TABAH MENGGENGGAM BARA API
__ TAUHID WAL JIHAD ___
PRO- T- IN ISLAM
KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID
Selasa, 08 Januari 2013
Hukum Asal Darah Dan Harta Orang Kafir Asli (Al Lajnah Asy Syar’iyyah-Syaikh Abu Humam Bakr Ibnu Abdil Aziz Al Atsari)
Sesungguhnya alasan membunuh dan memerangi orang kafir asli adalah
karena kekafirannya. Apabila dia mendahului memerangi kaum muslimin,
maka dia telah menambahkan terhadap hal itu alasan yang lain untuk
memeranginya, yaitu tindakan aniaya.
Hukum asal darah dan harta
orang-orang kafir adalah halal, dan hal itu tidak berubah menjadi
terjaga dan diharamkan kecuali dengan iman atau jaminan keamanan.
Syaikh kami Al Allamah Abu Muhammad Al Maqdisiy fakkalallahu asrah
telah berkata: “Hukum asal darah seorang muslim, hartanya dan
kehormatannya adalah terjaga dengan iman… adapun orang kafir, maka hukum
asal dalam hal ini mubah (halal), kecuali terjaga karena al aman
(jaminan keamanan) dan yang semisalnya”. Selesai (Ar Risalah Ats
Tsalatsiniyyah, hal.20). Allah ta’ala telah berfirman: وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim”. (QS. Al Baqarah: 193)
Imam
Al Qurthubi rahimahullah telah berkata: “Firman Allah: ”Apabila mereka
berhenti”, maksudnya adalah mereka berhenti dari kekafiran, baik
berhentinya dengan masuk Islam seperti ayat sebelumnya, atau membayar
jizyah sebagai ketetapan untuk Ahlul Kitab –yang berada di bawah
kekuasaan Islam– sebagaimana hal ini dijelaskan di dalam surat Al
Bara’ah (At Taubah), jika tidak (mau membayar jizyah) maka mereka
diperangi, sedang merekalah orang-orang yang dhalim, tidak ada
permusuhan kecuali terhadap mereka”. Selesai (Al Jami’ Li Ahkamil
Qur’an, 3/247).
Perkataan yang paling benar yang berkaitan
dengan orang-orang yang dzalim dalam ayat-ayat ini yaitu: “Siapa yang
terus-menerus dalam kekafiran dan fitnah”. Selesai (Lihat Al Muharor Al
Wajis, 1/263 dan Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 3/247).
Allah ta’ala befirman :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ
لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan perangilah mereka, hingga tidak ada lagi fitnah dan supaya agama
itu semata-mata untuk Allah, jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”. (QS. Al
Anfal: 39)
Imam Ibnu Al ‘Arabiy Al Maliki rahimahullah telah
berkata: “Firman Allah: “Perangilah mereka hingga tidak ada lagi
fitnah…”, maksud fitnah di sini adalah kekafiran, dengan dalil dari
firman Allah ta’ala: “Fitnah lebih dahsyat dari pembunuhan (QS. Al
Baqarah: 217)”, yaitu kekafiran…”. Selesai.
Masih perkataan
Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki rahimahullah: “Permasalahan yang ke tiga:
Bahwa sebab pembunuhan adalah kekafiran, sebagaimana dalam ayat
tersebut. Karena itu Allah berfirman: “hingga tidak ada fitnah”, dimana
Allah menjadikan tujuan (memerangi) yaitu hilangnya kekafiran juga, dan
Dia menjelaskan di dalamnya bahwa sebab pembunuhan yang membolehkan
untuk diperangi adalah kekafiran”.
Sebagian shahabat Abu
Hanifah rahimahullah telah menyimpang dalam masalah ini, mereka menduga
bahwa sebab membunuh yang dibolehkan untuk memerangi yaitu karena mereka
memerangi, dan mereka bersandar dengan firman Allah ta’ala; “perangilah
fi sabilillah orang-orang yang memerangi kalian dan janganlah kalian
berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas” (QS. Al Baqarah: 190).
Ayat ini dijelaskan
oleh ayat setelahnya, karena Allah memerintahkan pertama kali memerangi
orang-orang yang memerangi, kemudian menjelaskan bahwa sebab memerangi
dan membunuhnya adalah kekafirannya yang mendorong dia untuk memerangi,
dan Dia memerintahkan untuk memerangi secara mutlak tanpa pengkhususan
dengan didahului serangan darinya.
Jika dikatakan, kalau
seandainya dibolehkan untuk membunuh lantaran dia kafir, maka tentu akan
dibunuh setiap orang kafir sedangkan engkau membiarkan para wanita,
para rahib dan selain mereka sebagaimana yang disebut dalam ayat !
Maka jawabannya; bahwa kami hanya meninggalkan mereka walaupun sebab
yang membolehkan untuk membunuh mereka itu masih ada, karena suatu hal
muncul berupa manfaat atau maslahat; adapun manfaat maka ia itu adalah
istirqaq (menjadikannya sebagai budak) dari siapa saja yang bisa menjadi
budak, sehingga ia kemudian menjadi harta dan pelayan, dan ini
merupakan ghanimah yang Allah halalkan bagi kita tidak bagi umat yang
lain. Dan adapun maslahat dari tidak membunuh rahib (ruhban) adalah
untuk meredam agar lenyap perlawanan laki-laki dari kalangan mereka,
dengan demikian akan melemahkan perlawanan mereka dan mempersempit
kelompok mereka, sehingga merata penguasaan (kaum muslimin) terhadap
mereka.” Selesai. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 1/130-132). Dan ada yang
mengatakan pendapat ini dan itu: Karena sesungguhnya kita mengecualikan
apa yang dikecualikan oleh dalil. Allah ta’ala berfirman: فَإِذَا
انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ
وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ
مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ
فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Apabila
sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin
itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah
mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan
mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada
mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS. At Taubah: 5)
Dari Abdullah Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله, وأن محمداً رسول
الله, ويقيموا الصلاة, ويُؤتوا الزكاة. فإذا فعلوا ذلك عَصموا مني دماءَهم
وأموالهم إلا بحق الإسلام, وحسابهم على الله– متفق عليه
“Aku
diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka beraksi bahwa tidak ada
ilah yang haq diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
mereka menegakkan shalat, mereka menuanaikan zakat, apabila mereka
melakukan hal itu maka mereka telah melindungi dariku darah dan harta
mereka, kecuali dengan hak Islam, dan hisab (perhitungan) mereka
diserahkan kepada Allah.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu disebutkan bahawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: أُمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله, ويؤمنوا بي وبما جئت به… الحديث.
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa
tidak ada illah yang haq diibadahi kecuali Allah dan mereka beriman
kepadaku dan dengan apa yang aku diutus dengannya”. (Al Hadits)
Dalam riwayat Anas radliyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.. أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله, وأن محمداً عبده
ورسوله, وأن يستقبلوا قبلتنا, وأن يأكلوا ذبيحتنا, وأن يصلوا صلاتنا, فإذا
فعلوا ذلك حرمت علينا دماؤهم وأموالهم إلا بحقها, لهم ما للمسلمين, وعليهم
ما على المسلمين
“…Aku memerangi manusia hingga tidak ada ilah
yang hak diibadahi kecuali Allah, bahwasanya Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya, dan mereka berqiblat dengan qiblat kita, mereka memakan
sembelihan dari sembelihan kita, dan mereka shalat seperti shalat kita,
jika mereka melakukan hal itu, maka di haramkan atas kita darah dan
harta mereka, kecuali dengan haknya, bagi mereka apa yang menjadi hak
kaum muslimin, dan atas mereka apa yang menjadi kewajiban kaum
muslimin.”
Imama Nawawi rahimahullah menukil dari Al-Fudhail
bin Iyadh rahimahullah bahwa ia berkata: “Pengkhususan keterjagaan jiwa
dan harta dikarenakan ikrar laa ilaaha illallaah adalah sebagai bukti
ungkapan penerimaan iman, dan yang dimaksud dengan hal ini adalah
orang-orang musyrik Arab, penyembah berhala, dan siapa saja yang tidak
bertauhid. Mereka adalah orang-orang yang pertama kali diajak masuk
Islam dan diberperangi di atasnya. Adapun selain mereka, siapa yang
mengikrarkan tauhid, maka tidak cukup dalam keterjagaan dirinya hanya
dengan ucapan la ilaha illallah saja, bila ia mengucapkannya dalam
kekafirannya sedangkan kalimat itu termasuk bagian dari keyakinannya.
Oleh sebab itu telah ada dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya aku
adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat”. Selesai.
Imam Nawawy rahimahullah telah berkata: “Saya katakan, pengikraran
kalimat ini (laa ilaaha illallaah) harus disertai dengan iman terhadap
seluruh apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana dalam riwayat lain dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu,
dimana hal ini disebutkan dalam kitab ini: (Hingga mereka bersaksi tiada
ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan mereka beriman kepadaku dan
dengan apa yang aku diutus dengannya,” Selesai. (Syarah Shahih Muslim,
1/286).
Dikatakan pula di dalam faidah-faidah tentang hadits
ini: “Di dalamnya ada keterjagaan harta dan jiwa orang yang mendatangkan
kalimat tauhid, walaupun ia berada di ujung pedang.” (Syarah Shahih
Muslim, 1/293).
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany rahimahullah
telah berkata: “(hingga mereka bersaksi) bahwa yang dijadikan akhir
ujung pemerangan itu adalah adanya hal yang telah disebutkan.” Selesai.
(Fathul Bary, 1/104).
Dari Abu Malik, dari Ayahnya, ia berkata, Aku mendengar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله.. أخرجه مسلم
“Siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah dan kafir terhadap apa yang
dibadahi selain Allah, maka terjagalah harta dan darahnya sedangkan
perhitungannya diserahkan kepada Allah.”(HR. Muslim).
Telah
berkata Imam Dakwah Nejediyyah Asy-Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab
rahimahullah seraya mengomentari hadits ini: “Sebagaimana yang terdapat
di dalam hadits shahih, (“Barangsiapa yang mengucapkan la ilaha illallah
dan kafir terhadap apa yang diibadahi selain Allah, maka terjagalah
harta dan darahnya sedangkan perhitungannya diserahkan kepada Allah”).
Perkataan; “kafir terhadap apa yang diibadahi selain Allah” adalah
penguat bagi penafian (peniadaan) ibadah kepada selain Allah, karena itu
tidaklah terjaga darah dan harta kecuali dengan hal itu. Dan kalau pun
ragu atau bimbang, maka tetap tidak terjaga darah dan hartanya. Perkara
ini adalah bagian dari kesempurnaan tauhid, karena kalimat laa ilaaha
illallaah terikat dengan hadits-hadits yang berisi: tentang (syarat)
ilmu, ikhlash, sidqu (jujur), yaqin dan tidakadanya keraguan. Seseorang
tidak dikatakan sebagai muwahhid kecuali terkumpulnya hal-hal tersebut
seluruhnya, meyakininya, menerimanya, mencintainya, memusuhi karenannya
dan loyalitas karenanya”. Selesai (Majmu’ Tauhid, 34-35).
Dan
dikatakan pula dalam penjelasan hadits ini: “Dan hadits ini merupakan
penjelasan yang paling agung dari makna laa ilaaha illallaah.
Sesungguhnya sekadar pengucapan saja tidak menjadikan seseorang terjaga
harta dan darahnya, bahkan tidak pula mengetahui maknanya yang disertai
pengucapkannya, bahkan tidak pula pengakuan terhadap kalimat tersebut,
bahkan tidak pula (terjaga) walaupun dia tidak menyeru kecuali kepada
Allah semata, hingga dia menyertakan terhadap hal itu sikap kufur kepada
apa yang diibadahi selain Allah. Barangsiapa yang ragu atau bimbang,
maka tidaklah diharamkan harta dan darahnya“. Selesai.
Syaikh
kami Al Allamah Abu Muhammad Al Maqdisiy fakkalallahu asrah telah
berkata: “Dia menjadikan sikap kufur dan bara’ah (berlepas diri) dari
apa yang diibadahi selain Allah dengan macam ibadah apa saja …..adalah
syarat benarnya Iman, Islam dan terpeliharanya darah dan harta.”
Selesai. (Al-Kawasyif Al-Jaliyyah, 118)
Dan Syaikh kami Abu
Basher Al-Thurthusiy hafidzhahullah telah berkata: “Mafhum hadits ini
adalah siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallaah, tetapi tidak kafir
terhadap apa yang diibadahi selain Allah, maka tidaklah haram harta dan
darahnya, dengan demikian tidak disebut muslim.” Selesai (Qawaidu Fi
at-Takfir, 181)
Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبد الله وحده لا شريك له وجعل رزقي تحت
ظل رمحي وجعل الذلة والصغار على من خالف أمري ومن تشبه بقوم فهو منهم.
أخرجه أحمد وغيره
“Aku diutus sebelum hari kiamat dengan pedang
hingga Allah saja yang diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Allah
menjadikan rizkiku dibawah bayangan tombakku, dan Allah menjadikan
kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyelisihi urusanku, dan
barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum itu.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya).
Al-Hafidz Ibnu Rajab
al-Hanbaly rahimahullah telah berkata: “(Hadits tersebut) mengisyaratkan
bahwa Allah tidak mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
semata-mata untuk mendapatkan dunia, tidak pula diutus untuk
mengumpulkan dunia dan menyimpannya, dan tidak pula diutus untuk
mencurahkan kesungguhan untuk semata-mata mencari dunia. Akan tetapi
diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai
penyeru tauhid dengan pedang. Dan di antara konsekuensi hal itu adalah
membunuh musuh-musuhnya yang menolak dari menerima tauhid, kemudian
menghalalkan darah dan harta mereka, menjadikan wanita-wanita dan
anak-anak mereka sebagai budak, sehingga rizkinya adalah dari apa-apa
yang Allah karuniakan dari harta musuh-musuhnya. Sesungguhnya harta itu
semata-mata Allah ciptakan untuk bani Adam dalam rangka untuk menolong
mereka dengan harta itu untuk ketaatan dan ibadah hanya kepada-Nya.”
Barangsiapa yang mengerahkan potensi harta tersebut dalam rangka kafir
kepada Allah dan kesyirikan kepada-Nya, maka Allah kuasakan Rasul dan
pengikutnya untuk menguasai mereka, kemudian mereka mencabut harta itu
darinya dan mengembalikannya kepada siapa yang lebih berhak dari ahli
ibadah, ahli tauhid dan orang-orang yang taat kepada-Nya. Oleh karena
itu ia dinamakan fai (kembali) karena kembalinya harta itu kepada
siapa yang lebih berhak terhadap harta tersebut dan (kepada) orang yang
untuknya harta itu diciptakan Allah. Dan ada dalam Qur’an yang mansukh:
“Hanyasannya Kami menurunkan harta dalam rangka untuk menegakkan shalat
dan menunaikan zakat.”
Orang yang bertauhid dan taat kepada
Allah adalah golongan yang lebih berhak terhadap harta itu daripada
orang-orag kafir dan musyrik. Dan dicabutnya harta-harta mereka,
kemudian dijadikannya sebagai rizqi bagi Rasul-Nya dari harta ini karena
Allah tidak menghalalkannya, sebagaiamana firman-Nya : فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu,
sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Anfal
[8]: 69)
Hal ini bagian dari yang Allah khususkan pada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, sesungguhnya telah
dihalalkan bagi mereka dari harta rampasan perang (ghanimah). (Al Hukmu
Al Jadirah Bil Idza’ah, hal 11).
Imam Badarrudin Bin Jama’ah
rahimahullah telah berkata: “Apabila seorang laki-laki muslim atau
sekelompok kecil memasuki Darul Harb secara sembunyi-sembunyi kemudian
mereka mengambil harta dengan mencuri dari orang kafir atau mereka
menculik (menawan), atau merampas harta orang kafir harbiy atau
mengambilnya dengan cara tawar menawar dan terus lari atau
mengingkarinya, maka ada yang mengatakan: bahwa harta itu khusus bagi
yang mengambilnya, dan tidak diambil seperlimanya serta tidak dibagikan,
pendapat ini dipilih oleh Imam Al Ghazali. Namun pendapat lain
mengatakan bahwa ia itu adalah ghanimah yang diambil seperlimanya dan
dibagikan.”
Demikian pula hukumnya bila sekelompok pasukan kaum
muslimin melakukan operasi pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi
tanpa izin sulthan, maka Abu Hanifah berpendapat: “Bila mereka mempunyai
kekuatan untuk melindungi diri, maka harta tersebut adalah ghaniman
yang diambil seperlimanya dan dibagikan. Namun bila mereka tidak
memiliki kekuatan untuk melindungi diri maka harta itu khusus bagi
mereka saja.
Dan diriwayatkan darinya bahwa harta tersebut
diserahkan kepada baitul mal. Bila harta itu didapatkan dengan cara
peperangan dan adanya kemenangan maka ia adalah ghanimah yang diambil
seperlimanya dan dibagikan.” Selesai. (Tahrir Al Ahkam Fit Tadmir Ahlil
Islam, hal 210-211).
Dan begitu juga, sesungguhnya telah
menunjukan terhadap penghalalan darah dan harta orang-orang kafir
dalil-dalil prihal pengharaman darah dan harta kaum muslimin, dan hal
ini dengan cara kebalikannya, di mana nash yang menunjukan pengharaman
darah dan harta kaum muslimin dengan mafhum mukhalafah (kebalikannya)
adalah menunjukan bahwa darah dan harta selain kaum muslimin adalah
tidak haram.
Di antara nash-nash itu sebagai tambahan atas apa yang telah disebutkan terdahulu adalah :
Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau
melakukan haji wada’, di dalam khutbah beliau yang terkenal:
… إن دماءَكم وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا، ألاَ هل بلَّغْت؟ متفق عليه
“…sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, kehormatan
kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari kalian ini, bulan kalian
ini, dan negeri kalian ini, ingatlah apakah aku telah menyampaikan ?”
(Muttafaq ‘alaih)
Khithab atau tujuan pembicaraan ini adalah
untuk ahlul iman dengan pengharaman darah mereka, harta mereka dan
kehormatan mereka tidak selain mereka. Dalam hal ini ada riwayat lain:
“mukmin itu haram atas mukmin yang lain seperti keharaman hari ini…”.
(Al Haitsami berkata di dalam Majma Az Zawaid, juz 3 hal 275;
diriwayatkan oleh Thabrani di dalam Al Kabir, di dalamnya ada Karamah
Bin Al Husain, dan saya tidak menemukan orang yang menyebutkannya).
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
.كل المسلم على المسلم حرام، دمه وماله، وعِرضه. أخرجه مسلم
“Setiap muslim atas musllim yang lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR. Muslim)
Dari Jabir Bin Abdillah radliyallahu ‘anhu telah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
.المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده. متفق عليه
“Orang muslim itu adalah orang yang mana kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya” (Muttafaq ‘alaih).
Dari Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu’anu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: .ملعون من ضارّ مؤمناً أو مكر به.. رواه الترمذي
“Terlaknatlah siapa yang membahayakan orang-orang mukmin, atau membuat
tipu daya kepadanya”. (HR. Tirmidzi berkata ini hadits gharib, yaitu
dhaif; karena Abu Salamah Al Kindi dia tidak dikenal, dan Furqud As
Subkhi lemah dalam hadits dan banyak kesalahannya).
Al Hafidz
Ibnu Rojab Al Hambali rahimahullah telah berkata: “Bahwasannya
diperbolehkan melawan (dengan tipu daya) terhadap siapa saja yang
mendatangkan keburukan atasnya, dan di antara mereka adalah orang-orang
kafir dan orang-orang yang memerangi, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Perang itu adalah tipu daya”. Selesai.
(Jami’ul Ulum Wal Hikam, 436).
Hal yang juga dijadikan dalil
atas perkara ini adalah riwayat dari Anas radliyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (لا تقوم الساعة حتى لا يقال في الأرض الله الله. وفي رواية: (لا تقوم الساعة على أحد يقول الله الله. أخرجه مسلم
“Kiamat tidak terjadi hingga tidak ada lagi ucapan di bumi lafadz
Allah… Allah… Allah…” dan dalam riwayat yang lain: “Kiamat tidak terjadi
atas seseorang yang masih mengucapkan Allah… Allah…” (HR. Muslim).
Al Qadliy ‘Iyadh rahimahullah telah berkata: “Di dalam riwayat Ibnu Abi
Ja’far (…mengucapkan Laa ilaaha illallaah). Selesai. (Syarah Shahih
Muslim Imam Nawawi, 2/235).
Telah diriwayatkan dari Buraidah radliyallahu ‘anhu secara marfu’: (لا تقوم الساعة حتى لا يعبد الله في الأرض قبل ذلك بمائة سنة)
“Hari kiamat tidak terjadi hingga Allah ta’ala tidak diibadahi di bumi
sebelum itu selama 100 tahun”, disebutkan oleh penulis Kanzul ‘Ummal
dan dikatakan: diriwayakan oleh Ibnu Jarir dan Al Hakim dalam
Tarikh-nya.
Dapat dipahami bahwa hal itu (kiamat) terjadi jika
tidak ada orang yang mengibadahi Allah di dunia ini, maka tidaklah
berhak bagi siapa yang beribadah kepada selain Allah untuk hidup, karena
itu terjadilah kiamat.
Dari uraian tersebut, tesusun pemahaman hukum yang banyak, yang nampak jelas yaitu:
A. Masyruiyyah (disyari’atkannya) jihad offensive, ini adalah perkara
yang menggelisahkan kalangan muttaakhirin dan orang-orang masa kini,
mereka berpendapat bahwa jihad offensive diharamkan. Di antara
penggagasnya yaitu: Jamalludin Al Afghaniy, Muhammad Abduh, Muhammad Al
Ghazali, Sayyid Sabiq, dan lainnya selain dari mereka.
“Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka
dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih
besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di
Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika
mereka memerangi kamu (di tempat itu) maka bunuhlah mereka. Demikanlah
balasan bagi orang-orang kafir”. (QS. Al Baqarah: 191)
Al Imad
Bin Katsir rahimahullah berkata: Allah ta’ala mengatakan: “Janganlah
kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali mereka memulai
memerangi kalian di dalamnya, maka saat itu kalian boleh memerangi
mereka dalam rangka membela diri”. Selesai. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
283).
Seandainya jihad offensive bukan peperangan yang
disyari’atkan, tentu pelarangan dari memulai memerangi di sekitar
Masjidil Haram tidaklah bermakna !, dan tentu izin perang defensive
(bertahan) hanyalah di Masjidil Haram saja, karena sesungguhnya hal itu
(larangan perang offensive) –seperti klaim sejumlah para tokoh zaman
sekarang – berlaku di setiap tempat! maka kenapa Allah melarang dari
memulai memerangi di sekitar Masjidil Haram saja?
Hal ini
adalah dalil yang jelas bolehnya memulai memerangi di selain Masjidil
Haram. Telah berkata Al Iman Ibnu Al Arabiy Al Maliki rahimahullah:
“Telah tsabit pelarangan dari memerangi di dalamnya –yaitu di Makkah– di
dalam Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga jika orang kafir berlindung
kepadanya, maka tidak ada jalan untuk membunuhnya. Adapun pezina dan
pembunuh maka harus ditegakkan had padanya. Kecuali bahwa orang kafir
mendahului memerangi di dalamnya, maka dia dibunuh dengan nash Al
Qur’an.” Selesai. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an. 1/129)
“Perangilah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka
tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS.
At Taubah [9]: 29)
Dari Sulaiman Bin Buraidah dari ayahnya ia
telah berkata: [“Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
apabila mengangkat pemimpin terhadap sebuah pasukan atau sariyyah (unit
tempur), beliau berwasiat secara khusus kepadanya dengan taqwa kepada
Allah, dan orang-orang yang bersamanya dari kaum muslimin dengan
kebaikan, kemudian beliau bersabda: (اغزوا باسم الله وفي سبيل الله,
قاتلوا من كفر بالله, اغزوا ولا تغلوا ولا تغدروا ولا تمثلوا ولا تقتلوا
وليدا وإذا لقيت عدوك من المشركين فادعهم إلى ثلاث خصال (أو خلال) فأيتهنَّ
ما أجابوك فاقبل منهم وكف عنهم: 1 - ادعهم إلى الإسلام فإن أجابوك
فاقبل منهم وكف عنهم ثم ادعهم إلى التحول من دارهم إلى دار المهاجرين
وأخبرهم أنهم إن فعلوا ذلك فلهم ما للمهاجرين وعليهم ما على المهاجرين فإن
أبوا أن يتحولوا منها فأخبرهم أنهم يكونون كأعراب المسلمين يجري عليهم حكم
الله الذي يجري على المؤمنين ولا يكون لهم في الغنيمة والفيء شيء إلا أن
يجاهدوا مع المسلمين. 2 - فإن هم أبوا فسلهم الجزية فإن هم أجابوك فاقبل منهم وكف عنهم. فإن هم أبوا فاستعن بالله وقاتلهم..) الحديث؛ أخرجه مسلم3-
“Berperanglah fi sabilillah dengan nama Allah, perangilah orang yang
kafir kepada Allah dan berperanglah dan janganlah kalian khianat,
janganlah kalian mencincang, dan janganlah kalian membunuh anak-anak,
apabila kalian bertemu musuh dari orang-orang musyrik, maka serulah
mereka kepada tiga perkara (tiga hal), mana saja dari ketiga seruan itu
mereka terima dari seruan kalian, maka terimalah dari mereka dan
tahanlah tangan kalian dari mereka, tiga perkara tersebut adalah:
1. Ajaklah mereka kepada Islam, apabila mereka menerima, maka
terimalah mereka, dan tahanlah tangan kalian dari mereka. Kemudian
ajaklah mereka untuk berhijrah dari negeri mereka ke negeri muhajirin
(negeri Islam) dan kabarkan kepada mereka jika mereka melakukan hal itu,
maka mereka akan mendapat hak seperti muhajirin dan wajib atas mereka
apa yang wajib atas para muhajirin. Namun jika mereka menolak berpindah
darinya, maka kabarkan kepada mereka bahwa mereka akan diperlakukan
seperti orang-orang muslim badui, yang berlaku atas mereka hukum-hukum
Allah sebagaimana yang berlaku atas orang-orang yang beriman, tetapi
mereka tidak mendapat pembagian ghanimah dan fai sedikitpun kecuali
mereka ikut berjihad bersama kaum muslimin.
2. Apabila
mereka menolak (point pertama), maka pungutlah jizyah dari mereka,
apabila mereka mematuhi seruanmu, maka terimalah mereka dan tahanlah
tangan kalian dari mereka.
3. Apabila mereka menolak (point
kedua), maka (lebih dahulu) mintalah pertolongan kepada Allah, kemudian
perangilah mereka…”] (HR. Muslim)
Imam Bukhari telah
meriwayatkan dalam Shahih-nya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda pada hari perang Ahzab: “Tiba saatnya sekarang kita
menginvasi mereka dan sekali-kali mereka tidak akan menginvasi kita,
kita akan berjalan (berperang) ke tempat mereka.” Menurut riwayat
Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir: “Pada hari ini kita akan memerangi
mereka, bukan mereka memerangi kita”.
Bukankah jihad di masa
periode awal tidak lain adalah jihad offensive dan
penaklukan-penaklukan?! di antara negeri-negeri itu ada yang ditaklukan
dengan cara damai dan ada juga negeri-negeri yang dikuasai dengan cara
kekerasan.
Imam Abu Ubaid rahimahullah berkata: “Di antara
negeri-negeri (yang dikuasai) dengan cara mengikat perjanjian: Negeri
Hajr, Bahrain, Ailah, Daumatul Jandal, dan Al Adzroh, dimana
negeri-negeri tersebut membayar jizyah di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sehinggga negeri-negeri itu tetap di atas apa yang
mana Rasulullah telah mengakui mereka di atasnya. Demikian pula apa yang
terjadi setelah itu negeri-negeri yang mengikat perjanjian dengan kaum
muslimin: Baitul Maqdis, dikuasai oleh Umar Bin Khaththab dengan
perjanjian. Demikian juga kota Damaskus dikuasai oleh Khalid Bin Walid
dengan perjanjian, dan atas hal ini juga kota-kota Syam semuanya
dikuasai juga dengan perjanjian tanpa tanah-tanahnya di bawah pimpinan
Yazid Bin Abi Sufyan, Syurahbil Bin Hasanah, Abu Ubaidah Ibnu Al Jarroh
dan Kholid Bin Walid. Demikian juga negeri-negeri jazirah diriwayatkan
bahwa ia semuanya dikuasai secara damai dengan cara perjanjian antara
mereka dengan Iyadl Bin Ghonam. Demikian juga bangsa Qibthi di Mesir
dikuasai dengan damai oleh ‘Amru Bin ‘Ash. Demikian juga negeri-negeri
di Khurosan dikatakan bahwa ia atau kebanyakannya dikuasai dengan cara
damai oleh Abdullah Bin Amir Bin Kuraiz. Hal itu berakhir hingga daerah
Marwi Ar Raudzi, hal ini terjadi pada masa Utsman Bin Affan. Adapun
negeri-negeri di balik itu, maka ditaklukan setelah itu oleh Said Bin
Utsman Bin Affan Al Mahallab Bin Abi Shufrah, Qutaibah Bin Muslim dan
selain mereka”.
Abu Ubaid berkata lagi: “Mereka itu di atas
syarat-syarat (yang disepakati) mereka lagi tidak dihalangi darinya.
Demikian juga negeri-negeri yang dikuasai dengan cara kekerasan, terus
imam memandang (berpendapat) ingin mengembalikan kepada pemiliknya dan
mengakuinya di tangan mereka sendiri di atas setatus dzimmah (membayar
jizyah) dan dien mereka, seperti yang dilakukan oleh Umar kepada
penduduk negeri Sawad (Irak), di mana ia dikuasai secara paksa oleh
Sa’ad. Demikian juga negeri-negeri di Syam, seluruhnya dikuasai dengan
paksa kecuali kota-kotanya oleh tangan Yazid Bin Abi Sufyan, Syurahbil
Bin Hasanah, Abu Ubaidah Bin Al Jarrah dan Khalid Bin Walid. Demikian
juga Al Jabal dikuasai dengan paksa dalam peperangan Jawala’ dan
Nahawand di tangan Sa’ad Bin Abi Waqqash dan Nu’man Bin Muqarrin,
demikian pula Al Ahwaz atau sebagian besarnya. Demikian pula Persia di
tangan Abu Musa Al Asy’ariy, Utsman Bin Abi Al ‘Ash dan Utbah Bin
Ghazwan dan yang lainnya dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan demikian pula daerah Maghrib di tangan Abdullah Bin Sa’ad
Bin Abi Sarah.
Telah sampai kabar kepada kami dari Abdullah Bin
Shalih dari Musa Bin Ali Bin Rabbah dari bapaknya, ia berkata: “Al
Magrib seluruhnya dikuasai dengan paksa (kekerasan).”
Telah
berkata Abu Ubaid: “Demikian pula daerah Ats Tsugur, telah sampai kepada
kami dari Hisyam Bin Amar dari Yazid Bin Samurah dari Al Hakam Bin
Abdirrahman Bin Abu ‘Ashma’ Al Khats’amiy, di mana ia di antara orang
yang menyaksikan penaklukan Qisarriyyah, ia berkata: “Mu’awiyyah telah
mengepung Qisarriyyah selama tujuh tahun kurang beberapa bulan. kemudian
kaum muslimin dapat menaklukannya, kemudian diutuslah utusan
mengabarkan kemenangan itu kepada Umar Bin Khaththab, kemudian
berdirilah Umar dan berkata: “ketahuilah, sesungguhnya Qisarriyyah
dimenangkan (dikuasai) dengan cara kekerasan”. Selesai (Lihat kitab Al
Amwal).
B. Seorang muslim tidak boleh dibunuh lantaran telah
membunuh orang kafir, walaupun ia kafir dzimmiy atau yang terikat
perjanjian.
Imam Bukhariy dalam Shahih-nya telah meriwayatkan
dari Ali Bin Abi Thalib dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda: لا يُقتل مسلمٌ بكافر
“Seorang muslim tidak boleh dibunuh lantaran telah membunuh seorang yang kafir”.
Telah ada dokumen tulisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
ditulis beliau saat pertama kali tiba di Madinah –Yastrib– ketika beliau
menulis di dalamnya: “Seorang yang mukmin tidak boleh dibunuh lantaran
telah membunuh seorang yang kafir”. Selesai (Ibnu Hisyam, 1/502)
Imam Ibnu Hazm Al Andalusiy rahimahullah telah meriwayatkan dalam
kitabnya ‘Al Muhalla dengan sanad dari Umar Bin Al Khoththob
radliyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Seorang mukmin tidak boleh dibunuh
lantaran telah membunuh seorang yang kafir”. Beliau juga telah
meriwayatkan dari Ibnu Syihab kisah tentang seorang muslim yang telah
membunuh seorang Nashrani, kemudian Utsman Bin Affan memutuskan: “Bahwa
ia tidak boleh dibunuh (di qishash) karena hal itu.” Selesai. Beliau
juga meriwayatkan dari Hasan Al Bashri bahwasannya Ali Bin Abi Thalib
radliyallahu ‘anhu telah berkata: “Seorang mukmin tidak boleh dibunuh
lantaran telah membunuh seorang yang kafir”. Selesai.
Imam
Ahmad telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali Bin Abi Thalib
radliyallahu ‘anhu, ia berkata: “Di antara sunnah adalah seorang muslim
tidak boleh dibunuh lantaran ia telah membunuh seorang yang kafir”.
Telah diriwayatkah oleh Ibnu Ishaq rahimahullah bahwasannya Abdullah
Bin Abdullah Bin Abi (anaknya Abdullah Bin Ubay) telah datang ke hadapan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta izin untuk membunuh
bapaknya yang munafiq, kemudian ia berkata: إني أخشى أن تأمر به غيري
يقتله، فلا تدعني نفسي انظر إلى قاتل عبد الله بن أبي يمشي في الناس،
فأقتله فأقتل مؤمناً بكافر فأدخل النار
“Sesungguhnya saya
khawatir engkau perintahkan selain diri saya untuk membunuhnya, kemudian
jiwa saya tidak kuasa memandang orang yang telah membunuh bapak saya
berjalan di tengah manusia, terus saya membunuhnya, maka berarti saya
telah membunuh orang mukmin lantaran membunuh seorang kafir, maka
masuklah saya ke dalam neraka.” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, 3/267).
Telah berkata Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy rahimahullah dalam
mengambil istinbath hukum dari atsar-atsar tersebut: “Bahwa seorang
muslim tidak boleh dibunuh lantaran membunuh seorang yang kafir,
meskipun yang dibunuh itu kafir yang ada jaminan keamanan atau dzimmiy.”
Selesai (Al Mughni, 9/341)
Imam Ibnu Qudamah juga berkata
dalam masalah: “Tidak boleh dibunuh seorang muslim lantaran membunuh
seorang yang kafir”… mereka tidak mewajibkan qishash atas seorang muslim
lantaran telah membunuh seorang yang kafir, yaitu kafir apa saja. Hal
ini diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ali, Zaid Bin Tsabit dan Mu’awiyyah
radliyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat Umar Bin Abdul Azis, Atha’,
Al Hasan, Ikrimah, Az Zuhri, Ibnu Syubramah, Malik, Ats Tsauriy, Al
‘Auzaiy, Asy Syafi’iy, Ishaq, Abu Ubaid, Abu Tsur, dan Ibnu Mundzir…”.
Selesai. (Al Mughni, 11/305).
Termaktub dalam kitab “Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah” dalam bab qishash halaman 261 dan
masalah setelahnya: …syarat-syarat qishash pada jiwa:
…2:
keterjagaannya orang yang dibunuh: para fuqaha bersepakat bahwa di
antara syarat wajibnya qishash atas orang yang membunuh adalah
terjaganya darah orang yang dibunuh… mereka mensyaratkan keberaadaan
orang yang diibunuh itu darahnya terjaga dari ditumpahkan bagi si
pembunuh selama-lamanya seperti orang muslim. Namun jika terjaga
darahnya untuk waktu sesaat saja seperti orang kafir yang mendapat
jaminan keamanan, maka si pembunuh tidak dibunuh lantaran pembunuhan
terhadap orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan tersebut, karena
orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan ini terjaga darahnya dalam
kondisi saat ada jaminan keamanan saja, sedangkan pada asalnya ia halal
ditumpahkan darahnya, karena ia termasuk orang kafir harbiy, sehingga
tidak ada qishash dalam pembunuhan terhadapnya.
…3: dipandang
dari sisi kesetaraan antara orang yang membunuh dan orang yang dibunuh,
dikatakan bahwa di antara syarat wajibnya qishash dalam suatu pembunuhan
adanya kesetaraan antara pembunuh dan yang dibunuh dalam hal kejelasan
statusnya. Maka tidak dibunuh orang yang tinggi derajatnya dari orang
yang hina, tetapi dibunuh orang yang hina derajatnya dari orang yang
tinggi derajatnya atau yang setara. Oleh karena itu tidak boleh seorang
muslim dibunuh walaupun muslim itu hamba sahaya, lantaran ia telah
membunuh orang kafir yang merdeka (bukan hamba sahaya). Selesai.
Masalah ini telah saya jelaskan –dengan karunia Allah– dalam tulisan
yang berjudul Al Qaul Az Zahir Fi Hukmi Qatlu Muslim Bil Kafir
(perkataan yang jelas dalam hukum membunuh seorang muslim lantaran ia
membunuh orang kafir). Risalah tersebut ada dalam bundel kitab saya yang
berjudul Al Mathar Al Wabil Fi Ijabati As Sail, rujuklah anda ke kitab
tersebut jika anda menghendaki.
C. Tidak jauh berbeda dari
pokok masalah ini, yaitu pembunuhan orang yang murtad dari Islam
meskipun ia tidak memerangi seorang muslimpun, oleh karena itu janganlah
engkau menganggap aneh orang yang mengatakan bahwa alasan memerangi
orang kafir itu adalah sikap aniaya saat ia menolak had riddah, atau
menggantungkannya dengan orang yang menambahkan terhadap kemurtaddannya
sikap memerangi kaum muslimin.
“Katakanlah kepada
orang-orang Islam Badwi yang tertinggal: “Kamu akan diajak untuk
(memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu harus
memerangi mereka kecuali mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu
patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang
baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling
sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih”. (QS
Al Fath [48]: 16).
Imam Ibnu Al Jauziy rahimahullah berkata:
“Firman Allah: “Kamu harus memerangi mereka kecuali mereka menyerah…”
maksud ayat ini adalah Bani Hanifah pada hari perang Yamamah, dan mereka
adalah pengikut Musailamah Al Kadzdzab…”, Az Zuhri berkata demikian
juga, Ibnu Saib juga Muqatil. Muqatil berkata: “Pada saat kekhalifahan
Abu Bakar, hal ini menjadi hal yang sangat jelas (kebenaran ayat). Telah
berkata Rafi’ Bin Khudaiz: “Dahulu kami membaca ayat ini dan kami tidak
memahami siapa mereka, hingga ada seruan Abu Bakar untuk memerangi Bani
Hanifah, maka kemudian kami memahami sesungguhnya yang dimaksud (ayat
tersebut) adalah mereka.
Telah berkata sebagian dari ahli ilmu:
“Tidak boleh mengarahkan ayat ini kecuali kepada bangsa Arab saja,
sebagaimana bunyi ayat ini “Kamu harus memerangi mereka kecuali mereka
menyerah…”. Sedangkan Persia dan Romawi hanya saja kalian perangi hingga
mereka masuk islam atau membayar jizyah.” Selesai. (Zadul Masir,
7/207).
Perkataan “Tidak boleh mengarahkan ayat ini kecuali
kepada bangsa Arab saja”, maksudnya adalah penyembah berhala atau
orang-orang murtad, karena orang-orang Arab yang mana kaum muslimin
diperintahkan untuk memerangi mereka –pada saat itu– tidak keluar
kondisi mereka dari salah satu dari dua golongan itu. Ayat ini tidak
dikhususkan terhadap bangsa Arab, akan tetapi khusus kepada siapa saja
yang kami sebutkan, baik bangsa Arab atau bukan Arab.
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang mengganti diennya, maka bunuhlah ia”. (HR. Bukhari,
Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, dalam lafadz Ibnu Majah: من جحد آية من القرآن فقد حل ضرب عنقه
“Barangsiapa yang menolak satu ayat dari Al Qur’an maka sungguh dihalalkan menebas batang lehernya”.
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu, dia berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
.لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى
ثلاث النفس بالنفس، والثيب الزاني، والمارق من الدين التارك للجماعة. متفق
عليه
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersyahadat Laa
ilaaha illallaah dan aku adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu
dengan tiga hal: pembunuhan jiwa tanpa haq, orang yang telah menikah
kemudian berzina, dan orang yang meninggalkan (murtad) dari dien yang
meninggalkan jama’ah”. (Muttafaq ‘alaih).
Dari Al Bara’ Bin
Aazib radliyallahu ‘anhu dia berkata: Aku bertemu dengan pamanku Abu
Burdah, dan ia ketika itu sedang membawa bendera, aku berkata: “Hendak
kemana engkau paman?”, kemudian ia berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengutusku kepada seorang laki-laki yang
menikahi isteri bapaknya, bahwa aku disuruh membunuhnya atau aku disuruh
menebas batang lehernya.” Dan ada tambahan pada riwayat Mu’awiyyah Ibnu
Qurrah dari bapaknya: “dan saya membagi lima hartanya” (Diriwayatkan
Ahmad dan selainnya, Ibnu Hibban menshahihkannya, juga Al Hakim dan Adz
Dzahabi mensepakatinya).
Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah: “Sesungguhnya membagi lima hartanya menunjukan
sesungguhnya bahwa ia kafir dan bukan sekedar fasiq, sedangkan
kekafirannya adalah dengan sebab ia tidak mengharamkan apa yang Allah
dan Rasul-Nya haramkan”. Selesai. (Majmu Fatawa, 20/92).
Ijma
telah disepakati terhadap pembunuhan orang murtad walaupun dia tidak
memerangi kau muslimin. Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy rahimahullah
telah berkata: “Ijma ahlul ilmi atas wajibnya membunuh orang yang
murtad, hal ini telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Mu’adz, Abu Musa, Ibnu ‘Abbad, Khalid dan selain mereka, dan tidak ada
yang mengingkari hal itu bahwa hal itu telah diijmakan.” (Al Mughniy,
9/16).
Telah dinukil secara ijma atas perkara ini oleh Imam Al
Khaththabi, Ibnu Sahnuun, Al Qadliy ‘Iyadl, Ibnu Hazm, An Nawawi, Ibnu
Abdil Barr, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Daqieq Al ‘Ied,
Ibnu Mundzir, Al Kaisaniy, As San’aniy, Asy Syaukani, Ibnu Abidin, dan
selain mereka.
(untuk tambahan), silahkan lihat pada kitab “Li
Madza Yunkirul Ikhwan Had Riddah” (mengapa Al Ikhwanul Muslimin
mengingkari had orang murtad), ditulis oleh saudara kita Asy Syaikh Abu
Abdurrahman Asy Syinqithiy hafidzahullah, beliau menerangkan dengan
sangat luas masalah ini dan menjabarkannya dengan sebaik-baik
penjelasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar