PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Selasa, 03 Juli 2012

Konsekuensi Bagi Orang Murtad



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Alamiin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.
‘Amma ba’du :
Ikhwani fillah… materi kali ini adalah berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi terhadap orang yang sudah murtad atau keluar dari Islam (baik karena melakukan syirik akbar, kufur akbar ataupun berikrar untuk pindah agama, ed.) berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Banyak sekali konsekuensi-konsekuensi yang diberlakukan terhadap orang yang sudah murtad atau sudah kafir atau sudah keluar dari Islam. Ada konsekuensi-konsekuensi yang sifatnya duniawi dan ada konsekuensi-konsekuensi yang bersifat ukhrawi (akhirat).
I. Konsekuensi-konsekuensi yang diberlakukan di dunia ini, di antaranya:
1. Gugur hak perwalian atau penguasaannya terhadap kaum muslimin
a. Orang murtad tidak memilki wilayah (saitharah),
Tidak boleh diberikan kesempatan untuk menguasai orang muslim, AllahSubhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

“Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang kafir jalan untuk menguasai kaum muslimin”. (QS. An Nisaa’ [4]: 141)
Ayat ini sifatnya penafian, akan tetapi ini bermakna larangan bagi orang muslim untuk memberikan peluang atau kesempatan bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Kaum muslimin tidak boleh memberikan kesempatan atau peluang bagi orang murtad atau bagi orang kafir untuk menguasai diri mereka, maka dari itu orang kafir atau orang murtad tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum muslimin.
Begitu juga apabila si orang kafir atau murtad ini asalnya muslim dan menjadi pemimpin (amir) bagi kaum muslimin, lalu dalam perjalanannya dia murtad dari Islam, maka wajib atas kaum muslimin untuk melengserkannya, karena dengan sebab kemurtaddannya maka kepemimpinannya itu lepas dengan sendirinya. Jika dia tidak mau menanggalkan kepemimpinannya atau tidak mau turun dari jabatannya sebagai pemimpin atau amir maka wajib atas kaum muslimin untuk mencopot jabatannya. Karena seorang imam atau amir atau pemimpin atau presiden itu diangkat untuk ditaati sebagaimana firman-NyaSubhanahu Wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (pemimpin) di antara kalian” (QS. An Nisaa’ [4]: 59)
Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan untuk mentaati pemimpinnya, juga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Aku memerintahkan kalian dengan lima hal sebagaimana Allah memerintahkan saya dengannya: berjama’ah, mendengar dan taat… ” (HR. Ahmad dan At Tirmidziy, shahih)
Jadi keberadaan pemimpin adalah untuk ditaati, akan tetapi AllahSubhanahu Wa Ta’ala telah mengancam kepada orang-orang yang mentaati orang kafir :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman jika kalian mentaati orang-orang kafir tentu mereka mengembalikan kalian ke belakang (murtad)” (QS. Ali Imran [3]: 149)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengancam atau menghati-hatikan kepada orang muslim dari mentaati orang kafir; bahwa jika kalian mentaati orang-orang kafir, maka orang kafir ini akan mengembalikan kalian ke dalam kekafiran atau ke dalam kemurtaddan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang untuk mentaati orang kafir, maka berarti kepemimpinan orang murtad atau orang kafir atas kaum muslimin itu dilarang. Orang murtad tidak boleh diangkat untuk menjadi pemimpin atau amir atau presiden atau hal-hal yang seperti  itu, dia tidak boleh dibiarkan menjadi pemimpin ketika dia sudah murtad dari Islam.
Oleh sebab itu orang muslim tidak boleh ikut serta mengangkat orang kafir sebagai pemimpin, seperti ikut berpartisipasi dalam Pilpres, Pilkada dll, karena hal ini adalah sebuah bentuk pengangkatan orang kafir untuk menjadi pemimpin, mengangkat orang yang akan menerapkan atau memberlakukan hukum thaghut terhadap manusia.
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menghati-hatikan dalam firman-Nya:

فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

“Maka janganlah kamu mentaati orang-orang kafir, dan jihadilah mereka itu dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar”. (QS. Al Furqan [25]: 52)
Jadi, dikarenakan tidak boleh ditaati, berarti tidak boleh diangkat untuk menjadi pemimpin, dan ketika dia sudah menjabat sebagai pemimpin kaum muslimin kemudian dia murtad, maka kepemimpinannya lepas dengan sendirinya, dan bila dia tidak mau turun, maka wajib diturunkan oleh kaum muslimin, bila dia melindungi diri dengan kekuatannya maka wajib atas kaum muslimin untuk memerangi kelompok yang melindunginya dengan segenap kemampuan.
b.   Gugur hak perwalian dalam masalah pernikahan.
Bila ada seorang muslimah memiliki ayah, kemudian ayahnya ini murtad karena melakukan kemusyrikan atau hal-hal apa saja yang membatalkan keislaman, misalnya menjadi Anggota Dewan di DPR/MPR atau dia menjadi anshar thaghut (tentara/polisi), ketika muslimah tersebut mau menikah, maka si ayah ini –dalam Islam– tidak memiliki perwalian dalam nikahnya karena dia sudah murtad dari Islam. Keberhakkan dalam perwaliannya sudah gugur, dan karena Allah Subhanahu Wa Ta’alamelarang bagi orang muslim untuk memberikan kekuasaan kepada orang kafir.
c.    Gugur hak pengasuhannya (pengurusan terhadap anak)
Bila salah seorang dari orang tua, baik ayah atau ibu murtad dari Islam, maka tidak diberikan hak dalam pengasuhan anaknya. Ini dikarenakan kepengurusan anak memberikan jalan bagi dia untuk menguasai anaknya yang masih muslim ini. Sedangkan  setiap orang yang mengurusi anak, maka dia akan berupaya untuk mendidik anak tersebut di atas keyakinan yang dia anut.
2.    Tidak boleh shalat (bermakmum) di belakangnya
Kita tidak boleh shalat di belakang orang kafir atau orang murtad, umpamanya shalat dibelakang anggota MPR/DPR atau polisi atau tentara atau anshar thaghut yang lainnya yang mana dia menjadi imam shalat, karena orang kafir atau orang murtad segala amal-amalnya tidak sah karena syarat sah seluruh ibadah adalah Al Islam atau orangnya bertauhid, sedangkan orang murtad walaupun dia mengaku Islam atau melakukan amalan-amalan shalih, tapi kalau dia murtad dari Islam maka amal-amal yang dilakukannya; baik itu shalat, zakat, shaum atau yang lainnya adalah tidak sah.
Bagi orang yang mengetahui bahwa imamnya itu orang kaifr maka tidak boleh shalat di belakang dia, karena dia sudah mengetahui bahwa shalatnya si imam tersebut tidak sah, ini berbeda dengan orang yang tidak mengetahui bahwa imamnya ini orang kafir, baik tidak mengetahuinya karena tidak melihat hal-hal yang membatalkan keislaman dari imam tersebut (Masturul Hal) walaupun hakikat sebenarnya si imam itu orang kafir, akan tetapi karena si imam itu tetap menampakkan keislaman, maka orang yang shalat di belakangnya adalah sah. Kita tidak diwajibkan untuk mengorek-ngorek keyakinan si imam, misalnya si imam tersebut adalah sebenarnya anggota DPR/MPR atau aktifis sebuah partai, namun kita tidak mengetahui bahwa si imam itu anggota DPR/MPR atau aktifis sebuah partai maka shalat kita bermakmum kepadanya tetap sah, sedang kekafiran dia yang sebenarnya dihisab di sisi Allah, karena kita tidak diwajibkan untuk menanya-nanyai apa dan bagaimana tentang si imam tersebut.
Berbeda dengan orang yang sudah mengetahui bahwa imamnya itu adalah orang kafir, maka tidak boleh shalat di belakang imam yang seperti itu.
3. Tidak boleh menikahinya dan tidak boleh menikahkan seorang muslim dengannya.
Orang muslim tidak dibolehkan menikah atau menikahkan dengan orang yang sudah murtad atau keluar dari Islam dengan bentuk kemurtaddan apa saja, baik itu murtad karena mendukung syirik hukum atau pun melakukan syirik tumbal dan sesajian atau yang lainnya. Seorang ayah dilarang menikahkan puterinya yang muslimah atau laki-laki menikahkan saudarinya kepada laki-laki yang murtad atau yang kafir, karena AllahSubhanahu Wa Ta’ala menyatakan:

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”. (QS.Al Baqarah [2]: 221)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang wali menikahkan wanita yang dalam perwaliannya kepada orang-orang kafir atau musyrik atau orang murtad. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga mengatakan :

وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

“Dan janganlah kalian memegang ikatan (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir” (QS. Al Mumtahanah [60]: 10)
Bila asal keduanya atau pada awal penikahannya adalah muslim, lalu kemudian di tengah perjalanan si perempuannya murtad atau si laki-lakinya murtad, maka pernikahan tersebut lepas dengan sendirinya. Apabila dalam masa ‘iddah si perempuan kembali kepada Islam, maka si laki-laki boleh kembali kepadanya tanpa perlu akad nikah kembali. Begitu juga apabila yang murtadnya itu si laki-laki, jika masih dalam masa ‘iddah lalu si laki-laki tersebut kembali kepada Islam maka si perempuan boleh menerima kembali si laki-laki tanpa akad yang baru. Jika setelah beberapa waktu masa iddah berlalu dan salah satunya baru kembali kepada Islam, maka di sini ada dua pendapat para ulama, ada yang mengharuskan kembali akad dengan mahar yang baru dengan wali dan saksi, dan ada yang berpendapat tidak perlu dilakukan akad nikah kembali, dan yang rajih (kuat) –wallahu a’lam– adalah pendapat yang mengatakan tidak perlu akad kembali –jika si wanita tidak menikah dengan laki-laki yang lain sehabis masa ‘iddahnya–, ini berdasarkan apa yang terjadi saat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengembalikan puterinya Zainab kepada Abul ‘Ash Ibnu Ar Rabi’ setelah enam tahun. Dia (‘Abul ‘Ash) masuk Islamnya enam tahun setelah masa ‘iddah Zainab berakhir sebagaimana atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu: “Adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengembalikan puterinya Zainab kepada Abul ‘Ash Ibnu Ar Rabi’ dengan nikah yang terdahulu dan tidak mengadakan akad nikah lagi”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majjah dan di shahihkan oleh Imam Ahmad dan Al Hakim)
Jika tadi di awal Allah melarang menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman, dan begitu juga si ayah atau saudara atau laki-laki yang memiliki perwalian kepada perempuan tidak boleh menikahkan perempuan tersebut kepada laki-laki musyrik.
4.  Haram sembelihannya
Orang murtad haram sembelihannya, sedang yang Allah halalkan sembelihannya hanyalah sembelihan orang muslim atau sembelihan orang yang terlahir dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), bukan orang yang asalnya muslim kemudian murtad dan masuk Nashrani atau Yahudi atau murtadnya karena melakukan pembatal-pembatal keislaman lainnya seperti orang yang melakukan tumbal atau sesajian atau mendukung demokrasi dan hukum-hukum buatan lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menjelaskan tentang orang yang membuat sembelihan untuk tumbal: ”Hewan ini haramnya dari dua sisi: Pertama, sembelihan orang murtad, dan kedua karena hewan itu sembelihan yang diperuntukan untuk selain Allah”.
Ada kaidah fiqh yang mengatakan bahwa hukum asal sembelihan itu adalah haram kecuali yang dibolehkan oleh syari’at, yaitu sembelihan orang muslim atau sembelihan ahli kitab. Allah Subhanahu Wa Ta’alaberfirman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian yang baik-baik, dan sembelihan ahli kitab halal bagi kalian dan sembelihan kalian halal bagi mereka” (QS.Al Maaidah [5]: 5)
5. Tidak boleh mengucapkan salam terhadap mereka
Ini karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu“Janganlah kalian mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani” dalam satu riwayat dikatakan: “Jika kalian menjumpai orang-orang, musyrik, maka jangan kalian mengucapkan salam terhadap mereka”.
Jadi, orang muslim tidak boleh mengucapkan salam kepada orang-orang kafir, apalagi dengan orang murtad !
Adapun jika mereka mengucapkan salam terhadap kita maka boleh dijawab dengan “Wa‘alaikum”. Dan sebagian ulama membolehkan menjawab dengan jelas jika mereka mengucapkannya dengan jelas pula, tapi yang disepekati adalah jawaban wa ‘alaikum.
6.    Tidak boleh memuliakannya atau mengagungkannya
Karena orang-orang murtad itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan oleh Allah, sedangkan orang yang sudah dihinakan oleh Allah, maka tidak boleh kita muliakan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ

“Dan barangsiapa yang telah dihinakan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang memuliakannya”  (QS. Al Hajj [22]: 18)
Jadi, orang kafir sudah Allah hinakan, dan Allah menyiapkan bagi mereka ‘adzab yang menghinakan, maka tidak boleh orang muslim memuliakan orang kafir, memuliakan orang kafir adalah haram…
7.    Wajib bara’ (berlepas diri) dari mereka
Bara’ di sini adalah membenci dan memusuhinya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Telah ada pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya suri tauladan yang baik bagi kalian saat mereka mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Allah mendahulukan berlepas diri dari orangnya, karena pentingnya berlepas diri dari orang atau pelakunya, karena bisa jadi orang berlepas diri dari perbuatannya, tapi tidak berlepas diri dari orangnya.
Kita harus berlepas diri dari orang-orang murtad, dari orangnya dan dari perbuatannya. Ini adalah yang dinamakan bara’, memusuhi dan membenci kepada orang dan perbuatannya. Jadi kita harus berlepas diri dari mereka karena mereka adalah orang yang sudah Allah vonis kafir, makanya Allah meniadakan keimanan dari orang yang menjalin kasih sayang dengan orang-orang murtad atau orang kafir, Allah Subhanahu Wa Ta’alaberfirman:

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan menemukan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menjalin kasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan rasul-Nya walaupun mereka adalah ayah mereka, anak mereka, saudara mereka atau  kerabat mereka”   (QS. Al Mujaadilah [58]: 22)
Jadi Allah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir  tidak mungkin menjalin kasih sayang dengan orang yang murtad atau dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.
Di sini ada perbedaan, ketika kita berlepas diri dari orang musyrik dengan sikap kita terhadap orang muslim yang melakukan maksiat; jika orang muslim yang melakukan maksiat maka kita berlepas diri hanya dari perbuatannya dan bukan dari orangnya. Dalam Al Qur’an Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ

“Bila mereka maksiat kepada kamu (Muhammad), maka katakanlah sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian lakukan” (QS. Asy Syu’araa [26]: 216)
Bila dengan orang kafir dikatakan: “Kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah”, sedangkan jika dengan muslim yang maksiat maka kita berlepas diri dari perbuatannya atau dari maksiatnya, dan bukan dari orangnya. Ketika Khalid Ibnul Walid melakukan kesalahan dalam peperangan, beliau membunuh orang yang tidak layak untuk dibunuh, maka Rasul mengatakan: “Ya Allah, saya berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Khalid” (Al-Bukhary no. 4339 dari Ibnu ‘Umarradhiyallahu ‘anhuma)
8.    Tidak boleh saling mewarisi dengan orang muslim
Misalkan dalam sebuah keluarga muslim ada anaknya yang murtad, lalu ayahnya meninggal dunia, maka si anak yang murtad ini tidak berhak mendapatkan warisan dari si ayah tersebut, dan begitu juga sebaliknya. Jika orang murtad di Negara Islam maka di samping dibunuh orangnya, hartanya juga diambil untuk Baitul Mal, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim” (Muttafaq ‘alaih dari Usamah bin Zaid radliyallahu’anhu).
Akan tetapi dalam kondisi zaman ini (di saat tidak adanya Baitul Mal, ed), jika ada  seorang muslim sedangkan ayahnya murtad lalu si ayah tersebut meninggal dunia, maka apabila ada harta yang diberikan kepadanya, maka itu adalah bukan sebagai bentuk warisan, akan tetapi diterima saja karena dikhawatirkan  diambil oleh orang lain, dan atas kerelaan dia, maka harta yang jatuh ke tangannya bisa digunakan untuk kepentingan dirinya atau kepentingan kaum muslimin.
9.    Orang murtad tidak diakui hidupnya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah” (HR. Bukhariy).
Jika orang murtad secara individu di Negara Islam maka akan dipanggil dan dinasehati supaya taubat dan diberi tenggang waktu, jika dia bertaubat maka dilepaskan lagi dan jika tidak bertaubat, maka dibunuh.
Akan tetapi jika yang murtad itu sifatnya berkelompok dan memiliki kekuatan untuk melindungi diri dari hukum Islam meskipun di wilayah Negara Islam, maka ini tidak dinasehati atau disuruh taubat terlebih dahulu, akan tetapi langsung diperangi oleh Pemerintah. Ini sebagaimana yang terjadi di zaman Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu tatkala memerangi kelompok Musailamah Al Kadzdzab kaum Banu Hanifah di Yamamah, mereka murtad dan mengikuti pemimpinnya dan mereka juga mempunyai pasukan dan kekuatan, maka oleh Abu Bakar mereka langsung diperangi.
Begitu juga bagi orang murtad yang bersifat thaghutiyyah, karena mereka memiliki kekuatan (tentara dan senjata) maka ini juga langsung diperangi saat kaum muslimin memiliki kekuatan, dan karena Allah mewajibkan untuk memerangi mereka dengan sebab mereka (para thaghut) itu adalah musuh yang telah masuk dan bahkan telah mengakar di negeri-negeri kaum muslimin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas dari kamu” (QS. At Taubah [9]: 123)
Para thaghut hukum dan ansharnya adalah orang-orang kafir yang paling dekat dengan kita, maka itulah yang diperangi terlebih dahulu.
Ini adalah bila yang sifatnya kelompok, bukan dinasehati agar bertaubat, akan tetapi diperangi… Orang murtad kenapa dibunuh ? karena halal darah dan hartanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Tidak halal darahnya orang muslim yang bersaksi tiada tuhan yang berhak diibadati selain Allah dan aku adalah rasul Allah kecuali dengan salah satu dari tiga hal; zina muhshan, qishash, keluar dari Islam”(HR. Al Bukhari dan Muslim).
Orang murtad dibunuh karena dia tidak kafir kepada thaghut, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah maka haram darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah” (HR. Muslim dari Abu Malik Al Asyja’iy). Makna dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah adalah kafir terhadap thaghut, sedangkan orang murtad tidak kafir kepada thaghut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ

“Maka bunuhilah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian dapatkan mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (QS. At Taubah [9]: 5)
“Jika mereka taubat” adalah taubat dari kemusyrikannya atau dari kethaghutannya, dan orang yang tidak mau taubat atau dia bersikukuh di dalam kemusyrikan dan kethaghutannya maka berarti dibunuh…
Demikianlah konsekuensi-konsekuensi yang dikenakan bagi orang murtad di dunia.
II. Konsekuensi-Konsekuensi di Akhirat :
1.    Dipastikan sebagai calon ahli neraka
Jika orang murtad mati di atas kemurtaddannya; umpamanya ada polisi atau tentara mati sewaktu dalam dinasnya, maka kita boleh memastikan bahwa dia calon penghuni neraka, karena orang kafir atau orang murtad sudah Allah pastikan masuk neraka.
Ketika Khalifah Abu Bakar memerangi kelompok murtad para pengikut Musilamah Al Kadzdzab, ketika mereka terdesak hingga akhirnya menyerah dan minta damai dengan mengirim utusan Buzakhakh, akan tetapi oleh Khalifah Abu Bakkar tidak diterima kecuali jika mereka mau menerima syarat-syarat yang di ajukan oleh Abu Bakar dan disepakati oleh para shahabat, dan di antara syarat-syarat itu adalah mereka harus mau bersaksi bahwa orang yang mati di antara mereka adalah masuk neraka.
Sedangkan dalam ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, apabila orang muslim yang bertauhid meninggal dunia dan jika semasa hidupnya dia adalah seorang yang taat, maka kita tidak boleh mengatakan bahwa “si fulan ini calon penghuni surga”, tapi boleh mengatakan “Mudah-mudahan dimasukkan ke surga”. Dan jika orang muslim itu semasa hidupnya sering melakukan maksiat, maka kita tidak boleh mengatakan “si fulan calon penghuni neraka”, tapi boleh mengatakan “dikhawatirkan dia di ‘adzab di akhirat”. Jadi kalau orang muslim yang baik dan taat tidak boleh dipastikan masuk surga kecuali jika ada dalil yang khusus, muslim yang fasiq juga tidak boleh dipastikan masuk neraka, akan tetapi jika orang kafir atau orang murtad, maka boleh dipastikan masuk neraka…
2.    Tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dikafankan.
Orang murtad jika mati tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dikafankan, seadanya saja dengan pakaian yang menempel sewaktu mati, karena orang murtad tidak ada harganya lagi sebab dia sudah menghinakan dirinya sendiri dengan kekafiran atau kemurtaddannya.
Ketika di perang Badar, Rasulullah shallallah’alaihi wa sallam tidak mengubur orang-orang musyrik yang mati dalam perang sebanyak 70 orang. Beliau langsung memasukkan mereka ke dalam sumur Badar. Tidak dimandikan dan dikafani terlebih dahulu, tapi langsung apa adanya dimasukkan ke dalam sumur.
3.    Tidak boleh dishalatkan
Bila ada anshar (kaki tangan) thaghut seperti polisi atau tentara mati sewaktu dinas, atau anggota MPR/DPR atau Hakim/Jaksa mati di atas kemusyrikan dan kethaghutannya, maka kita tidak boleh ikut menshalatkannya, ini adalah haram karena dia orang kafir, AllahSubhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا

Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan seorang yang mati di antara mereka selamanya” (QS. At Taubah [9]: 84)
Bukannya dapat pahala tapi justru mendapatkan dosa jika kita menshalatkannya. Begitu juga bagi orang yang suka membuat tumbal atau sesajian, bila dia belum taubat lalu mati di atas kemusyikannya maka dia tidak boleh dishalatkan.
4.    Tidak boleh dido’akan
Orang yang mati di atas kemurtaddannya atau kemusyrikannya atau kekafirannya haram dido’akan atau memintakan ampunan dari Allah baginya di akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tidak layak bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam”.(QS. At Taubah [9]: 113)
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan buat ibundanya yang meninggal dalam keadaan musyrik, tapi Allah melarang dan tidak memberikan izin. Dan ketika Abu Thalib yang terkenal suka membela Rasulullah itu meninggal, beliau shalallahu’alaihi wa sallam berkata: “Saya akan memintakan ampunan kepada Allah untuk engkau selama saya tidak dilarang”, maka turunlah ayat tadi di atas.
Dan yang lebih haram lagi adalah mengatakan kepada orang murtad“almarhum” atau “almarhumah” yang artinya orang yang dirahmati, jika saja kepada orang muslim yang baik kita tidak dibolehkan mengucapkannya, maka terlebih lagi terhadap orang murtad. Akan tetapi kita hanya dibolehkan mengucapkan rahimahullah (semoga Allah merahmati) kepada orang muslim yang baik.
5.    Tidak boleh dikubur di pekuburan kaum muslimin
Orang murtad jika dia mati, maka dia tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin, karena mereka sudah hina dan tidak berharga lagi.
6.    Haram masuk surga
Orang murtad tidak mungkin masuk surga bila dia mati di atas kekafirannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan:

إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri, tidak dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lobang jarum, demikianlah Kami memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat kejahatan” (QS. Al A’raaf [7]: 40)

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

 “Sesungguhnya siapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh Allah telah mengharamkan surga atasnya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada seorang pun penolong bagi orang-orang yangzhalim...” (QSAl Maaidah [5]: 72)

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. (QS. Al Bayyinah[98]: 6)
7.    Mereka kekal di dalam neraka
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah [2]: 217)
8.    Amal ibadahnya hapus
Segala amal ibadah yang pernah dilakukan oleh orang murtad seperti; zakat, shaum, haji, infaq, dan yang lainnya itu hapus sia-sia:

وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa yang kafir setelah dia beriman maka hapuslah amalannya, dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi”. (QS. Al Maaidah [5]: 5)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah [2]: 217)
Dan bahkan para rasul diancam Allah bila mereka melakukan kemusyrikan:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka melakukan kemusyrikan tentu lenyaplah amalan yang mereka lakukan” (QS. Al An’am [6]: 88)
Ini adalah ancaman kepada para rasul, maka apa gerangan dengan kita…?! Dan bahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri Allah mengatakan:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Andaikata kamu (Muhammad) melakukan syirik maka lenyaplah amalan kamu” (QS. Az Zumar [39]: 65)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu disebabkan karena mereka membenci apa yang Allah turunkan, maka Allah hapuskan amalan mereka” (QS. Muhammad [47]: 9)
Jika orang membenci ajaran Allah, atau bahkan sedikit saja membenci ajaran Allah, maka itu adalah suatu bentuk kemurtaddan, keluar dari Islam dan hapus segala amalannya.
9.    Tidak mendapatkan syafa’at
Orang murtad tidak mungkin mendapatkan syafa’at di akhirat dari para nabi dan malaikat yang diizinkan Allah akan memberikan syafa’atnya, juga orang-orang shalih, orang-orang yang mati syahid dan anak kecil yang meninggal, semua akan memberikan syafa’at dengan izin Allah, akan tetapi ini tidak berlaku bagi orang yang mati di atas kekafiran.
Ini karena syafa’at itu memiliki syarat; Pertama, izin dari Allah terhadap orang yang akan memberikan syafa’at, dan kedua; Allah ridla terhadap orang yang akan diberikan syafa’at, sedangkan Allah tidak meridlai kekafiran, dan syarat ridla ini adalah sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan:

وَلا يَشْفَعُونَ إِلا لِمَنِ ارْتَضَى

“Dan mereka (malaikat) tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah” (QS. Al Anbiya [21]: 28)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak meridlai kekafiran sebagaimana firman-Nya:

وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

“Dan Dia tidak meridlai kekafiran bagi hamba-Nya” (QS. Az Zumar [39]: 7)
Allah tidak ridla dengan kekafiran, sedangkan syarat untuk mendapatkan syafa’at adalah Allah ridla kepada orang yang akan diberikan syafaat.
Dan di hari kiamat ketika orang-orang kafir sudah masuk ke dalam neraka, mereka berkata dengan penuh penyesalan:

فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ

“tidak ada yang memberikan syafa’at bagi kami”  (QS. Asy Syu’araa [26]: 100)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

“Tidak bermanfaat bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at”. (QS. Al Mudatstsir [74]: 48)
Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam berkata: “Setiap nabi mempunyai do’a yang mustajab dan setiap nabi sudah menyegerakan untuk memakainya di dunia ini, dan saya simpan do’a mustajab saya ini sebagai syafa’at bagi umat saya di hari kiamat. Itu pasti didapatkan Insya Allah oleh orang yang mati di antara umatku sedang dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun”. (HR. Muslim)
Satu-satunya orang kafir yang mendapatkan syafa’at hanyalah Abu Thalib, itupun bukan dalam bentuk dikeluarkan dari api neraka, tapi hanya diringankan ‘adzabnya saja, dari yang asalnya neraka yang paling dasar diganti dengan sandal dari api neraka yang mana bila dipakai, maka otak yang ada di kepalanya mendidih. Sedangkan orang yang paling ringan ‘adzabnya di akhirat mengira bahwa dirinya adalah orang yang paling berat ‘adzabnya.
Demikianlah di antara sekian banyak konsekuensi-konsekuensi yang diberlakukan kepada orang yang sudah divonis murtad. Semoga kita terhindar dari hal-hal yang menghantarkan kepada kemurtaddan, aamiin…
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para shahabat dan para pengikutnya sampai hari kiamat.[1]
Alhamdulillaahirrabbil Aalamiin

[1] Disadur dari Seri Taushiyyah Materi Tauhid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar