Salah satu fungsi aqidah adalah untuk mengikat manusia. Mengikat antara satu orang dengan yang lainnya. Orang yang berbeda nasab, suku, bangsa, ras maupun warna kulit menjadi satu kesatuan yang kuat dalam bingkai aqidah. Yang mengikat mereka bukan tali yang kasat mata, tetapi keyakinan dan aturan yang telah disepakati kebenarannya oleh mereka. Inilah makna filosofis dari “aqidah,” yang secara harfiah diartikan dengan “ikatan.”
Agar ikatan itu terjaga dengan baik, tidak longgar bagi seseorang atau sekelompok dan tidak mencekik bagi yang lainnya, harus ada aturan yang bijak. Kehormatan seorang akan terlindungi dengan kebijakan aturan ini, juga kezhaliman pada sesama akan dihindari. Kaidah ini berlaku bagi beragam aqidah yang mengikat umat manusia.
Pun demikian dengan aqidah Islam. Ia mengikat antar satu Muslim dengan Muslim lainnya. Dengan aturan bijak dan adil, yang dikenal dengan istilah ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah akan mengatur kehidupan dan tata cara interaksi seorang Muslim dengan Muslim lainnya juga dengan non Muslim.
Dalam kajian aqidah, ukhuwah Islamiyah memiliki ciri khas yang istimewa. Ciri itu diistilahkan dengan “al-wala’ wal baro.” Intinya, “mencintai seseorang atau sesuatu karena Allah dan membencinya karena Allah juga, bukan atas dasar nafsu belaka.”
Pemahaman yang benar tentang cinta dan benci sangat penting bagi Muslim. Semua interaksi harus berawal dari cinta dan benci yang benar. Karena cintalah ukhuwah Islamiyah ada, karena cinta pula seseorang akan memberikan loyalitasnya.
Ibnu Taimiyah rhm berkata, “Dasar loyalitas adalah kecintaan, sebagaimana permusuhan berawal dari kebencian. Rasa saling mencintai menghendaki kedekatan dan kebersamaan. Sebaliknya rasa saling benci menuntut untuk saling menjauh dan berbeda.” (Qa’idatul Mahabbah, hlm. 387)
Satu Tubuh
Sungguh ikatan ukhuwah yang sangat indah. Memang begitulah seharusnya ikatan yang terjadi antar sesama Muslim. Rasulullah saw bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى "
“Permisalah seorang mukmin dalam kasih sayang, saling mencintainya dan kedekatannya seperti tubuh yang satu. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh anggotanya ikut merasakan demam dan tidak nyaman.” (HR. Muslim)
Ada kisah menarik yang terjadi pada zaman sahabat. Abdurrahman bin Auf ra menuturkan, “Dulu ketika kami muhajirin tiba di Madinah, Rasulullah saw mempersaudarakan kami dengan saudara-saudara kami Anshor. Aku dipersaudarakan dengan Sa’d bin Rabi. Ia berkata kepadaku, ‘Aku adalah orang kaya, maka setengah hartaku akan aku berikan kepadamu. Juga, aku memiliki dua orang istri, lihatlah kedua istriku, pilih yang engkau sukai, ia akan kuceraikan, jika sudah selesai massa ‘iddahnya silahkan nikahi dia.’ Aku sampaikan kepadanya, ‘Maaf, aku tidak usah diperlakukan seperti itu, cukup tunjukkan kepadaku di mana pasar berada.’”
Kesempurnaan Iman
Bahkan kecintaaan dalam bingkai Islam adalah tingakatan iman yang paling tinggi. Rasulullah saw bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ : اَلْمُوَالَاةُ فِيْ اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ , وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tingkatan iman yang paling tinggi adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah Swt.” (Shohihul Jami’: 2539)
Hadits ini dipahami dengan baik oleh sahabat Muhayyishah. Suatu kali ia diminta oleh Rasulullah saw untuk mengeksekusi seorang gembong Yahudi Ka’ab bin Asyraf. Beliaupun membunuhnya, padahal Ka’ab teman dagangnya dan dulu semasa jahiliyah sangat baik kepada Muhayyishah sekeluarga.
Setelah pembunuhan itu, saudaranya bernama Huwaishah –saat itu belum masuk Islam- memukul dan mencelanya. Muhayyishah menjawab dengan kalimat yang diabadikan dalam sejarah Islam. “Demi Allah, yang memerintahkanku untuk membunuhnya adalah seseorang –yaitu Rasulullah saw- yang jika beliau memerintahkan aku agar memenggalmu niscaya akan aku penggal lehermu.”
Huwaishah kagum dengan keimanan saudaranya ini, “Sungguh dien (agama) yang engkau yakini sangat menakjubkan.” Setelah itu, ia menyatakan keislamannya.
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda,
مَنْ أَحَبَّ فِيْ اللهِ وَأَبْغَضَ فِي اللهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ ؛ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلِإيْمَانُ
“Barangsiapa yang mencintai dan membenci (sesuatu) karena Allah, memberi dan menahan karena Allah, sungguh imannya telah sempurna.” (HR. Ahmad dan Hakim)
Syaikh DR. Al-Lathif menyimpulkan setelah menukil hadits ini dalam al-Hubb Fillah, “Cinta dan benci karena Allah bukan perkara iman biasa, namun ia adalah iman yang terkuat dan ikatan iman yang sangat erat.”
Syarat Amal
Ternyata ukhuwah Islamiyah dan wala’ kepada Muslimin bukan sekedar penyempurna iman, tetapi lebih tinggi dari itu adalah syarat diterimanya amal seorang Muslim. Nabi Muhammad Saw menegaskan hal ini dalam beberapa hadits. Diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim, lalu dishahihkan oleh Syaikh Albani.
كُلُّ مُسْلِمٍ عَلَى مُسْلِمٍ حَرَامٌ أَخَوَانِ نَصِيْرَانِ ، لَا يَقْبَلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ مُشْرِكٍ بَعْدَ مَا أَسْلَمَ عَمَلاً أَوْ يُفَارِقَ اْلمُشْرِكِيْنَ إِلَى الْمُسْلِمِيْنَ
“Muslim satu dengan yang lainnya haram (untuk saling menzhalimi), mereka adalah dua saudara yang saling tolong menolong. Allah tidak akan menerima amal apapun dari seorang musyrik yang masuk Islam, kecuali setelah ia memisahkan diri dari orang-orang musyrik kemudian bergabung dengan Muslimin.”
“Saudaraku,” jelas Syaikh DR. Al-Lathif, “perhatikan hadits ini dengan seksama. Sungguh Rasulullah saw telah menjadikan cinta dan benci karena Allah sebagai syarat diterimanya amal. Kandungan hadits ini jelas, yaitu harus memusuhi orang-orang kafir yang nota benenya adalah musuh Allah.” (al-Hubb Fillah, 5)
Cinta dan benci karena Allah adalah tuntutan ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah menuntut Muslim untuk menyematkan cintanya hanya kepada sesama Muslim, dan menghajatkan Muslim untuk berlepas diri, bahkan menempa permusuhan terhadap orang-orang kafir. Karena mereka adalah musuh Allah.
فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
“Maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah: 98)
Tak Menzhalimi
Wala’ atau ukhuwah Islamiyah mengharamkan seorang Muslim menzhalimi Muslim lainnya. Kezhaliman dalam bentuk apapun, termasuk tidak menghina atau menghinakannya. Haram menumpahkan darah seorang Muslim kecuali dibenarkan syari’at. Pun tidak layak seorang Muslim diremehkan oleh saudaranya. Apalagi kezhaliman dalam hartanya, dengan mencuri atau mengambil hartanya tanpa hak.
Rasulullah saw bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan Ahmad,
« لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَا هُنَا ». وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ « بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ »
“Kalian tidak boleh saling dengki dan saling menipu, jangan saling membenci, saling membelakangi, membeli/menjual barang yang hendak dibeli/dijual oleh saudaranya. Jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; ia tidak boleh menzhalimi saudaranya Muslim, tidak menghinakannya, juga tidak meremehkannya. Taqwa itu ada di sini –beliau menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali- cukuplah seseorang dianggap buruk jika ia menghina saudara Muslimnya. Harta, darah dan kehormatan seorang Muslim adalah haram bagi Muslim lainnya.”
Tak Mengkhianati
Ukhuwah Islamiyah juga mengharamkan seorang Muslim membiarkan saudaranya tertawan musuh, ia wajib membebaskannya. Karena mereka adalah salah satu tubuh walau berbeda nasab, ras dan perbedaaan lainnya. Inilah ikatan aqidah agung yang mengajarkan seseorang untuk berakhlak kepada sesamanya.
Rasulullah saw mengingatkan hak ukhuwah Islamiyah ini dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( أَطْعِمُوْا اْلجَائِعَ وَعُوْدُوْا اْلمَرِيْضَ وَفُكُّوْا الْعَانِيَ )
Dari Abu Musa al-Asy’ari ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Berikan makan orang-orang yang kelaparan, kunjungilah (saudaramu) yang sakit dan bebaskan para tawanan.”
Sudah barang tentu, dosa besar akan menimpa seorang Muslim yang sampai hati menyerahkan saudaranya kepada musuh. Bahkan bisa saja mengeluarkan ia dari aqidah yang agung ini, murtad dari Islam. Baik dengan turut serta memerangi dan menangkap seorang Muslim, apalagi jika yang ditangkap adalah seseorang yang menghabiskan waktunya untuk menegakkan Islam. Atau dengan membocorkan rahasia saudara Muslimnya kepada musuh Islam, mungkin dengan memata-matainya.
Dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari, Rasulullah saw bersabda,
أالْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak boleh menzhalimi saudaranya, tidak boleh menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memnuhi kebutuhannya. Dan barangsiapa yang melepaskan seorang Muslim dari satu kesempitan hidup, niscaya Allah akan melepaskan satu kesempitan dari sekian kesempitan yang menimpanya di hari kiamat. Barangsiapa yang berusaha menutup aib (rahasia) seorang Muslim di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.”
Hari ini banyak umat Islam yang secara suka rela bahu membahu dengan orang-orang kafir untuk menyakiti kaum Muslimin. Ada yang tergabung dalam LSM-LSM, yayasan dan individu yang mendapat order untuk meneliti dan mencari tahu rahasia seorang Muslim atau jama’ah-jama’ah umat Islam yang kemudian ditukar dengan uang. Mereka bekerja sesuai pesanan sponsor.
Allah mengecam tindakan ini, menvonis pelakunya dengan dosa yang sangat besar.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 58)
Setelah memaparkan hadits-hadits yang mengharamkan menyakiti Muslim, Ibnu Rajab al-Hambali, seorang ulama hadits terkemuka, berkata, “Semua nash-nash yang kami kemukakan mengharamkan menyakiti seorang Muslim dalam bentuk apapun, seperti perkataan maupun perbuatan yang tidak diperkenankan oleh syari’at.” (Jami’ul Ulum, 422)
Imam al-Alusi menegaskan keharaman ini saat menafsirkan surat Al-Ahzab diatas. Beliau menegaskan, diharamkan atas seorang dengan alasan apapun menyakiti Muslim lainnya. Kecuali ada alasan syar’i yang membenarkannya.
Sebagai seorang Muslim yang terikat dalam satu aqidah tentunya tidak layak menyebarkan aib, kelemahan atau memata-matai Muslim lainnya. Apalagi menjadikan perbuatan ini profesi. Hari ini kebijakan salib internasional dalam memerangi umat Islam dan Islam sangat terbantu dengan adanya sebagian yayasan atau LSM yang memata-matai umat Islam. Juga para da’i serta ustadz yang “ikhlas” mensukseskan program salib ini.
Memang bekerja sama dengan orang-orang kafir, terutama Amerika dan sekutunya, sangat menggiurkan bagi umat Islam yang lemah imannya dan rabun aqidahnya. Gelontoran dana akan didapatkan, jaminan keamanan dan kemudahan birokrasi disediakan. Namun itu semua akan beroleh cap murtad dan nasib buruk di akhirat. Wallahu al-Musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar