Saat
santai di kamar 108 hotel Tiba Makkah sambil nonton televisi Aljazeera,
tiba-tiba muncul sosok Obama sang presiden Amerika memberikan
pernyataan di depan pers dunia. Tanggal menunjuk angka 10 September
2010, sehari sebelum peringatan sembilan tahun serangan 11 September
2001. Obama menekankan bahwa musuh Amerika adalah Tandhim Al-Qaeda,
bukan agama Islam atau umat Islam.
Karena
saya melihat tayangan dalam bahasa Arab, maka sebutan untuk Al-Qaeda
adalah Tandhim, yang dalam bahasa Indonesia biasa digunakan istilah
jaringan Al-Qaeda. Antara kata tandhim dengan jaringan ternyata memiliki
konotasi makna yang berbeda. Tandhim bermakna organisasi yang rapi
dengan struktur kepemimpinan yang solid sementara jaringan lebih
berkonotasi longgar, sekedar saling tukar informasi. Penggunaan istilah
tandhim untuk Al-Qaeda menggugah kesadaran saya, bahwa ternyata musuh
Amerika, negara super power nomor wahid, musuhnya hanya sebuah tandhim.
Dalam istilah lain, jamaah. Bukan negara atau superpower lain yang
sejajar.
Pernyataan
ini memang dilontarkan Obama untuk dua tujuan. Pertama, menyindir
seruan pendeta Terry Jones yang menyeru untuk melakukan pembakaran
Al-Qur’an pada hari peringatan 11 September, sebagai provokasi terhadap
masyarakat Amerika agar membenci agama Islam atau umat Islam. Kedua,
untuk mengaktualkan terus bahwa setelah sembilan tahun pasca Black
September ternyata Al-Qaeda bukannya terdegradasi dari daftar musuh
Amerika karena rapuh, tapi justru Obama tanpa canggung menegaskan bahwa
Al-Qaeda makin eksis sebagai musuh Amerika, bahkan nomor wahid, dan
dipandang kian berbahaya.
Siapakah
Al-Qaeda? Sekali lagi, ia hanya sebuah tandhim atau organisasi atau
jamaah. Alam bawah sadar saya tersentak, oh ternyata negara superpower
tunggal dunia dengan segala cerita kehebatan teknologi tempurnya,
musuhnya hanya sekumpulan manusia yang bersatu dalam ikatan jamaah minal
muslimin bernama Al-Qaeda. Mereka seolah makhluq asing yang datang dari
dunia lain. Sejenis ‘manusia pra sejarah’ yang hidup di goa-goa dan
tidak pernah mau tunduk kepada Taghut dunia, dari bangsa manapun.
Musuh
Amerika hanya sebuah organisasi (tandhim atau jamaah) bukan sebentuk
negara yang juga super power dengan senjata canggih dan jumlah tentara
yang menggentarkan. Tapi hanya organisasi kecil, dengan senjata ala
kadarnya, belum punya tank apalagi pesawat. Andalannya hanya AK-47.
Obama
sebagai pemimpin dunia baru (new world order) pasca rubuhnya pesaing
kuat, Uni Sovyet, sedang mendefinisikan musuhnya. Musuh Amerika
didefinisikan hanyalah ‘gerombolan anak-anak kampung dan orang gunung’
yang jauh dari bau peradaban Barat. Mengejutkan, imperium sebesar
Amerika yang menepuk dada sebagai polisi dunia ternyata tanpa malu
mendefinisikan musuhnya hanya sebuah jamaah kecil. Jelas ini merupakan
kekalahan moral yang tak bisa dibantah.
Kalaupun
pada akhirnya Amerika menang dalam pertarungan ini, tak ada kebanggaan
apapun karena memang Amerika lebih banyak tentaranya, lebih canggih
senjatanya, lebih kuat ekonominya dan lebih luas dukungan negara-negara
lain. Tapi jika kalah, akan menjadi sebuah ending cerita yang heroik,
betapa kelompok kecil mampu menumbangkan kekuatan raksasa, super power
dunia.
‘Makhluq Halus’ Bernama Al-Qaeda
Tak
ada yang menyangka, musuh yang paling membuat Amerika panas dingin dan
menggigil ketakutan hanyalah sesosok jamaah Al-Qaeda yang belum punnya
kantor, pegawai, apalagi negara. Mereka sejenis manusia nomaden modern
yang tidak jelas kewarga-negaraannya. Di mana langit dijunjung, di situ
bumi dipijak. Makhluq asing yang tidak jelas suku dan rasnya. Laksana
Alien yang datang dari langit menginvasi bumi dalam kisah fiksi ala
Hollywood.
Jumlah
mereka juga tak banyak, hanya ribuan. Mungkin seribu, sepuluh ribu,
seratus ribu atau lebih, tapi yang pasti di bawah satu juta. Susah
menebak jumlah mereka, karena mereka memang ‘makhluq halus’ yang tak
terdeteksi meski di tengah keramaian. Tak ada kartu identitas apapun
yang bisa menunjukkan mereka sebagai warga Al-Qaeda. Tak ada kartu
anggota, KTP apalagi Pasport.
Karenanya
hati mereka juga tak tersekat oleh lembaran kartu identitas tertentu.
Identitasnya tunggal: Hamba Allah di muka bumi. Allah ciptakan bumi
luas, maka mereka maksimalkan untuk berkelana bebas tanpa pernah merasa
asing di tanah manapun. Komitmen mereka hanya untuk umat Islam, apapun
warna kulitnya.
Mereka
disibukkan dengan pengabdian vertikal kepada Allah, sehingga tak sempat
memikirkan untuk rebutan dunia dengan sesama manusia. Pandangan mereka
lurus menengadah ke langit, sehingga jiwa dan raganya ringan laksana
kapas terbang dari satu jengkal ke jengkal bumi yang lain dengan tujuan
tunggal: Memastikan pengabdian kepada Allah semata. Hati mereka sudah
digantungkan di langit, obsesinya obsesi langit, pikirannya sudah dengan
pola langit. Ruhnya sudah di langit, hanya jasadnya yang masih berpijak
di bumi. Oleh karenanya, tak ada lagi tersisa keluhan yang bersifat
duniawi; soal harta, musibah, cercaan, intimidasi, penyiksaan,
pengusiran bahkan pebunuhan. Semua keluhan duniawi yang bagi manusia
dunia (karena mereka manusia langit) terasa berat dan bikin stres, bagi
mereka menjadi semacam bumbu penyedap atau sejenis alunan tembang manis
yang membuat hidup mereka lebih indah.
Mereka
konon terdeteksi di pegunungan Afghanistan dan perbatasan Pakistan,
ngumpet di goa-goanya ibarat makhluq pra sejarah, hidup dengan perkakas
dari batu. Setidaknya itulah gambaran manusia Al-Qaeda di benak rakyat
Amerika. Juga terlihat di Iraq, Cechnya, Somalia bahkan di Palestina.
Tapi bisa tiba-tiba muncul di London meledakkan kereta yang menjadi
sensasi luar biasa. Nongol di Madrid yang membuat Spanyol panas dingin
karena serangannya yang mematikan. Lalu di Mumbai yang berpenampilan
sebagai anak ABG penuh gaya tapi dengan percaya diri mengamuk
sejadi-jadinya; memuntahkan peluru laksana permainan Playstation. Bahkan
selentingan kabar menyebutkan bahwa mereka juga mampir di Jakarta untuk
melakukan beberapa gebrakan mematikan, dan memoles Bali dengan kisah
lain bukan hanya soal cerita indah pariwisata.
Jadi
berapa sesungguhnya jumlah mereka? Jawabannya gampang; wallahu a’lam!
Apakah mereka sejatinya sedikit yang bisa terbang ke sana kemari sesuka
hati, ataukah memang sudah beranak-pinak di berbagai negara, kota bahkan
desa? Ataukah mereka bisa ganti kulit; kalau di Afghanistan berpostur
Afghan, di Amerika berkulit putih, di Somalia berkulit gelap, dan di
Indonesia berkulit sawo matang laksana bunglon?.
Entahlahlah,
mereka ini jenis makhluk apa. Amerika bingung, NATO bingung, PBB
bingung, Anda juga bingung. Saya? Udah duluan bingung!
Al-Qaeda Mengajukan Diri Sebagai Musuh Amerika
Kita
bicara yang pasti-pasti saja. Bahwa mereka disebut oleh Obama sang
presiden Amerika sebagai organisasi yang menjadi musuh Amerika. Hebat
nih Amerika, menjadikan makhluq ‘halus’ sebagai musuh. Sekelas Nabi
Sulaiman ‘alaihissalam yang bisa berinteraksi dengan dunia lain.
Berkomunikasi dengan makhluq yang tak kasat mata.
Fakta
ini membuka mata saya, untuk menemukan pelajaran penting dari
pertarungan antara teri melawan kakap ini. Tandhim Al-Qaeda
‘mendaftarkan diri’ sebagai musuh Amerika dengan tidak melengkapi syarat
dan ketentuan yang ditetapkan Amerika. ‘Berkas’ yang diajukan
asal-asalan, tanpa dilengkapi akte pendirian organisasi, tak dicantumkan
nama pengurusnya, wilayah yang telah dikuasai dan daftar senjata yang
dimiliki. Amerika awalnya melihat ‘berkas’ yang diajukan Al-Qaeda dengan
sebelah mata. Hampir didiskualifikasi dari daftar musuh Amerika karena
dianggap tidak memenuhi syarat dan kriteria yang ditetapkan. Sedangkan
‘pendaftar’ lain, seperti Iran, Kuba, Korea Utara, Rusia, China, Jepang
dan lain-lain, seluruh syarat dan ketentuan terpenuhi. Sangat cocok
dengan kriteria musuh yang direncanakan Amerika.
Namun
ketika masuk pada proses seleksi, semuanya berguguran. Ternyata yang
lain hanya ikut-ikutan daftar untuk menjadi musuh Amerika, biar keren.
Maklum, kalau kita menjadi musuh dari sosok yang hebat, pasti akan
dianggap hebat juga. Pendaftar yang ‘tulus ikhlas’ hanya Al-Qaeda, oleh
karenanya meski secara kriteria tidak masuk, karena ketulusannya dan
semangatnya yang sangat kuat untuk menjadi musuh, Amerika akhirnya
mengakui juga. Dan tanggal 10 September 2010 kemarin Obama mengumumkan
bahwa pendaftar musuh yang lain dinyatakan tidak lulus, dan yang
disahkan sebagai musuh yang sesungguhnya adalah Al-Qaeda.
Serangan
WTC 11 September 2001 menjadi tonggak pengakuan Amerika. Mulai saat itu
Al-Qaeda diperhitungkan namun sekian lama Amerika mencoba untuk
menganggap remeh dan kecil. Al-Qaeda hanya diakui bahwa baunya ada tapi
tak jelas sosoknya. Namun kini setelah sembilan tahun berlalu Amerika
mulai mengakui eksistensi Al-Qaeda sebagai musuh yang nyata, melalui
pernyataan Obama tersebut.
Meski
selama ini Amerika memerangi Al-Qaeda, tapi ia mengabaikan
eksistensinya. Kini setelah sembilan tahun berlalu, melalui bonekanya di
Afghanistan, Amerika mulai mengakui eksistensi Al-Qaeda, meski dengan
nama Taliban, karena memang dua nama ini dianggap satu kesatuan.
Terbukti, pada tanggal yang sama dengan peryataan Obama, Hamid Karzai –
sang boneka – menyeru Taliban untuk mau duduk membicarakan perdamaian.
Untuk tujuan ini, Karzai sudah membentuk tim yang khusus untuk memulai
melakukan pembicaraan dengan Taliban.
Pengakuan
eksistensi ini mengingatkan kita dengan perjanjian Hudaibiyah yang
untuk pertama kali pihak Quraisy duduk sederajat dengan umat Islam untuk
membicarakan gencatan senjata. Artinya, musuh yang selama ini memerangi
umat Islam dan tidak mau pengakui eksistensinya secara de jure, mulai
menuliskan eksistensinya di atas lembar perjanjian. Peristiwa ini
disebut sebagai fath (kemenangan) oleh Al-Qur’an dengan turunnya surat
Al-Fath menyusul peristiwa tersebut.
Akan
dibukanya pembicaraan yang melibatkan dua entitas sosial yang
bermusuhan (Taliban + Al-Qaeda Vs Amerika) bermakna pengakuan
eksistensinya secara de jure. Apalagi didukung dengan pernyataan Obama
bahwa Al-Qaeda adalah musuh Amerika. Lengkap sudah kemenangan politik
dan militer yang diraih Al-Qaeda dengan ijin Allah.
Menjadi Musuh Amerika yang Tidak Biasa
Sisi
menarik dari Al-Qaeda adalah ia memposisikan diri sebagai musuh Amerika
dengan kategori baru. Amerika mempersiapkan diri bertahun-tahun dengan
dana nyaris tanpa batas untuk melawan musuh berwujud negara super power
yang seimbang dengan dirinya. Inilah kategori tunggal calon musuh di
mata Amerika. Oleh karenanya Amerika sibuk menciptakan senjata nuklir
dan begitu takut negara lain memilikinya.
Teori
kemengan satu-satunya adalah kemenangan teknologi militer. Dia yakin
haqqul yaqin bahwa jika Amerika sekian langkah lebih unggul teknologi
senjatanya dibanding negara lain, tak akan ada yang bisa mengalahkannya.
Dahulu populer istilah perang bintang antara Amerika melawan Uni
Sovyet. Konon katanya, tembakannya tidak lagi menggunakan peluru biasa,
tapi sinar. Entahlah.
Tapi
Al-Qaeda datang dengan kategori baru yang sama sekali tak
diperhitungkan Amerika. Ia hanya sekumpulan anak kampung dan orang
gunung yang mahir memainkan AK-47. Habitatnya adalah gunung-gunung
terjal dan hutan belantara. Jumlahnya juga tak seberapa. Bukan negara.
Tak memiliki dukungan ekonomi, politik dan teknologi. Mereka hanya
sekumpulan hamba Allah yang senjata utamanya adalah iman dan
persaudaraan dalam Islam. Tapi memiliki tekad segarang singa. Belum
pernah ada dalam teori pertempuran Amerika, sebuah jamaah kecil yang tak
kasat mata akan menjadi musuh potensial. Kerangka teoritis untuk
mengatasinya belum mereka temukan atau siapkan.
Dalam
ilmu militer pertarungan semacam ini disebut sebagai pertempuran
asimetris (gak nyambung). Amerika menginginkan musuhnya dalam kategori
yang ia inginkan, tapi musuh berada pada kategori yang berbeda. Amerika
membidik lurus ke depan, padahal Al-Qaeda berada di lobang persembunyian
di bawah tanah. Amerika laksana petarung pakai pedang tapi dengan mata
tertutup. Ia membabat ke kanan dan ke kiri tanpa tahu musuhnya dengan
jelas. Akhirnya tenaganya terkuras dan sempoyongan.
Strategi
Al-Qaeda ini membuat milyaran dolar kekayaan Amerika yang dibelanjakan
untuk membuat senjata canggih menjadi terasa sia-sia. Karena yang
dihadapi Amerika bukan semata pasukan tempur yang diorganisisr sebuah
negara dan punya teritorial yang jelas, tapi kekuatan iman dan gagasan
yang dengan cepat menyebar laksana virus, apalagi didukung berkembangnya
internet. Al-Qaeda memang kecil jumlah personalnya, tapi ada di
mana-mana.
Al-Qaeda Dipisahkan dari Umat Tapi Semakin Mewakili Umat
Pernyataan
Obama bahwa musuh Amerika adalah Tandhim Al-Qaeda dan bukan Islam atau
umat Islam, pada sisi lain merupakan strategi untuk memisahkan Al-Qaeda
dari umat Islam. Tapi makar ini lambat laun justru menjadi bumerang bagi
Amerika.
Dengan
kemenangan politik dan militer yang diraih Al-Qaeda melawan super power
yang arogan semacam Amerika, semua penduduk dunia yang punya pengalaman
panjang dizalimi Amerika akan menjadikan Al-Qaeda sebagai hero. Apalagi
umat Islam. Tentu saja dukungan akan terus mengalir, apalagi jika
Al-Qaeda dengan akurat mewakili kegelisahan mereka.
Awalnya
Obama, Amerika, Barat dan PBB masih agak rabun untuk membedakan warga
Al-Qaeda dari kerumunan besar umat Islam. Tapi akhirnya mereka berhasil
mendeteksi, ada sejumlah perbedaan dan ciri khas yang bisa dijadikan
alat untuk membedakan Al-Qaeda dari umat Islam, meski jelas lebih banyak
unsur persamaannya.
Untuk
alasan strategi, Amerika saat ini fokus membidik yang punya genetik
Al-Qaeda saja. Amerika akan menghadapi dilema rumit jika umat Islam
dinyatakan sama dengan Al-Qaeda. Jumlahnya sudah terlalu besar, tak
mungkin dilawan.
Dengan
kemenangan Al-Qaeda, tinggal menunggu waktu bahwa umat Islam dunia akan
merasa menjadi bagian dari Al-Qaeda. Jika terjadi perang, terminologi
yang paling pas saat itu adalah Perang Salib, suatu istilah yang
pagi-pagi sekali sudah dikumandangkan oleh George W. Bush meski diralat
dengan setengah hati. Cepat atau lambat kalimat ini akan kembali populer
jika Al-Qaeda berhasil mewarnai pemikiran umat Islam sehingga semuanya
menjadi Al-Qaeda.
Saat
ini, nyaris tak ada satupun negara yang berani mengklaim bersih dari
benih-benih Al-Qaeda. Ini merupakan bentuk sunnatullah kemenangan Islam
gaya baru, bahwa semangat jihad dan iman bisa ditransfer melalui
jaringan internet laksana virus yang menular. Sesuatu yang tak pernah
terpikir sebagai cara berkembangnya jihad di masa lalu. Bahkan bukan
hanya semangat jihad yang bisa ditransfer, tapi juga manual teknis
operasi jihad bisa diajarkan melalui internat, sehingga dunia menjadi
majlis taklim besar bagi mujahidin dengan sarana internat. Secara fisik
di goa, tapi majlis taklim maya dihadiri jutaan pemuda di seluruh dunia.
Amerika
jelas makin mati gaya menghadapi kenyataan ini. Manusia Al-Qaeda
ternyata sedang duduk di warnet mempelajari manual bombing atau sekedar
ngulik berita jihad. Padahal Amerika belum pernah punya teori
mengalahkan musuh seperti ini. Apalagi sekarang sudah meningkat dengan
hadirnya akses internet via HP. Terasa sia-sia uang yang dibelanjakan
Amerika untuk membuat bom atom jika musuhnya jamaah tak kasat mata
seperti Al-Qaeda.
Berakhirnya Era Terorisme
Penegasan
Obama ini juga menandai akan segera berakhirnya era penggunaan istilah
teroris dan berubah menjadi Al-Qaeda. Istilah teroris sudah kehilangan
bobot karena sudah lama dan harus diproduksi istilah baru. Ibarat barang
dagangan, life cycle product-nya sudah habis. Apalagi ditimpa sikap
ekstrim kaum Yahudi dan Nasrani, misalnya seruan pembakaran Al-Qur’an
oleh pendeta Amerika, larangan menara masjid di Eropa dan larangan cadar
di sana. Semua ini menyebabkan ekstrimisme bukan ciri khas teroris
lagi, tapi juga disandang oleh mereka yang dikenal demokratis. Maka
istilah teroris sudah kehilangan elan vital.
Era
George W. Bush istilah yang sangat ampuh adalah istilah teroris. Tapi
era Obama, dipersempit menjadi Al-Qaeda. Ini jelas sebuah penghargaan
tinggi untuk Al-Qaeda. Kualitas manusia bisa dilihat dari kualitas
musuhnya. Kalau musuhnya berkualitas, seseorang dinilai berkualitas.
Jika rendahan, begitu pua kualitas seseorang. Sebab, syetan tak pernah
salah memilih musuh.
Makanya
selalu menarik menyaksikan pertarungan antara Al-Qaeda melawan Amerika,
karena manusia selalu suka menyaksikan pertarungan yang awalnya tak
berimbang tapi kemudian endingnya yang lemah menang. Penonton akan
merasakan kepuasan yang luar biasa. Sebaliknya, musuh akan terhina
sehina-hinanya. Diolok-olok, ditertawakan dan akan ditulis dalam buku
sejarah sebagai sebuah pelajaran penting, bahwa ada imperium raksasa
dengan segenap kepongahannya hancur lebur oleh musuh kerdil dengan
keteguhan imannya. Kisah Daud ‘alaihissalam melawan Jalut terulang dalam
bentuk imperium modern.
Jamaah, Solusi Kelemahan Umat
Mereka
yang apriori terhadap konsep jamaah atau tandhim mesti membuka mata
lebar-lebar. Bahwa yang mampu melawan Amerika adalah sebuah jamaah yang
merupakan lembaga swadaya umat, sama sekali tak disponsori suatu negara,
baik kafir atau muslim.
Pernyataan
bahwa jamaah pasti melahirkan madharat, tak terbukti. Madharatnya,
menurut mereka, karena tak ada jamaah yang tidak melahirkan ta’asshub
(fanatisme kelompok). Oleh karena madharat jamaah bersifat melekat tak
bisa dipisahkan, maka jamaah menjadi sesuatu yang ditolak secara asas
oleh Islam. Bahkan kalangan tertentu menganggapnya sebagai bid’ah.
Kelemahan
argumen ini terletak pada anggapan bahwa fanatisme kelompok merupakan
dampak melekat dari jamaah. Seandainya kita menerima argumen ini, maka
Rasulullah SAW menjadi orang pertama yang terkena kritik, karena
Rasulullah SAW mengelola umat Islam saat itu dengan konsep jamaah.
Rasulullah SAW berposisi sebagai amir atau imam, dan para Sahabat
sebagai anggota.
Kelemahan
kedua, ukuran dan bentuk jamaah yang ditolak itu seperti apa tak bisa
dijelaskan. Sebab, kehidupan manusia tak bisa lepas dari jamaah.
Mengelola sepakbola saja menggunakan konsep jamaah. Semua lembaga yang
memiliki pimpinan dan anggota pasti berpola jamaah. Ada
komitmen-komitmen yang disepakati olah seluruh anggota.
Zaman
modern seperti sekarang teori pengelolaan jamaah makin matang. Ribuan
buku dan penelitian dihasilkan para pakar untuk merumuskan manajemen –
aspek inti dari jamaah. Bahwa kekuatan ada dalam jamaah, dan kelemahan
melekat pada individualisme.
Problem
kita sejatinya hanya apakah kita mampu mengambil sisi kekuatan jamaah
dan mengikis fanatisme yang ditimbulkan? Siapapun yang mampu
melakukannya, maka berjamaah baginya menjadi kebutuhan, dan
meninggalkannya menjadi awal kelemahan.
Jihad Mutlak Membutuhkan Jamaah yang Solid
Prestasi
Al-Qaeda yang penting untuk dicatat adalah bahwa ia mampu menggabungkan
jihad dengan jamaah. Kombinasi ini jarang yang mampu melakukannya.
Jihad merupakan amal kolektif sebab musuh yang dihadapi juga kolektif.
Titik kelemahan pelaksanaan jihad yang dilakukan umat Islam selama ini
terletak pada kelemahan jamaah yang mendukungnya.
Jihad
sangat bertumpu pada komitmen kelompok atau jamaah. Komitmen ini bahkan
merupakan puncak kemampuan manusia dalam memberikannya. Sebagai contoh,
jika ada seorang mujahid yang tertangkap musuh dan disiksa sedemikian
rupa untuk membocorkan informasi teman-temannya (jamaahnya), ia harus
kuat menanggungnya sehingga temannya tidak terkena bahaya dari musuh.
Harga komitmen ini adalah kematian. Artinya, dalam menjaga rahasia
temannya ia beresiko menghadapi kematian. Adakah komitmen sesama teman
melebihi komitmen yang dibutuhkan ibadah jihad?
Inilah
tantangannya. Untuk sukses, jihad harus dilakukan oleh sekelompok orang
yang memiliki ikatan komitmen satu sama lain yang sangat kuat hingga
nyawa menjadi taruhannya. Komitmen sekuat ini hanya bisa dihasilkan
melalui konsep jamaah yang solid. Maka problem berikutnya adalah
mengenyahkan dampak fanatisme yang ditimbulkan oleh jamaah.
Jika
sebuah jamaah bisa menggabungkan komitmen kuat untuk al-haq tapi tidak
berdampak lahirnya fanatisme kelompok, maka jamaah semacam ini menjadi
faktor kekuatan yang amat dahsyat. Negara sekuat Amerika saja tak mampu
menjinakkannya. Inilah kelebihan Al-Qaeda yang tak dimiliki jamaah lain.
Jamaah
itu rahmat. Jika membawa madharat pasti karena ada kekurangan yang
mesti diperbaiki. Bisa jadi karena al-haq yang dipedomani tidak
sepenuhnya al-haq, tapi masih bercampur dengan batil. Atau karena
komitmen yang mengikat unsur jamaah bukan al-haq, tapi sekedar fanatisme
kelompok. Atau karena individu yang ada di dalamnya tidak patuh dengan
perintah yang mesti ia lakukan sebagai bentuk komitmen mentaati amir
dalam perkara yang makruf. Atau ada yang tergoda untuk berebut dunia
dengan sesama anggota jamaah. Atau karena jamaah yang dibentuk hanya
karena sakit hati sehingga mengumpulkan orang untuk membalas sakit hati
tersebut.
Berjamaah, Langkah Paling Realistis Sebelum Berjihad
Banyak
kalangan mengabaikan hubungan yang sangat kuat antara jihad dengan
jamaah. Mereka menganggap jihad bisa saja sukses tanpa didukung jamaah
yang kuat. Mereka tertipu, karena menganggap ibadah jihad sesederhana
ibadah shalat, zakat atau haji yang bisa dilakukan dengan spontan dan
tanpa persispan yang matang.
Jihad
berbeda sekali. Ibadah ini selain realisasi pengabdian hamba kepada
Allah, ia juga realisasi bara’ (kebencian dan permusuhan) hamba kepada
musuh Allah, sekaligus refleksi wala’ (empati, persaudaraan dan
pembelaan) hamba terhadap para kekasih Allah – umat Islam.
Oleh
karenanya, mutlak dihajatkan persiapan yang matang agar tercapai ketiga
agenda tersebut, bukan semata agenda pengabdian kepada Allah. Agenda
mengalahkan musuh Allah dan agenda memastikan umat Islam terselamatkan
dari kedurjanaan musuh-musuh Allah harus menjadi fokus juga.
Jika
jihad dilakukan asal-asalan, agenda yang diraih hanya agenda pengabdian
kepada Allah sebagai ibadah sebagaimana shalat dan haji. Dan salah satu
yang terpenting agar tidak asal-asalan adalah berjamaah sebelum
berjihad.
Dalam
aktifitas berjamaah, seseorang akan merasakan gesekan antar anggota
jamaah baik dalam persaudaraan atau pelaksanaan perintah bersama.
Seseorang akan bertemu dengan berbagai karakter yang akan menguji
ketahanan mentalnya dalam kehidupan berjamaah. Kadang tersandung
pengkhianatan yang dilakukan sesama anggota jamaah. Kadang ada amanat
yang tidak tertunaikan, baik oleh dirinya atau oleh anggota lain. Kadang
ada perintah yang terasa berat, tapi dalam lingkup makruf sehingga
harus tetap ditaati.
Semua
ini adalah dinamika kehidupan berjamaah. Jika kita belum lulus dalam
mengarungi kehidupan berjamaah, akan lebih sulit untuk menjadi mujahid
yang baik dalam shaff jihad di medan tempur. Di sana juga ada dinamika
kelemahan individu, kesalahan memahami komando, pengkhianatan, dan semua
persoalan kolektif lain.
Maka
pelajaran lain yang bisa kita petik dari Al-Qaeda adalah komitmen
mereka dalam berjamaah. Jamaah yang menjadi ruang berkumpul para aktifis
jihad, yang saling diikat komitmen bersama dan dipimpin oleh sistem
kepemimpinan yang solid. Ikatan persaudaraannya adalah iman dan wala’
wal bara’.
Bila
kita bisa mengambil pelajaran dari Al-Qaeda, tak harus menamakan
kelompok kita dengan Al-Qaeda. Terutama pelajaran berjamaahnya. Apalagi
untuk alam Indonesia yang tampaknya masih agak jauh dengan jihad
musallah, pastikan kita gunakan waktu untuk belajar berjamaah dengan
baik, agar kita bisa meresapi kehidupan kolektif yang sangat membantu
kelak saat di medan jihad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar