TABAH MENGGENGGAM BARA API
__ TAUHID WAL JIHAD ___
PRO- T- IN ISLAM
KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID
Selasa, 08 Januari 2013
“SEMUA AGAMA ADALAH SAMA” TERNYATA AJARAN FREEMASON
Istilah pluralisme agama tak hanya terjadi belakangan saja, istilah itu
sudah pernah dikampanyekan gerakan freemanson dan theosofi dengan
doktrin “Semper, ubique et ab omnibus”. (bagian pertama tulisan)
Paham yang mengatakan pada inti semua agama adalah sama tidak terlepas
dari pengaruh Freemason. Gerakan ini bermula ketika pengikut Freemason
membentuk gerakan The Theosophical Society. Dalam perkembangannya, The
Theosophical Society ikut menyumbang bagi terwujudnya hikmah abadi
(sophia perennis). Pemikiran para tokoh Sophia Perennis seperti Rene
Guénon dan Frithjof Schuon tidak terlepas dari ajaran dalam Freemason.
Freemason menurut Encyclopaedia of Religion and Ethics (New York),
adalah sistem moral khusus, ditutupi dengan kiasan serta diilustrasikan
dengan simbol-simbol. Freemason dan Teosofi
Para sejarawan
dari kalangan Freemason berpendapat paling tidak terdapat 3 teori yang
menjelaskan sebab-musabab munculnya Freemason.
Pertama,
Freemason muncul sangat lama sekali seiring dengan klaim ritual
Freemason itu sendiri, yaitu ketika Raja Salomo mendirikan Bait Suci dan
Freemason sampi kepada kita sehingga kini sekalipun mekanismenya tidak
diketahui.
Kedua, Freemason adalah hasil dari karya para
pembuat bangunan pada zaman pertengahan. Ketiga, ritual Freemason
berasal dari Laskar Kristus yang menjaga Bait Suci Salomo (King
Solomon’s Temple) atau dikenal juga sebagai Ksatria Bait Suci (Knight
Templar). (baca Christopher Knight & Robert Lomas, The Hiram Key:
Pharaohs, Freemasons and the Discovery of the Secret Scrolls of Jesus).
Freemason telah tersebar di benua Eropa. Salah satu fakta awal yang
tertulis menunjukkan bahwa cabang Freemason telah ada di Inggris pada
tahun 1641.
Robert Moray, salah seorang keluarga raja (Royal
family), telah masuk menjadi anggota Freemason di Edinburgh pada tanggal
20 Mei 1641.
Selain itu, Elias Ashmole, masih dalam
lingkungan keluarga Raja Inggris, menulis dalam buku diarinya bahwa ia
telah menjadi anggota Freemason di Lancashsire, pada tanggal 16 Oktober
1646. (Francis A. Yates, The Rosicrucian Enlightenment).
Babak
baru perkembangan Freemason adalah pada tanggal 24 Juni 1717. Sebabnya,
pada tanggal tersebut Freemason telah menjadi organisasi Nasional dengan
didirikannya Grand Lodge of England, yang merupakan gabungan dari 4
cabang Freemason. Para pengikut Freemason dalam Grand Lodge of England
akan mengikuti agama yang semua manusia setuju… yaitu, menjadi Manusia
yang Baik dan Benar (Religion is which all men agree… that is, to be
Good Men and True).
Dengan terbentuknya Grand Lodge of
England, gerakan Freemason semakin merebak sehingga berkembang melintasi
benua Eropa sehingga ke benua Amerika.
George Washington,
yang menjadi President pertama Amerika Serikat pada tanggal 30 April
1789 adalah seorang anggota Freemason. Selain itu, para penanda tangan
Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditandatangani pada tanggal 4 Juli
1778 oleh William Hoper, Benjamin Franklin, Matthew Thornton, William
Whipple, John Hancock, Phillip Livinston dan Thomas Nelson, kesemua
mereka adalah pengikut Freemason. Semua Agama Sama
Setelah
mengurai sejarah Freemason dengan sangat ringkas, ada baiknya kita
melihat bagaimana pengikut Freemason ikut mempelopori terbentuknya paham
yang menyamakan agama.
George Felt, seorang Freemason Yahudi,
pada tanggal 7 September 1875 memberikan kuliah tentang “The Lost Canon
of Proportion of the Egyptians,” di apartment Helena Petrovena
Blavatsky (1831-1891), seorang aristokrat Rusia yang meninggalkan suami
dan kemewahan harta karena merantau ke pegunungan Tibet selama
bertahun-tahun.
George Felt memfokuskan materi kuliahnya
kepada penafsiran mistis tehadap ajaran (tradisi) Mesir yang hilang.
Salah seorang peserta yang mengikuti kulian tersebut, Henry Steel
Olcott, seorang pengikut Freemason di New York, mengusulkan supaya semua
peserta (berjumlah 17 orang) yang telah mengiktui kuliah George Felt
agar membentuk sebuah kelompok yang akan meneliti lebih mendalam lagi
mengenai tradisi kuno.
Blavatsky, guru Olcott menyetujui
proposal tersebut. Sotheran, seorang Freemason, mengusulkan nama The
Theosophical Society (Masyarakat Teosofis) bagi kelompok tersebut.
Akhirnya, pada tanggal 17 November, 1875 diadakan pertemuan dengan 18
orang (termasuk George Felt) dan pada tanggal itu ditetapkan sebagai
awal berdirinya The Theosophical Society.
Dalam pidatonya
peresmiannya, kolonel Henry Steel Olcott (1832-1907), berharap kelompok
tersebut akan membuat penelitian dalam perbandingan agama dan juga untuk
menemukan “ancient wisdom,” khususnya dalam sumber sumber primer dari
semua agama, buku-buku Hermes dan Veda (primeval source of all
religions, the books of Hermes and the Vedas), dengan perkataan lain
dalam Filsafat Abadi.
Setelah kematian Olcott pada tahun 1907,
posisi ketua dipegang oleh Annie Wood Besant (1847-1933). Besant,
berasal dari Inggris, masuk menjadi anggota Theosophical Society pada
tahun 1889 dan menjadi ketua gerakan tersebut dari tahun 1907 sampai
akhir hidupnya (1933).
Menurut Besant, teosofi ataupun agama
universal (universal religion) dibangun atas 2 fondasi, yaitu Tuhan
sebagai immanent sekaligus transendent dan solidaritas atau persaudaraan
semua manusia.
Sebuah doktrin keagamaan akan diuji dengan
prinsip "Semper, ubique et ab omnibus" (Selalu, dimana saja dan dari
semua). Besant juga merumuskan ajaran teosofis sebagai berikut: (1) the
unity of God (kesatuan Tuhan). Ajaran mendasar dari teosofi sebagaimana
semua agama adalah kebenaran agama universal. (2) The Trinity of the
manifested God (Inkarnasi Tuhan dalam Trinitas) Tuhan termanifestasikan
sebagi Logos. (3) The hierarchy of beings (tingkatan wujud). (4)
Universal brotherhood (persaudaraan universal), yang berbeda dengan
konsep ‘kesetaraan’ (equality) ataupun ‘demokrasi’ (democracy).
Besant juga menyatakan tujuan masyarakat Teosofis adalah mengajarkan
kepada pengikutnya bahwa agama-agama adalah ungkapan dari hikmah ilahi
yang lahir dan berasal dari zat yang satu. Oleh sebab itu, keragaman dan
perbedaan dalam manifestasi lahiriah dan bentuk bukanlah inti dari
ajaran agama. Semua agama memiliki keaslian dan kebenaran karena berasal
dari zat yang satu.
Ringkasnya, sejak dibentuk oleh 18 orang
anggota di New York, The Theosophical Society telah berkembang menjadi
organisasi internasional.
Pada tahun 1879, markasnya
dipindahkan ke Bombay, India. Tiga tahun setelah itu (1882), markasnya
sekali lagi dipindahkan ke Adyar, pinggiran Madras. Akhir abad 19, The
Theosophical Society telah memiliki 500 cabang dalam 40 Negara di Asia
dan Barat, termasuk cabang yang ada di Perancis, yand diikuti oleh
Gérard Encausse (m. 1916) pada tahun 1887 Selain tokoh gerakan
freemason Olcott dan Blavatsky, tokoh yang ikut tertarik gagasan
'pluralisme agama' adalah Rene Guénon dan Frithjoc Schuon. (bagian
terakhir dari dua tulisan)
Tertarik dengan gagasan Olcott dan
Blavatsky, Gérard Encausse, seorang Freemason mendirikan cabang The
Theosophical Society di Perancis. Nama samarannya dikenal sebagai Papus.
Ia mendirikan Free School of Hermetic Sciences, sebuah sekolah yang
mengkaji tentang mistis. Encausse menghidupkan kembali ajaran Martinist
Order. Nama lengkap De Saint-Martin adalah Louis-Claude de Saint-Martin,
seorang Freemason dan bekas pegawai tentara yang punya ketertarikan
dengan mistis dan Hermes.
Sebagaimana dalam buku Against the
Modern World: Traditionalism and the Secret Intellectual History of the
Twetieth Century (OOxford: Oxford University Press, 2004), Martin
meyakin, “Semua tradisi bumi harus dilihat sebagai berasal dari
tradisi-ibu yang fundamental bahwa, dari awal, telah dipercayakan kepada
laki-laki yang berdosa dan kepada keturunannya yang pertama.
(All the traditions of the earth must be seen as deriving from a
fundamental mother-tradition that, from the beginning, was entrusted to
sinful man and to his offspring).
Pernyataan yang sama juga
dikemukakan oleh Count Joseph de Maistre, juga seorang Freemason dan
teman dekat Saint-Martin bahwam “Agama yang benar lahir pada hari ketika
[semua] hari dilahirkan…, Konsep yang kabur [mengenai orang-orang kuno]
tidak lain disebabkan banyaknya dari sedikit kelemahan dari tradisi
primitive yang tinggal. (The True religion…was born on the day that
[all] days were born…, The vague conceptions [of the ancients] were no
more than the more of less feeble remains of the primitive tradition).
Pada tahun 1906, Rene Guénon (1886-1951), yang kelak menjadi pelopor
Filsafat Abadi, masuk ke sekolahnya Encausse. Disana, Guénon bukan saja
mulai mengenali kajian mistis (occult studies), namun juga berkenalan
dengan sejumlah tokoh Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual
yang lain.
Guénon aktif menggelar berbagai kongres, seminar,
diskusi dan aktifitas tentang mistis dan Freemason di Perancis.
Ringkasnya, Freemason merupakan ketertarikan Guénon yang paling besar
sepanjang hidupnya (it remained of Guénon’s great interests throughout
his life).
Bagi Guénon, Freemason adalah wadah dari luasnya
hikmah tradisional, kaya khususnya dalam simbolisme dan ritual. Guénon
juga yakin bahwa Freemason adalah cara untuk menjaga banyak aspek dari
Kristen yang telah hilang dan terabaikan.
Guénon (m.1951)
menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada
Tradisi dan agama. Guénon (m. 1951), menyebutnya sebagai Primordial
Tradition (Tradisi Primordial). Guénon, yang awalnya Katolik,
selanjutnya “memeluk” Islam pada tahun 1912. (nama Islamnya Abdul Wahid
Yahya).
Bagaimanapun, selama kehidupannya di Perancis, Guénon tidak dikenal telah mempraktekkan ritual Islam.
Guénon berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang
spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan
bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual.
Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari
supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab
itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu.
Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition).
Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang
berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja
karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami
Realitas Akhir.
Pengalaman spiritual Rene Guénon (m.1951)
dalam gerakan teosofi dan Freemason mendorongnya untuk menyimpulkan
bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level
Kebenaran. Salah seorang tokoh penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof Schuon (1907-1998).
Sejak berusia 16 tahun, ia telah membaca karya Guénon, Orient et
Occident. Kagum dengan pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat
dengan Guénon selama 20 tahun.
Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon bertemu dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938.
Schuon “memeluk” Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad
al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami. Ia adalah seorang tokoh
terkemuka dalam religio perennis (Agama Abadi).
Ia menegaskan
prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi
esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta
mengkritik modernitas.
Ia mengangkat perbedaan antara
dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus
menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-agama ortodoks. Ia
mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas
dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.
Dalam pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama
adalah berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a
common ground’. Ia berpendapat agama-agama mengandung dimensi eksoterik
dan esoterik.
Kedua dimensi ini yang inheren dalam agama
berasal dari dan diketahui melalui Intelek (Intellect). Menurut Schuon,
secara psikologis, ego manusia terkait dengan badan (body), otak (brain)
dan hati (heart). Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi fisik,
otak dengan fikiran (mind), maka hati (heart) dengan Intelek.
Jika dikaitkan dengan realitas, maka Intelek dapat diasosiasikan dengan
Esensi Tuhan (Yang Satu) dan langit (alam yang menjadi model dasar)
sedangkan fikiran dan badan meliputi dunia fisik, terrestrial. Intelek
sangat penting karena otak dan badan di bawah kendali, dan berasal dari
Intelek.
Intelek adalah pusat manusia (the centre of human
being), yang bersemayam di dalam hati. Kualifikasi intelektual harus
didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak, maka secara spiritual,
Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan
‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran.
Intelektualitas menjadi spiritualitas ketika manusia sepenuhnya, bukan
Intelektualitasnya saja, hidup di dalam kebenaran.
Intelek
lebih tinggi dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu
berdasarkan kepada data, maka mental berfungsi karena eksistensi
intelek. Rasio hanyalah media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta,
bukan untuk melihat. Sedangkan Intelek, dengan bantuan rasio, terungkap
dengan sendirinya secara pasti. Selain itu, Intelek dapat menggunakan
rasio untuk mendukung aktualisasinya.
Di dunia fisik, Intelek
terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Namun, hanya di dunia
fisik Intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model dasar, atau di
dalam Ide Plato, fikiran dan badan merupakan makna yang tidak dibedakan:
Fikiran adalah eksistensi dan eksistensi adalah fikiran.
Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, Intelek
adalah dasar bagi intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang ril
dan ilusi, antara wujud yang wajib dan wujud yang mungkin. Implikasinya,
ada realitas transenden diluar dunia bentuk.
Dengan Intelek,
manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi dua, Absolut dan
relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan
eksoteris. Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada level yang esoteris,
bukan eksoteris. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai esoteris dan
eksoteris dalam pemikiran Schuon. Eksoterisme dan Esoterisme
Menurut Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum,
dogmatis, ritual, etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada
sepenuhnya di dalam Maya, kosmos yang tercipta. Dalam pandangan
eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan
Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di dalam Maya, yang
relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan eksoteris bermakna
pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut
pandang intelek adalah relatif.
Menurut Schuon, pandangan
eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi
keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris
adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada
“huruf”,--sebuah dogma esklusifistik (formalistik)--dan kepatuhan
terhadap hukum ritual dan moral. Selain itu, eksoterisme tidak pernah
akan melampaui individu. Eksoterisme bukan muncul dari esoterisme, namun
muncul dari Tuhan.
Schuon menyadari jika masing-masing “form”
agama meyakini bahwa sesuatu “form” itu lebih hebat dibanding dengan
“form” yang lain. Pemikiran seperti itu, lanjut Schuon, sangat wajar.
Perpindahan agama terjadi justru karena adanya superioritas sebuah
“form” terhadap yang lain. Bagaimanapun, superioritas tersebut
sebenarnya relatif.
Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik
dari Hindu karena memuat bentuk terakhir dari Sanatana Dharma. Schuon
mengatakan.: “…Sama halnya, bahwa Agama Hindu adalah form yang paling
tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki
superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang
terakhir (Islam)”.
Esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi
internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar
aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik. Esoterisme dan
eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris
bagaikan ‘badan’agama. Menurut Schuon, titik-temu agama bukan berada
pada level eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a
world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the
formless Essence). Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas
dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada pada level esoteris.
Melalui esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang
benar. Pandangan esoteris akan menolak ego manusia dan mengganti ego
tersebut menjadi ego yang diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan.
Esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme. Sekalipun terkait secara
inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen dari aspek eksternal,
bentuk, formal agama. Independensi tersebut karena esensi dari
esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan
tidak teredusir kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan.
Pemaparan ringkas diatas menunjukkan gagasan Guenon dan Schuon yang
memformulasi kesamaan agama dalam level esoteris adalah hasil interaksi
mereka dengan para tokoh Freemason dan Teosof. Gagasan pada intinya
semua agama sama disebarkan pada awalnya oleh para pengikut Freemason,
yang ingin merelevansikan ajaran-ajaran Yahudi, mistis, dan “hikmah
kuno” (ancient wisdom) ke zaman modern. Oleh: Adnin Armas, MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar