PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Senin, 07 Januari 2013

Dari Tanjung Priok Hingga Lampung

Ada tiga peristiwa ‘kanan’ yang secara emosional berkaitan. Yakni, kasus Tanjung Priok berdarah yang terjadi pada tanggal 12 September 1984. Dari kasus Priok Berdarah yang menewaskan puluhan korban, kemudian –menurut salah seorang pelakunya– menimbulkan suasana emosional dan membangkitkan tekad berbuat sesuatu, berupa kasus peledakan BCA (tanggal 4 Oktober 1984). Selang lima tahun, terjadi kasus Talangsari-Lampung, pada tanggal 6-7 Februari 1989.

Menurut Jenderal Benny Moerdani, Panglima ABRI kala itu, peristiwa Tanjung Priok yang berlangsung Rabu malam sekitar pukul 23.00 wib itu, bukanlah drama pembantaian, tetapi upaya beladiri yang dilakukan aparat di Tanjung Priok (yang terdiri dari 15 orang) dalam menghadapi serangan gerombolan massa yang berjumlah sekitar 1.500 orang.

Keterangan resmi itu, dianggap sebagai sebuah kebohongan besar oleh masyarakat, yang memicu timbulnya suasana emosional termasuk di kalangan para aktivis pemuda bahkan hingga mantan petinggi ABRI. Dari sini lahirlah lembaran putih, yang kemudian dikenal dengan sebutan Petisi 50 yang isinya antara lain menyatakan bahwa peristiwa di Tanjung Priok 12 September 1984 “…Harus kita akui sebagai suatu tragedi pembantaian…” Dari lembaran putih itu, kemudian melahirkan beberapa terpidana seperti almarhum HR Dharsono (Letjen TNI Purnawirawan).

Unjuk keprihatinan terhadap kasus Priok, ternyata tidak hanya dalam bentuk lembaran putih atau Petisi 50, tetapi lebih jauh dari itu, menimbulkan dorongan di dalam diri sekelompok orang untuk melakukan aksi radikal, berupa peledakan BCA, dengan alasan –sebagaimana dikatakan M. Zayadi, salah seorang pelaku– untuk menunjukkan bahwa umat Islam masih ada dan mampu melakukan perlawanan, seberapa pun tekanan yang dilakukan pemerintah Orde Baru kala itu.

Dari kasus peledakan BCA ini, muncul seorang tokoh penting yang digiring sebagai terdakwa, bahkan diposisikan sebagai penyandang dana terhadap aksi tersebut, yaitu Ir. H.M. Sanusi (kini almarhum), mantan menteri pada Orde Baru, yang hingga kini keterlibatannya pada kasus peledakan itu masih kontroversial.

Selain Ir. H.M. Sanusi, masih terdapat sejumlah orang yang sama sekali tidak terlibat, namun harus menderita akibat kasus peledakan 1984 itu, bahkan ada yang meninggal akibat “interogasi di belakang layar” oleh petugas Satgas Intel Kopkamtib, sebagaimana terjadi pada diri ustadz Jabir Abubakar Massie yang wafat dalam pemeriksaan (penyiksaan) karena menolak bersaksi atas tuduhan bahwa Ir. H.M. Sanusi merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soeharto.

Kasus Priok dan Peledakan BCA, sebagaimana diakui para tokohnya masing-masing adalah sebuah perlawanan terhadap kezaliman Orde Baru. Sebuah perlawanan yang menunjukkan ‘keberanian’, namun mengakibatkan jatuhnya banyak korban yang tak bersalah, dan mereka pada umumnya adalah rakyat kebanyakan (ummat Islam) yang disamping tidak mengerti politik juga miskin dalam arti ekonomi maupun dalam pengetahuan agama (Islam).

Berbeda dengan kasus Peledakan BCA 1984 yang mempunyai kaitan emosional secara langsung dan tegas dengan kasus Priok 1984, kasus Lampung diawali dengan upaya memindahkan persoalan Priok ke Lampung. Warsidi sebagai tokoh utama kasus Lampung, nampaknya tidak memiliki kaitan emosional apa-apa, karena sebagai anak transmigran yang sejak kecil sudah mengikuti orangtuanya bertransmigrasi ke Lampung, ia sama sekali putus hubungan dengan Jawa. Keterkaitan Priok-Lampung adalah hasil rajutan “aktivis dari Jakarta” sehingga Warsidi yang semula buta politik menjadi melek politik.

Sebagaimana halnya Amir Biki, Warsidi pun akhirnya wafat di tempat kejadian. Namun sosok keduanya sangat jauh berbeda. Almarhum Amir Biki adalah seorang aktivis (Angkatan 66), berpendidikan formal cukup baik, direktur salah satu perusahaan, paham politik, dan punya pengikut banyak. Sedangkan almarhum Warsidi hanyalah rakyat kebanyakan, orang kampung yang pendidikan formalnya tergolong rendah, dan tidak paham politik.

Almarhum Warsidi bukanlah tokoh yang mampu menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu, baik melalui kharisma dan wibawanya atau dengan uangnya, sebagaimana almarhum Amir Biki yang punya kharisma dan wibawa serta berasal dari kalangan sosial ekonomi terpandang. Sebagai anak transmigran dari Jawa yang miskin, Warsidi pada mulanya sama sekali tidak memiliki jiwa pemberontak. Ia sama sekali tidak layak disejajarkan dengan tokoh Islam Tanjung Priok seperti almarhum Amir Biki, KH Abdul Qadir Djaelani, Syarifin Maloko, dan sebagainya.

Cita-cita Warsidi pun sangat sederhana. Ketika Jayus menghibahkan satu setengah hektar tanah kepadanya, yang ia rencanakan adalah sebuah pemukiman sederhana, sehingga ia dan 7 orang lainnya bisa hidup berkecukupan dari hasil bumi yang ditanamnya, serta bisa meningkatkan pengetahuan umum dan agama Islam bagi anggota-anggotanya.

Kalau toh akhirnya ia terlibat aksi perlawanan hingga tewas di tempat, ia tetap saja tidak layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh di atas. Karena Warsidi, sebagaimana juga korban (tewas dan hidup) lainnya, hanyalah korban kenakalan “aktivis dari Jakarta” yang mentransmigrasikan paham radikalisme dari Jakarta ke Lampung.

Menurut catatan, Warsidi pernah menjabat sebagai “Camat” NII namun mengundurkan diri pada tahun 1987. Begitu juga dengan Nur Hidayat (salah seorang aktivis dari Jakarta), pernah menjadi bagian dari komunitas NII faksi Abdullah Sungkar yang salah satu petingginya adalah Ibnu Thayib alias Abu Fatih. Oleh ICG (International Crisis Group), Ibnu Thayib alias Abu Fatih disebut sebagai anggota jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI).

Beberapa kemiripan antara kasus Priok dengan Lampung adalah, pertama, pada kasus Priok rencana melawan aparat disiapkan dalam kurun waktu relatif pendek, sejak siang hingga sore hari sebelum kejadian. Massa yang mendatangi aparat malam itu hanya sebagian kecil saja yang bersenjata (siap perang). Sebagian besar dari mereka adalah orang awam yang terbakar oleh tabligh yang digelar ba’da ‘Isya oleh Amir Biki dkk, dan keikutsertaan mereka untuk memberikan tekanan kepada aparat agar empat kawan mereka yang tak bersalah itu segera dilepaskan dari tahanan.

Mereka tidak cuma menggertak aparat dengan memobilisasi massa. Sebelumnya, sebagaimana bisa dikutip melalui informasi tertulis, Amir Biki memberikan ultimatum jika hingga jam sebelas malam keempat kawan mereka tidak dilepaskan dari tahanan Kodim, maka akan terjadi pertumpahan darah, membakari pertokoan di Koja serta menggorok orang-orang Cina.

Kedua, kehadiran massa tidak langsung disambut dengan berondongan peluru tajam. Sebelumnya terjadi insiden rebutan senjata antara massa dengan aparat. Bahkan Kapten Sriyanto terancam jiwanya jika tidak lincah berkelit dari tebasan clurit yang diayunkan orang-orang berbaju pangsi hitam. Kemudian terjadilah sebuah ‘perang’ yang tentu saja tidak seimbang. Dari sinilah berkembang wacana bahwa kasus Priok adalah sebuah pembantaian terhadap masyarakat sipil yang tidak bersenjata.

Sedangkan pada kasus Lampung, rencana perlawanan itu sudah dirancang oleh “aktivis dari Jakarta” sejak lama (beberapa bulan sebelum Februari 1989). Bahkan setelah “aktivis dari Jakarta” menghijrahkan sejumlah orang (dari Jawa Tengah dan sebagainya) ke Lampung, persiapan berperang pun dilaksanakan lebih kongkrit, seperti membuat panah beracun dari jeruji sepeda motor, melakukan latihan bela diri dan baris berbaris.

Pada kasus Priok (1984), yang terjadi adalah ‘perang’ setengah hati. Karena, massa yang berada di TKP tidak semuanya berniat perang. Mereka hanyalah orang-orang yang terbakar emosinya. Ketika ‘perang’ terjadi, anggota masyarakat yang baru pulang nonton di bioskop Permai, ikut larut di TKP tanpa mereka sadari, sehingga menjadi korban tewas atau luka-luka. Dari sinilah timbul wacana, tentang adanya sebuah drama penembakan yang tak mendapat perlawanan sedikit pun. Karena, seluruh korban tewas adalah rakyat sipil, tak seorang pun aparat yang tewas.

Sedangkan kasus Lampung (1989) adalah sebuah peperangan (qital) sepenuh hati, antara masyarakat sipil bersenjata ‘primitif’ melawan pasukan bersenjata modern yang mendapat dukungan penduduk setempat yang tidak bersimpati kepada komunitas Warsidi. Peperangan ini terjadi setelah jatuh korban dari pihak aparat, yaitu Kapten Inf. Soetiman (Danramil Way Jepara), sehari sebelumnya akibat dibantai mbah Marsudi (kakak kandung Warsidi). Sebuah peperangan yang konyol. Ibarat sebuah bis yang penuh sesak dengan penumpang, kemudian dibenturkan ke rangkaian kereta api yang sedang berjalan kencang di atas relnya. Yang pasti, benturan itu menimbulkan korban cukup banyak di kedua belah pihak.

Peranan Nurhidayat
Nurhidayat pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan peristiwa Talangsari-Lampung (Februari 1989).

Nurhidayat, Sudarsono, Fauzi dan sebagainya itu, sebenarnya bukanlah sosok yang mengerti secara baik esensi perjuangan. Rencana “aksi radikal” yang mereka rancang sesungguhnya lebih dilandasi oleh sebuah ambisi, sehingga dalam prakteknya mereka begitu mudah mengorbankan pengikut-pengikutnya sendiri. Selain itu, mereka juga tidak mampu berhitung secara cermat, yang merupakan modal dasar seorang komandan pergerakan. Sebab, bagaimana mungkin dengan jumlah jama’ah yang tidak mencapai 40 orang laki-laki dewasa –dengan persenjataan yang primitif– mampu menghadapi ratusan tentara bersenjata modern, apalagi melalui perang terbuka.

Nampaknya ambisi besar untuk bisa diperhitungkan di kalangan harakah Islam telah menjadikan hatinya buta, sehingga tidak bisa lagi memperkirakan resiko (kekalahan) yang akan diderita. Ambisinya telah menutupi akal sehatnya sendiri, sehingga tanpa perhitungan yang cermat ia dan kawan-kawannya membuat semacam “negara” di dalam negara yang karena keawamannya sampai tercium oleh aparat setempat.

Di “negara” Talangsari itu, Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan, dengan pertimbangan senioritas (usia), juga karena Warsidi pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh jiwa. Karena tercium adanya upaya membentuk “negara” di dalam negara, maka Komandan Koramil setempat merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Kedatangan Danramil Kapten Inf. Soetiman disambut dengan hujan panah dan golok, sehingga Kapten Soetiman tewas dan dikuburkan di wilayah “negara” Talangsari.

Dengan tewasnya Kapten Inf. Soetiman, maka aparat keamanan (Danrem) mengambil tindakan tegas kepada kelompok jama’ah Warsidi. Sehingga, terjadilah penyerbuan ke “negara” Talangsari oleh aparat setempat (Danrem) yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan “negara” Talangsari yang selama ini memendam antipati kepada komunitas Warsidi, sehingga korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak.

Di negara mana pun, apabila aparatnya dibunuh oleh sekelompok orang yang diidentifikasi berpotensi memisahkan diri dari negara yang sah, atau baru ingin memisahkan diri dari negara yang sah, pasti akan ditindak dengan tegas oleh aparat pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut.

Sebagai contoh di Malaysia, pernah dilakukan tindakan tegas oleh aparat pemerintah Malaysia pada akhir tahun 1970-an, berupa penyerbuan terhadap kelompok Ibrahim Libya dengan pasukan yang dipersenjatai tank dan panser. Begitu juga terhadap kelompok David Koresh di AS. Tetapi di kedua negara tersebut tidak menimbulkan korban banyak karena tidak ada perlawanan. Berbeda dengan kelompok Warsidi yang memberikan perlawanan sengit dan brutal terhadap aparat pemerintah yang sah.

Oleh karena itu merupakan konsekuensi logis bila kelompok Warsidi dikenai tindakan tegas dan dari situ kemudian jatuh sejumlah korban, akibat bentrok dengan aparat yang dibantu penduduk di lingkungan “negara” kekuasaan Warsidi. Jadi, istilah “pembantaian” pada kasus Talangsari sama sekali tidak benar, karena sejak dari Jakarta “para aktivis dari Jakarta” sudah merancang sebuah pemberontakan bersenjata (primitif) dalam rangka mendirikan sebuah daulah di tengah-tengah Negara Republik Indonesia.

Oleh karena itu, “para aktivis dari Jakarta” adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya tragedi berdarah di Talangsari, Lampung. Nurhidayat telah memerintahkan untuk membuat “kota perjuangan” sebagai basis pergerakan, di Talangsari.

Sebagai Imam Musafir, Nurhidayat adalah penentu bagi mereka yang akan berhijrah ke Talangsari. Bahkan siapa saja (dari Jakarta atau Jawa Tengah) yang bermaksud melaksanakan hijrah ke Talangsari, Lampung, harus mengangkat janji kepada kepemimpinan Nurhidayat, juga harus di-bai'at (sumpah setia dan taat kepada Nurhidayat tanpa boleh ditentang), bahkan siap mati untuk perjuangan menegakkan syariat Islam. Jadi sejak awal, mereka yang berhijrah atau dihijrahkan ke Talangsari, Lampung, sudah bertekad untuk berjuang sampai mati, tidak ada penyesalan apabila terjadi kekalahan atau resiko apapun yang nantinya bakal terjadi dalam basis pergerakan di Talangsari, Lampung itu.

Oleh karena itu, mereka yang terlibat kasus Talangsari, Lampung, dan ikhlas dalam perjuangan, tidak ada agenda tuntut menuntut, atau menyesali “kekalahan” yang diderita. Sebab kalah atau menang, mati atau hidup sudah merupakan resiko perjuangan. Karenanya, sejak awal bila memang berniat untuk berjuang tidak boleh gegabah dalam menentukan sikap, sebab setiap perjuangan selalu mengorbankan nyawa orang banyak.

Sedangkan mereka yang terbukti kemudian tidak ikhlas, lebih cenderung melakukan serangkaian upaya tuntut-menuntut, yang oleh masyarakat banyak dibaca sebagai upaya komersialisasi semata.

Jadi, peristiwa Talangsari, Lampung, tidak persis sama dengan dengan kasus Priok (1984), berbeda dengan peristiwa Santacruz di Timor Timur. Karena, peristiwa Talangsari, Lampung merupakan gerakan yang sudah direncanakan dari Jakarta oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Sejak awal, Nurhidayat dan kawan-kawan sudah merencanakan peperangan terbuka dengan aparat. Sebuah gagasan yang konyol.

Peperangan Yang Direncanakan
Peristiwa Lampung 1989 adalah tindakan radikal, anarkis, bahkan subversif, yang memang direncanakan. Selain direncanakan, ia juga merupakan perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama berlandaskan penanaman doktrin ideologis yang kemudian disadari keliru.

Rencana menuju perbuatan radikal, anarkis bahkan subversif itu dapat dilihat dari kronologis berikut ini:

Setidaknya sejak September 1988, ketika empat aktivis dari Jakarta yaitu Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Fauzi Isman dan Wahidin, mengadakan pertemuan di rumah kontrakan Sudarsono di jalan Remaja 1, Prumpung, Jakarta Timur.

Dari pertemuan itu tercetus gagasan membentuk sebuah tatanan kehidupan bernegara yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebagai tujuan jangka panjang.

Sedangkan tujuan jangka pendeknya adalah membangun Islamic Village di seluruh Indonesia, yang berfungsi sebagai basis gerakan. Untuk membangun Islamic Village ini, pada Oktober 1998 Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, memerintahkan Fauzi Isman, Wahidin dan Sofyan berangkat ke Lampung menemui Anwar Warsidi, pemimpin kelompok pengajian yang memiliki lahan seluar 1,5 hektar.

Masih pada bulan yang sama, bertempat di rumah kontrakan Sudarsono, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib bersama-sama dengan Fauzi Isman, Sudarsono dan Wahidin menerima utusan dari Anwar Warsidi (Lampung), yaitu Ir. Usman, Umar, Heri dan Abdullah (alias Dulah). Isi pertemuan pada dasarnya menyetujui adanya kerja sama membangun Islamic Village.

Rencana membangun Islamic Village sebagai basis perjuangan kian dipertegas ketika Nur Hidayat bin Abdul Mutholib bersama Fauzi Isman berangkat ke Lampung, melakukan pembicaraan dengan Anwar Warsidi, intinya:

1. Anwar Warsidi menerima “keputusan Cibinong” (12 Desember 1988) tentang dijadikannya Lampung sebagai basis perjuangan (Islamic Village).
2. Jama’ah Lampung bersedia menjadi “kaum Anshor”.
3. Jama’ah dari Jakarta yang akan ke Lampung harus mendapat rekomendasi dari Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, atau Fauzi Isman atau Sudarsono.

Sebagai tindak lanjut pertemuan dan keputusan tersebut, maka pada Januari 1989, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib memberangkatkan sejumlah orang dari Jakarta, yaitu Alex (beserta keluarga), Margo, Sugeng, Muslim, Sukardi (beserta keluarga), Sofyan, Arifin, Ucup, Heru Saefudin, Iwan, Fahrudin, Kasim, Joko, ke Lampung. Bersamaan dengan rombongan itu, melalui Alex, dititipkan sejumlah 300 anak panah.

Cita-cita jangka pendek membangun Islamic Village sebagai basis perjuangan, musnah seketika, bersamaan dengan terjadinya insiden berdarah yang menewaskan Kapt. Inf. Soetiman, di tangan mbah Marsudi, kakak kandung Anwar Warsidi, pada 6 Februari 1989, menjelang dzuhur.

Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya eksodus. Sebagian dari para muhajirin (yang semula terdiri dari sekitar 100 jiwa) itu meninggalkan Cihideung, hingga tertinggal beberapa Kepala Keluarga yang berjumlah sekitar 58 jiwa.

Tewasnya Kapt. Inf. Soetiman, disikapi secara tegas oleh aparat. Pada tanggal 7 Februari 1989, pukul 03:00 pagi, pasukan Korem Garuda Hitam tiba di lokasi. Berulangkali petugas memperingatkan Warsidi melalui pengeras suara agar segera menyerahkan jenazah Soetiman. Tak ada reaksi bahkan tak ada tanda-tanda kompromi. Himbauan dan peringatan tak lagi dihiraukan. Ketika pagi mulai menyeruak, seseorang dari balik dinding memberi komando jihad. Bersamaan dengan itu, orang-orang Warsidi berhamburan keluar sambil membawa panah dan golok menyerang petugas. Tentu saja, ini perbuatan sia-sia karena aparat tak mungkin membiarkan mereka melakukan penyerangan yang membabi buta seperti itu.

Terjadilah peperangan (qital) yang tidak seimbang. Peperangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Ketika peperangan terjadi jumlah jama’ah Warsidi yang berada di TKP Cihideung pasca eksodus adalah 58 jiwa. Dari 58 jiwa, hanya tujuh jiwa yang selamat (hidup) termasuk Jayus dan mbah Marsudi. Dari sejumlah 51 jiwa yang tewas, ada yang tewas karena peperangan (Lelaki dewasa), sedangkan wanita dan anak-anak tewas akibat terbakar bersama-sama dengan terbakarnya pondok yang mereka jadikan tempat tinggal. Siapa yang membakar pondok? Dugaan kuat mengarah kepada Alex.

Tanggal 7 Februari 1989, pukul 07.00 wib, Loso (60 th) dan Kamarudin (30 th), warga Pakuan Aji yang menjadi pemandu garis depan, mendengar ada orang merintih-rintih di dalam sebuah pondok. Kedua orang ini mencari tahu, dari mana suara itu berasal. Belakangan diketahui, seseorang membacok anggotanya sendiri, ketika hendak menyerahkan diri kepada aparat. Kamarudin malah melihat, bangunan rumah bambu itu kemudian dibakar oleh anak buah Warsidi. Pukul 11.30 wib (menjelang Lohor), kobaran api yang melahap pondok Warsidi beserta isinya baru bisa dipadamkan.

Fakta-fakta Pasca Peperangan
Berbagai fakta yang berhasil dihimpun pasca terjadinya peperangan 6-7 Februari 1989, menunjukkan bahwa tragedi Lampung memang merupakan sebuah peperangan yang benar-benar diniatkan oleh para pelakunya.

Pada tanggal 10 Februari 1989, berlangsung sebuah pertemuan di kediaman Mafaid Faedah Harahap (Gang H. Jalil, Dukuh Atas, Jakarta Pusat). Selain tuan rumah, pertemuan ini dihadiri oleh Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Fauzi Isman, Wahidin, Ridwan, Maulana Abdul Lathief, dan Sukardi, untuk membahas peristiwa Lampung.

Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut:

1. Melakukan gerakan “balasan” di Jakarta dan berbagai daerah lain yang memungkinkan untuk itu.
2. Mengirimkan utusan ke berbagai daerah.
3. Membuat anak panah beracun dan bom molotov.
4. Menetapkan nama gerakan dengan Front Komando Mujahidin (FKM).
5. Membuat selebaran tentang Maklumat Komando Mujahidin dan Tragedi Talangsari III Lampung.

Pada tanggal 11 Februari 1989 di bengkel Yus Iskandar, Kompleks Seroja Bekasi, dan di Pangkalan Jati Jakarta Timur, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Iwan, Sukardi, Fauzi Isman, Sofyan dan Riyanto membuat ratusan anak panah yang terbuat dari jeruji sepeda motor.

Gerakan balasan pada point “1” di atas, yang direncanakan akan terlaksana 2 Maret 1989, berupa: meledakkan/membakar pasar Glodok, Pasar Pagi, Pompa bensin di sepanjang Jalan Jen. Sudirman, Jalan Jen. Gatot Subroto, hingga ke kawasan Tanjung Priok.

Rencana tersebut belum sempat terlaksana, karena aparat telah lebih dulu melakukan penangkapan pada akhir Februari 1989, terhadap Nurhidayat bin Abdul Mutholib dan kawan-kawan, kecuali Mafaid Faedah Harahap dan Wahidin.


Penutup
Sungguh merupakan suatu hal yang sangat menyedihkan dan sekaligus memalukan: para ‘pejuang’ pada suatu peperangan yang sudah direncanakan dengan matang, namun akhirnya mengalami kekalahan, lalu menuntut kompensasi, minta penggantian, kepada pihak yang mengalahkannya, dengan berbagai alasan kemanusiaan dan lain sebagainya. Ini jelas tidak logis. Apalagi, pihak yang kalah adalah pihak yang justru menjadi pemicu terjadinya peperangan.

Apakah terfikir, jika peperangan saat itu dimenangkan oleh para ‘pejuang’ (jama’ah Warsidi), kemudian para korban dari pihak aparat mengajukan tuntutan ganti-rugi, mengajukan kompensasi, akankah itu semua bisa dipenuhi? Dapatkah para ‘pejuang’ (jama’ah Warsidi) memenuhi tuntutan kompensasi yang diajukan keluarga aparat yang meninggal seperti Dan Ramil Kapten Inf. Soetiman, Kapolsek Sudargo, Pratu Budi Waluyo, Serda Sembiring, Babinsa Koramil Way Jepara Yatin, dan Lurah Sidorejo Arifin?

Faktanya, tidak pernah ada keluarga korban peperangan tragedi Lampung dari pihak aparat yang mengajukan kompensasi atau tuntutan ganti-rugi kepada para ‘pejuang’ (jama’ah Warsidi) berupa moril maupun materiel. Mereka ikhlas dan menganggapnya bagian dari resiko tugas.

Oleh karena itu janganlah sekali-kali mengobarkan peperangan, yang akan mengorbankan jiwa sendiri atau orang lain. Pikirkanlah dengan matang sebelum bertindak, sebab resiko yang ditimbulkan dari sebuah peperangan sekecil apapun, amatlah besar. Bila memang sudah bertekad atau sekedar terlanjur memutuskan untuk berperang, dan kemudian menderita kekalahan, tidak layak menyesal dan tidak sepantasnya menuntut sejumlah kompensasi kepada pihak yang menang. Kalau memang mau berjuang, berjuanglah dengan ikhlas, dengan penuh kesadaran, dengan hati yang bersih, dengan hanya mengharap ridho Allah SWT.

Terlalu kerdil dan memalukan: setelah terjadi kekalahan lalu para ‘pejuang’ yang menyulut api peperangan dan kemudian kalah, justru minta penggantian, menuntut sejumlah kompensasi dengan mengajukan berbagai alasan, antara lain karena merasa disakiti dan dirugikan.

Saya menghimbau kepada teman-teman, sudahilah kenangan pahit itu sampai di sini saja. Tidak perlu menyimpan penyesalan dan dendam. Serahkan semua yang sudah terjadi kepada Allah SWT. Mereka yang sudah meninggal, kita do’akan semoga diterima Allah sebagai syuhada. Sedangkan bagi yang masih hidup, teruslah introspeksi diri, dan bertobatlah kepada Allah SWT. Karena, kematian pasti akan menjemput kita, dengan jalan yang tidak kita ketahui, kapan, di mana, kita akan dijemput oleh sang malaikat maut. Anggaplah semua itu pelajaran dalam perjuangan.

“Seekor keledai tidak akan pernah mau terperosok dua kali ke dalam satu lobang yang sama.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar