ika kita membincangkan tentang jamaah tabligh, biasanya mereka akan
berkata ; “ itu ( jamaah tabligh ) bukan nama kita, terkadang kita juga
dipanggil jamaah kompor atau jamaah dakwah dll. “ Apapun nama mereka
sehinggalah kita namakan jamaah tabligh hanya untuk memudahkan saja
dalam pembahasan ini.
Diantara ciri khas cara berdakwah jamaah tabligh adalah menghindari
kajian dan soal jawab tentang ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering
dituding sebagai 'biang pemecah belah umat', serta lebih menonjolkan
sunnah dalam bab cara berpakaian, makan dan minum, tidur, dll yang
membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima masyarakat
berbagai lapisan.
Dikalangan masyarakat gerakan dakwah ini sangat populer, khususnya
jika dikaitkan dengan akhlak. Mereka sangat menonjolkan akhlak dalam
kehidupan sehari-hari, dan itu diantara perkara yang sangat di utamakan
dalam prinsip dakwah mereka.
Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Maka dalam pembahasan disini, saya mencuba untuk bersikap adil.
Alhamdulillah, saya pernah bersama mereka, setidaknya saya ingin
meletakkan suatu perkara pada tempatnya, karena pembahasan ini bukan
untuk menjatuhkan maruah saudara-saudaraku jamaah tabligh. Pembahasan
ini untuk pelajaran dan hikmah bagi saudaraku yang telah memahami, dan
ini untuk renungan bagi saudaraku di jamaah tabligh untuk di teliti dan
dikaji lalu disampaikan antara sesama untuk suatu perubahan.
Bagaimanakah hakikat jamaah tabligh yang bermarkaz di India, Pakistan dan Banglades ? Kajian dibawah ini adalah jawabannya.
Pendiri Jamaah Tabligh
Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah
yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama
Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti
Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi. Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari
Kandahlah, sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Sementara
Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi), ibukota India. Di
tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun
Ad-Diyubandi adalah nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi
penganut madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti
dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin
Al-Jisyti.
Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli
Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri
Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 144-146, dinukil dari
Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).
Latar Belakang Berdirinya Jamaah Tabligh
Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika
Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di
dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang
Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama
mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali hanya nama
dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati
Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti
Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi untuk membicarakan
permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di
India, atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah
'Abirah I’tibariyyah Haulal Jama'ah At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil
dari kitab Jama'atut Tabligh Aqa’iduha Wa Ta’rifuha, karya Sayyid
Thaliburrahman, hal. 19)
Merupakan suatu hal yang ma’ruf di kalangan tablighiyyin (para
pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya Muhammad Ilyas mendapatkan tugas
dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke (Jama’atut Tabligh Mafahim
Yajibu An Tushahhah, hal.makam Rasulullah 3).
Markas Jamaah Tabligh
Markas besar mereka berada di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin.
Markas kedua berada di Raywind, sebuah desa di kota Lahore (Pakistan).
Markas ketiga berada di kota Dakka (Bangladesh). Yang menarik, pada
markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizb
(rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas, nama Allah yang
agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang
dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut Tabligh
Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14)
Yang lebih mengenaskan, mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi
yang dijadikan markas oleh mereka, di mana di belakangnya terdapat empat
buah kuburan. Dan ini menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani, di
mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih dari
kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah melaknat orang-orang
yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengkhabarkan bahwasanya
mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi . (Lihat Al-Qaulul Baligh
Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh,Allah karya Asy-Syaikh Hamud
At-Tuwaijiri, hal. 12)
Sebagaimana kita pahami bahwa akidah asya’irah dan maturudiyah,
fanatik bermazhab, dan mengamalkan tarekat sufi tidak dicontohkan oleh
Nabi saw dan atsar para sahabatnya. Jamaah Tabligh didirikan oleh
seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan
bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il
Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi.
Perkara diatas menunjukkan bahwa pemahaman dan amalan pendiri jamaah
tabligh bertentangan dengan sunnah nabi saw dan para sahabatnya. Untuk
pembahasan ini, alangkah baiknya kalau para pembaca dapat mengenal
terlebih dahulu tentang kesalahan-kesalahan akidah asya’irah, bahayanya
fanatik mazhab dan ajaran tarekat sufi. Karena 3 perkara tersebut sangat
membudaya dan merupakan amalan di kalangan jamaah tabligh, khususnya
para senior dan para masyaikh di jamaah tesebut.
Diantara ciri khusus akidah asya’irah adalah mereka mentakwilkan
makna sifat-sifat Allah, seperti mereka mengingkari bahwa Allah itu
bersemayam di langit. Padahal pernyataan bahwa Allah bersemayam di
langit adalah firman Allah sendiri di surah at Taha:5, serta merujuk
pada hadis Mu’awiyah ibnu hakam as-sulami yang diriwayatkan muslim,
dimana seorang budak perempuan mengatakan bahwa Allah dilangit, saat
Nabi saw bertanya kepadanya. Ini juga sebagaimana apa yang di pahami
oleh para sahabatnya seperti Abdullah Bin Abbas saat menafsirkan makna
‘istawa’ pada surah al-‘Araf: 54 dengan makna ’alaa alaihi war tafa’a
(Allah berada diatas ‘Arsy dan tinggi, bukhari pada kitab tauhid).
Bukankah kita wajib mengikuti pemahaman Nabi dan para sahabatnya dalam
memahami Quran? Siapa yang tidak mengikuti jalan para sahabat Nabi saw
dalam berislam, maka ia akan sesat. Sebagaimana firman Allah SWT yang
artinya:
Dan sesiapa Yang menentang (ajaran) Rasulullah sesudah terang nyata
kepadanya kebenaran pertunjuk (yang dibawanya), dan ia pula mengikut
jalan Yang lain dari jalan orang-orang Yang beriman(jalan para sahabat),
Kami akan memberikannya Kuasa untuk melakukan (kesesatan) Yang
dipilihnya, dan (pada hari akhirat kelak) Kami akan memasukkannya ke
Dalam neraka jahanam; dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali.an-Nisa:115.
Dan banyak lagi kemungkaran dari ajaran asya’irah yang bertentangan
dengan sunah Nabi saw, pembahasan selengkapnya akan kita sampaikan pada
kesempatan lain insya Allah.
Begitu juga unsur fanatik dalam bermazhab. Pada hakikatnya mereka
mengajak manusia untuk beribadah mengikut mazhab. Mereka tidak
memfokuskan untuk mengamalkan hadis-hadis shahih dalam ibadah, walaupun
sudah jelas kelemahannya tetap saja berpegang pada mazhab.Bukankah kita
diperintahan untuk mengikuti Nabi saw dalam ibadah?
Mereka membenarkan ajaran tarekat sufi, seperti naqsabandi, sadzili
dll. Padahal amalan-amalan tarekat sufi seperti ini bertentangan dengan
amalan Nabi saw, seperti adanya bai’at kepada syaikh guru dalam ibadah,
membayangkan wajah guru dalam beribadah, berdzikir dengan lafaz ‘Allah’
saja dll. Sebaliknya ajaran tarekat sufi ini banyak diamalkan di jamaah
tabligh, bahkan ia juga jadi amalan diantara para masyaikh-masyaikh
tabligh.
5 Sifat/ Perkara yang berunsurkan syubuhat
Jamaah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan yang sangat teguh
mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka
sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus
sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai berikut:
Sifat Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah
Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan
keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan
keyakinan yang benar tentang dzat Allah, bahwasanya Dialah Sang
Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat dan Manfaat,
Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”.
Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid
rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal.
4).
Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama
adalah: “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat
Fathul Majid, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal.
52-55). Adapun makna merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis
tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat
(Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan
Al-'Adnani, hal. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan
memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah,
dan kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75)
Oleh karena itu, Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi
mengatakan bahwa di antara 'keistimewaan' Jamaah Tabligh dan para
pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwasanya mereka
adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid mereka
tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana
perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah
saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun
tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam
hal ini, mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid
asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta
Maturidiyyah, dan kepada Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah
‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah At-Tablighiyyah, hal. 46).
Sifat Kedua: Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri
Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada
shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta
tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya,
hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan
shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh, red)
tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir dari
mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 5- 6).
Sifat ketiga: Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir
Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu
fadhail. Ilmu masail, menurut mereka, adalah ilmu yang dipelajari di
negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari
pada khuruj (lihat penjelasan di bawah, red) dan pada majlis-majlis
tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari
fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta dasar-dasar pedoman Jamaah
(secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan
hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.
Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang
keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, serta
tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan
mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan
berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya.
(Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan ringkas).
Sifat Keempat: Menghormati Setiap Muslim
Sesungguhnya Jamaah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu
dalam merealisasikan sifat keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala
(kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang
bertentangan dengan kandungan sifat keempat ini di mana mereka memusuhi
orang-orang yang menasehati mereka atau yang berpisah dari mereka
dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang tersebut 'alim rabbani.
Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang
disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut Tabligh Mafahim
Yajibu An Tushahhah, hal. 8)
Sifat Kelima: Memperbaiki Niat
Tidak diragukan lagi bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama
dan keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu.
Dikarenakan Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama,
maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima ini.
Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang
dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An
Tushahhah, hal. 9)
Sifat Keenam: Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah subhanahu wata'ala
Cara merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk
berdakwah, pen) bersama Jamaah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup,
40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali
berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu
daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke
daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis
ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di
rumah.
Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit,
mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz Al Qur’an
setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para
jamaah yang khuruj, serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas.
Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa
konsep berdakwah (ala mereka, pen) yang disampaikan oleh salah seorang
anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama’atut Tabligh
Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan
Allah adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang ini mereka
(Jamaah Tabligh, pen) sebut dengan khuruj maka ini bid’ah. Belum pernah
ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di
jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari tertentu. Bahkan
hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi dengan
jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih
banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 7)
Asy-Syaikh Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di
jalan Allah, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah
kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman)
Muhammad Ilyas, syaikh mereka yang ada di Banglades (maksudnya India,
pen). (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 6)
Aqidah Jamaah Tabligh dan Para Tokohnya
Jamaah Tabligh dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat
rancu dalam hal aqidah. Demikian pula kitab referensi utama mereka
Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya Muhammad Zakariya
Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid’ah, dan
khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah aqidah
adalah:
1. Keyakinan tentang wihdatul wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam
ini). (Lihat kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet.
Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).
2. Sikap berlebihan terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa
mereka mengetahui ilmu ghaib. (Lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir,
hal. 468-469, dan hal. 540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
3. Tawassul kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya,
serta berlebihannya mereka dalam hal ini. (Lihat Fadhail A’mal, bab
Shalat, hal. 345, dan juga bab Fadhail Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub
Khanat Faidhi, Lahore).
4. Keyakinan bahwa para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan
ilmu laduni (lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Qur’an, hal. 202- 203,
cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
5. Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa
menyingkap segala sesuatu dari perkara ghaib atau batin. (Lihat Fadhail
A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
6. Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat
Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil Qulub, hal. 190). Oleh karena
itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jamaah Tabligh telah membai’atnya di
atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia bangun
malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih
Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu
An Tushahhah, hal. 2).
7. Saling berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat
sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah.
(Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya Asy-Syaikh Sa’ad Al-Hushain, hal.
9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal.
12).
8. Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad
Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal, bab Fadhail Ash-Shalati ‘alan Nabi, hal. 19,
cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore).
9. Kebenaran suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan
permusuhan, perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar- maka
harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jamaah. (Al-Quthbiyyah Hiyal
Fitnah Fa’rifuha, hal. 10).
10. Keharusan untuk bertaqlid (lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat,
karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, hal. 94, dinukil dari Jama'atut
Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hal. 70).
11. Banyaknya cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu
di dalam kitab Fadhail A’mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan
oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim
Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan hal. 50-52. Bahkan cerita-cerita
khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka jadikan sebagai
bahan utama untuk berdakwah. Wallahul Musta’an.
Fatwa Para Ulama Tentang Jamaah Tabligh
1. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
“Siapa saja yang berdakwah di jalan Allah bisa disebut “muballigh”
artinya: (Sampaikan apa yang datang dariku (Rasulullah), walaupun hanya
satu ayat), akan tetapi Jamaah Tabligh India yang ma’ruf dewasa ini
mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan. Maka dari itu,
tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu,
yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan
mereka) dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut
dengan mereka maka tidak boleh”.
2. Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga Allah
merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau
tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah Tabligh untuk mengingkari
kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, pen), karena jika
mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi maka tidak
akan ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka. Namun kenyataannya,
mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau rujuk dari kebatilan
mereka, dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan kuatnya mereka dalam
mengikuti hawa nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari
ulama, niscaya mereka telah tinggalkan manhaj mereka yang batil itu dan
akan menempuh jalan ahlut tauhid dan ahlus sunnah. Nah, jika demikian
permasalahannya, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka
sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di atas Al Qur’an dan
As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul bid’ah dan
peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka. Yang demikian
itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen),
dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka
dalam menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap
Islam dan kaum muslimin, serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka
dalam hal dosa dan kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di
atas empat tarekat sufi yang padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul
wujud, kesyirikan dan kebid’ahan”.
3. Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh
rahimahullah berkata: “Bahwasanya organisasi ini (Jamaah Tabligh, pen)
tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia sebagai organisasi bid’ah dan
sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka benar-benar kami dapati
kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur dan
kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu -insya
Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.
4. Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah berkata: “Jamaah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta
pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah Jamaah
Tabligh adalah dakwah sufi modern yang semata-mata berorientasi kepada
akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat, maka sedikit pun
tidak mereka lakukan, karena -menurut mereka- bisa menyebabkan
perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah
mempunyai prinsip keilmuan, yang mana mereka adalah orang-orang yang
selalu berubah-ubah dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada”.
5. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Kenyataannya
mereka adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dan orang-orang tarekat
Qadiriyyah dan yang lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan
tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al
Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi kepada Muhammad Ilyas, syaikh mereka
di Bangladesh (maksudnya India, pen)”.
Demikianlah selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga
sebagai nasehat dan peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq
wal Hadi Ila Aqwamith Thariq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar