Masih
segar dalam ingatan kita manuver para petinggi partai –yang mengaku- Islam yang
tanpa rasa malu mempertontonkan tingkah polah mereka yang lebih layak
dilakukan oleh para badut politik. Berbagai pernyataan yang membingungkan
umat pun meluncur deras dari mulut-mulut mereka. Dari “Kekecilan baju kalau
memakai atribut Islam, Isu syari’ah Islam sudah tidak menjual lagi, NKRI sudah
final, Cuma selembar kain kok diributkan dan sebagainya”.
Kita
mungkin heran, bagaimana bisa para figur panutan yang dulunya begitu
fasih menjelaskan makna Thoghut kepada para mad’u nya, begitu bersemangat mendakwahkan syari’ah Islam dan menanamkan Aqidah Al Wala’
Wal Bara’ kepada umat, kini berubah 180 derajat, berkoalisi dengan
partai sekuler yang sangat anti syari’ah Islam bahkan menjadi kepanjangan
tangan musuh-musuh Islam.
Sebenarnya
fenomena seperti ini sudah diingatkan oleh Asy Syahid –Insya Allah- Sayyid
Quthub Rahimahullah yang nota bene adalah “guru spiritual” para tokoh politik
itu. Bahwa setiap penyelewengan dari manhaj dakwah Rasulullah Shollallohu
‘alaihi wasallam walau sejengkal saja, pada akhirnya pasti akan menjadi
penyimpangan yang luar biasa jauhnya.
“Sulit
bagi saya membayangkan bagaimana mungkin kita akan sampai pada tujuan
mulia dengan menggunakan wasilah (alat bantu/perantaraan) yang kotor. Tujuan
yang mulia hanya akan hidup di dalam hati nurani yang mulia pula. Karenanya,
bagaimana mungkin nurani yang mulia itu mau menggunakan wasilah busuk lagi
kotor. Atau –yang lebih ironis lagi- bahkan mendambakan hidayah dan pertolongan
Allah melalui wasilah busuk itu ?
Ketika
kita telah tersesat dalam sebuah penyimpangan, sebagai dampak dari lumpur
kesalahan yang kita lalui, maka tidak terelakkan lagi kita pasti akan berada
dalam penyelewengan yang sangat kotor. Karena jalan yang penuh dengan lumpur
pasti akan meninggalkan bekas kotor pada kaki orang-orang yang melewatinya.
Demikian pula halnya dengan wasilah yang kotor, pastilah akan menimbulkan noda
hitam yang akan terus menempel dan meninggalkan bekas kekotoran pada jiwa kita
serta pada tujuan yang akan kita capai”.
Dalam Tafsir
Fi Dzilalil Qur’an, menjelaskan surah Al Hajj ayat 52, yang artinya
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan tidak (pula) seorang
Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan
oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS
Al Hajj 52)
- Sayyid Quthub Rahimahullah mengatakan :
“Panasnya
pergolakan dan kecamuk pertarungan telah mendorong para aktifis dakwah
sepeninggal Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam untuk terus merupaya
menegakkan Risalah ini. Namun di sisi lain tidak sedikit dari mereka yang
kemudian mengambil jalan pintas dengan menggunakan berbagai wasilah, strategi
dan metode yang melenceng dari kaidah dan manhaj dakwah yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah. Hal itu tidak lain disebabkan oleh
ketergesa-gesaan dan ketidak sabaran untuk segera memperoleh kemenangan dan
keberhasilan dakwah mereka.
Jalan
pintas itu adalah hasil ijtihad mereka atas apa yang mereka sebut dengan
“mashlahat dakwah”. Padahal yang dimaksud dengan mashlahat dakwah yang
sebenarnya adalah sikap istiqomah dari para pengemban amanah dakwah agar
senantiasa berada di atas manhaj dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
Shollallohu ‘alaihi wasallam tanpa sedikit pun tergoda untuk berpaling darinya
walau selangkah pun. Adapun hasil akhir dari dakwah adalah perkara ghaib yang
tidak ada satupun yang tahu kecuali Allah Azza Wa Jalla wa Jalla.
Dengan
demikian tidak selayaknya bagi para aktifis dakwah menjadikan hasil akhir
sebagai tolok ukur dan tujuan utama dakwah mereka. Kewajiban mereka hanyalah
menegakkan dakwah di atas manhaj yang lurus dan bersih dari berbagai
penyimpangan, seraya bertawakkal dan menyerahkan seluruh hasil usaha yang
telah dilakukan dengan penuh istiqomah kepada Allah Azza Wa Jalla wa Jalla.
Jika ini telah dilakukan, niscaya kebaikan lah yang akan diperoleh, apapun
hasil yang dicapai.
Ayat
di atas mengingatkan mereka bahwa syaitan tidak akan pernah berhenti
menghembuskan tipu daya dan godaan-godaannya terhadap para aktifis dakwah.
Allah telah melindungi para Rasul dan nabi yang ma’shum sehingga mereka mampu
membebaskan diri dari setiap tipu daya syaitan dan tetap istiqomah pada manhaj
dakwah yang lurus. Namun tidak demikian halnya dengan para aktifis dakwah
setelah mereka. Karena itu sudah seyogyanya bagi setiap aktifis dakwah agar
berhati-hati dan waspada terhadap godaan syaitan ini dan tidak memberi
kesempatan sedikit pun kepada syaitan untuk menjerumuskan mereka ke dalam
kesesatan disebabkan oleh besarnya keinginan untuk segera mencapai keberhasilan
dakwah dan memberikan “mashlahat” bagi umat Islam.
Tidak
ada jalan lain, kalimat “mashlahat dakwah” harus dibuang jauh-jauh dari kamus
para aktifis dakwah, karena ia telah memalingkan mereka dari tujuan dakwah yang
mulia dan menjadi pintu masuk syaitan untuk menyesatkan mereka setelah gagal
menjerumuskan mereka melalui pintu mashlahat pribadi.
- Lebih lanjut Sayyid Quthb menambahkan :
“Mashlahat
dakwah” telah menjelma menjadi berhala, Ilaah yang diibadahi oleh para aktifis
dakwah dan menjadikan mereka melupakan manhaj dakwah Rasul yang murni dan
orisinal. Karena itu, wajib bagi setiap aktifis dakwah untuk tetap
istiqomah di atas manhaj Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam serta dengan
sekuat tenaga menjaga agar tidak tergoda oleh segala bujuk rayu yang pada
akhirnya justru akan menghancurkan bangunan dakwah yang telah mereka bina.
Ketahuilah
bahwa satu-satunya bahaya yang harus terus diwaspadai oleh para
aktifis dakwah adalah penyimpangan dari manhaj dakwah Rasulullah Shollallohu
‘alaihi wasallam dengan alasan apapun, sekecil apapun penyimpangan
itu. Karena sesungguhnya Allah lah yang lebih Mengetahui tentang
mashlahat dibandingkan mereka. Sedangkan mereka tidak dibebani sama sekali
untuk mewujudkan mashlahat itu. Mereka hanya diwajibkan atas satu hal saja :
“agar tidak menyimpang sedikit pun dari Manhaj Rasulullah Shollallohu ‘alaihi
wasallam dan tidak menyerah kalah lalu meninggalkan jalan dakwah yang
penuh berkah ini. “ . [2]
Semoga
Allah merahmati Sayyid Quthub atas nasehat yang sangat berharga ini, di saat
kita menyaksikan dengan mata telanjang aksi para politikus partai –yang
mengaku- Islam yang menghalalkan segala cara, menjual diri kepada para Thaghut
dengan mengatasnamakan “mashlahat dakwah”.
Rasanya
siapa pun yang memiliki hati nurani yang bersih pasti akan mengatakan bahwa
tingkah polah mereka hanyalah menjual agama untuk kepentingan syahwat dan nafsu
kekuasaan belaka. Mereka mengatasnamakan Islam untuk semua tindakan mereka,
padahal Islam telah berlepas diri dari mereka.
Jika memang kemenangan yang mereka dambakan, alangkah
jauhnya perbandingan antara tingkah polah yang mereka pertontonkan dengan
gambaran Al Qur’an tentang para pejuang Tauhid sejati dalam surat Al Buruj.
Lebih lanjut Sayyid Quthub menulis dalam bukunya “Ma’alim Fit
Thariq” tentang arti dan hakekat kemenangan sejati :
“Kehidupan
dunia yang diwarnai oleh berbagai macam keadaan dan suasana. Kenikmatan
hidup, kesenangan, penderitaan, kebahagiaan memperoleh sesuatu, kekecewaan
kehilangan sesuatu, bukanlah merupakan nilai yang paling mahal di dalam neraca
timbangan. Kehidupan dunia lahiriah ini bukanlah merupakan faktor yang
menentukan nilai menang atau kalah, untung atau rugi. Kemenangan hakiki
bukanlah selama-lamanya berarti kemenangan lahiriah, yang nampak dipandang oleh
mata kasar. Sebab kemenangan yang nampak disaksikan oleh mata kasar dan panca
indera lahir itu hanyalah salah satu bentuk kemenangan saja. Padahal kemenangan
itu amatlah beragam bentuknya.
Sesungguhnya
nilai yang paling berharga di dalam neraca Allah Ta’ala adalah nilai
aqidah. Sesuatu yang paling laris dalam perniagaan Allah adalah iman.
Kemenangan yang paling bernilai di sisi Allah ialah kemenangan ruh atas
kebendaan, kemenangan aqidah menghadapi sakit dan sengsara, kemenangan iman
menempuh badai fitnah dan ujian.
Di
dalam kisah pembunuhan beramai-ramai di dalam parit api (Ashabul Uhdud), yang
kita perbincangkan ini, nyata sekali kemenangan orang-orang beriman itu
mengalahkan perasaan takut dan sakit. Kemenangan mengatasi godaan-godaan
duniawi, kemenangan menghadapi fitnah, kemenangan kehormatan dan harga diri
umat manusia di sepanjang zaman. Inilah kemenangan sejati !”. [3]
Sebuah
pelajaran amat berharga dari seorang Sayyid Quthub yang telah menorehkan
sejarah hidup dan perjuangannya dengan tinta dan darahnya, hingga syahid
menjemput.
Allahumma
Anta Rabbuna, farzuqnaa al istiqomah wasy syahadah, Ya Allah, Engkaulah Rabb kami, maka anugerahkanlah
kepada kami sikap istiqomah dalam berjihad di jalan-Mu dan matikanlah kami
sebagai para syuhada’.
[1]
Wasiat ini pertama kali dirilis oleh Majalah Al Fikr Tunisia edisi VI Maret
1959 dengan judul “Cahaya dari Kejauhan”.
[2]
Tafsir Fi Dzilalil Qur’an Juz 4 halaman 2435, Al Qoul An Nafiis
Fit Tahdzir Min Khodi’ati Iblis (Mashlahah Da’wah) karangan Syaikh Abu
Muhammad Al Maqdisi halaman 60 – 61
[3]
Petunjuk Sepanjang Jalan (Ma’alim Fit Thariq) 161 – 162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar