Makna Istighootsah :
Istighootsah secara bahasa Arab merupakan mashdar dari fi’il استغاث
yang artinya adalah tolab al-ghouts (meminta pertolongan) untuk
menghilangkan kesulitan. Diantara bentuk istighootsah adalah menyeru
sesuatu/seseorang untuk (disertai dengan) permohonan pertolongan kepada
orang yang diseru tersebut agar bisa menghilangkan kesulitan yang
dihadapi. Ada macam-macam istighotsah
Istighotsah yang syar’i ada dua model;
Pertama : istighotsah kepada Allah, inilah
istighootsah yang diperintahkan oleh Allah, karena tidak ada yang bisa
menolong dan menghilangkan kesulitan secara mutlak kecuali Allah. Allah
berfirman
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلائِكَةِ مُرْدِفِينَ (٩)
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya aku akan mendatangkan bala
bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut”.
(QS Al-Anfaal : 9)
Kedua : Istighootsah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada perkara-perkara yang dimampui oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tidak seorang muslimpun yang menentang atau
mengingkari hal ini. Bahkan kita boleh beristighootsah kepada mukmin
mana saja pada perkara-perkara yang dimampuinya. Bahkan kita boleh
beristighotsah kepada orang kafir dan orang fajir pada perkara-perkara
yang mereka mampui. Tentunya semuanya dengan tetap meyakini bahwa yang
mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot sesungguhnya hanyala Allah
semata.
Allah berfirman tentang istighotsah model kedua ini, yaitu
istighootsah yang ditujukan kepada Nabi Musa ‘alaihi salam pada perkara
yang dimampui olehnya.
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ
“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya,
untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya” (QS Al-Qoshosh : 15)
Adapun istighootsah yang terlarang maka ada beberapa model:
Pertama : Istighootsah kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada sholihin di masa hidup mereka
pada perkara-perkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah semata.
Seperti beristighotsah kepada mereka untuk memperoleh ampunan, atau
agar memperoleh hidayah, atau memperoleh rizki. Karena yang mampu akan
perkara-perkara ini hanyalah Allah semata.
Kedua : Istighootsah kepada mayat, baik mayat tersebut
adalah para nabi maupun dari kaum sholihin. Karena beristighootsah
kepada mayat adalah beristighootsah kepada sesuatu yang tidak mampu
(akan datang penjelasanya lebih dalam dalam artikel selanjutnya insyaa
Allah)
Ketiga : Istighootsah kepada orang yang
hidup akan tetapi tidak sedang hadir. Adapun beristighotsah kepada
seseorang yang tidak hadir dihadapan kita akan tetapi ada sarana
komunikasi yang bisa menyampaikan permohonan kita kepadanya –seperti
telepon genggam dll- maka hal ini tentu tidak mengapa, karena ia
hukumnya seperti orang yang hadir di hadapan kita. Adapun jika seseroang
ditengah lautan diombang ambingkan oleh ombak besar tanpa ada sarana
komunikasi lantas ia beristighootsah dengan memanggil dan menyeru
seseorang yang tidak hadir dihadapan dia maka ini tidak diperbolehkan.
Karena hal ini melazimkan perkara-perkara yang haram, diantaranya:
- Ia meyakini bahwa orang yang diserunya tersebut mendengar dari kejauhan
- Ia meyakini bahwa orang yang diserunya tersebut mengetahui
hal yang ghoib (mengetahui kondisi para hamba dimanapun hamba berada)
- Ia meyakini bahwa orang tersebut bisa mengatur sebagian alam semesta, dalam hal ini mengatur kondisi ombak dan lautan.
Keempat : Dan ini adalah istighootsah yang
paling parah, yaitu beristighotsah kepada mayat pada perkara-perkara
yang tidak ada yang mampu untuk melakukannya (mengabulkannya) kecuali
Allah. Seperti seseroang yang pergi ke kuburan lantas meminta dan
beristighootsah kepada penghuni kuburan agar mengangkat kesulitan
hidupnya. Dan yang lebih parah lagi adalah kondisi seseorang yang
ditengah lautan –sebagaimana telah lalu- lantas ia beristighootsah
kepada mayat tersebut !!!
Saya mengajak orang-orang yang hendak beristighotsah atau meminta
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah wafat (apalagi
penghuni kuburan yang lain) agar merenungkan sepuluh perkara berikut
sebelum mereka beristighotsah kepada penghuni kuburan.
PERTAMA : Tujuan dari ziarah kubur adalah (1) untuk mengingat akhirat dan (2) untuk mendoakan penghuni kubur
Rasulullah pernah melarang para sahabat untuk ziarah kubur di awal
islam karena kawatir hati mereka terikat dengan para penghuni kubur
sebagaimana kebiasaan kaum muysrikin.
Rasulullah bersabda :
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“Sesungguhnya saya pernah melarang kalian untuk menziarahi kuburan, maka (*sekarang) ziarahilah kuburan” (HR An-Nasaai no 5652)
Berkata Al-Muhallab bin Ahmad (wafat tahun 435 H) ;
“Dan makna dari larangan menziarahi kuburan yaitu hanyalah dilarang
tatkala di permulaan Islam, tatkala mereka baru saja (*terlepas) dari
menyembah berhala dan menjadikan kuburan sebagai masjid –wallahu A’lam-.
Maka tatkala Islam sudah kokoh dan kuat di hati-hati manusia dan aman
dari (*timbulnya) peribadatan kuburan dan sholat ke arah kuburan maka
dinaskh (*dihapuslah) larangan menziarahi kuburan, karena dengan
berziarah kuburan akan mengingatkan akhirat dan menjadikan zuhud dalam
dunia” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Battool dalam Syarh shahih
Al-Bukhari, tahqiq Abu Tamiim Yasir bin Ibrahim, Maktabah Ar-Rusyd
3/271)
Berkata Al-Munaawi as-Syafi’i
“((Aku pernah melarang kalian dari ziaroh kuburan)) karena kalian baru
saja meninggalkan kekufuran. Adapun sekarang tatkala telah hilang
sisa-sisa jahiliyah dan telah kokoh Islam dan jadilah kalian orang-orang
yang yakin dan takwa ((Maka ziarahilah kuburan)) yaitu dengan syarat
tidak disertai dengan mengusap kuburan atau mencium kuburan atau sujud
di atasnya atau yang semisalnya, karena hal itu -sebagaimana perkataan
As-Subkiy- adalah bid’ah yang mungkar, hanyalah orang-orang jahil
(bodoh) yang melakukannya” (Faidhul Qodiir 5/55, lihat juga At-Taisiir
bi syarh Al-Jaami’ As-Shoghiir 2/439)
Setelah Islam para sahabat kokoh maka Rasulullah menghapus hukum
larangan ziarah kuburan dan malah menganjurkan untuk berziarah kuburan
mengingat faedah yang bisa diperoleh dari ziarah kuburan yaitu mengingat
kematian dan akhirat.
Rasulullah bersabda :
فَزُوْرُوا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Ziarahilah kuburan, karena hal itu mengingatkan akan kematian” (HR Muslim no 976)
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda :
فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الآخِرَةَ
“Ziarahilah kuburan karena hal itu akan mengingatkan akhirat” (HR At-Thirmidzi no 1054)
Karenanya bahkan dibolehkan menziarahi kuburan orang kafir dalam rangka mengingat akhirat.
Tatkala menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ((Aku
meminta izin kepada Robku untuk memohonkan ampunan bagi ibuku maka Allah
tidak mengizinkan aku, dan aku meminta izin kepadaNya untuk menziarahi
kuburan ibuku maka Allah mengizinkan aku)), Imam An-Nawawi berkata :
“Al-Qiidhi ‘Iyaadl rahimahullah berkata : Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menziarahi kuburan ibunya ialah Nabi ingin kuatnya mau’izoh
(nasihat) dan peringatan dengan melihat kuburan ibunya. Hal ini
dikuatkan dengan sabda beliau di akhir hadits ((Maka ziarahilah kuburan
karena hal itu mengingatkan kalian pada kematian))” (Al-Minhaaj syarh
shahih Muslim 7/45)
Fungsi lain dari ziarah kubur adalah untuk berbuat ihsan (kebaikan)
kepada penghuni kuburan dengan mendoakannya dan memohon ampunan
untuknya.
Nabi mengajarkan para sahabat untuk mendoakan penghuni kubur. Buraidah bin Al-Hushoib radhiallahu ‘anhu berkata :
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ
إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ كَانَ قَائِلُهُمْ يَقُوْلُ :
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ .
أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari mereka jika
mereka pergi ke pekuburan untuk berkata : “(*Semoga) keselamatan bagi
kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin, sungguh
kami insyaa Allah akan menyusul kalian. Aku memohon dari Allah
keselamatan bagi kami dan bagi kalian”(HR Muslim no 975)
Bahkan Allah memerintahkan Nabi untuk mendoakan para penghuni kuburan
Baqii’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah
فَإِنَّ جِبْرِيْلَ أَتَانِي … فَقَالَ : إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ
تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيْعِ فَتَسْتَغْفِرُ لَهُمْ. قَالَتْ : قُلْتُ
كَيْفَ أَقُوْلُ لَهُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : قُوْلِي السَّلاَمُ
عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ
“Sesungguhnya Jibril mendatangiku… lalu berkata : Sesungguhnya Robmu
memerintahkanmu untuk mendatangi para penghuni pekuburan Baqii’ lalu
engkau memohonkan ampunan bagi mereka”. Aisyah berkata : “Apa yang aku
ucapkan kepada mereka wahai Rasulullah?”. Nabi berkata : “Katakanlah :
(*semoga) keselamatan bagi kalian wahai penghuni kuburan dari kaum
mukminin dan muslimin, semoga Allah merahmati orang-orang yang lebih
dahulu dan yang terbelakang dan sesungguhnya kami –insyaa Allah- akan
menyusul kalian” (HR Muslim no 974)
Para pembaca yang budiman inilah yang disebut dengan ziarah yang
syar’i yang dianjurkan dan disunnahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Ash-Shon’aaniy berkata ;
“Dan maksud dari ziarah kuburan adalah mendoakan mereka (*para penghuni
kuburan) dan berbuat baik kepada mereka, dan untuk mengingat akhirat dan
zuhud pada dunia. Adapun yang diada-adakan oleh orang-orang awam yang
menyelisihi hal ini –seperti mereka berdoa kepada mayat, berteriak
meminta pertolongan kepada mayat, beristighotsah kepadanya, meminta
kepada Allah dengan hak sang mayat, dan meminta dipenuhi hajat kepada
Allah dengan (*wasilah) sang mayat, maka ini adalah bid’ah dan
kebodohan” (Subulus Salaaam 2/337)
Apa yang disebutkan oleh As-Shon’aaniy adalah ziarah yang tidak
sesuai syari’at. Coba bandingkanlah ziarah yang tidak syar’i dengan
ziaroh yang syar’i !!??. Seseorang yang berziarah sesuai sunnah Nabi
maka akan memberi manfaat kepada sang mayat dengan medoakan sang mayat
dan memohon ampunan baginya. Adapun ziarah yang tidak sesuai sunnah maka
sebaliknya, mengganggu sang mayat dengan memikulkan beban kepada sang
mayat dengan meminta-minta kepadanya, baik dengan meminta secara
langsung kepada sang mayat (dengan berdoa dan beristighotsah) atau
dengan meminta kepada Allah dengan menjadikan sang mayat sebagai wasilah
(perantara).
Lihatlah contoh teladan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang telah banyak
berkorban dan membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harta,
tenaga, dan pikiran…akan tetapi tidak pernah membebani Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan permintaan dan penjabaran hajat dan kebutuhan.
Dimana kedudukan Abu Bakar yang membantu Nabi dan tidak membebani Nabi
dibandingkan dengan kedudukan seseorang yang tidak membantu Nabi namun
malah membebani Nabi dengan berbagai permintaan dan kebutuhan??!!
KEDUA : Minta-minta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa
hidup beliau bisa jadi mengganggu dan menyakiti beliau, bagaimana lagi
jika setelah wafat beliau??
Abu Sa’iid Al-Khudriy radhiallahu ‘anhu berkata ;
أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم أَتَاهُ مَالٌ ،
فَجَعَلَ يُقَسِّمُهُ بَيْنَ النَّاسِ , يَقْبِضُهُ وَيُعْطِيهِمْ ،
فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ، فسأله فَأَعْطَاهُ فِي طَرْفِ رِدَائِهِ ،
فَقَالَ : زِدْنِي يَا رَسُولَ الله فَزَادَهُ ، ثُمَّ قَالَ : زِدْنَي يَا
رَسُولَ الله فَزَادَهُ ، ثُمَّ قَالَ : زِدْنِي فَزَادَهُ ، ثُمَّ
انْطَلَقَ فَلَمَّا وَلَّى قَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِينِي
فَأُعْطِيَهُ ، ثُمَّ يَسْأَلَنِي فَأُعْطِيَهُ ، ثُمَّ يَسْأَلَنِي
فَأُعْطِيَهُ ، فَيَحْمِلُ فِي ثَوْبِهِ نَارًا ، ثُمَّ يَنْقَلِبُ إِلَى
أَهْلِهِ بِنَارٍ
“Bahwasanya datang harta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka Nabipun membaginya diantara manusia, Nabi menggenggamnya lalu
memberikannya kepada mereka. Maka datanglah seseorang dari Quraisy lalu
ia meminta kepada Nabi lalu Nabi memberikan kepadanya di ujung selendang
orang tersebut, lalu orang itu berkata, “Tambahlah buatku wahai
Rasulullah”, maka Nabipun menambahkan buatnya, kemudian ia berkata lagi,
“Tambahkanlah buatku !”, maka Nabipun menambahkan buatnya, lalu ia
berkata lagi, “Tambahkanlah buatku !”, lalu Nabipun menambah buatnya.
Kemudian orang tersebut berpaling. Tatkala orang tersebut pergi maka
Nabi berkata ; “Sesungguhnya seseorang datang kepadaku maka akupun
memberikan kepadanya, kemudian dia meminta kepadaku lalu aku memberikan
kepadanya, kemudian dia meminta kepadaku lalu aku memberikan kepadanya,
maka iapun membawa neraka di bajunya, kemudian ia kembali ke keluarganya
dengan membawa api”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
رَوَاهُ مُسَدَّدٌ وَاللَّفْظُ لَهُ ، وَأَبُو يَعْلَى , وَرَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ بِسَنَدِ الصَّحِيحِ
“Diriwayatkan oleh Musaddad dan ini adalah lafalnya, dan diriwayatkan
oleh Abu Ya’la dan diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan sanad yang
shahih” (Ithaaf al-Khiyaroh al-Maharoh bi zawaaid al-Masaaniid
al-’Asyaroh 3/48, hadits ini juga oleh Ibnu Hibbaan lihat Shahih Ibnu
Hibbaan no 3265) :
KETIGA : Yang tidak minta kepada Nabi lebih disukai Nabi daripada yang minta kepada Nabi
Abu Sa’iid Al-Khudry radhiallahu ‘anhu berkata :
أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَتْ بِهِ حَاجَةٌ فَقَالَ لَهُ
أَهْلُهُ ائْتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْأَلْهُ
فَأَتَاهُ وَهُوَ يَخْطُبُ وَهُوَ يَقُولُ مَنْ اسْتَعَفَّ أَعَفَّهُ
اللَّهُ وَمَنْ اسْتَغْنَى أَغْنَاهُ اللَّهُ وَمَنْ سَأَلَنَا فَوَجَدْنَا
لَهُ أَعْطَيْنَاهُ قَالَ فَذَهَبَ وَلَمْ يَسْأَلْ
“Ada seseorang dari kaum Anshoor memiliki kebutuhan, maka
keluarganya berkata kepadanya : Datangilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mintalah kepadanya !”. Maka iapun mendatangi Nabi –dan Nabi
sedang berkhutbah dan berkata : ((Barangsiapa berusaha menjaga dirinya
(*dari perbuatan buruk) maka Allah akan menjaganya, dan barangsiapa yang
berusaha untuk merasa cukup maka Allah akan mencukupkannya, barangsiapa
yang meminta kepada kami lalu kami memiliki apa yang dimintanya maka
kami akan memberikan kepadanya)). Maka pergilah orang Anshoor tersebut
dan tidak jadi meminta kepada Nabi” (HR Ahmad 17/14 no 10989)
Dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ سَأَلَنَا إِمَّا أَنْ نَبْذُلَ لَهُ وَإِمَّا أَنْ نُوَاسِيَهُ
وَمَنْ يَسْتَعِفُّ عَنَّا أَوْ يَسْتَغْنِي أَحَبُّ إِلَيْنَا مِمَّنْ
يَسْأَلُنَا
“Barangsiapa yang minta kepada kami maka kami berikan kepadanya atau
kami membantunya, dan barangsiapa yang menjaga diri atau berusaha untuk
merasa cukup (*tidak minta bantuan kami) maka ia lebih kami sukai
daripada orang yang minta kepada kami” (HR Ahmad 17/488 no 11401)
Hadits-hadits ini adalah menceritakan tentang permintaan para
shahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tatkala Nabi masih
hidup, pada perkara-perkara yang dimampui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Akan tetapi kondisi tidak meminta-minta kepada beliau lebih
beliau sukai. Maka bagaimana lagi dengan permintaan yang ditujukan
kepada Nabi setelah wafat beliau?, dan juga pada perkara-perkara yang
tidak dimampui oleh Nabi? Yang mampu hanyalah Allah??
Ada yang datang ke kuburan Nabi agar menurunkan hujan, atau minta
pertolongan agar bisa mengalahkan musuh, atau meminta agar diberi
keturunan, atau agar bisa segera menikah, atau agar memperoleh
kedudukan, dll !!!???
KEEMPAT : Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong para
sahabat untuk tidak meminta kecuali hanya kepada Allah dan untuk tidak
meminta pertolongan kepada manusia siapa saja secara mutlak.
Karena di dalam proses meminta akan nampak kerendahan dan kehinaan
dari pihak yang meminta dan nampak pengakuan yang meminta akan kemampuan
yang dimintai.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu :
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah’ (HR At-Thirmidzi no 2516)
Wasiat Nabi kepada Ibnu Abbas ini sesuai dengan washiat Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (٨)
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS Asy-Syarh : 8)
Ibnu Jariir rahimahullah berkata :
يقول تعالى ذكره: وإلى ربك يا محمد فاجعل رغبتك، دون من سواه من خلقه،
إذ كان هؤلاء المشركون من قومك قد جعلوا رغبتهم في حاجاتهم إلى الآلهة
والأنداد
“Allah berfirman “Hanya kepada Robmu” wahai Muhammad jadikanlah
harapanmu, bukan kepada selain Allah dari kalangan makhluk-makhlukNya,
karena mereka kaum musyrikin dari kaummu telah menjadikan harapan mereka
dalam memenuhi hajat (kebutuhan) mereka pada sesembahan dan
tandingan-tandingan (selain Allah)” (Tafsiir At-Thobari 24/497)
Bahkan Nabi membai’at sahabat untuk tidak meminta kepada manusia secara mutlak.
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِي قَالَ : كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ
سَبْعَةً فَقَالَ : أَلاَ تُبَايِعُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ؟ وَكُنَّا حَدِيْثَ
عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا : قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ،
ثُمَّ قَالَ أَلاَ تُبَايِعُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقُلْنَا قَدْ
بَايَعْنَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ثُمَّ قَالَ أَلاَ تُبَايِعُوْنَ رَسُوْلَ
اللهِ، قَالَ فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ؟ قَالَ : عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا
اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَالصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ
وَتُطِيْعُوا وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً : “وَلاَ تَسْأَلُوْا النَّاسَ
شَيْئًا” فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ
أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ
Dari ‘Auf bin Maalik al-Asyja’iy berkata : Kami di sisi Rasulullallah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sembilan atau delapan atau tujuh
orang. Maka Nabi berkata : “Kenapa kalian tidak membai’at Rasulullah?”,
tatkala itu kami baru saja membai’at beliau. Maka kami berkata, “Kami
telah membai’at engkau wahai Rasulullah”. Kemudian beliau berkata,
“Kenapa kalian tidak membai’at Rasulullah?”, Kemudian beliau berkata,
“Kenapa kalian tidak membai’at Rasulullah?”, maka kamipun membentangkan
tangan-tangan kami dan kami berkata, “Kami telah membai’at engkau wahai
Rasulullah, lantas kami membai’at engkau (*lagi) di atas apa wahai
Rasulullah?”
Beliau berkata, “(*Kalian membai’atku) di atas kalian beribadah
kepada Allah dan kalian sama sekali tidak berbuat kesyirikan, untuk
sholat lima waktu dan untuk taat”, dan beliau mengucapkan dengan pelan
perkataan yang samar : “Dan janganlah kalian meminta apapun kepada manusia“.
Sungguh aku telah melihat salah seorang dari orang-orang tersebut
tatkala ada cemetinya yang terjatuh maka ia tidak meminta seorangpun
untuk mengambilkannya” (HR Muslim no 1043)
Tentunya meminta tolong kepada manusia pada perkara yang mungkin
dilakukan bukanlah kesyirikan, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam mengajarkan sahabatnya agar tidak meminta pertolongan kepada
siapapun…
Jadi, meminta-minta suatu pertolongan yang dimungkinkan saja
tercela dalam ajaran Habibuna Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
apalagi jika bentuk meminta pertolongan tersebut sama dengan model
memintanya kaum musyrikin, yaitu meminta kepada orang-orang yang sudah
mati dari kalangan kaum sholihin untuk mendapatkan sesuatu yang tidak
berhak memberinya melainkan Allah Ta’ala semata??!! Seperti minta
barokah, rezeki, kesehatan, kesembuhan, keberuntungan dan lain-lain yang
tidak akan pernah ada yang bisa memberinya melainkan Allah Tabaraka wa
Ta’ala.
KELIMA : Doa merupakan inti ibadah serta ibadah yang paling agung karena
di dalamnya terdapat sikap perendahan dan penghinaan diri dihadapan
Allah.
Ibadah secara bahasa berarti ketundukan dan perendahan, Al-Jauhari rahimahullah berkata:
“Asal dari ubudiyah (peribadatan) adalah ketundukkan dan kerendahan…,
dikatakan الطَّرِيْقُ الْمُعَبَّدُ (jalan yang ditundukkan/mudah untuk
ditempuh) dan الْبَعِيْرُ الْمُعَبَّدُ (onta yang tunduk/taat kepada
tuannya) (As-Shihaah 2/503, lihat juga perkataan Ibnu Faaris di Mu’jam
Maqooyiis Al-Lugoh 4/205, 206 dan perkataan Az-Zabiidi di Taajul ‘Aruus
8/330)
Adapun definisi ibadah menurut istilah adalah tidak jauh dari makna
ibadah secara bahasa yaitu ketaatan dan ketundukkan serta kerendahan:
At-Thobari berkata pada tafsir surata al-Faatihah:
“Kami hanyalah memilih penjelasan dari tafsir ((Hanya kepada Engkaulah
kami beribadah)) maknanya adalah kami tunduk, kami rendah, dan kami
patuh… karena ubudiyah menurut seluruh Arab asalnya adalah kerendahan”
(Tafsiir At-Thobari 1/159)
Al-Qurthubi berkata :
“((kami beribadah)) maknanya adalah : kami taat kepadaNya, dan Ibadah adalah : ketaatan dan kerendahan,
dan jalan yang ditundukkan jika ditundukkan agar bisa ditempuh oleh
para pejalan, sebagaimana dikatakan oleh Al-Harowi” (Tafsiir Al-Qurthubi
1/223)
Sesungguhnya doa merupakan ibadah yang sangat penting, karena pada doa nampaklah kerendahan dan ketundukan orang yang berdoa kepada dzat yang ditujukan doa. Pantas saja jika Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}.
“Doa itulah ibadah”, kemudian Nabi shallallahu
alaihi wasallam membaca firman Allah ((Dan Rob kalian berkata :
Berdoalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan bagi kalian))” (HR Ahmad no
18352, Abu Dawud no 1481, At-Tirmidzi no 2969, Ibnu Maajah no 3828, dan
isnadnya dinyatakan jayyid (baik) oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari
1/49)
Ibnu Hajar berkata menjelaskan agungnya ibadah doa :
“Jumhur (mayoritas ulama) menjawab bahwasanya doa termasuk ibadah yang paling agung, dan hadits ini seperti hadits yang lain
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji adalah (wuquf di padang) Arofah”
Maksudnya (wuquf di Arofah) merupakan dominannya haji dan rukun haji
yang paling besar. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang dikeluarkan
oleh At-Thirimidzi dari hadits Anas secara marfuu’ :
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
“Doa adalah inti ibadah”
Telah banyak hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memotivasi dan mendorong untuk berdoa, seperti hadits Abu Huroiroh yang
marfuu’:
لَيْسَ شَيْئٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ
“Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa”
Diriwayatkan oleh At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan” (Fathul Baari 11/94)
Al-Halimi (wafat tahun 403 H) berkata :
“Dan doa secara umum merupakan bentuk ketundukkan dan perendahan, karena
setiap orang yang meminta dan berdoa maka ia telah menampakkan hajatnya
(kebutuhannya) dan mengakui kerendahan dan kebutuhan kepada dzat yang
ia berdoa kepadanya dan memintanya. Maka hal itu pada hamba seperti
ibadah-ibadah yang dilakukan untuk bertaqorrub kepada Allah subhaanahu
wa ta’aala. Oleh karenanya Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman ((Berdoalah
kepadaku niscaya akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang
sombong dari beribadah kepadaku akan masuk dalam neraka jahannam dalam
keadaan terhina)). Maka Allah subhaanahu wa ta’aala menjelaskan bawhasanya doa adalah ibadah” (Al-Minhaaj fai syu’ab Al-Iimaan 1/517)
Al-Halimi juga berkata :
“Hendaknya rojaa’ (pengharapan) hanyalah untuk Allah karena Allah-lah
Yang Maha Esa dalam kepemilikan dan pembalasan. Tidak ada seorangpun
selain Allah yang menguasai kemanfaatan dan kemudhorotan. Maka
barangsiapa yang berharap kepada dzat yang tidak memiliki apa yang ia
tidak miliki maka ia termasuk orang-orang jahil. Dan jika ia
menggantungkan rojaa’ (pengharapan)nya kepada Allah maka hendaknya ia
meminta kepada Allah apa yang ia butuhkan baik perkara kecil maupun
besar, karena semuanya di tangan Allah tidak ada yang bisa memenuhi
kebutuhan selain Allah. Dan meminta kepada Allah dengan berdoa” (Al-Minhaaj fi Syu’ab Al-Iimaan 1/520)
Ar-Roozi berkata :
“Dan mayoritas orang berakal berkata : Sesungguhnya doa merupakan
kedudukan peribadatan yang paling penting, dan hal ini ditunjukkan dari
sisi (yang banyak) dari dalil naql (ayat maupun hadits-pen) maupun akal.
Adapun dalil naql maka banyak” (Mafaatihul Ghoib 5/105)
Kemudian Ar-Roozi menyebutkan dalil yang banyak kemudian ia berkata :
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ((Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku maka sesungguhnya aku dekat)),
dan Allah subhaanahu wa ta’aala tidak berkata ((Katakanlah aku dekat)),
maka ayat ini menunjukkan akan pengagungan kondisi tatkala berdoa dari
banyak sisi. Yang pertama, seakan-akan Allah subhaanahu wa ta’aala
berkata : HambaKu engkau hanyalah membutuhkan washithoh
(perantara) di selain waktu berdoa’ adapun dalam kondisi berdoa maka
tidak ada perantara antara Aku dan engkau” (Mafaatihul Goib 5/106)
Jika di dalam berdoa terdapat sikap penunjukkan kerendahan
dan kehinaan, kita semua sepakat bahwa seorang manusia diharamkan untuk
menunjukkannya kepada makhluk, karena ini adalah hak milik Allah
satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya.
Lantas bagaimana jika kerendahan dan ketundukkan kondisi seseorang
yang sedang berdoa ini diserahkan dan diperuntukkan kepada selain Allah
subhaanahu wa ta’aala?, kepada para nabi dan para wali??!!. Bukankah ini
merupakan bentuk beribadah kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala
alias syirik??!! Jika berdoa kepada Allah merupakan ibadah yang
sangat agung maka berdoa kepada selain Allah merupakan bentuk kesyirikan
yang sangat agung !!
KEENAM : Sesungguhnya hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab adalah
menjadikan sesembahan mereka sebagai perantara untuk mendekatkan mereka
kepada Allah subhaanahu wa ta’aala dan juga sebagai pemberi syafaat
bagi mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala (silahakan baca kembali artikel di http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)
Ar-Roozii berkata : “Mereka (kaum kafir) menjadikan patung-patung dan
arca-arca dalam bentuk para nabi-nabi mereka dan orang-orang mulia
mereka, dan mereka menyangka bahwasanya jika mereka beribadah kepada
patung-patung tersebut maka orang-orang mulia tersebut akan menjadi
pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan
yang semisal ini di zaman sekarang ini banyak orang yang mengagungkan
kuburan-kuburan orang-orang mulia dengan keyakinan bahwasanya jika
mereka mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia tersebut maka
mereka akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah ”
(Mafaatiihul Goib/At-Tafsiir Al-Kabiir 17/63)
Ibnu Katsiir berkata : “Mereka membuat patung-patung di atas bentuk
para malaikat yang mendekatkan (kepada Allah subhaanahu wa ta’aala -pen)
menurut persangkaan mereka. Maka merekapun menyembah patung-patung
berbentuk tersebut dengan menempatkannya sebagai peribadatan mereka
kepada para malaikat, agar para malaikat memberi syafaat bagi mereka di
sisi Allah subhaanahu wa ta’aala dalam menolong mereka dan memberi rizki
kepada mereka dan perkara-perkara dunia yang menimpa mereka…
Oleh karenanya mereka berkata dalam talbiyah mereka tatkala mereka
berhaji di zaman jahiliyyah : “Kami Memenuhi panggilanmu Ya Allah, tidak
ada syarikat bagiMu kecuali syarikat milikMu yang Engkau memilikinya
dan ia tidak memiliki”
Syubhat inilah yang dijadikan sandaran oleh kaum musyrikin zaman
dahulu dan zaman sekarang” (Tafsiir Al-Qur’aan Al-’Adziim 12/111-112).
Kalau kesyirikan kaum musyrikin adalah berdoa kepada sesembahan
mereka sebagai perantara untuk memintakan hajat mereka kepada Allah, dan
yang mengabulkan adalah Allah maka bagaimana lagi jika kesyirikan orang
yang langsung meminta kepada selain Allah –dan bukan hanya sebagai
perantara-??
KETUJUH : Berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan
Sungguh dalil-dalil yang menunjukan bahwasanya berdoa kepada selain
Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan kesyirikan sangatlah banyak.
Diantaranya firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لا يَسْتَجِيبُ
لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ (٥)
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada
selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari
kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (QS Al-Ahqoof : 5)
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ
فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
(١١٧)
Dan Barangsiapa berdoa kepada Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal
tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya
perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu
tiada beruntung (QS Al-Mukminun 117)
فَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ (٢١٣)
Maka janganlah kamu berdoa kepada Tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang di’azab (Asy-Syu’aroo : 213).
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا
تَذَكَّرُونَ (٦٢)
Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila
ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang
menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping
Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS An-Naml : 62)
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ
شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٨٨)
Dan janganlah kamu berdoa di Tuhan apapun yang lain disamping
(berdoa kepada) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala
penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan (QS Al-Qoshosh : 88).
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا (١٨)
Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu berdoa seseorangpun di dalamnya di samping berdoa Allah. (QS Al-Jin : 18)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berdoa kepada selain Allah maka masuk neraka” (HR Al-Bukhari no 4497)
Itulah dalil yg banyak yang bersifat umum yang menunjukan bahwa
berdoa kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan kesyirikan.
Dan termasuk dalam doa adalah beristighotsah dan beristi’aanah pada
selain Allah. Karenanya hukum asal dari seluruh bentuk doa, baik
istighotsah maupun isti’anah jika diserahkan kepada Allah maka merupakan
kesyirikan, kecuali yang diperbolehkan oleh syari’at.
Allah berfirman
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥)
“Hanya Engkaulah yang Kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (QS Al-Faatihah : 5)
Seluruh peribadatan kepada selain Allah adalah bentuk kesyirikan.
Contoh-contoh ibadah seperti sujud, ruku’, bernadzar, menyembelih, dan
merupakan ibadah yang sangat agung adalah berdoa, demikian juga
istigotsah yang merupakan bentuk berdoa tatkala dalam keadaan genting.
Sebagaimana sujud, ruku, menyembelih jika diserahkan kepada selain
Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan kesyirikan maka demikian pula
berdoa. Bahkan ayat-ayat yang menunjukkan akan larangan berdoa kepada
selain Allah subhaanahu wa ta’aala lebih banyak daripada ayat tentang
larangan sujud dan menyembelih kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala
Diantara isti’anah dan istighotsah yang dikecualikan (diperbolehkan)
adalah isti’anah dan istighotsah kepada makhluk yang hadir pada
perkara-perkara yang dimampui oleh makhluk tersebut.
Adapun berisitghotsah dan beristi’anah kepada mayat atau kepada orang
yang ghaib (yang tidak ada di hadapan kita dan tidak mungkin mendengar
kita) atau kepada orang yang hadir akan tetapi kita meminta pertolongan
kepadanya sesuatu yang tidak dimampui kecuali oleh Allah maka itu adalah
kesyirikan yang nyata.
KEDELAPAN : Teladan para nabi adalah berdoa dan
beristighotsah hanya kepada Allah dalam menghadapi kondisi terdesak.
Tidak diketahui bahwasanya ada seorangpun dari mereka yang pergi ke
kuburan nabi yang lain dalam rangka beristighotsah atau bertawassul
Lihatlah nabi Nuuh ‘alaihis salam tatkala ditimpa kesulitan dari kaumnya maka iapun berdoa semata-mata hanya kepada Allah.
وَنُوحًا إِذْ نَادَى مِنْ قَبْلُ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيمِ (٧٦)
Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika Dia berdoa, dan Kami
memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan Dia beserta keluarganya dari
bencana yang besar. (QS Al-Anbiyaa’ : 76)
Lihatlah Nabi Huud ‘alaihis salaam tatkala ditakut-takuti oleh kaumnya maka iapun bersandar hanya kepada Allah
إِنْ نَقُولُ إِلا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي
أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (٥٤)مِنْ
دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لا تُنْظِرُونِي (٥٥)إِنِّي
تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلا هُوَ
آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (٥٦)
Kaum ‘Ad berkata: Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian
sembahan Kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Huud
menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu
sekalian bahwa Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya
terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya
aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. tidak ada suatu
binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya.
Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (QS Huud : 54-56)
Lihatlah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, Allah menyebutkan tentang munaajaat Nabi Ibrahim setelah berdebat dengan kaumnya.
رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (٨٣)وَاجْعَلْ
لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الآخِرِينَ (٨٤)وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ
النَّعِيمِ (٨٥)وَاغْفِرْ لأبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (٨٦)وَلا
تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (٨٧)يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ
(٨٨)إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (٨٩)
(Ibrahim berdoa): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku Hikmah dan
masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan Jadikanlah
aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) Kemudian, dan
Jadikanlah aku Termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh
kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena Sesungguhnya ia adalah
Termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan
aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak
laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan
hati yang bersih (QS Asy-Syu’aroo : 83-89)
Dan Nabi Ibroohim bermunajat kepada Allah tatkala meninggalkan Hajar dan Isma’il di lembah Mekah yang sepi
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ (٣٥)رَبِّ إِنَّهُنَّ
أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي
وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣٦)رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ
مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ
رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ
تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ
يَشْكُرُونَ (٣٧)
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, Jadikanlah
negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak
cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan
kebanyakan daripada manusia, Maka Barangsiapa yang mengikutiku, Maka
Sesungguhnya orang itu Termasuk golonganku, dan Barangsiapa yang
mendurhakai Aku, Maka Sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah
Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu)
agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan,
Mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS Ibrahim : 35-37)
Lihatlah Nabi Ayyuub ‘alaihis salam tatkala ditimpa dengan kemudhorotan, Allah berfirman tentang beliau :
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ
أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (٨٣)فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ
ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ
عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ (٨٤)
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya
Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah
Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun
memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada
padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat
gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk
menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (QS Al-Anbiyaa’ : 83-84)
Lihatlah Nabi Yuunus ‘alaihis salaam tatkala ditelan oleh ikan paus, iapun mengadukan hajatnya kepada Allah semata
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ
عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ
سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (٨٧)فَاسْتَجَبْنَا لَهُ
وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ (٨٨)
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam
Keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya
(menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap “Bahwa
tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku
adalah Termasuk orang-orang yang zalim.” Maka Kami telah memperkenankan
doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. dan Demikianlah Kami
selamatkan orang-orang yang beriman. (QS Al-Anbiyaa :87-88)
Allah juga menceritakan tentang nabi Zakariya ‘alaihis salaam
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ
خَيْرُ الْوَارِثِينَ (٨٩)فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى
وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي
الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
(٩٠)
Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya
Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah
waris yang paling Baik”. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami
anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat
mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera
dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa
kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang
khusyu’ kepada kami. (QS Al-Anbiyaa’ : 89-90)
Adapun Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka jika
beliau menghadapi sesuatu yang menggelisahkan beliau maka beliau segera
sholat.
Jadi tatkala kita menghadapi kondisi genting maka hendaknya kita
beristighotsah kepada Allah sebagaimana yang dicontohkan oleh para nabi,
janganlah kita beristigotsah kepada makhluk !!
KESEMBILAN : Tidak diriwayatkan dari seorangpun dari para
shahabat radhiallahu ‘anhum yang tatkala menghadapi kondisi terdesak
lantas pergi ke kuburan atau beristighotsah kepada selain Allah.
Padahal kita tahu bagaimana sering para sahabat berperang melawan
kaum musyrikin, dan terlalu sering mereka menghadapi kondisi genting,
akan tetapi sama sekali tidak diriwayatkan bahwa mereka beristighotsah
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah meninggal, atau
kepada nabi-nabi yang lain…, apalagi kepada selain para nabi??
KESEPULUH : Terlalu banyak dalil yang melarang menjadikan
kuburan sebagai tempat ibadah…(sebagaimana telah lalu), dan ini semua
pada ibadah yang ditujukan kepada Allah hanya saja dikerjakan di
kuburan. Maka bagaimana lagi jika ibadah tersebut ditujukan kepada
selain Allah, semisal istighotsah kepada selain Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar