Antara Millah Ibrahim dan Strategi Jihad: Memilah simpatisan mujahidin di
barisan musuh
Perang
salib baru yang dikomandani AS telah berlangsung sepuluh tahun, sejak
dikumandangkan oleh George W. Bush pada tanggal 16 September 2001. Diawali
dengan invasi militer aliansi salibis-zionis-paganis internasional ke
Afghanistan dan Irak, kini medan jihad fi sabilillah semakin meluas ke seluruh
penjuru dunia. Para mujahidin di seluruh dunia menyambutnya dengan semangat
baja dan perjuangan penuh pengorbanan demi tegaknya kalimat tauhid dan syariat
Allah SWT di muka bumi. Jihad di Palestina, Pakistan, Somalia, Yaman, dan
lain-lain mulai menampakkan tanda-tanda kemenangan.
Di tengah gencarnya peperangan antara kubu al-haq dan
kubu a-bathil, banyak pemuda muslim yang bangkit semangatnya dan bersiap
menerjuni kancah jihad fi sabilillah melawan pasukan salibis-zionis-paganis
internasional. Mereka memiliki dasar pemahaman tauhid dan wala’ wal bara’ yang
cukup baik. Namun seringkali hal itu tidak diimbangi dengan pemahaman fiqih waqi’(memahami realita), fiqih awlawiyat (memahami skala
prioritas), fiqih mashalih wal
mafasid(menimbang aspek
maslahat dan kerusakan), dan siyasah
syar’iyah (politik sesuai
aturan syariat) yang baik.
Akibatnya, karena
masalah-masalah sepele, mereka sering terjerumus dalam perbedaan pendapat yang
runcing. Tak jarang hal itu berakhir dengan perpecahan, ta’ashub buta, dan
saling mengkafirkan di antara sesama aktifis muslim. Padahal mereka hanyalah
para penuntut ilmu pemula, bukan ulama yang mumpuni keilmuannya, bukan pula
para komandan jihad yang mengerti betul realita jihad di lapangan. Musuh
zionis, salibis, paganis, dan komunis belum pernah mereka ‘usik’. Namun mereka
sudah terjebak dalam suasana perselisihan, perpecahan, dan mengkafirkan sesama muslim
yang berusaha meniti jalan jihad fi sabilillah. Boleh jadi, musuh-musuh Islam
telah melakukan infiltrasi dan ‘mengompori’ mereka untuk melupakan musuh Islam
dan sibuk ‘menyerang’ sesama muslim.
Untuk itu dalam kesempatan ini, arrahmah.com
mengangkat korespondensi salah seorang komandan mujahidin dan qadhi syar’i
Imarah Islam Qauqas (Negara Islam Kaukasus: Chechnya dan Dagestan) dengan
syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi fakkallah
asrahu. Korespondensi
tersebut sangat urgen, karena kaum muslimin bisa mempelajari darinya bagaimana
memadukan antara pelajaran tauhid, wala’ dan bara’ dengan fiqih waqi’, fiqih
awlawiyat, fiqih mashalih wal mafasid, dan siyasah syar’iyah nabawiyah. Semoga dengan merenungkan
korespondensi ini, ‘tragedi’ sesama aktivis Islam yang hendak meniti jalan
jihad fi sabilillah bisa diredam dan ditiadakan.Selamat menikmati…
Korespondensi
antara hakim syariat dan komandan mujahidin Imarah Kaukaz Abu Imran Anzur bin
Aldar dengan syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
Pertanyaan
Syaikh kami yang mulia,
Abu Muhammad Al-Maqdisi hafizhahullah
السلام عليكم و رحمة
الله و بركاته
Bagaimana keadaan Anda, syaikh kami yang tercinta?
Bagaimana kabar kesehatan Anda? Saya ingin mendapatkan berita yang menenangkan
hati setelah mendengar berita kecelakaan mobil yang menimpa Anda. Thahurun laa ba’sa insya Allah. Saya memohon kepada Allah agar
senantiasa menjaga Anda dan keluarga Anda dari segala keburukan.
Wa
ba’du…
Saya hendak meminta
fatwa kepada Anda tentang sebuah masalah yang memiliki kaitan erat dengan
millah Ibrahim.
Dakwah Islam menyebar
luas di Rusia. Banyak orang Rusia yang masuk Islam dan banyak pula di antara
orang Rusia yang bersimpati kepada kaum muslimin dan mujahidin. Terkadang
orang-orang Rusia yang bersimpati tersebut adalah para pejabat tinggi dalam lingkungan
tentara, intelijen, dan lembaga-lembaga tinggi pemerintahan Rusia yang lain.
Sebagian mereka menampakkan keinginannya untuk membantu mujahidin. Sebagian
mereka menyatakan bisa menyuplai informasi kepada mujahidin. Sebagian lainnya
menyatakan siap memberikan sokongan dana dan bantuan-bantuan lainnya. Mereka
mengatakan tidak mencintai pemerintah Rusia, namun mereka juga tidak ingin
melepaskan jabatan-jabatan syirik mereka tersebut.
Kami mengajak mereka
untuk masuk Islam. Kami katakan kepada mereka bahwa persoalan pertama,
pekerjaan-pekerjaan mereka adalah pekerjaan-pekerjaan syirik. Persoalan kedua
adalah melalui pekerjaan-pekerjaan tersebut, mereka terlibat dalam peperangan
melawan Islam.
Mereka menjawab bahwa
mereka justru bisa lebih banyak membantu kaum muslimin jika mereka bertahan
dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut
Kami katakan kepada
mereka bahwa jika mereka berposisi sebagai intel untuk kami, maka persoalannya
boleh menurut pendapat sebagian ulama. Namun mereka menyatakan tidak siap jika
harus berada dalam ketaatan kepada komandan jihad. Mereka hanya mampu membantu
mujahidin dalam sebagian perkara. Mereka mengkhawatirkan keselamatan diri
mereka sendiri, karena komandan jihad terkadang memerintahkan mereka melakukan
urusan yang membawa bahaya besar bagi diri mereka. Misalnya komandan jihad
memerintahkannya untuk menyalin (mencuri) sebagian dokumen rahasia Rusia. Oleh
karenanya ia menjawab, “Saya akan membantu kalian dengan cara saya, namun saya
tidak tunduk kepada perintah-perintah kalian.”
Oleh sebab itu kami
katakan kepada mereka, “Boleh jadi kalian memberi manfaat kepada Islam dan kaum
muslimin dengan bantuan kalian itu. Karena (dalam hadits shahih disebutkan—edt)
Allah menolong agama ini melalui perantaraan orang yang banyak dosa. Namun
kalian tetap berada dalam kesyirikan. Atas bantuan kalian ini, kalian sama
sekali tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Kenapa kalian menjerumuskan
jiwa kalian kepada bahaya yang tiada balasan apapun bagi kalian padanya?
Pertanyaannya adalah
bolehkah kita menerima bantuan mereka? Ataukah kami harus menampakkan
permusuhan dan kebencian kepada mereka?
Perlu diketahui bahwa
mereka ada beberapa macam:
Pertama, orang-orang yang ingin membantu
mujahidin dengan tujuan merugikan (presiden Rusia Vladimir Putin (saat ini
sudah digantikan oleh tangan kanan Putin, Dmitry Medvedev–edt). Mereka tidak
meminta balasan apapun dari kita. Mereka memberi bantuan tanpa syarat apapun.
Di permukaan, mereka seakan-akan mendukung partai, pemerintahan, dan tentara
Putin. Namun secara sembunyi-sembunyi mereka membuat makar untuk menjatuhkan
Putin.
Kedua, orang-orang yang mengaku beragama
Islam. Nenek moyang mereka adalah suku bangsa Kaukas atau Tartar. Mereka adalah
orang-orang murtad, namun sebenarnya lebih dekat kepada orang kafir asli, wallahu a’lam, karena banyak di antara mereka
adalah orang-orang komunis. Mereka bersimpati kepada orang-orang yang bersuku
bangsa sama dengan mereka. Mereka meremehkan orang-orang Rusia, sebaliknya
orang-orang Rusia juga meremehkan mereka. Kami katakan kepada mereka, “kalian
tidak ada bedanya dengan bangsa Rusia. Kalian kafir seperti halnya mereka,
bahkan kekafiran kalian lebih berat. Asal muasal kalian dari suku atau bangsa
tertentu tidak memberi kalian manfaat apapun.”
Kondisi mereka lebih menyerupai
kondisi kaum munafik karena mereka datang kepada orang-orang kafir dengan satu
muka lalu datang kepada orang-orang beriman dengan muka yang lain lagi. Kami
tidak tahu apakah mereka benar-benar menerima dakwah kami ataukah mereka
memberikan berbagai bantuan tersebut untuk melindungi diri mereka dari serangan
mujahidin.
Apa yang boleh kami
katakan kepada mereka?
Jika kewajiban kami
adalah menampakkan permusuhan kepada mereka, lantas manakah di antara dua
pilihan berikut yang hukumnya boleh atau benar?
Pilihan pertama, kami
mengatakan kepada mereka, “Kalian adalah musuh kami. Kami wajibkan atas diri
kalian untuk membayar sejumlah harta setiap bulan sekali, misalnya. Sebagai
balasannya, kami tidak akan mengusik kalian. Kami akan memilih target-target lain
yang lebih besar bahayanya terhadap Islam.” Pilihan ini artinya kami memberikan
jaminan keamanan kepada mereka untuk tenggang masa tertentu dengan imbalan
sejumlah harta atau bantuan-bantuan yang lain.
Apakah pilihan ini
membatalkan millah Ibrahim? Jika orang-orang tersebut adalah orang-orang
murtad, maka apakah menerima tebusan harta dari mereka berarti menyetujui
kemurtadan mereka?
Di sini masih ada
persoalan lain, jika kami menawan orang murtad, maka apakah kami boleh
menukarkannya dengan seorang muslim yang ditawan oleh Rusia? Atau bolehkah kami
meminta orang-orang kafir menyerahkan sejumlah uang sebagai tebusan pembebasan
orang murtad ini? Apakah hal itu berarti menyetujui kemurtadannya? Ataukah kami
wajib menegakkan hukuman riddah (hukuman mati) atas orang murtad ini? Soal yang
kami tanyakan ini bukan berlaku umum, namun khusus untuk kondisi kami di
Kaukasus.
Pilihan kedua, kami
mengatakan kepada mereka: “Kalian adalah musuh kami, dan tidak boleh ada tolong
menolong antara kami dengan kalian. Namun jika kami melihat pekerjaan-pekerjaan
yang kalian lakukan menunjukkan kejujuran keinginan kalian untuk membantu kaum
muslimin, maka kami akan menyibukkan diri dengan menyerang orang-orang kafir
selain kalian yang lebih besar bahayanya terhadap Islam. Pilihan ini berarti
kami tidak memberikan jaminan keamanan kepada mereka, kami mengambil harta atau
informasi dari mereka tanpa perlu memberi balasan timbal balik.
Ketiga, orang-orang yang menampakkan
keinginan untuk mempelajari pokok-pokok ajaran agama Islam. Mereka
mempergunakan jabatan-jabatan mereka untuk meminimalkan bahaya terhadap kaum
muslimin. Mereka bersungguh-sungguh memberikan bantuan kepada mujahidin
sehingga mereka menanggung resiko besar, keselamatan hidup mereka dalam bahaya.
Ada harapan mereka akan masuk Islam.
Bolehkah kami
mengatakan kepada mereka: “Kalian adalah orang-orang kafir, namun kalian
berusaha sesuai kemampuan kalian untuk membantu mujahidin. Maka kedudukan
kalian mendekati kedudukan mata-mata bagi mujahidin. Namun ketahuilah, sesungguhnya
kalian tidak mendapatkan pahala apapun atas bantuan kalian, karena kesyirikan
itu menghapuskan seluruh amalan.”
Demikianlah pertanyaan
atas persoalan yang membuat saya kebingungan. Masalah ini adalah masalah yang
sangat rawan. Salah seorang di antara kami tidak tahu barangkali setan bisa
saja mendatanginya dari satu cara tertentu lalu membuatnya terkena fitnah
(godaan besar) dalam diennya sehingga ia menjadi kafir. Naudzu billah…
Sungguh bani Israil
pada masa nabi Musa AS telah mengambil patung anak sapi sebagai sesembahan
padahal saat itu mereka adalah bangsa yang paling mulia. Jika hal itu terjadi
pada sebuah kaum yang di tengah mereka terdapat nabi Musa dan Harun AS…jika hal
itu terjadi pada sebuah kaum yang menjadi saksi hidup bagaimana Allah membinasakan
Fir’aun dan bala tentaranya…bagaimana salah seorang di antara kami tidak takut
jika terjatuh dalam kesyirikan?
Kami memohon kepada
Allah keselamatan dan keteguhan di atas tauhid.
Jazakumullah khairan
syaikh kami yang tercinta, semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepada Anda dan
menolong agama ini dengan perantaraan Anda.
Sampaikanlah salam kami
kepada semua ikhwah yang bersama dengan Anda.
Shalawat dan salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarganya, dan
segenap sahabatnya.
Murid
Anda
Abu Imran dari Kaukasus
Abu Imran dari Kaukasus
Jawaban
syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
Bismillah
wal hamdu lillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah…wa ba’du
Saudara kami yang
tercinta, asy-syaikh al-mujahid Abu Imran, semoga Allah menjaganya, memberinya
kelurusan, dan menolong agama-Nya dengan perantaraannya. Kami berdoa kepada
Allah semoga memenangkan kalian atas kaum yang zhalim. Jazakallah khairan atas
surat dan pertanyaan Anda kepada kami. Alhamdu lillah, saya dan keluarga dalam
keadaan baik, berkat karunia Allah. Kami berharap semoga Allah mengaruniakan
kepada kami kemampuan untuk bergabung dengan saudara-saudara kami di
medan-medan jihad agar kami mampu merasakan kemuliaan keluar dari kekuasaan
orang-orang kafir dan kemuliaan memperjuangkan agama ini dengan senjata.
Kemudian jazakallah khairan atas kepercayaan Anda kepada kami dan permintaan
fatwa kepada kami. Kami memohon kepada Allah semoga melimpahkan petunjuk dan
ketepatan kepada kami.
Saudaraku yang
tercinta…menilik pertanyaan dan uraian rinci Anda, saya melihat Anda adalah
orang yang menguasai betul persoalan itu dan merincinya dengan rincian seorang
yang memiliki kedalaman ilmu dan kemantapan di atas jalan yang ia tempuh,
sebuah jalan yang jelas dan sungguh-sungguh, ia dan orang-orang yang
mengikutinya berdakwah dan berjihad di atas landasan ilmu yang mendalam, insya
Allah.
Hanya saja keadaan
kalian menurut dugaan saya, adalah seperti kebiasaan penduduk Kaukasus yaitu
mencintai para ulama, mengutamakan sikap kembali kepada ulama, dan mencari
berkah Allah dengan mengambil cahaya petunjuk dari pendapat para ulama. Dengan
kerendah hatian sikap kalian ini, saya yang hanya seorang penuntut ilmu junior
ini bak seorang ulama besar dan lautan ilmu yang tak pernah habis ditimba
ilmunya. Inilah dugaan saya berdasar pengetahuan lama saya melalui apa yang
anda tulis dan pilih. Selain itu, pertanyaan Anda yang rinci adalah uraian
rinci seorang yang telah mengetahui jawabannya dan mengerti betul jalan yang
harus ditempuh.
Bagaimanapun
keadaannya, saya berpendapat dalam kondisi jihad dan sedikitnya harta benda,
perbekalan, dan kemampuan mujahidin maka mujahidin boleh memilih manapun dari
dua pilihan tersebut, sekalipun mereka menyikapi orang-orang murtad seperti
sikap mereka kepada orang-orang kafir, selama mereka belum mampu memberlakukan
tuntunan syariat atas orang-orang murtad.
Saya berpendapat dalam
hal ini ada kelapangan pada saat kelemahan dan tidak adanya kemampuan. Demikian
pula dalam masalah mengambil harta dari mereka atau menukarkannya dengan
tawanan muslim dan lain sebagainya. Saya berpendapat semua hal tersebut ada
kelapangan bagi mujahidin selama mereka belum meraih kekuasaan.
Seandainya Anda kembali
kepada sirah sahabat dan para khalifah niscaya Anda akan menemukan kondisi
sebagaimana yang saya sebutkan ini. Pada zaman berkuasanya nabi palsu Aswad
Al-Ansi di Yaman, kaum muslimin di Yaman menampakkan taqiyah terhadapnya.
Mereka menyembunyikan permusuhan mereka terhadapnya dan diam-diam menyusun
rencana untuk melawannya, karena mereka dalam kondisi lemah, sampai akhirnya
mereka bisa membunuhnya.
Bahkan seringkali pada zaman khilafah, pada saat kaum
muslimin melemah kekuasaannya pada sebagian zaman, maka mereka melakukan mudarah (berlemah lembut agar tidak terkena bahaya–edt)
kepada orang-orang kafir dari beragam aliran keagamaan. Bahkan, sebagian sultan
dan khalifah kaum muslimin membayar sejumlah harta kepada kaum kafir, sesuatu
yang menyerupai jizyah, untuk mencegah keganasan orang-orang kafir tersebut
atas diri mereka dan kaum wanita mereka, pada masa-masa kelemahan yang dialami
oleh khilafah atau sebagian negara bagiannya.
Hal seperti ini jelas ditentang oleh jiwa seorang
muslim yang mulia. Namun ketika berbagai kerusakan (bahaya) terjadi, maka boleh
memilih tindakan tersebut untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Inilah
fiqih yang sebenarnya. Fiqih bukanlah mengetahui kerusakan (bahaya) dan
membedakannya dari maslahat (kebaikan) semata. Justru fiqih yang paling besar
adalah mampu menimbang mana yang lebih kuat di antara berbagai kerusakan dan
maslahat saat semuanya terjadi dan saling bertolak belakang. Hal itu dengan
cara mengkaji berbagai akibat dan konskuensi dari berbagai tindakan yang
dipilih. Inilah kelebihan dari ulul
abshar dan ulun nuha(orang-orang yang memiliki pengetahuan dan
kebijaksanaan yang luas).
Jangan lupa bahwa hal
itu memiliki landasan dalam sirah Nabi Muhammad SAW. Dalam perang Uhud saat
pasukan bangsa-bangsa Arab mengepung Madinah laksana cincin yang melingkari
jari dan saat hati manusia telah naik ke tenggorokan, Rasulullah SAW
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya untuk memberikan sepertiga hasil panen
kurma Madinah kepada sebagian pasukan kafir tersebut, dengan syarat mereka
pulang dan menghentikan pengepungan kota Madinah. Para sahabat memang menolak
usulan beliau SAW, namun usulan penawaran Nabi SAW kepada para shahabat
tersebut menunjukkan kebolehan tindakan itu dalam kondisi seperti itu.
Jangan lupa bahwa
tindakan itu beliau lakukan kepada kaum musyrik penyembah berhala yang hukumnya
tidak boleh mengambil jizyah dari mereka (menurut pendapat imam Abu Hanifah,
Syafi’i dan Ahmad. Adapun menurut pendapat imam Malik dan Al-Auza’I, jizyah
boleh diambil dari kaum musyrik –edt), apalagi memberikan harta yang serupa
dengan jizyah kepada mereka. Namun setiap keadaan memiliki pendapat tersendiri,
dan setiap fase memiliki kondisi tersendiri yang Allah mengangkat kesulitan
dari kaum muslimin pada fase tersebut…
Pilihan-pilihan sikap dalam kondisi berkuasa tentu
berbeda dengan pilihan-pilian sikap dalam kondisi kelemahan. Ini adalah
keluasan dari Allah untuk umat Islam, di mana Allah tidak menjadikan kesempitan
bagi mereka dalam agama ini. Oleh karena itu pendapat yang benar adalah
pendapat yang dicenderungi oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ditegaskan
oleh sebagian ulama tafsir bahwa ayat-ayat tentang memaafkan, menahan diri, dan
lainnya itu ditunda dan tidak dimansukh(dihapuskan) oleh ayat saif.
Maknanya, ayat-ayat tersebut dibatasi dalam kondisi
tidak memiliki kekuasaan, adapun saat memiliki kekuasaan maka yang didahulukan
adalah ayat saif. Setiap muslim hendaknya melihat
kondisi dirinya, tempat ia hidup, dan fase yang sedang dilaluinya; lalu
hendaklah ia memilih tindakan yang sesuai dalam hal yang telah Allah berikan
kelapangan sikap kepada umat Islam.
Inilah maksud dari
perkataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
((أَنَّ
الْأَمْرَ بِقِتَالِ
الطَّائِفَةِ الْبَاغِيَةِ مَشْرُوطٌ بِالْقُدْرَةِ
وَالْإِمْكَانِ. إذْ لَيْسَ قِتَالُهُمْ بِأَوْلَى مِنْ قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ وَالْكُفَّارِ وَمَعْلُومٌ أَنَّ ذَلِكَ مَشْرُوطٌ بِالْقُدْرَةِ
وَالْإِمْكَانِ فَقَدْ تَكُونُ الْمَصْلَحَةُ الْمَشْرُوعَةُ أَحْيَانًا هِيَ
التَّآلُفُ بِالْمَالِ وَالْمُسَالَمَةُ وَالْمُعَاهَدَةُ كَمَا فَعَلَهُ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَالْإِمَامُ إذَا اعْتَقَدَ
وُجُودَ الْقُدْرَةِ وَلَمْ تَكُنْ حَاصِلَةً كَانَ التَّرْكُ فِي نَفْسِ
الْأَمْرِ أَصْلَحَ ))
“Sesungguhnya perintah untuk memerangi kelompok
pemberontak itu disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kekuasaan. Karena
memerangi mereka tidaklah lebih utama dari memerangi kaum musyrik dan kaum
kafir. Sudah sama-sama diketahui bahwa memerangi kaum musyrik dan kaum kafir
disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kekuasaan. Terkadang maslahat yang
disyariatkan adalah melunakkan hati mereka dengan harta, membuat perjanjian
damai, dan mengadakan gencatan senjata sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW
tidak hanya sekali. Jika imam meyakini adanya kemampuan namun perang melawan
mereka tidak meraih kemaslahatan, maka membiarkan mereka adalah lebih membawa
maslahat.” (Majmu’ Fatawa, 4/442)
Dalam kitab ash-sharim al-mashlul, beliau membahas tentang kondisi
saat Islam lemah, bahwa Allah memberitahukan saat itu Rasulullah SAW dan kaum
muslimin mendengar banyak gangguan dari Ahlul kitab dan orang-orang musyrik. Ibnu Taimiyah mengatakan,
(( وأمرهم بالصبر والتقوى ثم إن ذلك نسخ عند القوة
بالأمر بقتالهم حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون والصاغر لا يفعل شيئا من الأذى
في الوجه ، ومن فعله فليس بصاغر ثم إن من الناس من يسمي ذلك نسخا لتغير الحكم
ومنهم من لا يسميه نسخا لأن الله تعالى أمرهم بالعفو والصفح إلى أن يأتي الله
بأمره وقد أتى الله بأمره من عز الإسلام وإظهاره والأمر بقتالهم حتى يعطوا الجزية
عن يد وهم صاغرون وهذا مثل قوله تعالى ” فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى
يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا”
وقال النبي صلى الله عليه وسلم ” قد جعل الله لهن سبيلا ” [مسلم] , فبعض الناس
يسمي ذلك نسخا وبعضهم لا يسميه نسخا والخلاف لفظي ، ومن الناس من يقول الأمر
بالصفح باق عند الحاجة إليه بضعف المسلم عن القتال بان يكون في وقت أو مكان لا
يتمكن منه وذلك لا يكون منسوخا إذ المنسوخ ما ارتفع في جميع الأزمنة المستقبلة
وبالجملة فلا خلاف أن النبي كان مفروضا عليه لما قوي أن يترك ما كان يعامل به أهل
الكتاب والمشركين ومظهري النفاق من العفو والصفح إلى قتالهم وإقامة الحدود عليهم
سمي نسخا أو لم يسم)).
Allah memerintahkan mereka untuk bersabar dan
bertakwa, kemudian hal itu dinaskh (dihapus dan diganti hukum
baru—edt) ketika kaum muslimin memiliki kekuatan dengan adanya perintah untuk
memerangi mereka sehingga mereka menyerahkan jizyah dalam keadaan hina. Orang
yang hina tidaklah mampu melakukan apapun akibat kehinaan pada wajahnya.
Barangsiapa mampu melakukan sesuatu maka ia bukanlah orang yang hina.
Sebagian ulama menyebut hal ini adalah naskh karena adanya perubahan hukum. Sebagian ulama
lainnya tidak menyebut hal itu sebagai naskh, karena Allah memerintahkan mereka untuk memaafkan
sampai datang keputusan Allah. Keputusan Allah telah datang berupa kejayaan dan
kemenangan Islam serta perintah untuk memerangi mereka sehingga mereka
menyerahkan jizyah dalam keadaan hina.
Hal ini seperti maksud firman Allah, “Dan (terhadap)
para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di
antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepada mereka.” (QS. An-Nisa’ (4): 15)
Nabi SAW bersabda, “Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka.” (HR. Muslim) Sebagian ulama
menyebut hal ini sebagai naskh. Sebagian ulama yang lain tidak
menyebutnya sebagainaskh. Perbedaan pendapat mereka hanyalah
perbedaan istilah belaka. Sebagian ulama berpendapat perintah untuk memaafkan
tetap berlaku manakala hal itu diperlukan sebagai akibat dari kelemahan kaum
muslimin untuk berperang dalam suatu waktu tertentu atau pada suatu daerah
tertentu yang tidak memungkinkan untuk berperang. Hal itu bukanlah mansukh, karenamansukh adalah apabila hukum tersebut
dihapus untuk seluruh masa waktu yang akan datang. Intinya, tidak ada perbedaan
pendapat bahwa ketika Nabi SAW dalam kondisi kuat maka beliau diperintahkan
untuk meninggalkan sikap memaafkan dan tidak membalas terhadap kaum ahlul kitab
dan musyrikin, berganti kepada sikap memerangi dan menegakkan hukum hudud atas
mereka, baik hal itu disebut naskh maupun bukan naskh.” (Ash-Sharim Al-Maslul ‘ala Syatim Ar-Rasul, 2/443-444)
Beliau juga menulis,
((فلما أتى الله بأمره الذي وعده من ظهور الدين وعز
المؤمنين أمر رسوله بالبراءة إلى المعاهدين وبقتال المشركين كافة وبقتال أهل
الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون فكان ذلك عاقبة الصبر والتقوى الذين أمر
الله بهما في أول الأمر وكان إذ ذاك لا يؤخذ من أحد من اليهود الذين بالمدينة ولا
غيرهم جزية وصارت تلك الآيات في حق كل مؤمن مستضعف لا يمكنه نصر الله ورسوله بيده
ولا بلسانه فينتصر بما يقدر عليه من القلب ونحوه وصارت أية الصغار على المعاهدين
في حق كل مؤمن قوي يقدر على نصر الله ورسوله بيده أو لسانه وبهذه الآية ونحوها كان
المسلمون يعملون في أخر عمر رسول الله وعلى عهد خلفائه الراشدين وكذلك هو إلى قيام
الساعة لا تزال طائفة من هذه الأمة قائمين على الحق ينصرون الله ورسوله النصر
التام.
فمن كان
من المؤمنين بأرض هو فيها مستضعف أو في وقت هو فيه مستضعف فليعمل بأية الصبر
والصفح عمن يؤذي الله ورسوله من الذين أوتوا الكتاب والمشركين.
وأما
أهل القوة فإنما يعملون بأية قتال أئمة الكفر الذين يطعنون في الدين وبأية قتال
الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون))
Ketika Allah telah
mendatangkan urusan yang Dia janjikan, yaitu kemenangan dien Islam dan kejayaan
kaum muslimin, maka Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk berlepas diri dari
orang-orang musyrik yang terlibat perjanjian damai dengan beliau, dan Allah
memerintahkan rasul-Nya untuk memerangi seluruh kaum musyrik dan memerangi
ahlul kitab sehingga mereka menyerakan jizyah dalam keadaan hina. Hal itu
adalah buah kesudahan dari kesabaran dan ketakwaan yang Allah perintahkan pada
masa awal dakwah. Pada masa awal tersebut, jizyah tidak diambil dari seorang
pun dari kalangan Yahudi di Madinah maupun golongan lainnya. Ayat-ayat tersebut
berlaku bagi setiap mukmin yang tertindas yang tidak mampu menolong Allah dan
Rasul-Nya dengan tangannya maupun lisannya. Maka ia harus menolong dengan apa
yang ia mampu, yaitu amalan hati dan yang semisal dengannya.
Adapun ayat mengambil
jizyah dari ahlul kitab dalam keadaan mereka hina (yaitu ahlu kitab yang
terlibat kesepakatan damai-edt) berlaku untuk setiap mukmin yang kuat yang
mampu menolong Allah dan Rasul-Nya dengan tangannya atau lisannya. Dengan ayat
ini dan ayat-ayat yang semisalnya, kaum muslimin beramal pada masa akhir
kehidupan Rasulullah dan masa khulafa’ rasyidin. Demikian pula hal itu berlaku
sampai hari kiamat (bagi kaum mukmin yang kuat), karena akan senantiasa ada
sekelompok umat ini yang menegakkan kebenaran, menolong Allah dan Rasul-Nya
dengan pertolongan yang sempurna.
Oleh
karena itu, barangsiapa di antara kaum mukmin dalam keadaan tertindas di sebuah
daerah tertentu atau berada dalam keadaan lemah dalam suatu masa tertentu, maka
hendaklah ia mengamalkan ayat bersabar dan tidak membalas terhadap orang-orang
ahlul kitab dan kaum musyrik yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
Adapun
orang-orang yang memiliki kekuatan maka harus mengamalkan ayat memerangi para
gembong kekafiran yang mencerca agama dan mereka harus mengamalkan ayat
memerangi ahlul kitab sehingga mereka menyerahkan jizyah dalam keadaan hina.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, 2/412-414)
Para ulama berbeda
pendapat tentang status orang-orang Rusia yang Anda tanyakan tersebut, apakah
mereka dihukumi orang-orang kafir asli ataukah orang-orang murtad. Saya sendiri
berpendapat perbedaan tersebut pada saat ini tidak banyak faedahnya sehingga
kita tidak perlu memeras tenaga untuk memutuskannya, karena pada saat ini belum
memiliki kemampuan untuk menerapkan hukum syariat atas orang-orang murtad.
Fatwa syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah tentang pasukan Tartar menunjukkan bahwa kondisi banyak prajurit
Tartar menyerupai kondisi tentara Rusia yang ditanyakan di atas. Sebagian
prajurit Tartar juga menyerupai kondisi kaum munafik. Meski begitu, Anda akan
mendapati sikap dan fatwa-fatwa syaikhul Islam terhadap pasukan Tartar
berbeda-beda sesuai kondisi dan kemampuan kaum muslimin pada zamannya.
Terkadang pada zaman
tersebut, beliau dan kaum muslimin memerangi pasukan Tartar. Terkadang mereka
tidak memerangi pasukan Tartar karena tidak adanya kemampuan. Terkadang beliau
menemui raja-raja Tartar, berdialog dengan mereka, atau menasehati mereka, dan
lain sebagainya.
Padahal jika Anda
mencermati uraian rinci beliau tentang kondisi pasukan Tartar dalam fatwa
beliau tentang hukum memerangi pasukan Tartar, niscaya Anda akan melihat beliau
mengklasifikasikan kondisi dan golongan mereka ke dalam beberapa kelompok.
Beliau mengatakan:
فَهَؤُلَاءِ الْقَوْمُ الْمَسْئُولُ عَنْهُمْ عَسْكَرُهُمْ مُشْتَمِلٌ عَلَى
قَوْمٍ كُفَّارٍ مِنْ النَّصَارَى وَالْمُشْرِكِينَ وَعَلَى قَوْمٍ مُنْتَسِبِينَ إلَى الْإِسْلَامِ – وَهُمْ
جُمْهُورُ الْعَسْكَرِ – يَنْطِقُونَ بِالشَّهَادَتَيْنِ إذَا طُلِبَتْ مِنْهُمْ
وَيُعَظِّمُونَ الرَّسُولَ وَلَيْسَ فِيهِمْ مَنْ يُصَلِّي إلَّا قَلِيلًا جِدًّا
وَصَوْمُ رَمَضَانَ أَكْثَرُ فِيهِمْ مِنْ الصَّلَاةِ وَالْمُسْلِمُ عِنْدَهُمْ
أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ وَلِلصَّالِحِينَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ عِنْدَهُمْ قَدْرٌ
وَعِنْدَهُمْ مِنْ الْإِسْلَامِ بَعْضُهُ وَهُمْ مُتَفَاوِتُونَ فِيهِ ; لَكِنَّ
الَّذِي عَلَيْهِ عَامَّتُهُمْ وَاَلَّذِي يُقَاتَلُونَ عَلَيْهِ مُتَضَمِّنٌ
لِتَرْكِ كَثِيرٍ مِنْ شَرَائِعِ الْإِسْلَامِ أَوْ أَكْثَرِهَا ; فَإِنَّهُمْ
أَوَّلًا يُوجِبُونَ الْإِسْلَامَ وَلَا يُقَاتِلُونَ مَنْ تَرَكَهُ ; بَلْ مَنْ
قَاتَلَ عَلَى دَوْلَةِ
الْمَغُولِعَظَّمُوهُ وَتَرَكُوهُ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا عَدُوًّا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
وَكُلُّ مَنْ خَرَجَ عَنْ دَوْلَةِ
الْمَغُولِ أَوْ عَلَيْهَا اسْتَحَلُّوا قِتَالَهُ وَإِنْ كَانَ
مِنْ خِيَارِ الْمُسْلِمِينَ . فَلَا يُجَاهِدُونَ الْكُفَّارَ وَلَا
يُلْزِمُونَ أَهْلَ
الْكِتَابِ بِالْجِزْيَةِ وَالصَّغَارِ وَلَا يَنْهَوْنَ أَحَدًا
مِنْ عَسْكَرِهِمْ أَنْ يَعْبُدَ مَا شَاءَ مِنْ شَمْسٍ أَوْ قَمَرٍ أَوْ غَيْرِ
ذَلِكَ …
وَكَذَلِكَ أَيْضًا عَامَّتُهُمْ لَا يُحَرِّمُونَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ
وَأَمْوَالَهُمْ ; إلَّا أَنْ يَنْهَاهُمْ عَنْهَا سُلْطَانُهُمْ أَيْ لَا
يَلْتَزِمُونَ تَرْكَهَا وَإِذَا نَهَاهُمْ عَنْهَا أَوْ عَنْ غَيْرِهَا
أَطَاعُوهُ لِكَوْنِهِ سُلْطَانًا لَا بِمُجَرَّدِ الدِّينِ . وَعَامَّتُهُمْ لَا
يَلْتَزِمُونَ أَدَاءَ الْوَاجِبَاتِ ; لَا مِنْ الصَّلَاةِ وَلَا مِنْ الزَّكَاةِ
وَلَا مِنْ الْحَجِّ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ . وَلَا يَلْتَزِمُونَ الْحُكْمَ
بَيْنَهُمْ بِحُكْمِ اللَّهِ ; بَلْ يَحْكُمُونَ بِأَوْضَاعِ لَهُمْ تُوَافِقُ
الْإِسْلَامَ تَارَةً وَتُخَالِفُهُ أُخْرَى .
“Kaum yang ditanyakan hukumnya
ini, sesungguhnya pasukan mereka terdiri dari kaum kafir dari kalangan Nasrani
dan kaum musyrikin, dan kaum yang mengaku beragama Islam —dan mereka adalah
mayoritas anggota pasukan—. Mayoritas mereka mengucapkan dua kalimat syahadat
jika engkau meminta mereka untuk mengucapkannya. Mereka mengagungkan Rasul. Di
antara mereka hanya sedikit saja orang yang menunaikan shalat. Orang yang
melakukan shaum Ramadhan di antara mereka lebih banyak daripada orang yang
melakukan shalat. Menurut keyakinan mereka, seorang muslim lebih mulia dari
selain muslim. Orang-orang shalih dari kalangan kaum muslimin memiliki kedudukan
mulia dalam pandangan mereka. Mereka melaksanakan sebagian ajaran Islam. Dalam
hal ini, ketaatan mereka (kepada ajaran Islam) berbeda-beda.
Namun kondisi mayoritas
mereka dan orang-orang yang berperang di antara mereka adalah meninggalkan
banyak syariat Islam atau bahkan kebanyakan syariat Islam. Pertama, mereka
mewajibkan Islam namun mereka tidak memerangi orang-orang yang enggan masuk
Islam. Justru mereka mengagungkan dan tidak mengusik orang yang berperang di
pihak kerajaan Mongol, meskipun ia adalah seorang yang kafir, musuh Allah dan
Rasul-Nya. Sebaliknya, siapapun yang keluar dari ketaatan kepada kerajaan
Mongol atau memerangi kerajaan Mongol, niscaya mereka perangi sekalipun ia
termasuk kaum muslimin yang paling baik.
Mereka tidak berjihad
melawan kaum kafir, tidak mewajibkan ahul kitab untuk membayar jizyah dalam
keadaan hina, dan tidak melarang siapa pun anggota pasukannya untuk menyembah
sesembahan apapun yang ia inginkan, baik matahari, bulan, dan lain sebagainya…
Demikian pula mayoritas mereka tidak menganggap haram
merampas nyawa dan harta kaum muslimin, selama raja mereka tidak melarangnya.
Artinya, mereka tidak menetapi kewajiban-kewajiban agama Islam. Mereka tidak
memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum Allah. Mereka justru memutuskan
perkara dengan hukum (adat istiadat) mereka sendiri, yang terkadang sesuai
dengan hukum Islam dan terkadang menyelisihi hukum Islam.” (Majmu’ Fatawa, 28/505-506)
Berdasar penjelasan di atas, saya nasehatkan kepada
Anda untuk menyikapi masing-masing kelompok yang disebutkan dalam pertanyaan
Anda di atas dengan siyasah
syar’iyah nabawiyahsesuai
fase yang sedang kalian lalui, dan sesuai dengan kondisi mujahidin, tingkat
kemampuan dan kebutuhan mereka. Karena sesungguhnya Nabi SAW tidak memerangi
seluruh musuh (kaum musyrik, kaum Yahudi, kaum Nashrani, dan lain-lain—edt)
dalam sekali waktu. Beliau memerangi musuh yang paling besar bahayanya dan pada
saat yang sama beliau menunda memerangi dan berbenturan dengan banyak kelompok
kafir yang lain. Beliau tidak memancing seluruh kaum kafir untuk mengusik
Madinah dan kaum muslimin dalam waktu yang bersamaan. Beliau mengikat
perjanjian damai dengan sebagian musuh, melakukan gencatan senjata dengan
sebagian musuh, dan mengikat persekutuan dengan kelompok musuh yang lain.
Hal itu sebagaimana
yang beliau lakukan kepada kaum Yahudi saat beliau pertama kali tiba di
Madinah. Beliau mengikat persekutuan dengan mereka agar mereka menolong kaum
muslimin dan tidak mengkhianati kaum muslimin. Ketika satu dari tiga kelompok Yahudi
tersebut membatalkan perjanjian persekutuan secara sepihak, maka beliau
menghukum kelompok Yahudi tersebut dan membiarkan dua kelompok Yahudi lainnya
sesuai isi perjanjian persekutuan, sampai akhirnya masing-masing kelompok
Yahudi mencederai perjanjian persekutuan.
Demikian pula, beliau
pada awalnya tidak menghiraukan gangguan mayoritas kaum munafik karena
memerangi mereka pada masa tersebut akan menimbulkan kerusakan (kekacauan dan
bahaya) yang besar, akibat kelompok kaum muslimin yang baru masuk Islam akan
terpecah belah dan orang-orang akan ramai mengatakan bahwa Muhammad membunuh
sahabat-sahabatnya sendiri. Hal itu tentu saja akan menghalangi manusia dari
memeluk Islam.
Demikian pula keadaan
kaum muslimin di Habasyah. Meskipun mereka menampakkan akidah mereka, namun
mereka adalah kaum muhajirin yang hidup lemah di tengah kaum kafir. Mereka
tidak terkena kewajiban memerangi kaum kafir tersebut meskipun pada saat yang
sama saudara-saudara mereka, kaum muslimin di Madinah, berperang melawan
orang-orang musyrik. Bagaimana mungkin kaum muslimin Muhajirin di Habasyah
memerangi penduduk kafir Habasyah, sedangkan mereka adalah penduduk pribumi
yang menampung kaum muslimin, membantu mereka, dan menolong mereka dari
orang-orang (kafir Quraisy) yang menzhalimi mereka? Mereka melakukan pembelaan
kepada kaum muslimin muhajirin atas perintah raja mereka yang masuk Islam.
Banyak sekali dalil
yang menunjukkan bahwa tidak masalah jika Anda mengambil manfaat dari berbagai
bantuan yang diberikan oleh kelompok-kelompok dalam pasukan Rusia dalam
pertanyaan Anda di atas, dalam kondisi mujahidin belum mendapatkan kekuasaan
saat ini selama kalian menampakkan akidah dan dien kalian. Hal itu sebagaimana
Nabi SAW mengambil manfaat dari sikap pamannya (Abu Thalib) yang memberikan
perlindungan dan pembelaan, padahal pamannya masih bertahan di atas kesyirikan
dan penyembahan berhala.
Bahkan hingga apabila
sebagian kalian terpaksa harus menyembunyikan agama dan akidahnya dalam
sebagian kondisi dan tidak menampakkan permusuhannya kepada orang-orang kafir
demi maslahat jihad atau disebabkan oleh ketertindasan dalam sebagian fase dan
kondisi, maka hal ini pun tidak mengapa dan tidak bertolak belakang dengan
millah Ibrahim selama ia dalam keadaan tertindas atau selama ia mendapatkan tugas
itu dari saudara-saudaranya, kaum mujahidin, sementara kaum mujahidin tersebut
menampakkan pokok ajaran Islam dan melaksanakan fardhu kifayah ini, yaitu
mengumumkan millah Ibrahim yang agung ini.
Demikianlah keadaan
sebagian sahabat Nabi SAW di Makkah. Sebagian mereka menampakkan keislamannya
dan permusuhannya kepada kaum musyrik seperti yang dilakukan oleh Nabi SAW.
Sebagian lainnya menyembunyikannya karena dalam posisi lemah tertindas dan
tidak mampu. Sebagian lainnya menyembunyikannya atas dasar perintah Nabi SAW
sebagaimana disebutkan dalam hadits Amru bin ‘Abasah (riwayat Muslim—edt).
Bahkan, sebagian lainnya menyembunyikannya saat berada di Madinah sebagaimana
kisah Nu’aim bin Mas’ud selama kondisi perang Ahzab di saat bangsa-bangsa
musyrik Arab bersekongkol untuk menghancurkan kaum muslimin dan negara mereka.
Kesimpulannya, mujahidin memiliki keleluasan
ijtihad untuk memilih siyasah
syar’iyah nabawiyahyang
mereka pandang sesuai dengan kondisi mereka dan fase jihad yang sedang mereka
lalui. Di antara kasih sayang Allah kepada kita adalah Allah membuka pintu yang
luas kepada kita dalam masalah ini. Maka Rasulullah SAW dan para sahabat
generasi pertama Islam berjalan bersama beliau dalam bermacam-macam fase dan
beragam kondisi. Mereka memulai dalam keadaan asing sebagaimana kini kita
berada dalam keterasingan, sampai Allah memberikan kekuasaan dan kejayaan
kepada mereka. Kita memiliki uswah hasanah pada diri mereka. Keluasan sikap
yang dikaruniakan kepada mereka dalam keadaan mereka tertindas dan mereka berjaya,
juga berlaku untuk kita. Wallahu
ta’ala a’lam.
Saya wasiatkan kepada Anda untuk menyampaikan salam
kami kepada seluruh saudara tercinta yang bersama Anda, dan semoga mereka
mendoakan agar kami senantiasa dikaruniai keteguhan,husnul khatimah, dan kemampuan untuk terjun ke
kancah-kancah jihad serta mengakhiri hidup kami dengan mati syahid di
jalan-Nya.
Shalawat dan salam
semoga senantiasa Allah limpahkan kepada nabi Muhammad, keluarganya, dan
seluruh shahabatnya.
Saudara Anda, pelayan mujahidin
Abu Muhammad Al-Maqdisi
Abu Muhammad Al-Maqdisi
Akhir Rabi’ul Awwal
1431 H / 26 Maret 2010 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar