PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Minggu, 18 November 2012

Bukti kegigihan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam menjaga Tauhid

Rasulullah  صلى الله عليه وسلم sungguh bersemangat selama hidupnya sebagai Rasul untuk mengabadikan dua pokok tauhid itu: Laa ilaaha illallaah, Muhammadur Rasuulullaah. Agar keduanya tetap bersih lagi jernih, maka beliau sama sekali tidak membolehkkan pengotoran dua pokok tauhid ini., walaupun terhadap orang yang paling dicintai dan paling terkesan baginya.

    Bukti-buktinya;


  • A. Beliau pada suatu hari melihat di tangan Umar bin Khathab ra ada selembar kertas (waraqah) dari Taurat, dan Umar telah mengagumi apa yang ada di dalamnya, maka Rasulullah   صلى الله عليه وسلم marah dengan kemarahan yang keras, dan beliau berkata:

    “Apa (apaan) ini! Sedangkan aku ada di belakang kalian. Sungguh telah aku bawakan dia (pengganti Taurat) dengan keadaan putih lagi suci... Demi Allah seandainya Musa  hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku.” (Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi 1/115-116)


    Dalam Hadits itu terdapat pengertian sebagai berikut:


    Pertama: Rasulullah  صلى الله عليه وسلم  heran adanya orang yang mulai mencari petunjuk kepada selain Al-Quran dan As-Sunnah sedangkan beliau masih hidup. Termasuk tuntutan iman kepada Al-Quran dan As-Sunnah adalah meyakini bahwa petunjuk itu adanya hanyalah pada keduanya (Al-Quran dan As-Sunnah) itu.

   Kedua: Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah membawa agama yang suci murni, tidak dikaburkan oleh pembuat kekaburan berupa perubahan, penggantian, atau penyelewengan. Sedang para sahabat menerima agama Islam itu dengan wungkul (utuh) dan murni. Maka bagaimana mereka akan berpaling darinya dan mencari petunjuk kepada hal-hal yang menyerupai penyelewengan, penggantian, dan penambahan serta pengurangan.

   Ketiga: Bahwa Nabi Musa as sendiri yang dituruni Kitab Taurat seandainya dia masih hidup pasti dia wajib mengikuti Rasul صلى الله عليه وسلم, dan meninggalkan syari’at yang telah dia sampaikan kepada manusia.

   Hadits ini adalah pokok mengenai penjelasan manhaj (pola) Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak boleh seorangpun mencari petunjuk -untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada Allah dan memperbaiki diri- kepada ajaran yang tidak dibawa oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم

  • B. Dalil yang kedua bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendengar khathib yang berkhutbah di hadapan beliau, di antaranya ia berkata: “ Barangsiapa taat pada Allah dan rasulNya maka sungguh ia telah mendapat petunjuk, dan barangsiapa bermaksiat kepada keduanya  (waman ya’shihimaa)  maka sungguh dia telah sesat.”  Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata padanya:

     “Seburuk-buruk khathib kaum adalah kamu. Katakanlah: Barangsiapa bermaksiat pada Allah dan rasulNya maka sungguh dia telah sesat.” (HR Muslim 6/159-di Syarah An-Nawawi, dan Ahmad 4/256 dan 379).


    Khatib ini telah memotong lafal “Rasulullah صلى الله عليه وسلم ” (tidak diucapkan tetapi diganti dengan dhamir/ kata ganti dan digandengkan dengan  ALLAH سبحنحا و تعال   ). Maka beliau mencelanya di depan orang banyak, karena khatib itu mengumpulkan antara Allah dan rasulNya dalam satu kataganti “waman ya’shihimaa” lalu Rasul صلى الله عليه وسلم   menyuruhnya untuk mengulangi penyebutan nama yang jelas bagi Allah dan bagi rasulNya, sehingga tidak akan dikira walau dari jauh bahwa kedudukan Rasul seperti kedudukan  ALLAH سبحنحا و تعال . Semangat Rasul صلى الله عليه وسلم ini adalah dalil atas wajibnya menjaga ketauhidan Allah Ta’ala dengan penjagaan yang sempurna, dan kewajiban membedakan dengan sempurna antara hal yang wajib untuk  ALLAH سبحنحا و تعال     dan yang wajib untuk RasulNya صلى الله عليه وسلم

  • C. Dalil ketiga: Bahwa Utsman bin Madh`un ra, seorang sahabat pilihan, ketika wafat, sedang Rasul صلى الله عليه وسلم hadir di sisinya dan mendengar seorang sahabat besar perempuan, Ummu Al-`Ala`, berkata: “Kesaksianku atasmu Abu  As-Saib (Utsman bin Madh`un), bahwa Allah sungguh telah memuliakanmu.” Maka Rasul صلى الله عليه وسلم membantahnya dengan berkata:

“Tahukah kamu bahwa Allah sungguh telah memuliakannya?”

Ini adalah peringatan yang besar dari Rasul صلى الله عليه وسلم kepada sahabat wanita ini karena dia telah menetapkan hukum dengan hukum yang menyangkut kegaiban. Ini tidak boleh, karena tidak ada yang menjangkau hal gaib kecuali ALLAH سبحنحا و تعال. Tetapi Shahabiyah (sahabat wanita) ini membalas dengan berkata: “Subhanallah, ya Rasulallah!! Siapa (lagi) kah yang akan Allah muliakan kalau Dia tidak  memuliakannya?” Artinya, jika Utsman bin Madh`un ra tidak termasuk orang yang dimuliakan ALLAH سبحنحا و تعال , maka siapa lagi yang masih tersisa pada kita yang akan dimuliakan ALLAH سبحنحا و تعال. Ini jawaban yang sangat mengena dan signifikan/ cukup bermakna. Tetapi Rasul صلى الله عليه وسلم menolaknya dengan ucapan yang lebih mengena dari itu, di mana beliau bersabda:

     “Demi Allah, saya ini benar-benar utusan Allah, (tetapi) saya tidak tahu apa yang Dia perbuat padaku esok.”  Ini adalah puncak perkara. Rasul sendiri yang dia itu orang yang dirahmati dan disalami oleh Allah , beliau wajib berhati-hati dan mengharap rahmat Allah. Dan disinilah Ummu Al`Ala` sampai pada hakekat syara` yang besar, maka dia berkata: “Demi Allah, setelah ini saya tidak akan menganggap suci terhadap seorangpun salama-lamanya.” (Diiwayatkan Al-Bukhari 3/385, 6/223 dan 224, 8/266 dari Fathul Bari, dan Ahmad 6/436 dari Ummi Al`Ala` Al-Anshariyah binahwihi).

    Pokok yang ini ditetapkan dalam syari’at pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang banyak. Di antaranya firman Allah ALLAH سبحنحا و تعال:

   “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).” (An-Nisaa`/ 4:49-50). 


    “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”  (An-Nisaa’/ 123).

  • D. Dalil keempat: Bahwa seorang lelaki datang kepada Rasul صلى الله عليه وسلم dan berkata:

    “Apa yang Allah kehendaki dan engkau kehendaki.” Maka Rasul صلى الله عليه وسلم bersabda:

     “Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Katakanlah: “Apa yang Allah kehendaki sendiri.” (HR Ahmad 1/214,224,283,347, Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 783 dan selain keduanya.)


Rasul صلى الله عليه وسلم telah menjadikan kehendak itu bagi Allah sendiri, sehingga mengajarkannya kepada mukminin bahwa tiada kemauan seorangpun yang bersama kemauan   ALLAH سبحنحا و تعال

Tidak ada komentar:

Posting Komentar