PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Rabu, 04 Juli 2012


KEMAKSIATAN TIDAK BERUBAH MENJADI MUBAH HANYA BERDASARKAN NIAT, AKAN TETAPI HARUS BERDASARKAN DALIL SYAR’I

Abdul qadir bin abdul aziz
Ketahuilah bahwa kemaksiatan itu tidak bisa menjadi mubah atau menjadi ibadah hanya berdasarkan niat, sebagaimana perkataan Abu Hamid Al-Ghozali yang telah lalu[1] Dan ketahuilah bahwasanya meskipun sebagian maksiat itu berubah menjadi mubah pada keadaan-keadaan tertentu namun hal itu harus berdasarkan dalil khusus yang memperbolehkannya dan bukan hanya sekedar dengan niat (untuk beribadah). Contohnya adalah:
A.    Dusta adalah haram dan termasuk dosa besar, akan tetapi bohong diperbolehkan pada tiga keadaan berdasarkan nash hadits Rosulullah SAW, dan bukan hanya sekedar berdasarkan niat. Keadaan-keadaan tersebut adalah keadaan perang, mendamaikan antara manusia dan antara suami istri, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dari Ummu Kultsum binti Uqbah ra.
B.     Makan bangkai adalah haram dan termasuk dosa besar, akan tetapi boleh dilakukan ketika dalam keadaan terpaksa karena kelaparan berdasarkan nash dalam Al-Qur’an, dan bukan berlandaskan niat. Alloh berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:173).
Dan dalil yang memperbolehkan makan bangkai ini membatasi rukhshoh (keringanan) pada keadaan tertentu saja sehingga tidak boleh dikiaskan pada yang lainnya.
Dan pelajaran ini saya sebutkan karena ada fatwa yang telah saya baca yang dikeluarkan oleh seorang syaikh kontemporer yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baaz yang memperbolehkan orang Islam untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen perundang-undangan di negara-negara yang menggunakan hukum ciptaan manusia dengan niat untuk berdakwah di parlemen dan semacamnya. Beliau berdalil dengan hadits: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat”. Disebutkan dalam majalah “Liwa’ul Islam” edisi 11 / 1409 H, hal. 8 pada lampiran, sebagai berikut: “Tidak apa-apa mendaftarkan diri dalam majlis parlemen”. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan seputar disyari’atkannya mencalonkan diri dalam majlis parlemen, dan hukum Islam dalam mengikuti pemilihan dengan niat memilih para da’I dan kawan-kawan yang taat beragama untuk masuk dalam majlis tersebut. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berfatwa: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Oleh karena itu tidak apa-apa mendaftarkan diri dalam majlis parlemen jika maksudnya adalah untuk mendukung kebenaran dan tidak menyetujui kebatilan karena yang demikian itu termasuk mendukung kebenaran dan bergabung dengan para da’i. Sebagaimana juga tidak mengapa mengikuti pemilu yang digunakan untuk memilih para da’i yang shohih dan untuk mendukung kebenaran dan para pejuangnya. Wallohu waliyut taufiq”.
Saya katakan: fatwa ini adalah salah, berdasarkan apa yang kami nukil dari Al-Ghozali di atas bahwa kemaksiatan itu tidak menjadi mubah hanya berdasarkan niat, sedangkan kekafiran itu adalah maksiat terbesar, dan mendaftarkan diri ke dalam majlis parlemen adalah kekafiran yang tidak akan menjadi mubah hanya berdasarkan niat. Majlis parlemen adalah sebuah sarana untuk melaksanakan sistem demokrasi, sehingga hukum ikut serta di dalamnya, seperti menjadi anggota atau mengikuti pemilihan dibangun di atas hukum demokrasi itu sendiri. Karena fatwa adalah memahami apa yang seharusnya dilakukan terhadap sebuah kenyataan (kejadian). Dengann demikian maka kami mulai dari penjelasan tentang hakekat demokrasi kemudian hukumnya dan hukum ikut serta dalam majelis-majelis semacam ini. Kami katakan dengan memohon petunjuk dari Alloh:

[1] – Abu Hamid Al-Ghozali berkata: “Ketahuilah bahwasanya perbuatan itu meskipun bermacam-macam dan banyak sekali seperti amalan, perkataan, gerakan, diam, usaha, menolak, berfikir, berdzikir dan lain-lain yang tidak terhitung, namun ia hanya tiga macam saja: yaitu kemaksiatan, ketaan (ibadah) dan mubahat (hal-hal yang diperbolehkan).
Bagian pertama: kemaksiatan. Kemaksiatan ini tidak akan pernah berubah status meskipun niatnya berbeda-beda. Maka dalam hal ini tidak layak orang bodoh memahami keumuman hadits yang berbunyi: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya”. Lalu ia menyangka bahwa maksiat itu bisa berubah menjadi ketaatan sesuai dengan niatnya. Sebagaimana orang yang melakukan ghibah terhadap orang lain untuk menjaga hati seseorang, atau memberi makan orang fakir dengan menggunakan harta orang lain atau membangun sekolahan atau masjid atau ribath dengan menggunakan harta haram. Ia bermaksud baik….
Ini semuanya adalah kebodohan. Niat tidak bisa merubah kedzoliman, permusuhan dan kemaksiatan. Bahkan maksud baik dalam perbuatan jeleknya – yang menyelisihi syari’at – merupakan bentuk kejahatan tersendiri. Jika ia mengetahuinya maka ia adalah pembangkang syari’at. Dan jika ia tidak mengetahuinya maka dia bermaksiat atas ketidak tahuannya, karena menuntut ilmu itu wajib terhadap setiap muslim, sedangkan kebaikan seluruhnya hanya dapat diketahui melalui syari’at. Bagaimana mungkin keburukan bisa berubah menjadi kebaikan? Bahkan orang yang mengembangkan pendapat semacam ini ia menyimpan syahwat dan menyembunyikan hawa nafsu – sampai beliau mengatakan – intinya adalah sesungguhnya orang yang bermaksud baik dengan berbuat maksiat, dan ia beralasan tidak tahu maka ia tidak diterima alasannya. Kecuali orang yang baru masuk Islam dan dia tidak mempunyai kesempatan untuk belajar. Alloh berfirman:

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

“maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”. (QS. Al-Anbiyaa’:7).
– sampai beliau berkata — dengan demikian maka sabda nabi SAW: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya”. Khusus pada amalan yang berupa ketaatan dan mubahat (hal-hal yang diperbolehkan) dan tidak berlaku pada kemaksiatan. Karena ketaatan bisa berubah menjadi kemaksiatan sesuai dengan niatnya. Dan hal-hal yang mubah bisa berubah menjadi maksiat atau ketaatan sesuai dengan niat. Adapun maksiat pada asalnya tidak bisa berubah menjadi ketaatan walaupun dengan niat taat. Ya, niat yang buruk itu bisa memperbesar dosa dan memperberat siksa – sebagaimana yang kami sebutkan dalam kitab taubat.
Bagian kedua adalah ketaatan. Ketaatan ini, syah dan keutamaannya tergantung pada niat. Namun pada asalnya hendaknya ia dilakukan atas niat beribadah kepada Alloh, bukan kepada yang lainnya. Jika ia berniat riya’ maka ketaatan itu berubah menjadi maksiat. Adapun berlipatnya keutamaan dapat diraih dengan banyaknya niat baik. Sesungguhnya satu kebaikan dapat diniatkan untuk banyak kebaikan, lalu ia akan mendapatkan pahala pada setiap niatnya…, karena setiap satu niat mendapatkan satu kebaikan dan setiap satu kebaikan akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. – sampai beliau mengatakan-.
Bagian ketiga adalah hal-hal yang mubah. Dan tidaklah satu hal yang mubahpun kecuali dapat mengandung satu niat atau lebih yang bisa merubahnya menjadi ibadah kebaikan dan dapat meraih derajat yang tinggi. Maka alangkah ruginya orang yang melalaikannya dan melakukannya sebagaimana binatang yang tidak punya kepentingan sama sekali…” Ihya’ Ulumid Din IV/388-391.

HAKEKAT DEMOKRASI

PENDAHULUAN

Ibnu Taimiyah berkata: “Para fuqoha’ (ahli fiqih) berkata: nama itu ada tiga macam, pertama nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui syari’at seperti sholat dan zakat, kedua nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui bahasa seperti matahari dan bulan, ketiga adalah nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui kebiasaan seperti kata “segenggam” dan kata “baik” sebagaimana firman Alloh (yang artnya): “dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik”. Majmu’ Fatawa XIII/82 dan perkataan ini beliau ulang-ulang dalam beberapa tempat diantaranya pada Majmu’ Fatawa VII/286 dan XIX/235. Karena kata demokrasi ini adalah kata yang tidak dikenal dalam bahasa Arab, maka untuk mengetahui arti dan hakekatnya harus dikembalikan kepada pemilik bahasa dan para pencetusnya. Dalam hal ini Ibnul Qoyyim mengatakan dalam ahkamul mufti: “Seorang mufti tidak diperbolehkan berfatwa dalam masalah pengakuan, sumpah, wasiyat dan yang lainnya yang berkaitan dengan kata-kata yang biasa ia gunakan untuk memahami kata-kata tersebut tanpa mengetahui kebiasaan orang yang mengucapkannya, sehingga kata-kata tersebut dipahami sebagaimana apa yang biasa mereka gunakan meskipun bertentangan dengan hakekat asalnya, kalau ia tidak melakukannya maka ia akan sesat dan menyesatkan”. A’lamul Muwaqqi’in IV/228. Ini semua berkaitan dengan wajibnya kembali kepada orang-orang yang membuat istilah demokrasi untuk mengetahui artinya supaya tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud demokrasi adalah syuro, atau yang dimaksud adalah aktivitas politik atau nama-nama yang lain yang akan mengacaukan hakekatnya dan kemudian mengacaukan hukumnya.

HAKEKAT DEMOKRASI

Karena demokrasi adalah istilah politik barat maka — berdasarkan pendahuluan di atas — harus dikembalikann kepada pemilik istilah tersebut untuk mengetahui artinya yang akan menentukan hukumnya. Arti demokrasi menurut para penganutnya adalah: kedaulatan rakyat, dan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas tidak dikendalikan oleh kekuasaan apapun selainnya. Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam membuat perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini kadang rakyat mewakilkannya kepada orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para wakil tersebut mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan. Disebutkan dalam Mausu’atus Siyasah: “Semua negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya pada intinya demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan di tangan rakyat”. Mausu’atus Siyasah tulisan Dr. Abdul Wahab Al-Kiyali II/756. Beliau berkata tentang demokrasi perwakilan: “Yaitu bahwa rakyat — sebagai pemegang kekuasaan — tidak melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat. Maka parlemen dalam demokrasi perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah muncul dari Inggris dan Perancis, kemudian berpindah ke negara-negara lain. Mausu’atus Siyasah II/757. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa demokrasi itu intinya adalah kedaulatan rakyat. Dan bahwa kedaulatan itu inti dasarnya adalah hak mutlak dalam membuat perundang-undangan yang tidak tunduk terhadap kekuasaan apapun selainnya. Dan berikut beberapa pengertian kedaulatan: Abdul Hamid Mutawali — dosen perundang-undangan — berkata: “Demokrasi adalah perundang-undangan yang dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat sedangkan kedaulatan sesuai dengan pengertiannya adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya”. Andzimatul Hukmi Fid Dualin Namiyah, Dr. Mutawali cat. 1985 hal. 625. Yosep Frankl — seorang politikus barat — berkata: “Yang dimaksud dengan kedaulatanadalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi daripadanya atau berada di belakangnya yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Dan inilah arti dasar yang tidak pernah mengalami perubahan selama ini. Sedangkan definisi kedaulatan menurut John Bodh pada tahun 1576 M yang intinya: bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi berada di atas penduduk dan rakyat yang tidak dibatasi oleh undang-undang, definisi kedaulatan ini tetap benar meskipun arti kedaulatan yang dimaksud Bodn adalah pemimpin pada zamannya selanjutnya telah berpindah kepada rakyat”. Al-’Alaqot Ad-Dauliyah tulisan Yosep Frankl terbitan Tihamah 1984 M, hal. 25.

SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI MODERN

Demokrasi bermula dari Revolusi Perancis pada tahun 1789 M, meskipun sistem perwakilan parlemen ini telah bermula di Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran sesungguhnya prinsip kedaulatan rakyat – yang merupakan dasar pemikiran demokrasi – telah tersebar sebelum terjadinya Revolusi Perancis selama beberapa puluh tahun. Yaitu dalam tulisan-tulisan John Lok, Muntskyu dan Jan Jack, orang-orang yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar pemikiran kedaulatan rakyat. Hal itu sebagai reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada tuhan yang berkembang di Eropa selama kurang lebih sepuluh abad. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa para raja itu menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Alloh. Dengan demikian maka para raja itu mempunyai kekuasaan mutlak yang diperkuat dengan dukungan dari para paus. Rakyat Eropapun sangat menderita lantaran sistem ini. Dan kedaulatan rakyat ketika itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja dan para paus yang berkuasa atas dasar perwakilan tuhan — sebagaimana pengakuan mereka — Dengan demikian pada asalnya demokrasi itu adalah penentangan terhadap kekuasaan Alloh, untuk memberikan segala kekuasaan kepada manusia untuk membuat peraturan hidup dan perundang-undangannya sendiri tanpa batas apapun.
Dan perpindahan dari pemikiran kekuasaan berdasarkan perwakilan tuhan menuju pemikiran kedaulatan rakyat tidaklah berjalan dengan damai, akan tetapi melalui revolusi berdarah yang sangat dahsyat di dunia, yaitu yang dikenal dengan Revolusi Perancis pada tahun 1789 M, yang mana motto ketika itu adalah  “gantung raja terakhir dengan usus pendeta terakhir”. Dr. Safar Al-Hawali berkata: “Revolusi itu melahirkan hasil yang sangat penting. Yaitu lahirnya pertama kali di dalam sejarah Eropa nasrani sebuah negara republik sekuler yang berfalsafat kekuasaan atas nama rakyat, dan bukan atas nama Alloh”, bebas beragama sebagai ganti doktrin katolik, kebebasan setiap orang sebagai ganti dari ikatan perilaku keagamaan dan undang-undang ciptaan manusia sebagai ganti dari ketetapan-ketetapan gereja”. Al-’Ilmaniyah tulisan Dr. Safar Al-Hawali hal. 178, terbitan Universitas Ummul Quro 1402 H.
Pemikiran kedaulatan rakyat dan haknya dalam membuat undang-undang ini nampakk jelas dalam prinsip-prinsip Revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal keenam dari proklamasi hak-hak azasi manusia pada tahun 1789 M tertera bahwa “Undang-Undang adalah manifestasi dari kehendak rakyat”, artinya bahwa undang-undang itu bukanlah manifestasi dari kehendak gereja atau kehendak Allah. Dalam proklamasi hak-hak azasi manusia yang dikeluarkan bersama dengan undang-undang Perancis pada thun 1793 M pasal keduapuluh lima menyatakan bahwa “kedaulatan terpusat pada rakyat”. Dinukil dari Mabadi’ul Qonunid Dusturi tulisan Dr. As-Sayyid Shobri hal. 25. Oleh karena itu Dr. Abdul Hamid Mutawali mengatakan: “Prinsip-prinsip revolusi Perancis tahun 1789 terhitung sebagai dasar prinsip-prinsip demokrasi barat”. Andzimatul Hukmi Fid Duwalin Namiyah tulisan Dr. Mutawali hal.30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar