Tindak penyelewengan dan bukti penyimpangan Sufi pertama kali akan
mudah didapati para pembaca buku-buku rujukan mereka berupa
ketergantungan penuh mereka terhadap khawâriq (kejadian-kejadian aneh
yang dialami para pemuka Sufi) dan perhatian besar mereka untuk
menyebarluaskan apa yang terjadi para syaikh-syaikh Sufi. Hal ini sampai
‘memaksa’ mereka untuk meluncurkan cerita-cerita fiktif dan khayalan
tentang itu guna lebih menegaskan betapa tingginya kedudukan
syaikh-syaikh itu di hati para pemujanya. Dalam kamus Sufi dinyatakan
semakin banyak kejadian aneh meliputi seseorang (syaikh), maka kian
agung kedudukan dan derajat kewaliannya di mata manusia. [1]
Dalam kitab al-Luma’, As-Sirâj ath-Thûsi menuliskan satu pembahasan
khusus berkaitan dengan karomah para ‘wali’, satu pembahasan yang
terdiri dari tujuh sub bab. Secara keseluruhan, pemaparan bab-bab
tersebut ditujukan untuk mempropagandakan karomah-karomah yang
mengiringi kehidupan para ‘wali’ yang disebutkan dalam kitab tersebut.
Berbagai cerita dan kisah kejadian aneh memenuhi pembahasan tentang
karomah para wali ini. Termasuk menyertakan ungkapan dan pernyataan
tokoh untuk menguatkan betapa pentingnya memiliki karomah dan urgensi
bersungguh-sungguh dalam menggapainya.
Sebagai contoh, disebutkan pernyataan yang berbunyi, “Barang siapa
berzuhud di dunia ini selama empat puluh hari dengan tulus dari hatinya
dan ikhlas dalam menjalankannya, niscaya akan muncul karomah-karomah
dari dirinya. Apabila belum muncul pada orang tersebut (padahal telah
berzuhud selama itu), berarti menunjukkan ketidakjujurannya dalam
berzuhud”.
Abu Bakar al-Kalâbâdzi dalam kitabnya at-Ta’arrufu menyebutkan satu
bab khusus pula tentang karomah para wali. Di situ, penulis menegaskan
juga pentingnya karomah dan mengajak – secara langsung maupun tidak –
untuk mencari dan mengusahakannya.
Kemudian seorang penulis bernama Abul Qâsim al-Qusyairi dalam kitab
ar-Risâlahnya mengemukakan satu pembahasan yang sama secara panjang
lebar mencapai 50 halaman sendiri. Dia memenuhinya dengan berbagai macam
cerita dan hikayat kejadian aneh para pemuka golongan Sufi di luar
nalar. Siapa saja yang mencermati banyaknya kisah aneh tersebut tidak
ragu lagi terhadap tujuan penulis dalam memaparkannya, yaitu propaganda
dan pemberitahuan supaya terpahami bahwa meraih karomah merupakan
kebutuhan mendasar bagi seorang Muslim.
Masih banyak kitab yang menonjolkan karomah para ‘wali’, yang tujuan
penulisannya semata-mata untuk memaparkan kisah-kisah aneh dan kejadian
luar biasa yang dialami para syaikh, seperti Lawâqihul Anwâr karya
‘Abdul Wahhâb asy-Sya’râni yang lebih dikenal dengan ath-Thabaqâtu
al-Kubrâ (Thabaqât asy-Sya’râni), Jamharatul Auliyâi karya Mahmûd
al-Manûfi, Jâmi Karâmâtil Auliyâ karya Yûsuf an-Nabhâni, Thabaqâtu
Auliyâ as-Sûdân karya Muhammad bin Nûr bin Dhaifullâh.
Substansi dari kitab-kitab di atas setali tiga uang, sama saja yaitu
sikap berlebihan dalam menilai kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi
pada pemuka Sufi dan menjadikannya sebagai standar penilaian sebagai
wali Allah, walaupun kejadian tersebut tidak masuk akal dan melanggar
syariat sekalipun (!?).
Di sinilah tampak salah satu perbedaan golongan Sufi dengan Ahlu
Sunnah. Kaum Tasawuf akan segera menisbatkan kejadian aneh yang terjadi
pada seseorang sebagai pertanda karomah kewaliannya. Sementara tidak
demikian keyakinan Ahlu Sunnah yang nanti akan dikemukakan di bagian
akhir tulisan ini untuk memperjelas kekeliruan golongan Sufi dalam
masalah ini.
Beberapa Contoh ‘Karomah’ Dalam Kitab-Kitab Sufi
Berikut ini beberapa contoh kejadian-kejadian yang dianggap sebagai
‘karomah para wali’. Anehnya, para penulis kitab-kitab tersebut tidak
mengkritisinya, justru memberikan penafsiran-penafsiran yang menandakan
persetujuan dan pengakuan atas kebenaran karomah tersebut.
a. Kategori Tidak Masuk Akal:
Disebutkan dalam Karâmâtul Auliyâ (2/367), seorang ‘wali’ mampu
mengkhatamkan membaca al-Qur`an 360 ribu kali dalam sehari semalam (24
jam)!?. Jika akal masih sehat belum teracuni oleh pengagungan yang
melampaui batas terhadap orang yang disebut wali pastilah akan menolak
fakta ini tertulis dalam kitab karomah para wali. Jika sehari semalam
adalah 24 jam yang berarti 1440 detik. Maka ‘wali’ yang bersangkutan
mampu mengkhatamkan 250 kali dalam semenit. (!?)
Ini jelas tidak mungkin!
b. Kategori Melanggar Syariat dan Kekufuran
Asy-Sya’râni menceritakan biografi syaikh bernama Ibrâhîm al-Uryân dan
menyebutkan alasan ia berjuluk al-‘Uryân (yang telanjang), yaitu
lantaran menyampaikan khutbah dalam keadaan telanjang. (!?)
Al-Khazraji ketika mengisahkan karomah Syaikh Abul Qasim al-Andalusi
mengatakan, “Ia meninggalkan shalat, tidak berpuasa Ramadhan…suatu
ketika ia pernah meneriakkan kata-kata, “Tidak ada sesembahan kecuali
aku”.
Pantaskah orang-orang ini masuk kategori wali-wali Allâh dengan
perbuatan amoral dan pelanggaran syariatnya serta perkataan kufurnya?!.
c. Kategori Memiliki kemampuan Rububiyah
Sebagian wali mampu memerintahkan matahari untuk berhenti agar ia tidak kemalaman dalam safarnya.
Seorang wali pernah ditertawakan oleh sekumpulan anak-anak. Dengan
marah ia menekan malaikat maut, “Wahai Izrail, jika engkau tidak
mematikan mereka, pasti aku akan memecatmu dari tugas malaikat”. Maka
dengan tiba-tiba semua anak kecil itu mati. (Jâmi’ul Karâmât 2/286)
Sungguh aneh. Ini jelas bertentangan dengan prinsip bahwa Allâhlah
yang berhak menentukan ajal, bukan manusia, Allâhlah Dzat yang mematikan
dan menghidupkan.
d. Kategori Melanggar Etika Kesopanan
Salah seorang murid ad-Dabbâgh – seorang tokoh Sufi – mengaku di antara
karomah gurunya, “Ia dapat menguraikan ciri fisik istriku dari ujung
rambut sampai ujung kaki, baik yang terlihat maupun tersembunyi’.
(al-Ibrîz hlm. 24)
Manusia berakal akan malu melakukan ini.
Beberapa Pedoman Ahlus Sunnah Dalam Memahami Karomah
Melalui pemaparan singkat di atas, dapat diketahui betapa golongan
Sufi mengunggul-unggulkan karomah para tokoh mereka. Dan memang hanya
merekalah yang ramai membicarakan masalah ini secara berlebihan.
Adapun keyakinan Ulama Ahlu Sunnah dalam masalah karomah, mereka
mengimani adanya karomah, hal ini bertolak dari keyakinan mereka bahwa
Allâh Ta’ala yang menciptakan sebab musabbab dan Dia Maha Kuasa untuk
mengadakan kejadian di luar aturan biasa bagi sebagian hamba-Nya. Karena
itu, di antara ushûl (keyakinan pokok) Ahlu Sunnah, membenarkan adanya
karomah para wali dan peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan yang Allâh
Ta’ala adakan pada mereka, orang-orang yang beriman dan shaleh –
multazim (konsisten) dengan syariat- sebagai bentuk kemuliaan yang Allâh
Ta’ala berikan kepada mereka .
Ahlu Sunnah memandang bahwa karomah tidak ada hubungannya dengan
tinggi rendahnya derajat kewalian seseorang di sisi Allâh k . Syaikhul
Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tidak
adanya kejadian luar biasa/karomah, tidak berpengaruh buruk pada agama
seorang muslim. Siapa saja yang tidak terbuka baginya tabir ilmu gaib,
atau tidak ada makhluk yang tunduk kepadanya, hal itu tidak mengurangi
derajatnya di sisi Allâh. Bahkan mungkin saja ketiadaan karomah baginya
lebih baik”. (Majmû Fatâwâ 11/323 dengan terjemahan bebas).
Syarat meraih derajat kewalian hanya dua, iman dan taqwa kepada Allâh
Ta’ala , adanya karomah tidak termasuk di dalamnya. Dua syarat ini
telah Allâh Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita
gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat…
(QS. Yûnus/10:62-64)
Islam tidak menuntut umat untuk mencari dan berusaha sungguh-sungguh
untuk mendapatkan karomah. Karena tugas manusia di dunia ini adalah
menjalankan ketaatan dengan berbagai macam ibadah kepada al-Khâliq
sehingga betul-betul menjadi hamba-Nya. Itulah tugas penting manusia,
bukan mencari karomah. Justru Ulama Ahlu Sunnah sudah menyatakan bahwa
istiqomah di atas jalan petunjuk, sudah merupakan hakekat karomah. Para
Ulama mengatakan:
كُنْ طَالِبًا لِلاسْتِقاَمَةِ لاَ طَالِبًا لِلْكَرَامَةِ,
فَإِنَّ نَفْسَكَ مُنْجَبِلَةٌ عَلَى طَلَبِ الْكَرَامَةِ وَرَبُّكَ يَطْلُبُ مِنْكَ الاسْتِقَامَةَ
“Jadilah orang yang berusaha menggapai istiqomah, bukan mencari
karomah. Memang betul jiwa manusia secara bawaan suka mencari karomah,
akan tetapi Rabbmu menuntut dirimu untuk beristiqomah”. (Majmû Fatâwâ
11/320)
Dan lagi, yang tak kalah pentingnya dalam memahami karomah, bahwa
bentuk karomah itu sendiri tidak boleh menyalahi syariat Allâh Ta’ala.
Imam asy-Syâthibi rahimahullah mengatakan, ‘Dari sini dapat diketahui
bahwa segala kejadian luar biasa yang telah terjadi atau akan terjadi
sampai hari Kiamat nanti, tidak boleh dibenarkan atau ditolak kecuali
setelah ditimbang dengan timbangan syariat” [2].
Inilah beberapa pedoman singkat dalam memahami karomah dengan benar.
Dengan demikian, umat bisa kritis untuk tidak mudah menilai
kejadian-kejadian aneh atau luar biasa yang terjadi pada seseorang –
meski melanggar syariat – sebagai pertanda kewaliannya. Wallâhul
muwaffiq. Diangkat dari Taqdîsul Asykhâsy fil Fikris Shûfi , Muhammad
Ahmad Luh Dar Ibn al-Qayyim Cet.I Th.1422H, 1/287-311
(Majalah As-Sunnah No.11 Thn.XV Rabi’ul Akhir 1433H – Maret 2012M
—————————–
Footnote:
[1] Sebagai contoh yang biasa didengar: “Dia kalau shalat Jum’at di
Mekah, air sumur di rumah tokoh agama itu bersumber langsung dari mata
air zamzam, ia kebal senjata, bisa mendatangi beberapa tempat dalam
waktu yang sama…dll.
[2] Al-Muwafaqat 2/278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar