PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Senin, 07 Januari 2013

Konsep Intelijen Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam


Sebagai seorang ahli strategi perang,
Nabi Muhammad Saw sudah
memikirkan pentingnya peran
seorang intelejen untuk menghadapi
musuh. Konsep-konsep intelejen
modern yang dikenal sekarang, bahkan sudah dilakukan Rasulullah
pada jamannya. Beliau menugaskan para intelejennya
untuk memata-matai gerakan musuh
dan orang-orang yang dianggap
munafik. Para agen intelejen
Rasulullah juga wajib memegang
teguh daftar nama-nama orang munafik itu. Daftar nama mereka
harus dihafal, tidak boleh dicatat dan
tidak boleh jatuh ke tangan orang lain
agar tidak menimbulkan keresahan.
Ciri orang munafik yang masuk daftar
hitam Rasulullah adalah Rasulullah tidak ikut menyolatkannya ketika
orang bersangkutan meninggal. Dalam memilih para agen intelijennya,
Rasulullah menilainya dari
kemampuan pribadi seseorang
terutama dalam menyimpan rahasia.
Karena itu, Rasulullah menerapkan
sistem satu pintu untuk menyampaikan laporan dari hasil
operasi intelijen para spionnya.
Dengan sistem itu, para spion
langsung menyampaikan laporannya
pada Rasulullah Saw dan tidak boleh
diketahui oleh orang lain, bahkan oleh para sahabat Rasulullah sendiri
yang termasuk dalam Khulafaur
Rashidin. Dan sejarah Islam tercatat nama
Hudzaifah Ibnul Yaman sebagai salah
satu agen intelejen atau spion andalan
Rasulullah dalam menghadapi orang-
orang kafir dan munafik yang ingin
memerangi Islam dan Muslim. Oleh Rasulullah, Ibnul Yaman dinilai
sebagai orang yang bisa dipercaya,
memiliki ingatan yang kuat cerdik dan
cerdas dalam mengolah informasi.
Ibnul Yaman juga dikenal sosok yang
mudah bergaul yang memudahkannya untuk menjalankan
operasi mata-mata. Dalam Perang Khandaq (Perang Parit),
Rasulullah menugaskan Ibnul Yaman
untuk memata-matai pasukan kafir
Quraisy dari Mekkah yang
berkekuatan 10.000 ribu orang,
ditambah bantuan kekuatan dari orang-orang Yahudi. Mereka
berencana untuk menyerang kota
Madinah yang hanya memiliki
kekuatan 3.000 orang pasukan
perang. Untuk menghadapi pasukan Yahudi
dan Quraisy dibawah pimpinan Abu
Sufyan, Rasulullah menerapkan
strategi bertahan dengan membuat
parit di sekeliling kota Madinah. Pada
suatu malam, Rasulullah mengutus Hudzaifah Ibnul Yaman untuk
menyusup ke tengah pasukan lawan.
Mudah baginya untuk berbaur ke
dalam pasukan lawan, karena
Hudzaifah memiliki darah suku
bangsa di Mekkah sehingga tidak mudah dikenali sebagai orang asing. Di pihak pasukan lawan, ada
kebiasaan yang dilakukan setiap
rapat. Sebelum rapat, orang-orang
yang hadir harus memastikan bahwa
orang-orang di sekelilingnya adalah
teman dengan menanyakan nama dan asal-usulnya untuk memastikan
bahwa pertemuan mereka aman. Agar penyamarannya tidak
terbongkar, Hudzaifah selalu lebih
dulu mencekal tangan orang di
sebelahnya dan bertanya “siapa namamu?, darimana asalmu?” Orang yang ditanya akan terkejut karena
mengira posisi Hudzaifah pasti salah
satu pimpinan tertinggi sehingga
bertanya lebih dulu. Orang yang
ditanyapun langsung menyebutkan
nama serta asalnya. Hudzaifah pun selamat dan bisa mengikuti rapat serta
mendapatkan informasi penting dari
hasil rapat tersebut. Salah satunya,
informasi bahwa pasukan Abu Sufyan
akan mundur karena merasa
pasukannya tidak akan memenangkan pertempuran melawan
Rasulullah dan pasukannya di kota
Madinah. Dalam melaksanakan tugasnya
sebagai mata-mata, Hudzaifah juga
sangat hati-hati dan tidak bersikap
yang bisa menimbulkan kecurigaan.
Hudzaifah juga sangat kuat
memegang teguh kepercayaan yang telah diberikan Rasulullah Saw
kepadanya untuk memegang daftar
orang-orang munafik. Bahkan ketika
sahabat Rasulullah Saw, Umar bin
Khattab menanyakan perihal daftar
nama itu, Hudzaifah menolak memberikannya. Untuk mengetahui siapa orang-orang
yang masuk daftar orang munafik itu,
Umar hanya bisa mengamati jika ada
rakyatnya yang meninggal dan
Hudzaifah tidak menyolatkannya,
maka orang itulah orang munafik itu. Sebagai negara yang memiliki
kedaulatan, Madinah (pada zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) juga memiliki sejumlah
perangkat fital untuk melindungi diri,
baik ancaman dari luar, maupun
dalam. Dan intelijen adalah salah satu
perangkat itu. Terutama saat terjadi krisis antara
Madinah dengan musuh-musuh
dakwah, seperti Quraish, beberapa
kabilah Yahudi sampai imperium
Romawi, kekuatan intelijen Muslim
telah melakukan perannya dengan sangat baik. Sehingga tak jarang,
berbagai pertempuran dimenangkan
berkat lihainya para informan, dalam
memperoleh informasi mengenai
kekuatan lawan. Sekalipun tidak bisa
dipungkiri bahwa ada faktor lainnya yang juga ikut berperan, bantuan
Allah Subhanahu wa Ta ’ala (SWT). Tidak hanya para sahabat Rasulullah
SAW yang bergerak dalam sektor ini.
Beliau sendiri pernah melakukan
aktivitas intelijen di beberapa
kesempatan.
Nah, untuk mengetahu lebih lanjut mengenai kiprah para intel Muslim di
masa Rasulullah SAW, silahkan
membaca lebih lanjut ulasannya dalam
Ihwal edisi ini. Selamat mengikuti … Perang Intelijen Saat Perang Badar Para informan sama-sama melakukan
peran mereka. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (SAW) sendiri ikut ambil bagian dalam aktivitas ini
Kala itu, Rasulullah (SAW) bertolak dari
desa Dafiran, untuk melakukan
perjalanan menuju sebuah tempat
dekat Badar. Tidak ada yang
menemani perjalanan beliau, kecuali Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu
anhu (RA). Di tempat itu, beliau
bertemu dengar seorang laki-laki tua
yang tinggal di pedalaman gurun
(badui). Rasulullah SAW lalu bertanya
perihal kedatangan kaum Quraish, juga kedatangan pasukan beliau
sendiri. Lelaki itu menolak
memberikan informasi, kecuali setelah
beliau berdua membuka identitas. Rasulullah SAW tidak menyerah
dengan jawaban itu, beliau membalas,
”Jika engkau memberi tahu kami, maka kami memberi tahu kalian. ” Memperoleh jawaban demikian, orang
tua itu memastikan, ”Apakah dengan memberi tahu tentang mereka, kalian
memberi tahu dari siapa kalian ?” Rasulullah SAW menjawab, ”Iya.” Akhirnya lelaki tua itu membuka
mulut, ”Telah sampai kepadaku berita bahwa Muhammad dan para
sahabatnya keluar dari Madinah pada
hari begini-begini. Jika yang
memberitahuku jujur, maka mereka
hari ini sudah sampai tempat begini-
begini. Dan telah sampai kabar kepadaku bahwa Quraish keluar dari
Makkah pada hari begini-begini, kalau
yang memberi tahuku jujur, maka
pada hari ini mereka sudah sampai
tempat begini-begini.” Setelah lelaki itu memberikan
informasinya, ia ganti bertanya
kepada Rasulullah SAW, “Dari siapa kalian ?” Rasulullah SAW menjawab sambil berlalu meninggalkan lelaki tua
itu, ”Kami dari air …” Informasi yang diberikan laki-laki tua
itu amatlah berharga bagi umat Islam.
Karena dengan mengetahui kondisi
musuh, maka pasukan Islam memiliki
persiapan lebih matang dan informasi
itu bisa dijadikan pijakan dalam menentukan strategi bertempur.
Bahkan lebih dari itu, walau mendapat
informasi lengkap, karahasiaan
identitas kaum Muslimin tetap terjaga.
Ini bisa terwujud karena Rasulullah
SAW menyembunyikan identitas. Maka pihak Quraish pun tidak bisa
mengorek keterangan dari laki-laki
Badui tersebut mengenai kondisi
pasukan Muslimin. Rasulullah SAW tidak hanya
menyembunyikan identitas, tapi beliau
menutup kemungkinan laki-laki itu
untuk berpikir bahwa beliau berdua
begian dari kelompok Muslim, dengan
menanyakan keadaan pasukan Muslim sekaligus pasukan Quraish
kepadanya. Tentu cara yang ditempuh
Rasulullah SAW ini adalah cara yang
amat cerdik. Peristiwa yang disebutkan oleh Ibnu
Hisyam dalam As Sirah An Nabawiyah
(2/459) itu menunjukkan bahwa
praktek intelijen telah digunakan
sejak masa Rasulullah SAW, juga
menunjukkan bahwa beliau sendiri amat memperhatikan pentingnya
aktivitas ini, guna melawan kekuatan
Quraish. Tidak hanya kaum Muslimin yang
melakuan pengintaian, pihak Quraish
juga memiliki orang-orang pilihan
untuk melakukan spionase. Ibnu
Hisyam menyebutkan bahwa setelah
berdekatan dengan lembah Badar, kaum Quraish mengutus Umair bin
Wahb Al Jamhi, untuk mencari tahu
kekuatan pasukan Muslimin. Tidak membutuhkan waktu lama, laki-
laki ini kembali dengan membawa
kabar bahwa jumlah pasukan
Muslimin sebanyak 300 laki-laki,
dengan beberapa tambahan. Akan
tetapi, ‘intel musyrikin ’ ini masih belum puas dengan informasi ini. Ia minta
izin untuk kembali, guna memastikan
apakah jumlah itu jebakan, atau masih
ada bantuan pasukan lainnya. Dan
setelah ia melakukan pengintaian lagi,
ia begitu yakin, ”Mereka tidak memiliki tempat berlindung, kecuali dengan
pedang-pedang mereka, ” katanya Mengetahui Kekuatan Musuh dari
Jumlah Logistik Adapula aktivitas intelijen lainnya.
Rasulullah SAW kembali ke pasukan,
tapi beliau masih perlu mengutus Ali
bin Abi Thalib, Az Zubair bin Awam,
dan Sa’ad bin Abi Waqash untuk mencari informasi mengenai kekuatan
pasukan musuh. Sedangkan
Rasulullah SAW menyusul kemudian. Dikisahkan, setelah dekat sumur
Badar Ali bin Abi Thalib beserta Az
Zubair bin Awam bertemu dengan dua
orang budak. Setelah ditanya, mereka
mengaku sebagai pemberi minum
kaum Quraish. Namun, karena pengakuan itu, mereka berdua
dipukuli oleh sekelompok orang yang
juga berada di tempat itu. Hingga
akhirnya, mereka mengatakan bahwa
mereka pembantu Abu Sufyan, dan
sekelompok orang tersebut berhenti mumukul dan meninggalkan mereka
berdua. Rasulullah SAW yang saat itu
berada di tempat itu menegaskan
kepada para sahabat bahwa
pemukulan terhadap kedua budak itu
menunjukkan bahwa keduanya berkata benar, bahwa mereka
memang dari kaum Quraish. Akhirnya ganti Rasulullah SAW yang
bertanya kepada kedua budak itu,
”Berapa jumlah mereka ?” Mereka menjawab, ”Banyak. ” Rasulullah SAW kemudian menanyakan jumlah hewan
yang dipotong untuk mereka setiap
harinya. ”Kadang sembilan, kadang sepuluh ekor. ” Informasi sederhana itu amat cukup bagi Rasulullah SAW,
hingga akhirnya beliau
berkesimpulan bahwa jumlah mereka
antara sembilan ratus hingga seribu. Informasi mengenai pasukan musuh
terus-menerus dikumpulkan. Tidak
hanya oleh Rasulullah SAW sendiri,
tapi para sahabat juga ikut
berpartisipasi. Seperti yang dilakukan
oleh Basbas bin Amru dan Adi bin Abi Az Zaghba ’. Mereka sama-sama bertolak menuju Badar. Setelah tiba di
sumur Badar, mereka bertemu dua
budak perempuan yang saling
berebut mengambil air. “Besok atau lusa akan datang kafilah, bekerjalah
untuk mereka …” Setelah itu, budak lainnya mengalah. Kedua sahabat
Rasulullah SAW tersebut mendengar
percakapan itu, akhirnya mereka
kembali untuk memberi kabar kepada
Rasulullah SAW mengenai kedatangan
pasukan Quraish. Itulah sekilas mengenai aktivitas
intelijen menjelang meletusnya perang
Badar, yang terjadi pada Jumat pagi,
17 Ramadhan tahun kedua setelah
hijrah. Boleh Berbohong Saat Perang Dalam operasi intelijen,
menyembunyikan identitas adalah hal
mutlak diperlukan. Sebagaimana
dilakukan Rasulullah SAW saat
bertemu dengan laki-laki Badui,
ketika beliau bermaksud mengorek keterangan. Kepada lelaki itu beliau
tidak terus terang menjawab bahwa
beliau adalah Rasulullah SAW, walau
laki-laki itu bertanya. Beliau hanya
jawab “Dari air…”, maksudnya diciptakan dari air mani. Yang dilakukan Rasulullah SAW tidak
bisa disebut kebohongan, tapi inilah
yang disebut tauriyah, yakni
mengungkapkan fakta, walau fakta
itu bukan fakta yang diinginkan oleh
lawan bicara. Adapun berbohong dalam arti
sesungguhnya, yakni
mengungkapkan hal yang berbeda
dengan fakta, Imam Al Ghazali yang
diikuti oleh Imam An Nawawi, dalam
Al Adzkar (hal. 608-610), menyatakan kebolehannya, jika dilakukan dalam
peperangan dan untuk kemaslahatan
umat Islam. Tapi ada satu syarat:
bahwa itulah satu-satunya cara. Pendapat tersebut berdasarkan pada
Hadits yang diriwayatkan oleh Umu
Kultsum, ”Dan aku tidak mendengar beliau memberi rukhshah
(keringanan) sama sekali dari apa
yang dikatakan oleh manusia, kecuali
dalam tiga hal: peperangan,
memperbaiki hubungan manusia,
serta pembicaraan laki-laki terhadap istrinya atau istri terhadap suaminya.
(Riwayat Al Bukhari). Operasi Intelijen Madinah Aktivitas intelijen Madinah, dari
mencari informasi kekuatan dan
menyusup ke barisan lawan, hingga
mencari jejak Kiprah intelijen Madinah, tidak hanya
terekam saat perang Badar terjadi.
Dalam beberapa kondisi krisis lainnya,
peranan intelijen juga terlihat. Berikut
ini, beberapa operasi intelijen
Madinah, yang telah dicatat oleh para sejarawan Muslim. Intel Madinah Menyusup ke Tengah
Barisan Musuh Saat Yahudi dan Quraish melakukan
koalisi untuk melakukan
penyerangan terhadap Madinah,
pihak Muslim berhasil mengetahui
rancana itu. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (SAW) kemudian memerintahkan para sahabat
membuat parit, guna membentengi
Madinah, hingga terjadilah perang
Khandaq di bulan Syawal tahun ke-5
setelah hijrah. Tatkala pasukan Quraish tertahan di
luar parit, dan berhadapan dengan
angin yang berhembus amat kencang,
Rasulullah SAW segera
memerintahkan Hudzaifah bin Yaman
menyusup ke dalam berisan musuh. Tanpa banyak kesulitan, beliau
berhasil bergabung dengan
kelompok Quraish, dan mendapatkan
informasi bahwa Abu Sufyan,
memerintahkan pasukannya untuk
kembali ke Makkah, disebabkan cuaca buruk.
Lebih dari itu, saat itu Hudzaifah
sebenarnya memiliki peluang
membunuh Abu Sufyan, ”Kalau seandainya Rasulullah SAW tidak
berpesan kepadaku agar tidak ada
yang terbunuh hingga aku kembali,
maka aku akan membunuhnya
dengan busur.” (As Sirah An Nabawiyah, 3/154,166) Intel Quraish Tertangkap Diriwayatkan oleh Abu Ishaq, kaum
Quraish telah mengirim 40 atau 50
mata-mata ke Madinah. Mereka
sempat mengelilingi kamp pasukan
Muslim untuk membunuh salah satu
dari mereka. Akan tetapi mereka berhasil ditangkap, namun kemudian
mereka dibebaskan oleh Rasulullah
SAW, dan dibiarkan kembali ke
Makkah. Peristiwa ini terjadi menjelang
Baiat Ridhwan. Intel Madinah Ungkap Kekuatan
Heraklius Kala itu, tiga ribu pasukan Muslim
sudah berada di Syam untuk melawan
pasukan Heraklius. Pasukan Muslim
berhasil memperoleh informasi bahwa
kekuatan pasukan Romawi itu
berjumlah 100 ribu orang dan mereka sudah berada di Mab, sebuah desa di
Syam. Dengan bekal informasi itu,
mereka hendak melaporkan
kekuatan musuh ke Madinah, hingga
Rasulullah SAW mengirim bantuan
atau memerintahkan untuk tetap bertempur.
Tapi, Abdullah bin Rawahah selaku
salah satu pemimpin terus memberi
semangat agar mereka tetap
bertempur, hingga pertempuran tidak
dapat dielakkan. Peristiwa itu dikenal dengan Perang Mu’tah, yang terjadi pada bulan Jumadi Al Ula tahun ke-8
setelah hijrah. Fathu Makkah, Intel Madinah
Dahului Intel Quraish Sebelum Rasulullah SAW keluar
menuju Makkah, beliau telah
memerintahkan para sahabatnya
untuk mengirim mata-mata guna
mencari tahu keadaan kaum kafir
Quraish, sebagaimana diriwatkan oleh Imam At Thabarani dalam Al Mu ’jam Al Kabir. Dengan demikian, tak heran kalau di
wilayah Mur Adz Dzahran, tempat
Rasulullah SAW dan 10 ribu pasukan
beliau singgah, berita mengenai
Quraish sudah diketahui sedangkan
berita mengenai gerakan pasukan Rasulullah SAW tidak ada yang
mengetahui, termasuk oleh penduduk
desa tersebut.
Berbeda dengan gerakan intelijen
Madinah, di waktu yang sama,
beberapa lelaki Quraish seperti Sufyan bin Harb, Hakim bin Hizam, serta Badil
bin Warqa’ baru keluar untuk berusaha mencari informasi mengenai
gerakan pasukan Muslim. Dengan demikian, penduduk Makkah
sendiri tidak sempat menyusun
kekuatan secara matang, hingga
terjadilah peristiwa Fathu Al Makkah
pada bulan Ramadhan tahun ke-9
setelah hijrah. Intelijen dalam Perang Hunain Setelah Kabilah Hauzan mendengar
bahwa Makkah sudah dikuasai oleh
kaum Muslimin, Malik bin Auf An
Nashri, salah satu pemuka kabilah
mengumpulkan para pemuka lainnya.
Mereka sepakat melakukan penyerangan terhadap Rasulullah
SAW dan kaum Muslimin. Seperti
biasanya, sebelum berangkat mereka
mengirim beberapa mata-mata. Akan
tetapi, mata-mata itu gagal dan
tercerai berai, karena berhadapan dengan seorang penunggang kuda
yang tidak mereka kenal. Sebaliknya, Rasulullah SAW telah
mengirim Abdullah bin Abi Hadrad Al
Aslami, untuk menyusup, dan
bermukim di Hauzan. Selama tinggal di
sana, beliau berhasil mendapatkan
informasi yang berasal dari pembesar Hauzan, Malik bin Aufah An Nashri.
Informasi itu menyangkut semua hal
yang terjadi di sana, termasuk
kesepakatan mereka untuk
melakukan serangan kepada
Rasulullah SAW. Akhirnya, Rasulullah SAW
memutuskan membawa 12 ribu
pasukan menuju Hauzan. Sesampai di
lembah Hunain, ternyata pasukan
Musyrikin sudah menunggu terlebih
dahulu, hingga berkecamuklah Perang Hunain pada tahun ke-8
setelah hijrah, pasca Fathu Makkah. Karz bin Jabir, Ahli Pencari Jejak Mencari jejak adalah keahlian Karz bin
Jabir, hingga Rasulullah SAW
memerintahkannya untuk mengejar
beberapa orang pembunuh
penggembala Rasulullah SAW yang
bernama Yasar. Tidak memerlukan waktu lama, Karz bin Jabir bersama
beberapa orang lainya berhasil
membekuk para pelaku dan
membawa mereka ke hadapan
Rasulullah SAW. Penggunaan Sandi dalam
Pertempuran Seperti yang biasa berlaku dalam
dunia intelijen dan militer modern,
guna membedakan siapa kawan dan
lawan, pasukan Muslim pada zaman
Rasulullah SAW memiliki sandi khusus.
Dalam berbagai peperangan berbagai macam sandi telah digunakan. Berikut
ini sandi-sandi tersebut: - Dalam pertempuran Khandaq dan
Bani Quraidhah, pasukan Muslimin
menggunakan sandi, “Haamiim, la yunsharun.” (Riwayat Abu Dawud), yang menurut salah satu penafsiran,
bermakna bahwa Allah tidak bisa
dikalahkan, karena Haamiim menurut
penafsiran ini adalah salah satu dari
nama Allah Ta ’ala. - Dalam pertempuran melawan Bani
Malmuh, yang dilakukan malam hari,
digunakan sandi, “Amit..amit. ” (As Sirah An Nabawiyah, 4/472), yang
maknanya, “bunuhlah…bunuhlah”. - Sedangkan saat Fathu Makkah,
perang Hunain dan Thaif sandi yang
digunakan kaum Muhajirin adalah “Ya Bani Abdirrahman, ” sedangkan sandi kabilah Khazraj adalah, “Ya, Bani Abdillah, ” dan sandi kabilah Aus adalah “Ya Bani Ubaidillah.” - Di kesempatan lain Rasulullah SAW
saat melepas pasukan kecil yang
dipimpin oleh Talhah, beliau bersabda,
”Sandi kalian Ya Ashr. ” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah). Ashr bermakna sepuluh,
menggunakan sandi ini karena jumlah
mereka sepuluh orang. Memeriksa Boleh, Memaksa
Mengaku Dilarang Dalam interogasi sering terjadi
penyiksaan untuk mendapat
pengakuan. Bolehkah itu dilakukan?
Hatib bin Abi Balta ’ah termasuk golongan Muhajirin. Bahkan beliau
adalah salah satu ahlu Badar, dan
sudah tinggal di Madinah selama
beberapa tahun bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW). Suatu kali ia merasa risau atas rencana
Rasulullah SAW mengirim pasukan ke
Makkah karena takut terjadi apa-apa
atas keluarganya yang masih tinggal
di sana. Hatib kemudian punya inisiatif
mengabarkan kepada para
keluarganya mengenai rencana
Rasulullah SAW itu secara diam-diam.
Caranya, dengan menitipkan sebuah
surat kepada salah satu wanita budak Bani Abdul Muthalib untuk
disampaikan kepada keluarganya itu.
Tentu, yang dilakukan Hatib bisa
membocorkan rahasia rencana
penyerangan ke Makkah. Dan di sini
keselamatan ribuan pasukan Muslim menjadi taruhannya. Rasulullah SAW menerima “kabar langit” tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau kemudian segera
mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair
bin Awwam, untuk mengejar wanita
itu. Ternyata, wanita pembawa pesan
itu sudah sampai di tempat
persinggahan Al Khaliqah, yang berjarak 12 mil dari Madinah. Setelah mendapatinya, kedua sahabat
Rasulullah SAW tersebut meminta
wanita itu turun dari kendaraan, dan
memeriksa kendaraan yang
ditungganginya. Akan tetapi mereka
tidak menemui apa yang dicari. Mereka yakin bahwa yang dikatakan
Rasulullah SAW pasti benar, hingga Ali
bin Abi Thalib mengatakan,
”Tunjukkan tulisan itu! Atau kami akan memeriksamu !” Melihat keduanya tampak serius, wanita itu
mengeluarkan tulisan yang diselipkan
di sela-sela kain di kepalanya. Setelah memperoleh bukti yang jelas,
Rasulullah SAW memanggil Hatib bin
Abi Balta ’ah, guna mengatahui apa yang mendorongnya berbuat
demikian. “Wahai Hatib, kenapa engkau melakukan hal ini ?” Hatib menjawab, ”Wahai Rasulullah, demi Allah saya benar-benar orang yang
beriman terhadap Allah dan Rasul-
Nya. Saya tidak berubah dan
menggantinya. Hanya saya tidak
memiliki keluarga, sedangkan anak-
anak saya berada dalam asuhan mereka (Quraish), maka saya
melakukan itu untuk mereka. ” Saat itu, Umar bin Al Khaththab yang
ikut serta bersama Rasulullah SAW
kelihatan marah. ”Wahai Rasulullah,” kata Umar, “Izinkan saya untuk memenggal lehernya, sesungguhnya
laki-laki ini telah melakukan nifaq. ” Rasulullah SAW membalas perkataan
Umar, ”Tidak tahukah engkau wahai Umar, bahwa Allah telah
memperhatikan ahlu Badar, dan
berfirman, ”Kerjakan semau kalian, Aku telah mengampuni kalian. ” (As Sirah An Nabawiyah, 4/308). Syaikh Said Ramadhan Al Buti
menyebutkan dalam bukunya, Fiqh As
Sirah, bahwa beberapa pihak
berpendapat bolehnya menggunakan
berbagai cara agar tersangka
mengaku. Mereka mengambil argumen dari kisah Ali yang
menghardik dan mengancam budak
Bani Abdul Muthalib itu. Ulama Syiria ini menjelaskan bahwa
kisah di atas tidak bisa dijadikan
argumen untuk menopang pendapat
itu, karena beberapa sebab. Pertama, budak tersebut posisinya tidak lagi sebagai tersangka belaka,
melainkan pelaku hakiki yang
informasinya berasal dari wahyu. Dan
ini bersifat qath’i, lebih kuat daripada iqrar (pengakuan) si pelaku sendiri.
Sehingga praktek penyiksaan
tersangka agar yang bersangkutan
mengaku tidak bisa diqiyaskan
dengan kasus di atas, karena hanya
didasari dengan prasangka dan perkiraan, yang berasal dari manusia
biasa yang tidak maksum. Sehingga
kisah di atas tidak bisa dijadikan dasar
untuk melegalkan praktek
penyiksaan guna mengorek
pengakuan seorang yang statusnya masih tersangka. Kedua, membuka baju untuk melakukan pemeriksaan tidak seperti
penyiksaan dan penahanan, sehingga
tidak pula bisa diqiyaskan. Yang
pertama dibolehkan, yang kedua
tidak dibolehkan. Pengakuan karena Paksaan Tak
Berlaku Para ulama madzhab empat telah
bersepakat bahwa pengakuan yang
disebabkan paksaan tidak bisa
dijadikan dasar untuk menjatuhkan
hukuman. Berikut, pandapat mereka: Madzhab Hanafi Al Kasani menyebutkan, bahwa
kerelaan adalah salah satu aspek
yang menentukan bahwa sebuah
pengakuan itu sah atau tidak. Dengan
demikian, maka pengakuan orang
yang dipaksa tidak sah. (Bada ’i’ As Shana’i’, 7/224). Madzhab Maliki Qadhi Sahnun menyebutkan masalah
hukum pihak yang mengaku setelah
diancam, baik dengan diikat,
dipenjara serta dipukul, tidak berlaku
hadd. Imam Malik mengatakan, ”Tidak diberlakukan kepadanya hadd,
kecuali ia mengakui hal itu dengan
rasa aman dan tanpa rasa takut. ” (Al Mudawwanah, 16/93). Madzhab Syafi ’i Al Imrani mengatakan, ”Tidak diterima pengakuan orang yang dipaksa,
Sabda Rasulullah SAW, ’dingkat (dimaafkan) untuk umatku kesalahan,
lupa dan apa yang dipaksakan
kepadanya. ’ Dan karena orang yang dipaksa tidak masuk dalam
golongkan mukallaf. (Al Bayan,
13/418). Madzhab Hanbali Ibnu Qudamah mengatakan, ”Kalau seorang laki-laki dipukul agar ia
mengaku berzina, tidak wajib atasnya
hadd, dan tidak bisa ditetapkan
bahwa ia berzina. Saya tidak
mengetahui para ulama khilaf, bahwa
seorang yang dipaksa mengaku tidak wajib atasnya hadd.” (Al Mughni, 9/7181). “Sesungguh banyak terdapat Pelajaran dari orang-orang terdahulu,
Namun sedikit orang-orang yang mau
berpikir dengan jernih. ” “wal tandzur nafsun maa qodamat lighodd”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar