Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada
Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh
untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita
yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada
di alam sana.
Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing
kita menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal
shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali
dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga,
tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila diantara
saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara
menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah
memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena
musibah tersebut, dalam hadits:
“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja’far,
karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud
(Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61),
al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan
al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah
(Sunan Ibn Majah, 1/514)
Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam
untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang
terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang
akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab
‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur
yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah
air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet
dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir.
Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin
diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi
kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau
makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk
mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang
manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun masjid, menanam pohon
yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat
sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang
memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak mampu
secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat
Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak
makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi
isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang
mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar
kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat lain),atau
menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat.
Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila memang
tidak mampu. Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak
boleh ada celaan. Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak
selamanya harus dalam bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah
berpendapat bacaan al- Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar,
haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan
al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil yang
memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah dan para
shahabat. Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti
shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang
mana ada celaan bagi mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu.
Akan tetapi di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah
dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama. Orang yang meninggalkannya
dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat,
atau kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan
diri karena takut akan sanksi sosial tersebut. Mulai dari berhutang,
menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di
antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah. Padahal di dalam
al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan
harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim, tetapi
menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS
al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’:
6). Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung
tipuan yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan
kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan
setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk
menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat
beribadahpun akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah
menunaikan kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:
“…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di
tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut
hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya,
padahal beban kesedihan masih melekat.” (al-Umm (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat
istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan
selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk
Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25
Desember.
Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan
Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan
tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”.
Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika
Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya
tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens
Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas
panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda
pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan
Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat
istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki
rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak
mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama
itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika
hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya
bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang
menyempurnakannya. (hal 41, 64)
Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan
Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi
oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.
Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini
ditempati oleh lima orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan.
Disamping itu pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur
ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu
Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden
Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan
Drajat)
Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati
oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya
Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid
(Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja’far Shadiq (Sunan
Kudus)
Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa
bagian barat, ditempati oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati
alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak
dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah
menjadi penganut agama asli sunda, antara lain kepercayaan “Sunda Wiwitan”
Dua Pendekatan dakwah para wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan
terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran
Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka
menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha.
Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba
menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran
Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti
sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.
Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra
Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya
yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan
Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang
waktu itu sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai contoh dakwah Sunan
kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang masih
beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika
sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat; tarekat
taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung,
makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan
rina” (itulah yang namanya sahadat syariat, artinya syariat ini,
bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya meminta kepada
istrinya; hakikat artinya menyatu padu , semua itu harus mendapat
persetujuan suami istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah sekarang
hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang ingin berumah tangga,
sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun juga).
Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka
ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap
benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).
[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan
Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan
Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya
Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham
(Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina
namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut
Thalibin. Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya
tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal
Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama,
namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan
termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang
‘aneh’ asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang
meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan
Sholat Jum’at, puasa Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat begitu antusias
melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani
meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak
melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat
dalil-dalil yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana
musibah tersebut. Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: “Kami (para
sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi
mayit)”. (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II,
hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)Dari
Thalhah: “Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah
kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata:
Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah
keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar
berkata: Hal itu sama dengan meratap”. (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah
(Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa’ied bin Jabir
dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd
al-Razaq: “Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan
dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga
mayit”. (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan’any (Beirut: al-Maktab al-
Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah
dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem,
Sa’ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara
kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya
melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan
perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan
merugi”. Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepada kami,
Waki’ bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau
berkata: Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian
dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan
jahiliyah”. Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry
yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih
berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah
dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari-
hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan
di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan
dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh,
atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga
dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya
makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang
ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit
(biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal
dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad
al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).Pernyataan senada juga
diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an,
menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab
al-Aqrimany disebutkan: “al-Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal
bin Hibban r.a, beliau berkata: ‘Penghidangan makanan oleh keluarga
mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah’. kebiasaan
tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan
meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan
telah berubah suatu kebiasaan’. (al-Aqrimany dalam al-Mawa’idz;
Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).
Dan para ulama berkata: “Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan
orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang
keluarganya dari menghadiri acara semacam itu”. (al-Aqrimany hal 315
dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933,
No. 18, hal.285) Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya
I’anah at- Thalibien menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat
keluarga mayat, walaupun hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa
dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan. Beliau justru menganjurkan
untuk segera meninggalkan keluarga tersebut, setelah selesai
menyampaikan ta’ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah
at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)
Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma’tam:
“Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu
hadits shahih dari Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya, dan tidak
ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang
empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari
imam-imam yang lainnya, demikian pula tidak terdapat keterangan dari
ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat,
tabi’ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam
kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, serta tidak
diketahui pula satupun dalam hadits-hadits dari zaman nabi dan sahabat.
” Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan yang dilansir dalam kitab I’anah at-Thalibien: “Tidak
diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah
tersebut adalah mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan
bid’ah, sekaligus berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup
banyak pintu keburukan”. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr
al-Dimyati, I’anah at-Thalibien juz II, hal 166) Memang seolah-olah
terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun bila
dikembalikan ke dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an-
Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa
yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari
kami, maka dia tertolak”. (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian
Islam ini meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi.
Dibalik larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi
perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat
istiadat dari luar Islam. Bila pada umat-umat terdahulu telah
menyeleweng agamanya, Allah mengutus Rasul baru, maka pada umat Muhammad
ini Allah tidak akan mengutus Rasul lagi sampai kiamat, namun
membangkitkan orang yang memperbarui agamanya seiring penyelewengan yang
terjadi. Ibadah yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan
hakikatnya sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah asli dengan uang/ijazah
palsu, meskipun keduanya tampak sejenis. Yang membedakan 72 golongan
ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga adalah sunnah dan bid’ah. Umat
ini tidak berpecahbelah sehebat perpecahan yang diakibatkan oleh bid’ah.
Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian, pornografi, dan
kemaksiatan lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan
sebaliknya. Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit,
kedua belah pihak yang bertikai kelihatannya sama-sama alim. Ibn Abbas
r.a berkata: “Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia, kecuali pada
zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan bid’ah, hingga
matilah sunnah dan hiduplah bid’ah. tidak akan ada orang yang berusaha
mengamalkan sunnah dan mengingkari bid’ah, kecuali orang tersebut diberi
kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia yang
diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan
mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah
dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut,
maka Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam
Akhirat”.(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong
Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)Sehingga
disimpulkan oleh Majalah al-Mawa’idz bahwa mengadakan perjamuan di rumah
keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal:
1.Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan
makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan
menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
3.Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita
(tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang
sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa’idz; Pangrodjong
Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, hal 200)
Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab ‘Ianah,
ternyata para ulama dari empat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan
keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah
nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid’ah yang tidak
disukai agama (hal 285). Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah
bahwa sebenarnya yang menghukumi bid’ah munkarah itu ternyata
ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah, bukan hanya (majalah) Attobib,
al-moemin, al-Mawa’idz. tidak tau siapa yang menghukumi sunat, apakah
Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal 286).
Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari
menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid’ah yang dimakruhkan
dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram). demikian
dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang dihubungkan
dengan haram, maka hukumnya adalah haram”. (al-Aqrimany hal 315 dalam
al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No.
18, hal.286) Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan
akibat ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun
jangan sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi sebuah kebanggaan.
Baik yang menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya rokok,
tahlilan, dll selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan, bukan
dibela-bela dan dilestarikan.
BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN
I. MADZHAB HANAFI
HASYIYAH IBN ABIDIEN
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit,
karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam
momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam
Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari
sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan
dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada
hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya.
(Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut:
Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)
AL-THAHTHAWY
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab
al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA,
KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin
Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah
al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
IBN ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit,
karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam
momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut
dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits
dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau
berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah
keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian
dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut:
Dar al-Fikr) juz II, hal 142)
II.MADZHAB MALIKI
AL-DASUQY
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan
makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah
al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan
mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena
tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan
momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun
apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian
dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit
diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin
terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan
masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh
Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
III.MADZHAB SYAFI’I
AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan.
(Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar
al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan
makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya
bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny,
al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
AL-QALYUBY
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan
di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari
perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang
biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk
mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l-
Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal
353)
AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal
tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy,
al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR
AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada
penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang
masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan
keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar
al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan
makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat,
hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan
tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin
Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien
(Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)
AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga,
keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan
sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit,
hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah
yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan
bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru
para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti
perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya
setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut.
((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
RAUDLAH AL-THALIBIEN
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan
masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan
perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah
al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)
IV. MADZHAB HAMBALI
IBN QUDAMAH AL-MUQADDASY
Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh
keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah
menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban,
sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh
orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar,
kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga
mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata
Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut
dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat
terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap,
sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang
diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny
(Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk
(menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan
bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh,
karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula
makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga
mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan
ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa
Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari
niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat,
(tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat
(terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh
al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)
MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY
Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan
kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari
Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’
(Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)
KASYF AL-QANA’
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan
keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang
jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga
mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di
rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu
tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka
menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan
kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan
mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut
berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat
orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris
yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan
tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)
IBNU TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan
tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya
perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah:
“Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga
mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari
niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi
al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)Akhirnya, semoga tulisan
ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya.
Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki
umat Islam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar