PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Minggu, 18 November 2012

Kufur terhadap Thoghut (bagian 1)

Pada hari ini banyak sekali ujian dan cobaan menerpa umat Islam di seluruh dunia. Ujian itu berupa penyakit syubhat dan syahwat. Salah satu masalah yang seringkali seolah tidak tuntas diperdebatkan adalah masalah iman dan kufur, serta syirik dan tauhid. Dalam pembahasan masalah-masalah tersebut erat kaitannya dengan masalah siyasah/politik hingga kenegaraan. Bahkan tak jarang, mereka-mereka yang berseberangan pendapat, menggelari lawan-lawan diskusi mereka sebagai murjiah, khawarij, bughat dan lain sebagainya.


Mari kita kupas sedikit demi sedikit. Tentunya dengan alur pemikiran yang saya pakai dan sedang saya suguhkan kepada para pembaca sekalian.

(1)    Masalah Penguasa Muslim

Dalam keyakinan ahlus sunnah wal jamaah, golongan penguasa yang muslim adalah wajib ditaati serta merupakan sikap tercela jika kita keluar dari ketaatan padanya. Dalil-dalil yang menunjukkan kepadanya adalah sangat banyak dan jelas. Antara lain :

  • Dalil Qur’an : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa : 59) Jadi ulil amri yang diperintahkan kepada kita untuk menaatinya adalah ulil amri yang beriman, bukan yang kafir (Majmu’ al Fatawa 28/97 atau 28/170).

  • Adakalanya penguasa bersifat zhalim lagi fasiq, tetapi tidak melakukan kekufuran yang nyata, maka pendapat yang shahih adalah kita tetap diperintahkan bersabar atasnya. Serta tetap menaatinya dalam hal kebaikan, dan tidak menaatinya dalam hal keburukan. Rasulullah saw bersabda : “Nanti akan muncul pemimpin, kalian mengenalinya dan mengingkarinya. Maka barangsiapa menjumpainya (dan tidak mengikutinya) sungguh ia telah terlepas (dari dosanya), dan barangsiapa yang mengikarinya maka dia selamat. Namun dosa dan kecelakaan bagi yang meridhainya dan mengikutinya. Para sahabat bertanya: Apakah kita tidak memeranginya? Rasullah n menjawab:  “Tidak, selama mereka masih shalat.” Dalam riwayat Muslim yang lain 65-1855 dan 66-1855: “Tidak, selama mereka masih menegakan shalat pada kalian.”
  • Adakalanya penguasa terjerumus dalam bid’ah yang perbuatan tersebut dikafirkan secara mutlak oleh para ulama ahli hadits. Seperti halnya penguasa zaman Bani Abbasiyah. Maka hendaknya mengikuti perbuatan para ulama pada zaman itu, yakni tetap bersabar. Sebab mereka adalah model penguasa muslim mubtadi’ yang masih sesuai dengan apa yang didefinisikan Imam Hasan al-Bashri : “Mereka  mengurusi lima urusan kita: (Shalat) Jumat, (Shalat) Jama’ah, ‘Ied (hari raya), perbatasan (negeri Islam dan negeri kafir-pen), hukum had (hukum pidana dalam syariat islam-pen). Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka itu zalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak. “(Mu’amalatul Hukkam hal 7-8). Dan masalah kemakhlukan al-Qur’an pada zaman itu adalah masalah yang memiliki kemungkinan salah ta’wil yang dimana Imam asy-Syaukani berkata bahwa ada nash dari ayat Al-Qur’an ataupun hadits yang jelas yang tidak mengandung takwil dan tuntutannya bahwasanya tidak boleh keluar memberontak mereka (penguasa) selama perbuatannya mengandung takwil. (Nailul Authar 7/361).

  • Ahlus Sunnah bersepakat bahwa tidak boleh keluar dan memberontak dari penguasa muslim meskipun mereka zhalim lagi fasiq. “Barang siapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari penguasanya maka bersabarlah, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyah.”  (Hadits Ibnu Abbas z, dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Sahihnya.) Dan setelah terjadi perselisihan yang lama mengenai boleh dan tidaknya memberontak penguasa yang zalim dan fasiq akhirnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersepakat tidak boleh memberontak (Lihat Syarah An-Nawawi Li Shahih Muslim 12/229 dan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah 2/241).

  •  Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Attin talah menukil dari Ad-Dawudi ia berkata: ‘Bahwa pegangan para ulama dalam masalah para penguasa yang zalim jika mampu mencopotnya tanpa fitnah dan kezaliman wajib dilakukan, jika tidak mampu maka wajib bersabar. Dan sebagaian ulama berpendapat tidak boleh memilih atau memberikan kepemimpinan kepada orang fasiq (sejak semula). Maka jika terjadi kezaliman sesudah dia adil, mereka berselisih pendapat dalam masalah boleh dan tidaknya memberontaknya. Yang benar adalah dilarang memberontak kecuali kalau dia kufur maka wajib memberontaknya.’” (Fathul Bari juz 13/7-8).
Begitulah aqidah yang benar terhadap penguasa muslim, meskipun fasiq lagi zhalim. Dari sekian banyak dalil, Rasulullah telah mewanti-wanti kepada kita agar tetap taat dalam kebajikan kepada penguasa. Tetapi jangan lupakan hadits yang penting berikut ini :

  • Rasullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam - memanggil kami, lalu membai’at kami. Maka di antara bai’atnya  adalah agar kami berbai’at untuk mendengar dan taat di saat  kami suka ataupun tidak suka, di saat dalam kemudahan  ataupun dalam kesusahaan, dan di saat kami diperlakukan secara tidak adil. Dan agar kami tidak mencabut urusan (kepemimpinan dari orang yang berhak). Beliau berkata: kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil padanya dari Allah. (HR. Imam Muslim dalam shahihnya 42-1709. Lihat ٍShahihu Muslim bisyarhi An-Nawawi 12/2315 cet Darul Aqidah dan dalam Shahih Al-Bukhari, Kitabul Fitan, hadits no 7055, 7056 13/8-9 Cet. Daaru Mishr Liththiba’ah).
Bahkan menurunkan dan keluar dari ketaatan terhadap penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata ini merupakan kewajiban yang telah dinyatakan oleh para ulama pendahulu.  Pendapat tersebut antara lain :

  • Ibnu Hajar selain menyatakan wajibnya memberontak, ia juga berkata dalam Fathul Bari : Ringkasnya menurut ijma` bahwasanya penguasa dimakzulkan (dilengserkan) karena melakukan kekafiran, maka wajib atas setiap muslim ikut andil dalam hal itu, maka barangsiapa yang kuat melakukannya meraih pahala dan barangsiapa yang bermudahanah (cari muka dan menjilat) mendapat dosa, dan barangsiapa yang lemah wajib berhijrah dari negeri itu. (Fathul Bari 13/176 dan selebihnya bisa dibaca pada 13/8-13)

  • Sementara itu, Imam An-Nawawi mengatakan, “Qadhi Iyadh berkata, ‘Para ulama bersepakat bahwa kepemimpinan tidak diberikan kepada orang kafir. Namun, kalau ia tiba-tiba menjadi kafir, maka harus dilengserkan.’ Lebih lanjut Qadhi Iyadh berkata, ‘Begitu pula jika ia meninggalkan shalat dan mengajak orang untuk mengikutinya’ “.(Syarh Shahîh Muslim: XII/229) Qadhi Iyadh juga berkata: “Seandainya (penguasa atau pemimpin) terbukti melakukan dan merubah syariat atau membuat bid’ah, dia keluar dari wilayah kepemimpinannya, dan gugur ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum muslimin memberontaknya dan melengserkanya serta mengangkat imam yang adil jika memungkinkan, maka jika hal itu tidak terjadi melainkan bagi suatu kelompok maka wajib atas kelompok itu memberontak untuk mencopot penguasa kafir itu. Dan tidak wajib terhadap penguasa mubtadi’ (yang membuat bid’ah) kecuali jika mereka yakin mampu melakukannya, maka jika terbukti lemah tidak wajib melakukannya, dan seorang muslim hendaklah berhijrah dari negerinya ke negeri lainnya, dan lari untuk menyelamatkan agamanya”. (Idem ). Selesai ucapan Qadhi Iyadh.
Dari perkataan Ibnu Hajar dan nukilan Imam Nawawi di atas bahwa menurunkan penguasa yang kafir atau menjadi kafir adalah wajib, bahkan Ibnu Hajar menukilkan ijma’ terhadapnya. Namun perlu diingat!! Hanya penguasa yang telah melakukan kekufuran yang nyata yang diperlakukan seperti ini, serta dalil-dalil untuk penguasa muslim (meski zhalim lagi fasiq) tidak berlaku lagi bagi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata!!


(2)    Kufur Kepada Thaghut

Sesungguhnya seluruh Rasul yang diutus Allah memiliki misi yang sama. Mereka semua diutus seperti yang telah disebutkan dalam al-Qur’an : “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS An-Nahl : 36)
 
Selain itu syahadat umat Islam terdiri dari dua bagian. Dua bagian tersebut adalah penetapan (itsbat) dan penafian (nafyu) :“Maka barang siapa yang kufur terhadap thoghut dan beriman kepada Alloh maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat.” (Al-Baqoroh: 256)
Dan ayat ini merupakan tafsiran syahadat laa ilaaha illalloh, yang berisi nafyu dan itsbat;
  • An-Nafyu artinya meniadakan peribadahan dari setiap apa yang diibadahi selain Alloh. Hal ini direalisasikan dengan meyakini batilnya beribadah kepada selain Alloh, meninggalkan peribadahan itu, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhi mereka. Inilah yang dimaksud dengan mengkufuri thoghut. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
  • Dan al-Itsbat artinya menetapkan peribadahan hanya untuk Alloh semata, dengan mengarahkan semua bentuk peribadahan hanya kepada Alloh semata.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menyebutkan lima jenis thoghut. Lima jenis thoghut yang wajib dikufuri tersebut antara lain :
  • Pertama; Syetan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Alloh
  • Kedua; Seorang penguasa yang dzolim yang merubah hukum-hukum Alloh
  • Ketiga; Orang yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Alloh                                                              
  • Keempat; Orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang ghoib selain Alloh
  • Kelima; Orang yang diibadahi selain Alloh dan dia rela dengan ibadah itu
(Risalah Ma’na Ath-Thoghut, tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang terdapat dalam Majmu’atut Tauhid cet. Maktabah Ar-Riyadl Al-Haditsh, hal. 260.)

Ø  Adapun Syaikh Sulaiman bin Samhan An-Najdi berkata: “Thoghut itu tiga macam: thoghut dalam hukum, thoghut dalam ibadah dan thoghut dalam ketaatan dan pengikutan.” (Ad-Duror As-Sunniyah VIII/272).

Ø  Adapun Syeikh Muhammad bin Hamid Al-Faqiy mengatakan tentang definisi Thoghut: “Yang dapat disimpulkan dari perkataan ulama’ salaf, bahwasanya thoghut itu adalah segala sesuatu yang menyelewengkan dan menghalangi seorang hamba untuk beribadah kepada Alloh, dan memurnikan agama dan ketaatan hanya kepada Alloh dan rosulNya saja. Sama saja apakah thoghut itu berupa jin atau berupa manusia atau pohon atau batu atau yang lainnya. Dan tidak diragukan lagi masuk dalam pengertian ini; memutuskan hukum dengan undang-undang di luar Islam dan syari’atnya, dan undang-undang yang lainnya yang dibuat oleh manusia untuk menghukumi pada permasalah darah, seks dan harta, untuk menyingkirkan syari’at Alloh seperti melaksanakan hukum hudud, pangharaman riba, zina, khomer dan lainnya yang dihalalkan dan dijaga oleh undang-undang tersebut. Dan undang-undang itu sendiri adalah thoghut, dan orang-orang yang membuat dan menyerukannya adalah thoghut. Dan hal-hal yang serupa dengan itu seperti buku-buku yang dibuat berdasarkan akal manusia untuk memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, semuanya itu adalah thoghut.” (Catatan kaki hal. 287 dalam kitab Fathul Majid, karangan Abdur Rohman bin Hasan Alu Asy-Syaikh, cet. Darul Fikri 1399 H.)

Syaikh Muhammad Ibnu abdil Wahhab  rahimahullah berkata dalam  risalah fi makna thaghut (lihat Majmu’atut tauhid 10, Al Jami’ Al fariid 308) : “Adapun tata cara kufur terhadap thaghut itu adalah engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhi mereka itu.”

Jadi sudah jelas di atas bahwasanya aqidah ulama menyatakan dengan jelas bahwa mereka-mereka yang mengganti syariat Islam dengan UU sekuler, serta berhukum dengannya, maka mereka adalah golongan yang memenuhi syarat untuk disebut dengan thaghut. Kita wajib mengkufuri thaghut dengan tatacara yang telah ditentukan oleh ulama, karena hal itu adalah pengertian dari syahadat laa ilaaha illallah.



(3)    Rincinya Kekufuran Tasyri’ dengan Hukum Positif 


Sesungguhnya golongan yang berhukum dengan undang-undang buatan, yang dibuat berdasarkan proses yang mengedepankan hawa nafsu, adalah golongan yang melakukan perbuatan kufur akbar. Hal ini didukung bukan hanya oleh satu dalil saja. Pengkufuran terhadap mereka (yang merupakan pengertian dari syahadat) adalah didukung oleh banyak dalil dan ditetapkan oleh ulama terdahulu yang lurus dan dikenal istiqomah mengikuti manhaj salaf. Jadi salah besar jika mengatakan bahwa orang yang mengkafirkan pemerintahan sekuler adalah Khawarij atau Haruriyyah. Sebab kekufuran pemakai UU sekuler adalah terang dan nyata.
  • Ketika menerangkan ayat 50, surat al-Maidah : “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?” [QS. Al Maidah :50], Ibnu Katsir berkata dengan jelas : “Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut  jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari sistem perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi undang-undang  yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak mau pun sedikit.” (Tafsir Ibnu Katsir II/68)
Dan anehnya pada zaman sekarang, masih ada saja orang yang membedakan antara Tartar dan penguasa sekarang ini dengan berbagai alasan untuk menghilangkan kewajiban yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir ini. Padahal Tartar hanya mewajibkan Ilyasiq khusus di kalangan nation mereka sendiri. Sedangkan pada hari ini, ruler-ruler yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin menghukum dengan keras siapa saja yang tidak mau taat dengan undang-undang mereka.

  • Silahkan mencermati pernyataan ulama abad 20, yakni Syaikh Ahmad Syakir : :”Tidakkah kalian melihat ciri-ciri yang menonjol yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Katsiir — pada abad kedelapan — terhadap undang-undang buatan tersebut yang dibuat oleh musuh Islam “Jengkis Khan”? Tidakkah kalian melihatnya menyebutkan kondisi kaum muslimin pada hari ini, yaitu pada abad keempat belas? Kecuali hanya satu perbedaannya sebagaimana yang telah kami singgung tadi yaitu: bahwasanya dahulu hanya berlaku pada kalangan penguasa yang terjadi dalam tempo yang singkat lalu tersebar di kalangan umat Islam kemudian tidak berbekas apa yang mereka lakukan. Namun kaum muslimin pada hari ini kondisinya lebih buruk dan lebih dholim dan lebih gelap daripada mereka, karena hampir mayoritas umat Islam sekarang terjerumus dalam Undang-undang yang menyelisihi syariat Islam yang sangat mirip dengan “Ilyasiq” itu”. (‘Umdatut Tafsiir IV/173-174).
  • Syaikh Ahmad Syakir juga menambahkan bahwa Undang-undang yang berlaku di negeri kaum muslimin saat ini adalah Ilyasiq Modern, dan hal ini adalah perbuatan yang kufur yang jelas : “Sesungguhnya permasalahan undang-undang positif ini sudah jelas sejelas matahari di siang bolong, itu adalah kekufuran yang nyata (kufur bawaah) tidak tersembunyi dan tidak tertolerir lagi.” (Umdatu Tafsir IV/173-174)

  • Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh berkata ketika membahas al-Maidah, ayat 50 : “Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan lebih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah  tidak melakukan kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara para penetap undang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau mencari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka: “Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan.” [An-Nisaa' : 151]“(Risalatu tahkimil- Qawanin hal. 11-12). Bahkan dalam Risalah yang sama beliau menyatakan : “Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam menutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman Allah :”…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir…” [Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5]

  • Penguasa zaman ini lebih jelek dari Tartar dalam penerapan UU sekuler. Mereka memaksa kaum muslimin untuk menaati aturan-aturan kufur tersebut, serta member sanksi yang tegas kepada orang yang tidak berhukum dengan UU sekuler tersebut. Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah yang sama menyatakan : “Pengadilan-pengadilan tandingan ini sekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa saja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al Qur’an dan As Sunah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al Qur’an dan As Sunah yang lebih berat dari penentangan  mereka seperti ini dan pembatal syahadat “Muhammad adalah utusan Allah” mana lagi yang lebih besar dari hal ini?”(Tahkimul Qawanien hal. 20-21).

  • Syaikh Asy-Syanqithi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah, “Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan.” [QS. Al Kahfi :26] dan setelah menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa menetapkan undang-undang bagi selain Allah adalah kekafiran, beliau berkata, “Dengan nash-nash samawi  yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh setan melalui lisan wali-wali-Nya, menyelisihi apa yang Allah syari’atkan melalui lisan Rasul-Nya. Tak ada seorangpun yang meragukan kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Allah hapuskan bashirahnya dan Allah padamkan cahaya wahyu atas diri mereka.”(Adhwaul Bayan IV/92) Syaikh Al Syinqithi juga berkata : ” Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan antara keduanya. Orang yang mengikuti UU selain UU Allah dan tasyri’ selain tasyri’ Allah adalah seperti orang yang menyembah berhala dan sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun,. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Allah.(Al Hakimiyah fie Tafsiri Adhwail Bayan, karya Abdurahman As Sudais hal. 52-53, dengan ringkas, lihat juga Adhwaul Bayan 7/162)
Dua orang Imam Ahlus Sunnah, yakni Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyyah menukilkan ijma’ tentang kafirnya orang yang berbuat seperti ini :

  • Adapun fatwa Ibnu Taimiyyah; adalah terdapat dalam perkataannya — dalam fatwanya tentang Tartar. Ia berkata: ”Dan telah diketahui secara pasti dalam diin Islam dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin bahwasanya barangsiapa memperbolehkan mengikuti selain diinul Islam, atau mengikuti syariat selain syariat Muhammad SAW, maka dia kafir sebagaimana kafirnya orang yang beriman dengan sebagian kitab dan kafir dengan sebagian yang lain. Sebagaimana firman Alloh: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap Alloh dan para RosulNya, dan hendak membedakan antara Alloh dan para RosulNya, dan mereka mengatakan : kami beriman kepad sebagian dan kami kufur kepada sebagian yang lain, dan mereka hendak mengambil jalan diantara itu. Mereka adalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya dan kami telah siapkan bagi orang-orang kafir siksaan yang menghinakan”. (QS. An-Nisaa’:150-151).(Majmuu’ Fataawaa : XXVIII/ 524).

  • Ibnu Taimiyyah juga berkata dalam kesempatan lain : “Dan kapan saja manusia itu menghalalkan yang haram — yang telah disepakati — atau mengharamkan yang halal — yang telah disepakati — atau mengganti syari’at — yang telah disepakati — maka dia kafir bedasarkan kesepakatan para fuqoha’.” (Majmuu’ Fataawaa III/ 267)

  • Ibnu Katsir rhm, berkata : “Maka barangsiapa yang meninggalkan syari’at  yang jelas yang diturunkan kapada Muhammad bin ‘Abdillah, penutup para Nabi dan berhukum kepada syari’at yang lain yang telah mansukh, ia telah kafir. Lalu bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengutamakannya dari pada syari’at tersebut ? Barangsiapa yang melakukannya dia kafir berdasarkan ijma’ kaum Muslimin. Alloh berfirman : “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada Alloh bagi kaum yang yakin ?”

Dan Alloh berfirman : “Maka demi Robb mu mereka tidaklah beriman sampai mereka memutuskan yang mereka perselisihkan kepadamu kemudian mereka tidak dapatkan keberatan dalam dada mereka terhadap apa yang kamu putuskan dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.” Maka Maha Benar Alloh Yang Maha Agung.” (Al Bidaayah Wan Nihaayah XIII/ 119) dicantumkan dalam peristiwa tahun 624 H, ketika menerangkan biografi Jengkis Khan).


Jadi perbuatan mengkafirkan orang yang mengkafirkan penguasa yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan membuat hukum-hukum baru, merupakan ijma’ kaum muslimin. Sehingga sungguh keliru orang-orang yang menuduh perbuatan ini sebagai perbuatan bid’ah Khawarij. Mengapa perbuatan ini dikafirkan ?? Sebagaimana pernyataan Masyayikh di atas, membuat dan memaksakan UU sekuler kepada kaum muslimin adalah Kufur Akbar yang membatalkan Ashlul Iman!! Tidak perlu ada persyaratan juhud/ingkar dan istihlal/menghalalkan dalam mengkafirkan golongan semacam ini. Sebab juhud dan Istihlal adalah khusus bagi dosa besar yang tidak membatalkan ashlul iman (kufur ashghar/kufur amali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar