PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Selasa, 03 Juli 2012

WAJIBNYA KHURUJ DARI PEMERINTAH KAFIR"


  • WAJIBNYA KHURUJ DARI PEMERINTAH KAFIR"

    A. Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/124 telah menukil perkataan Ibnu Tien, "Para ulama telah ijma' (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid'ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau kha-lifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan ; apakah dilawan atau tidak?." Ibnu Hajar berkata," Pernyataan beliau tentang adanya ijma' ulama mengenaih hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid'ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid'ah yang jelas-jelas membawa kepada keka-firan yang nyata."

    B. Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/132 juga menyatakan,"Kesimpulannya seorang khalifah di-pecat berdasar ijma' kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. Siapa kuat melaksanakannya maka baginya pahala, siapa yang berkompromi baginya dosa, sedang yang tidak mampu (lemah) wajib hijrah dari bumi tersebut."
    C. Juga dalam Fathul Bari XIII/11 disebutkan," Sebagian ulama menyatakan sejak awal tidak boleh mengangkat seorang fasik sebagai khalifah. Jika ternyata kemudian ia berbuat dzalim setelah sebelumnya memerintah dengan adil, para ulama berbeda pendapat tentang hukum keluar darinya. Pendapat yang benar adalah tidak boleh kecuali jika ia telah kafir, maka wajib keluar darinya."


    D. Imam Nawawi menukil dalam Syarhu Sha-hih Muslim XII/229 dari qodhi Iyadh,"Jika terjadi kekafiran atau merubah syari’at atau bid'ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa maka gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan men-jatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. JIka tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang ma-ka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi' (berbuat bid'ah) tidak wajib menjatuh-kannya kecuali jika mereka memperkirakan mam-pu melakukan hal itu…"

    E. Imam Ibnu Katsir setelah menyebutkan Alyasiq yang ditetapkan oleh Jengish Khan, beliau berkata,"Undang-undang ini bagi anak keturunan-nya akhirnya menjadi sebuah perundang-unda-ngan yang diikuti. Mereka mendahulukannya atas berhukum dengan Kitabullah dan Sunah Rasu-lullah. Siapa saja di antara mereka melakukan hal ini maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga tidak diberlakukan hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya, baik dalam masalah yang sedikit maupun banyak." [Tafsir Al Qur'anil 'Adzim II/68].

    F. Imam Asy Syaukani setelah berbicara ten-tang orang yang berhukum kepada selain syari’at Allah, beliau berkata," Jihad melawan mereka itu wajib dan memerangi mereka itu sebuah keharu-san sampai mereka menerima hukum-hukum Islam, tunduk kepadanya dan menghukumi di antara mereka dengan syariah muthaharah dan keluar dari seluruh thaghut-thaghut syaitaniyah yang mereka ikuti." [Ad Dawa-ul 'Ajil Fi Daf'il 'Aduwwi al Shoil hal. 25].

    G. Imam Ibnu Abdil Barr dalam Al Kafi (I/463) mengatakan,"Al Umari al 'abid --yaitu Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdullah bin Umar bin Khathab] bertanya kepada imam Malik bin Anas,"Wahai Abu Abdillah, bolehkah kita tidak terlibat dalam memerangi orang yang keluar dari hukum-hukum Allah dan berhukum dengan selain hukum-Nya?" Imam Malik menjawab, "Urusan ini tergantung kepada jumlah banyak atau sedikit." Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata,"Jawaban Imam Malik ini sekalipun ber-kenaan dengan jihad melawan orang-orang non musyrik, namun juga mencakup orang-orang musyrik dan mencakup amar makruf nahi mung-kar. Seakan-akan beliau berkata siapa mengeta-hui bahwa jika ia melawan musuh, musuh akan membunuhnya sedang ia tidak menimpakan kehi-naan sedikitpun pada diri musuh, maka ia boleh meninggalkan memerangi mereka dan bergabung dengan sekelompok kaum muslimin yang lain…".
    Pernyataan-pernyataan lugas dari para ulama yang menyatakan adanya ijma' keluar dari ketaatan kepada penguasa jika ia telah kafir ini menjelaskan kesalahan pendapat syaikh Al Albani yang menyatakan tidak disyari’atkannya keluar dari penguasa yang kafir.

    Sebagaimana orang yang memperhatikan soal yang diajukan kepada Imam Malik mendapati bahwa si penanya tidak menanyakan bolehnya memerangi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, akan tetapi bertanya tentang boleh-nya tidak terlibat dalam memerangi mereka. Jika kita telah mengetahui bahwa penanya adalah Abdullah bin Abdul Azizi Al Umari, seorang ulama yang zuhud, tsiqah, seorang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana dise-butkan dalam Tahdzibu Tahdzib III/196-197. Saya katakan kalau kita telah mengetahui hal ini, kita akan memahami jawaban karena memang bentuk soalnya seperti ini. Al Umari al 'abid telah memahami betul bahwa memerangi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah di-syari’atkan bahkan wajib. Tapi ia menanyakan apakah ada rukhshah (keringanan) yang membo-lehkan tidak memerangi mereka? Ternya-ta jawaban Imam Malik jeli juga, beliau mengem-balikan masalah ini kepada banyak dan sedikitnya jumlah, artinya kepada kemampuan. Maksudnya, siapa mempunyai kemampuan maka ia harus me-merangi mereka, sedang yang tidak mempunyai kemampuan tidak mengapa jika ia tidak meme-rangi mereka.

    Dalam penjelasan imam Ibnu Abdil Barr terhadap perkataan imam Malik, imam darul hijrah, juga terkandung sebuah kupasan yang sangat baik yaitu perkataan beliau,"…maka ia boleh meninggalkan…" Beliau tidak mengatakan ,"…Wajib baginya meninggalkan…" ini menunjuk-kan bahwa kemampuan bukanlah syarat sahnya perang, melainkan sekedar syarat wajibnya pe-rang. Siapa tidak mempunyai kemampuan maka tidak ada dosa atasnya jika ia memaksakan dirinya berjihad, bahkan sekalipun ia mengetahui ia tidak mampu meraih kemenangan atas musuh, selama hal itu masih mengandung maslahat syar’iyah seperti menanamkan ketakutan di hati musuh dan membangkitkan keberanian dalam diri kaum muslimin atau maslahat lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar