas radhiallahu ‘anhumaa, ia berkata :
صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ
بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا
سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ
لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ
لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ
أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى
الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ
الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ
فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ
الْعِلْمُ عُبِدَتْ
“Patung-patung yang tadinya berada di kaum Nuh berpindah di kaum
Arab. Adapun Wadd menjadi (sesembahan-pen) kabilah Kalb di Daumatul
Jandal, dan adapun Suwaa’ berada di kabilah Hudzail. Adapun Yaguuts di
kabilah Murood kemudian berpindah di kabilah Guthoif di Jauf di Saba’.
Adapun Y’auuq berada di kabilah Hamdan. Adapun Nasr maka di kabilah
Himyar di suku Dzul Kilaa’. Mereka adalah nama-nama orang-orang sholeh
dari kaum Nuh. Tatkala mereka wafat maka syaitan membisikan kepada kaum
Nuh untuk membangun patung-patung di tempat-tempat yang biasanya mereka
bermajelis dan agar patung-patung tersebut diberi nama sesuai dengan
nama-nama mereka. Maka kaum Nuh melakukan bisikan syaitan tersebut, dan
patung-patung tersebut belum disembah. Hingga tatkala kaum yang
membangun patung-patung tersebut meninggal dan ilmu telah dilupakan maka
disembahlah patung-patung tersebut” (Shahih Al-Bukhari no 4920)
Ibnu Hajar berkata :
“Dan kisah orang-orang sholeh merupakan awal peribadatan kaum Nuh
terhadap patung-patung ini, kemudian mereka diikuti oleh orang-orang
setelah mereka atas peribadatan tersebut” (Fathul Baari 8/669)
Demikian juga “Laata” ia merupakan patung seorang sholeh yang
dahulunya suka bersedekah makanan untuk para jama’ah haji. Imam
Al-Bukhari meriwayatkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي قَوْلِهِ { اللَّاتَ
وَالْعُزَّى } كَانَ اللَّاتُ رَجُلًا يَلُتُّ سَوِيقَ الْحَاجِّ
“Dari Ibnu Abbaas radhiallahu ‘anhu tentang firman Allah ((Laat dan
Uzzah)) (ia berkata) : Laata dahulu adalah seorang yang membuat adonan
makanan haji” (HR Al-Bukhari no 4859)
Imam At-Thobari juga meriwayatkan dalam tafsirnya
“Dari Mujaahid, ia berkata : “Al-Laata dahulu membuat adonan makanan bagi mereka, lalu iapun meninggal, maka merekapun i’tikaaf (*diam dalam waktu yang lama-pen) di kuburannya maka merekapun menyembahnya” (Tafsiir At-Thobari 22/47)
Ketiga : Yang semakin menunjukkan
bahwasanya sesembahan kaum musyrikin adalah orang-orang sholeh yaitu
dengan mengamati tujuan mereka berbuat kesyirikan. Ternyata kesyirikan
yang dilakukan oleh kaum Quraisy intinya ada dua:
Pertama : Sesembahan-sesembahan tersebut sebagai perantara yang bisa
mendekatkan mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan yang bisa
menjadi perantara kepada Allah hanyalah orang-orang sholeh, para nabi
dan malaikat.
Hal ini sangatlah jelas ditunjukan oleh firman Allah subhaanahu wa ta’aala surat Az-Zumar ayat 3 dimana kaum musyrikin berkata
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya. (QS Az-Zumar : 3)
Tujuan kedua : Untuk memperoleh syafaat dari
sesembahan-sesembahan mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan
tidak bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali orang-orang sholeh,
para nabi dan malaikat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan,
dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada Kami di
sisi Allah” (QS Yunus : 18)
Kedua tujuan tersebut merupakan hal yang saling melazimi, artinya
mereka berdoa kepada patung-patung dan para malaikat adalah untuk
mendekatkan diri mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala dengan
memberi syafaat bagi mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala.
Bahkan dzohir dari ayat 3 dari surat Az-Zumar menunjukan tidak ada
tujuan lain dari peribadatan terhadap berhala kecuali tujuan ini. Oleh
karenanya Allah subhaanahu wa ta’aala menggunakan metode nafyi dan
itsbaat ((Tidaklah kami menyembah mereka kecuali untuk mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya))
ini adalah pembatasan tujuan, artinya tidak ada tujuan lain bagi mereka
selain ini. Atau meskipun ada tujuan lain bagi mereka selain ini, akan
tetapi inilah tujuan utama mereka. Oleh karenanya kita bisa katakan
bahwasanya hukum asal mereka menyembah berhala adalah untuk bertaqorrub
kepada Allah subhaanahu wa ta’aala hingga datang dalil yang lain yang
menunjukan tujuan lain.
Keempat : Manfaat yang kaum musyrikin
harapkan dari sesembahan mereka bukanlah karena mereka meyakini
bahwasanya sesembahan-sesembahan mereka tersebut ikut mengatur alam
semesta ini akan tetapi manfaat yang mereka harapkan adalah sekedar
manfaat syafaat. Ingatlah hal ini, karena hal ini merupakan inti
permasalahan. Fungsi para sesembahan tersebut adalah hanya sebagai
pemberi syafaat di sisi Allah, sebagaimana telah lalu
Ar-Roozi berkata tatkala menafsirakan firman Allah subhaanahu wa ta’aala surat Ar-Ro’d ayat 16:
“((Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat
menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa
menurut pandangan mereka?)), yaitu perkara-perkara ini
(sesembahan-sesembahan) yang disangka oleh mereka sebagai
syarikat-syarikat Allah subhaanahu wa ta’aala, tidaklah memiliki
penciptaan sebagaimana penciptaan Allah subhaanahu wa ta’aala hingga
bisa mereka katakan bahwasanya sesembahan-sesembahan tersebut
bersyarikat dengan Allah subhaanahu wa ta’aala dalam penciptaan,
sehingga wajib untuk bersyarikat dengan Allah subhaanahu wa ta’aala
dalam penyembahan. Bahkan kaum musyrikin mengetahui dengan jelas
sekali bahwasanya patung-patung tersebut tidak menimbulkan perbuatan
sama sekali, tidak ada penciptaan dan tidak ada pengaruh. Jika
perkaranya demikian maka menjadikan mereka sebagai syarikat bagi Allah
subhaanahu wa ta’aala dalam penyembahan merupakan murni kebodohan dan
kedunguan” (At-Tafsiir Al-Kabiir 19/33)
Maka jelaslah bahwasanya inilah hakekat kesyirikan kaum musyrikin
Arab yang mereka menjadikan sesembahan-sesembahan mereka (baik berhala
maupun para malaikat) hanyalah sebagai perantara yang mendekatkan mereka
kepada Allah subhaanahu wa ta’aala dan sebagai pemberi syafaat bagi
mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala dalam memenuhi hajat dan
kebutuhan mereka di dunia. Itulah tujuan mereka menyembah
sesembahan-sesembahan selain Allah subhaanahu wa ta’aala. Jadi mereka
sama sekali tidaklah meyakini bahwa sesembahan-sesembahan mereka
(termasuk para malaikat yang mereka sembah) juga memberi manfaat dan
mudhorot secara langsung. Inilah yang dipahami dari penjelasan Ibnu
Jarir At-Thobari, Al-Qurthubi, dan Ibnu Katsiir rahimahumullah.
Akan tetapi yang lebih berbahaya dari kesyirikan kaum musyrikin adalah jika seseorang meyakini
bahwa bolehnya beristighootsah kepada mayat karena mayat-mayat tersebut
memiliki kemampuan untuk mengatur sebagian hak-hak rububiyah Allah,
sebagaimana yang diyakini oleh sebagian sufi??
PENUTUP
Jika istighootsah kepada para mayat adalah baik dan sangat bermanfaat
kenapa tidak ada satu haditspun yang menganjurkan akan hal ini…. Kenapa
para sahabat tidak melakukan hal ini…. . bukankah seharusnya amalan
istighootsah kepada mayat merupakan syi’ar Islam jika memang
disyariatkan??, sebagaimana istighootsah kepada mayat merupakan syi’ar
dari kaum sufi… bahkan kaum sufi begitu marah jika ada orang
yang melarang beristighotsah kepada para wali..?? bahkan menghukumi
orang yang melarang sebagai orang yang musyrik atau kafir…??. Bukankah
ini merupakan bentuk memutar balikan fakta?? Tauhid menjadi syirik dan
syirik menjadi tauhid???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar