Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, Singapura lebih maju
dibanding negara-negara anggota yang lainnya. Sebenarnya belum banyak
kalangan yang tahu apa kekuatan yang sesungguhnya dari negara yang
luasnya lebih kecil dari Jakarta itu. Pada kenyataannya, Singapura
dikenal sebagai pusat keuangan di Asia Tenggara. Menurut
penelusuran dari berbagai sumber, indikator-indikator ekonomi Singapura
kerap menjadi tolak-ukur bagi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia
Tenggara.
Masuk akal, karena negara yang didirikan oleh
Lee Kuan Yew ini merupakan basis regional dari berbagai perusahaan
multi-nasional negara-negara barat termasuk Amerika Serikat. Bahkan para
konglomerat besar Cina dari Indonesia,
Hongkong dan Taiwan, juga menjadikan Singapura sebagai basis
regionalnya untuk melancarkan operasi bisnisnya di Asia Tenggara. Namun
tahukah anda bahwa sisi yang berbahaya dari Singapura di masa depan
justru pertumbuhan pesatnya dalam bidang pertahanan? Tabloid Intelijen
edisi 13-26 Juli 2006, mewartakan bahwa pada tahun 2000-2001 saja
anggaran militernya sudah
mencapai 4,3 miliar dolar AS. Padahal kita negaranya jauh lebih besar,
anggaran militernya pada 2010 diproyeksikan hanya 42 triliun rupiah.
Sekadar perbandingan dari segi peralatan militer, Singapura memiliki
empat pesawat jet tempur F-16B, 10 F-18D, 36 F-SC, dan delapan F-5T.
Sedangkan Indonesia, hanya punya 12 jet tempur F-16, dengan catatan
hanya beberapa
yang layak terbang. Tak heran jika angkatan bersenjata Singapura cukup
canggih secara teknologi, karena rata-rata anggaran militernya mencapai 6
persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Dari gambaran sekilas tersebut, jelas Singapura mengidap ketakutan
berlebihan atau paranoid sehingga mendorong sektor pertahanan
nasionalnya menjadi agenda yang paling utama. Hal ini semakin diperkuat
dengan fakta bahwa 10
persen dari jumlah penduduk Singapura yang sekarang berjumlah 3,2
juta penduduk, ternyata bekerja di bidang militer. 50 ribu personel
bekerja full time, dan sekitar 250 ribu lainnya masuk kategori komponen
cadangan yang bisa
digerakkan kapan saja.
Yang lebih mencemaskan lagi, dalam memenuhi kebutuhannya terhadap
peralatan militer berteknologi tinggi, Singapura mengandalkan pada
Israel. Secara psikologis, kedua negara memang memiliki ketakutan yang
sama.
Keduanya sama-sama negara kecil, sama-sama berwilayah sempit, dan
berpenduduk pendatang yang bukan asli lokal. Dan dikelilingi oleh
negara- negara besar berpenduduk mayoritas Muslim. Nampaknya inilah yang
mendasari eratnya kerjasama militer kedua negara.
Ada cerita menarik dari ZA Maulani, mantan Kepala Badan Intelijen
Negara di era Presiden BJ Habibie. Menurut Maulani, pada era militer
masih dikuasai oleh Jenderal Benny Murdani, seringkali Indonesia
mengirim personil-personil TNI untuk dilatih di Israel. Dan menariknya,
Singapura dijadikan basis untuk memberangkatkan para personil TNI ke
Israel secara rahasia. Artinya, secara resmi TNI dikirim ke Singapura,
namun setelah sampai di Singapura, kemudian
segala identitas personil TNI tersebut diproses ulang, untuk kemudian
diberangkatkan ke Israel dengan identitas baru hasil kreasi aparat
militer
dan intelijen Singapura. Berarti, ada semacam konspirasi antara beberapa
perwira TNI, para petinggi militer dan intelijen Singapura, dan
tentunya pihak Israel.
Dari berbagai penelusuran data dan dokumen oleh Tim Riset Global
Future Institute, sejak menjadi negara merdeka dan lepas dari Malaysia
pada 1965, Singapura memang mengandalkan Israel untuk membentuk
tentaranya. Israel kemudian mengirim beberapa perwira handalnya ke
Singapura. Tim pertama dipimpin oleh Elazari, yang bertugas untuk
memberi pelatihan mengenai sistem pertahanan dan keamanan dalam negeri.
Tim kedua, dipimpin oleh Mayor Jenderal Yehuda Golan, bertugas untuk
membangun infrastruktur militer ala Israeli Defense Force (IDF). Yang
menariknya lagi, tim militer Israel tersebut
sebelum berangkat ke Singapura dilatih oleh Jenderal Rehavam Ze’evi yang menurut informasi merupakan fundamentalis Zionis.
Kedekatan kedua negara semakin kelihatan jelas ketika pada 1968, tak
lama setelah angkatan bersenjata Israel berhasil menaklukkan Mesir dan
negara-negara Arab di gurun Sinai, Singapura membeli 72 tank jenis
AMX-13 buatan Israel. Dalam pembangun rudal anti tank, Singapura
berkerjasama dengan Israel Aircraft Industries (IAI). Dan karena
kerjasama tersebut, Israel bersedia mentransfer teknologi militernya ke
Singapura. Investasi Singapura di Israel hampir sebagian besar
dikonsentrasikan dalam sektor teknologi tinggi. Pada 2000-2002, nilai
investasi Singapura diperkirakan mencapai 400 juta dolar AS, dan
sebagian besar ditanamkan di sektor-sektor industri berteknologi tinggi.
Sekadar informasi, sebagaimana diwartakan oleh Tabloid Intelijen
edisi 13-26 Juli 2006, setidaknya dua perusahaan besar bermain dalam
bisnis raksasa ini yaitu Temasek Capital TIF Ventures. Masuk akal,
karena kedua perusahaan tersebut milik Dewan Pengembangan Ekonomi
Singapura yang berinvestasi di lima perusahaan permodalan Israel. Bukan
itu saja. Kedua negara juga mengikat
kerjasama industri melalui Singapura-Israel Industry R&D (SIIRD).
Melalui lembaga ini, memberikan 50 persen dananya untuk pengembangan
riset bagi perusahaan Israel maupun Singapura.
Operasi Intelijen Singapura di Indonesia Singapura memiliki badan
intelijen, namanya Singapore Intelligence Service (SIS). Menurut
beberapa sumber informasi, mereka ini berperan besar dalam membantu
Megawati Sukarnoputri
menjadi Presiden sejak kejatuhan Suharto pada Mei 1998 lalu.
Kalau kita menelusur lepasnya Indosat ke tangan perusahaan Singapura
Singtel semasa Laksamana Sukardimenjadi Menteri BUMN era Megawati,
sinyalemen tersebut jadi masuk akal adanya. Menurut informasi, selain
Laksamana Sukardi,
Mayor Jenderal Purnawirawan Theo Syafei disebut-sebut merupakan pemain
kunci dalam memfasilitasi terjadinya pengalihan asset kepemilikan BUMN
ke Singapura. Syafei dikenal sebagai perwira tinggi yang dekat dengan
Benny Murdani.
Menurut informasi, para agen intelijen SIS tersebut berlindung atas
nama Kedutaan Singapura. Bahkan Tabloid Intelijen di edisi yang sama,
menyebut koresponden Straits Times, Derwin Pereira, sebagai salah satu
mata-rantai dari
operasi intelijen yang dilancarkan oleh SIS. Dalam konteks ini, peran
SIS harus dibaca sebagai bagian dari mata-rantai konspirasi yang
dilancarkan badan intelijen Amerika Serikat CIA dan badan intelijen
Israel MOSSAD. Ketiga badan
intelijen tiga negara tersebut inilah yang diyakini banyak kalangan
telah ikut berperan dalam menjatuhkan Suharto dari tampuk kepresidenan
pada Mei 1998.
Mengingat keahlian MOSSAD dalam teknik penyesatan (Deception), maka
kita patut curiga terhadap peringatan yang dilontarkan angkatan laut
Singapura saat itu bahwa ada kelompok teroris yang sedang berencana
lakukan aksi perompakan di Selat Malaka. Dalam peringatan tersebut,
pihak Singapura
menggunakan momentum penangkapan orang-orang Aceh, sehingga memberi
kesan mereka inilah kelompok teroris yang dimaksud.
Namun, dari fakta yang ada, intelijen Israel sangat ahli dalam
menerapkan teknik False Flag alias bendera palsu. Operasi ini biasanya
dimaksudkan untuk merekrut agen atau operator lapangan dengan tujuan
untuk melakukan
operasi tipuan yang tentunya dengan menjalankan misi yang juga palsu adanya.
Dalam operasi false flag yang jadi keahlian Israel, MOSSAD seringkali
merekrut orang-orang arab yang justru merupakan musuh mereka, dengan
menyamar sebagai orang eropa, orang arab atau bangsa lain selain Israel.
Maka kalau ada aksi terorisme seperti pemboman Hotel Marriot, atau Ritz
Carlton beberapa tahun yang lalu, maka adanya indikasi keterlibatan
jaringan Al-Qaeda atau Jemaah Islamiyah, rasa-rasanya kita harus
bersikap skeptis terhadap versi-versi resmi yang dilontarkan aparat
keamanan kita. Karena yang kita kira agen-agen kedua gerakan tersebut,
bisa jadi merupakan bagian dari teknik operasi false flag yang
diterapkan oleh MOSSAD, CIA dan SIS.
http://www.theglobal-review.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar