oleh Ust Badrusalam
Adalah kenyataan pahit yang tidak bisa dipungkiri jika umat
islam pada zaman ini telah berpecah belah dan terkotak-kotak, setiap kelompok
merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.
Padahal Allah ‘Azza wa Jalla dan Rosul-Nya memerintahkan
kita untuk membuang perpecahan, dan bersatu padu diatas tali-Nya
وَاعْتَصِمُوْا
بِحَبلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ
تَفَرَّقُوْا
“ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan
janganlah kamu bercerai berai “. (QS Ali Imran : 103).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :” Allah memerintahkan
untuk bersatu dan melarang berpecah belah. Banyak hadits yang melarang berpecah
belah dan menyuruh bersatu sebagaimana dalam sahih Muslim, Nabi Sallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :” Sesungguhnya Allah rela untuk kalian tiga perkara
…..(diantaranya disebutkan) : dan agar kalian berpegang dengan tali Allah dan
tidak berpecah belah “. (Tafsir Ibnu Katsir 1/397).
Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa perpecahan adalah sifat
orang yang tidak mendapat rahmatNya. Firman Allah ta’ala :
وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِيْنَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ
رَبُّكَ
“ Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang Allah
rahmati…”. (Hud : 118-119).
Abu Muhammad bin Hazm berkata :” Allah mengecualikan orang
yang dirahmati dari himpunan orang-orang yang berselisih “. (Al Ihkam 5/66).
Imam Malik berkata :” orang-orang yang dirahmati tidak akan
berpecah belah “. (idem).
Syeikhul islam Ibnu Taimiyah berkata :” Allah mengabarkan
bahwa orang yang diberikan rahmat tidak akan berpecah belah, mereka adalah
pengikut para nabi baik perkataan maupun perbuatan, mereka adalah ahli Al
Qur’an dan hadits dari umat ini, barang siapa yang menyalahi mereka akan hilang
rahmat tersebut darinya sesuai dengan kadar penyimpangannya “. (Majmu’ fatawa
4/25). Firman Allah Ta’ala :
وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“ Janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan
berselisih setelah datang kepada mereka keterangan. Dan bagi mereka adzab yang
pedih “. (Ali Imran : 105).
Al Muzany rahimahullah berkata :” Allah mencela perpecahan,
dan memerintahkan untuk kembali kepada al qur’an dan sunnah, kalaulah
perpecahan itu termasuk dari agamaNya tentu Dia tak akan mencelanya, kalaulah
perselisihan itu termasuk dari hukumNya, tentu Allah tidak menyuruh untuk
kembali kepada Al Qur’an dan sunnah “. (Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadllihi 2/910).
Dalil – dalil tersebut diatas sudah cukup menunjukkan bahwa
islam mencela dan membenci perpecahan serta menganjurkan persatuan.
Hadits tentang perpecahan umat.
Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya :” Bukankah
Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa umat islam ini akan
berpecah belah ?”
Jawabannya adalah ; tidak ada bedanya antara perpecahan
dengan maksiat, maksudnya bahwa Allah menghendaki adanya maksiat tapi bukan
untuk dilaksanakan tapi untuk dijauhi, Nabi juga mengabarkan bahwa nanti akan
datang suatu zaman dimana arak akan dinamai dengan bukan nama sebenarnya, hal
tersebut tidak menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut, demikian pula
perpecahan. Nabi mengabarkan bahwa umat ini akan berpecah belah, akan tetapi
hal tersebut tidak menunjukkan boleh dilakukan.
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah berkata :” Allah Ta’ala
telah menyatakan bahwa perpecahan bukan dari sisiNya, maknanya bahwa Allah
tidak meridloinya, tapi Allah menghendaki keberadaanya hanya sebatas iradah
kauniyyah saja, sama seperti Allah menghendaki adanya kekufuran dan seluruh
maksiat “. (Al Ihkam 5/64).
Makna persatuan.
sebagian kaum muslimin memandang persatuan sebagai sesuatu
yang harus dikedepankan dari mengingkari bid’ah yang mereka anggap parsial,
sehingga akibatnya bid’ah didiamkan dan semakin merajalela, sedangkan sunnah
menjadi semakin redup, maka perlu kiranya kita sedikit mengupas seputar
persatuan.
Persatuan dalam pandangan islam tidaklah sama dengan
persatuan ala demokrasi yang lebih mementingkan persatuan badan dan tidak
memperhatikan keyakinan, demokrasi memandang bahwa jumlah mayoritaslah yang
harus dijadikan pegangan, walaupun ternyata pendapat mayoritas tersebut
berseberangan dengan al qur’an dan sunnah, pemahaman inilah yang banyak
menghinggapi pemikiran kaum muslimin, sehingga orang yang tidak mau mengikuti
mayoritas dianggap telah memecah belah umat.
Untuk memahami makna persatuan, perlu kita melihat beberapa
pertanyaan berikut :
Diatas apa kita bersatu ?
Untuk tujuan apa kita bersatu ?
Dan apa tolak ukur persatuan ?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, cobalah kita renungkan
ayat berikut ini :
وَ أَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ
مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ
“ Dan inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah dan jangan
kamu ikuti jalan-jalan lainnya, niscaya (jalan-jalan lain tersebut) memecah
belah kalian dari jalannya…”. (Al An’am : 153).
Dalam sebuah hadits sahih Rosulullah Sallallahu ‘alaihi
wasallam membuat garis lurus dan bersabda :” ini adalah jalan yang lurus “.
Kemudian beliau membuat garis-garis disamping kiri dan kanannya dan bersabda :”
ini adalah jalan-jalan lainnya, disetiap jalan itu ada setan yang menyeru
kepadanya “. Kemudian beliau membaca ayat tadi diatas. (Muttafaq ‘alaihi dari
hadits Ibnu Mas’ud). Imam Mujahid seorang ahli tafsir di zaman Tabi’in
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan jalan-jalan lainnya adalah bid’ah dan
Syubhat (tafsir Ibnu Katsir).
Ayat ini sangat jelas menyatakan bahwa persatuan haruslah
diatas satu jalan, yaitu jalan yang lurus. Dan jalan yang lurus itu adalah
jalan Rosulullah dan para sahabatnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadits hasan ketika Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa umat ini
akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan yang lainnya
masuk neraka, beliau menjelaskan tentang satu golongan yang selamat tersebut
yaitu :” apa-apa yang dipegang olehku dan para sahabatku pada hari ini “.
Jadi persatuan dalam islam maknanya bersatu diatas jalan
Rosulullah dan para sahabatnya dan perpecahan maknanya berpecah dari jalan
tersebut. Maka siapa saja yang berjalan diatas jalan yang lurus yaitu jalannya
Rosulullah dan para sahabatnya maka ia telah bersatu padu walaupun jumlahnya
sedikit, dan siapa saja yang menyimpang dari jalan tersebut dan mengikuti
jalan-jalan lainnya maka ia telah berpecah belah walaupun jumlahnya banyak.
Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :” Al Jama’ah adalah al haq (kebenaran)
walaupun engkau satu orang “.
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman :
وَاعْتَصِمُوْا
بِحَبلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ
تَفَرَّقُوْا
“ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan
janganlah kamu bercerai berai “. (QS Ali Imran : 103).
Dalam ayat ini, Allah menyuruh kita untuk bersatu memegang
talinya sedangkan Tali Allah adalah agamaNya, dan agama Allah adalah yang Allah
turunkan kepada RosulNya di dalam Al Qur’an dan Sunnah, kemudian Allah melarang
kita bercerai berai, hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mau mengikuti
agamaNya sesuai dengan yang diturunkan kepada rosulNya berarti ia telah
bercerai berai.
Tujuan persatuan dan tolok ukurnya
Setelah kita menjawab pertanyaan pertama, maka mudah untuk
menjawab pertanyaan selanjutnya, yaitu untuk tujuan apa kita bersatu dan apa
tolak ukurnya ?
Jawabannya yaitu untuk meninggikan agama Allah dengan cara
berpegang kepadanya, bukan meninggikan madzhab anu, partai anu, kiyai atau
ustadz fulan karena hal itu hanya akan mencerai beraikan kaum muslimin dan
menjadi terkotak-kotak, dan inilah yang dimaksud ayat :
وَلاَ تَكُوْنُوْا مِنَ المُشْرِكِيْنَ مِنَ
الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ
بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“ Dan janganlah kalian seperti orang-orang musyrikin.
(yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka sedangkan mereka
berkelompok-kelompok setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang ada pada
mereka “. (Ar-Rum : 31-32).
Di dalam At Tafsiirul muyassar (hal 407) diterangkan makna
ayat tersebut :” (maksudnya) janganlah kalian seperti kaum musyrikin, ahli
bid’ah dan pengekor hawa nafsu yang merubah-rubah agama, mereka mengambil
sebagian agama dan meninggalkan sebagian lainnya karena mengikuti hawa nafsu,
sehingga merekapun berkelompok-kelompok (hizbiy) karena mengikuti dan membela
tokoh dan pendapat kelompok mereka, sebagian mereka membantu sebagian lainnya
didalam kebatilan…”.
Dari sinipun kita dapat mengetahui bahwa tolak ukur
persatuan adalah al qur’an, sunnah dan pemahaman sahabat bukan pendapat
mayoritas, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ
إِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ
“ Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka
kembalikanlah kepada Allah dan RosulNya…(An Nisa : 59).
Kalaulah pendapat terbanyak itu merupakan tolak ukur dalam
perselisihan tentu Allah tidak akan menyuruh untuk kembali kepada al qur’an dan
sunnah.
Adapun hadits yang sering didengungkan oleh sebagian orang عَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ “ Hendaklah kamu
berpegang kepada assawadul a’dzom “. Ia adalah hadits yang lemah menurut para
ahli hadits, semua jalannya tidak lepas dari kelemahan, kalaupun dikatakan
shohih maka yang dimaksud assawadul a’dzom dalam hadits tersebut adalah al haq
dan pelakunya sebagaimana yang dikatakan oleh imam Al Barbahari dalam kitab
syarhussunnah yaitu para shohabat,tabi’in dan tabi’uttabi’in karena kebenaran
pada zaman itu mayoritas jumlahnya.
Banyaknya pengikut bukan bukti kebenaran
Seringkali kita tertipu dengan jumlah banyak, sehingga
banyak manusia menganggap bahwa banyaknya pengikut merupakan bukti kebenaran,
padahal opini tersebut telah dibantah oleh Al Qur’an dalam ayat-ayat yang
banyak, diantaranya firman Allah Ta’ala :
وَ ِإْن تُطِعْ أَكْثَرَ
مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوْكَ
عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi Ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah “. (Al An’am : 116).
Ayat ini begitu jelas menyatakan bahwa banyaknya jumlah
bukan standar dalam menilai sebuah kebenaran. Lebih jelas lagi disebutkan dalam
sebuah hadits yang sahih Rasulullah saw Bersabda :” diperlihatkan kepadaku
umat-umat pada hari kiamat, maka aku melihat ada nabi yang diikuti suatu kaum,
ada nabi yang diikuti seorang atau dua orang dan ada nabi yang tidak mempunyai
pengikut sama sekali…(HR Bukhary dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas).
Dalam hadits tersebut diceritakan adanya nabi yang
pengikutnya seorang atau dua orang saja bahkan ada nabi yang tidak punya
pengikut sama sekali, tentu tidak boleh seorang muslimpun mengatakan bahwa nabi
tersebut salah karena pengikutnya sedikit !!
Oleh karena itu Syeikh Muhammad At Tamimiy menyatakan bahwa
menilai kebenaran dengan jumlah terbanyak adalah salah satu perkara jahiliyyah
(masail jahiliyyah no 5).
Persatuan ala yahudi.
Dalam surat Al Hasyr : 14 disebutkan :
تَحْسَبُهُمْ
جَمِيْعًا وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى
“ Kamu kira mereka (yahudi) itu bersatu padu padahal hati
mereka bercerai berai “.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang yahudi badannya
bersatu padu tapi hatinya bercerai berai. Maka persatuan yang hanya
mengutamakan kesatuan badan dan tidak peduli terhadap kesatuan aqidah adalah
menyerupai persatuan yahudi, karena aqidah tempatnya adalah hati.
Maka persatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak
menerangkan aqidah yang benar dari aqidah yang batil. Bahkan persatuan tersebut
sama saja menghancurkan sebuah pondasi islam yang sangat penting yaitu amar
ma’ruf nahi mungkar.
Menjelaskan kesalahan adalah wajib.
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa apabila kita
menjelaskan kesalahan suatu kelompok atau seseorang sama saja memecah belah
umat. Padahal kemashlahatan menyelamatkan umat dari bahaya pemikiran sesat
lebih besar, karena jika kebatilan itu dibiarkan maka akan semakin samarlah
kebenaran kepada manusia.
Ibnu Taimiyah berkata :” para nabi terlindung dari diam
untuk mengingkari kesalahan, berbeda dengan ulama. Oleh karena itu selayaknya
bahkan wajib hukumnya menerangkan kebenaran yang wajib diikuti, walaupun
konskwensinya harus menerangkan kesalahan ulama “. (Majmu’ fatawa 19/123).
Maka jika anda mendengar seseorang menjelaskan tentang
kesesatan suatu jama’ah atau individu, tentunya dengan bukti-bukti akurat dan
ilmiyyah, janganlah menggapnya sebagai pemecah belah umat, karena telah kita
ketahui tadi bahwa justru kesesatanlah yang memecah belah umat dari jalan yang
lurus.
Perselisihan yang terjadi akibat bantahan lebih ringan dari
pada tersebarnya bid’ah dan kesalahan.
Imam Asy Syathiby ketika membantah sebagian ahli bid’ah
berkata :” orang-orang seperti mereka haruslah disebut dan diingkari, karena
kerusakan (bid’ah) mereka terhadap kaum muslimin lebih besar dari kerusakan
menyebut (nama) mereka…”. (Al I’tisham 2/229).
Kaidah fiqih pun menguatkan hal itu yaitu :” apabila bertemu
dua kerusakan maka diambil yang paling ringan dari keduanya “. Maksudnya
perselisihan yang terjadi akibat bantahan lebih ringan kerusakannya dari
tersebarnya kesesatan orang tersebut.
tapi kita harus tetap berpegang kepada adab islami dalam
menjelaskan kesalahan orang seperti menjauhi kata-kata kasar dan sikap arogan.
Peringatan …!!!
Ada sebagian orang yang mempunyai pemahaman yang harus
diluruskan, yaitu ketika kita menyebutkan kesesatan seseorang atau sebuah
kelompok berarti kita telah memastikannya sebagai ahli neraka. Ini adalah
dugaan yang sangat jauh dari ilmu, karena diantara keyakinan ahlussunnah bahwa
tidak boleh kita memastikan seorangpun dari ahli kiblat sebagai penduduk api
neraka kecuali dengan dalil dari al qur’an dan hadits.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam majmu’ fatawa
(4/484) :” Nash-nash ancaman bersifat umum, maka tidak boleh kita memastikan
seseorang sebagai penduduk api neraka, karena boleh jadi ada penghalang yang
kuat seperti taubat, atau kebaikan yang dapat menghapus kesalahan, atau
mushibah yang menimpanya, atau syafa’at yang diterima untuknya atau yang
lainnya “.
Harus engkau bedakan antara memvonis orang sesat dengan
vonis sebagai ahli neraka, karena yang pertama adalah vonis di dunia yang
bersandarkan pada sesuatu yang tampak, sedangkan yang kedua adalah vonis di
akhirat yang merupakan hak tunggal bagi Allah saja.
Permisalan yang indah
Dalam sebuah hadits Nabi Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda
:
مَثَلُ
المُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَ
تَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الجَسَدِ إِذَا اشْتَكىَ مِنْهُ
عُضْوٌ تًَدَاعَى سَائِرُ الجَسَدِ.
“ Permisalan kaum mukminin dalam cinta dan kasih sayang
mereka bagaikan satu jasad, apabila salah satu anggota merasa sakit, maka
seluruh badan merasakannya “. (HR Muslim).
Bid’ah dan kesesatan adalah penyakit yang menimpa umat ini,
kita harus merasa sakit bila ada orang melakukannya, tentu dengan mencari
obatnya yang mujarab yaitu sunnah.
Nabi menyebutkan “ dalam cinta dan kasih sayang” seseorang
dikatakan sayang kepada saudaranya adalah bila ia menginginkan untuknya
kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Maka bila kita melihat seseorang hendak
jatuh kedalam jurang tentulah kita tidak boleh membiarkanya, tapi kita
selamatkan dia. sebaliknya bila anda diam dan membiarkannya jatuh kedalam
jurang berarti anda telah berbuat zalim dan kehilangan kasih sayang.
Kemaksiatan baik berupa syirik, bid’ah, khurofat dan
lain-lain dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam api neraka, bila kita biarkan
pelakunya tanpa diberi nasehat berarti kita telah kehilangan kasih sayang
kepada saudara kita sesama muslim.
Bagai bangunan yang kokoh
Dalam hadits lain, nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam
memisalkan persatuan umat islam bak sebuah bangunan kokoh yang saling
menguatkan satu sama lainnya (HR Bukhary & Muslim).
Sebuah bangunan tentu harus mempunyai pondasi yang kuat, dan
pondasi itu adalah aqidah yang benar. Tiang bangunan tersebut adalah amar
ma’ruf nahi mungkar, karena bila kemungkaran dibiarkan merajalela akan robohlah
bangunan itu. Dan atapnya adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Akan tetapi ada seorang da’i yang memahami hadits itu dengan
pemahaman yang aneh, katanya bangunan itu terdiri dari batu, semen, pasir maka
bila direkatkan akan membentuk sebuah bangunan yang kokoh, batu itu ia
ibaratkan kelompok keras, semen kelompok lembut dan pasir bagaikan kelompok tengah-tengah,
kalau semua kelompok itu semuanya direkatkan tentu akan menjadi sebuah bangunan
yang kokoh.
Kita katakan, sungguh benar apa yang bapak katakan, akan
tetapi merekatkan kelompok-kelompok yang ada dalam tubuh umat islam dengan apa
?? apakah dengan cara mendiamkan penyimpangan-penyimpangan yang ada ataukah
dengan cara saling menasehati dan rujuk kepada kebenaran ? bila masing-masing
kelompok mau kembali kepada Al qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman
salaful ummah tentu bangunan itu akan sangat kuat merekat. Adapun kita biarkan
kesyirikan, khurofat dan tahayyul merajalela, perdukunan, bid’ah dan maksiat
berkuasa maka tidak akan dapat mengokohkan bangunan itu selama-lamanya bahkan
akan membuatnya hancur berkeping-keping.
Dosa penyebab perpecahan.
Rasululah Sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
مَا تَوَادَّ اثنَانِ فِي اللهِ
ثُمَّ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا إلاَّ بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ
أَحَدُهُمَا.
“ Tidaklah dua orang yang tadinya saling mencintai karena
Allah kemudian berpisah kecuali disebabkan oleh dosa yang dilakukan oleh salah
satunya “. (HR Bukhary dalam kitab adabul mufrad dari hadits Anas, sahih).
Imam Qatadah berkata :” Ahli rahmat Allah adalah ahli
persatuan walaupun rumah dan badannya berjauhan, dan ahli maksiat adalah ahli
perpecahan walaupun rumah dan badan mereka berkumpul “. (Jami’ al bayan 12/85
karya Ath Thabary).
Jadi untuk mewujudkan persatuan hendaknya kita jauhi sebab
utama perpecahan yaitu dosa, yang paling besar adalah syirik, lalu bid’ah
kemudian maksiat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar