Inilah perkataan yang sering dilontarkan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu) yang ingin membenarkan amalan-amalan bid’ah yang mereka lakukan dengan dalih bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, namun ada bid’ah yang baik (hasanah), perkataan inilah yang sering mereka nisbatkan dan sandarkan kepada madzhab syafi’i. Maka marilah kita lihat bagaimana pandangan Imam Syafi’i dan Ulama-ulama yang bermadzhab syafi’iyyah mengenai hal ini.
Harmalah bin Yahya meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela”
[Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H]
Dari perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i diatas itulah yang menjadi sandaran kebanyakan orang yang ‘mengaku’ bermadzhab syafi’iyyah, yang ternyata perkataan inilah yang membantah mereka sendiri.
Kalaulah kita mendefinisikan secara terperinci apa yang dimaksud dengan ‘yang sesuai dengan sunnah’ dan apa yang dimaksud dengan ‘yang menyelisihi sunnah’ (bid’ah) maka perkataan diatas sejalan dengan hadits Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau bersabda, yang artinya:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Shåhih, HR. Muslim no. 867)
Sesungguhnya tidak ada pertentangan dari sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam diatas, dengan perkataan imam asy-syafi’i, Seperti yang telah dinyatakan diatas. Karena, jika kita mendefinisikan dan menempatkannya secara benar mengenai maksud bid’ah tersebut, maka akan kita temukan bahwa ternyata keduanya akan sejalan tanpa ada pertentangan.
Pelurusan Definisi Bid’ah secara Bahasa Dan Maknawi
1. Pengertian bid’ah dalam kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at [Lihat Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim 2/590]
Contohnya yaitu, adanya sarana-sarana baru dalam agama, seperti pesawat terbang, bus, mobil atau alat transportasi lainnya yang memudahkan jama’ah haji dalam perjalanan hajinya, adanya microphone untuk memudahkan orang mendengarkan adzan, adanya telefon untuk memudahkan silaturahmi, adanya internet untuk dapat memudahkan dakwah, dan berbagai hal-hal baru yang dapat membantu kaum muslimin dalam menjalankan dan mengamalkan syari’at ini.
Benar ini adalah Bid’ah, karena dahulu sarana-sarana semacam ini tidaklah ada sebelumnya, namun perlu diketahui penggunaan sarana ini tidaklah mengubah/menambah amalan atau syari’at baru yang telah sempurna. Jadi hal ini bukanlah termasuk bid’ah yang sesat, seperti yang disabdakan oleh Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi wa sallam.
2. Jika dikatakan bid’ah secara mutlak, maka itu adalah bid’ah syar’iyyah, inilah yang dimaksud oleh hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, yang bid’ah disini bermakna,
“Suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dan menanggapnya bagian dari syari’at, yang dimana tujuan dibuatnya adalah untuk beribadah kepada Allah, yang sebelumnya belum pernah sama sekali ada petunjuk dan tuntunan dari Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam”
Dan bid’ah lughawiyyah tidak termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah (bahasa) itu tidak bisa diembel-embeli sifat sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ditolak dan batil.
Inilah yang disebut Imam Asy-Syafi’i Bid’ah yang tercela, karena ini telah menyelisihi syari’at yang dibawa oleh Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam. (seperti dalam pendefinisian beliau, bahwa bid’ah yang tercela adalah yang menyelisihi syari’at).
Dalam sabda, Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya..
كُلَّ “kullu”, yang dimaksudkan adalah ‘semua tanpa terkecuali’, Asy-Syatibhi mengatakan,
“Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.”
(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaa pun menguatkan hadits diatas dengan berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Taruhlah jika mereka tetap kekeuh bahwa tidak setiap bid’ah adalah sesat. Maka bagaimanakah mereka jika dihadapkan dengan lafazh hadits berikut?
كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار
..wa kullu bid’atin dhålaalah, wa KULLU DHÅLAALATIN finn-naar
“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”
[HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang SHÅHIYH]
Maka dengan mengganti arti “KULLU” dengan ‘sebagian’, maka makna hadits diatas akan menjadi:
“SEBAGIAN bid’ah adalah kesesatan, dan SEBAGIAN KESESATAN tempatnya di neraka”
Maka kita tanyakan: “Apakah ada kesesatan yang membawa ke surga?” Allåhul musta’aan, cukuplah ini menjadi hujjah yang nyata bagi orang-orang yang berpikir!
Bantahan Terhadap “Dalil-Dalil Pendukung” Bid’ah Hasanah
Lalu bagaimanakah bid’ah hasanah yang sering digembar-gemborkan dengan menggunakan sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, perkataan ‘Umar bin Khåttab, perkataan imam asy-syafi’i, perkataan ibnu mas’ud, dan perkataan Al ‘Izz?
Maka hal ini, insya Allåh akan kita bahas secara mendalam,
1. Pemahaman mereka terhadap hadits,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
”Barang siapa yang memberi contoh yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa memberi contoh yang buruk dalam Islam maka dia akan mendapatkan beban dosanya serta dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi beban mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no: 1017).
Bantahan:
- Yang dimaksud dengan مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً adalah
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah (yang sudah ada, dan telah dicontohkan Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam). Bahkan, asbabul wurud dari hadits diatas yaitu ketika salah seorang shahabat Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka berturut-turut memberikan sedekah.”
“Hadits ini tidak menunjukkan sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid’ah hasanah) karena Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits tersebut tidak menyatakan:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً
Siapa yang mengada-adakan bid’ah hasanah,
namun beliau shalallahu ‘alaihi wassalam hanya menyatakan:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah
Sementara sunnah bukanlah bid’ah. Sunnah adalah apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki dalil, dan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi wa sallam, demikianlah yang namanya sunnah.
Maka barangsiapa yang mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah ash-shåhihah –dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada manusia dan menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut karena mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut-, maka ia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.
- Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati,.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”
- Imam An-Nawawi juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya.
Beliau menafsirkan, “Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444).
Maka kecelakaan besarlah, bagi para pelaku bid’ah, jika ternyata banyak yang mengikuti kebid’ahannya itu, karena ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya (tanpa mengurangi dosa para peniru kebid’ahan tersebut), baik semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. Bukannya hadits ini menjadi dalil pembenar para pengekor hawa nafsu malah inilah yang bisa menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
- Bahwa makna “barangsiapa” dalam hadits tersebut adalah “barangsiapa” yang memberi contoh aplikatif bukan inovatif. Maka yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah mengamalkan sesuatu yang telah ada dalam sunnah nabawiyah (bukan yang diada-adakan).
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).
- Yang menyatakan ,”Barang siapa yang memberi sunnah/contoh yang baik dalam Islam” adalah yang menyatakan,” Setiap bid’ah adalah sesat.” Dan mustahil beliau shållallåhu ‘alaihi wa sallam mengatakan sesuatau yang mendustakan pernyataannya sendiri, sedangkan kedua hadits tersebut adalah shåhih, sehingga informasi Islam ini berbenturan.(Al-Ibda’ Ibnu Utsaimin hal:19)
2. Pemahaman mereka mengenai perkataan ‘umar,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Bantahan
- Disebut bid’ah hasanah disini adalah bid’ah secara bahasa-nya, dan bukanlah dimaksudkan sebagai bid’ah secara syar’i.
Bahkan ini telah dijelaskan oleh ulama lain, seperti Al Alamah Ibnu Hajar al haitami didalam fatwanya yang menyatakan :
“….sedangkan ucapan ‘Umar berkenaan dengan tarawih : Sebaik-baik bid’ah,…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebelumnya : sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Katakanlah Aku bukanlah rasul yang pertama diantara rasul-rasul ….”(al Ahqaf :9)
Dikuatkan juga dengan perkataan Al-Imam Ibnu Råjab:
“Sementara yang berkaitan dengan ucapan sebagian ulama salaf yang mengkategorikan beberapa perbuatan sebagai bid’ah hasanah adalah ditinjau dari pemakaian istilah bid’ah itu secara etimologi , bukan TERMINOLOGI syar’I . Termasuk ucapan Umar Radhiallahu ‘anhu :”Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini!!” Maksudnya adalah perbuatan tersebut tidak dilakukan pada saat itu. Namun terdapat dalil yang menjadi dasar perbuatan itu.”
(silahkeun lih. Jami’ul ulum wal Hikam hadits no.28)
Terbukti, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa.
3. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An-Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
- Kalaupun memang perkataan Umar diatas yang dimaksudkan adlaah bid’ah syar’i, maka hal tersebut harus disanggah. Karen perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
Ingatlah pula dengan perkataan Imam Asy-Syafi’i, dalam kitabnya, Hilyatul Awliya’ pada halaman 107, yang artinya:
“Apabila engkau dapati ajaran dari Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam, maka ikutilah ajaran itu dan jangan kalian menoleh kepada pendapat seorangpun”
- Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an dan As Sunnah Ash-Shåhihah sesuai pemahaman shåhabat atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian (tahlilan). Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
4. Pemahaman mereka terhadap atsar, ”Apapun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu baik menurut Allah .”(Musnad Ahmad 1/39).
Bantahan:
- Periwayatan atsar tersebut hanya sampai pada Abdullah Ibnu Mas’ud dan tidak sampai pada Rasulullah . Ibnul Qoyyim berkata,” Atsar ini bukan perkataan Rasulullah dan tak seorangpun menisbatkannya kepada beliau kecuali ia tidak mengerti tentang hadits. Ini hanyalah dari Ibnu Mas’ud.”(Al- Furuusiyyah, Ibnul Qoyyim hal:167). Komentar Az-Zaila’iy:” Gharib secara marfu’ dan tidak aku dapatkan kecuali terhenti pada Ibnu Mas’ud.”(Nashburrayah 4/133).
- Fungsi alif lam dalam kata “almuslimun”(pada atsar di atas) adalah untuk menyatakan sesuatu yang telah diketahui yaitu para shahabah sebagaimana yang ditunjukkan oleh alur kalimat dalam atsar tersebut dimana dikatakan di situ,” Sesungguhnya Allah melihat hati-hati para hambaNya, maka Allah dapatkan hati Muhammad sebaik-baiknya lalu Allah pilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya untuk mengemban misi-Nya, di mana hati para shahabah adalah yang terbaik lalu Allah jadikan mereka para pendukungnya. Mereka berperang demi membela agamanya, maka apapun yang dianggap baik para muslimun tersebut baik pulalah dalam pandangan Allah. Sebaliknya apapun yang dianggap buruk oleh mereka, maka buruk pulalah dalam pandangan Allah .”
- Bagaimana mungkin berdalih untuk menganggap baiknya sebuah bid’ah dengan perkataan seorang shahabah yang merupakan orang yang paling keras dalam melarang daqn mengecam bid’ah. Bukankah telah kita baca bersama beliau mengatakan:”Ikutilah dan jangan membuat bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Dan banyak lagi ucapan-ucapan beliau yang lain dalam hal ini.
5. Perkataan Imam Syafi’iy (semoga Allah merahmatinya),” Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.”(Hilyatul aulia 9/113). “ Yang diadaadakan dalam agama itu ada dua macam, yang diada-adakan menyelisihi Al-Quran atau sunnah, atsar atau ijma’ maka itulah bid’ah kesesatan. Sementara yang diadakan dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan itu semua, maka itu adalah muhdash yang tidak tercela.” (Manaaqib Asy-Syafi’iy, Albaihaqy 1/469 dan Al-Baaits Abii Syaamah hal 94).
Bantahan:
- Perkataan Rasulullah merupakan hujjah atas siapapun, tidak boleh dikalahkan dengan perkataan siapapun. Tidak berlaku sebaliknya.
- Bila kita cermati perkataan beliau, tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah terpuji adalah bid’ah secara bahasa, sebab semua bid’ah dalam syari’ah yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan beliau mendefinisikan bid’ah terpuji dengan batasan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan al-Kitab dan As-Sunnah dan setiap bid’ah dalam syaria’h pasti menyelisihi firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3.
- Beliau(Imam Syafi’iy) terkenal dengan antusiasmenya yang tinggi dalam mengikuti jejak Rasulullah serta sangat murka terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah . Beliau berkata,” Jika telah kau dapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah , maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan fatwaku.”(Siyar 10/43).
6. Pernyataan Al ‘Izz Ibnu Abdissalam:” Bahwa bid’ah terbagi kedalam kategori wajib, haram, sunnah dan mubah. Dan cara mengetahuinya adalah dengan menimbang bid’ah tersebut di atas kaidah-kaidah syar’iyyah. Jika masuk dalam kaidah yang menghasilkan hukum wajib, maka keberadaan bid’ah tersebut menjadi wajib begitupula jika haram.”(Qowa’idul Ahkam 2/173).
Bantahan:
- Tidak boleh membantah hadits Rasulullah dengan perkataan siapapun, seperti pada kasus ‘umar dan imam syafi’i diatas
- Hal ini juga dibantah oleh Imam Asy-Syathibi berkata:” Pembagian ini adalah rekayasa tak berdalilkan syar’iy dan kontradiktif dengan sendirinya. Karena hakekat bid’ah adalah kehampaannya dari dalil syar’iy baik secara nash maupun kaidah-kaidah yang terintisarikan daripadanya karena seandainya ada dalil syar’iy atas pembagian itu niscaya tidak ada istilah bid’ah dan berarti pula merupakan usaha korelasi antara dua hal yang selalu kontradiktif (Jam’un baina mutanafiyaini).”(Al- I’tishom 1/246).
- Bahwa yang dimaksud beliau diatas adalah bid’ah secara bahasa, bukan syar’iy berdasarkan contoh-contoh yang beliau berikan dalam hal itu.
- Al’Izz adalah sosok ulama yang terkenal dengan sikap penyerangan serta pelarangannya yang keras terhadap bid’ah. Bahkan beliau sendiri yang melarang orang melakukan hal-hal yang mereka namakan dengan bid’ah hasanah.
Kesimpulan
Maka, pengelompokkan Bid’ah di atas, tidak mungkin dan tidak boleh kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan dan membenarkan amalan-amalan bid’ah (makna syar’iyyah) sebagai bid’ah hasanah (satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau). Karena dengan mengklasifikasikan seperti ini, maka bid’ah hasanah pada hakekatnya akan kembali kepada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, yang mana ditentang oleh beliau rahimahullah sendiri.
Sebagaimana dalam beliau,
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”
[Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Imam Asy-Syafi’iy di atas :
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy (yang telah ditetapkan Allåh dan Råsul-Nya)” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Dalam kesempatan lain, Imam Syafi’i berkata, dalam Ar-Risalah :
إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Cobalah kita tanyakan kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baik-tidaknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya.
Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah.
Maka marilah kita tutup dengan perkataan Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at (baru)” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50]
Maraji’:
- Al-Ustadz Abul Jauzaa, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah dan Bid’ah Hasanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar