PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Senin, 09 Juli 2012

Jama’ah Pencela dan Penerapan Hukum atas Mereka


Akhi Fathuddien Al-Indunisi  hafizhohullahu ta’ala

Dari Salamah bin Nufail Al Kindi ia berkata,’ Saya duduk di sisi Nabi, maka seorang laki-laki berkata,” Ya Rasulullah, manusia telah meninggalkan kuda perang dan menaruh senjata. Mereka mengatakan,” Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai.” Maka Rasulullah menghadapkan wajahnya dan besabda,” Mereka berdusta !!! Sekarang, sekarang, perang telah tiba. Akan senantiasa ada dari umatku, umat yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati sebagian manusia dan memberi rizki umat tersebut dari hamba-hambanya yang tersesat (ghanimah). Begitulah sampai tegaknya kiamat, dan sampai datangya janji Allah. Kebaikan senantiasa tertambat dalam ubun-ubun kuda perang sampai hari kiamat.”

لا يزال من أمتي أمة قائمة بأمر الله لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتي أمر الله  وهم على ذالك.
"Akan selalu ada dari umatku, sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah, tidak membahayakan bagi mereka orang-orang yang mencela dan menyelisihi mereka, hingga datang urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu". (HR. Al Bukhori 3641)

Semua ulama sepakat, bahwa akan selalu ada kelompok yang senantiasa berada dalam kebenaran, menegakkan perintah Allah, dan berperang di jalanNya sebagaimana yang disabdakan Nabi, kelompok tersebut disebut sebagai Thaifah Manshurah. Umat islam, dalam menghadapi berbagai macam fitnah oleh orang-orang kafir, baik kafir asli maupun kafir murtad, kaum muslimin terpecah menjadi tiga kelompok:

  1. Thaifah manshuroh (kelompok yang ditolong Allah)
  2. Thaifah mukhodzilah (kelompok pencela yang melemahkan semangat jihad)
  3. Thaifah mukholifah (kelompok pengkhianat yang bergabung kedalam barisan musuh)

Kemudian Ibnu Taimiyah berkata: Maka hendaklah setiap orang melihat, termasuk kelompok manakah dirinya ; Thaifah Manshurah,  Thaifah mukhadzilah ataukah  Thaifah mukhalifah, karena tidak ada kelompok keempat !!!?” (Majmu’ Fatawa, 26/416-417).

Hendaklah setiap diri kita bermuhasabah, mencoba jujur pada Allah, masuk kedalam kelompok manakah kita ini? Tentu kita berharap bahkan mungkin dengan tegas mengatakan, bahwa kita termasuk kelompok thaifah manshuroh, sebab kelompok inilah satu-satunya kelompok yang diberkahi dan dijamin keselamatannya oleh Allah di dunia maupun di akhirat.

Namun inilah problemnya, karena ini satu-satunya kelompok yang diridhai Allah azza wa jalla, maka begitu banyak orang-orang yang mengaku-aku sebagai golongan thaifah manshuroh ini.

Ikhwan fiddin arsyadakumullah...

Sebagai manusia yang imannya masih sehat wal afiat, tidak ada diantara kita yang mau bergabung dengan kelompok pencela apalagi kelompok pengkhianat, dan kita juga tidak mau disebut sebagai pencela atau pengkhianat.

Namun terkadang klaim berbeda dengan fakta sebenarnya, terkadang barang yang ditawarkan tidak sesuai dengan kondisi aslinya. Ada ikhwan yang mengaku sebagai thaifah manshuroh, tapi ternyata mulutnya lebih berbisa dan menyengat daripada ular kobra, kesana kemari mencela ikhwan-ikhwan lainnya, membuka aibnya, mewanti-wantinya, melemahkan semangatnya dan melabelinya dengan gelar-gelar pemecah belah, seperti isti'jal, salah langkah, maunya jihad saja,  terburu-buru, dsb. Sedangkan kita tahu, bahwa ciri-ciri kelompok thaifah manshurah  yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW, bahwa kegiatan kelompok ini adalah selalu berperang, berjihad hingga keputusan Allah datang, bukan mencela dan melemahkan jihad!

Risalah kecil ini hadir, sebagai nasehat dan peringatan kepada ikhwan-ikhwanku yang masih bingung dalam membedakan mana thaifah manshuroh dan thaifah mukhodzilah, mana produk KW1 dan mana KW2, mana kambing dan mana singa, mana ikan segar dan mana ikan busuk. Karena semakin banyak pencela bermunculan sekalipun peringatan telah banyak disampaikan. Hampir setiap hari, terdengar kalimat-kalimat baru yang mencela thaifah manshuroh... Ada apa gerangan?

Dan jika ikhwan-ikhwan kita sadar setelah hujjah ditegakkan atas mereka, namun mereka tetap berada di dalam kelompok thaifah mukhodzilah tersebut. Maka kita harus menghukum mereka sebagai rangka menegakkan kalimat Allah.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ

Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. (Hud: 88)

Jika mereka bisa menghukum para ikhwah yang beda ijtihad dengan mereka, bisa menetralisir (baca: mengucilkan) bahkan  memecat anggota yang dianggap tidak loyal pada jama'ah karena “beda fikroh”, maka mengapa kita terus saja diam mengalah dan tidak menghukum mereka?

Para Thaifah Mukhodzilah

Ikhwan fiddin arsyadakumullah...

Siapa sih, thaifah mukhodzilah itu? Thaifah mukhodzilah adalah kelompok yang kerjanya melemahkan semangat kaum mukminin dari berjihad dan ber'idad dalam rangka melakukan perlawanan melawan kaum kafir, termasuk peperangan salib modern yang terjadi saat ini. Mereka mencela, melemahkan semangat, berusaha untuk menghalang-halangi para ikhwah sekalian untuk berjihad, baik dengan ucapan, maupun yang lainnya. Mereka memelintir ayat-ayat Allah, mereka melontarkan syubhat-syubhat yang membuat samar, bahkan terkadang terang-terangan menyalahkan apa yang telah kita lakukan padahal hal tersebut jelas disyariatkan oleh Allah. Jangan terkecoh, mereka bisa berprofesi sebagai orang awam, ikhwan, ustadz, murobbi, ustadz-ustadz besar atau kecil, tokoh, ulama, anak, istri dll.

Bisa jadi mereka dulu pernah berjihad di Afghan, Philipina, Libya, Kosovo, Poso, atau Ambon. Tapi itu dulu, ya... dulu sekali... 10 atau 20 tahun yang lampau... dan sekarang, menjadi pencela  illa man rahimahullah.

Bisa jadi mereka tamatan pesantren, mahad aly, Madinah, Mesir, bisa jadi mereka juga memiliki gelar yang mentereng LC, MA atau yang lainnya.

Syeikh Abu Abdillah Usamah bin Ladin berkata:

“Meski umat Islam hari ini terpuruk karena tidak melaksanakan kewajibannya, yakni berkonfrontasi melawan para agen salibis dan melepaskan diri dari ancaman mereka, namun masih banyak anak-anak Islam yang masih jujur. Tatkala mereka telah memahami bahwa para penguasa telah mengekor kepada Amerika, mereka membenci dan meninggalkan para penguasa tersebut, lalu bergabung dengan Jamaah-Jamaah Islamiyah yang menyerukan pelaksanaan hukum Islam, menegakkan kembali Khilafah serta merebut kembali Palestina.

Namun sebenarnya para Qiyadah Jamaah tersebut melihat bahwa amanah ini sangatlah berat. Selain itu para penguasa tidak akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperjuangkan kebaikan yang mereka inginkan. Lalu para penguasa itu akan membuat tekanan hebat kepada mereka dan memberikan pilihan antara meninggalkan jalan perjuangan yang syar’i yang akan menghantarkan mereka kepada penegakan Daulah Islam, yakni jihad fi sabilillah, atau pilihan yang kedua adalah penyiksaan dan pembunuhan. Lalu para Qiyadah Jamaah-Jamaah Islamiyah tersebut lebih memilih pilihan pertama dan meninggalkan jihad fi sabilillah, lalu mereka melabeli serangan yang dilancarkan mujahidin terhadap para thoghut sebagai tindakan kekerasan, mereka cela tindakan tersebut dan mereka cela pula mujahidin. La haula walaaquwwata illa billah. “

Supaya tidak berbelit-belit, mari kita bersama-sama menyimak contoh ucapan-ucapan dan tindakan para pencela, agar kita bisa membedakan dengan sejelas-jelasnya antara yang haq dan yang sesat. Contoh ana berikan dari anggota sebuah jama’ah jihad yang besar kepemimpinannya dimata umat. Sebab sebenarnya merekalah orang-orang berilmu dan detonator ummat, akan tetapi justru banyak yang menjadi pencela illa man rahimahullah.

وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh), dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An'am: 55)

Contoh 1:

Seorang ikhwan menasehati ikhwannya: “Jangan dekat-dekat dengan ustadz itu nanti kamu bisa dipenjara”.

Maknanya, Jauhilah ustadz itu supaya kamu tidak diminta untuk i'dad dan jihad. Jika kamu ber'idad apalagi jihad kamu akan ditangkap dan dipenjara. Ditahdhir karena urusan i'dad wal jihad.

Atau ada istri ikhwan menasehati istri ikhwan lainnya: “Umi enak, karena keluarga umi banyak, kalau suami umi ditangkap, maka banyak keluarga umi yang akan menampung, sedangkan keluarga saya sedikit”.

La haula walaquwwata illa billah, hasbunallah wa ni'mal wakil....

Apabila istri kita saja ditarbiyah dengan tarbiyah mukhodzilah seperti ini, bagaimana dengan generasinya? Bagaimana nasib Islam kedepan jika tarbiyah metode semacam ini terus dibudidayakan? Inikah hasil pentarbiyahan sebuah jama'ah jihad selama lebih dari 10 tahun! Atau jangan-jangan tarbiyah dari jama'ah jihadnyalah yang error? Ini pasti ada yang salah, ada bug dan jangan nyatakan ini kesalahan teknis, apalagi dengan mengatakan bahwa ikhwan dan ummahat itu sebagai produk gagal.

Kepada ummahat ini dan lainnya, simaklah nasehat Abu Mus'ab Az-Zarqawy rahimahullah kepada para ummahat muslimah di seluruh penjuru dunia: Mengapa kalian tidak memotivasi suami-suami dan anak-anak kalian untuk berjihad melawan kaum salibis, berperang melawan kaum murtadin, dengan mengorbankan nyawa dan darah demi agama ini?

Contoh 2:

Alkisah, seorang anggota jama'ah jihad memberikan laporan kepada qoidnya; perihal ada ikhwan yang berkeinginan membeli senjata sebagai pelaksanaan perintah Allah untuk i'dad. Tiba-tiba qoid tersebut langsung berkata: “Saya baro' dari perbuatannya.. saya baro' dari perbuatannya...”, lalu ngeloyor pergi.

Coba renungkan, qoid sebuah jama'ah jihad yang telah berpengalaman sekitar 10 tahun menggunakan kata BARO' yang artinya: berlepas diri, memusuhi, membenci, tidak bertanggung jawab, lepas, lari, menjauh, menyingkir dari amal seorang ikhwan yang ingin membeli senjata dalam rangka 'idad fisabilillah!  Ini adalah perkataan yang merusak dengan memelintir  istilah yang syar'i! Bukankah Baro' itu hanya terhadap perbuatan orang-orang kafir? Sedangkan ikhwan ini berusaha untuk mengamalkan perintah Allah!

Sejatinya ikhwan tersebut baru berkeinginan, baru berniat membeli senjata, lalu bagaimana jika ikhwan tersebut telah memiliki dan kemudian menyimpannya di dalam rumahnya sendiri? Atau mempergunakannya untuk berjihad di jalan Allah? Mungkin qoid jama'ah jihad itu akan berkata; “Wallahi saya sebagai qoid jama'ah jihad sangat baro' atas tindakannya membeli senjata untuk jihad!”.

Bergeraklah wahai tiang-tiang masjid,
retaklah wahai bebatuan,
dan terbakarlah wahai hati,
sungguh hati ini sakit dan terbakar,
para lelaki telah menanggalkan kejantanan mereka.” (Ibnul Jauzi rahimahullah)

Dari sini muncul sebuah pertanyaan besar, jama'ah jihad seperti apa yang dia pimpin? Fakta tidak boleh dikalahkan oleh dzon (prasangka)

Contoh 3:

Seorang ikhwan bertanya dengan seorang qoid perihal amaliyah penembakan pendeta misionaris yang dilaksanakan oleh ikhwan lainnya, qoid tersebut menjawab kurang lebih: “Jihadnya syar'i , tapi maksiat pada jama'ah”.

Pemahamannya, ada amalan yang secara syariat dibenarkan, namun secara jama'i disalahkan karena tidak sesuai dengan marhalah-marhalah yang ditetapkan oleh organisasi/jama'ah, dan ada amalan yang secara jama'i benar namun secara syar'i salah! Wal hasil jama'ah memiliki syariat yang setara dengan syariat Allah? Wal iyyadzubillah, bukankah ini kekafiran yang nyata?

Menyetarakan syariat jama'ah (baca: pedoman perjuangan jama'ah) dengan syariat Allah adalah kekafiran yang nyata, apalagi dari ungkapan diatas dipahami secara gamblang; lebih mengutamakan syariat jama'ah dari pada syariat Allah. Keterlaluan!

Lebih baik tidak jihad dari pada maksiat kepada jama'ah...
Lebih baik tidak i'dad dari pada maksiat kepada jama'ah...
Lebih baik tidak mentahrid dari pada maksiat kepada jama'ah...
Lebih baik tidak sholat dari pada maksiat kepada jama'ah...
Lebih baik tidak pakai jilbab dari pada maksiat kepada jama'ah...

Qoid Jama'ah jihad yang aneh binti ajaib... Merasa benar diatas kedurhakaan terhadap syariat.

Perkataan seperti ini banyak, diantaranya adalah:

Ada ikhwan yang berkata: “Bom Bali itu maksiat kepada jama'ah”.

Atau, “Bom Bali tidak bisa disebut sebagai jihad karena jihadnya tidak ijin amir jama'ah”.

Atau seorang ustadz senior yang heran bertanya kepada ana mengenai karamah-karamah agung yang dianugrahkan kepada trio syuhada, kurang lebih; “Bukankah mereka maksiat kepada jama'ah, lalu mengapa mereka mendapatkan karamah seperti itu?”

Atau kisah seorang ikhwan yang ditegur oleh qoidnya karena dia menolong mengevakuasi ummahat-ummahat mujahidin beberapa menit sebelum serbuan 22 januari di Poso, “Antum maksiat”!

Atau perkataan seorang petinggi jama'ah jihad kurang lebih “Semoga Allah mengampuni dosa-dosa ikhwan-ikhwan yang syahid pada peristiwa 22 januari karena mereka maksiat kepada jama'ah”.

Atau berita dari seorang ikhwan yang menyampaikan secara shahih ada seorang ustadz besar yang menyatakan, Jabir rahimahullah (pelaku Bom Kuningan) tidak bisa disebut syahid!!!? Tentunya karena Jabir dituduh maksiat kepada jama'ah.

Atau perkataan, “Ikhwan-ikhwan Aceh bukan ikhwan kita”, maksudnya mereka tidak taat kepada jama'ah, jadi tidak perlulah kita bersedih hati atas penangkapan dan pembunuhan atas diri mereka. Atau perkataan seorang ustadz besar “Mereka (ikhwan Aceh) adalah sampah-sampah jama'ah”. Semoga Allah merahmati orang-orang jujur.

Ikhwan, jika kita kumpulkan data-data perkataan busuk seperti ini dari Negeri Sembilan sampai Meurauke, akan menghabiskan berlembar-lembar kertas. Wajar apabila ust. Abdul Barr Al-Harby mengatakan: Tanzhim dan pedoman perjuangan, bak berhala baru yang disembah! Tanzhim dan pedoman perjuangan menjadi andad (tandingan) syariat di sisi syariat Allah yang Maha Tinggi, sadar atau tidak sadar, ngaku atau malu-malu, kenyataannya seperti itu.

Kita sampaikan kepada orang-orang bertipe seperti ini dengan perkataan Syeikh Usamah hafizhahullah:

“Barangsiapa belum yakin dengan jalan perang, hendaknya mempersilahkan orang lain dan jangan mengecoh orang yang telah meyakininya.”

Contoh 4:

Ada ustadz muroby yang berbicara dengan nada lirih (menyampaikan informasi rahasia) kepada binaannya, kurang lebih “Ustadz itu sudah keluar jama'ah, tolong antum sampaikan kepada ikhwan-ikhwan lainnya tapi jangan sampai ikhwan-ikhwan yang baru (taklim) tahu”. Atau bahasa lainnya, “Ustadz itu sudah punya kapal lain”, atau, “Ustadz itu nahkodanya sudah lain”.

Maksudnya apa coba...? Main kapal-kapalan? Bukan, maksudnya yaitu; hati-hati dengan ustadz itu, jangan dekat-dekat dengan ustadz itu, hati-hati kalau ustadz itu menemui antum, jangan undang dia untuk mengisi taklim, tidak usah kerumahnya, hati-hati kalau bantu dia, kalau dia minta tolong dibelikan tiket jangan layani... Kenapa? Karena nanti antum akan di tahrid untuk beri'dad dan berjihad, karena nanti antum akan diprovokatori untuk ber'idad dan berjihad, dan akhirnya antum bermaksiat kepada jama'ah, akhirnya antum isti'jal (tergesa-gesa), akhirnya antum dipenjara dan tidak ada yang mau menolong antum, akhirnya keluarga antum akan tercerai berai dan antum menyusahkan ikhwan-ikhwan, akhirnya antum syahid dan jenazah antum ditolak masyarakat, antum memadhorotkan jama'ah serta program dakwah wa tarbiyah!!!

Thaifah manshuroh kok kerjaannya mencela dan melarang berjihad!?

Perkataan sejenis seperti ini banyak beredar dipasaran, bukan hanya dimedia massa, namun juga di mesjid-mesjid, bahkan sampai ke halaqoh-halaqoh!

Lucunya, para binaan tersebut ternyata belum masuk ke jama'ah ustadz muroby. Namanya juga baru binaan, yang berarti sebenarnya mereka tidak pantas untuk mendapatkan informasi internal jama'ah. Tapi realitasnya, diobral bak pakaian bekas kepada mereka-mereka yang belum masuk jama'ah. Para binaan itupun dengan bangga dan pedenya ngaku-ngaku sudah masuk kedalam jama'ah tersebut, bahkan merasa lebih paham tentang manhaj jama'ah daripada ustadz yang dituduh keluar jama'ah, merasa kasihan dengan ustadz yang keluar dari jama'ah, merasa lebih pengalaman harakah dan perjuangan daripada ustadz yang keluar dari jama'ah. Tragis!!!

Untuk dapat masuk kedalam jama’ah tersebut ada beberapa prosedur ketat, harus melewati fase ini dan itu karena alasan keamanan dan terutama “pembinaan” ketaatan. Pada puncaknya mubaya’ah antara calon anggota jama’ah dengan amir baik secara langsung maupun tidak langsung. Supaya antum lebih sadar dari igauan, lafal/sighoh baiat kepada amir jama'ah ust muroby tersebut sebagai berikut:

Sighoh yang dibacakan oleh amir (sembari bersalaman):

عليك عهد الله و ميثاقه أن توالي من والي الله و رسوله و تعادي من عاد الله و رسوله و تعاون علي البر و التقوي و ﻻ تعاون علي إﻻثم و العدوانو ان كان الحق معي نصرت الحق و ان كنت علي الباطل لم تنصر الباطل

Aku berjanji setia kepadamu atas nama Allah dan mitsaq-Nya yaitu bahwa antum bertawali' kepada siapa saja yang bertawali' kepada Allah dan rosul-Nya dan memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah dan rasul-Nya, bahwa antum saling tolong menolong diatas kebajikan dan ketaqwaan dan tidak saling tolong menolong diatas dosa dan permusuhan. Maka apabila kebenaran beserta saya wajiblah antum menolong kebenaran itu dan jika saya berada diatas kebatilan maka wajiblah atas antum tidak menolong kebatilan itu.


Setelah itu calon anggota jama'ah berkata:

قبلت هذه المبايعة مااستطعت

Saya bersedia memenuhi mubaya'ah ini menurut kemampuan saya.

Insya Allah bagi yang sudah masuk kedalam jama'ah tersebut tentu hafal sighoh ini, jika lupa semoga tulisan ini dapat sebagai pengingat ahlu jama'ah atas janjinya tolong menolong di atas al-haq bukan tolong menolong di atas “jama'ah” apalagi tolong menolong diatas kemungkaran atas nama “jama'ah”.

Apabila antum belum pernah berbaiat seperti tersebut, maknanya antum belum dapat disebut sebagai ahlu jama’ah, masih orang luar. Jadi tidak masuk akal jika seseorang yang belum masuk kedalam jama’ah tersebut menuduh orang lain keluar dari jama’ah?

Biasanya pasca mubaya'ah, akan diberikan beberapa materi khusus yang sebenarnya telah ketinggalan zaman. Materi itu sangat jarang sekali diberikan dan hanya diberikan kepada orang-orang yang terpilih dan yang duduk di jabatan-jabatan tertentu. Sehingga sering kita mendengar ada ikhwan berkata kepada ikhwan yang dianggap maksiat kepada jama'ah, “mereka tidak paham manhaj jama'ah”, padahal dirinya sendiripun tidak paham apa itu manhaj jama'ah. Lalu siapa sih yang paling layak disebut paham manhaj jama'ah?

Jadi sadarlah para binaan, kalau antum belum masuk kedalam jama'ah tersebut dan qoid yang ngaku-ngaku sebagai qoid antum, hakekatnya ia bukanlah komandan antum, karena antum belum ada akad apapun dengan jama'ah tersebut. Seandainya antum telah berbai'at dan telah menerima materi-materi khusus atau antum telah menerima konsep Total Amniyah yang belum teruji itu, lalu lisan antum hoby mencacat dan mencela-cela, maka antum bukan golongan thaifah manshuroh!

Seandainya antum tidak tahu tentang apapun dari pedoman perjuangan jama'ah tersebut dan tidak pernah taklim dengan jama'ah tersebut, namun antum selalu mendoakan mujahidin bahkan berjihad dengan harta dan nyawa antum serta menjaga lisan antum dari mencela para mujahidin, maka antum termasuk thaifah manshuroh insya Allah, bahkan lebih baik.

Ada lagi ummahat binaan berkata kepada ummahat binaan lainnya kurang lebih, “Di sini ada jama’ah baru yang kerjanya merekrut ikhwan-ikhwan kita”. Baru binaan, sekali lagi beliau baru binaan, sudah klaim sebagai ahlu jama’ah dan mengghibah. Seandainya balik ditanya, “Kalau anti jama’ah apa umi?”, “Apa nama jama’ah anti umi?, “Siapa amir anti umi?”, “kapan anti resmi masuk kedalam jama’ah tersebut?”, dia tidak akan mampu menjawab.

Kezaliman kerabat lebih menyakitkan
bagi seseorang, daripada tebasan pedang

Contoh 5:

Ada ustadz berkata, “Jika ada ikhwan yang mau berjihad, kita akan keluarkan dulu dari jama'ah”.

Perkataan tersebut bertujuan untuk mewanti-wanti para ikhwan agar tidak berjihad, kalau dia nekat berjihad, akan dipecat dari jama'ah dan jama'ah tidak ada urusan dengan keluarganya yang ditinggal. MasyAllah, tidak malukah menyebut jama'ahnya sebagai jama'ah jihad, sedangkan jama'ah nya menjauh dari jihad?

Atau pernyataan ustadz lainnya kurang dari 6 jam pasca amaliyah istisyhadiah di Polres Cirebon yang menggetarkan, kurang lebih, “Kalau amaliyahnya sendirian itu bagus, yang penting jangan menyebut nama organisasi”. Perkataan ini termasuk pencelaan, karena maksudnya, jika antum anggota jama’ah kami dan hendak beramaliyah namun tidak mampu untuk menjaga rahasia nama jama’ah, maka tidak usahlah beramaliyah. Lalu, untuk apa sebuah jama’ah jihad dipertahankan andai bukan untuk mempermudah dan memperlancar program amaliyah? Lebih baik rujuk mengganti sifatnya sebagai jama’ah tarbiyah wa taklim dari pada tetap mendoktrin diri menyebut sebagai jama’ah jihad.

Wahai purnama Cirebon dan kabut yang menyapunya

bidadari sungguh telah berdiri didepan sana
ia terbang dengan dengan satu suami pilihannya
dan aku hanya merunduk malu pada hurin`inku
mengapa rinduku tercampur dusta

Ya Allah tunjukilah al-haq itu adalah al-haq dan berilah kami rizki untuk mengikutinya dan tunjukilah kebatilan itu adalah batil dan berilah kami rizki untuk menjauhinya.

Contoh 6:

Ada ustadz ketika memberikan ceramah berkata kurang lebih, “Sekarang bukan zamannya jihad dengan pedang, itu kuno tidak canggih”, lalu ada ikhwan yang bertanya , “Jihad yang canggih bagaimana ustadz”, ustadznya menjawab, “Perang intelejen, menguasai musuh tanpa pertempuran”. Setelah itu ia menawarkan manhaj perjuangan aneh, yaitu menegakkan syariat Islam tanpa berdarah-darah, tanpa ada yang mati, tanpa susah payah, tanpa i'dad-i'dad yang bikin capek, sekali pukul musuh hancur. Yang mana itu semua adalah hal yang tidak mungkin...

Kemenangan tidak akan akan datang begitu saja, wahai kaumku…
Kecuali dengan generasi yang banyak berkorban lagi pemberani
Bergeraklah kalian dan sambutlah seruan ini, tidak ada kata senang  dalam suasana sengsara

Mungkin karena manhaj aneh inilah kita sering mendengar fatwa-fatwa seperti: Boleh menjadi PNS dalam rangka menyusup, boleh menjadi tim suksesi capres biar dakwah kita tidak dicurigai...(?) Apakah jama'ah ini sedang melakukan penyusupan, atau telah disusupi? Sesat lagi menyesatkan atas nama taat kepada pimpinan, taat kepada jama'ah sembari mengutip ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (An-Nisa: 59)

Qoid tersebut dan yang semisalnya adalah seperti yang diutarakan oleh amirul jihad Syeikh Usamah hafizhahullah:

“Sebagian orang berpandangan bahwa ia tak mungkin lagi dapat melanjutkan dakwah dan mengajar, mengamankan pondoknya atau yayasannya atau jamaahnya, juga mengamankan dirinya, kedudukannya dan hartanya, jika ia tidak mau memuji atau berkompromi dengan thaghut. Maka ia pun membuat takwilan-takwilan sesat sehingga ia menjadi sesat dengan kesesatan yang nyata dan menyesatkan banyak orang.”

Beliau hafizhahullah juga berkata pada tempat lain:

“Dan sebagian jamaah-jamaah Islamiyah memperbolehkan mudahanah (kompromi) dengan pemerintah dan duduk tidak berjihad dengan alasan kemaslahatan dakwah, sampai-sampai alasan ini menjadi berhala yang disembah selain dari Alloh. Dan dengan alasan ini pula perintah para pemimpin jamaah menggeser perintah Alloh ta'ala dan perintah Rosul-Nya shallallhu ‘alaihi wasallam. Dan ini adalah kesesatan yang nyata.”

Boleh menjadi anggota parlemen asal demi ketaatan pada jama'ah.
Boleh menjadi PNS asal demi ketaatan pada jama'ah.
Boleh dekat-dekat dengan thaghut asal demi ketaatan pada jama'ah.
Boleh mengibarkan bendera merah putih asal demi ketaatan pada jama'ah.
Boleh mengemis dana kepada thaghut asal demi ketaatan pada jama'ah.
Boleh menghadiri acara Diknas sekalipun ikhtilat asal demi ketaatan pada jama'ah.

Inikah manhaj sebuah jama'ah jihad?

Celaan-celaan itu datang dengan bertubi-tubi dan tak habis-habisnya. Dan menyebarkan issu yang menyesatkan ummat dengan menyebar fitnah murahan. Para mujahidin diposisikan seakan-akan sebagai musuh, dan memposisikan orang-orang yang bermudahanah (lembut) dengan thoghut sebagai pahlawan. Wal ‘iyadzu billah. (Urwah rahimahullah)


Contoh 7:

Seorang da'i lulusan pesantren yang berdakwah di wilayah mayoritas kristen berkata, “Ustadz, kami pernah dikumpulkan oleh seorang ustadz kemudian menyampaikan, bahwa kita akan berjihad jika anggota jama'ah telah mencapai 12 ribu orang, semuanya reguler (lulusan tadrib askary) dan sudah berbai'at kepada amir”.

Ana jawab, “Ya silahkan tunggu sampai 12 ribu orang, dan antum akan dicincang terlebih dahulu oleh orang-orang kristen”.

Ustadz itu minimal melakukan tiga dosa besar (al-kabair):

  • Dosa tidak berjihad.
  • Dosa menghalangi ikhwah untuk berjihad
  • Dosa menetapkan syarat jihad yang bathil yaitu, menunggu pasukan berjumlah 12 ribu.

Tidak ada syaratnya berjihad menunggu sampai 12 ribu orang. Ini syubhat! Ungkapan lainnya yang mirip seperti ini, “Kita tidak menghentikan jihad, kita juga tidak meremehkan jihad, tapi kita mengerem jihad untuk menyusun kekuatan, kita konsentrasi pada dakwah dan tarbiyah dahulu sebab hari ini kita lemah”. Atau, “Kita berjihad jika telah memiliki mahjar (tempat hijrah)”.

Bila jama'ah jihad tersebut konsisten dengan apa yang dikatakannya, tentulah mereka tidak akan melemahkan semangat dan menahan-nahan pemuda-pemuda yang hendak beramal. Mereka akan tetap baro' total kepada thaghut laknatullah alaihim, memberikan fasilitas kepada mujahidin, menolong mujahidin, menegakkan tauhid dan sunnah serta mendakwahkannya secara benar kepada masyarakat. Itu kalau mereka jujur, bukan jama'ah oportunis.

Bukankah dikatakan didalam juklak pedoman perjuangan jama’ah asatidz tersebut;

Jihad akan berlangsung terus sampai hari kiamat, bukan karena pertimbangan perimbangan kekuatan. Perimbangan kekuatan hanya menjadi dasar penyusunan taktik, bukan berjihad atau tidak berjihad. Ketika kekuatan kaum muslimin lemah, maka titik tekan JIHAD pada I’dad dulu atau amaliyah – amaliyah jihadiyah secara gerilya yang menghindari perang frontal. Jadi faktor kekuatan hanya memberi arah pada bentuk taktik mana yang dipakai, bukan menjadi meninggalkan jihad karena belum punya kekuatan.

Sayang seribu sayang, panduan tersebut hanya lipstik tipuan belaka. Fakta tidak boleh dikalahkan oleh prasangka, pelaksanaan tidak sesuai dengan konsep.

Ucapan (khutbah) di podium saja tidaklah cukup, permasalahan tidak hanya sebatas merekam ceramah ataupun mencetak buku, semuanya hanyalah omong kosong jika tanpa amal nyata, omong kosong karena tidak melakukan langkah-langkah perubahan untuk umat. Hal ini (sebatas merekam ceramah atau mencetak buku) tidak efektif didalam kondisi seperti sekarang ini. (Syeikh Anwar Al-Awlaqi)

Ada lagi perkataan dengan nada lebih santun, “Kalau antum sudah mampu, silahkan berangkat. Saya belum mampu”.

Padahal hakekatnya perkataan ini adalah untuk melemahkan semangat, dulu orang ini berkata kepada ikhwannya, “Antum terburu-buru”, lalu sekarang mempersilahkan setelah kalah hujah, tapi sebenarnya dia sedang melemahkan semangat agar kita turut tidak berjihad seperti dirinya! Bertaubat akhi...


رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ

Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan hati mereka telah dikunci mati maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). (At-Taubah: 87)

Syeikh Muhammad bin Salim berkata kepada orang setipe ini:

Orang seperti ini serupa dengan orang-orang munafik yang membenci jihad, tidak mau keluar berjihad kecuali terpaksa, serta kalaupun keluar untuk berjihad, mereka melemahkan semangat pasukan dan kabur ketika bertemu musuh. Demi Allah, sangat jauh berbeda antara orang yang menangis dan bersedih karena tertinggal jihad dengan orang yang menyembunyikan rasa senang di dalam hatinya karena mendapatkan udzur atau sebab untuk meninggalkan jihad.

Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah ketika menjelang wafat beliau memandangi kedua kakinya sembari menangis, lalu orang-orang bertanya: “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Abdillah?” “Kedua kakiku ini…” kata beliau, “…belum pernah berdebu di jalan Alloh.” Padahal beliau berbicara hal tersebut tatkala jihad pada zaman itu hukumnya masih fardhu kifayah....bukan fardhu 'ain seperti saat ini!

Tatkala disebutkan perang dan syahadah
berkobarlah kerinduanku kepada jannah
Tatkala singa Allah meraung di medan perang
menyalalah kerinduanku kepada jihad dengan terang
Aduh diriku yang berjihadpun tak lagi mampu
Betapa pilu kini karena menyesali masa yang telah lalu

Syeikh Ali Hudhair – semoga Allah menyegerakan pembebasannya -, seorang ulama mujahidin karismatik berkata:

Sekelompok orang durhaka berteriak dengan pemahaman aneh dan istilah meragukan yang bernama 'pengerdilan jihad'. Mereka mengomentari dan meremehkan jihad, atau menunda-nundanya, dan terakhir menghapusnya. Mereka melakukan itu secara samar-samar dari belakang untuk membuat kedustaan agar tampak berkilau dan membuat judul-judul yang memikat. Misalnya, ummat tidak cukup memiliki dokter bedah, ummat tidak siap berjihad, kekuatan yang ada tidak seimbang, ummat belum tertarbiyah, atau orang yang pergi berjihad pasti meninggalkan anak-anak yatim dan janda.

Ibnu Asakir meriwayatkan hadits dari Zaid bin Aslam dari bapaknya bahwa Rasulullah saw bersabda,”Jihad akan senantiasa terasa manis dan indah selama hujan masih turun dari langit. Akan datang kepada umat manusia suatu zaman yang mana pada saat itu orang-orang yang mengerti Al-Qur'an dari kalangan mereka mengatakan: 'Zaman ini buka zaman jihad.' Barangsiapa menjumpai zaman tersebut, maka saat itulah sebaik-baik zaman jihad.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, adakah seseorang yang mengatakan hal itu?” Beliau menjawab, “Iya! Yaitu, orang yang dilaknat oleh Allah, para malaikat dan seluruh umat manusia.”

Contoh 8:

Ada ustadz yang berkata kurang lebih, “Mana yang lebih banyak pahalanya, jihad atau iqomatudin?”, ada juga yang menyatakan, “Jihad bukan tujuan, tapi tujuan kita adalah iqomatudin”, atau pernyataan, “Syahid bukan tujuan, kalau semuanya syahid siapa yang akan melanjutkan perjuangan”, atau pernyataan, “Jangan berpikir perjuangan hanya dilakukan oleh kita saja, oleh satu generasi. Tapi kita juga harus memikirkan regenerasi yang akan datang”. Atau pernyataan, “Kalau semuanya mau mati syahid, harus ada yang memikirkan tamkin”.

Inti dari kata-kata diatas ialah melemahkan semangat untuk berjihad, dan perkataan tersebut muncul dari syubhat karena taklid kepada pemimpin. Antara jihad dan iqomatudin dipertentangkan, antara sarana/jalan/thariq dan tujuan dipisah-pisahkan, antara cita-cita dan ghoyah (tujuan) disamarkan. Bukankah kita tidak akan mampu beriqomatuddin tanpa jihad? Bukankah jihad adalah sarana untuk iqomatudin. Dien akan tamkin (berkuasa) dengan tulang belulang syuhada dan air mata para janda.

Jadi siapa sebenarnya yang salah langkah? Jadi siapa sebenarnya yang harus kembali kepangkuan “ibu pertiwi”?

Dahulu, para imam kita mengatakan: “Orang faham agama (faqih) bukanlah yang mengerti mana perkara yang baik, orang faqih adalah yang mengenali perkara terbaik dari dua kebaikan.”

Wahai pedagang yang menjual barangnya dibawah harga modal
Seolah-oleh kau tidak merasa, tapi nanti pasti kamu akan tahu
Jika kamu tidak merasa rugi, maka itu musibah
Dan jika kamu menyadari maka musibahnya lebih parah

Contoh 9:

Seorang ustadz qiyadah menyampaikan tata cara i'dad, “Antum ambil cangkul, lalu cangkul kebun antum dengan niatan i'dad.”, sehingga seorang binaan menciptakan cara i'dad baru, yaitu i'dad menambal (i'dad dengan menambal karena pekerjaan dia adalah tukang tambal).

Jadi anggapan ikhwan-ikhwan ini, seperti yang sebagian mereka katakan, “I'dad itu tergantung niatan kita masing-masing”. Jadi main bola, kasti, golf, tenis, bowling, volly bisa digolongkan i'dad jika diniatkan untuk itu. Jadi lari karena kebelet buang air, berkebun, bertukang, menarik becak, membajak sawah, jualan sayur, memancing dan pekerjaan-pekerjaan lainnya baik profesi, permainan ataupun hoby bisa disebut i'dad asal diniatkan untuk hal tersebut, bisakah?

Sedangkan I'dad tanzhim Al-Qo'idah di Aceh dicaci maki, seolah-olah  itu adalah i'dad kaum autisme yang tidak ada kebaikannya sama sekali, mujahidin karbitan, aliansi pelangi tanpa ikatan. Bahkan ada tokoh jihadis menggelari mereka dengan, “Seperti selebritis”. Hasbunallah wa ni'mal wakil....” Jadi sebenarnya siapa yang i'dadnya seperti selebritis? Jadi sebenarnya siapa yang memecah belah? Sadarkah ustadz, gelar tersebut termasuk pelemahan semangat untuk berjihad dan pencelaan terhadap saudara-saudara yang sedang melaksanakan perintah Allah?

Terdapat sebuah kisah menakjubkan, dahulu ada tiga mujahid saling bertemu di sebuah tempat. Dua orang sebagai anshar, dan satu orang sebagai muhajirin. Seorang anshar bertugas menjaga save house dan anshar lainnya sebagai guide masuk ke medan jihad. Guide ini telah berkali-kali masuk mengantar muhajirin ke medan jihad. Pada pertemuan kali ini, guide tersebut akan masuk kembali ke medan jihad, tatkala hendak berangkat, anshar penjaga save house tersebut mensarankan kepada guide untuk menikah. Sepontan sang muhajirin (murid Syeikh Abdullah Azzam) berkata, “laa tashudu an sabilillah (jangan kamu halangi orang-orang dari fisabilillah)”. Lalu anshar tersebut berurai air matanya beristighfar...

Kami ingatkan pemahaman ini dan kisah ini, yang ketiga orang tersebut hari ini masih hidup menjadi saksi. Menawarkan nikah kepada mujahid yang akan berangkat tugas jihad saja, itu termasuk menghalangi di jalan Allah, apalagi menjuluki mujahid sebagai selebritis.

Kami ingatkan pula wasiat Asy-Syahid Syeikh Abu Mus'ab Al-Awlaqi rahimahullah:

Wahai syeikh-syeikh kami yang mulia dan ikhwan-ikhwanku para penuntut ilmu,  takutlah kepada Allah terhadap ikhwan-ikhwan kalian, jangan kalian cela mereka. Temanilah dengan baik setulus hati para mujahidin umumnya dan mujahidin Al-Qo'idah khususnya. Karena, tahdzir kalian kepada mereka mengakibatkan kemaslahatan bagi thaghut, yahudi dan nasrani tanpa kalian sadari. Lihatlah dengan pandangan yang adil, dan perlakukan kesalahan-kesalahan mujahidin memakai manhaj yang syar'i.....

Jikalau Al-Qo'idah berbuat kesalahan, sungguh para sahabatpun juga pernah melakukan kesalahan dalam jihad. Kesalahannya diingkari, namun tidak sekonyong-konyong merusak semua amal atau memburukkannya melebihi ukuran syar'i. Bila kalian mendendam atas kesalahan Al-Qo'idah, mengapakah kalian tidak mengingkari kesalahan kalian sendiri atas duduk-duduk dan cercaan kalian enggan menolong mujahidin, dari kelakuan sebagian kalian melakukan hubungan dengan para thawaghit, dari absennya kalian untuk mentarbiyah ummat atas jihad, serta dari absennya kalian untuk menegakkan kewajiban i'dad yang fardhu?

Takutlah kepada Allah atas ikhwan-ikhwan kalian, dan pahamilah, sesungguhnya menolong mereka adalah menolong Islam dan memecah belah mujahidin adalah membahayakan Islam. (Limazha Akhtartu Al-Qo'idah, dengan peringkasan)

Dan pula tadzkiroh dari commander Abu Tholut Al-Jawy –semoga Allah mentabahkannya -:

Berhati-hatilah di dalam mengeluarkan sebutan-sebutan terhadap Mujahidin dan amal jihadnya. Musuh-musuh Islam berusaha mendiskreditkan Mujahidin dengan sebutan teroris, dan amal Jihadnya dengan sebutan tindakan terorisme, dan ghonimah serta Fa'i dengan sebutan perampokan.

Itu semua bagian dari strategi peperangan mereka yaitu Psycho War (perang urat syaraf) atau propaganda perang yang bertujuan menjauhkan Mujahidin dari Umat Islam. Sementara apa yang mereka lakukan disebut tindakan menjaga keamanan dan perdamaian. Seperti yang terjadi di Kuwait, Irak, Afghanistan, di mana mereka menguras aset kekayaan kaum Muslimin. Bahkan di Indonesia dan negeri-negeri Islam lainnya sumber kekayaan kaum Muslimin mereka rampok di bawah nama kerja sama ekonomi dan pasar bebas yang tidak memenuhi rasa keadilan. Oleh karena itu wahai Ikhwan, berhati-hatilah menggunakan lisan terhadap saudaramu. Jangan sampai tanpa disadari antum telah berjasa memperkuat kubu musuh-musuh Islam melancarkan propaganda perangnya.

Ikhwany arsyadakumullah....

Itulah tadi beberapa contoh kalimat-kalimat yang sering dilontarkan untuk melemahkan kaum mukminin dan melalaikannya dari berjihad, dan ini sangat membahayakan. Semoga antum mulai mengerti ciri-ciri thaifah mukhodzilah, ternyata mereka ada disekitar kita, antara kita dan mereka mengenal baik. Para pencela selalu muncul diantara para jundullah (tentara Allah) yang mencintai Allah dan berjihad di jalan-Nya. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. (Al-Maidah: 54)

Sunnatullah, dimana ada jundullah disitu ada pencela, dan jundullah tetap tegar meski dicela dan dicacat serta dighibah. Ia tetap sabar dan kuat hatinya atas rahmat dan hidayah Allah kemudian Allah membahagiakan hatinya, melapangkan dadanya, dan menunjukkan jalan-jalan kebaikan baginya sekalipun para penggembos tidak menyukai.

Allah pun akan mengganti para ikhwan-ikhwannya yang menjadi pencela dengan ikhwan-ikhwan yang lebih baik akhlaknya, lebih santun perkataannya, lebih garang mentalnya, lebih khusyu' shalatnya, lebih kuat pengorbanannya, lebih cerdas otaknya, lebih ikhlas bantuannya, lebih dermawan sifatnya dan lebih indah amal perjuangannya.

Sesungguhnya sikap sinis dan tuduhan-tuduhan serta fitnah-fitnah yang kalian lancarkan terhadap mujahidin itu tidak sama sekali dapat memudharatkan jihad dan mujahidin. Bahkan Allah akan mendatangkan para pembelanya untuk berdiri di kalangan mujahidin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar