PARA PENGGENGGAM BARA
Segala puji bagi Alloh, yang memuliakan Islam dan
pertolongan- Nya. Yang menghinakan kesyirikan dengan kekuatan-Nya. Mengatur
semua urusan dengan perintah-Nya. Mengulur batas waktu bagi orang- orang kafir
dengan makar-Nya. Yang mempergilirkan hari-hari bagi manusia dengan
keadilan-Nya, dan menjadikan hasil akhir sebagai milik orang-orang bertakwa
dengan keutamaan-Nya. Sholawat dan salam terhatur selalu kepada Nabi Muhammad,
manusia yang dengan pedangnya Alloh tinggikan menara Islam. Amma Ba‘du… Tidak
diragukan lagi, bahwa realita hidup (atau sering diistilahkah wâqi‘, pent) itu
ibarat wadah yang berisi berbagai fitnah; sejak dari fitnah syubhat, fitnah
syahwat, dan berbagai mala petaka yang bentuknya bermacam-macam.
Semua fitnah ini menghadang di hadapan para pengikut THOIFAH
MANSHUROH untuk memalingkan mereka dari melaksanakan perintah Alloh, secara
ilmu, amal, dakwah dan jihad. Dan tidak bisa dipungkiri pula bahwa semua fitnah
dan cobaan ini tidak bisa ditangkal selain dengan SABAR dan YAKIN. Dan sudah menjadi
hal yang maklum, bahwa setiap realita kehidupan yang menganut nilai-nilai
kejahiliahan (yang tidak dibangun di atas prinsip ‘ubudiyah kepada Alloh
semata) pastilah memberikan tekanan yang luar biasa kuat terhadap siapa saja
yang ingin melaksanakan perintah Alloh. Ini dikarenakan adanya jurang pemisah
yang begitu jauh dan dalam antara perintah Alloh dan realita jahiliyah
tersebut. Belum lagi ditambah dengan gempuran yang sangat sengit dari
tokoh-tokoh utama dalam kehidupan jahiliyah dan unsur-unsur lain di dalamnya
terhadap siapa saja yang hendak bangkit untuk menjadi pelaksana tugas agung
ini. Unsur dan tokoh-tokoh itu adalah:
1. Thoghut-thoghut bumi (para pemegang kekuasaan) berikut keunggulan dari segi kekuatan yang mereka bisa gunakan untuk mengancam ataupun membujuk manusia dalam rangka memalingkan mereka dari agamanya.
2. Ulama-ulama jahat (ulama’ Sû’) yang menggadaikan akhiratnya demi kepentingan dunianya. Yang rela dengan bagian tak seberapa serta kehinaan-kehinaan yang “disuapkan”
1. Thoghut-thoghut bumi (para pemegang kekuasaan) berikut keunggulan dari segi kekuatan yang mereka bisa gunakan untuk mengancam ataupun membujuk manusia dalam rangka memalingkan mereka dari agamanya.
2. Ulama-ulama jahat (ulama’ Sû’) yang menggadaikan akhiratnya demi kepentingan dunianya. Yang rela dengan bagian tak seberapa serta kehinaan-kehinaan yang “disuapkan”
oleh para thoghut itu dengan memanfaatkan fatwa-fatwa mereka
dalam rangka menyesatkan manusia dan memalingkan mereka dari perintah Alloh.
Dan adakah yang merusak agama ini… Selain para penguasa, dan
para ulama serta rahib-rahib yang jahat…”
3. Ahlu `l-Ahwâ’ (para pengikut aliran sesat yang mengikuti hawa nafsunya) dan kelompok-kelompok bid‘ah dengan berbagai macam kebid‘ahannya. Sesungguhnya, sikap ittibâ‘ (mengikuti sunnah Rosululloh Shalalloh alahi wassalam) secara murni adalah hal yang otomatis akan menyingkap kepalsuan jalan yang mereka tempuh sekaligus “menelanjangi” borok kesesatan dan penyesatan mereka. Atas alasan inilah mereka kemudian menyatakan perang kepada siapa saja yang berusaha mengembalikan urusan umat ini kepada ajaran Islam yang masih asli (sebagaimana dianut oleh generasi awal umat ini). Dan untuk melancarkan perangnya, mereka tidak segan-segan menjalin kerjasama dengan para thoghut dan ulama- ulama jahat, sehingga terbentuklah sebuah kekuatan bersama yang berguna untuk memalingkan manusia dari agamanya.
4. Orang-orang awam yang menjadi pengikut ajakan apa saja, menjadi “bahan baker” dari tersulutnya api berbagai fitnah. Mereka adalah orang- orang yang tidak membekali diri dengan cachaya ilmu dan keyakinan yang teguh. Orientasi tertinggi mereka hanya sebatas bagaimana mengenyangkan “naluri kemanusiaan”nya, mencukupi hajat hidupnya, dan menggapai kelezatan dalam kehidupannya. Mereka tidak mengerti makna akan kehidupan selain ini, sungguh alangkah buruk kehidupan tersebut. Dan sudah menjadi suatu hal yang otomatis, orang-orang seperti ini akan bergabung dalam barisan thoghut, menjadi “kawanan domba” yang akan mereka giring ke mana saja mereka mau, sekaligus menjadi “tongkat pemukul” yang diarahkan kepada siapa saja yang berusaha melaksanakan perintah Alloh dan teguh di atasnya.
Mereka ini lintas kelompok, yang dipersatukan oleh perasaan cinta kepada dunia serta rasa tergantung kepada perhiasannya, entah berupa jabatan, kedudukan, wanita, makanan dan minuman, dan nilai-nilai fana dunia yang lainnya. Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Bathoh, ketika beliau berkata, “Manusia di zaman kita ini seperti kawanan-kawanan burung; satu sama lain saling menguntit di belakangnya. Kalau saja ada di antara mereka yang mengaku sebagai nabi – pada ia tahu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi—atau mengaku sebagai tuhan, tentu orang tersebut akan mendapatkan pengikut dan pendukung.” Jika beliau mengomentari zamannya dengan komentar seperti ini, maka bukanlah aneh jika manusia-manusia di zaman kita sekarang berdiri di barisan pengikut kebatilan dalam memerangi kebenaran dan pengikutnya, kecuali orang-orang yang dirahmati Alloh. Yang lebih memperparah kondisi ini adalah munculnya sebuah fitnah yang lebih dahsyat dari apa yang sudah kami sebutkan di atas. Yaitu adanya orang-orang yang mengetahui kebenaran dan melaksanakan sebagiannya namun ia tidak mampu melaksanakannya secara lengkap dengan cara yang Alloh ridhoi karena ada alasan tertentu, lalu dia menyemburkan syubhat-syubhat untuk memalingkan orang yang akan melaksanakan perintah Alloh sesuai dengan cara yang Ia ridhoi, dengan tujuan demi menjaga keamanan hidupnya dan penghasilannya tetap terjamin.
Fitnah ini lebih dahsyat dan berbahaya karena adanya pengkaburan akan nilai sebuah kebenaran, akibatnya manusia pun terpaling dari kebenaran tersebut. Semoga Alloh merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika beliau berkata, “Kebatilan tidak akan pernah eksis dalam kehidupan nyata, kecuali karena adanya pengkaburan akan sebuah nilai kebenaran.” Diiringi pengkaburan dan sikap ikut arus yang sedemikian ini, maka keadaan pun berubah seperti yang digambarkan oleh seorang penyair: Engkau akan saksikan ada fitnah di berbagai sudul bumi Di sana agama dijual begitu murah di atas kemuliaannya Ditukar dengan hawa nafsu dan kedengkian-kedengkian… Begitulah realita kehidupan memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap siapa saja yang berusaha melaksanakan perintah Alloh.
Mereka merasakan adanya perbedaan antara dirinya dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan, orang-orang di sekelilingnya itu menolaknya dengan berbagai cara. Akhirnya mereka pun berjalan di atas jalan yang sangat “sepi”, tak ada penolong tak ada penghibur. Semua yang di sekelilingnya memanggil-manggil untuk “pasrah” (dengan realita), atau berkompromi dengan kebatilan. Atau mengambil sikap “moderat”, atau berdiri sejajar dengan kebatilan di pertengahan jalan, dengan seruan- seruan dan berbagai slogan yang sudah cukup masyhur. Fitnah ini terasa semakin berbahaya ketika seruan-seruan itu dibungkus dengan “pakaian syar‘i serta menampilkannya dengan penampilan ilmiyah yang menganut prinsip moderat dan menolak sikap ekstrim. Akhirnya kecaman mengalir deras ke arah orang yang berusaha ingin melaksanakan perintah Alloh, ada yang mengalamatkan label fundamentalis, ekstrimis, bahkan teroris, belum lagi julukan sebagai khôrijiyyah (penganut faham khowarij). Semua ini berdampak agar ia merasa dirinya betul-betul berada di tengah kecaman dan berbagai tuduhan. Bahkan, tak kurang vonis berfaham Islam yang sesat pun teralamatkan kepada dirinya dan mengepung pendengarannya dari berbagai penjuru, dengan menyatakan bahwa jala yang ia tempuh adalah keluru, menyimpang dari jalan yang lurus, jauh dari agama, dan menyelisihi seluruh penduduk bumi. Semua ini sekali lagi agar seseorang tidak mau lagi menjadi pengikut kebenaran secara pribadi, apalagi mengajak orang lain kepada kebenaran tersebut. Ujung-ujungnya, pasrah kepada realita yang terus bergulir.
Diriwayatkan dari Fudhoil bin ‘Iyâdh Rahimahulloh bahwa beliau pernah berkata, “Bagaimana jika dirimu hidup hingga di suatu zaman di mana manusia tidak lagi membedakan antara yang haq dan yang batil, antara orang mukmin dan orang kafir, antara orang yang bisa dipercaya dengan pengkhianat, antara orang bodoh dan orang berilmu, tidak mengenali perkara makruf, dan tidak mengingkari perkara yang mungkar?” Al-Imam Ibnu Bathoh mengomentari perkataan Fudhoil ini dengan mengatakan, “Innâ li `l-Lâhi wa Innâ ilaihi Rôji‘ûn…kita telah sampai kepada zaman tersebut, kita mendengarnya dan menyaksikan sebagian besarnya. Seandainya orang yang Alloh beri nikmat berupa akal yang sehat dan cara pandang yang jeli, lalu ia amati dan renungi kondisi Islam dan pemeluk-pemeluknya, lalu ia cocokkan dengan ajaran Islam yang masih lurus, tentu ia akan melihat dengan jelas bahwa mayoritas manusia sudah meninggalkan agamanya dan menyimpang dari petunjuk yang benar.
Sungguh pada hari ini manusia telah berubah menganggap baik apa yang dulu mereka anggap buruk, menghalalkan apa yang dulu mereka haramkan, dan menganggap makruf apa yang dulu mereka anggap kemungkaran.” Bagian terakhir dari perkataan Ibnu Bathoh di atas mengisyaratkan akan adanya fitnah berupa tekanan realita kehidupan, di mana disebutkan di sana bahwa mayoritas manusia larut dalam tekanan realita hidup, yaitu pengaruh-pengaruh seruan kejahiliahan yang begitu kuat dan mengepung seseorang dari berbagai penjuru. Selanjutnya, ketika mental seseorang telah menciut dan jiwanya mengendur lantaran terkucilkan oleh kondisi realita kehidupan jahiliyah tadi, ia pun berusaha sekuat tenaga menangkal berbagai tuduhan yang dialamatkan masyarakat kepadanya. Kalau perlu menyatakan berlepas diri dari tuduhan sekaligus para penganutnya, dengan kemudian menampilkan diri sebagai seorang yang menganut manhaj berbeda, yaitu manhaj yang yang di bangun di atas sikap moderat dan realistis, menolak sikap ekstrim dan edialisme semu. Manhaj itu pun berjalan dengan realita yang terus bergulir, tidak ada usaha untuk menentang arus atau merubahnya. Yang ada adalah perbaikan dengan cara damai dan lembut, yang menjadikan realita dalam hidup sebagai pijakan utama dalam bersikap, lain tidak. Untuk memuluskan jalannya manhaj ini, mereka berusaha menempuh berbagai cara agar para penentangnya melunak. Manhaj “menyerah kepada realita hidup” ini memiliki mata rantai dan ciri khas-ciri khas yang kesemuanya berawal dari adanya tekanan dalam realita kehidupan jahiliyah. Jadi, menjaga kesejajaran diri dengan realita dan melebur dengannya serta tidak adanya keinginan untuk menempuh metode yang melawan arus menjadi landasan utama manhaj ini. Walau pun, dalam hal itu mereka harus memperkendur hukum-hukum yang sudah tegas (qath‘î) menurut Al- Quran dan Sunnah dalam menghukumi kondisi realita itu. Lebih berani lagi mereka menyatakan bahwa hukum sudah terhapus (mansukh). Sebagai contoh adalah sikap lancang mereka yang mengatakan bahwa hukum-hukum Ahli Dzimmah telah di mansûkh secara total dengan apa yang hari ini populer dengan HUKUM KEPENDUDUKAN. Akan tetapi, walau pun mata rantai seperti ini dipermak sedemikian rupa agar memperoleh pembenaran dan beralasan dengan adanya multi tafsir, tetap lah orang-orang seperti ini tidak layak mendapatkan tempat di barisan THOIFAH MANSHUROH.
Di antara dampak paling berbahaya dari terjerumus ke dalam fitnah seperti ini adalah perasaan nyaman dan “biasa” dengan kemungkaran. Bahkan pengingkaran itu terkadang hilang dari dalam hati secara total. Ini semua karena mereka menganut manhaj yang berprinsip ingin berjalan sejajar dengan realita, akibatnya adalah perasaan nyaman kepada perbuatan munkar dan ridho kepadanya, bahkan mungkin pada taraf menganggap kemungkaran itu sebagai kebaikan, lalu menyerang orang yang mengingkarinya. Sebab, setiap kali seseorang merasa tertekan dengan kenyataan hidup, ia akan menyiapkan diri untuk kembali tertekan dan menyerah kepada keadaan pada giliran berikutnya. Jika ini terus berlangsung, lama-kelamaan sikap merasa tertekan kemudian menyerah kepada realita kehidupan menjadi akhlak dan agama seseorang,
3. Ahlu `l-Ahwâ’ (para pengikut aliran sesat yang mengikuti hawa nafsunya) dan kelompok-kelompok bid‘ah dengan berbagai macam kebid‘ahannya. Sesungguhnya, sikap ittibâ‘ (mengikuti sunnah Rosululloh Shalalloh alahi wassalam) secara murni adalah hal yang otomatis akan menyingkap kepalsuan jalan yang mereka tempuh sekaligus “menelanjangi” borok kesesatan dan penyesatan mereka. Atas alasan inilah mereka kemudian menyatakan perang kepada siapa saja yang berusaha mengembalikan urusan umat ini kepada ajaran Islam yang masih asli (sebagaimana dianut oleh generasi awal umat ini). Dan untuk melancarkan perangnya, mereka tidak segan-segan menjalin kerjasama dengan para thoghut dan ulama- ulama jahat, sehingga terbentuklah sebuah kekuatan bersama yang berguna untuk memalingkan manusia dari agamanya.
4. Orang-orang awam yang menjadi pengikut ajakan apa saja, menjadi “bahan baker” dari tersulutnya api berbagai fitnah. Mereka adalah orang- orang yang tidak membekali diri dengan cachaya ilmu dan keyakinan yang teguh. Orientasi tertinggi mereka hanya sebatas bagaimana mengenyangkan “naluri kemanusiaan”nya, mencukupi hajat hidupnya, dan menggapai kelezatan dalam kehidupannya. Mereka tidak mengerti makna akan kehidupan selain ini, sungguh alangkah buruk kehidupan tersebut. Dan sudah menjadi suatu hal yang otomatis, orang-orang seperti ini akan bergabung dalam barisan thoghut, menjadi “kawanan domba” yang akan mereka giring ke mana saja mereka mau, sekaligus menjadi “tongkat pemukul” yang diarahkan kepada siapa saja yang berusaha melaksanakan perintah Alloh dan teguh di atasnya.
Mereka ini lintas kelompok, yang dipersatukan oleh perasaan cinta kepada dunia serta rasa tergantung kepada perhiasannya, entah berupa jabatan, kedudukan, wanita, makanan dan minuman, dan nilai-nilai fana dunia yang lainnya. Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Bathoh, ketika beliau berkata, “Manusia di zaman kita ini seperti kawanan-kawanan burung; satu sama lain saling menguntit di belakangnya. Kalau saja ada di antara mereka yang mengaku sebagai nabi – pada ia tahu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi—atau mengaku sebagai tuhan, tentu orang tersebut akan mendapatkan pengikut dan pendukung.” Jika beliau mengomentari zamannya dengan komentar seperti ini, maka bukanlah aneh jika manusia-manusia di zaman kita sekarang berdiri di barisan pengikut kebatilan dalam memerangi kebenaran dan pengikutnya, kecuali orang-orang yang dirahmati Alloh. Yang lebih memperparah kondisi ini adalah munculnya sebuah fitnah yang lebih dahsyat dari apa yang sudah kami sebutkan di atas. Yaitu adanya orang-orang yang mengetahui kebenaran dan melaksanakan sebagiannya namun ia tidak mampu melaksanakannya secara lengkap dengan cara yang Alloh ridhoi karena ada alasan tertentu, lalu dia menyemburkan syubhat-syubhat untuk memalingkan orang yang akan melaksanakan perintah Alloh sesuai dengan cara yang Ia ridhoi, dengan tujuan demi menjaga keamanan hidupnya dan penghasilannya tetap terjamin.
Fitnah ini lebih dahsyat dan berbahaya karena adanya pengkaburan akan nilai sebuah kebenaran, akibatnya manusia pun terpaling dari kebenaran tersebut. Semoga Alloh merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika beliau berkata, “Kebatilan tidak akan pernah eksis dalam kehidupan nyata, kecuali karena adanya pengkaburan akan sebuah nilai kebenaran.” Diiringi pengkaburan dan sikap ikut arus yang sedemikian ini, maka keadaan pun berubah seperti yang digambarkan oleh seorang penyair: Engkau akan saksikan ada fitnah di berbagai sudul bumi Di sana agama dijual begitu murah di atas kemuliaannya Ditukar dengan hawa nafsu dan kedengkian-kedengkian… Begitulah realita kehidupan memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap siapa saja yang berusaha melaksanakan perintah Alloh.
Mereka merasakan adanya perbedaan antara dirinya dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan, orang-orang di sekelilingnya itu menolaknya dengan berbagai cara. Akhirnya mereka pun berjalan di atas jalan yang sangat “sepi”, tak ada penolong tak ada penghibur. Semua yang di sekelilingnya memanggil-manggil untuk “pasrah” (dengan realita), atau berkompromi dengan kebatilan. Atau mengambil sikap “moderat”, atau berdiri sejajar dengan kebatilan di pertengahan jalan, dengan seruan- seruan dan berbagai slogan yang sudah cukup masyhur. Fitnah ini terasa semakin berbahaya ketika seruan-seruan itu dibungkus dengan “pakaian syar‘i serta menampilkannya dengan penampilan ilmiyah yang menganut prinsip moderat dan menolak sikap ekstrim. Akhirnya kecaman mengalir deras ke arah orang yang berusaha ingin melaksanakan perintah Alloh, ada yang mengalamatkan label fundamentalis, ekstrimis, bahkan teroris, belum lagi julukan sebagai khôrijiyyah (penganut faham khowarij). Semua ini berdampak agar ia merasa dirinya betul-betul berada di tengah kecaman dan berbagai tuduhan. Bahkan, tak kurang vonis berfaham Islam yang sesat pun teralamatkan kepada dirinya dan mengepung pendengarannya dari berbagai penjuru, dengan menyatakan bahwa jala yang ia tempuh adalah keluru, menyimpang dari jalan yang lurus, jauh dari agama, dan menyelisihi seluruh penduduk bumi. Semua ini sekali lagi agar seseorang tidak mau lagi menjadi pengikut kebenaran secara pribadi, apalagi mengajak orang lain kepada kebenaran tersebut. Ujung-ujungnya, pasrah kepada realita yang terus bergulir.
Diriwayatkan dari Fudhoil bin ‘Iyâdh Rahimahulloh bahwa beliau pernah berkata, “Bagaimana jika dirimu hidup hingga di suatu zaman di mana manusia tidak lagi membedakan antara yang haq dan yang batil, antara orang mukmin dan orang kafir, antara orang yang bisa dipercaya dengan pengkhianat, antara orang bodoh dan orang berilmu, tidak mengenali perkara makruf, dan tidak mengingkari perkara yang mungkar?” Al-Imam Ibnu Bathoh mengomentari perkataan Fudhoil ini dengan mengatakan, “Innâ li `l-Lâhi wa Innâ ilaihi Rôji‘ûn…kita telah sampai kepada zaman tersebut, kita mendengarnya dan menyaksikan sebagian besarnya. Seandainya orang yang Alloh beri nikmat berupa akal yang sehat dan cara pandang yang jeli, lalu ia amati dan renungi kondisi Islam dan pemeluk-pemeluknya, lalu ia cocokkan dengan ajaran Islam yang masih lurus, tentu ia akan melihat dengan jelas bahwa mayoritas manusia sudah meninggalkan agamanya dan menyimpang dari petunjuk yang benar.
Sungguh pada hari ini manusia telah berubah menganggap baik apa yang dulu mereka anggap buruk, menghalalkan apa yang dulu mereka haramkan, dan menganggap makruf apa yang dulu mereka anggap kemungkaran.” Bagian terakhir dari perkataan Ibnu Bathoh di atas mengisyaratkan akan adanya fitnah berupa tekanan realita kehidupan, di mana disebutkan di sana bahwa mayoritas manusia larut dalam tekanan realita hidup, yaitu pengaruh-pengaruh seruan kejahiliahan yang begitu kuat dan mengepung seseorang dari berbagai penjuru. Selanjutnya, ketika mental seseorang telah menciut dan jiwanya mengendur lantaran terkucilkan oleh kondisi realita kehidupan jahiliyah tadi, ia pun berusaha sekuat tenaga menangkal berbagai tuduhan yang dialamatkan masyarakat kepadanya. Kalau perlu menyatakan berlepas diri dari tuduhan sekaligus para penganutnya, dengan kemudian menampilkan diri sebagai seorang yang menganut manhaj berbeda, yaitu manhaj yang yang di bangun di atas sikap moderat dan realistis, menolak sikap ekstrim dan edialisme semu. Manhaj itu pun berjalan dengan realita yang terus bergulir, tidak ada usaha untuk menentang arus atau merubahnya. Yang ada adalah perbaikan dengan cara damai dan lembut, yang menjadikan realita dalam hidup sebagai pijakan utama dalam bersikap, lain tidak. Untuk memuluskan jalannya manhaj ini, mereka berusaha menempuh berbagai cara agar para penentangnya melunak. Manhaj “menyerah kepada realita hidup” ini memiliki mata rantai dan ciri khas-ciri khas yang kesemuanya berawal dari adanya tekanan dalam realita kehidupan jahiliyah. Jadi, menjaga kesejajaran diri dengan realita dan melebur dengannya serta tidak adanya keinginan untuk menempuh metode yang melawan arus menjadi landasan utama manhaj ini. Walau pun, dalam hal itu mereka harus memperkendur hukum-hukum yang sudah tegas (qath‘î) menurut Al- Quran dan Sunnah dalam menghukumi kondisi realita itu. Lebih berani lagi mereka menyatakan bahwa hukum sudah terhapus (mansukh). Sebagai contoh adalah sikap lancang mereka yang mengatakan bahwa hukum-hukum Ahli Dzimmah telah di mansûkh secara total dengan apa yang hari ini populer dengan HUKUM KEPENDUDUKAN. Akan tetapi, walau pun mata rantai seperti ini dipermak sedemikian rupa agar memperoleh pembenaran dan beralasan dengan adanya multi tafsir, tetap lah orang-orang seperti ini tidak layak mendapatkan tempat di barisan THOIFAH MANSHUROH.
Di antara dampak paling berbahaya dari terjerumus ke dalam fitnah seperti ini adalah perasaan nyaman dan “biasa” dengan kemungkaran. Bahkan pengingkaran itu terkadang hilang dari dalam hati secara total. Ini semua karena mereka menganut manhaj yang berprinsip ingin berjalan sejajar dengan realita, akibatnya adalah perasaan nyaman kepada perbuatan munkar dan ridho kepadanya, bahkan mungkin pada taraf menganggap kemungkaran itu sebagai kebaikan, lalu menyerang orang yang mengingkarinya. Sebab, setiap kali seseorang merasa tertekan dengan kenyataan hidup, ia akan menyiapkan diri untuk kembali tertekan dan menyerah kepada keadaan pada giliran berikutnya. Jika ini terus berlangsung, lama-kelamaan sikap merasa tertekan kemudian menyerah kepada realita kehidupan menjadi akhlak dan agama seseorang,
dan secara terus menerus ia akan lemah untuk teguh di atas
kebenaran, hingga akhirnya ia benar-benar menerima sikap menyerah dan mengalah
kepada keadaan dalam segala permasalahan dengan mudah. Sayyid Quthb
Rahimahulloh berkata, “Penyimpangan yang sedikit di awal perjalanan akan
berujung kepada penyimpangan total di penghujungnya. Dan pelaku dakwah yang
menyerah dalam sebagian dakwah walau pun hanya sedikit, ia tidak akan mampu tetap teguh ketika belum
apa-apa ia sudah menyerah. Sebab perasaan yang ia siapkan dalam dirinya untuk
menyerah akan semakin bertambah setiap kali ia mundur satu langkah ke belakang
.” Fitnah tekanan realita terkadang membesar dan terasa berat dalam diri
seseorang hingga tak jarang menjerumuskan dirinya ke dalam kekufuran yang
nyata. Alloh Ta‘ala telah mengkabarkan kepada kita bahwa fitnah seperti ini
menjadi penyebab utama terjerumusnya kebanyakan manusia ke dalam kekufuran dan
kesyirikan walau pun ia telah mengetahui ilmunya, bahkan telah yakin akan
kebenaran ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rosul. Alloh Ta‘ala
mengkisahkan tentang bantahan kaum Nabi Nuh kepada beliau, “Belum pernah kami
mendengar (seruan) seperti ini pada masa nenek moyang kami terdahulu.” (QS.
Al-Mukminûn: 24) Alloh Ta‘ala juga mengkisahkan bagaimana kaum Nabi Hud
menanggapi seruan beliau, “Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada Kami,
agar Kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah
oleh bapak-bapak kami? ” (QS. Al-A‘rôf: 70) Alloh Ta‘ala juga berfirman
mengisahkan tentang kaum Nabi Sholeh, “Mereka berkata, “Wahai Sholeh, sungguh,
engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang
diharapkan, mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek
moyang kami… ?” (QS. Hûd: 62) Ayat senada dengan di atas sangat banyak dan
sudah maklum di dalam Al-Quran, semuanya menegaskan bahwa tak menutup
kemungkinan seseorang itu bisa keluar dari kebenaran menuju kebatilan gara-
gara tunduk dengan tekanan realita hidup, mengikuti arus masyarakat dan jalan mengikuti yang mereka tempuh. Sebab kekuatan
masyarakat yang bersifat mayoritas, adat yang sudah mengakar, dan warisan yang
sudah terlanjur masyhur dan dilestarikan itu menjadikan kebanyakan orang
menjadi segan (takut) kepadanya serta mendorong mereka untuk menyelisihi
kebenaran, lalu mengikut dan tunduk kepada kebatilan.
Hudzaifah bin Yaman, shahabat pemegang rahasia Rosululloh Shalalloh alahi wassalam sekaligus yang mengerti akan hadits-hadits tentang fitnah, seolah memberi isyarat akan adanya fitnah berupa tekanan realita tersebut, ketika beliau berkata, “Yang aku paling khawatirkan akan menimpa orang-orang ada dua hal: - Mereka lebih mengutamakan kondisi yang mereka lihat daripada ilmu yang mereka ketahui, - Atau mereka sesat sementara mereka tidak menyadari.” Adapun para pengikut Thoifah Manshuroh, mereka berusaha melawan tekanan realita kehidupan dan tidak ikut larut di dalamnya. Sebab, prinsip utama aktifitas mereka adalah menundukkan realita di hadapan perintah Alloh dan menyesuaikannya dengan perintah Alloh tersebut. Mereka bisa merealisasikan prinsip tersebut, pertama hanya berkat anugerah Alloh, dan kedua dengan kesabaran dan rasa yakin yang mereka miliki. Ini mengingat bahwa fitnah tekanan realita hidup adalah fitnah berupa keterasingan, dengan berbagai sisinya, yang mana itulah kehidupan yang dialami oleh para pengikut Thoifah Manshuroh dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan perintah Alloh. Dahulu, Al-Hasan rahimahulloh pernah berkata, “Sungguh benar Alloh dan Rosul-Nya; dengan yakinlah surga dicari, dengan yakinlah neraka dihindari, dengan yakinlah kewajiban-kewajiban mampu dilaksanakan, dan dengan yakin pulalah kesabaran dalam memegang kebenaran bisa dipertahankan.
Di dalam kesejahteraan yang dianugerahkan Alloh memang terdapat kebaikan yang banyak, demi Alloh kami menyaksikan orang-orang sanggup mendekatkan diri kepada Alloh di kala hidup tenang, akan tetapi ketika ketika turun cobaan mereka tercerai berai.” Maka, para pengikut Thoifah Manshuroh itu selalu bersabar dalam menghadapi keterasingan di atas jalan kebenaran, mereka tidak merasa kesepian dengan sedikitnya orang- orang yang menempuhnya. Dalam hal ini mereka mempunyai contoh yang sempurna dari kalangan makhluk- makhluk pilihan Alloh, yaitu para Nabi dan Rosul. Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, “Suatu hari Rosululloh Shalalloh alahi wassalam keluar menemui kami, kemudian bersabda, “Telah ditampakkan kepadaku umat- umat. Maka ada nabi yang datang hanya bersama satu orang. Ada juga Nabi yang datang bersama dua orang. Ada juga Nabi yang datang membawa satu kelompok orang. Bahkan ada juga Nabi yang datang tanpa membawa seorang pengikut pun.” Jadi, sedikitnya para penempuh jalan kebenaran, keterasingan dan kesendirian dalam menempuh perjalanan di atas jalan tersebut merupakan manhaj para nabi dan rosul di dalam melaksanakan perintah Alloh. Rosululloh Shalalloh alahi wassalam juga pernah bersabda, “Islam ini bermula dalam keadaan asing, kelak akan kembali (asing) sebagaimana ia bermula. Maka beruntunglah orang-orang asing.” Di sini Nabi Shalalloh alahi wassalam menegaskan bahwa keterasingan adalah asal dan asas dari urusan Islam ini, dan kelak akan kembali kepada asas tersebut. Ath-Thorthûsyî rahimahullôh, “Hadits ini mengandung makna, bahwa ketika Alloh Ta‘ala pertama-tama menurunkan ajaran Islam, orang yang masuk Islam di tengah kaumnya berada dalam kondisi asing, ia menyembunyikan Islamnya secara diam-diam, keluarga dan kerabatnya terasa jauh darinya. Maka ia berada di tengah-tengah mereka dalam kondisi hina, terlecehkan dan diliputi rasa takut. Ia harus merasakan pahitnya keterasingan dan kondisi selalu disakiti. Setelah itu, nanti Islam ini akan kembali asing disebabkan menjamurnya hawa nafsu yang menyesatkan dan sekte-sekte yang beraneka ragam. Sehingga, para pengikut kebenaran itu selalunya menjadi orang-orang yang asing di tengah umat manusia karena jumlah mereka yang sedikit dan kondisi mereka yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya.”
Al-Qurthubî rahimahullôh berkata, “Sesungguhnya generasi Rosululloh Shalalloh alahi wassalam itu diutamakan atas generasi-generasi yang lain dikarenakan mereka adalah orang-orang yang asing dengan keimanan yang mereka pegang dan banyaknya jumlah orang-orang kafir (kala itu), lalu mereka bersabar atas gangguan mereka dan tetap berpegang teguh dengan agamanya. Dan sesungguhnya generasi-generasi akhir umat Islam ini jika mereka menegakkan dan berpegang teguh dengan agamanya serta bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada robbnya dikala kekufuran, kefasikan, kebejatan, maksiat dan dosa besar merajalela, maka mereka juga menjadi orang-orang yang asing. Di saat itulah amalan mereka menjadi berlipat ganda nilainya sebagaimana amalan para pendahulu mereka juga berlipat ganda nilainya. Di antara dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi Shalalloh alahi wassalam, “Islam ini datang dalam keadaan asing, dan kelak akan kembali (asing) seperti semula, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” –selesai perkataan Al-Qurthubî. Dan keterasingan paling berat yang akan dirasakan oleh Islam dan para pemeluknya yang berusaha melaksanakannya –baik secara ilmu, amal, dakwah dan jihad—adalah di saat orang-orang yang dahulu memeluk Islam berbalik menjadi murtad. Alloh Ta‘ala telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Alloh akan datangkan suatu kaum yang Alloh cintai dan mereka pun mencintai-Nya. Mereka lembut kepada orang beriman dan keras kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alloh serta tidak takut akan celaan orang-orang yang mencela …” (QS. Al-Mâidah: 54) Kaum yang Alloh datangkan sebagai pengganti ini melaksanakan agama di kala orang-orang beriman ada yang murtad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Keterasingan bisa terjadi pada sebagian syariat Islam, bisa juga di sebagian tempat. Karena di banyak tempat, kebanyakan orang tidak mengerti akan sebagian syariat Islam sehingga hal itu menjadikan seseorang asing di tengah kaumnya, hal itu tidak diketahui kecuali oleh perorangan saja. Dalam kondisi ini, maka beruntunglah orang yang berpegang teguh kepada syariat tersebut sesuai yang diperintahkan Alloh dan rosul-Nya. Sesungguhnya, menampakkan dan memerintahkan syariat tersebut kepada orang lain serta mengingkari orang yang menolaknya itu dilakukan sesuai kondisi kekuatan dan pendukung yang ada.” Syamsu `l-Haq Âbâdî rahimahullôh berkata, “Sabda Nabi, “Maka beruntunglah umatku yang menjadi orang-orang asing…” yang beliau maksud adalah orang-orang yang berada dalam kesendirian di zaman di mana ia hidup. Pembuat syariat telah menyebutkan karakter orang-orang asing tersebut dengan beberapa sifat, di antaranya: Mereka adalah orang- orang yang “nuzzâ‘u `n-Nâs” atau “An-nuzzâ‘u baina `l-Qobâ’il”. Nuzzâ‘ adalah kata jamak dari “nâzi‘” atau “nazî” yang artinya adalah orang- orang asing yang mengucilkan diri dari keluarga dan familinya. Seperti kalimat: “An-Nâzi‘u mina `l-Ibil” yang berarti unta yang aneh sendiri dari kawan-kawannya.” Al-Harowî rahimahullôh berkata, “Yang beliau maksud adalah orang- orang yang berhijrah meninggalkan tanah airnya menuju (keridhoan) Alloh Ta‘ala.” Ada juga riwayat-riwayat hadits yang menyebutkan ciri para Ghuroba, di antaranya mereka adalah orang- orang yang melarikan diri demi menyelamatkan agamanya, atau yang lari demi menyelamatkan agamanya dari berbagai fitnah. Mereka adalah kaum minoritas di tengah kaum mayoritas, yang menentang mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka. Mereka adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan di kala manusia telah mengalami kerusakan. Mereka adalah orang-orang yang mengamalkan kitab Alloh di kala ditinggalkan orang, serta mengerjakan sunnah di kala dijauhi. Dan mereka adalah orang- orang yang menghidupkan sunah Nabi Shalalloh alahi wassalam yang telah dianggap punah (mati). Sifat-sifat yang disebutkan Nabi Shalalloh alahi wassalam di atas, meskipun di satu sisi menunjukkan betapa besar peran mereka dalam melaksanakan perintah Alloh dan konsistensi mereka di atasnya di masa-masa asingnya Islam, tetapi di sisi lain juga menunjukkan betapa amat terasingnya mereka dan betapa besar kesabaran yang mereka miliki.
Dinukil sebuah atsar dari pemuka para ahli ibadah setelah para shahabat Nabi, Uwais Al-Qorni, bahwa ia berkata, “Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar itu benar-benar bisa menjadikan seorang mukmin tak memiliki teman dekat lagi. Ketika kita beramar makruf kepadanya, ia akan mencaci kehormatan kita lalu ia akan mendapatkan pendukung. Demi Alloh, sampai mereka berani menuduhku dengan perkara-perkara besar. Dan demi Alloh, aku tetap akan memberlakukan mereka sesuai hak Alloh yang berlaku atas mereka.” Maka dalam kondisi seperti ini, Islam kembali terasing seperti di awal mulanya ia datang. Sebab orang- orang yang tunduk kepada Islam sesuai dengan ajarannya yang pertama kali itu sedikit, para penentangnya justru berjumlah banyak. Akhirnya, simbol-simbol sunnah menjadi roboh dan kebid‘ahan menjulang tinggi, opini tentang bidah mendominasi mayoritas manusia, dengan demikian terjadilah keterasingan seperti yang tercantum dalam hadits shahih di atas, demikian Asy-Syâthibî rahimahullôh menjelaskan. Sang Nabi yang benar dan dibenarkan –shollallohu alaihi wa sallam—telah memberitakan bahwa kelak keterasingan orang-orang yang melaksanakan perintah Alloh dan berusaha konsisten di atasnya akan semakin dahsyat dan mencekik jiwa, hingga kondisi orang-orang asing tersebut tak ubahnya seperti orang yang menggenggam bara api. Dari Abu Tsa‘labah Al-Khusyanî ra dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya setelah zaman kalian nanti akan ada hari-hari yang menuntut kesabaran penuh. Kesabaran di masa-masa tersebut seperti (kesabaran) orang yang menggenggam bara api.
Orang yang beramal pada waktu itu memperoleh pahala seperti 50 orang yang beramal seperti yang ia lakukan.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rosululloh, seperti pahala 50 orang dari mereka?” Beliau menjawab, “Pahala 50 orang dari kalian.” Perumpamaan Nabi shollallohu alaihi wa sallamdalam dalam hadits ini bahwa orang-orang yang konsisten melaksanakan Alloh dan sabar di atasnya seperti penggenggam bara, memiliki beberapa pelajaran yang bisa diambil. Di antaranya: - Dahsyatnya keterasingan agama Islam dan orang-orang yang melaksanakannya. - Dahsyatnya tekanan realita hidup terhadap orang-orang yang melaksanakan perintah Alloh tersebut untuk memalingkan mereka dari perintah-Nya. - Besarnya kesabaran para penegak perintah Alloh tersebut serta kuatnya keteguhan yang mereka miliki di tengah keterasingan yang begitu mencekik jiwa. - Besarnya keterasingan Islam dan orang-orang yang melaksanakannya –hingga tingkatan membuat seorang hamba Alloh seperti pemegang bara —bukan menjadi alasan untuk mundur dan menyerah dari kewajiban melaksanakan perintah Alloh, tidak juga menjadi alasan untuk menyimpang atau meremehkannya. Akan tetapi tidak ada pilihan lain selain terus “menggenggam bara”. Di masa-masa timbul fitnah bahwa Quran adalah makhluk, dikatakan kepada Imam Ahmad, “Hai Ahmad, tidakkah engkau melihat bagaimana kebatilan telah menang atas kebenaran?” maka beliau berkata, “Sesungguhnya unggulnya kebatilan atas kebatilan hanyalah urusan berpindahnya hati manusia dari kebenaran kepada kebatilan. Semantara hati kami tetap pada kebenaran sampai kapan pun juga.” - Bahwa tekanan realita hidup dalam keterasingan yang dahsyat seperti ini tidak bisa dihadapi dengan selain kesabaran. Bukan dengan membelokkan jalan kebenaran. Inilah sebabnya mengapa Nabi shollallohu alaihi wa sallam menyebut hari-hari seperti ini sebagai hari-hari yang menuntut kesabaran penuh. Karena, tanpa kesabaran –bahkan kesabaran yang besar melebihi kesabaran pemegang bara—seperti ini, tidak mungkin agama seorang hamba akan selamat di tengah-tengah berbagai fitnah dan kegoncangan- kegoncangan yang mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa shahabat Hudzaifah bin Yaman pernah mengambil dua buah batu lalu meletakkan salah satu di atas yang lain. Lalu beliau bertanya kepada para pengikutnya, “Apakah kalian melihat ada tembusan cahaya di antara dua batu ini?” para pengikutnya pun mengatakan, “Wahai Abu Abdillah, kami tidak melihat ada cahaya di antara keduanya kecuali sedikit.” Maka beliau pun berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kelak bidah akan merajalela sampai kebenaran tidak terlihat lagi kecuali hanya seperti cahaya yang berada di antara kedua batu ini. Demi Alloh, kelak bidah akan merajalela sampai- sampai ketika ada sebagiannya yang ditinggalkan maka orang-orang mengatakan, sunnah telah ditinggalkan.” Shahabat Sahl bin Abdulloh berkata, “Hendaknya kalian berpegang kepada atsar dan sunnah. Sebab aku mengkhawatirkan sebentar lagi akan datang suatu zaman di mana jika ada seseorang yang mengingatkan tentang Nabi shollallohu alaihi wa sallam atau perintah untuk mencontoh beliau dalam semua kondisinya, mereka kemudian mencelanya, mengingkarinya, berlepas diri darinya dan menghinakannya.” Betapa indah kata-kata Hisyam bin Hassân, ketika beliau berkata, “Pasti akan datang suatu masa di mana kebenaran dan kebatilan bercampur aduk. Ketika kondisi seperti ini, doa tidak lagi bermanfaat kecuali seperti doa orang yang sudah akan tenggelam dalam air.” Ibnu `l-Qoyyim berkata, “Jika seorang mukmin yang telah Alloh karuniai pandangan yang jeli tentang agama- Nya, pemahaman tentang sunah rosul-Nya, pemahaman tentang kandungan kitab-Nya, dan Alloh perlihatkan kepadanya kesesatan- kesesatan manusia serta penyimpangan mereka dari jalan yang lurus yang dijalani oleh Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan para shahabatnya, ingin tetap konsisten di atas hal tersebut maka ia harus membiasakan dirinya untuk menerima celaan, caci maki dan penghinaan dari orang-orang jahil dan ahli bidah serta provokasi mereka agar orang menjauhi dan mewaspadainya.
Sebagaimana dulu para pendahulu mereka melakukan hal yang sama dalam menyertai sang panutan dan imam mereka (Nabi) shollallohu alaihi wa sallam . Ketika manusia mencelanya dan menjelekkan jalan yang ia tempuh .” Atas dasar ini, maka siapa yang menginginkan dirinya menjadi pengikut THOIFAH MANSHUROH di tengah dahsyatnya keterasingan yang mencekik ini –seperti digambarkan oleh Ibnu `l-Qoyyim rahimahullôh— ia harus mempunyai modal awal untuk itu. Ia harus menjadi orang yang pemberani dan pantang mundur. Bisa melihat dengan jelas kondisi zamannya, tidak terbelenggu dalam kungkungan angan-angannya. Tidak banyak menggubris apa saja yang berada di luar tujuannya. Rindu untuk bisa meraih apa yang hendak dia raih sekaligus mengerti betul jalan untuk mencapainya dan juga penghalang- penghalangnya. Semangatnya tak pernah mundur. Teguh pendiriannya. Tidak pernah merasa kendur dalam menggapai tujuannya karena celaan orang yang mencela atau orang yang menyimpang. Banyak diam. Selalu berfikir. Tidak larut bersama lezatnya pujian mau pun pahitnya cacian.
Selalu menempuh sebab-sebab yang bisa mempermudah dia meraih kemenangan. Tidak merasa asing dengan banyaknya tentangan. Syiarnya adalah sabar. Istirahatnya adalah kepayahan. Di antara hal lain yang menjadikan para pengikut Thoifah Manshuroh mampu menangkal fitnah tekanan realita atau fitnah keterasingan adalah perasaan diri lebih mulia karena iman. Karena dada dan jiwa mereka selalu dipenuhi rasa mulia (karena iman) yang hanya Alloh jadikan bagi para pengikut agamanya saja, tidak kepada lain. Alloh Ta‘ala berfirman: “…(orang-orang munafik itu) adalah orang-orang yang mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang beriman. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang-orang kafir tersebut? Sesungguhnya kemuliaan itu semuanya adalah milik Alloh.” (QS. An-Nisa’: ) “Maka janganlah kamu bersedih karena kata-kata mereka. Sesungguhnya kemuliaan itu adalah milik Alloh semuanya. Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Jadi kemuliaan itu seluruhnya adalah milik Alloh.
Orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya serta agama-Nya sama sekali tidak memiliki bagian sedikit pun darinya, walau pun mereka memiliki kekuatan sepenuh langit dan bumi. Alloh Ta'ala telah menyebutkan ciri-ciri para pengikut Thoifah Manshuroh dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54) Mereka merasa tinggi di hadapan musuh-musuh agama ini, walau pun musuh memiliki kemenangan, walau pun musuh memiliki kekuasaan materi. Sebab, kemuliaan itu hanya ada pada Islam, bukan pada selainnya. Sebaliknya, ketika Alloh mensifati orang-orang beriman dengan kemuliaan, Alloh juga berfirman tentang orang-orang yang menentang-Nya dan menentang rosul-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Alloh dan rosul-Nya mereka itu ada dalam kehinaan.” (QS. Al-Mujâdilah: ) Rosululloh SAW bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya.” Hadits ini memiliki latar belakang yang menunjukkan fakta penting sangat kuat. Diriwayatkan dari ‘Âidh bin ‘Amr, bahwasanya dirinya datang bersama Abû Sufyân ketika penaklukan Mekkah. Ketika itu Rosululloh SAW tengah berada di tengah-tengah para sahabatnya. Maka mereka berkata, “Inilah Abu Sufyan dan Aidh bin Amr.” Mendengar kata-kata shahabat itu, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah Aidh bin Amr dan Abu Sufyan. Islam lebih tinggi dari itu, Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya.” Sekedar menyebutkan nama orang kafir terlebih dahulu sebelum nama orang Islam saja sudah bertentangan dengan prinsip bahwa Islamlah yang tertinggi. Bahkan, ketinggian tempat pun tidak boleh diambil oleh orang- orang non Islam, walau pun kemenangan dan kekuasaan tengah berada di tangan musuh-musuh Islam. Di dalam perang Uhud, ketika kaum muslimin tertimpa kekalahan, ada satu kelompok pasukan Quraisy yang naik ke atas gunung, melihat itu maka Rosululloh SAW berujar, “Ya Alloh, sungguh mereka tidak layak berada di atas kami.” Maka Umar dan beberapa pasukan dari kaum Muhajirin pun maju memerangi mereka hingga berhasil menurunkan mereka dari gunung tersebut. Ada rahasia-rahasia lembut yang terkandung dalam tafsir firman Alloh Ta‘ala: “… lalu kalian tertimpa kesedihan disusul kesedihan…” (QS. Ali Imron: ) Ibnu Abbas RA berkata, “Kesedihan pertama disebabkan kekalahan dan ketika dikatakan bahwa Muhammad shollallohu alaihi wa sallam telah terbunuh. Kesedihan kedua adalah ketika orang-orang musyrik berada di atas gunung melebihi tempat orang- orang beriman. Maka Nabi SAW berujar, “Ya Alloh, tidak layak mereka lebih tinggi dari kami.” Sekedar ketinggian tempat bagi orang-orang kafir atas orang-orang beriman, dan walau pun kaum muslimin dalam kondisi kalah yang menyebabkan mereka tertimpa sedih, tetaplah orang mukmin sejati itu jiwanya selalu merasa tinggi dengan semua makna ketinggian yang mutlak. Sebab Alloh telah memuliakan dan mengkhususkan orang mukmin dengan ketinggian yang tidak diberikan kepada makhluk lain yang tidak beriman, walau pun dirinya berada dalam kondisi paling jauh dari meraih kemenangan dan kekuasaan. Inilah yang tertanam dalam diri para shahabat –radhiyallôhu anhum—. Dari Thoriq bin Syihab ia berkata, “Umar bin Khothob pernah datang ke Syam dan bersama kami turut serta Abu Ubaidah bin Jarroh. Sesampai di sana, penduduknya menyambut mereka di atas unta-untanya. Maka Umar turun dari untanya, lalu ia lepas kedua terompahnya kemudian ia gantungkan pada lehernya. Setelah itu
Hudzaifah bin Yaman, shahabat pemegang rahasia Rosululloh Shalalloh alahi wassalam sekaligus yang mengerti akan hadits-hadits tentang fitnah, seolah memberi isyarat akan adanya fitnah berupa tekanan realita tersebut, ketika beliau berkata, “Yang aku paling khawatirkan akan menimpa orang-orang ada dua hal: - Mereka lebih mengutamakan kondisi yang mereka lihat daripada ilmu yang mereka ketahui, - Atau mereka sesat sementara mereka tidak menyadari.” Adapun para pengikut Thoifah Manshuroh, mereka berusaha melawan tekanan realita kehidupan dan tidak ikut larut di dalamnya. Sebab, prinsip utama aktifitas mereka adalah menundukkan realita di hadapan perintah Alloh dan menyesuaikannya dengan perintah Alloh tersebut. Mereka bisa merealisasikan prinsip tersebut, pertama hanya berkat anugerah Alloh, dan kedua dengan kesabaran dan rasa yakin yang mereka miliki. Ini mengingat bahwa fitnah tekanan realita hidup adalah fitnah berupa keterasingan, dengan berbagai sisinya, yang mana itulah kehidupan yang dialami oleh para pengikut Thoifah Manshuroh dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan perintah Alloh. Dahulu, Al-Hasan rahimahulloh pernah berkata, “Sungguh benar Alloh dan Rosul-Nya; dengan yakinlah surga dicari, dengan yakinlah neraka dihindari, dengan yakinlah kewajiban-kewajiban mampu dilaksanakan, dan dengan yakin pulalah kesabaran dalam memegang kebenaran bisa dipertahankan.
Di dalam kesejahteraan yang dianugerahkan Alloh memang terdapat kebaikan yang banyak, demi Alloh kami menyaksikan orang-orang sanggup mendekatkan diri kepada Alloh di kala hidup tenang, akan tetapi ketika ketika turun cobaan mereka tercerai berai.” Maka, para pengikut Thoifah Manshuroh itu selalu bersabar dalam menghadapi keterasingan di atas jalan kebenaran, mereka tidak merasa kesepian dengan sedikitnya orang- orang yang menempuhnya. Dalam hal ini mereka mempunyai contoh yang sempurna dari kalangan makhluk- makhluk pilihan Alloh, yaitu para Nabi dan Rosul. Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, “Suatu hari Rosululloh Shalalloh alahi wassalam keluar menemui kami, kemudian bersabda, “Telah ditampakkan kepadaku umat- umat. Maka ada nabi yang datang hanya bersama satu orang. Ada juga Nabi yang datang bersama dua orang. Ada juga Nabi yang datang membawa satu kelompok orang. Bahkan ada juga Nabi yang datang tanpa membawa seorang pengikut pun.” Jadi, sedikitnya para penempuh jalan kebenaran, keterasingan dan kesendirian dalam menempuh perjalanan di atas jalan tersebut merupakan manhaj para nabi dan rosul di dalam melaksanakan perintah Alloh. Rosululloh Shalalloh alahi wassalam juga pernah bersabda, “Islam ini bermula dalam keadaan asing, kelak akan kembali (asing) sebagaimana ia bermula. Maka beruntunglah orang-orang asing.” Di sini Nabi Shalalloh alahi wassalam menegaskan bahwa keterasingan adalah asal dan asas dari urusan Islam ini, dan kelak akan kembali kepada asas tersebut. Ath-Thorthûsyî rahimahullôh, “Hadits ini mengandung makna, bahwa ketika Alloh Ta‘ala pertama-tama menurunkan ajaran Islam, orang yang masuk Islam di tengah kaumnya berada dalam kondisi asing, ia menyembunyikan Islamnya secara diam-diam, keluarga dan kerabatnya terasa jauh darinya. Maka ia berada di tengah-tengah mereka dalam kondisi hina, terlecehkan dan diliputi rasa takut. Ia harus merasakan pahitnya keterasingan dan kondisi selalu disakiti. Setelah itu, nanti Islam ini akan kembali asing disebabkan menjamurnya hawa nafsu yang menyesatkan dan sekte-sekte yang beraneka ragam. Sehingga, para pengikut kebenaran itu selalunya menjadi orang-orang yang asing di tengah umat manusia karena jumlah mereka yang sedikit dan kondisi mereka yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya.”
Al-Qurthubî rahimahullôh berkata, “Sesungguhnya generasi Rosululloh Shalalloh alahi wassalam itu diutamakan atas generasi-generasi yang lain dikarenakan mereka adalah orang-orang yang asing dengan keimanan yang mereka pegang dan banyaknya jumlah orang-orang kafir (kala itu), lalu mereka bersabar atas gangguan mereka dan tetap berpegang teguh dengan agamanya. Dan sesungguhnya generasi-generasi akhir umat Islam ini jika mereka menegakkan dan berpegang teguh dengan agamanya serta bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada robbnya dikala kekufuran, kefasikan, kebejatan, maksiat dan dosa besar merajalela, maka mereka juga menjadi orang-orang yang asing. Di saat itulah amalan mereka menjadi berlipat ganda nilainya sebagaimana amalan para pendahulu mereka juga berlipat ganda nilainya. Di antara dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi Shalalloh alahi wassalam, “Islam ini datang dalam keadaan asing, dan kelak akan kembali (asing) seperti semula, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” –selesai perkataan Al-Qurthubî. Dan keterasingan paling berat yang akan dirasakan oleh Islam dan para pemeluknya yang berusaha melaksanakannya –baik secara ilmu, amal, dakwah dan jihad—adalah di saat orang-orang yang dahulu memeluk Islam berbalik menjadi murtad. Alloh Ta‘ala telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Alloh akan datangkan suatu kaum yang Alloh cintai dan mereka pun mencintai-Nya. Mereka lembut kepada orang beriman dan keras kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alloh serta tidak takut akan celaan orang-orang yang mencela …” (QS. Al-Mâidah: 54) Kaum yang Alloh datangkan sebagai pengganti ini melaksanakan agama di kala orang-orang beriman ada yang murtad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Keterasingan bisa terjadi pada sebagian syariat Islam, bisa juga di sebagian tempat. Karena di banyak tempat, kebanyakan orang tidak mengerti akan sebagian syariat Islam sehingga hal itu menjadikan seseorang asing di tengah kaumnya, hal itu tidak diketahui kecuali oleh perorangan saja. Dalam kondisi ini, maka beruntunglah orang yang berpegang teguh kepada syariat tersebut sesuai yang diperintahkan Alloh dan rosul-Nya. Sesungguhnya, menampakkan dan memerintahkan syariat tersebut kepada orang lain serta mengingkari orang yang menolaknya itu dilakukan sesuai kondisi kekuatan dan pendukung yang ada.” Syamsu `l-Haq Âbâdî rahimahullôh berkata, “Sabda Nabi, “Maka beruntunglah umatku yang menjadi orang-orang asing…” yang beliau maksud adalah orang-orang yang berada dalam kesendirian di zaman di mana ia hidup. Pembuat syariat telah menyebutkan karakter orang-orang asing tersebut dengan beberapa sifat, di antaranya: Mereka adalah orang- orang yang “nuzzâ‘u `n-Nâs” atau “An-nuzzâ‘u baina `l-Qobâ’il”. Nuzzâ‘ adalah kata jamak dari “nâzi‘” atau “nazî” yang artinya adalah orang- orang asing yang mengucilkan diri dari keluarga dan familinya. Seperti kalimat: “An-Nâzi‘u mina `l-Ibil” yang berarti unta yang aneh sendiri dari kawan-kawannya.” Al-Harowî rahimahullôh berkata, “Yang beliau maksud adalah orang- orang yang berhijrah meninggalkan tanah airnya menuju (keridhoan) Alloh Ta‘ala.” Ada juga riwayat-riwayat hadits yang menyebutkan ciri para Ghuroba, di antaranya mereka adalah orang- orang yang melarikan diri demi menyelamatkan agamanya, atau yang lari demi menyelamatkan agamanya dari berbagai fitnah. Mereka adalah kaum minoritas di tengah kaum mayoritas, yang menentang mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka. Mereka adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan di kala manusia telah mengalami kerusakan. Mereka adalah orang-orang yang mengamalkan kitab Alloh di kala ditinggalkan orang, serta mengerjakan sunnah di kala dijauhi. Dan mereka adalah orang- orang yang menghidupkan sunah Nabi Shalalloh alahi wassalam yang telah dianggap punah (mati). Sifat-sifat yang disebutkan Nabi Shalalloh alahi wassalam di atas, meskipun di satu sisi menunjukkan betapa besar peran mereka dalam melaksanakan perintah Alloh dan konsistensi mereka di atasnya di masa-masa asingnya Islam, tetapi di sisi lain juga menunjukkan betapa amat terasingnya mereka dan betapa besar kesabaran yang mereka miliki.
Dinukil sebuah atsar dari pemuka para ahli ibadah setelah para shahabat Nabi, Uwais Al-Qorni, bahwa ia berkata, “Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar itu benar-benar bisa menjadikan seorang mukmin tak memiliki teman dekat lagi. Ketika kita beramar makruf kepadanya, ia akan mencaci kehormatan kita lalu ia akan mendapatkan pendukung. Demi Alloh, sampai mereka berani menuduhku dengan perkara-perkara besar. Dan demi Alloh, aku tetap akan memberlakukan mereka sesuai hak Alloh yang berlaku atas mereka.” Maka dalam kondisi seperti ini, Islam kembali terasing seperti di awal mulanya ia datang. Sebab orang- orang yang tunduk kepada Islam sesuai dengan ajarannya yang pertama kali itu sedikit, para penentangnya justru berjumlah banyak. Akhirnya, simbol-simbol sunnah menjadi roboh dan kebid‘ahan menjulang tinggi, opini tentang bidah mendominasi mayoritas manusia, dengan demikian terjadilah keterasingan seperti yang tercantum dalam hadits shahih di atas, demikian Asy-Syâthibî rahimahullôh menjelaskan. Sang Nabi yang benar dan dibenarkan –shollallohu alaihi wa sallam—telah memberitakan bahwa kelak keterasingan orang-orang yang melaksanakan perintah Alloh dan berusaha konsisten di atasnya akan semakin dahsyat dan mencekik jiwa, hingga kondisi orang-orang asing tersebut tak ubahnya seperti orang yang menggenggam bara api. Dari Abu Tsa‘labah Al-Khusyanî ra dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya setelah zaman kalian nanti akan ada hari-hari yang menuntut kesabaran penuh. Kesabaran di masa-masa tersebut seperti (kesabaran) orang yang menggenggam bara api.
Orang yang beramal pada waktu itu memperoleh pahala seperti 50 orang yang beramal seperti yang ia lakukan.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rosululloh, seperti pahala 50 orang dari mereka?” Beliau menjawab, “Pahala 50 orang dari kalian.” Perumpamaan Nabi shollallohu alaihi wa sallamdalam dalam hadits ini bahwa orang-orang yang konsisten melaksanakan Alloh dan sabar di atasnya seperti penggenggam bara, memiliki beberapa pelajaran yang bisa diambil. Di antaranya: - Dahsyatnya keterasingan agama Islam dan orang-orang yang melaksanakannya. - Dahsyatnya tekanan realita hidup terhadap orang-orang yang melaksanakan perintah Alloh tersebut untuk memalingkan mereka dari perintah-Nya. - Besarnya kesabaran para penegak perintah Alloh tersebut serta kuatnya keteguhan yang mereka miliki di tengah keterasingan yang begitu mencekik jiwa. - Besarnya keterasingan Islam dan orang-orang yang melaksanakannya –hingga tingkatan membuat seorang hamba Alloh seperti pemegang bara —bukan menjadi alasan untuk mundur dan menyerah dari kewajiban melaksanakan perintah Alloh, tidak juga menjadi alasan untuk menyimpang atau meremehkannya. Akan tetapi tidak ada pilihan lain selain terus “menggenggam bara”. Di masa-masa timbul fitnah bahwa Quran adalah makhluk, dikatakan kepada Imam Ahmad, “Hai Ahmad, tidakkah engkau melihat bagaimana kebatilan telah menang atas kebenaran?” maka beliau berkata, “Sesungguhnya unggulnya kebatilan atas kebatilan hanyalah urusan berpindahnya hati manusia dari kebenaran kepada kebatilan. Semantara hati kami tetap pada kebenaran sampai kapan pun juga.” - Bahwa tekanan realita hidup dalam keterasingan yang dahsyat seperti ini tidak bisa dihadapi dengan selain kesabaran. Bukan dengan membelokkan jalan kebenaran. Inilah sebabnya mengapa Nabi shollallohu alaihi wa sallam menyebut hari-hari seperti ini sebagai hari-hari yang menuntut kesabaran penuh. Karena, tanpa kesabaran –bahkan kesabaran yang besar melebihi kesabaran pemegang bara—seperti ini, tidak mungkin agama seorang hamba akan selamat di tengah-tengah berbagai fitnah dan kegoncangan- kegoncangan yang mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa shahabat Hudzaifah bin Yaman pernah mengambil dua buah batu lalu meletakkan salah satu di atas yang lain. Lalu beliau bertanya kepada para pengikutnya, “Apakah kalian melihat ada tembusan cahaya di antara dua batu ini?” para pengikutnya pun mengatakan, “Wahai Abu Abdillah, kami tidak melihat ada cahaya di antara keduanya kecuali sedikit.” Maka beliau pun berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kelak bidah akan merajalela sampai kebenaran tidak terlihat lagi kecuali hanya seperti cahaya yang berada di antara kedua batu ini. Demi Alloh, kelak bidah akan merajalela sampai- sampai ketika ada sebagiannya yang ditinggalkan maka orang-orang mengatakan, sunnah telah ditinggalkan.” Shahabat Sahl bin Abdulloh berkata, “Hendaknya kalian berpegang kepada atsar dan sunnah. Sebab aku mengkhawatirkan sebentar lagi akan datang suatu zaman di mana jika ada seseorang yang mengingatkan tentang Nabi shollallohu alaihi wa sallam atau perintah untuk mencontoh beliau dalam semua kondisinya, mereka kemudian mencelanya, mengingkarinya, berlepas diri darinya dan menghinakannya.” Betapa indah kata-kata Hisyam bin Hassân, ketika beliau berkata, “Pasti akan datang suatu masa di mana kebenaran dan kebatilan bercampur aduk. Ketika kondisi seperti ini, doa tidak lagi bermanfaat kecuali seperti doa orang yang sudah akan tenggelam dalam air.” Ibnu `l-Qoyyim berkata, “Jika seorang mukmin yang telah Alloh karuniai pandangan yang jeli tentang agama- Nya, pemahaman tentang sunah rosul-Nya, pemahaman tentang kandungan kitab-Nya, dan Alloh perlihatkan kepadanya kesesatan- kesesatan manusia serta penyimpangan mereka dari jalan yang lurus yang dijalani oleh Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan para shahabatnya, ingin tetap konsisten di atas hal tersebut maka ia harus membiasakan dirinya untuk menerima celaan, caci maki dan penghinaan dari orang-orang jahil dan ahli bidah serta provokasi mereka agar orang menjauhi dan mewaspadainya.
Sebagaimana dulu para pendahulu mereka melakukan hal yang sama dalam menyertai sang panutan dan imam mereka (Nabi) shollallohu alaihi wa sallam . Ketika manusia mencelanya dan menjelekkan jalan yang ia tempuh .” Atas dasar ini, maka siapa yang menginginkan dirinya menjadi pengikut THOIFAH MANSHUROH di tengah dahsyatnya keterasingan yang mencekik ini –seperti digambarkan oleh Ibnu `l-Qoyyim rahimahullôh— ia harus mempunyai modal awal untuk itu. Ia harus menjadi orang yang pemberani dan pantang mundur. Bisa melihat dengan jelas kondisi zamannya, tidak terbelenggu dalam kungkungan angan-angannya. Tidak banyak menggubris apa saja yang berada di luar tujuannya. Rindu untuk bisa meraih apa yang hendak dia raih sekaligus mengerti betul jalan untuk mencapainya dan juga penghalang- penghalangnya. Semangatnya tak pernah mundur. Teguh pendiriannya. Tidak pernah merasa kendur dalam menggapai tujuannya karena celaan orang yang mencela atau orang yang menyimpang. Banyak diam. Selalu berfikir. Tidak larut bersama lezatnya pujian mau pun pahitnya cacian.
Selalu menempuh sebab-sebab yang bisa mempermudah dia meraih kemenangan. Tidak merasa asing dengan banyaknya tentangan. Syiarnya adalah sabar. Istirahatnya adalah kepayahan. Di antara hal lain yang menjadikan para pengikut Thoifah Manshuroh mampu menangkal fitnah tekanan realita atau fitnah keterasingan adalah perasaan diri lebih mulia karena iman. Karena dada dan jiwa mereka selalu dipenuhi rasa mulia (karena iman) yang hanya Alloh jadikan bagi para pengikut agamanya saja, tidak kepada lain. Alloh Ta‘ala berfirman: “…(orang-orang munafik itu) adalah orang-orang yang mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang beriman. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang-orang kafir tersebut? Sesungguhnya kemuliaan itu semuanya adalah milik Alloh.” (QS. An-Nisa’: ) “Maka janganlah kamu bersedih karena kata-kata mereka. Sesungguhnya kemuliaan itu adalah milik Alloh semuanya. Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Jadi kemuliaan itu seluruhnya adalah milik Alloh.
Orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya serta agama-Nya sama sekali tidak memiliki bagian sedikit pun darinya, walau pun mereka memiliki kekuatan sepenuh langit dan bumi. Alloh Ta'ala telah menyebutkan ciri-ciri para pengikut Thoifah Manshuroh dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54) Mereka merasa tinggi di hadapan musuh-musuh agama ini, walau pun musuh memiliki kemenangan, walau pun musuh memiliki kekuasaan materi. Sebab, kemuliaan itu hanya ada pada Islam, bukan pada selainnya. Sebaliknya, ketika Alloh mensifati orang-orang beriman dengan kemuliaan, Alloh juga berfirman tentang orang-orang yang menentang-Nya dan menentang rosul-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Alloh dan rosul-Nya mereka itu ada dalam kehinaan.” (QS. Al-Mujâdilah: ) Rosululloh SAW bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya.” Hadits ini memiliki latar belakang yang menunjukkan fakta penting sangat kuat. Diriwayatkan dari ‘Âidh bin ‘Amr, bahwasanya dirinya datang bersama Abû Sufyân ketika penaklukan Mekkah. Ketika itu Rosululloh SAW tengah berada di tengah-tengah para sahabatnya. Maka mereka berkata, “Inilah Abu Sufyan dan Aidh bin Amr.” Mendengar kata-kata shahabat itu, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah Aidh bin Amr dan Abu Sufyan. Islam lebih tinggi dari itu, Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya.” Sekedar menyebutkan nama orang kafir terlebih dahulu sebelum nama orang Islam saja sudah bertentangan dengan prinsip bahwa Islamlah yang tertinggi. Bahkan, ketinggian tempat pun tidak boleh diambil oleh orang- orang non Islam, walau pun kemenangan dan kekuasaan tengah berada di tangan musuh-musuh Islam. Di dalam perang Uhud, ketika kaum muslimin tertimpa kekalahan, ada satu kelompok pasukan Quraisy yang naik ke atas gunung, melihat itu maka Rosululloh SAW berujar, “Ya Alloh, sungguh mereka tidak layak berada di atas kami.” Maka Umar dan beberapa pasukan dari kaum Muhajirin pun maju memerangi mereka hingga berhasil menurunkan mereka dari gunung tersebut. Ada rahasia-rahasia lembut yang terkandung dalam tafsir firman Alloh Ta‘ala: “… lalu kalian tertimpa kesedihan disusul kesedihan…” (QS. Ali Imron: ) Ibnu Abbas RA berkata, “Kesedihan pertama disebabkan kekalahan dan ketika dikatakan bahwa Muhammad shollallohu alaihi wa sallam telah terbunuh. Kesedihan kedua adalah ketika orang-orang musyrik berada di atas gunung melebihi tempat orang- orang beriman. Maka Nabi SAW berujar, “Ya Alloh, tidak layak mereka lebih tinggi dari kami.” Sekedar ketinggian tempat bagi orang-orang kafir atas orang-orang beriman, dan walau pun kaum muslimin dalam kondisi kalah yang menyebabkan mereka tertimpa sedih, tetaplah orang mukmin sejati itu jiwanya selalu merasa tinggi dengan semua makna ketinggian yang mutlak. Sebab Alloh telah memuliakan dan mengkhususkan orang mukmin dengan ketinggian yang tidak diberikan kepada makhluk lain yang tidak beriman, walau pun dirinya berada dalam kondisi paling jauh dari meraih kemenangan dan kekuasaan. Inilah yang tertanam dalam diri para shahabat –radhiyallôhu anhum—. Dari Thoriq bin Syihab ia berkata, “Umar bin Khothob pernah datang ke Syam dan bersama kami turut serta Abu Ubaidah bin Jarroh. Sesampai di sana, penduduknya menyambut mereka di atas unta-untanya. Maka Umar turun dari untanya, lalu ia lepas kedua terompahnya kemudian ia gantungkan pada lehernya. Setelah itu
ia menuntun tali kendali untanya dan berjalan di tengah-tengah
barisan unta penduduk. Melihat hal itu, Abu Ubaidah berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, engkau melakukan hal ini? Engkau turun dari untamu, lalu engkau lepas
kedua sandalmu dan engkau kalungkan pada leher setelah itu engkau menuntun tali
kekang untamu dan berjalan di tengah barisan unta penduduk? Aku ingin sekali
penduduk negeri ini memuliakan engkau.” Maka Umar RA menjawab, “Duhai
seandainya yang mengatakan itu bukan dirimu, wahai Abu Ubaidah,, tentu aku akan
menjadikannya [kurang hal. ] bagi umat Muhammad. Sesungguhnya dulu kita adalah
kaum yang paling hina, kemudian Alloh muliakan kita dengan Islam. Maka di mana
pun kita mencari kemuliaan pada selain Islam –yang dengan itu Alloh memuliakan
kita—, Alloh pasti menghinakan kita.” Alloh Ta‘ala berfirman kepada kaum
mukminin di tengah kondisi kekalahan mereka dan di tengah berbagai kecaman yang
mereka terima dari kaum musyrikin, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan
janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling
Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imron: 139-142) Dalam hal ini Alloh melarang hamba- hamba-Nya untuk merasa lemah dan sedih, walau pun mereka tengah ditimpa kekalahan dan badai ujian.
Hal itu dikarenakan merekalah para pemilik ketinggian dan kemuliaan sebenarnya selama mereka berpegang teguh dengan agama dan keimanannya. Jadi inti ketinggian dan harga diri adalah agama Islam ini yang
Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imron: 139-142) Dalam hal ini Alloh melarang hamba- hamba-Nya untuk merasa lemah dan sedih, walau pun mereka tengah ditimpa kekalahan dan badai ujian.
Hal itu dikarenakan merekalah para pemilik ketinggian dan kemuliaan sebenarnya selama mereka berpegang teguh dengan agama dan keimanannya. Jadi inti ketinggian dan harga diri adalah agama Islam ini yang
dengannya Alloh muliakan mereka. Setelah itu tidak perlu
mereka perdulikan kelemahan mereka dari sisi materi dan kemenangan berada di
fihak musuh. As-Sa‘di rahimahulah berkata, “Alloh Ta‘ala berfirman untuk
memberi motivasi kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, menguatkan semangat
mereka dan membangkitkan spirit mereka: “Dan janganlah kalian merasa lemah dan
jangan pula merasa sedih…” yakni, janganlah kalian merasa lemah dalam urusan fisik
dan jangan biarkan ada kesedihan dalam hati kalian ketika kalian tertimpa
musibah atau dicoba dengan ujian seperti ini. Karena sesungguhnya rasa sedih
dalam hati dan merasa lemah fisik hanya akan menambah musibah yang kalian
derita serta membuat musuh semakin mudah mengalahkan kalian. Tetapi hendaknya
kalian kuatkan hati kalian, pertahankan kesabarannya, usirlah kesedihan di
dalamnya, dan kokohkan diri kalian dalam memerangi musuh. Di sini Alloh Ta‘ala
telah menyebutkan bahwa tidak selayaknya mereka bersedih, sebab mereka lebih
unggul dalam hal keimanan dan harapan untuk mendapatkan pertolongan serta
pahala dari Alloh. Maka seorang mukmin yang mencari ganjaran dari sisi Alloh
baik di dunia mau pun di akhirat tidaklah selayaknya bersikap demikian. Oleh karena
itu, di sini Alloh Ta‘ala berfirman: “…padahal kalian adalah lebih tinggi jika
kalian beriman.” –selesai perkataan As-Sa‘dî —. Jadi di antara konsekwensi
bahwa orang beriman itu lebih tinggi adalah tidak merasa lemah, sedih dan patah
arang dalam memburu dan menghadapi musuh, walau pun tekanan realita kehidupan
memberikan tekanan yang sangat kuat kepada orang-orang beriman dikarenakan
kekuatan dan keunggulan berada di tangan musuh mereka. Apalagi –lebih tidak
layak bagi mereka—untuk menyerah dan mundur hanya lantaran mengikuti arus
tekanan realita hidup.
Sesungguhnya menanamkan hakikat seperti ini dalam diri orang beriman akan memberikan keteguhan yang kuat dalam dirinya ketika menghadapi tekanan realita, walau sebesar apa pun tekanan realita tersebut. Sebab, dengan begini seorang mukmin akan selalu merasa bahwa dirinyalah yang lebih tinggi dari semua yang berada di sekelilingnya, walau pun dari sisi materi ia lemah dan ia tidak memiliki kekuatan materi yang cukup solid. Ia juga akan selalu mengerti bahwa ketinggian dan keunggulan yang nampak dari kenyataan hidup jahiliyah –yang menjadikan jiwa ini segan dan takut untuk menyelisihinya —itu hanyalah penampilan yang semu dan menipu.
Keunggulan dan kemuliaan dari realita ini seperti fatamorgana yang sebenarnya tidak memiliki wujud nyata. Sebagai penutup, kami ingin menyampaikan: Sesungguhnya orang yang berinteraksi dengan sebuah realita hanya dengan melalui buku atau membaca media informasi atau yang sejenis, maka ia tidak mungkin bisa menilai realita yang dialami para mujahidin secara benar. Ia harus hidup langsung di tengah-tengah mereka dan mengenali keluh kesarh dan suka duka mereka.
Dan inilah yang dilakukan oleh Nabi SAW. Dahulu pernah ada seorang arab badui yang masuk ke majelis beliau, lalu ia bertanya, “Siapakah Muhammad di antara kalian?” Hal ini dikarenakan kehidupan Rosululloh SAW itu bergulir di tengah-tengah para shahabatnya. Dan dulu ketika para penduduk Madinah dikejutkan oleh sebuah suara yang membuat mereka ketakutan, mereka bergegas pergi ke arah suara tersebut. Lalu mereka berpapasan dengan Nabi shollallohu alaihi wa sallam yang ternyata sudah mendahului mendatangi sumber suara tersebut dengan mengendarai kuda milik Abu Tholhah, beliau tidak membawa cemeti tetapi di lehernya tergantung sebilah pedang.
Kemudian beliau bersabda, “Wahai manusia sekalian, kalian tidak akan tertimpa ketakutan.” Sekali lagi, orang yang memantau realita dari kejauhan, tidak mengalami kejadian-kejadiannya secara rinci, tidak mengalami cobaan-cobaan yang tengah berlangsung, maka tidak diragukan lagi ia akan jauh dari bidikan panah dan kecaman dari orang-orang kafir, kondisinya tetap tenang dan baik-baik saja. Lain halnya dengan mujahidin, sesungguhnya mereka bergumul dalam debu pertempuran bersama musuh-musuh mereka. Jalan yang mereka tempuh pun jelas rambu-rambu dan tujuannya. Kemudian dalam menempuh jalan menuju robbnya, mereka memberikan loyalitas karena- Nya dan memberikan permusuhan karena-Nya, mereka mencintai karena-Nya dan membenci karena- Nya. Doa yang menjadi penunjuk mereka adalah: Ya Alloh, milik Mu lah hasil akhir, hingga Engkau ridho… Di dalam perjalanannya pun, mereka tidak terbebas dari kesalahan dan aib. Jika kebetulan para mujahidin itu tertimpa berbagai luka dan ujian, atau kekalahan dan luka-luka, maka orang-orang yang hanya duduk tidak berjihad (baca: qoidun) itu segera menyerang mereka dengan kata-kata yang tajam, lantas mereka nilai keadaan mujahidin sesuai apa yang ada dalam fikiran mereka. Duh, seandainya mereka mau berada di garis depan pertempuran, atau ikut serta merasakan pergumulan dalam debu pertempuran bersama mujahidin, atau ikut merasakan langsung manis pahitnya berjihad dan tekanan-tekanan besar seperti gunung yang menimpa mujahidin, tentu lah kalau mereka memberikan nasehat atau pandangan akan diterima oleh mujahidin. Ya Alloh, tetapkanlah kelurusan bagi umat ini, yang di dalamnya orang- orang yang mentaati-Mu dimuliakan, orang-orang yang bermaksiat kepada-Mu dihinakan, diperintahkan di dalamnya yang makruf dan dicegah di dalamnya yang mungkar. Ya Alloh, hilangkanlah kezaliman dan kehinaan yang menimpa umat ini, dan tegakkanlah panji jihad di setiap tempat. Abu Mus'ab Az-Zarqawi
Sesungguhnya menanamkan hakikat seperti ini dalam diri orang beriman akan memberikan keteguhan yang kuat dalam dirinya ketika menghadapi tekanan realita, walau sebesar apa pun tekanan realita tersebut. Sebab, dengan begini seorang mukmin akan selalu merasa bahwa dirinyalah yang lebih tinggi dari semua yang berada di sekelilingnya, walau pun dari sisi materi ia lemah dan ia tidak memiliki kekuatan materi yang cukup solid. Ia juga akan selalu mengerti bahwa ketinggian dan keunggulan yang nampak dari kenyataan hidup jahiliyah –yang menjadikan jiwa ini segan dan takut untuk menyelisihinya —itu hanyalah penampilan yang semu dan menipu.
Keunggulan dan kemuliaan dari realita ini seperti fatamorgana yang sebenarnya tidak memiliki wujud nyata. Sebagai penutup, kami ingin menyampaikan: Sesungguhnya orang yang berinteraksi dengan sebuah realita hanya dengan melalui buku atau membaca media informasi atau yang sejenis, maka ia tidak mungkin bisa menilai realita yang dialami para mujahidin secara benar. Ia harus hidup langsung di tengah-tengah mereka dan mengenali keluh kesarh dan suka duka mereka.
Dan inilah yang dilakukan oleh Nabi SAW. Dahulu pernah ada seorang arab badui yang masuk ke majelis beliau, lalu ia bertanya, “Siapakah Muhammad di antara kalian?” Hal ini dikarenakan kehidupan Rosululloh SAW itu bergulir di tengah-tengah para shahabatnya. Dan dulu ketika para penduduk Madinah dikejutkan oleh sebuah suara yang membuat mereka ketakutan, mereka bergegas pergi ke arah suara tersebut. Lalu mereka berpapasan dengan Nabi shollallohu alaihi wa sallam yang ternyata sudah mendahului mendatangi sumber suara tersebut dengan mengendarai kuda milik Abu Tholhah, beliau tidak membawa cemeti tetapi di lehernya tergantung sebilah pedang.
Kemudian beliau bersabda, “Wahai manusia sekalian, kalian tidak akan tertimpa ketakutan.” Sekali lagi, orang yang memantau realita dari kejauhan, tidak mengalami kejadian-kejadiannya secara rinci, tidak mengalami cobaan-cobaan yang tengah berlangsung, maka tidak diragukan lagi ia akan jauh dari bidikan panah dan kecaman dari orang-orang kafir, kondisinya tetap tenang dan baik-baik saja. Lain halnya dengan mujahidin, sesungguhnya mereka bergumul dalam debu pertempuran bersama musuh-musuh mereka. Jalan yang mereka tempuh pun jelas rambu-rambu dan tujuannya. Kemudian dalam menempuh jalan menuju robbnya, mereka memberikan loyalitas karena- Nya dan memberikan permusuhan karena-Nya, mereka mencintai karena-Nya dan membenci karena- Nya. Doa yang menjadi penunjuk mereka adalah: Ya Alloh, milik Mu lah hasil akhir, hingga Engkau ridho… Di dalam perjalanannya pun, mereka tidak terbebas dari kesalahan dan aib. Jika kebetulan para mujahidin itu tertimpa berbagai luka dan ujian, atau kekalahan dan luka-luka, maka orang-orang yang hanya duduk tidak berjihad (baca: qoidun) itu segera menyerang mereka dengan kata-kata yang tajam, lantas mereka nilai keadaan mujahidin sesuai apa yang ada dalam fikiran mereka. Duh, seandainya mereka mau berada di garis depan pertempuran, atau ikut serta merasakan pergumulan dalam debu pertempuran bersama mujahidin, atau ikut merasakan langsung manis pahitnya berjihad dan tekanan-tekanan besar seperti gunung yang menimpa mujahidin, tentu lah kalau mereka memberikan nasehat atau pandangan akan diterima oleh mujahidin. Ya Alloh, tetapkanlah kelurusan bagi umat ini, yang di dalamnya orang- orang yang mentaati-Mu dimuliakan, orang-orang yang bermaksiat kepada-Mu dihinakan, diperintahkan di dalamnya yang makruf dan dicegah di dalamnya yang mungkar. Ya Alloh, hilangkanlah kezaliman dan kehinaan yang menimpa umat ini, dan tegakkanlah panji jihad di setiap tempat. Abu Mus'ab Az-Zarqawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar