PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Rabu, 09 Januari 2013

I’daad dan ‘Adaalah (Bag.2-TAMAT-)

Dan firman Alloh;

“Maka jika Alloh mengembalikanmu pada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka meminta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah:”Kamu tidak boleh keluar bersama­samaku selama­lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggAlloh) bersama orang­orang yang tidak ikut berperang” (QS. At Taubah: 83)


Kesimpulannya adalah orang yang melemahkan semangat atau menebar kerusakan dalam barisan atau berkhianat dilarang untuk ikut berjihad. Karena orang semacam ini besar bahayanya meskipun ada manfaatnya.

Namun meskipun pemimpin itu boleh mengijinkan orang fasiq yang bermaksiat ­­­ yang manfaatnya lebih besar dari pada kerusakannya ­­­ untuk ikut berjihad, hal ini tidak berarti pemimpin itu boleh membiarkannya dalam kefasikan dan maksiat.

Akan tetapi ia harus beramar ma’ruf dengan cara memberi pengajaran dan nasehat, dan melakukan nahi munkar dengan cara memarahi dan menghukum. Inilah yang disebut sebagai pelaksanaan tarbiyyah iimaaniyyah ketika pelaksanaan jihad. Dan kita tidak mengatakan, kita undur jihad sampai selesai tarbiyyah iimaaniyyah. Karena tarbiyah semacam ini tidak ada habisnya kecuali dengan kematian. Sebagaimana firman Alloh;

“Dan beribadahlah kamu kepada Rabbmu sampai datang kepadamu “keyakinan” (QS. Al Hijr: 99)

Keyakinan artinya adalah kematian, sebagaimana disebutkan didalam tafsir. Dan kadang ajal itu datang sedangkan orang belum mendapatkan tarbiyah kecuali sedikit. Alloh berfirman:

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang­orang yang Kami pilih diantara hamba­hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Alloh” (QS. Al Fathir : 32)

Inilah tingkatan­tingkatan keimanan para pengikut Rosul dan para pewaris kitab. Dari pembahasan diatas dapat saya ringkaskan sebagai berikut:

1.I’dad imani (tarbiyah) adalah kewajiban dan merupakan penopang yang mendasar diantara penopang­penopang kemenangan. Dan telah berlalu uraian masalah ini, khususnya pada dampak kemaksiatan dalam menyebabkan kekalahan. Dan sesungguhnya kemaksiatan sebagian orang akan membahayakan semuanya jika mereka tidak mengingkarinya. Dan inilah keadaan yang paling ideal jika bisa direalisasikan.

2.Namun demikian kami katakan jihad itu tidak boleh diundur dengan alasan I’dad imani ­­­meskipun jihad kadang boleh diundur dengan alasan untuk persiapan secara materi / fisik ketika dalam keadaan lemah ­­­ khususnya ketika jihad hukumnya fardhu ‘ain dan lebih khusus lagi dalam jihad yang hukumnya fardhu ‘ain adalah ketika musuh menduduki wilayah kaum muslimin. Dan inilah kondisi kebanyakan negara kaum muslimin saat sekarang. Dalam kondisi seperti ini jihad hukumnya fardhu ‘ain dan mudloyyaqul waqti (tidak bisa diundur­undur).

Dan mengundur­undurkan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain seperti ini akan mengakibatkan bahaya dan kerusakan. Bencana apakah yang lebih besar dari pada berkuasanya orang­orang kafir dinegara­negara kaum muslimin dan memaksakan kepada kaum muslimin untuk mengikuti hukum­hukum kafir dan berusaha untuk merusak kaum muslimin dan merusak agama mereka dengan berbagai sarana makar. Maka barangsiapa berpendapat untuk mengundur jihad sampai selesai mentarbiyah orang yang ingin berjihad, orang yang berpendapat seperti ini tidak memahami bahwa sarana penghancur jumlahnya berlipat ganda dibandingkan sarana untuk membangun.

“Mereka tidak henti­hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup” (QS. Al Baqarah: 217)


Dan juga tidak memahami bahwasannya orang­orang kafir tidak akan menyisakan satupun sarana tarbiyah yang baik. Alloh berfirman:

“Dan sekiranya Alloh tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara­biara Nasrani, gereja­gereja, rumah­rumah ibadat orang Yahudi dan Masjid­masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Alloh. Sesungguhnya Alloh pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Alloh benar­benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al Hajj : 40)

Seandainya Alloh tidak menahan orang­orang kafir dengan para mujahidin pasti tidak akan tersisa satupun tempat yang layak untuk beribadah kepada Alloh. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim menggambarkan keadaan mujahidin dengan mengatakan: ”Mereka telah mengerahkan jiwa mereka untuk cinta mereka kepada Alloh, membela agamaNya, menegakkan kalimatNya, dan melawan musuh­musuhNya.

Dan mereka itu bersekutu dengan setiap orang yang membela Alloh dengan menggunakan pedang­pedang mereka dalam amalan­amalan yang mereka kerjakan meskipun mereka tidur didalam rumah mereka. Dan mereka mendapatkan pahala orang yang bisa beribadah lantaran jihad mereka dan kemenangan yang mereka raih, karena merekalah yang menjadi faktor penyebab.

Dan Alloh yang membuat syari’at, memberikan pahala dan dosa kepada orang yang menjadi faktor penyebab sebuah amalan sebagaimana orang yang mengamalkan amalan tersebut. Oleh karena itu orang yang mengajak kepada kebenaran dan orang yang mengajak kepada kesesatan masing­masing mendapatkan pahala dan dosa sebagaimana orang yang mengikutinya” (Thoriiqul Hijrotain, cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1403 H. hal.355)

3.Jika kekuatan fisik kaum muslimin telah mencapai batas kemampuan yang disebutkan dalam ayat: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka semampu kalian”

dan dia yakin akan dapat meraih kemenangan, maka dia wajib untuk memulai jihad. Dan jihad tidak diundur dengan alasan untuk menyempurnakan I’dad imani. Dengan demikian ketika tidak mampu melaksanakan jihad, maka dua bentuk I’dad itu baik secara materi maupun secara iman harus diusahakan, maka barangsiapa yang berusaha untuk melakukan I’dad imani namun dia meninggalkan I’dad maddi atau mengundurnya, maka dia berdosa karena meninggalkan kewajibannya tersebut dalam ayat:

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian mampu”

4.I’dad imani harus dilakukan sepanjang tahapan sejak sebelum dimulainya jihad dan ketika dilaksanakan jihad. Sebagaimana yang telah saya sebutkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu merupakan ciri yang senantiasa menyertai kaum muslimin baik sebelum berkuasa maupun setelah berkuasa. Dan sebaik­baik sarana tarbiyah adalah tarbiyah yang dilakukan ketika berlangsungnya jihad. Karena manusia dalam keadaan seperti ini, biasanya lebih dekat kepada Alloh. Sebagaimana Rosul senantiasa memberikan pengarahan kepada para sahabatnya ketika mereka sedang melaksanakan jihad. Dan tidak ada seorangpun yang mengatakan kita undur jihad sampai selesai tarbiyah. Diantaranya adalah sabda Nabi SAW,

“Ya Alloh aku berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh kholid” hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy

Dan juga sabda Beliau kepada ekspedisi yang dipimpin oleh Abdullah bin Hudzaifah:

“Jika mereka masuk kedalam api tersebut, mereka tidak akan keluar selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada perbuatan yang ma’ruf” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)

Dan sabda beliau kepada Usaamah bin Zaid:

“Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaaha illAlloh?” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih)

Dan juga sabda Beliau kepada Abu Dzar:

“Kamu adalah orang yang padamu terdapat jahiliyyah” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)

Dan juga sabda Beliau pada suatu peperangan:

“Sesungguhnya Alloh benar­benar menolong agama ini dengan orang yang fajir” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)

Begitu pula peristiwa haditsul ifki yang terjadi setelah suatu pertempuran. Rosululloh melaksanakan hukuman had penuduh berzina kepada orang yang menyebar luaskan fitnah itu. Diantara mereka ada orang yang pernah ikut perang Badar yaitu Misthoh bin Utsaatsah dan diantara mereka ada seorang juru sya’ir Nabi yaitu Hassan bin Tsabit (lihat Fat­hul Baariy, VIII / 378­379).

Oleh karena itu bisa jadi orang yang sempurna, mulia dan disaksikan masuk surga, namun dia melakukan dosa­dosa besar sebagaimana Misthoh bin Utsatsah dan Haathib bin Abi Balta’ah ra, Rosululloh SAW bersabda tentang Haathib:

“Bukankah dia ikut perang Badar? Apakah kamu tidak tahu, bisa jadi Alloh telah melihat kepada mereka kemudian mengatakan kepada mereka:”Berbuatlah semau kalian, Aku telah wajibkan kalian masuk surga” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy, no. 6936).

Ibnu Hajar berkata: ”Sesungguhnya seorang mukmin itu meskipun dia sampai derajat kesholihan dan dipastikan dia masuk surga, dia tidak dijamin untuk tidak terjerumus kepada perbuatan dosa, karena Haathib termasuk orang yang diwajibkan oleh Alloh untuk masuk surga namun dia melakukan perbuatan sebagaimana yang telah dia lakukan”. (Fat­hul Baariy, XII/ 310). Dan contoh dalam masalah ini banyak. Maka tarbiyah iman itu dilakukan ketika berperang, dan jihad tidak ditunda dengan alasan tarbiyah. Tarbiyah itu ­­­ sebagaimana yang lalu ­­­ tidak berhenti kecuali setelah mati. Dan Alloh SWT, membolak­balik hati sesuai dengan kehendakNya.


  1. Al ‘Adaalah bukanlah syarat wajibnya jihad. Orang fasiq boleh ikut berjihad jika manfaatnya untuk berjihad lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkan. Sebagaimana telah diperinci didepan. Dan orang yang menimbulkan kerusakan dan berkhianat dilarang untuk ikut berjihad.
  2. Sesungguhnya bukanlah merupakan aib bagi kaum muslimin adanya orang­orang yang bermaksiat didalam barisannya. Akan tetapi yang menjadi aib adalah membiarkan mereka berbuat maksiat dan tidak mengarahkan mereka untuk mentaati perintah dan larangan Alloh. Karena kesalahan dan kemaksiatan itu tidak akan pernah terpisah dari manusia. Rosululloh pun pernah melaksanakan hukuman had bagi pezina, pemfitnah zina, peminum khomer, pencuri, hiroobah (perampok) pada masa hidup beliau. Dan orang­orang munafiq dahulu ikut keluar berperang sebagaimana yang telah kami sebutkan diawal kitab. Namun demikian tidak seorangpun yang mengatakan kami tidak akan berjihad selama dalam barisan kami ada orang­orang yang bermaksiat dan munafiq. Padahal Rosululloh SAW bersabda:

“Tidaklah datang suatu haripun kepada kalian kecuali setelahnya pasti lebih jelek dari pada sebelumnya” (Hadits i ni diriwayatkan oleh Al Bukhooriy dari Anas)


Intinya adalah jika ada beberapa orang yang bermaksiat pada sebuah kelompok yang berjihad yang tegak melaksanakan perintah Alloh, sesungguhnya hal ini bukanlah alasan untuk tidak berjihad bersama mereka.

  1. Jika tidak terdapat kelompok seperti diatas (yaitu kelompok baik yang didalamnya terdapat beberapa orang yang bermaksiat) sehingga jihad tidak mungkin dilaksanakan kecuali bersama pemimpin yang fajir atau bersama pasukan yang banyak melakukan dosa, maka wajib berjihad bersama mereka ­­­ sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah ­­­ untuk menolak salah satu dari dua kerusakan yang lebih besar ­­­ yaitu kerusakan orang­orang kafir ­­­ dan inilah taqwa kepada Alloh sesuai dengan kemampuan yang disebutkan dalam ayat:

“Maka bertaqwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian” (QS. At Taghabun : 16)


kepada kaum muslimin secara umum kecuali orang yang dirahmati Alloh, sesungguhnya Alloh itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Alloh berfirman:
“Dan mereka tiada henti­hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia­sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni naar, mereka kekal didalamnya” (QS. Al Baqarah: 217)

Maka seorang muslim boleh berperang bersama pemimpin yang fajir atau pasukan yang banyak dosa, karena dalam hal ini ia membantu mereka untuk kebaikan dan taqwa dan tidak membantu untuk berbuat dosa dan permusuhan, ia mentaati mereka untuk ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati dalam perbuatan maksiat, dan ia berusaha keras untuk menasehati mereka, supaya Alloh memperbaiki mereka. Dan pada kesempatan yang lain Ibnu Taimiyyah berkata: ”Jika kewajiban seperti menuntut ilmu, jihad, dan yang lainnya tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan orang yang berbuat bid’ah yang bahayanya lebih kecil daripada bahaya meninggalkan kewajiban tersebut, maka harus diraih kemaslahatan dengan melaksanakan kewajiban tersebut meskipun harus dengan menanggung kerusakan yang lebih ringan, hal itu lebih baik dari pada sebaliknya. Oleh karena itu pembahasan dalam masalah ini haruslah diperinci.” (Majmuu’ Fataawaa, XXVIII / 212)

Asy Syatibi berkata: ”Dan begitu juga jihad bersama para pemimpin yang dzalim, para ‘ulama membolehkannya.” Maalik berkata: ”Jihad itu jika ditinggalkan pasti akan menimbulkan bahaya terhadap kaum muslimin. Jihad itu permasalahan darurat, dan keberadaan pemimpin dalamjihad itu juga darurat. Sedangkan Al ‘Adaalah itu adalah penyempurna sesuatu yang darurat itu. Dan sesuatu yang menjadi penyempurna itu jika ketidak adaannya mengakibatkan tidak adanya hal yang mendasar maka penyempurna itu tidak diperhitungkan lagi.” (Al Muwaafaqoot, II / 15)

Dan Muhamad Ibnu Hazm mempunyai perkataan keras terhadap orang yang melarang jihad melawan orang­orang kafir bersama pemimpin yang fajir. Beliau berkata: ”Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekafiran selain dosa orang yang melarang berjihad melawan orang­orang kafir dan memerintahkan untuk menyerahkan wanita­wanita kaum muslimin kepada orang­orang kafir tersebut dengan alasan kefasikan seorang muslim, padahal kefasikannya itu tidak akan ditanggung oleh orang lain” (Al Muhallaa, VII / 300)

Saya katakan : dan dalam bab Tiga telah saya jelaskan bahwa seorang amir fajir yang dipebolehkan berperang bersamanya ­­­ jika tidak ada yang lain ­­­ adalah orang yang kefajirannya hanya berdampak pada dirinya sendiri dan dibawah tingkat kekafiran.

Dari pembahasan diatas wahai saudaraku muslim, dapat kita fahami bahwa orang yang mengatakan ”kami tidak akan berjihad sebelum kami belajar ilmu syar’i dahulu, atau sebelum kami menyelesaikan tarbiyah imaniyah dahulu, atau mengharuskan setiap muslim untuk melakukan hal ini”, pendapat ini mengakibatkan musnahnya agama Islam. Dan sebagaimana yang saya katakan dalam bantahan saya terhadap syubhat Syaikh Al AlBani, bahwa menuntut ilmu dan tarbiyah itu adalah benar, dan kami mengajak manusia untuk melaksanakan keduanya, namun harus diperhatikan ketentuan­ketentuan berikut :

  1. Sesungguhnya belajar dan tarbiyah itu bukanlah syarat wajibnya jihad. Artinya, kita tidak boleh melarang berjihad orang yang belum mempelajari diinnya dan belum membersihkan jiwanya. Kecuali ilmu yang hukumnya fardlu ‘ain yang khusus masalah jihad, seperti ilmu tentang disyari’atkannya jihad dan memahami kelompok apa yang ia perjuangkan.
  2. Sesungguhnya jalan keluar dari kehinaan yang menimpa kehidupan kaum muslimin ini adalah jihad, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ dari Tsauban:
“Hampir tiba saatnya kalian dikeroyok oleh berbagai bangsa...” Dan Hadits marfuu’ dari Ibnu ‘Umar:
“Jika kalian saling berjual beli dengan cara ‘iinah...”

Kedua hadits ini telah disebutkan didepan. Dan kami berpendapat bahwa jihad ini merupakan kewajiban mayoritas kaum muslimin khususnya adalah jihad melawan pemerintah yang murtad. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa belajar dan tarbiyah itu adalah bagian dari I’dad untuk berjihad, untuk membentuk satu kelompok mujahid yang berilmu dan beragama, dan kami tidak menganggap belajar dan tarbiyah itu sebagai jalan penyelesaian masalah tanpa jihad, sebagaimana telah berlalu dalam bantahan terhadap syubhat Syaikh Al Albani.

(Diterjemahkan dari kitab Al Umdah fii I’daadil ‘Uddah lil Jihaadi fii Sabiilillah, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, hal.583­597)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar