Mari kita kupas dengan merujuk kepada dalil-dalil syar’iy lalu kita hubungkan dengan realita…
Katahuilah, bahwa Fir’aun sama sekali tidak mengaku sebagai pencipta
langit dan bumi, dia mengetahui benar bahwa dirinya terlahir dari
manusia, dan apa yang ada di sekitarnya bukanlah dia yang menciptakan,
oleh sebab itu Musa ‘alaihissalam berkata kepadanya:
“Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan
mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi
sebagai bukti-bukti yang nyata”. (Al Isra: 102)
Jadi, Fir’aun tidak mengklaim penciptaan langit dan bumi beserta isinya…
Fir’aun juga tidak mengaku bisa mendatangkan manfaat atau menolak
bala, buktinya adalah tatkala Allah mengirimkan taufan, belalang, kutu,
katak, dan air minum menjadi darah, maka Fir’aun dan kroni-kroninya
malah datang meminta do’a kepada nabi Musa agar diselamatkan dari adzab
yang menimpa mereka, sebagaimana yang Allah ta’ala kisahkan kepada
kita:
“Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu)
merekapun berkata: “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu
dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu.
Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti
kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi
bersamamu”. (Al A’raf: 134)
Buktinya juga adalah bahwa dia meminta bantuan para tukang sihir untuk mengalahkan mukjizat nabi Musa ‘alaihissalam dan dia meminta pendapat para pejabat negerinya dalam menanggulangi mukjizat nabi Musa ‘alaihissalam:
“Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesar yang berada
sekelilingnya: “Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir
yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan
sihirnya; maka karena itu apakah yang kamu anjurkan?” (Asy Syu’ara: 34-35)
Dan firman-Nya ta’ala tentang ucapan Fir’aun kepada khalayak:
“Semoga kita mengikuti ahli-ahli sihir jika mereka adalah orang-orang yang menang” (Asy Syu’ara: 40)
Jadi kalau demikian keadaannya, apa sebenarnya ketuhanan yang diklaim
Fir’aun itu? dan apa bentuk peribadatan rakyat Mesir kepadanya, serta
bagaimana kaitannya dengan realita masa sekarang?
Saya akan memahamkan dulu kepada sifat khusus ketuhanan yang
berkaitan dengan hal ini, kemudian menghubungkan dengan kisah Fir’aun
zaman Nabi Musa ‘alaihissalam dan dengan realita Fir’aun-Fir’aun masa sekarang…
Di antara sifat khusus ketuhanan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah al hukmu wa at tasyri’ (kewenangan pembuatan hukum) yang tidak boleh disandarkan kepada selain-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (Al An’am: 57).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan bagi-Nyalah segala penentuan hukum dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (Al Qashash: 70)
Dikarenakan Allah ta’ala adalah yang menciptakan semua makhluk, maka
hanya Dia-lah yang berhak memerintahkan dan menetapkan hukum
sebagaimana firman-Nya:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (Al A’raf: 54)
Penyandaran kewenangan pembuatan hukum itu adalah ibadah yang hanya
disandarkan kepada Allah ta’ala dan tidak boleh disandarkan kepada
selain Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kecuali kepada Dia” (Yusuf: 40)
Dan dikarenakan ini adalah hak khusus Allah, maka dia tidak
menjadikan satupun sebagai sekutu-Nya di dalam penentuan hukum ini,
sebagaimana firman-Nya:
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum”. (Al Kahfi: 26)
Dan dalam qira’ah Ibnu Amir yang mutawatir dibaca: “Dan janganlah kamu menyekutukan seorangpun di dalam (hak) menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebut para pembuat
undang-undang atau hukum selain Dia sebagai sekutu-sekutu yang
diibadati selain-Nya, sebagaimana di dalam firman-Nya:
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka ajaran yang tidak diizinkan Allah?”. (Asy Syura: 21)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mencap para pembuat hukum selain Diri-Nya sebagai arbab (tuhan-tuhan yang diibadati) selain Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Mereka (orang-orang Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya
(ahli ilmu) dan rahib-rahib (para pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan”. (At Taubah: 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Bentuk ketuhanan macam apa yang mereka klaim dan bentuk peribadatan
macam apa yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani kepada alim ulama
dan para pendetanya? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu di dalam hadits hasan dari ‘Adiy ibnu Hatim, ia datang ─saat masih Nashrani─ berkata: “Kami tidak pernah mengibadati mereka”.
Di sini ‘Adiy ibnu Hatim dan orang-orang Nashrani merasa tidak pernah
beribadah kepada alim ulama dan para pendeta, karena mereka tidak
pernah sujud dan shalat kepadanya, dan mereka tidak paham apa yang
dimaksud dengan peribadatan dan pentuhanan alim ulama dan pendeta itu,
maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu seraya berkata: “Bukankah
mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut
menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah
halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”, maka ‘Adiy berkkata: “Ya, benar”, maka Rasulullah berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka”.
Yaitu: bukankah mereka membuat hukum dan kalian mematuhi atau
menyetujui dan menjadikan hukum mereka sebagai acuan?, dan ‘Adiy
mengiakannya.
Jadi, pemposisian diri sebagai tuhan di sini adalah dengan
pengklaiman atau pengakuan akan keberhakkan pembuatan hukum dan
undang-undang yang mana itu merupakkan hak khusus Allah. Oleh sebab itu
Allah ta’ala mencap para penggulir hukum atau ajaran atau
undang-undang selain Diri-Nya sebagai syuraka (sekutu-sekutu) yang diibadati oleh kaum musyrikin, sebagaimana di dalam firman-Nya:
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka ajaran yang tidak diizinkan Allah?”. (Asy Syura: 21)
Sedangkan bentuk peribadatan yang dilakukan oleh kaum Nashrani itu
bukanlah sujud, ruku’, akan tetapi dengan ketaatan, kepatuhan, dan
kesetiaan kepada hukum yang mereka buat. Oleh sebab itu Allah ta’ala
mencap MUSYRIK orang-orang yang mentaati para pembuat hukum dalam hukum
yang mereka buat, dan Dia mencap hukum buatan itu sebagai wahyu
(bisikan) syaitan di dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kalian; dan jika kalian mentaati mereka, sesungguhnya kalian
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am: 121)
Al Imam Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
dengan sanad yang shahih bahwa kaum musyrikin mendebat kaum muslimin
agar menyetujui mereka perihal penghalalan bangkai seraya mengatakan: “Apa yang disembelih kalian dengan tangan kalian adalah halal, sedangkan apa yang disembelih Allah dengan tangan-Nya yaitu ─bangkai─ adalah haram”.
Dengan ucapan ini mereka mendesak kaum muslimin agar menyetujui
penghalalan bangkai, namun Allah ta’ala menghati-hatikan kaum muslimin
dengan firman-Nya: “dan jika kalian mentaati mereka, sesungguhnya kalian tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am: 121)
Di dalam ayat ini Allah menetapkan beberapa hal:
· Hukum yang bukan dari Allah adalah bisikan syaitan,
· Orang-orang yang membuat hukum adalah wali-wali (kawan-kawan) syaitan,
· Membuat atau menyetujui satu hukum saja adalah merupakan kemusyrikan,
· Peribadatan kepada pembuat hukum selain Allah ta’ala adalah dengan ketaatan, kepatuhan, kesetiaan kepada hukum tersebut,
· Orang yang menyetujui hukum buatan walaupun hanya satu hukum saja, maka dia adalah orang musyrik.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah
berkata saat menjelaskan ayat tersebut: “Bahwa setiap orang yang
mengikuti aturan, undang-undang dan hukum yang menyelisihi apa yang
Allah syari’atkan lewat lisan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka
dia itu musyrik kepada Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya
itu sebagai rabb (tuhan)”, (Al Hakimiyyah Fi Tafsir Adlwaul Bayan: … )
Bila anda telah memahami bahwa pengklaiman keberhakkan membuat hukum
adalah pengklaiman ketuhanan, maka anda akan memahami bahwa ketuhanan
yang diklaim Fir’aun itu adalah ketuhanan semacam ini, yaitu bahwa
dirinyalah yang berhak membuat hukum dan hukumnyalah yang paling tinggi
[“Akulah tuhan kalian yang paling tinggi” (An Nazi’at: 24)] serta tidak ada tuhan pembuat selain dirinya [“Dan berkata Fir'aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagi kalian selain aku” (Al Qashash: 38)], dan barangsiapa yang mengikuti hukum selainnya maka akan mendapat ancaman penjara:
“Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain Aku,
benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (Asy Syu’ara: 29)
Dan anda juga memahami bahwa peribadatan kaum Fir’aun kepadanya
adalah bukan dengan shalat dan do’a kepadanya, akan tetapi dengan
kepatuhan, ketaatan, kesetiaan kepada produk hukumnya:
“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya”. (Az Zukhruf: 54)
Fir’aun dan para pembesar kaumnya berkata perihal Musa dan Harum ‘alaihimas salam:
“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua
orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil)
adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?” (Al Mukminun: 47)
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat: “Orang-orang yang menghambakan diri” adalah orang-orang yang mentaati, sebagaimana firman-Nya:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya
kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagi kamu”. (Yasin: 60)
Makna menyembah syaitan adalah mengikuti atau mentaati syaitan.
Bila anda telah memahami macam ketuhanan yang diklaim Fir’aun, maka
mari kita mengenal Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang di negeri ini…
Untuk mengetahui Fir’aun-Fir’aun di negeri ini adalah sangat mudah,
cukup dengan membuka kitab yang diimani kaum musyrikin di negeri ini
dan yang lebih mereka sucikan daripada Al Qur’an Al Karim, yaitu Undang
Undang Dasar 1945 yang selalu mereka junjung tinggi dalam setiap
kesempatan.
Setiap orang atau lembaga yang diberi kewenangan pembuatan hukum
atau undang-undang, maka ia itu adalah yang dipertuhankan, sama dengan
Fir’aun, di antaranya adalah MPR berdasarkan Undang Undang Dasar bab
III pasal 3 (1):
“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar”
Lembaga Fir’aunisme yang lain adalah DPR berdasarkan Bab VII pasal 20 (1):
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”
Juga sebagaimana yang dikatakan dalam bab VII pasal 21 (1):
“Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”
Juga di dalam Bab III pasal 5 (1):
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”
Serta pasal-pasal lainnya yang memberikan hak ketuhanan (baca: pembuatan hukum) kepada orang atau lembaga-lembaga tertentu.
Bila anda memahami ketuhanan semacam ini, maka anda akan mengetahui
bahwa gedung-gedung Parlemen itu adalah sama dengan candi-candi tempat
pemujaan kaum musyrikin. Bila di candi-candi itu dipajang patung-patung
berhala yang diibadati dengan sujud, do’a dan pesembahan sesajian,
maka di gedung Parlemen itu dipenuhi oleh berhala-berhala hidup yang
diibadati dengan ketaatan terhadap hukum dan undang-undang yang mereka
gulirkan.
Bila dahulu sebagian kaum musyrikin Arab membuat tuhan dari adonan
roti yang mereka sembah dan bila lapar maka mereka memakannya dan
kemudian membuat yang baru lagi untuk mereka sembah, maka demikian juga
kaum musyrikin hukum; mereka membuat hukum lalu mereka mengibadatinya
dengan ketaatan, dan bila sudah tidak layak lagi maka mereka
menyantapnya berama-ramai dengan amandemen dan revisi, kemudian mereka
membuat adonan hukum baru, mereka menggodoknya dan terus mereka
menggulirkannya untuk diibadati… “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
Umar ibnul Khaththab radliyallahu’anhu berkata:
“Ikatan-ikatan Islam ini hanyalah terurai satu demi satu bila tumbuh
di dalam Islam ini orang yang tidak mengenal Jahiliyyah”
Adapun kejahatan Fir’aun dahulu adalah membunuh anak-anak laki-laki
dari keluargaorang-orang yang beriman, menngancam orang-orang yang
membangkang kepada undang-undang dan ajarannya dengan ancaman pembunuhan
dan penjara, menuduh orang-orang yang beriman sebagai penebar ajaran
sesat dan kerusakan, menuduh mereka ingin merampas kekuasaan dari
tangannya, serta tuduhan lainnya…
Adapun pembunuhan setiap anak laki-laki, maka seperti dikatakannya: [“Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman” (Al Mukmin: 25)].
Karena jika dibiarkan, Fir’aun khawatir anak-anak itu membawa petaka
bagi kekuasaannya di masa mendatang, namun walaupun mereka dibunuh
fisiknya, tapi mereka berada di atas fithrahnya yang bersih, sehingga
mereka insyaAllah masuk surga berdasarkan hadits-hadits shahih perihal
anak orang mukmin yang meninggal sebelum akil baligh.
Berbeda halnya dengan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang dimana mereka
itu lebih jahat daripada Fir’aun zaman dulu. Fir’aun-Fir’aun zaman
sekarang membunuh fithrah anak-anak melalui pendidikan-pendidikan di
sekolah-sekolah milik thaghut, menjauhkan anak-anak dari tauhid dan
mendoktrin mereka agar loyal dan setia kepada Fir’aun zaman sekarang dan
undang-undangnya, karena orang yang mati fithrah tauhidnya maka
hakikatnya adalah orang yang sudah mati:
“Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan
Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia
dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang
yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat
keluar dari padanya?” (Al An’am: 122)
Mereka tumbuh dewasa sebagai orang-orang musyrik yang setia kepada
system dan perundang-undangan yang dibuat Fir’aun itu, dan andai mereka
mati di atas keadaan seperti ini maka mereka mati dalam keadaan kafir
yang mana hal itu mengkekalkan di dalam neraka. Jadi nyata dan jelas
bahwa Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang lebih jahat daripada Fir’aun zaman
dahulu.
Dan saat Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang tidak mampu merubah fithrah
anak kaum muslimin, baik karena kaum muslimin paham akan hal ini dan
menjauhkan anak-anak mereka dari sekolah-sekolah Fir’aun serta
mendidiknya di atas tauhid, ataupun saat dewasa anak-anak itu Allah
ta’ala bukakan hatinya untuk menerima tauhid dan berbalik memusuhi dan
menentang Fir’aun dan sistemnya, maka Fir’aun-Fir’aun itu akan
menggunakan cara-cara yang pernah digunakan Fir’aun zaman dulu, yaitu
seperti:
Pembunuhan:
“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa”. (Al Mukmin: 26)
Penyiksaan yang sadis, sebagaimana yang dilakukan kepada para mantan tukang sihir (ansharnya) yang sadar:
“Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kalian
dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan
menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kalian
akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal
siksanya”. (Thaha: 71)
Pemberantasan dan pengejaran:
“Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: “Pergilah di malam
hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena sesungguhnya
kalian akan dikejar”. Kemudian Fir’aun mengirimkan orang yang
mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (Fir’aun berkata): “Sesungguhnya
mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil, dan sesungguhnya
mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya
kita benar-benar golongan yang selalu berjaga-jaga”. (Asy Syu’ara: 52-56)
Ancaman penjara:
“Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (Asy Syu’ara: 29)
Tuduhan ingin merubah idiologi negara dan penebar kerusakan:
“Sesungguhnya aku khawatir dia (Musa) akan menukar dien kalian atau menimbulkan kerusakan di muka bumi”. (Al Mukmin: 26)
Sedangkan makna dien adalah undang-undang sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dien (undang-undang) Raja” (Yusuf: 76)
Jadi, Fir’aun khawatir Musa ‘alaihissalam menukar undang-undang atau idiologi negaranya, juga tuduhan ingin merebut kekuasaan:
“Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami untuk
memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami
mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka
bumi?” (Yunus: 78)
Bagitulah, semua orang kafir melakukan hal yang serupa terhadap kaum
mukminin, dimana Fir’aun-Fir’aun masa sekarang, baik dia itu nengaku
muslim maupun tidak, mereka melakukan pembunuhan terhadap para penegak
Laa ilaaha illallaah, bisa dengan pembunuhan misterius, pembunuhan
masal ataupun lewat jalur persidangan hukum thaghut mereka, penjara,
penahanan, penggerebekan, dan pengejaran adalah lumrah bisaa dilakukan
para kaki tangan Fir’aun negeri ini dan negeri-negeri lainnya. Lisan
mereka mengatakan “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi, tidak ada
tempat bagi hukum Allah di negeri ini, dan hanya hukum dan idiologi
kamilah yang paling tinggi di negeri ini”. Apakah mereka tidak
mngetahui bahwa di sana ada hari penentuan dan pembalasan yang
penyiksaannya tidak sebanding dengan penyiksaan mereka, penjaranya
adalah Jahannam yang mengerikan, penjaganya adalah malaikat-malaikat
yang kasar, tiada kematian dan istirahat, namun yang ada hanyalah
penyiksaan abadi…
Wahai Fir’aun dan bala tentaranya:
“Untuk kalian kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka
bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu
menimpa kita?!” (Al Mukmin: 29)
Kami mengajak kalian kepada hukum Allah ta’ala yang merupakan
keselamatan dari siksa-Nya, namun kalian malah mengajak kami untuk
setia kepada hukum buatan yang kafir yang menghantarkan ke dalam
neraka…
Kalian mengajak kami untuk kafir kepada Allah dan menyekutukan-Nya
dalam hak hukum… Kami lebih peduli terhadap keselamatan kalian daripada
kepedulian kalian terhadap keselamatan kami, namun kalian membalas
kepedulian baik kami dengan sikap buruk kalian kepada kami…
“Hai kaumku, bagaimanakah kamu, aku menyeru kalian kepada
keselamatan, tetapi kamu kalian menyeru aku ke neraka?. (Kenapa) kalian
menyeruku supaya kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan apa
yang tidak kuketahui padahal aku menyeru kalian (beriman) kepada yang
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun?. Sudah pasti bahwa apa yang kalian
seru supaya aku (beriman) kepadanya tidak dapat memperkenankan seruan
apapun baik di dunia maupun di akhirat. dan sesungguhnya kita kembali
kepada Allah dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka
itulah penghuni neraka. Kelak kalian akan ingat kepada apa yang
kukatakan kepada kalian. Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. (Al Mukmin: 41-44)
Kalian malah membalas air susu dengan air tuba !, kami mengajak agar
kalian tidak masuk ke dalam penjara neraka, tapi kalian malah
menjebloskan kami para penyeru tersebut ke dalam penjara-penjara
kalian…
Ingat, hakikat kehidupan adalah ridha Allah dan masa depan yang
sebenarnya adalah masa depan akhirat, maka janganlah sekali-kali kalian
menukarnya dengan kehidupan yang sesaat dan penuh kekeruhan…
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan
orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan
sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam
itu adalah tempat yang seburuk-buruknya”. (Ali Imran: 196-197)
Ingat, hakikat kemenangan dan keberhasilan adalah dijauhkan dari neraka dan dimasukan kedalam surga:
“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung” (Ali Imran: 185)
Lakukanlah apa yang kalian suka terhadap ajaran Allah dan para
pemeluknya, tapi ingat cahaya tauhid pasti akan menerangi bumi Allah
ta’ala dan kekuasaan hukum kafir kalian akan sirna…
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki melainkan
menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak
menyukai”. (At Taubah: 32)
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para shabat, walhamdulillahi rabbil ‘alamin…
LP. Sukamiskin Bandung, 22 Rajab 1428 H
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar