Al-Qur`ân merupakan kitab hidayah (petunjuk) menuju kebaikan dan
keselamatan bagi manusia di dunia dan akhirat. Melalui petunjuknya,
hamba-hamba Allâh Ta’âla yang dinaungi taufik-Nya memperoleh hidayah
menuju jalan terbaik dalam setiap segi kehidupan, dalam soal keyakinan
(aqidah), ibadah dan akhlak.
Maka, siapa saja yang bertamassuk (komitmen) dengannya, niscaya akan
mendapat petunjuk dan orang yang berjalan di atas niscaya beruntung.
Sebab, ia merupakan pintu hidayah paling besar dan jalan keselamatan
paling agung. Allâh Ta’âla berfirman:
Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang
mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar (QS.
a-Isrâ/17:9)
Demikian juga, petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam
hadits-haditsnya, sangat penting bagi umat. Sebab melalui
hadits-haditsnya yang juga wahyu dari Allâh Ta’âla , beliau shallallâhu
‘alaihi wasallam menjabarkan ayat-ayat al-Qur`ân, menjelaskan dan
menerangkannya. Juga membawa hukum tersendiri yang tidak disinggung oleh
al-Qur`ân. Dalam ucapan-ucapannya yang mulia, beliau dianugerahi Allâh
Ta’âla dengan jawâmi’ul kalim, perkataan-perkataan padat lagi ringkas,
namun memuat makna yang luas lagi dalam.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ
Aku diutus dengan jawâmi’ul kalim (HR. al-Bukhâri dan Muslim)
Apabila hal ini telah terpahami, maka menjadi kewajiban seorang
Muslim untuk mengetahui dan menyadari betapa pentingnya doa-doa yang
bersumber dari al-Qur`ân dan Hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi
wasallam . Dan dalam doa-doa tersebut – tidak diragukan lagi- mengandung
segala kunci pembuka kebaikan dan penutupnya, dalam permulaan dan
akhirnya, secara lahir dan batinnya. Ditambah dengan adanya keindahan,
kesempurnaan dan kerapian teks-teksnya. Juga akan mendatangkan
perwujudan cita-cita yang tinggi dan tujuan-tujuan yang agung, serta
kebaikan yang sempurna di duna dan akhierat. Dan ingat, karena bersumber
dari wahyu, maka akan terjaga dari kekeliruan, kesalahan dan
penyelewengan. Allâh Ta’âla telah memilihkan bagi Nabi-Nya doa-doa
terbaik, ringkas, dan memenuhi segala hajat manusia.
Keutamaan dzikir dari al-Qur`ân dan Hadits shahih
“Yang diperintahkan bagi seorang Muslim adalah berdzikir kepada Allâh
Ta’âla sesuai dengan apa yang disyariatkan agama dan berdoa kepada Allâh
Ta’âla dengan doa-doa ma`tsur yang datang dari al-Qur`ân dan Sunnah
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam yang shahih. Karena itu, wajib atas
seorang Muslim mengikuti (ittibâ’) apa yang telah disyariatkan Allâh
Ta’âla dan apa yang telah dicontohkan Nabi-Nya”. [1]
Dzikir dan wirid dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam sudah dapat
dipastikan jauh lebih afdhol dan lebih bermanfaat daripada wirid produk
manusia biasa, senantiasa bebas dari pelanggaran tauhid, pasti berbahasa
baik, fasih dan benar, dan memenuhi hajat hidup manusia, di dunia dan
akherat.
Karenanya, Ulama Islam mempunyai perhatian untuk senantiasa
mengaitkan umat dengan doa dan wirid dari al-Qur`ân dan Hadits, lantaran
kandungannya yang sempurna, terjaga dari kesalahan dan bebas dari
kekeliruan.
Imam al-Qurthubi rahimahullâh mengatakan, ” Menjadi kewajiban orang
untuk menggunakan doa dari Kitâbullâh dan Hadits yang shahih, dan
meninggalkan selain itu. Ia tidak boleh mengatakan, “Saya pilih wirid
ini saja (yang berasal dari si A). sebab Allâh Ta’âla telah memilihkan
bagi nabi dan para wali-Nya dan mengajarkan kepada mereka bagaimana saat
berdoa”. [2]
Tentang keutamaan doa dan wirid dari Nabi shallallâhu ‘alaihi
wasallam yang diajarkan Allâh Ta’âla kepadanya, Qâdhi ‘Iyâdh
rahimahullâh berkata, “…Terkumpul padanya (doa beliau) tiga unsur
(penting): pengetahuan (yang benar) tentang tauhid, pengetahuan (yang
benar) tentang bahasa Arab, dan niat baik untuk mencurahkan segala
kebaikan terhadap umat. Maka, tidak sepantasnya seseorang berpaling dari
doa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam . Sebagian orang telah terperdaya
oleh setan dalam masalah ini, setan telah menghimpun bagi mereka
sekumpulan orang jelek yang membuat-buat doa (dan dzikir tertentu) bagi
mereka, (akibatnya) mereka ini sibuk dengannya sehingga melupakan
mengikuti (doa dan wirid) Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam (dalam
berdoa)”. [3]
Simak komentar Imam Mâlik rahimahullâh terhadap orang yang berdoa
kepada Allâh Ta’ala dengan lafazh ‘ Ya Sayyidi (wahai Dzat Yang
menguasaiku)’: “(Hendaknya) ia berkata, ‘Ya Rabbi’ sebagaimana yang
diucapkan para nabi dalam doa-doa mereka”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh mengatakan, “Seharusnya
manusia berdoa dengan doa-doa yang disyariatkan yang datang dari
al-Qur`ân dan Sunnah (Hadits). Sesungguhnya doa-doa itu (yang bersumber
dari keduanya) tidak diragukan lagi tentang keutamaan dan kebaikannya,
dan itu merupakan jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah diberi
kenikmatan oleh Allâh Ta’âla dari kalangan para nabi, shiddiqin (para
pecinta kebenaran), syuhâdâ (orang-orang yang mati syahid) dan kaum
shalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. [4]
“Perhatikanlah – semoga Allâh Ta’âla melindungimu- bagaimana para
Ulama itu ingin (selalu) mengaitkan manusia dengan doa-doa para nabi,
dan doa dari al-Qur`ân serta doa-doa yang ma’tsur dari Nabi shallallâhu
‘alaihi wasallam . Sesungguhnya, itulah doa yang paling pantas untuk
diucapkan dan yang paling utama untuk digunakan (dalam berdoa). Dan
barang siapa berdoa dengannya, ia berada di atas jalan yang lurus, jalan
yang aman, aman dari ketergelinciran, dan ia akan meraih setiap
kebaikan dan keutamaan di dunia dan akherat”. [5]
Salah satu contoh produk dzikir berformat syair
إِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلًا – وَلاَ أَْقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ
فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ- فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
Wahai Ilahku, aku tak pantas mendapatkan (surga) Firdaus,
Akan tetapi , aku pun tidak kuasa menahan panasnya neraka Jahim
Maka anugerahilah aku taubat dan ampuni dosa-dosaku,
Sesungguhnya Engkau Maha Mengampuni dosa-dosa besar
Sebagian orang memang sudah terbiasa mendengarkan, menghafal dan
kemudian mengamalkan bacaan-bacaan sajak dan syair-syair tersebut
sebagai wirid atau membacanya pada momen-momen tertentu. Sudah tentu,
dengan mengharap pahala dan ganjaran dari Allâh Ta’âla , menggapai surga
dan selamat dari neraka. Bisakah ini diterima?
Masih banyak contoh lain, seperti syair-syair yang dibaca sebelum
adzan, syair-syair yang memuat asmaul husna, termasuk yang termuat dalam
buku-buku yang dibaca dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad
shallallâhu ‘alaihi wasallam , dan syair-syair lainnya yang biasa
dilantunkan.
Sumber ajaran ini
Bila mencermati teks ‘dzikir’ di atas, dua untai bait syair tersebut
cukup (sangat) populer di (sebagian) masyarakat. Dilantunkan jamaah
sholat Jum’at dengan panduan imam masjid sebagai bagian tak terpisahkan
dari dzikir-dzikir bakda shalat Jum’at. Dua bait syair ini hanya sekedar
contoh yang dipraktekkan di lapangan, dipilih lantaran dilantunkan pada
hari yang mulia, hari Jum’at, dan di tempat yang mulia, masjid, dan
mengiringi dzikir bakda sholat Jum’at, disertai harapan diwafatkan dalam
keislaman. Tak habis pikir, mengapa disertakan dalam ibadah sholat
Jum’at.
Siapapun yang menyusunnya, tidak sepantasnya menjadi pelengkap dzikir
usai shalat Jum’at. Memang membaca syair bukan perkara terlarang dalam
syariat. Dahulu, seorang Sahabat pernah melontarkan syair di dalam
masjid dan Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam mengetahuinya tanpa
menegur. Akan tetapi, apakah Sahabat itu melantunkannya dalam rangka
secara khusus untuk berdzikir dan beribadah? Jawabannya, jelas tidak.
Mengapa dua bait syair di atas senantiasa dibaca seolah-oleh hukumnya
syar’i dan sangat ditekankan?. Anggap saja dzikir dengan produk syair
boleh, mengapa bukan syair yang lain, apakah tidak ada syair yang lebih
baik darinya?.
Hukum berdzikir dengan syair-syair produk manusia akan menjadi jelas
dengan melihat sejarah. Ternyata, praktek ajaran ini, beribadah dengan
membaca syair dan melagukannya, baru muncul pada akhir abad 2 H. Diusung
oleh kaum zanaqiqoh ke tengah kaum Muslimin di Baghdad dengan nama
taghbîr. Pada asalnya, bersumber dari cara ibadah kaum Nasrani lewat
para pemuka agama mereka yang berkuasa penuh dalam mensyariatkan apa
saja sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu pribadi mereka.
Lebih buruk lagi, fakta lain menyatakan bahwa ritual semacam ini
sudah dilakukan oleh bangsa Yunani kuno yang jelas beridiologi paganisme
(syirik) sebelum diutusnya Nabi Isa ‘alaihis salâm . Dahulu, mereka
melantunkan dan mendendangkan ilyâdzah (kumpulan syair yang berjumlah 16
ribu bait) untuk Homerus untuk keperluan dzikir dan ruqyah.
Dengan demikian, gaya dzikir yang biasa dilantunkan kalangan Sufi ini
bersumber dari kaum zindiq, yang mengadopsinya dari Nasrani, dan
sebelumnya telah dilakukan kaum watsani (paganis Yunani). Jadi, pembaca
tahu apa yang harus dilakukan.
Efek buruk dzikir dan doa model syair
Dzikir model syair yang dilagukan dengan nada tertentu jelas bukan
berasal dari petunjuk Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam ,
utusan Allâh Ta’âla yang membawa risalah yang sempurna. Maka,
membiasakannya sebagai bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allâh
Ta’âla bukan termasuk cara-cara yang tepat. Justru akan membuat orang
jauh dari Allâh Ta’âla dan ajaran Nabi Muhammad yang ma’shum, disadari
atau tidak. Dan ini merupakan perbuatan istibdâlul adnâ billadzi huwa
khair (mengambil yang lebih rendah untuk mengganti yang lebih baik).
Maksudnya, lebih perhatian dengan syair-syair yang jelas merupakan
produk manusia biasa, sehebat apapun ilmunya, daripada membaca
dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang telah diajarkan Nabi Muhammad
shallallâhu ‘alaihi wasallam . Akibatnya, cepat atau lambat, dzikir dan
wirid ajaran Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam akan menjadi mahjûr
(terlupakan, terbengkalai). Ini adalah dampak logis dari praktek ibadah
tanpa panduan dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam , yaitu
terbengkalainya petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam yang
berkaitan dengannya secara khusus.
Selain itu, bentuk doa yang berisi syair-syair dan dibaca dengan
lantunan nada tertentu, dengan meninggalkan doa dan wirid yang
disyariatkan merupakan perbuatan i’tidâ (melampaui batas dalam berdoa)
yang dilarang oleh Allâh Ta’âla .[6]
Dan jangan lupakan, sisi manusiawi penyusun doa, dzikir dan wirid yang
berbentuk syair. Karena seorang manusia biasa, tentu tidak ada jaminan
bebas dari kesalahan, sekali lagi, sehebat dan sedalam apapun
ilmunya.[7] Baik itu sekedar kesalahan dalam susunan bahasa Arab dengan
bahasa yang kurang fasih atau rangkaiannya biasa-biasa saja,
bertentangan dengan etika kesopanan, adanya kandungan tawasul yang
bid’ah, atau kesalahan fatal yang menjurus pada pelanggaran aqidah Islam
yang bertumpu pada pengesaan Allâh Ta’âla dalam peribadahan dan
pengagungan. Dan fakta membuktikan pelanggaran syair-syair tersebut
terhadap aqidah Islam memang ada!!!. [8]
Perkataan-perkataan yang berbentuk syair yang dibaca dengan nada
tertentu sebenarnya hanya akan membawa pelantunnya menuju dunia
‘nyayian’. Apalagi sebagian wirid berbentuk syair ini dilantunkan dengan
mengikuti ritme lagu (pop) tertentu. Belakangan, ada penyayi dan grup
musik yang mengadopsinya sebagai lirik lagu yang mereka dendangkan.
Tentu ini aneh, sebuah ibadah yang dibarengi dengan satu perkara yang
jelas melalaikan hati dari dzikrullâh (baca:musik). Ya, ini salah satu
bentuk kebatilan berbalut kebatilan yang lain, namun dipandang sebagai
bentuk ibadah yang mendatangkan kebaikan (!?)
Maka, tak heran bila Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullâh mengatakan,
“Termasuk perkara baru dalam agama yang harus ditolak, yaitu beribadah
dengan membaca syair-syair baik dalam berdoa maupun dzikir, baik
dilakukan sendiri maupun berjamaah”.
Ulama pun sudah mengingkari
Tidak mengherankan pula, bila para Ulama Ahlus Sunnah mengingkari
praktek berdoa dan dzikir dengan cara seperti ini, sekaligus mengingkari
para pelakunya. Sebut saja, Imam Syâfi’i (w. 204H), al-Hâfizh Yazîd bin
Hârûn (w. 206), Imam Ahmad bin Hambal (w. 241H), al-Hâfizh ‘Ubaidillâh
bin Muhammad bin Bathtah (w.387H).
Muhammad bin Walid ath-Thurthusyi rahimahullâh (w. 520H) mengatakan,
“Aneh sekali, bila engkau berpaling dari doa-doa yang disebutkan Allâh
Ta’ala dalam kitab-Nya tentang doa-doa_ para nabi, dan orang-orang
pilihan-Nya yang disertai (bukti) pengabulan doa-doa itu (oleh Allâh
Ta’ala) , kemudian engkau justru memilih-milih sendiri teks (doa) para
penyair dan penulis, seolah-olah engkau telah berdoa dengan seluruh doa
para nabi dan orang-orang terpilih itu, kemudian merasa butuh dengan
doa-doa (buatan) orang yang lain”. [9]
‘Allamah al-Mu’allimi rahimahullâh mengatakan, “Betapa meruginya
orang yang meninggalkan doa-doa yang berasal Kitâbullâh atau Sunnah
Rasûlullâh , sampai hampir-hampir tidak berdoa dengannya. Ia justru
mencari yang lain dan memilihnya serta mengamalkannya secara rutin.
Bukankan ini perbuatan kezhaliman dan ‘udwan (penentangan)?”. [10]
Motivasi Imam ath-Thabrâni rahimahullâh menyusun kitab doa
Dalam muqadimah kitabnya ad-Du’â, Imam ath-Thabrâni rahimahullâh
menyampaikan motivasi penyusunannya dengan berkata, “Kitab yang ini aku
susun telah mencakup doa-doa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam . Yang
mendorongku untuk menulisnya, (karena) aku melihat banyak orang yang
justru mengamalkan doa-doa yang berbentuk sajak, doa-doa yang ditulis
sesuai dengan jumlah hitungan hari, yang tidak pernah diriwayatkan dari
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam juga tidak berasal dari salah
seorang Sahabat beliau, tidak juga berasal dari kalangan Tâbi’în
(generasi terbaik umat,red). Ditambah lagi, adanya ketidaksukaan
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam terhadap doa yang berbentuk
sajak…maka aku menyusun kitab ini disertai sanad-sanadnya dari Rasul
shallallâhu ‘alaihi wasallam …”. [11]
Kesimpulan
Menjadi kewajiban umat untuk menomorsatukan petunjuk Nabi shallallâhu
‘alaihi wasallam dalam segala hal, termasuk mendahulukan dan lebih
memilih teks doa-doa dan wirid dari beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam
yang jelas kemuliaan dan keutamaannya. Dan ini salah satu dari hal yang
akan menguatkan perwujudan kecintaan dan pengagungan kita kepada beliau
shallallâhu ‘alaihi wasallam . Ingat, pilihan Nabi shallallâhu ‘alaihi
wasallam yang ma’shum bagi umatnya adalah perkara yang terbaik, paling
mendatangkan keselamatan, kebaikan dan kesuksesan. Wallâhu a’lam
Silahkan lihat pembahasan ini dalam kitab:
1. Tashhîhud Du’â , DR. Bakr Abu Zaid. hlm. 93-99
2. Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr, Prof. DR. Abdur Razzaq al-’Abbad al-Badr 4/7-10, 2/44-57
Diterbitkan oleh Majalah As-Sunnah edisi 06 Thn.XV/Dzulqa’dah1423H/Oktober2011M
Footnote:
[1] Do’a & Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hlm. 8
[2] Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 4/179. Lihat Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr 4/9
[3] Lihat al-Futuhât ar-Rabbâniyyah, Ibnu ‘Allân 1/17
[4] Majmû al-Fatâwâ 1/346
[5] Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr 4/10
[6] Lihat Tashhîhud Du’â hlm. 94
[7] Pernyataan ini bukan untuk merendahkan derajat Ulama, namun untuk
menegaskan keistimewaan dan keunggulan teks dzikir dan doa dari
al-Qur`an dan Sunnah agar lebih diperhatikan, diutamakan dan
dinomorsatukan dalam pengamalan.
[8] Namun makalah ini tidak membahas hal itu
[9] Nukilan dari Tashhîhud Du’â hlm. 94
[10] Al-’Ibâdah, al-Mu’allimi. Nukilan dari Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr dari hlm. 2/47
[11] Ad-Du’â, ath-Thabrâni 2/785. Lihat Fiqhul Ad’iyah 2/48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar