PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Rabu, 09 Januari 2013

I’daad dan ‘Adaalah (Bag.1)

Syaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul ‘Aziiz
I’daad dan ‘Adaalah

PENGERTIAN DAN STATUS KEDUANYA DALAM SYARAT JIHAD
Sebuah Bantahan Terhadap Syubhat Yang Mengatakan Bahwa;
Tidak Ada Jihad Kecuali Setelah Sempurnanya Tarbiyah Imaniyah



Penerjemah:  Abu Musa Ath Thoyyaar


Disini kita akan membahas permasalahan­permasalahan berikut; Pertama; apakah yang dimaksud I’dad lil jihad (Persiapan Jihad)? Kedua; apakah Al ‘Adaalah merupakan syarat wajibnya jihad?

Pertama; Apakah yang dimaksud dengan I’dad lil Jihad?




Yang dimaksud dengan I’dad ada dua; yaitu I’dad Maddi (persiapan materi) dan I’dad imani (persiapan iman), dan tidak boleh membatasi I’dad dengan salah satunya. Adapun yang dimaksud dengan I’dad maddi adalah yang disebutkan dalam surat Al Anfaal, Alloh berfirman:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda­kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh, musuhmu dan orang­orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Alloh mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Alloh niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al Anfaal : 60)


Dan penafsiran ayat ini telah disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ sehingga tidak menyisakan tempat untuk mentakwilkannya atau membawa pengertian ayat tersebut kepada pengertian yang tidak dimaksudkan oleh ayat tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata bahwasannya Rosululloh SAW , membaca ayat ini kemudian bersabda: “Ingatlah bahwasannya kekuatan itu adalah melempar (memanah)”. Beliau mengucapkannya tiga kali.

Oleh karena itu tidak boleh membawa pengertian ayat ini kepada pengertian I’dad imani dan tarbiyah. Dan I’dad maddi mencakup mempersiapkan orang, senjata dan harta. Dan ayat tersebut diatas menyebutkan dengan jelas persenjataan dan harta, dan menyebutkan orang secara isyarat. Namun mempersiapkan orang ini terdapat dalam ayat­ayat lain. Seperti firman Alloh : “Hai Nabi, hasunglah orang­orang mu’min untuk berperang” (QS. Al Anfaal : 65)

Dan juga firman Alloh:

“Maka berperanglah kamu pada jalan Alloh, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Dan hasunglah orang­orang mu’min (untuk berperang). Mudah­mudahan Alloh menolak serangan orang­orang yang kafir itu”. (QS. An Nisaa’ : 84)

Dan juga firman Alloh:

“Wahai orang­orang yang berimanjadilah kalian sebagai pembela­pembelaAlloh” . (QS. Ash Shaff : 14)

Dan permasalahan ini telah dibahas secara terperinci dalam bab dua, dan Ibnu Taimiyyah berkata bahwasannya jika kewajiban jihad itu gugur karena ketidak mampuan maka wajib mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan. (Majmuu’ Fataawaa, XXVIII / 259) Dan Alloh menjadikan I’dad ini sebagai pertanda benarnya keimanan dan sebagai pembeda antara orang beriman dengan orang munafiq, dalam firmanNya:


“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Alloh tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Alloh melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka:”TinggAlloh kamu bersama orang­orang yang tinggal itu”. Jika mereka berangkat bersama­sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka bergegas­gegas maju ke muka dicelah­celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka” . (QS. At Taubah : 46­-47)

Dalam ayat ini Alloh menjelaskan bahwa orang munafiq yang meninggalkan I’dad itu sebelumnya secara taqdir Alloh telah mentelantarkannya. Dan sesungguhnya hal ini adalah merupakan rahmat dari Alloh kepada orang­orang yang benar­benar beriman, seandainya mereka ikut keluar bersama mereka, pasti orang­orang munafiq itu hanya membuat kerusakan dan fitnah. Apalagi ada sebagian orang­orang beriman yang berbaik sangka kepada orang­orang munafiq itu. “Dan diantara kalian ada yang mendengar­dengarkan mereka”

Dan disinilah timbul kerusakan yang besar. Inilah yang berkaitan dengan I’dad secara materi.

Adapun I’dad imani (tarbiyah) bukan bagian dari I’dad maddi (materi). Dan dalil­dalilnya telah disebutkan dalam pasal ini juga sehingga tidak perlu untuk diulang lagi. Dan I’dad Imani ini banyak sekali cabangnya, sebanyak cabang iman, baik lahir maupun batin, baik secara ilmu maupun secara amal, I’dad Imani juga mempunyai peran secara langsung dalam menyebabkan kemenangan atau kekalahan, sebagaimana telah saya sebutkan dalam lima prinsip dasar penyebab kemenangan dan kekalahan. Namun ada beberapa hal yang perlu dijaga dalam hal­hal yang berkaitan dengan I’dad, yaitu :

­ Jangan sampai ayat I’dad dalam surat Al Anfaal ini dibawa kedalam pengertian tarbiyah, karena telah ada hadits marfu’ yang menafsirkan ayat tersebut sehingga membantah pentakwilan tersebut. Adapun tentang tarbiyah ada dalil­dalil lainnya yang telah dijelaskan didepan. Dan yang lebih parah lagi adalah orang yang membatasi I’dad hanya dengan I’dad imani saja tanpa I’dad maaddiy (materi). Orang semacam itu adalah orang yang mendustakan ayat­ayat Alloh.

­ Tarbiyah ini jangan menjadi alasan untuk tidak berjihad, khususnya jihad yang fardlu ‘ain. Inilah yang sangat penting untuk dijaga dalam kaitannya dengan tarbiyah. Dan inilah yang mendorong kami untuk membahas sisi kedua dalam catatan ini.
Kedua : Apakah Al ‘Adaalah itu merupakan syarat wajibnya Jihad?

Maka kepada orang­orang yang mengatakan kami tidak berjihad sampai kami menyelesaikan tarbiyyah iimaaniyyah, kami bertanya dengan dua pertanyaan;

Pertanyaan pertama : Apakah target dari tarbiyyah itu menghantarkan seorang muslim kepada tingkatan Al ‘Adaalah Asy Syar’iyyah, atau kepada tingkatan yang lebih tinggi dari pada itu?

Pertanyaan kedua : Apakah Al ‘Adaalah itu merupakan syarat wajib jihad? Yang berarti seorang muslim tidak boleh berjihad sampai dia mencapai derajat Al ‘Adaalah? Dan apakah kewajiban jihad itu akan gugur dari orang fasiq?

Pertama kami akan menyebutkan definisi Al ‘Adaalah, kami katakan: Al ‘Adaalah adalah kemapanan seseorang pada diinnya, dan ada yang mengatakan; bahwa Al ‘Adaalah adalah orang yang tidak nampak padanya hal­hal yang meragukan. Dan dalam hal ini yang menjadi indikasi ada dua:

1.  Baik dalam mengamalkan Islam, yaitu melaksanakan sholat­sholat wajib dengan sunnah rowatibnya, menjauhi perbuatan haram dengan cara tidak melakukan perbuatan dosa besar dan tidak terus terusan berbuat dosa kecil.
2. Menjaga kesopanan dengan melakukan perbuatan yang memperindah dirinya dan meninggalkan perbuatan yang menghinakan dan memperburuk dirinya. (manarus Sabiil Syarhud Dalil, cet. Al Maktab Al Islami, 1404 H, II/387­388).


Kemudian kami akan menyebutkan syarat­syarat wajibnyajihad ­­­ dan telah berlalu pembahasan ini dalam lampiran sebelumnya ­­­ yaitu (Islam, baligh, berakal, laki­laki, tidak cacat, merdeka, punya biaya, ijin orang tua dan ijin orang yang menghutangi), (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir X/366,381­384). Dan ini adalah ketika jihad fardhu kifayah, adapun jika jihad itu fadlu ‘ain, maka syaratnya adalah satu sampai lima saja. Dan sebagaimana anda lihat bahwa Al ‘Adaalah tidak termasuk syarat jihad.

Kalau Al ‘Adaalah itu jelas bukan merupakan syarat wajibnya jihad, maka gugurlah pendapat orang yang mengatakan harus diadakan tarbiyyah yang menghantarkan seorang muslim kepada tingkatan Al ‘Adaalah sebelum dia berjihad. Dan selanjutnya gugurlah pendapat orang yang mensyaratkan harus mencapai tingkatan lebih tinggi dari pada Al ‘Adaalah. Bahkan para ‘ulama menyatakan yang sebaliknya, artinya boleh meminta bantuan orang fasik dan munafik dalam berperang. Asy Syaukaaniy berkata:”Dalam kitab Al Bahr dikatakan: Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang munafiq berdasarkan ijma’ karena Nabi meminta bantuan kepada Abdullah bin Ubay dan teman­temannya. Dan juga diperbolehkan meminta bantuan kepada orang fasiq untuk melawan orang kafir berdasarkan ijma’, dan menurut kami juga untuk melawan bughot (pemberontak) karena ‘Aliy ra, meminta bantuan kepada Asy’ats” (Nailul Authoor VIII/44).

Dan dalam kitab Al Majmuu’ disebutkan :”Abu Bakar Al Jashosh berkata dalam Ahkamul Qur’an; jihad itu wajib dilaksanakan meskipun bersama dengan orang­orang fasiq, sebagaimana wajibnya berjihad bersama orang­orang yang sudah sampai tingkatan Al ‘Adaalah. Dan seluruh ayat yang mewajibkan jihad tidak membedakan antara dikerjakan bersama orang­orang fasiq dan antara dikerjakan bersama orang­orang shalih. dan juga karena sesungguhnya orang­orang fasiq itu jika mereka berjihad berarti dia dalam hal ini melaksanakan ketaatan (kepada Alloh)”. (Al Majmuu’ Syarhul Muhadz­dzab, XIX/279).
Dan Ibnu Hazm berkata ­­­ setelah menyebutkan hadits yang berbunyi:

“Sesungguhnya Alloh benar­benar memperkuat agama ini dengan orang­orang yang tidak mendapatkan apa­apa”

Dan Hadits yang berbunyi:

“Sesungguhnya Alloh memperkuat agama ini dengan orang yang fajir”

Beliau berkata:”

Hadits ini memperbolehkan meminta bantuan kepada ahlul harbi (musuh) untuk menghadapi orang yang semacam dengan mereka, dan juga kepada orang Islam yang fajir (banyak berbuat dosa) yang tidak mempunyai pahala sedikitpun untuk menghadapi ahlul baghyi (pemberontak), selain itu karena orang­orang fasiq itu juga terkena kewajiban jihad dan kewajiban melawan ahlul baghyi (pemberontak), sebagaimana kewajiban orang yang baik. Oleh karena itu tidak boleh melarang mereka untuk melaksanakan kewajiban itu. Bahkan seharusnya mereka diajak untuk melaksanakan kewajiban tersebut”. (Al Muhallaaa XI/113­114).

Dan permasalahan ini secara terperinci telah dibahas (pada bab tiga), pada pembahasan berperang bersama pemimpin yang fajir. Jika berperang bersama orang yang fajir yang menjadi pemimpin saja diperbolehkan apalagi berperang bersama orang fajir yang menjadi pasukan.

Dan Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan dengan secara panjang lebar tentang masalah ini, yang telah saya nukil dalam (bab ketiga), yaitu beliau berkata;”Jika mereka bersepakat untuk memerangi orang­orang kafir dengan cara yang sempurna, maka inilah pelaksanaan yang maksimal dalam rangka mencari ridlo Alloh, memuliakan kalimatNya, dan mentaati RosulNya. Meskipun diantara mereka ada yang banyak dosanya dan ada yang rusak niatnya, ia berperang ingin mendapatkan kepemimpinan atau ingin mendapat beberapa kepercayaan, Namun meninggalkan perang melawan orang­orang kafir itu kerusakannya terhadap agama lebih besar dari pada berperang melawan mereka tapi bersama orang­orang fasiq. Dan kita wajib memerangi mereka dengan tujuan untuk menolak kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil. Dan ini merupakan pokok ajaran Islam yang harus senantiasa dijaga.

Oleh karena itu termasuk dari pokok­pokok aqidah ahlus sunnah adalah berperang baik bersama
orang yang baik maupun bersama orang yang fajir. Karena sesungguhnya Alloh akan menolong
agama ini dengan orang yang fajir, dan dengan orang yang tidak mempunyai bagian (pahala).


Sebagaimana hal itu telah diberitakan oleh Nabi SAW, karena jika perang itu tidak bisa dilaksanakan kecuali bersama para pemimpin yang fajir atau bersama pasukan yang banyak dosanya, pasti akan ada dua kemungkinan,

Pertama, tidak berjihad bersama pemimpin yang fajir sehingga musuh akan menguasai sedangkan
kerusakan yang mereka timbulkan terhadap agama dan dunia itu lebih berbahaya.

Atau, yang kedua, tetap berperang, namun bersama pemimpin yang fajir, sehingga dengan itu tertolaklah dosa yang paling besar (antara kekafiran dan kemaksiatan­pent) dan dapat menegakkan banyak dari syari’at Islam, meskipun tidak bisa melaksanakan seluruhnya. Dan begitulah seharusnya yang ditempuh (berperang bersama pemimpin yang fajir) ketika dalam keadaan seperti ini (ketika jihad tidak bisa dilaksanakan kecuali bersama pemimpin yang fajir) , dan juga pada kedaan­keadaan yang semacam dengan ini. Bahkan kebanyakan peperangan yang terjadi setelah khulafa’ rosyidin beginilah prakteknya ­­­ sampai beliau mengatakan ­­­ maka barangsiapa memahami apa yang diperintahkan Nabi SAW, kepadanya yaitu jihad yang dilaksanakan oleh para pemimpin sampai hari qiyamat, dan yang beliau larang yaitu membantu orang dzalim untuk berbuat dzalim, niscaya dia memahami bahwa jalan yang paling utama yang merupakan ajaran Islam adalah berjihad melawan orang yang berhak untuk diperangi, seperti orang­orang kafir itu, bersama pemimpin dan kelompok yang lebih dekat kepada Islam dari pada orang­orang kafir itu, jika jihad itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan cara seperti ini. Dan menjauhi perbuatan yang membantu kemaksiatan kelompok fajir yang dia berjihad dengan mereka itu, bahkan mentaati mereka dalam hal­hal yang merupakan ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati mereka untuk bermaksiat kepada Alloh, karena tidak boleh taat kepada makhluq untuk bermaksiat kepada kholiq.

Inilah jalan orang­orang yang terbaik dari ummat ini, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf. Dan ini adalah jalan pertengahan antara jalannya haruriyyah (Khowaarij) dan orang­orang yang semacam mereka, yaitu orang yang menempuh jalan waro’ (kehati­hatian)yang rusak, yang timbul dari sedikitnya ilmu, dan antara jalannya Murji­ah dan orang­orang yang semacam mereka, yaitu orang­orang yang menempuh jalan ketaatan kepada pemimpin secara mutlaq, meskipun mereka itu bukanlah orang­orang yang baik”. (Majmuu’ Fataawaa XVIII / 505­508).

Saya katakan: masalah ini telah menjadi ketetapan sehingga permasalahan ini ditulis dalam masalah­masalah aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, sebagaimana yang telah saya nukil dari syarhul ‘Aqidah ath Thohawiyyah, yang disana disebutkan: ”Haji dan jihad itu senantiasa berjalan bersama pemimpin kaum muslimin, baik yang sholih maupun yang fajir sampai hari qiyamat. Dan keduanya tidak akan digugurkan oleh sesuatu apapun”. (Syarhul ‘Aqiidah Ath Thohaawiyyah, cet. Al Maktab Al Islaamiy 1403, hal. 437).

Dari pembahasan diatas anda dapat melihat bahwa jihad bersama orang fasiq, baik dia sebagai pemimpin atau anggota diperbolehkan berdasarkan ijma’. Dan kadang hal itu diwajibkan jika orang kafir itu tidak mungkin dilawan kecuali dengan berjihad bersama orang­orang fasiq, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah diatas.

Dan yang menjadi pokok permasalahan disini, adalah bahwasannya jihad itu diwajibkan kepada orang­orang yang beriman, sebagaimana firman Alloh:

“Hai orang­orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih?, Yaitu kamu beriman kepada Alloh dan RosulNya dan berjihad dijalan Alloh dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Alloh akan mengampuni dosa­dosamu dan memasukkan kamu kedalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai­sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di jannah” . (QS. Ash Shoff : 10­12)

Dan ayat­ayat yang lain. Ayat ini merupakan perintah kepada orang­orang beriman untuk berjihad, dan diantara orang­orang beriman itu ada yang mempunyai dosa­dosa.

“...niscaya Alloh mengampuni dosa­dosa kalian”

masih mempunyai mutlaqul iimaan (batas terendah keimanan) yang menjadikan dia terkena beban kewajiban syari’at, meskipun dia tidak memiliki al iimaan al mutlaq (iman yang sempurna). Dan diantara aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, bahwa ketaatan dan kemaksiatan itu dapat berkumpul pada seorang hamba, pemahaman ini disimpulkan dari kaidah umum yang menyatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan ­­­ pembahasan masalah ini telah berlalu ­­­ dan diantara contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhooriy dari ‘Umar ra,

“Pada zaman Nabi ada seseorang yang bernama Abdullah, yang mendapat julukan himar. Orang ini membikin tertawa Rosululloh SAW, dan Rosululloh SAW pernah mencambuknya lantaran minum khamr. Pada suatu hari ia didatangkan lalu dia diperintahkan untuk dicambuk. Lalu ada orang yang mengatakan:”Ya Alloh, laknatlah dia. Telah berkali­kali dicambuk”. Maka Rosululloh bersabda :”Janganlah kamu melaknatnya, demi Alloh kamu tidak mengetahui bahwa dia mencintai Alloh dan RosulNya”,

Sahabat ini meskipun dia bermaksiat dengan minum khamr namun dia masih memiliki ketaatan seperti mencintai Alloh dan RosulNya SAW, sedangkan kecintaan ini adalah termasuk cabang iman yang paling besar. Dan perhatikanlah kedudukan cinta ini dalam ayat mengenai penolakan delapan alasan dalam surat At Taubah:

“Katakanlah : jika bapak­bapak kalian...”

Kemudian sesungguhnya orang­orang yang bermaksiat itu mendapatkan manfaat tersendiri dalam jihad, yaitu untuk menghapuskan dosa­dosanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, setelah membacakan ayat dalam surat Ash Shoff diatas:”Dan barangsiapa yang banyak dosanya, maka obat yang paling manjur baginya adalah jihad. Karena sesungguhnya Alloh akan mengampuni dosa­dosanya. Sebagaimana yang Alloh beritahukan dalam firmanNya:

“...niscaya Alloh akan mengampuni dosa kalian”

Juga barangsiapa yang tidak bisa bertaubat dan membebaskan diri dari barang yang haram lantaran tidak mampu mengembalikan barang tersebut kepada yang berhak, maka hendaknya dia infaqkan barang tersebut dijalan Alloh, kerena hal itu merupakan jalan yang baik untuk membebaskan diri dari barang haram tersebut, selain itu dia mendapatkan pahala jihad”. (Majmuu’ Fataawaa , XXVIII / 421­422)

Dari penjelasan diatas dapat difahami bahwasannya kefasikan itu tidak menggugurkan kewajiban jihad. Orang fasik itu diperintahkan untuk berjihad persis sebagaimana orang shalih. Dan telah dinukil diatas perkataan Asy Syaukaaniy yang menyatakan bolehnya ­­­ dan tidak wajib ­­­ meminta bantuan kepada orang fasiq dan munafiq berdasarkan ijma’. Maka jika hal ini dapat diterima, yang dijadikan patokan hukum adalah untung dan rugi yang ditimbulkannya, mana yang lebih besar. Artinya jika manfaat keikut sertaannya dalam berjihad lebih besar dari pada kerusakannya, dia diperbolehkan ikut. Dan jika sebaliknya maka tidak boleh.

Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Qudaamah: ”Dan seorang pemimpin tidak boleh membawa seorang mukhodzil yaitu orang yang melemahkan semangat manusia dalam peperangan...dan juga tidak boleh membawa seorang murjif yaitu orang yang mengatakan; Telah hancur pasukan kaum muslimin dan tidak ada bantuan juga tidak ada kekuatan bagi mereka untuk menghadapi orang­orang kafir...dan juga tidak boleh membawa orang yang memata­matai kaum muslimin untuk orang­orang kafir...dan juga tidak boleh membawa orang yang menimbulkan permusuhan ditengah­tengah kaum muslimin dan menebar kerusakan.” (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir, X / 372 dan perkataan semacam ini juga terdapat dalam kitab Al Majmuu’ Syarhul Muhadz­dzab, XIX / 278­280).

Semuanya ini berdasarkan firman Alloh:

“Jika mereka berangkat bersama­sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka bergegas­gegas maju kemuka di celah­celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka” (QS. At Taubah : 47)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar