Pendahuluan:
Penggantian
Syariat Yang Pertama Kali Dilakukan Oleh Orang-orang Yang Mengaku Islam.
Telah
dapat dipahami dari Sababun Nuzuul (peristiwa yang menjadi penyebab
turunnya ayat):
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang
diturunkan Alloh, maka mereka adalah orang-orang kafir”.
Bahwa orang-orang Yahudi
berpaling dari hukum Alloh SWT yang berupa rajam bagi orang muhshon yang
berzina dan mereka membuat hukum pengganti hukum tersebut. Lalu hukum pengganti
tersebut menjadi undang-undang yang diberlakukan di kalangan mereka.
Adapun
di kalangan orang-orang yang mengaku Islam sesungguhnya yang pertama kali
melakukannya adalah Tartar pada akhir abad ke tujuh hijriyah, sebagaimana yang
dikatakan oleh Syaikh Ahmad Syaakir rh: ”Dengan demikian bolehkah dalam
syariat Alloh, umat Islam menjalankan hukum di negeri mereka dengan hukum yang
diambil dari undang-undang orang Eropa para penyembah berhala yang atheis? ---
sampai --- sesungguhnya bencana ini belum pernah menimpa umat Islam sekalipun
--- sejauh yang kami ketahui dalam sejarah --- kecuali pada jaman Tartar. Dan
masa itu adalah seburuk-buruk masa kedholiman dan kegelapan”. (‘Umdatut
Tafsiir IV/173). Dan apa yang dikatakan itu memang benar.
Adapun
masuknya Tartar ke dalam Islam itu terjadi setelah mereka menguasai Baghdad di
bawah pimpinan Hulako pada tahun 656 H yang mana mereka sebelumnya
adalah watsaniyyiin (penyembah berhala). Dan yang pertama kali masuk Islam
diantara mereka adalah Sultan Ahmad Hulako pada tahun 680 H. Lihat buku
“Watsaa-iq Al Huruub Ash Sholiibiyyah Wal Ghozwil Maghuuliy, Dr.
Muhammad Maahir Hamaadah, hal. 80, cet. Mu-assasah Ar Risaalah 1986 M. Dan
pengakuan Islam mereka ini nampak dari pertanyaan-pertanyan tentang mereka yang
diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rh di dalam salah satu
pertanyaan itu disebutkan: “Apa yang dikatakan oleh para fuqoha’ para imam
dalam Islam (a’immatud diin) tentang orang-orang Tartar yang datang pada tahun
699, dan yang membunuh kaum muslimin sebagaimana yang telah masyhur --- sampai
--- namun demikian mereka mengaku berpegang teguh dengan dua kalimat syahadat,
dan mereka mengaku haram memerangi
mereka yang memerangi karena mereka mengaku mengikuti pokok-pokok Islam”
(Majmuu’ Fataawaa XXVIII/501-502). Dan dalam pertanyaan yang lain
disebutkan: ”Apakah yang dikatakan oleh para pemimpin dan para ulama’…tentang
Tartar yang datang ke Syam berulang kali, mereka mengucapkan dua kalimat
syahadat, dan mereka mengaku Islam dan mereka tidak lagi kafir sebagaimana sebelumnya”
(Majmuu’ Fataawaa XXVIII/509). Inilah yang menunjukkan bahwa mereka
mengaku Islam.
Sedangkan
berhukumnya mereka dengan selain apa yang diturunkan Alloh meskipun mereka
mengaku Islam adalah: sebagaimana yang dapat dipahami dari perkataan Ibnu
Taimiyyah ketika menerangkan kondisi Tartar dalam fatwanya tentang mereka:
”Dan mereka tidak iltizam dengan (menjalankan) hukum Alloh di kalangan mereka,
namun mereka menjalankan hukum buatan mereka yang sebagian sesuai dengan Islam
dan sebagian bertentangan.” (Majmuu’ Fataawaa XXVIII/505). Dan Ibnu
Katsiir berkata: ”Dan sebagaimana yang dijadikan hukum oleh Tartar yang
berupa peraturan kerajaan yang diambil dari raja mereka Jengkis Khan
yang membuat Ilyasiq untuk merek, yaitu sebuah kitab yang berisi kumpulan hukum
yang mereka ambil dari berbagai syariat, dari Yahudi, Nasrani, Islam dan yang
lainnya. Dan di dalamnya juga banyak hukum yang dia buat dengan akal dan hawa
nafsunya. Lalu peraturan itu di kalangan mereka menjadi sebuah peraturan yang
berlaku yang lebih mereka utamakan daripada berhukum dengan Kitaabullah
dan Sunnah RosulNya SAW. Maka barangsiapa yang melakukan seperti itu harus
diperangi sampai dia kembali kepada hukum Alloh dan RosulNya, dan tidak
memutuskan perkara dengan selainnya baik sedikit maupun banyak” (Tafsir Ibnu
Katsiir II/67). Dan Jengkis Khan adalah kakeknya Hulako yang
menguasai Baghdad.
Wa
ba’du: Inilah kejadian pertama kali yang dikenal dalam sejarah kaum
muslimin, yaitu sekelompok orang yang mengaku Islam namun mereka menjalankan
hukum selain syariat Islam. Maka ini adalah merupakan naazilah
(peristiwa insidental) yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun demikian Ibnu
Taimiyyah dan Ibnu Katsiir telah mengeluarkan fatwa tentangnya dan
keduanya menyatakan ijma’ atas kafirnya orang yang melakukan seperti itu:
1. Adapun fatwa
Ibnu Taimiyyah; adalah terdapat dalam perkataannya --- dalam fatwanya
tentang Tartar ---.
Ia berkata: ”Dan telah diketahui secara
pasti dalam diin Islam dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin bahwasanya
barangsiapa memperbolehkan mengikuti selain diinul Islam, atau mengikuti
syariat selain syariat Muhammad SAW, maka dia kafir sebagaimana kafirnya orang
yang beriman dengan sebagian kitab dan kafir dengan sebagian yang lain.
Sebagaimana firman Alloh:
إِنَّ
الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُوا بَيْنَ
اللهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ
وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً أُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir terhadap Alloh dan para RosulNya, dan hendak membedakan
antara Alloh dan para RosulNya, dan mereka mengatakan : kami beriman kepad
sebagian dan kami kufur kepada sebagian yang lain, dan mereka hendak mengambil
jalan diantara itu. Mereka adalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya dan
kami telah siapkan bagi orang-orang kafir siksaan yang menghinakan”. (QS.
An-Nisaa’:150-151).
(Majmuu’ Fataawaa : XXVIII/ 524).
Dan ditempat lain dalam
Majmuu’ Fataawaanya, Syaikhul Islam menyatakan ijma’ atas kafirnya orang
yang memutuskan perkara dengan syari’at yang didalamnya mengandung penghalalan
yang haram atau pengharaman yang halal atau pengguguran perintah-perintah dan
larangan syar’iy. Dan semua ciri yang ia sebutkan ini sesuai dengan keadaan
undang-undang pada masa sekarang. Diantaranya adalah perkataannya yang
berbunyi: “Dan kapan saja manusia itu menghalalkan yang haram --- yang telah
disepakati --- atau mengharamkan yang halal --- yang telah disepakati --- atau
mengganti syari’at --- yang telah disepakati --- maka dia kafir bedasarkan
kesepakatan para fuqoha’.” (Majmuu’ Fataawaa III/ 267). Dan ia juga
mengatakan : “Dan telah dimaklumi bahwa barangsiapa menggugurkan perintah dan
larangan yang Alloh sampaikan melalui para Rasul-Nya maka dia kafir berdasarkan
kesepakatan kaum Muslimin, Yahudi dan Nashrani. (Majmuu’ Fataawaa
XIII/106) Ibnu Taimiyyah juga mempunyai perkataan-perkataan yang lain
akan kami nukil pada masalah berikutnya insya Alloh SWT.
2. Sedangkan
fatwa Ibnu Katsiir yang menyebutkan ijma’ atas kafirnya orang yang
memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Alloh.
Yaitu perkataannya yang berbunyi: “Maka
barangsiapa yang meninggalkan syari’at
yang jelas yang diturunkan kapada Muhammad bin ‘Abdillah, penutup
para Nabi dan berhukum kepada syari’at yang lain yang telah mansukh, ia telah
kafir. Lalu bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih
mengutamakannya dari pada syari’at tersebut ? Barangsiapa yang melakukannya dia
kafir berdasarkan ijma’ kaum Muslimin. Alloh berfirman :
أفحكم الجاهلية
يبغون ومن أحسن من الله دينا لقوم يوقنون
“Apakah hukum jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada Alloh bagi
kaum yang yakin ?”
Dan Alloh
berfirman :
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ
حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Robb mu mereka
tidaklah beriman sampai mereka memutuskan yang mereka perselisihkan kepadamu
kemudian mereka tidak dapatkan keberatan dalam dada mereka terhadap apa yang
kamu putuskan dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.”
Maka Maha
Benar Alloh Yang Maha Agung.” (Al Bidaayah Wan Nihaayah XIII/ 119)
dicantumkan dalam peristiwa tahun 624 H, ketika menerangkan biografi Jengkis
Khan).
Demikianlah, dan didepan --- ketika
mengkritisi buku Ar Risaalah Al Liimaaniyyah pada akhir pembahasan I’tiqood
(aqidah) --- telah dibahas kedudukan ijma’ sebagai hujjah, yaitu jika dari segi
periwayatannya shohih dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya maka ia
menjadi hujjah yang harus diikuti dan tidak boleh menasakhnya atau merubahnya.
(lihat Irsyaadul Fuhuul, karangan Asy Syaukaaniy hal. 67-85, dan Syarhuut
Talwiih ‘Alat Tanqiih karangan At Taftaazaaniy II/ 51). Atas dasar
ini maka ijma’ atas kafirnya orang yang memutuskan perkara dengan selain apa
yang diturunkan Alloh --- yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Katsiir --- adalah hujjah bagi kita yang harus kita ikuti, dan merupakan
satu dalil tersendiri yang kita jadikan landasan dalam berfatwa atas kafirnya
para penguasa yang menjalankan hukum positif. Dan ijma’ atas hukum masalah ini
pada masa Ibnu Taimiyyah (728 H) dan Ibnu Katsiir (774 H) karena
peristiwa ini terjadi pada masa keduanya dan belum pernah terjadi sebelumnya
dalam sejarah. Hal ini seperti masalah kholqul qur-aan (pendapat yang
mengatakan bahwa Qur’an itu makhluq) yang terjadi pada masa Ahmad bin Hambal,
maka ijma’ Ahlus Sunnah tentang hukumnya pun terjadi (yaitu bahwa Al Qur’an
Alloh itu kalaamullah, bukan makhluq dan bahwa barangsiapa mengatakan Al Qur’an
itu makhluq maka dia kafir). Dan hukum semacam ini tidak pernah diriwayatkan
dari seorangpun dari sahabat karena masalah ini belum pernah terjadi pada masa
hidup mereka. Sehingga tidak pernah diriwayatkan seorangpun dari sahabat yang
mengatakan tentang masalah ini. Hal ini mengingatkan bahwa setiap permasalahan
yang baru itu fatwanya diambil dari pada ulama’ yang semasa dengan peristiwa
tersebut.
Peringatan Tentang Perbedaan
Penting Antara Tartar Dan Para Penguasa Hari Ini
Sebagian
orang yang membela para penguasa thoghut itu menyangka bahwasanya tidak ada
alasan yang tepat untuk menggunakan fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Katsiir tentang Tartar terhadap para penguasa pada hari ini, karena Tartar
adalah watsaniyyun (penyembah berhala). Dan ini adalah salah, dari penjelasan
di atas anda dapat memahami bahwa Tartar telah masuk Islam akan tetapi tetap
tidak menjalankan hukum dengan syariat Islam. Ciri-ciri semacam ini sama dengan
keadaan para penguasa pada hari ini, oleh karena itu hukum mereka sama, karena
keadaan mereka sama.
Dan
yang benar adalah sesungguhnya para penguasa hari ini lebih kafir dan lebih
sesat daripada Tartar. Karena meskipun Tartar mengusai banyak negeri kaum
muslimin seperti Khurosan, Irak dan Syam beberapa saat namun mereka tidak
memaksa negeri-negeri tersebut untuk menggunakan hukum buatan mereka (Ilyasiq)
akan tetapi mereka hanya berhukum dengannya di kalangan mereka sedangkan hukum
yang berlaku di kalangan kaum muslimin tetap sesuai dengan syariat Islam.
Adapun para penguasa hari ini, mereka mewajibkan kaum muslimin untuk
menjalankan hukum kafir tersebut.
Adapun
yang menerangkan bahwa hukum Ilyasiq itu berlaku hanya terbatas pada kelompok
Tartar dan tidak meluas ke seluruh kaum muslimin adalah perkataaan Ibnu
Taimiyyah rh. yang berbunyi: ”Dan mereka tidak menjalankan hukum di
kalangan mereka dengan hukum Alloh.” (Majmuu’ Fataawaa XXVIII/505). Dan
perkataan Ibnu Katsiir yang berbunyi: ”Dan sebagaimana yang dijadikan hukum
oleh Tartar yan berupa peraturan kerajaan yang diambil dari raja mereka Jengkis
Khan yang membuat Ilyasiq untuk mereka --- sampai perkataannya --- lalu
peraturan itu di kalangan mereka menjadi sebuah peraturan yang berlaku.” (Tafsiir
Ibnu Katsiir II/67). Perkataan Ibnu Taimiyyah yang berbunyi:”…
menjalankan hukum di kalangan mereka … dan perkataan Ibnu Katsiir yang
berbunyi:”… lalu peraturan itu di kalangan mereka menjadi … “ menunjukkan bahwa
hukum Ilyasiq itu hanya berlaku dalam kelompok Tartar saja dan tidak mereka
wajibkan terhadap kaum muslimin di negeri-negeri yang mereka kuasai. Dan hal
ini telah diingatkan oleh Ahmad Syaakir dalam perkataannya yang
berbunyi:”Tidakkah kalian melihat ciri-ciri yang menonjol yang disebutkan oleh
Al-Hafidz Ibnu Katsiir --- pada abad kedelapan --- terhadap
undang-undang buatan tersebut yang dibuat oleh musuh Islam “Jengkis Khan”?
Tidakkah kalian melihatnya menyebutkan kondisi kaum muslimin pada hari ini,
yaitu pada abad keempat belas? Kecuali hanya satu perbedaannya sebagaimana yang
telah kami singgung tadi yaitu: bahwasanya dahulu hanya berlaku pada kalangan
penguasa yang terjadi dalam tempo yang singkat lalu tersebar di kalangan umat
Islam kemudian tidak berbekas apa yang mereka lakukan. Namun kaum muslimin pada
hari ini kondisinya lebih buruk dan lebih dholim dan lebih gelap daripada
mereka, karena hampir mayoritas umat Islam sekarang terjerumus dalam
Undang-undang yang menyelisihi syariat Islam yang sangat mirip dengan “Ilyasiq”
itu”. (‘Umdatut Tafsiir IV/173-174).
Adapun
yang menunjukkan bahwa hukum yang berjalan di kalangan kaum muslimin itu sesuai
dengan hukum Islam adalah surat Sultan Tartar Gozan kepada wakilnya Saifud
Diin Qobjek tentang hukum yang diberlakukan di Syam, yaitu sebuah surat
yang dibacakan di mimbar-mimbar Damaskus pada th. 699 H. --- Yaitu pada tahun
dimana Ibnu Taimiyyah mengeluarkan fatwa mengenai mereka sebagaimana
yang baru saja saya sebutkan --- Dalam surat tersebut Gozan mengatakan: ”Dan Maalikul
Umaroo’ (pemimpin para gubernur) Saifud Diin hendaknya bertaqwa
kepada Alloh dalam hukum-hukumNya dan hendaknya takut kepadaNya dalam
menggugurkan dan menetapkannya, dan hendaknya memuliakan syariat dan
orang-orang yang memutuskan perkara dengannya, dan hendaknya melaksanakan
keputusan setiap qodli (hakim) sesuai dengan pendapat imamnya, dan hendaknya
duduk dengan bersandarkan keadilan, dan hendaknya mengambil hak orang bawahan
dari para atasan, dan hendaknya melaksanakan hukum huduud dan qishosh terhadap
semua orang yang berhak mendapatkannya, dan hendaknya tidak berdholim kepada
orang-orang yang didholimi”. (Dinukil dari “Watsaa-iqul Huruub Ash
Sholiibiyyah Wal Ghozwil Maghuliy”, karangan DR. Muhammad Maahir
Hamaadah, hal. 403-406, cet. Mu-assasah Ar Risaalah 1986 M). Dan dalam
menggambarkan kondisi negeri-negeri tersebut setelah dikuasai Tartar, Shiddiiq
Hasan Khoon mengatakan: ”Adapun di negera-negara yang dikuasai oleh para
pengusa kafir maka diperbolehkan juga untuk mengadakan sholat Jum’at dan dua
hari raya dan seorang qodliy memutuskan perkara atas dasar kerelaan kaum
muslimin karena telah ditetapkan bahwasanya selama masih tersisa ‘illah
(penyebab munculnya hukum) nya masih ada hukum. Dan telah kami tetapkan tanpa
ada perselisihan bahwasanya negara-negara tersebut sebelum dikuasai Tartar
adalah negara-negara Islam. Dan setelah dikuasai Tartar, kumandang adzan,
sholat Jum’at, sholat-sholat jama’ah, memutuskan hukum berdasarkan syariat dan
fatwa berjalan dengan tanpa ada pengingkaran dari pengusa mereka” (Al ‘Ibroh
Mimmaa Jaa-a Fil Ghozwi Wasy Syahaadah Wal Hijroh, karangan Shiddiiq
Hasan, hal. 232, cet. Daarul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1405 H).
Intinya:
Sesungguhnya adanya praktik memutuskan perkara berdasarkan syariat Islam di
negara-negara kaum muslimin yang dikuasai oleh Tartar, telah terbukti secara
historis. Hal ini termasuk di antara yang menunjukkan bahwa para penguasa hari
ini yang mengharuskan kaum muslimin untuk mematuhi undang-undang kafir itu
lebih kafir dan lebih sesat daripada Tartar, dan bahwasanya manaath
(alasan) yang menjadi dasar fatwa atas kafirnya Tartar itu terwujud pada para
penguasa hari ini dalam bentuk yang lebih kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar