Dan keadaan mereka itu serupa dengan
keadaan orang yang merealisasikan tauhid sebelum bi’tsah (kerasulan),
seperti Zaid Ibnu ‘Amr Ibnu Nufail, sesungguhnya ia tergolong kaum yang
Allah ta’ala firmankan: agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang
bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka
lalai.” (Yaasin: 6).
Dan firman-Nya: “Supaya kamu memberikan peringatan kepada suatu kaum yang tidak pernah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan pun sebelummu.” (Al Qashash: 46). Tidak sampai kepadanya suatupun dari rincian-rincian shalat, shiyam, dan zakat yang difardlukan atas kita, serta tidak melakukan suatupun darinya.
Namun demikian dia diudzur di dalamnya, karena ia telah merealisasikan ashlul iman al wajib atas dirinya dan atas setiap orang secara sempurna, yaitu al hanifiyyah, menjauhi syirik dan perealisasian ashlut tauhid, dan berada di atas millah Ibrahim, maka Nabi saw mengabarkan bahwa dia dibangkitkan sebagai satu umat sendirian di hari kiamat.
Bahkan keadaannya seperti orang yang beriman setelah diutusnya Nabi saw dan meninggal di Mekkah sebelum turunnya syari’at, sungguh mereka itu telah mendatangkan al iman al wajib atas mereka saat itu selama mereka telah merealisasikan tauhid dan menjauhi syirik dan tandid serta bersaksi akan kerasulan Nabi kita Muhammad saw.
Jawaban ini semua hanyalah diungkapkan setelah menetapkan keshahihan hadits itu dan keshahihan status tambahan “Hai Shilah itu menyelamatkan mereka dari neraka” adalah marfu’ bukan mudraj (sisipan) dari ucapan Hudzifah ra.
Wal hasil dari apa yang lalu semuanya, sang muwahhid meyakini bahwa tahqiq tauhid dan bara’ah dari apa yang menggugurkannya berupa syirik yang mengeluarkan dari millah dan tandid adalah ashluddin dan qaidahnya, tiang dakwah para rasul dan pusat roda perputarannya, dan bahwa seluruh ajaran Islam datang untuk menjaganya, merealisasikannya dan melindunginya. Sesungguhnya ini adalah hal yang muhkam yang tidak ada tasyabuh sedikitpun padanya.
Maka hal yang wajib bersama setiap khabar yang samar atas seseorang dari manusia atau yang diduga bertentangan oleh orang-orang yang menduga dengan inti yang muhkam ini, adalah dimasukkan di bawahnya dan ditafsirkan di atas dasarnya, karena ia adalah Ummul Kitab dan intinya, bukan ia dibenturkan dengannya dan tentangkan, apalagi bila berupaya menghancurkannya dengan khabar-khabar itu sebagaimana yang dilakukan oleh Murjiatul ‘Ashri untuk kesenangan para thaghutnya. “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat mutasyabihat ... “ hingga, “Dan adapun orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat........” hingga akhir ayat Ali Imran: 7.
Kami memohon kepada Allah ta’ala untuk menjadikan kami dan engkau dari golongan Ar Rasikhin Fil ‘Ilmi.
Asy Syathibiy berkata dalam Al I’tisham: “Al Furu’ al Juz’iyyah tidak mungkin menentangi al ushul al kulliyah karena al furu’ al juz’iyyah bila tidak menuntut pengalaman, maka ia berada dalam posisi tawaqquf, dan bia menuntut amalan, maka perujukan adalah kepada ushul, ia adalah ash shiratul mustaqim. Siapa yang membalikannya maka dia telah ngawur dan masuk dalam hukum celaan.” Selesai.
Dan dalam kadar ini ada kecukupan bagi penuntut Al Haq dalam bab ini. Dan adapun orang yang Allah inginkan kesesatan maka kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari Allah.
“Syubhat”
“Sesungguhnya Para Thaghut Dan Budak-Budaknya itu Shalat”
Dan dari uraian yang lalu nampaklah di hadapanmu kebatilan syubhat lain dari syubhat-syubhat mereka, yaitu ihtijaj mereka bahwa sebagian para thaghut dan budak-budaknya itu rajin melakukan shalat. Dan mereka menuturkan nushush yang di dalamnya shalat disebutkan sebagai penjaga darah, kemudian mereka mengira bahwa ia saja yang bisa menjaga darah, dan bahwa setiap orang yang shalat adalah muslim yang ma’shum darah dan hartanya meskipun melakukan berbagai nawaqidlul islam, bukankah dia shalat?
Sedangkan engkau sudah mengetahui bahwa nushush semacam ini harus digabungkan dengan mubayyinatnya dari nushush yang lain. Sehingga salaf membawanya kepada orang-orang yang shalat yang komitmen dengan tauhid lagi menjauhi syirik dan tandid serta nawaqidlul islam lainnya walaupun itu secara dhahir.
Seorang dari salaf pun tidak memahami bahwa macam orang-orang yang mana hadits-hadits itu dikatakan tentang mereka, adalah orang-orang muslim yang ma’shum dengan shalat saja, dengan disertai sikap mereka bertahakum kepada thaghut, membelanya dan mengikutinya umpamanya, atau disertai celaan terhadap dienullah atau istihza’ terhadap ajaran-ajarannya serta nawaqidlul islam lainnya, dan telah lalu firman Allah ta’ala: “Janganlah kalian cari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” (At Taubah: 66), sesungguhnya ia turun berkenaan dengan orang-orang yang menampakkan keislaman, shalat bahkan jihad, di mana mereka itu ikut keluar bersama Nabi saw dalam perang Tabuk, namun demikian Allah kafirkan mereka tatkala mereka melakukan suatu pembatal keislaman. Dan telah banyak kami ketengahkan macam-macam seperti ini yang menunjukkan kebatilan pemahaman yang sakit ini. Mayoritas mereka yng buruk dalam memahami nash-nash ini atau yang memalingkannya, engkau dapati mereka mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dan memvonisnya murtad, terus menganggap batal nikahnya, menjauhkan darinya istrinya dan menghalangi warisannya dari keluarganya yang muslim serta lawazim riddah lainnya, namun dalam waktu yang sama mereka ragu dalam takfier para thaghut pembuat hukum dan para budaknya, padahal menafikan keislaman dan keimanan dari orang yang meninggalkan al kufru biththaghut adalah lebih utama dari menafikannya dari orang yang meninggalkan shalat, karena al kufru biththaghut ada hal fardlu di awal saat difardlukan sedang saat itu belum ada shalat, zakat, dan yang lainnya. Sehingga di suatu waktu tertentu ia saja bersama al iman billah dan pengakuan bahwa Muhammad Rasulullah saw adalah penjaga akan darah dan tanda akan keislaman dan keimanan sampai waktu tertentu.... sebagaimana yang telah lalu. Dan karena sesungguhnya shalat setelah difardlukan juga tidak sah dan tidak akan sah kecuali dengan merealisasikan rukun yang agung ini, sedang ini adalah ma’lum dengan ijma’ kaum muslimin. Orang yang meninggalkan kufur terhadap thaghut tidak dinamakan muslim dan mu’min meskipun dia memiliki satu cabang atau banyak cabang dari al islam dan al iman, shalat dan yang lainnya, sampai dia realisasikan tauhid dan kufur kepada thaghut, bahkan seandainya dia mendatangkan seluruh cabang-cabang keimanan tentulah tidak bermanfaat selama dia telah meninggalkan cabang tertinggi dan syarat sah semuanya.
Dan dari ini engkau mengetahui kebatilan ihtijaj mereka untuk para thaghut yang rajin shalat dengan hadits-hadits ini, seperti hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw berkata: Akan ada para umara, di mana kalian mengenalnya dan mengingkarinya. Siapa yang mengenal maka ia telah berlepas diri dan siapa yang mengingkari maka ia selamat, namun orang yang ridla dan mengikuti.” Mereka berkata: Apa boleh kami memerangi mereka? Beliau berkata: “Tidak boleh selama mereka shalat.”
Asal pertanyaan ini adalah seputar khuruj terhadap para penguasa yang dzalim. Sedangkan Murjiatul ‘Ashri terbelalak matanya karena takut saat penuturan hal itu dan mereka menganggapnya tergolong fitnah dan fikrul Khawarij !! meskipun terhadap Aimmatul Kufri.
Penyebutan shalat di sini sebagaimana yang dituturkan ahlul ilmi adalah isyarat pada penegakan dien dan tauhid, dengan dalil apa yang telah lalu bahwa shalat itu tidak berarti bila tauhidnya telah hancur. Bisa saja seseorang itu shalat, zakat dan berjihad, namun demikian dia itu kafir lagi halal harta dan darahnya dengan sekedar keterjatuhan dia pada pembatal “laa ilaaha illallaah”. Oleh sebab itu An Nawawi berkata di dalamnya: “Adapun sabdanya: “Apa boleh kami memerangi mereka?” Beliau berkata: “Tidak boleh selama mereka shalat,” di dalamnya terkandung makna yang lalu yaitu bahwa tidak boleh khuruj terhadap para khalifah dengan sekedar dhalim dan fasiq selama tidak merubah sedikitpun dari qawaaid dien ini.” Selesai.
Dan engkau telah mengetahui bahwa masuk ke dalam islam itu bukan dengan shalat saja, akan tetapi mesti ada sebelum itu (perealisasian tauhid dan bara’ah dari syirik dan tandid), sedang ini adalah qawaaidul Islam yang paling penting dan paling agung, dan engkau telah tahu bahwa mereka itu telah menghancurkannya. Apa artinya shalat, zakat, shaum, haji, membangun masjid, penyerahan wakaf dan lainnya dan bukan seputarnya perseteruan itu terjadi bila mereka itu telah menghancurkan ashluddin dan merobek kalimatul ikhlas yang mana semua hal itu tidak akan diterima tanpanya dan tidak difardlukan kecuali sesudahnya. Dan ia adalah qawaid dien terbesar yang mana dien ini roboh dan amal-amal pun menjadi debu yang berterbangan dengan kehancurannya dan saya maksudkan di sini adalah mencari selain Allah sebagai pemutus dan menjadikannya sebagai ilah, rabb yang membuat hukum, dan mengharuskan manusia untuk masuk dalam dien (hukum)nya dan mengikuti aturannya yang menyelisihi syari’at Allah, serta menamakannya sebagai keadilan, sedangkan Allah mengetahu dan juga setiap orang yang Allah beri hatinya petunjuk bahwa itu adalah kekafiran, syirik dan kesesatan, di samping menghalangi (orang lain) dari dienullah dan memerangi auliya Allah ...... kemudian dikatakan: Dia itu kan masih suka shalat atau mereka itu masih shalat...!!
Syaikh Abdullathif Alu Asy Syaikh berkata dalam Mishbahudhdhalam hal: 328: Siapa orangnya yang menjadikan Islam itu adalah mendatangkan salah satu dari mabaniy saja disertai meninggalkan kekomitmenan akan tauhidullah dan bara’ah dari syirik maka dia itu manusia yang paling jahil dan paling sesat.” Selesai.
Orang-orang jahil itu mengakui bahwa orang yang mengingkari hari kebangkitan itu kafir lagi halal dan darahnya meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan mengucapkan laa ilaaha illallaah serta dia mengaku bahwa ia meyakininya. Dan (mereka) mengakui bahwa orang yang berpendapat akan kenabian seseorang setelah Nabi saw seperti Bahaiyyah dan Babiyyah serta yang lainnya bahwa mereka itu kafir dengan hal itu serta halal harta dan darahnya meskipun mereka itu shalat, shaum, zakat, haji, dan mengucapkan laa ilaaha illallaah sejuta kali.
Dan (meyakini) bahwa orang yang mengatakan bahwa Al Quran itu ditambah dan dikurangi, menganggap para sahabat berkhianat, mengkafirkan mereka dan mencela kehormatan wanita yang suci Ash Shiddiqah bintu Ash Shiddiq, bahwa dia itu kafir walaupun shalat, shaum, haji, zakat, memberikan yang seperlima, membangun banyak masjid dan mengucapkan laa ilaaha illallaah, serta dia sumpah bahwa dia meyakininya.
Kemudian bila kami tuturkan kepada mereka kekafiran para thaghut mereka yang nyata dan pembatal-pembatal keislaman mereka yang buruk, mereka lari darinya dan mengkiyaskan mereka dengan kiyas yang rusak lagi banyak perbedaan, yaitu dengan para penguasa yang aniaya yang menerapkan syari’at Allah... dan mereka berkata: Mereka shalat” Enyahlah bagi orang-orang yang zalim.
“Syubhat”
Bahwa Firman-Nya Ta’ala “Dan Siapa Yang Tidak Memutuskan
Dengan Apa Yang Telah Allah Turunkan Maka Mereka
Itu Adalah Orang-Orang Yang Kafir” Turun Tentang Kaum Yahudi Dan Ia
Khusus Bagi Mereka
Mereka memiliki syubhat lain dalam menambal (tarqi’) untuk (kekafiran) para thaghut yang membuat hukum lagi diibadati selain Allah, yaitu ucapan mereka bahwa firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir” turun tentang kaum Yahudi dan ia khusus bagi mereka.
Sedangkan bantahan atas hal ini adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Engkau mengetahui bahwa hukum asal pada mantuq ayat ini adalah dimaskudkan dengannya al kufrul akbar yang nyata(1), karena datangnya bentuk ma’rifat di dalamnya menunjukkan terhadap al kufrul haqiqiy, di mana ma’rifat, juga ma’rifat dan alif lam adalah tanda ma’rifat, sehingga tidak ada penunjukan ma’rifah yang lebih kuat dari ini, maka maknanya “mereka itulah yang lebih berhak terhadap cap kafir dari yang lainnya.(2)
Dan ini seperti apa yang diriwayatkan dalam hadits “Merekalah para syuhada itu” yaitu bahwa mereka itu dikhususkan dengan kesyahidan tidak para syuhada lainnya, sebagaimana yang dipahami dari jumlah ismiyyah yang kedua-duanya ma’rifat, serta dari dlamir (kata ganti) pemisah yang disisipkan antara mubtada’ dan khabar.(3)
Syaikh Abdul Majid Asy Syadziliy berkata dalam “Haddul Islam” pada ayat ini hal: 412: lafadh ini sesuai pemuthlaqannya, dan ia bukan nakirah dalam konteks itsbat seperti sabdanya saw: “Dua hal yang pada manusia, keduanya para mereka adalah kekafiran (kufrun), yaitu celaan terhadap keturunan.....”namun ia tetgolong yang diberi tanda ma’rifat dengan alif lam, bukan tergolong nakirah dan bukan pula tergolong yang diberi taqyid seperti dalam firman-Nya ta’ala: “dari air yang memancar” Mani dinamakan air dengan penamaan yang muqayyad, dan ia tidak masuk dalam nama yang muthlaq, di mana dia berfirman: “terus kalian tidak menemukan air, maka tayamumlah.” (An Nisa: 43)
Pada dasarnya al kufru pada ayat ini dibawa kepada kemuthlaqannya dan terhadap hakikat syar’iyyahnya yang asal, dan tidak boleh dipindahkan darinya terus dialihkan kepada Majaz atau diberi taqyid kecuali dengan dalil.
Catatan kaki:
(1) Dan ini tidak mencegah dari menggunakannya pada kufur ashghar dalam rangka membuat jera dan membuat takut para ahli maksiat dan orang-orang yang aniaya sebagaimana yang dilakukan banyak ahlul ilmi dalam ayat-ayat ancaman. Al Qurthubi berkata: Tidaklah dianggap menyimpang bila mengambil dari apa yang Allah turunkan buat kaum musyrikin hukum-hukum yang layak bagi muslimin” dan beliau berdalil denan istisyhad Umar ra dengan firman-Nya ta’ala: “Kalian telah lenyapkan kenikmatan-kenikmatan kalian di kehidupan dunia kalian........” Kemudian berkata: “Ayat ini nash pada orang-orang kafir, namun demikian Umar memahami penjera dari apa yang sejalan dengan keadaan-keadaan mereka sebagian kesejalanan, dan tidak seorang sahabat pun mengingkarinya” Selesai.
(2) Haddul Islam dan Haqiqatul Iman hal: 412
(3) Ad Durar As Saniyyah dari ucapan Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan dalam Juz Al Jihad hal: 157.
Catatan kaki selesai.
Sisi kedua: Engkau mengetahui bahwa hal ini – yaitu keberadaan ayat ini berbicara tentang kufur akbar yang mengeluarkan dari millah – adalah yang menjadikan banyak salaf mengatakan dalam penafsirannya bahwa ia tentang orang-orang kafir atau tentang Yahudi atau ahlul kitab, sebagaimana yang tsabit dari Al Bara’ Ibnu ‘Azib dalam shahih Muslim ucapannya,” tentang orang-orang kafir seluruhnya,” yaitu bukan tentang ahli maksiat dari kalangan muslimin, jadi ia berbicara tentang kufur yang mengeluarkan dari millah bukan tentang maksiat dan dosa-dosa yang tidak mengkafirkan.
Mereka hanyalah memaksudkan dengannya bantahan terhadap Khawarij, bahwa ia tidak dibawa kepada dhahirnya bila dikatakan pada hak kaum muslimin yang keliru atau kaum ahli maksiat atau orang-orang dhalim, karena membawanya kepada hal itu adalah menempatkannya bukan pada tempatnya, karena ia sebenarnya tentang kuffar yang mengubah qawaid dien ini dan aturan-aturannya lagi membuat hukum di samping (hukum) Allah apa yang tidak Dia izinkan, yaitu orang-orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan kaum Yahudi dan sebangsanya.
Bila seseorang melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan, maka ayat itu mencakup dia sesuai dhahir ayat tersebut, namun bila yang dibicarakan itu dari kalangan ahli maksiat atau orang-orang dhalim atau orang-orang yang keliru, maka tidak sah menempatkan ayat itu pada mereka sesuai dhahirnya, kecuali dengan takwil bahwa yang dimaksud adalah juhud atau istihlal atau yang semacamnya. Begitulah yang dilakukan oleh ulama kita ahli tahqiq, maka pahamilah ini baik-baik, karena ia memutus syubuhat Murjiatul ‘Ashri dalam bab ini.
Saya telah menemukan ucapan Asy Syadziliy dalam kitabnya “Haddul Islam wa Haqiqatul Iman” yang persis seperti hal ini, yang ringkasnya: Bahwa Khawarij ingin memasukkan dalam kata (siapa) sikap aniaya dalam hukum, kezaliman putusan dan segala bentuk penyimpangan syar’iy, dan mereka ingin tidak merasa cukup dengan takfier pemimpin dengan maksiat sampai mereka mengkafirkan seluruh rakyat bersamanya. Dan ini adalah hal yang ma’lum kebatilannya dalam dien ini secara pasti, oleh sebab itu hal tersebut diingkari oleh para sahabat Rasulullah saw, at tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dari kalangan tiga generasi pertama, dan mereka mengatakan apa yang mereka katakan dalam tafsir ayat-ayat ini sebagai bantahan terhadap mereka, serta ucapan mereka dalam hal ini sesuai dengan kebutuhan yang hadir.” Selesai.
Dan terus beliau menuturkan perlakuan Murjiatul ‘Ashri – yang lalu – dalam bersandar kepada ucapan Ibnu Abbas, Abu Mijlaz dan yang lainnya – dalam bantahan mereka terhadap sikap Khawarij – supaya mereka berdalil dengan hal itu bahwa orang yang mengembalikan urusan saat terjadi perselisihan kepada ajaran lain selain ajaran Allah adalah tidak keluar dengan hal itu dari millah. Kemudian beliau berkata: Khawatij membiarkan hukum di atas dhahirnya dan memalingkannya kepada selain tempatnya, sedangkan mereka (Murjiah) mentakwilnya dalam tempatnya dan dalam selain tempatnya....” Selesai.
Sisi Ketiga: Dilkatakan, dan dikarenakan apa yang telah lalu, maka sesungguhnya orang yang mengatakan bahwa turun tentang Yahudi tidaklah melarang bahwa ia umum mencakup setiap orang yang terjatuh pada perbuatan yang pernah mereka lakukan, karena yang menjadi acuan dalam nushush syar’iyyah yang umum adalah keumuman lafadh bukan kekhususan sebab. Dan (siapa) baik itu maushulah atau syarthiyyah atau istifhamiyyah, maka sesungguhnya ia tergolong shighat umum – sebagaimana hal itu ma’lum menurut Ahlul Ushul – dan ia pada ayat ini datang dalam bentuk konteks syarat, sehingga ia mencakup dan meliputi setiap orang yang dicakup oleh lafadh ini secara muthlaq meskipun awal turunnya tentang kaum tertentu.
Hukum asal pada lafadh yang umum adalah kecakupannya terhadap seluruh individu-individunya dan tidak boleh dianggap khusus kecuali dengan dalil.
Syikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam pembicaraannya tentang Tattar: “Sesungguhnya nushush Al Kitab dan As Sunnah yang mana keduanya adalah dakwah Muhammad saw mencakup seluruh makhluk dengan al umum al lafdhiy atau dengan umum makbawiy, dan perintah/larangan Allah ta’ala dalam kitab-Nya dan dalam Sunnah Rasul-Nya saw meliputi akhir umat ini sebagaimana ia meliputi awalnya.”(1)
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rh berkata dalam Ad Durar As Saniyyah: “Pendapat (bahwa Khithab Allah dalam Kitab-Nya dan khithab Rasul-Nya dalam sunnahnya hanyalah berkaitan dengan orang-orang yang mana ia turun dengan sebab mereka tidak selain mereka) adalah tidak dikatakan sekalipun oleh orang yang paling buta dan paling bodoh akan syariat ini dan hukum-hukumnya, bahkan tidak berani mengatakannya seorangpun dari kalangan yang mendebat dengan kebatilan karena ia menjaga dirinya dari tuduhan bodoh dan tuduhan sesat, sebab sesungguhnya (pernyataan) ini tergolong bukti yang paling jelas menjelaskan akan kebodohan dan kesesatannya, (2) serta ini mengharuskan orang yang memiliki pendapat itu untuk ta’thil (menggugurkan) syariat dan celaan terhadap para sahabat Rasulullah dalam sikap mereka memerangi orang murtad dari Islam setelah wafat Nabi saw....” Dan terus beliau menuturkan wajibnya tahkimul quran dan mengedepankannya secara muthlaq, maka silakan rujuk itu dalam juz Al Jihad: 89.
Catatan kaki:
(1) Dinukil dari Ad Durar As Saniyyah, Juz Al Jihad hal: 84.
(2) Saya berkata: Sungguh telah berani mengatakannya Afrakhul Murjiah secara sering dan berulang kali pada zaman sekarang ini memperkenalkan kepadamu akan kadar kebodohan, kepandiran, kesesatan, dan sikap jidal mereka dengan kebatilan.
Catatan kaki selesai.
Putera beliau Abdullathif berkata dalam Misbahudhdhalam: “Sesungguhnya orang yang mencegah penempatan Al Quran dan hukum-hukum yang ditunjukkannya terhadap individu-individu dan kejadian-kejadian yang masuk di bawah al umum al lafdhiy, maka dia itu adalah orang yang paling sesat dan paling bodoh terhadap apa yang diyakini Ahlul Islam dan ulama mereka sejak berabad-abad dan generasi demi generasi, dan ia tergolong orang yang paling dahsyat pengguguran dan peng-hajr-annya terhadap Al Quran serta peng’azlannya dari sikap berdalil dengannya dalam tempat-tempat perselisihan, Allah ta’ala berfirman: “Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An Nisaa: 59).
Sedangkan pengembalian kepada Allah adalah pengembalian kepada Kitab-Nya dan pengembalian kepada Rasul adalah pengembalian kepada Sunnahnya. Dan Dia ta’ala: berfirman: “Supaya aku memberikan peringatan kepada kalian dengannya dan kepada orang yang sampai Al Quran kepadanya.” (Al An’am: 19), jadi nushushnya dan ahkamnya umum, tidak khusus dengan kekhususan sebab.
Dan apa larangannya dari takfir orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan Yahudi dalam hal menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah dan kafir terhadapnya padahal dia mengetahuinya?” Selesai hal: 140.
Syaikh Abdullathif juga berkata dalam juz Mukhtasharat Ar Rudud pada Ad Durar: Di antara sebab-sebab yang menghalangi dari memahami Kitabullah adalah bahwa mereka mengira bahwa apa yang Allah hikayatkan tentang kaum musyrikin, apa yang Dia voniskan terhadap mereka dan labelkan terhadap mereka adalah khusus bagi orang yang telah lalu dan manusia yang telah lewat dan habis serta tidak meninggalkan pewaris. Dan bisa saja sebagian mereka mendengarkan ucapan orang yang mengatakan dari kalangan ahli tafsir: Ayat ini turun tentang ibadah mereka kepada berhala, ini turun tentang nashara, ini turun tentang Ash Shabiah, terus orang bodoh itu mengira bahwa itu khusus bagi mereka dan bahwa hukum itu tidak melampaui mereka. Dan ini adalah tergolong sebab terbesar yang menghalangi seseorang dari fahmul Qur’an dan As Sunnah.” Selesai.
Cucu beliau Syaikh Ibrahim Ibnu Abdillathif Ibnu Abdurrahman berkata dalam syairnya:
Siapa yang membatasi ayat-ayat Al Kitab terhadap
Sebab-sebab turunnya maka ia telah mendapatkan kerugian
Penganggapan itu adalah umumnya lafadh, telah mengatakan dengan hal ini
Orang yang telah membangun pilar-pilar bagi millah yang lapang ini.
Merekalah para penunjuk jalan yang Rasul telah menegaskan akan
Keutamaan mereka dari sisi zaman, ilmu dan pengetahuan(1)
Oleh sebab itu semuanya sungguh telah tsabit dari Hudzaifah dengan sanad yang shahih bahwa beliau mengingkari klaim kekhususan dalam ayat-ayat ini, di mana ayat-ayat ini telah dituturkan kepadanya, maka seorang laki-laki berkata: “esungguhnya ini pada Bani Israil” maka Hudzaifah berkata: “Sebaik-baiknya saudara bagi kalian adalah Bani Israil, bila bagi kalian setiap yang manis, dan bagi mereka setiap yang pahit, tidak demikian demi Allah, sungguh kalian akan menempuh jalan mereka sedikit demi sedikit.”
Dan Ibnu Katsir menuturkan dari Al Hasan Al Bashri, bahwa ia berkata: “Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan Ahlul Kitab dan ia wajib atas kita.” Selesai.
Ismail Al Qadli berkata dalam Ahkamul Quran: “Dhahir ayat-ayat ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan seperti apa yang mereka lakukan dan menciptakan hukum yang dengannya ia menyelisihi hukum Allah serta menjadikannya sebagai dien(2) (sistem/hukum/undang-undang) yang diberlakukan, maka dia telah pasti mendapatkan apa yang telah mereka dapatkan, berupa ancaman yang disebutkan, baik itu hukum atau yang lainnya.” Selesai dari Fathul Bari 13/120.
Catatan kaki:
(1) Hal. 410 dari Ad Durar As Saniyyah Juz Mukstasharat Ar Rudud.
(2) Lafadh dien, datang dengan makna undang-undang pemerintahan dan sistemnya, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang Yusuf: “Tidak mungkin dia membawa saudaranya ke dalam dienul malik (undang-undang raja).”
Catatan kaki selesai.
Al Qasimiy berkata dalam tafsirnya Mahasinatuttakwil hal 1999: “Apa yang dikeluarkan Muslim dari Al Bara’: Bahwa firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allag turunkan..............” (Al Maidah: 44) tiga ayat ini semuanya tentang orang-orang kafir, dan begitu juga apa yang dikeluarkan Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa ayat-ayat itu tentang orang-orang Yahudi, terutama Bani Quraidhah dan Bani Nadlir, tidaklah menafikan kebercakupannya terhadap selain mereka, karena yang menjadi patokan adalah keumuman lafadh bukan kekhususan sebab, dan kata (siapa) berada pada konteks syarat, sehingga ia berfaidah umum.” Selesai.
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdullah Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam penjelasannya terhadap Tauhidul Khallaq hal 141: “Sababun nuzul meskipun khusus, maka keumuman lafadh bila tidak dinasakh adalah mu’tabar (dianggap), dan karena firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan....” (Al Maidah: 44) adalah ungkapan yang masuk di dalamnya kata (siapa) dalam konteks syarat, maka memberikan faedah umum.” Selesai.
Dan ucapan ahlul ilmi dalam hal ini sangat banyak............
Bagaimanapun keadaannya, maka sungguh telah nampak di hadapanmu bahwa ayat-ayat itu mencakup setiap orang yang mengganti aturan-aturan Allah dan membuat hukum lain di samping (hukum) Allah, baik dia membuat undang-undang atau undang-undang dasar atau piagam atau keputusan (seperti SK, Kepres, dll, Pent), semua itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah, selama pelakunya atau orang yang mengikutinya telah memberikan bagi dirinya atau menjadikan bagi selain dirinya wewenang pembuatan hukum (UU/UUD) sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Undang-undang mereka, hukum-hukum mereka dan para thaghut mereka yang bersifat lokal dan internasional.
Dan dari ini engkau mengetahui kesesatan Murjiatul ‘Ashri dan kesesatan syaikh-syaikh mereka dalam menempatkan ucapan-ucapan salaf seputar ayat-ayat ini dalam bantahan mereka terhadap Khawarij – yang menerapkan ayat-ayat ini bukan pada tempatnya – kepada para thaghut masa kini yang merujuk kepada thaghut-thaghut (UU/UUD) bahkan mereka telah menjadi thaghut dan telah menjadikan aturan selain aturan Allah sebagai hukum dan dien yang mereka pegang (anut).
Mereka (Murjiatul ‘Ashri) dengan thariqah yang pincang dan manhaj mereka yang sesat ini menghukumi keislaman dan keimanan orang-orang yang padahal kaum muslimin telah ijma akan kekafirannya.
Ibnu Katsir rh berkata dalam Al Bidayah Wan Nihayah 13/119: Siapa yang meninggalkan aturan yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah Khatamul Anbiya, dan dia merujuk hukum kepada selainnya berupa ajaran-ajaran yang telah dihapus (mansukh), maka ia telah kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk kepada Alyasa – yaitu Yasiq (undang-undang) Tattar – dan ia mendahulukan (Alyasa) itu terhadapnya, tidak ragu bahwa ini kafir dengan ijma kaum muslimin.” Selesai.
Sedangkan mereka telah menjadikan Yasiq lokal yang mereka namakan (UUD) dan yasiq dunia internasional yang mereka namakan (piagam) yang mereka kedepankan keduanya serta hukumnyalah yang menjadi acuan lagi yang berlaku di tengah mereka, sedangkan hukum Al Kitab ditelantarkan, diganti dan dicampakkan begitu saja.(1)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu Al Fatawa 28/524: Dan suatu yang maklum secara pasti dari dienul muslimin dan dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang melegalkan mengikuti selain ajaran Islam, atau mengikuti aturan selain aturan Muhammad saw, maka ia kafir.” Selesai.
Catatan kaki:
(1) Dan kami telah merinci bahasan dalam bab ini pada kitab kami (Kasyfun Niqab ‘An Syari’atil Ghab), dan kami tetapkan dengan dalil-dalil dari ucapan-ucapan mereka dan teks-teks undang-undang mereka bahwa mereka itu mengedepankan yasiq mereka ini terhadap syari’at Allah yang muhkam, karena kekuasaan itu menurut mereka hanyalah baginya, dan adapun Kitabullah ta’ala maka menurut mereka tidaklah memiliki kekuasaan dan nilai hukum bila tidak ada dukungan teks UUD atau UU. Dan mereka telah menegaskan dalam UU mereka bahwa “Tidak ada sanksi kecuali dengan teks UU” dan mereka menegaskan dalam yasiq mereka bahwa nidhamul hukmi (sistem pemerintahan) yaitu “dienul malik” adalah demokrasi bukan syari’at Allah dan bukan pula aturan-aturannya, sebagaimana dalam ayat (6) UUD Kuwait..... silakan rujuk ke sana – yaitu Kasyfun Niqab – dan di dalamnya engaku akan mendapatkan tambahan pentungan yang dengannya engkau menghajar syubhat-syubhat ahlut tajahhum wal irja dan para tokohnya.
(2) Maka bagaimana dengan orang yang mengharuskan atau mewajibkan dan memenjarakan, menyiksa, memerangi, dan membunuh atas dasar itu? (sudah cukup tidur kalian wahai kaum)!
Catatan kaki selesai.
Bagaimana ijma tidak terjalin atas hal seperti ini sedangkan engkau telah mengetahui bahwa ia tergolong ashluddin dan qaidahnya, karena kufur kepada thaghut adalah separuh kalimat ikhlas dan tauhid serta pusat roda dakwah para Nabi dan Rasul, dan karenanya terjadi dan senantiasa terjadi perseteruan, dan di dalamnya terjadi pertentangan, keselamatan dan kebinasaan.
Mereka – yaitu Murjiatul ‘Ahsri – dengan pentakwilan-pentakwilan, syubhat-syubhat dan sikap ngawurnya itu mendobrak ayat-ayat Al Kitab, hadits-hadits Rasul, Ashluddin, dakwah para rasul dan ijma ahlut tauhid....... Enyahlah mereka.
Siapa yang Allah tidak jadikan cahaya baginya maka dia tidak punya cahaya.
Syubhat
Bahwa Firman-Nya Ta’ala: “Demi Tuhanmu mereka itu tidaklah
Beriman sampai menjadikan kami sebagai hakim.......”
Adalah Penafian Akan Kesempurnaan Iman
Bukan Intinya
Inilah sesungguhnya kami telah berdalil atas kekafiran ath thawaghut al musyarri’in (para thaghut yang membuat hukum) dengan firman-Nya ta’ala: “Demi Tuhanmu mereka itu tidaklah beriman sampai mereka menjadikan kami sebagai hakim dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapatkan sedikitpun keberatan dalam diri mereka dari apa yang kamu putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa: 65)
Allah swt telah bersumpah dengan muqsam bih terbesar dan menguatkan sumpah-Nya dengan pengulangan alat penafian dua kali atas penafian iman dan islam dari orang yang tidak menjadikan syariat Allah sebagai hukum apalagi kalau mendapatkan dalam dirinya keberatan meskipun sedikit dari hukum Allah ta’ala.(1)
Kemudian sesungguhnya sebagian Murjiatul ‘Ashri menjawab atas kami dengan tipu daya syaithan dan bisikannya, dan mereka mengklaim bahwa iman yang dinafikan dalam ayat ini adalah kamalul iman bukan ashlul iman. Sedangkan jawaban kami atas hal ini dengan taufiq Allah adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Sebelumnya kami ingatkan bahwa ayat ini bihamdillah bukanlah satu-satunya dalil yang menunjukkan kekafiran thawaghut musyari’in, anshar mereka, kroni-kroni mereka dan budak-budak mereka, akan tetapi ia adalah salah satu dalil dari mata air sungai dalil yang tak habis, sebagian darinya telah lalu, dan yang lainnya dijabarkan di tempat lain. Yang paling pertama dan yang paling tinggi adalah mereka terhadap ashluttauhid dan penggugurannya terhadap qaidahnya dengan pembuatan hukum di samping Allah (baik dalam negeri) atau dengan dengan menjadikan selain-Nya swt hakamn (pemutus hukum) dan musyarri’ (internasional), sedangkan ini menggugurkan kalimat ikhlash dan ashlul ushul yang mana dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah dari awal hingga akhir berputar sekitar hal itu. Jadi masalahnya bukanlah seperti apa yang diduga oleh Murjiatul ‘Ahsri yaitu masalah ayat yang mereka takwil seperti yang mereka inginkan dan masalahnya selesai, akan tetapi dominannya kejahilan, banyaknya syirik, berbaur dengan ahlisy syirki dan ansharnya, duduk-duduk dengan mereka, makan bersama mereka dan rukun (cenderung) terhadap mereka telah menutup bashirah mereka, menghalangi hati mereka dari pentunjuk dan kebenaran yang nyata, dan menghalangi antara mereka dengan sikap membedakan al kufru dari al iman dan tauhid dari asy syirki dalam masalah-masalah yang mana ia tergolong urusan-urusan yang paling jelas dalam dienul islam.
Kemudian kami katakan: Sesungguhnya penafian al iman atau ancaman dalam bab-babnya tidaklah datang karena taqshur dalam kamalul iman(2), akan tetapi tidak terjadi kecuali atas pengguguran ashlul iman atau pengurangan al iman al wajib, kemudian sesudahnya ditarjih mana salah satu dari dua hal itu yang dimaksud oleh syar’i dengan dalil-dalil syar’i atau qarinah-qarinah nash itu sendiri atau dari nushush lainyya yang menjelaskan.
Catatan kaki:
(1) Karena (keberatan) datang dengan bentuk nakirah dalam konteks penafian, sedangkan ini tergolong shighat umum, sehingga mencakup seluruh macam keberatan, banyak dan sedikit, karena sesungguhnya menafikan baik terhadap ashlul iman atau terhadap al iman al wajib, sebab Allah tidak menafikan al iman dari orang yang taqshir dalam kamalul iman al mustahab, dan dalam kasyfun niqab kami telah utarakan: “Keberatan mereka yang sangat dan jelas dari menjadikan syari’at Islamiyyah sebagai hukum satu-satunya yang berlaku dalam sistem pemerintahan mereka.” Sebagaimana mereka tegaskan atas hal itu dalam lembaran tafsiriyyah mereka terhadap ayat dua dari UUD Kuwait dan inilah makna harfiyyahnya” Keberatan yang sangat dari tauhidullah dan mengesakanNya dengan ibadah dalam bab tasyri’” yaitu “ keberatan yang sangat dari ibadah kepada Allah saja dan kufur terhadap thaghut” atau “keberatan yang sangat dari laa ilaaha illallaah” maka perhatikanlah kekafiran yang nyata ini dan ketahuilah sesungguhnya itu tidak berhenti pada thaghut musyarri’ saja, namun ia mencakup setiap orang yang mendukungnya atau orang yang menuntut pemberlakuannya atau memujinya atau membelanya atau mencintainya atau menyatakan: Saya tidak berlepas diri darinya, atau menyebutnya dengan keadilan....bagaimanapun jenggotnya panjang dan bagamanapun intimanya.
(2) Dan lihat Majmu Fatawa Syaikhul Islam 7/15.
Catatan kaki selesai.
Bila hal ini telah diketahui meka sesunggunya hal ma’ruf lagi diketahui secara umum di kalangan ahlul ilmi adalah bahwa hukum asal pada lafadh-lafadh itu adalah haqiqat sebenarnya dan dhahirnya, serta lafadh itu tidak dipalingkan dari makna haqiqinya yang dhahir kepada majaz kecuali dengan dalil....bahkan al muhaqqiqun di antara mereka menetapkan bahwa sama sekali tidak ada majaz dalam Al Quran.
Dan kami mengatakan sesungguhnya penafian di sini adalah penafian akan haqiqat al iman yaitu ushul iman, dan yang menyatakan hal ini kembali kepada hukum asal, sedangkan orang yang mengklaim bahwa penafian itu terhadap selain itu adalah keluar dari hukum asal lagi dituntut untuk mendatangkan dalil.
Ibnu Hazm rh berkata dalam Al Fashl 3/293 tentang ayat ini: Ini adalah nash yang tidak mengandung takwil, dan sama sekali tidak ada nash yang mengeluarkannya dari dhahirnya, serta tidak ada burhan yang mengkhususkan pada sebagian sisi-sisi keimnanan.” Selesai.
Di samping ini sesungguhnya lafadh di sini bukan (makna) lughawi murni, namun ia makan syar’iy yang khusus. Dan banyak dari ahli ilmu di antaranya pensyarah Ath Thahawiyyah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa lafadh al iman bersama al islam bila keduanya berkumpul maka keduanya memisah dengan makna (masing-masing), dan bila keduanya terpisah maka keduanya menyatu (dalam makna). Dan makna ini adalah bila salah satunya menyendiri maka ia mencakup makna yang satu lagi dan hukumnya. Sedangkan di sini lafadh iman datang menyendiri maka ia mencakup islam bersamanya, sehingga penafian iman dalam ayat itu adalah penafian terhadap Islam dan iman.
Dan ini dibuktikan juga dengan konteks ayat-ayat dalam surat itu sendiri dan sebelum ayat ini beberapa ayat, maka sesungguhnya ia menafikan ashlul iman, seperti firman-Nya ta’ala: “Kemudian bila kalian berselisih pada sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, bila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (An Nisa: 59)
Ibnu Katsir rh berkata: Maka ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengacu dalam tempat perselisihan kepada Al Kitab dan As Sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya dalam hal itu maka tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.” Selesai.
Dan penyebutan iman kepada Allah dan hari akhir dalam ayat ini menurut syubhat ucapan akan kamalul iman, karena (iman kepada hari akhir) adalah satu cabang dari cabang-cabang iman yang inti yang bila ia lenyap maka lenyaplah ashlul iman, dan di antara firman Allah ta’ala sebelumnya juga “Apa engkau tidak melihat kepada orang-orang yang mengaku bahwa mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada engkau dan apa yang telah diturunkan sebelum engkau, mereka itu ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka itu sudah diperintahkan untuk kafir terhadap (thaghut) itu dan syaithan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh. Dan bila dikatakan kepada mereka: “Marilah kalian (mengikuti) apa yang yang telah diturunkan Allah dan (mengikuti apa yang telah diturunkan kepada) Rasul” maka melihat orang-orang munafiq menghalang-halangi (manusia) dari (mengikuti) mu.” (An Nisa: 60-61)
Bila saja keinginan tahakum kepada thaghut adalah menggugurkan kufur terhadapnya yang telah Allah fardlukan atas hamba-hamba-Nya dan Dia perintahkan mereka dengannya, maka bagaimana dengan tahakum itu sendiri, bahkan bagaimana dengan apa yang terjadi hari ini, yaitu menjadikan kewenangan pembuatan hukum secara sempurna dan dalam setiap bab di tangan thaghut dan sebagai salah satu hak (kewenangan) dari hak-haknya, baik si thaghut ini bersifat internasional atau lokal, atau berwujud amir (raja, presiden, sultan, dll, Pent) atau anggota dewan (wakil rakyat) atau ia berwujud Piagam ataupun UUD.
Dan sudah ma’lum dari Ashli dienil Islam bahwa al kufru bith thaghut adalah rukun tauhid dan syarat sah al iman billah bukan syarat kesempurnaan. Iman kepada thaghut adalah kufur terhadap Allah lagi mengggurkan ashlul iman wat tauhid wal islam, jadi yang didustakan lagi dinafikan dalam ayat ini adalah ashlul iman dan haqiqatnya bukan kesempurnaannya yang wajib, apalagi kalau itu kesempurnaannya yang mustahab.
Begitulah, konteks ayat-ayat itu seluruhnya sebelum ayat bab ini adalah seputar lenyapnya ashlul iman bukan kesempurnaannya, kemudian datang ayat ini sebagai nash dalam bahasan ini.
Dan ini seperti yang sebelumnya, orang yang menyatakan ini mengambil hukum sebelumnya untuk ashlul khithab yang terkandung dalam konteks, sedangkan orang yang mengeluarkan hal itu darinya adalah keluar dari hukum asal ini lagi dituntut untuk mendatangkan dalil.
Adapun haraj (keberatan) yang disebutkan dalam ayat itu, maka ia bukanlah qayyid (batasan) untuk penafian haqiqat al iman di sini, atau qayyid pada kekafiran orang yang menolak tunduk kepada hukum Allah, namun keberadaannya - sebagaimana yang telah lalu – hanyalah tambahan dalam kekafiran. Maka orang yang merasa keberatan dari syariat Allah adalah kafir baik ia menerapkannya atau tidak menerapkannya.
Orang yang menolak untuk tunduk kepada hukum Allah adalah kafir meskipun tidak menampakkan sikap keberatan darinya dan bisa jadi dua kekafiran berkumpul pada seseorang, sehingga kekafirannya kufur murakkab (berlipat), maka ia sebenarnya adalah tambahan hukum bukan qayyid bagi hukum.
Al Jashash berkata dalam Ahkamul Quran tentang ayat ini setelah menuturkan sebagian makna-makna haraj, dan di antaranya merasa sempit atau ragu: “Dan dalam ayat ini ada dilalah yang menunjukkan bahwa orang yang menolak suatu dari perintah-perintah Allah ta’ala atau perintah-perintah Rasul-Nya saw, maka ia keluar dari Islam.
Sama saja baik ia menolaknya dari sisi keraguan
Atau meninggalkan penerimaan dan menolak dari pemasrahan
Dan itu mengharuskan sahnya apa yang diyakini para sahabat dalam vonis mereka akan riddahnya orang yang menolak dari membayar zakat, vonis mati mereka dan menawan anak-anak dan para wanita mereka, karena Allah ta’ala menghukum bahwa orang yang tidak tunduk kepada Nabi saw, maka ia bukan tergolong Ahlul Iman.” Selesai.
Ibnu Hazm berkata dalam Al Fashl tentang ayat ini 3/235: “Maka Dia ta’ala telah menegaskan dan bersumpah dengan diri-Nya bahwa orang itu tidak mu’min kecuali dengan tahkim Nabi saw dalam setiap masalah yang dipersilisihkan, kemudian menerima dengan hatinya dan tidak mendapatkan dalam dirinya rasa keberatan dari apa yang beliau putuskan.
Maka sahlah bahwa tahkim adalah suatu hal di luar taslim dengan hati, dan bahwa ia adalah al iman yang tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mendatangkannya.” Selesai.
Dan khulashanya wahai saudara tauhid, bahwa masalah kita sebagaimana yang telah kami katakan berulang-ulang adalah bersama orang yang telah menghancurkan tauhid terus mereka beriman kepada thaghut, dan mereka tidak kafir terhadapnya, sedangkan ini adalah salah satu pembatal keislaman dan keimanan, dan perbuatan kekafiran yang nyata yang tidak usah dicari tentang keyakinannya atau istihlal qalbiy atau taharruj (keberatan) hati, serta tidak boleh itu dijadikan sebagai qayyid (batasan) bagi kekafiran di sini, karena ini adalah hal-hal ghaib dan sebab-sebab kekafiran yang tidak nyata dan tidak mudlabith dalam hukum-hukum dunia dan tidak jalan untuk mengetahuinya kecuali dari dua sisi:
Bisa lewat jalan wahyu atau di pelakunya menyatakan dan mengucapkan dengan lisannya dan mengabarkan tentang istihlal dan keberatan hatinya.
Dan ketahuilah sesungguhnya para thaghut dan antek-anteknya itu di sini telah terbukti pada diri mereka kedua sisi ini, di mana mereka itu adalah makhluk paling kafir.
Nash wahyu telah menegaskan sebagaimana yang telah lalu dalam ayat-ayat itu terhadap pendustaan iman orang yang tidak kafir terhadap thaghut dan ingin berhukum kepadanya, maka kami menghukumi batilnya keimanan orang-orang macam mereka secara lahir batin sebagai bentuk pembenaran terhadap Allah dan keimanan terhadap kalimat-kalimatNya (dan ini adalah hukum dan bukan qayyid buat hukum). Dan kami mendustakan orang yang berhakim kepada thaghut walaupun dia mengklaim jujur, iman, taufiq dan ihsan dan walaupun dia menyatakan bahwa syari’at adalah lebih afdhal dari dien (hukum) thaghut dan undang-undangnya dan walau ia mengatahui wajibnya tahkim syari’at atau berkata: Doakanlah kami atau bantulah kami.........serta ucapan lainnya yang dengannya mereka mentertawakan orang-orang dungu, dan dengannya orang-orang seset menutupi kekafiran mereka.........selama ia terus dalam tahakum kepada thawaghit lagi masuk dalam diennya juga tidak kafir terhadapnya. Ini dari satu sisi.
Dan dari sisi lain, sesungguhnya para thaghut itu telah menegaskan dalam catatan penafsiran mereka terhadap UUD – sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam kasyfun niqab – dan mereka menegaskan atas sikap keberatannya dari tauhidullah dan ifrad-Nya dalam tasyri, dalam penafsiran mereka akan ayat dua dari yasiq mereka (UUD, maksudnya)
Dan dari ini engkau mengetahui bahwa kekafiran mereka itu adalah kekafiran yang berlapis dengan kesaksian Allah dan wahyu-Nya serta dengan penegasan mereka sendiri juga.
Namun dengan ini Afrakhul Murjiah sangat bersikap wara’ dalam takfir mereka, terus mereka mengharamkan darah dan hartanya, bahkan mereka shalat bermakmum di belakangnya (1) dan meminta pertolongannya untuk menyerang orang yang menyelisihi mereka dan menyelisihi madzhab mereka yang rusak walaupun orang yang menyelisihi itu dari kalangan ahli tauhid,(2) dan mereka mencapnya sebagai Khawarij – yang kafir menurut pendapat sekelompok dari salaf – karena para muwahhidin itu kafir terhadap thaghut dan mereka mengkafirkannya bersama auliya dan ansharnya, padahal Afrakhul Murjiah itu enggan mengkafirkan orang-orang yang telah engkau lihat keadaannya, di waktu yang mana mereka tidak bersikap wara’ dan tidak komitmen dengan hududullah dalam menyikapi kami, di mana mereka mengkafirkan kami dengan sebab pemurnian tauhid, persis seperti keadaan khashum durat tauhid di setiap zaman..... Ibnul Qayyim rh berkata:
Dan Khushum kami telah mengkafirkan kami dengan suatu
Yang mana ia adalah puncak tauhid dan iman
Dan kami menyerahkan mereka kepada Rabbul ‘Alamin pada hari di mana orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang-orang yang mengikuti, dan Yang Maha Perkasa memanggil mereka: “Mana sekutu-sekutu Aku yang dahulu kalian klaim” (Al Qashash: 74).
Dan pada harinya kami akan angkat pengaduan kami kepada Rabbul ‘Alamin dan kami akan mengatakan: Ya Rabb mereka telah menuduh kami sebagai ahlil bid’ah, mereka telah memfitnah kami dan dusta atas nama kami dengan apa yang telah engkau ketahui, karena kami mengkafirkan orang yang telah menghancurkan tauhid serta membela syirik dan tandid.
Ya Rabb kami tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah Engkau kafirkan dalam kitab-Mu dan yang telah Rasul-Rasul-Mu kafirkan.....Ya Rabb kami telah kafirkan musuh-musuh dienMu sebagai bentuk pembenaran terhadap firman-Mu pengikutan terhadap rasul-rasul-Mu, pengimanan terhadap Kitab-Mu dan pembelaan terhadap syariat-Mu.
Adapun kalian wahai Afrakhul Murjiah, apa yang kalian katakan? Dengan apa akan kalian jawab dan kalian bentengi? Apa akan mengatakan: Ya Rabb kami bersikap wara’ dari takfier musuh-musuh dien-Mu yang telah engkau cap kafir mereka dalam kitab-Mu, dan kami hukumi mereka sebagai orang-orang islam karena sikap wara’, hati-hati dan tanazzuh (bersih diri)..dan kami bid’ahkan – dan bahkan bisa kami kafirkan – orang yang kafirkan mereka dan kami terapkan vonisMu terhadap mereka, kami bodoh-bodohkan mereka, kami perangi mereka dan kami halangi manusia dari mengikuti dakwahnya?
Maka singsingkanlah lenganmu wahai ahluttauhid untuk nushrah dienillah, janganlah kamu peduli atau merasa terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi dan orang-orang yang menggembosi, dan persiapkanlah untuk hari perhelatan di hadapan para penguasa langit dan bumi untuk menghujat musuh-musuh dien ini, auliya mereka dan ansharnya di sisi wali kita dan penolong kita.
Catatan kaki:
(1) Sebagaimana yang dilakukan anggota-anggota lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar Kuwait At Turatsiyyah (dari kalangan para pengaku salafi) dalam sebagian kunjungan mereka kepada thaghut, di mana si thaghut itu mengimani mereka dan mereka shalat di belakangnya. Dan tidaklah aneh dari hal ini selagi kita sering membaca (tulisan) jama’ah mereka dan kami mendengar dari jam’iyyah mereka (jam’iyyah ihyautturats) pujian terhadap pemerintah dan tuntutan untuk memberlakukan UUD dan kembalinya parlemen paghanisme, lembaga amar ma’ruf nahi munkar macam apa ini yang mana para pengikutnya mengakui kemungkaran terbesar negeri ini (syirik UUD) dan menghapus hal yang ma’ruf terbesar (tauhid)?
(2) Ali Al Halabiy punya fatwa yang mewajibkan dengannya menyampaikan laporan tentang orang-orang yang dia cap sebagai kaum takfiriy kepada penguasa-penguasa kafir, kami cantumkan fatwa itu dalam catatan kaki kitab kami “Kasyfu Syubuhatil Mujaddin ‘An ‘Asakirisysyirki Wa Ansharul Qawanin”
Mereka tidak lari kepada dalil namun
Di kala lemah tempat pengaduan mereka kepada penguasa
Catatan kaki selesai.
Syubhat
Bahwa Nabi Saw tidak mengkafirkan dan tidak membunuh
Seorang Anshar yang Memprotes Putusan Beliau dalam
Syiraajul Harrah(1) dan tidak pula (membunuh) orang
Orang munafik yang merintangi hukum Allah
Serta tidak pula orang yang berkata
Kepada beliau “Berlaku Adillah”
Ini adalah syubhat mereka yang mencabang dari syubhat sebelumnya, sesungguhnya kami tatkala menuturkan kepada mereka bahwa ayat yang lalu itu menafikan hakikat keimanan orang yang memprotes keputusan Rasul saw, maka mereka berkata: Tapi kenapa beliau saw tidak mengkafirkan orang yang memprotes terhadap keputusannya dalam Syiraajul Harrah (2)
Dan begitu pula kaum munafiqin yang Allah firmankan tentang mereka: “Dan bila dikatakan kepada mereka “Marilah kalian mengikuti apa yang telah Allah turunkan dan apa yang diputuskan Rasul” maka engkau melihat orang-orang munafiq menghalang-halangi (manusia) dari (mengikuti) mu.” (An Nisa: 61)
Dan sama seperti itu adalah seorang laki-laki yang berkata pada pembagian Nabi saw: Ini bagian yang tidak diharapkan wajah Allah dengannya.”
Sedang jawaban atas hal ini adalah kami katakan: Telah berulang-ulang bahwa masalah yang sedang kita bicarakan adalah tergolong Ashluddin dan qaidahnya, dan masalah seperti ini tidak mungkin terkena nasakh (penghapusan) sama sekali, sehingga tidak sah sama sekali dibenturkan atau dirobek dengan kejadian-kejadian pribadi yang bisa saja ada mulasabat (faktor-faktor yang mempengaruhi) dan pentakwilan-pentakwilan tertentu, akan tetapi hal-hal seperti itu – bila musykil takwilnya – seyogyanya dikembalikan kepada induk dan intinya sebagaimana halnya pada al mutasyabih karena ia dikembalikan kepada yang muhkam dari Al Quran, dan tidak boleh nushush dibenturkan dan satu sama lain diadukan.
Adapun hadits orang yang memprotes terhadap hukum Rasul saw dakam Syiraajul Harrah dan status kaum munafiqin yang menghalang-halangu (manusia) dari hukum Allah, keduanya sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepada anda adalah dalam satu bahasan dan konteks. Ihtijaj mereka untuk membela para thaghut dengan keberadaan bahwa Nabi saw tidak mengkafirkan mereka adalah tidak ada hujjah bagi mereka di dalamnya, karena Al Quran telah turun setelah kejadian ini sebagai pemberi vonis akan kekafiran setiap orang yang memprotes terhadap hukum Allah dan hukum Rasul atau yang ingin tahakum kepada thaghut. Dan tidak mungkin sekali Nabi saw tidak mengkafirkan mereka setelah itu bila mereka bersikukuh di atasnya dan tidak menampakkan taubat, penyesalan dan rujuk, serta tidak mungkin Nabi saw mengakui mereka atas sikap terus menerus mencela hukum Allah dan tahakum kepada thaghut tanpa beliau kafirkan dan bunuh mereka sedangkan beliau adalah orang yang mengatakan: “Siapa yang merubah dien-Nya maka bunuhlah dia.”
Sehingga mesti dikatakan bahwa mereka setelah turun ayat-ayat itu tidak bersikukuh di atas kekafiran itu, namun mereka taubat, menyesal, dan tunduk serta patuh kepada hukum Allah walau secara dhahir.
Catatan kaki:
(1)
(2) Hadits ini diriwayatkan Al Bukhari dari ‘Urwah, berkata: Az Zubair berselisih dengan laki-laki dari Al Anshar dalam hal Syiraajul Harrah, maka Nabi saw berkata: Siramilah Hai Zubair terus lepas air ke tetanggamu” maka Al Anshari berkata: Wahai Rasulullah apa itu karena ia sepupumu? Maka wajah beliau berwarna terus berkata: Siramilah Hai Zubair terus tahan air itu sampai kembali ke pematang kemudian lepas air ke tetanggamu” Zubair berkata: Saya tidak mengira ayat-ayat ini kecuali turun dalam hal itu: : “Tidak, demi Tuhanmu, mereka itu tidak beriman sehingga menjadikanmu sebagai hakim dalam apa yang menjadi perselisihan di antara mereka.” Selesai
Nabi saw telah memerintahkan sepupunya untuk merasa cukup dengan lebih kurang dari hak sebenarnya dalam hal air dalam rangka membuat ridla al anshari itu, kemudian tatkala al anshariy itu mengatakan apa yang dia katakan, maka beliau menyuruh Zubair memenuhi haknya yang menjadi hak dia secara sempurna dalam ketegasan putusan.
Catatan kaki selesai.
Al Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al Muhalla Jilid 11 pada masalah 2199: “Sehingga bila Allah telah menjelaskan bahwa mereka itu tidak beriman sampai mereka menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim dalam apa yang menjadi perselisihan di antara keduanya, maka wajibkah bahwa orang yang telah mengetahui hal ini baik dulu maupun sekarang dan hingga hari kiamat terus ia menolak dan membangkang maka ia kafir, sedangkan dalam ayat tidak ada penjelasan bahwa mereka itu membangkang setelah turunnya ayat.” Selesai.
Dan ini persis seperti orang-orang yang memperolok-olok al qurra dalam perang Tabuk, sesungguhnya Nabi saw tidak membunuh mereka, maka tidaklah sah berdalil dengan hal ini bahwa mereka tidak dikafirkan dengan sebab istihza’ mereka(1), namun yang benar adalah dikatakan bahwa mereka itu telah menampakkan taubat setelah Allah vonis dengan kekafiran mereka, maka Nabi saw memperlakukan mereka dengan dhahirnya.
Ibnu Hazm berkata dalam Al Muhalla juga 11/207 setelah menuturkan firman-Nya ta’ala: “Dan bila kamu bertanya kepada mereka, tentulah mereka mengatakan: “Kami hanya bercanda dan bermain.....” hingga firman-Nya “mereka itu para pelaku dosa” (At Taubah: 65-66), beliau berkata: Ini tanpa diragukan tentang orang-orang tertentu yang telah kafir setelah mereka beriman, akan tetapi taubat terbuka bagi mereka dengan firman-Nya: “Bila Kami memaafkan sekelompok dari kalian maka kami (juga) mengadzab sekelompok (yang lain), itu disebabkan mereka itu para pelaku dosa.” (At Taubah: 66) maka sahlah bahwa mereka itu telah menampakkan taubat dan penyerahan serta mengakui akan dosa-dosanya. Di antara mereka ada yang Allah ta’ala terima taubatnya secara bathin karena Dia ta’ala mengetahui kebenaran taubatnya, dan di antara mereka ada yang tidak sah taubatnya secara bathun maka merekalah orang-orang yang diadzab di akhirat dan adapun secara dhahir (lahir) maka seluruh mereka telah bertaubat dengan nash ayat, wa billahit ta’ala taufiq.” Selesai.
Dan ini tegas dalam ayat-ayat itu, dan tidak ada di dalamnya dan di dalam khabar-khabarnya bahwa mereka bersikukuh dalam istihza’nya dan terus menerus di dalamnya serta Nabi saw mengakui mereka atas hal itu tanpa membunuh mereka, justru dalam atsar-atsar yang diriwayatkan Ath Thabariy dan Ibnu Abi Hatim ada penegasan bahwa sebagian mereka mengajukan udzur seraya bergelantungan di pelana unta Rasulullah saw sedang bebatuan menyemburi dia, sebagai bentuk penampakan taubat, penyesalan dan rujuk.
Catatan kaki:
(1) Sungguh saya telah mendengar hal itu secara jelas dari sebagian syaikh Murjiah di Kuwait dalam kaset rekaman dengan judul Al Hakimiyyah, mereka membagikannya dan merasa bangga dengannya serta mereka sangat berupaya untuk memberikannya kepada setiap orang yang mereka dengar mengkafirkan para thaghut mereka. Saya diberi kaset itu oleh seorang pemuda yang terpengaruh dengan syubhat-syubhat mereka setelah dia mendengar saya berbicara tentang takfier tahghut negerinya.....Dan kaset itu penuh dengan tajahhum dan irja, dan di antaranya ucapannya: “Bahwa istihza’ dengan dienullah adalah kufur ‘amaliy yang mana pelakunya tidak dikafirkan kecuali bila menganggapnya halal, yaitu dia meyakini bahwa syari’at itu ladang untuk diperolok-olok.” Dan sikap-sikap ngawurnya yang telah nampak jelas kebatilannya di hadapanmu, maka nasihat saya kepada orang-orang yang bertaqlid kepadanya agar menghentikan diri dan menutupi kebodohan syaikh mereka terhadap ushul yang nyata ini – terutama sesungguhnya syaikh itu telah meninggal dunia – serta hendaklah mereka menghentukan daru penyebaran sikap ngawur itu, sebagai bantuk kasihan terhadap si syaikh dari mereka pikulkan kepadanya dosa kesesatan-kesesatan dan syubhat-syubhat ini dan dosa-dosa orang-orang yang disesatkan dengannya hingga hari kiamat.
Catatan kaki selesai.
Dan adapun orang yang menuduh Rasulullah dzalim dan orang itu berkata bahwa beliau tidak adil serta tidak mengharapkan dengan pembagiannya wajah Allah, maka tidak ragu bahwa dia itu murtad – karena ini adalah celaan pada risalah yang mengharuskan amanah – dan inilah yang dipahami Khalid dan Umar ra secara langsung, sehingga keduanya minta izin Nabi saw untuk membunuhnya sebagaimana dalam riwayat-riwayat hadits.
Dan ini ditunjukkan bahwa Nabi saw mengaitkan alasan pelarangan beliau dari membunuh orang ini dan yang serupa dengannya – dalam sebagian riwayat – dengan kekhawatiran (orang-orang berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya) dan beliau tidak mengkaitkannya dengan ‘ishmah darahnya sebagaimana halnya pada kaum muslimin, maka ini menunjukkan bahwa ia kafir dengan ucapan itu dan seandainya ia itu muslim tentulah cap itu tidak memberikan pengaruh dan tidak selaras dalam ‘ishmah darah orang yang ma’shum, dan tidak boleh memberikan alasan hukum dengan sifat yang tidak memiliki pengaruh, namun pemberian alasannya haruslah dengan sifat yang mana ia adalah manathul hukmi (ruang lingkup yang mana hukum berkisar pada sebab itu) dan ini sudah ma’lum pada ungkapan ahlil ilmi dalam bab Tanqihul Manath (penyeleksian sebab hukum), dan makna ini telah dituturkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Ash Sharimul Maslul hal 335.
Adapun Nabi saw tidak membunuhnya dan justru melarang Umar dan Khalid darinya, maka jawabannya adalah seperti apa yang disebutkan Ibnu Hazm rh dalam Al Muhalla 11/225: “Bahwa Allah ta’ala saat itu belum memerintahkan membunuh orang yang murtad, oleh sebab itu Rasulullah saw tidak membunuhnya, serta karena itu pula beliau melarang membunuhnya, kemudian setelah itu Allah ta’ala menerintahkan membunuh orang yang murtad dari dien-Nya, sehingga pengaharaman membunuh mereka di nasakh.”
Dan berkata pula di dalamnya 11/411: Adapun orang yang berkata pada pembagian Nabi saw (ini adalah pembagian yang tidak ada keadilan di dalamnya dan tidak diharapkan wajah Allah ta’ala dengannya).
Maka sungguh telah kami katakan bahwa ini terjadi para perang Khaibar, dan ini sebelum Allah ta’ala memerintahkan untuk membunuh orang-orang murtad, dan dalam khabar ini tidak ada pernyataan bahwa orang yang mengucapkan ucapan ini tidak kafir dengan sebab ucapannya itu.” Selesai.(1)
Catatan kaki:
(1) Dalam hal ini Ibnul Wazir menyelisihi dalam Itsarul Haq ‘Alal Khaliq, di mana beliau mengklaim bahwa Nabi saw tidak mengkafirkannya, karena ia tidak mendatangkan hal yang membuatnya kafir sama sekali, namun “dia menganggap bisa saja Nabi saw berbuat dosa seperti dosa-dosa para Nabi sebagaimana firman Allah ta’ala: “Dan Adam maksiat kepada Rabb-Nya, maka sesatlah ia” (Thaaha: 121), terus dia menganggapnya sebagai kekeliruan yang besar yang tidak sampai kepada derajat kekafiran selama ia merealisasikan tauhid lagi tetap di atas kesaksian laa ilaaha illalaah Muhammad Rasulullah dan tidak melakukan pembatal satupun. Silakan rujuk hal 339-400 dan taujih (arahan) Ibnu Hazm tidak ragu adalah lebih kuat.
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah maka beliau telah tuturkan itu dalam (Ash Sharimul Maslu ‘Ala Syatimurrasal) dan beliau tegaskan bahwa ia itu telah kafir hal (199), karena orang yang menyakiti Rasul maka dia telah menyakiti Allah, sedangkan orang yang menyakiti Allah maka ia kafir halal darahnya hal (40) beliau berdalil dengan firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya, maka Allah melaknat mereka di dunia dan di akhirat, dan Dia persiapkan bagi mereka siksa yang menghinakan.” (Al Ahzab: 57) Dia barengkan sikap menyakiti Rasul dengan menyakiti-Nya subhanahu, dan karena celaan terhadap putusannya dan penuduhan zalim kepada beliau adalah menggugurkan apa yang dikandung kesaksian tauhid berupa amanah hal (185). Dan beliau menjawab sikap beliau tidak membunuh dia dengan beberapa sisi:
Di antaranya hal 187: Bahwa larangan beliau kepada para sahabatnya dari membunuhnya adalah sama seperti larangan beliau dari membunuh Ibnush Shayyad tatkala mereka ragu bahwa ia itu Dajjal, di mana beliau saw berkata: “Bila memang ia itu Dajjal maka kamu tidak akan mampu menguasainya” karena beliau tahu benar bahwa dia itu akan keluar di akhir zaman tidak bisa dihalangi. Dan bergitulah hal ini, sesungguhnya beliau mengabarkan dengan apa yang Allah perlihatkan kepadanya dari ilmu ghaib bahwa akan keluar dari macam orang ini kaum yang membaca Al Quran yang tidak melewati kerongkongannya.....hingga akhir, sembari meyakini bahwa mafsadah keluarnya mereka adalah tidak bisa ditolak dengan membunuhnya, maka beliau meninggalkannya karena khawatir akan kerusakan yang meyakinkan menurut beliau, yaitu orang-orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya yang suka shalat bersamanya, sehingga dengan hal itu lari dari Islam banyak hati tanpa mashlahat yang bisa mengubur mafsadah ini, terutama sesungguhnya itu terjadi di saat lemah dan pelunakan hati.
Dan ini adalah sisi kedua, yang mana ia adalah sisi yang diakui Ibnu Hazm, Syaikhul Islam menuturkan hal 189, juga 178, 179-223, 237, dan 359 bahwa itu sebelum Nabi saw diperintahkan untuk membunuh orang yang menampakkan nifaq dan kekafirannya. Sebelum Badr saat kaum muslimin lemah, beliau saw diperintahkan bersabar atas gangguan mereka dan untuk memaafkan mereka dalam firman-Nya ta’ala: Dan janganlah kamu mentaati kaum kafirin dan munafiqin dan biarkan gangguan mereka.” (Al Ahzab: 48) dan yang lainnya: “Dan adapun setelah perang Badr yang mana ia adalah permulaan kejayaan kaum muslimin, maka beliau itu memerangi orang yang menyakitinya dari kalangan orang yang tidak ada mafsadah dalam membunuhnya. Adapun setelah kejayaan kaum muslimin dengan penaklukan Makkah dan kesempurnaannya dengan perang Tabuk dan turun Bara’ah (At Taubah) Allah ta’la telah menasakh sabar atas gangguan mereka dengan firman-Nya: “Jihadilah orang-orang kafir dan munafiqin serta bersikap kasarlah terhadap mereka.” (At Taubah: 113) dan setelahnya orang kafir dan munafiq tidak mampu menyakiti mereka di majelis khusus dan tidak pula di tempat umum, namun justru dia mati dengan kedongkolannya karena dia mengetahui bahwa bila ia berbicara pasti dibunuh. Perhatikanlah sisi ini dan ia adalah rincian bagi apa yang dituturkan Ibnu Hazm, karena memahaminya bisa melenyapkan darimu berbagai kesulitan dalam banyak kejadian-kejadian pribadi yang tergolong macam ini.
Dan sisi lain yang beliau sebutkan hal 184 dan beliau isyaratkan kepadanya dalam banyak tempat, yaitu bahwa ucapan orang itu adalah tentang pribadi Al Mushthafa saw dan sikap menyakiti yang khusus terhadap beliau saw hal 229 dan 434, dan bahwa beliau berhak memberikan maaf terhadap orang yang menyakitinya secara muthlaq saat beliau masih hidup, dan dalam kondisi macam seperti itu beliau memaafkan mereka dalam rangka ta’lif (pelunakan) hati. Dan macam akhir ini beliau tuturkan hal 446 dari Al Qadli Abu Ya’la tentang Al Anshari yang berselisih dengan Zubair.
Dan adapun setelah beliau meninggal saw, maka siapa yang menghinanya atau menyakitinya maka ia kafir halal darahnya dan umat tidak berhak memaafkannya. Hal 226.
Catatan kaki selesai.
Maka nampaklah di hadapanmu bahwa tidak ada hujjah bagi mereka dalam itu semua, dan mereka tatkala tidak mampu mendatangkan hujjah-hujjah dan dalil-dalil, maka mereka bersengaja mengambil kejadian-kejadian pribadi ini seraya bermaksud menerjang dengannya hal inti yang paling dasar dan pilar yang paling kokoh itu yang dengannya kami berhujjah atas kekafiran para thaghut mereka bila mereka merobohkannya, mereka mengajak manusia dan menyuruh mereka untuk merobohkannya, akan tetapi jurang yang mana di sini mereka tergelincir di dalamnya adalah mereka dengan mempermainkan khabar-khabar ini dan dengan ihtijaj mereka yang rusak itu adalah mereka telah menuduh Nabi saw mendiamkan kaum murtaddin dan kuffar, mengakui mereka atas kekafirannya, tidak membunuhnya dan tidak memeranginya. Orang-orang miskin itu tidak mengetahui bahwa mereka dengan metode mereka ini, berarti mereka menjerumuskan diri mereka pada jalan membela-bela para thaghut.
Manjaniq Maghrib berkata: Siapa yang menduga bahwa Rasulullah saw tidak membunuh orang yang wajib dibunuh dari kalangan sahabatnya maka dia telah kafir lagi halal darah dan hartanya, karena dia telah menisbatkan kebatilan dan mukhalafatullah (penyelisihan kepada Allah) ta’ala terhadap Rasul saw.
Demi Allah sungguh Rasulullah saw telah membunuh sahabat-sahabatnya yang baik dipastikan beriamn dan masuk surga, karena hukum bunuh wajib atas mereka seperti Maiz, Al Ghamidiyyah, dan Al Juhainyyah ra.
Maka termasuk jebatilan yang pasti dan kesesatan murni serta kefasikan yang asli, bahkan tergolong kekafiran yang nyata adalah seorang muslim meyakini atau menduga bahwa Rasulullah saw membunuh orang-orang muslim yang baik lagi calon ahli surga dari kalangan sahabatnya dengan pembunuhan yang sangat mengerikan dengan batu, terus beliau menelantarkan penegakan al haq al wajib dalam membunuh orang murtad atas orang kafir yang beliau ketahui bahwa dia telah murtad.
Hingga ucapannya: Dan kami bersaksi dengan kesaksian Allah ta’ala bahwa orang yang meyakini ini dan menganutnya maka sesungguhnya dia kafir musyrik murtad lagi halal darah dan hartanya, yang mana kami berlepas diri di hadapan Allah darinya dan dari perwaliannya.(1) Selesai.
Catatan kaki:
(1) Dengan ikhtisar dari Al Muhalla 11/218, dan ungkapan itu adalah bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa kaum munafiqin itu menampakkan kekafirannya di hadapan Rasulullah saw terus beliau mengakui mereka dan tidak membunuhnya. Dan bahasan ini adalah sangat berharga dan beliau rh telah membahas secara panjang lebar dan beliau tuturkan setiap ayat dan hadits yang ada syubhat di dalamnya, beliau jelaskan dan beliau bantah syubhatnya, maka silakan rujuk, karena ia sangat berfaedah.
Catatan kaki selesai.
Penutup
Wa Ba’du:
Maksud kami di sini bukanlah membatasi semua syubhat Murjiatul ‘Ashri, karena ia tidak pernah habis, karena mereka itu telah memenuhi pemahaman mereka dengan syubhat, dan syaithan senantiasa membisikkan kepada mereka ucapan-ucapan yang indah untuk menipu.....
Syubhat-syubhat yang berguguran bagaikan kaca, engkau kira benar, sedang semuanya bisa memecahkan dan dipecahkan.
Dalam lembaran-lembaran ini kami hanya menyinggung hal-hal yang paling masyhur saja yang dilontarkan orang-orang dungu mereka di negeri ini yang berkaitan atau dekat dengan inti bahasan, sebagai penjelasan dan tanbih bagi para pencari al haq yang sedang berjalan di atas jalan.
Dan saya akhiri ini dengan mengingatkan diri saya dan mengingatkan mereka dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang dengannya si penempuh jalan menjadikannya petunjuk dalam kegelapannya di tengah fitnah-fitnah, hawa nafsu dan kegelapan-kegelapan yang bercampur aduk......sebagai peringatan “karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kaum mu’minin”
Pertama: Jauhilah hawa nafsu
Ibnu Daqiq Al I’ed berkata tentang hal-hal yang membinasakan yang memasukkan penyakit “pertama: hawa nafsu, sedang ia adalah yang paling buruk, dan ia dalam tarikh kaum mutaakhirin adalah banyak.” Selesai.
Maka wajib atas pencari kebenaran untuk memurnikan (niat) untuk mencari al haq dan untuk tidak mengikuti hawa nafsu.
Allah ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga itu menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah bagi mereka adzab yang besar dengan sebab mereka lupa dari perhitungan.” (Shad: 26).
Hawa nafsu adalah satu thaghut dari sekian thaghut yang diikuti meyoritas manusia. Dan engkau tidak akan berpegang penuh erat dengan al ‘urwah al wustha dan bergabung dengan para pejalan sampai kamu berserah diri kepada Allah dan hukum-Nya saja dengan penyerahan yang muthlaq serta kafir terhadap tiap thaghut dan di antaranya thaghut hawa nafsu ini, Allah ta’ala berfiirman: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara baginya, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat jalannya.” (Al Furqan: 43-44)
Dan firman-Nya ta’ala: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Al Jatsiyah: 23).
Maka hati-hatilah dari thaghut ini dan jauhilah ia sebagaimana engkau menjauhi thaghut-thaghut yang lain untuk merealisasikan tauhid yang merupakan haq Allah atas semua hamba dengan perealisasian yang sempurna.
Dan perhatikanlah sifat-sifat hamba-hamba-Nya yang binasa lagi berjatuhan di pintunya dalam ayat-ayat tersebut, dan sanksi yang Allah berikan kepada mereka dengan sebabnya, berupa penguncian terhadap hati dan pendengarannya serta penutupan terhadap pandangan, sehingga mereka telah menjadi lebih sesat dari binatang ternak mereka tidak mau melihat dalil-dalil dan bayyinat, terus mereka tidak mengambil ‘ibrah dengannya dan tidak menjadikannya sebagai penunjuk jalan atau mengambil pelajaran, sehingga thaghut ini telah mempermainkan mereka sekehendaknya, .... hawa nafsu itu menyertai mereka sebagaimana anjing menyertai tuannya....pujilah tuhanmu atas nikmat petunjuk kepada al haq dan at tauhid dan menangislah serta mohonlah kepada-Nya agar meneguhkanmu di atasnya dan menutup hayatmu dengannya.
Dan jadikanlah bagi hatimu dua kelopak mata yang keduanya
Menangis karena takut kepada Ar Rahman
Andai Tuhanmu berkehendak tentulah kamu juga seperti mereka
Karena hati itu ada di antara jemari Ar Rahman
Dan ingatlah firman Allah ta’ala: “Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudlaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Ali Imran: 120) dan firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukan dengan Allah.” (An Nahl: 99-100)
Kedua: Hati-hatilah dari fanatik golongan dan guru
Atau mendahulukan hal itu di atas Allah dan Rasul-Nya atau meninggalkan firman Allah yang muhkam karena ucapan dan pendapat mereka. Selama al haq itu telah nampak di hadapan engkau dengan dalilnya, maka gigitlah kuat-kuat dengan geraham dan janganlah kamu meninggalkannya karena ucapan atau pendapat seseorang. Bila engkau mendapatkan petunjuk pada kebenaran dalam suatu masalah terus kebenaran itu datang seraya menyelisihi apa yang engkau dapatkan dari guru-gurumu maka janganlah kebenaran itu dibantah dengan ucapan atau perbuatan mereka, karena firman Al Khaliq tidak boleh ditentang dengan ucapan makhluk. Berapa banyak hal seperti ini telah menghalangi banyak orang yang sebelumnya kami mengira mereka itu para pencari kebenaran dari sikap bergabung dengan para penempuh jalan, serta syaitan menggembosi mereka dengan berbagai syubhat: “Apakah hal seperti ini samar atas syaikh?” Seandainya itu adalah haq tentulah tidak samar atasnya” atau “bagaimana syaikh mengatakan hal yang menyelisihinya?” Jadi taufiq dan tarjih dan upaya pencaman nasikh dan mansukh, al ‘aam dan al khash atau muthlaq dan muqayyad hanyalah dilakukan dalam apa yang diduga ada pertentangan dari firman Allah atau sabda Rasul. Adapun ucapan makhluk, maka Allah ta’ala telah berfirman: “Dan seandainya itu berasal dari selain Allah tentu mereka mendapatkan di dalamnya perselisihan yang banyak.” (An Nisa: 82).
Janganlah menghalangimu dari mengikuti al haq dan membelanya keberadaan sebagian guru-gurumu menyelisihinya. Sungguh kami dulu di awal pencarian ilmu terjadi pertentangan dan isykal di hadapan kami sebagian ucapan para syaikh yang kami saat itu percaya benar kepada mereka, padahal al haq dalam masalah itu telah nyata di hadapan kami, sehingga kami sering bimbang dan tawaqquf. Dan ini adalah tergolong rintangan yang menghambat pejalan dan merintangi perjalanan. Padahal hal seperti itu tidak layak menjadi penghalang bagi pencari al haq dan tidak layak lama tawaqquf dan bimbang di dalamnya dengan sebab hal itu. Selama al haq itu telah nampak dan jelas dengan dalilnya dari Al Kitab atau As Sunnah, maka pendapat yang selaras dengannya adalah diterima dan pendapat yang menyelisihinya adalah tertolak lagi terlempar, karena semua orang diambil dan ditolak dari pendapatnya kecuali al ma’shum saw.
Jauhilah pendapat orang-orang bodoh: bahwa firman Allah itu tidak boleh diambil dengan dhahir-dhahirnya, karena bisa saja yang dimaksud itu adalah ini atau itu dan kita tidak mampu memahami Al Quran dan ucapan-ucapan lainnya yang dengannya mereka mempersulit apa yang telah Allah ta’ala mudahkan “Dan Kami telah memudahkan Al Quran untuk pelajaran, maka adakah yang mengambil pelajaran.” (Al Qamar: 22)
Itulah ucapan-ucapan kaum sesat di setiap tempat, mereka saling mewariskannya, sebagian dari sebagian yang lain utnuk menta’thil (menggugurkan) nushush al kitab, dan sebagai gantinya mereka memberlakukan teks-teks ucapan dan pendapat guru-guru mereka yang tidak pernah dibantah, sebagaimana mereka menimpali Kitabullah dengan sikap-sikap mempersulit.
Dan haqiqaitnya adalah ajakan yang jelas untuk taqlid serta penta’thilan teks-teks wahyu.
Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim di mana beliau berkata:
Mereka jadikan ucapan guru-gurunya sebagai nash yang memiliki
Kepatenan lagi dua nash ditimbang darinya
Sedang firman Rabbul ‘Alamin dan hamba-Nya
Mereka jadikan samar yang mengandung banyak makna
Ketiga: Hendaklah engkau hiasi diri dengan inshaf (objektif)
Hiasilah dirimu dengannya dan jangan engkau mencabutnya selama-lamanya karena ia adalah pakaian yang paling langka di tengah makhluk pada zaman ini, oleh karena itu para ulama berkata: “Inshaf adalah pakaian para bangsawan, sedang bangsawan adalah yang paling jarang inshaf.”
Di antara bentuknya adalah engkau menjaga diri (wara’) dari menisbatkan kepada lawan atau menyandarkan kepada mereka apa yang tidak pernah mereka ucapkan, walaupun itu adalah tergolong lazim dari ucapan mereka, taqwalah engkau kepada Allah dan janganlah dusta atas nama mereka atau menghukumi mereka dengan praduga dan perkiraan, meskipun mereka itu dusta atas namamu, karena orang mu’min itu tidaklah berdusta.
Seringkali kami mengalami hal seperti dari Murjiah zaman kita ini, namun kami tidak membalas perlakuan buruk dengan hal serupa. Ibnu Hazm berkata dalam Al Fashl 5/33: Dan hendaklah orang yang membaca kitab kami ini mengetahui bahwa kami tidak menganggap halal apa yang dianggap halal oleh orang yang tidak memiliki sedikitpun kebaikan, berupa menyandarkan kepada seseorang apa yang tidak pernah dia katakan, meskipun ucapannya menghantarkan kepadanya. Maka ketahuilah bahwa menyandarkan ucapan kepada orang yang tidak mengucapkannya baik itu orang kafir atau ahlu bid’ah atau orang yang keliru, secara teks, adalah dusta atas namanya, padahal tidaklah halal berdusta atas nama seseorangpub.” Selesai.
Maka janganlah melampaui hududullah terhadap orang-orang yang menyelisihi meskipun mereka melampaui huduudullah terhadapmu, akan tetapi ikatlah apa yang engkau ucapkan dan timbanglah dengan timbangan keadilan yang dengannya langit dan bumi tegak. Dan ketahuilah bahwa mata kebencian menampakkan keburukan yang padahal secara sebenarnya ia memiliki jalan keluar yang shahih, ia buta darinya dengan hijab kebencian.
Keempat: Hati-hatilah dari sikap bimbang dan kecut dari mengikuti al haq dan membelanya karena sedikitnya anshar yang menempuh jalan atau karena banyaknya orang-orang yang menyelisihi dan yang menggembosi. Karena jama’ah itu adalah yang menyelarasi al haq walau engkau sendirian, dan bukanlah dengan jumlah banyak orang kebenaran itu diketahui dan bukan pula dengan sosok terkenal, namun sosok itu dikenal dengan sebab al haq. Ingatlah selalu bahwa ada Nabi yang datang di hari kiamat sedang ia tidak memiliki pengikut dan anshar kecuali satu dan dua orang, dan ada Nabi yang datang tanpa seorang pengikutpun.....padahal ia itu nabi!!
Dan Rasulullah saw telah mensifati Ath Thaifah yang menegakkan perintah Allah hingga hari kiamat, bahwa mereka itu: “Tidak terganggu dengan orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula dengan orang yang menggembosi mereka.”
Maka dari itu janganlah kamu merasa terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi atau dengan penggembosan mereka terhadap al haq walaupun mereka itu mayoritas. Dan harus engkau ingat pula bahwa orang-orang yang paling pertama api neraka dinyalakan dengannya adalah tiga orang, di antaranya ulama yang tidak mengambil manfaat dengan ilmunya karena kehilangan syarat ikhlas, jadi janganklah engkau terpukau dengan banyakya sorban-sorban yang menyimpang dari jalan ini, yaitu ulama pemerintah yang telah menjual dien mereka kepada penguasa dengan beberapa keping uang, di mana mereka membaiatnya, mendukungnya dan mengokohkannya, mereka kaburkan al haq dengan al bathil dan mereka merusak di hadapan manusia dien mereka. Jadi yang dianggap itu bukanlah orang-orang macam mereka itu namun yang dianggap itu hanyalah ulama yang mengamalkan (ilmunya) lagi berlepas diri dari ahlil kufri waththugyan, mereka itulah para pewaris al anbiya. Komitmenlah dengan jalan mereka walau mereka sedikit, dan jangan terperdaya dengan banyaknya buih, yang aneh itu bukanlah dari orang binasa bagaimana dia binasa, namun yang aneh itu adalah orang yang selamat bagaimana ia selamat.
Kelima: Yakinlah bahwa al haq itu akan menang di kemudian hari dan sesungguhnya kemenangan, keberpihakan, kejayaan dan kemenangan akhir tidak ragu adalah buat para pengikut dan ansharnya.
Dan ingatlah ucapan Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy saat berkata: (Ahlussunnah itu mati namun hidup penyebutan mereka, sedang ahlul bid’ah itu mati dan mati pula penyebutan mereka, karena ahlus sunnah itu telah menghidupkan apa yang dibawa Rasul saw, sehingga mereka memiliki bagian dari firman Allah ta’ala: “Dan Kami angkat bagimu penyebutanmu” (Asy Syarh: 4), sedang ahlul bid’ah mencela apa yang dibawa Rasul saw, sehingga mereka memiliki bagian dari firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya orang yang mencelamulah yang terputus.” (Al Kautsar: 3)
Maka segeralah dan cepatlah bergabung dan janganlah sesuatupun menghalangimu dari bergabung dengan kafilah untuk nushrah al haq dan penganutnya.....Tidak lain hanya beberapa hari lagi......dan di pagi hari orang-orang memuji perjalanan malam.
Ya Allah Rabb Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi Engkau memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam apa yang mereka perselisihkan....Berilah aku petunjuk terhadap apa yang diperselisihkan berupa al haq dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus........
Abu Muhammad Al Maqdisiy
1412 H
Aku telah persembahkan karena Allah apa yang aku persembahkan berupa amalan.
Dan tidak ada masalah atasku dengan mereka, apa mereka mencelaku atau berterima kasih.
Dalam pembahasan ini wajib atasku menampakkan hal-hal yang tidak jelas.
Dan tidak ada masalah denganku bila sapi-sapi itu tidak paham.
Dan firman-Nya: “Supaya kamu memberikan peringatan kepada suatu kaum yang tidak pernah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan pun sebelummu.” (Al Qashash: 46). Tidak sampai kepadanya suatupun dari rincian-rincian shalat, shiyam, dan zakat yang difardlukan atas kita, serta tidak melakukan suatupun darinya.
Namun demikian dia diudzur di dalamnya, karena ia telah merealisasikan ashlul iman al wajib atas dirinya dan atas setiap orang secara sempurna, yaitu al hanifiyyah, menjauhi syirik dan perealisasian ashlut tauhid, dan berada di atas millah Ibrahim, maka Nabi saw mengabarkan bahwa dia dibangkitkan sebagai satu umat sendirian di hari kiamat.
Bahkan keadaannya seperti orang yang beriman setelah diutusnya Nabi saw dan meninggal di Mekkah sebelum turunnya syari’at, sungguh mereka itu telah mendatangkan al iman al wajib atas mereka saat itu selama mereka telah merealisasikan tauhid dan menjauhi syirik dan tandid serta bersaksi akan kerasulan Nabi kita Muhammad saw.
Jawaban ini semua hanyalah diungkapkan setelah menetapkan keshahihan hadits itu dan keshahihan status tambahan “Hai Shilah itu menyelamatkan mereka dari neraka” adalah marfu’ bukan mudraj (sisipan) dari ucapan Hudzifah ra.
Wal hasil dari apa yang lalu semuanya, sang muwahhid meyakini bahwa tahqiq tauhid dan bara’ah dari apa yang menggugurkannya berupa syirik yang mengeluarkan dari millah dan tandid adalah ashluddin dan qaidahnya, tiang dakwah para rasul dan pusat roda perputarannya, dan bahwa seluruh ajaran Islam datang untuk menjaganya, merealisasikannya dan melindunginya. Sesungguhnya ini adalah hal yang muhkam yang tidak ada tasyabuh sedikitpun padanya.
Maka hal yang wajib bersama setiap khabar yang samar atas seseorang dari manusia atau yang diduga bertentangan oleh orang-orang yang menduga dengan inti yang muhkam ini, adalah dimasukkan di bawahnya dan ditafsirkan di atas dasarnya, karena ia adalah Ummul Kitab dan intinya, bukan ia dibenturkan dengannya dan tentangkan, apalagi bila berupaya menghancurkannya dengan khabar-khabar itu sebagaimana yang dilakukan oleh Murjiatul ‘Ashri untuk kesenangan para thaghutnya. “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat mutasyabihat ... “ hingga, “Dan adapun orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat........” hingga akhir ayat Ali Imran: 7.
Kami memohon kepada Allah ta’ala untuk menjadikan kami dan engkau dari golongan Ar Rasikhin Fil ‘Ilmi.
Asy Syathibiy berkata dalam Al I’tisham: “Al Furu’ al Juz’iyyah tidak mungkin menentangi al ushul al kulliyah karena al furu’ al juz’iyyah bila tidak menuntut pengalaman, maka ia berada dalam posisi tawaqquf, dan bia menuntut amalan, maka perujukan adalah kepada ushul, ia adalah ash shiratul mustaqim. Siapa yang membalikannya maka dia telah ngawur dan masuk dalam hukum celaan.” Selesai.
Dan dalam kadar ini ada kecukupan bagi penuntut Al Haq dalam bab ini. Dan adapun orang yang Allah inginkan kesesatan maka kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari Allah.
“Syubhat”
“Sesungguhnya Para Thaghut Dan Budak-Budaknya itu Shalat”
Dan dari uraian yang lalu nampaklah di hadapanmu kebatilan syubhat lain dari syubhat-syubhat mereka, yaitu ihtijaj mereka bahwa sebagian para thaghut dan budak-budaknya itu rajin melakukan shalat. Dan mereka menuturkan nushush yang di dalamnya shalat disebutkan sebagai penjaga darah, kemudian mereka mengira bahwa ia saja yang bisa menjaga darah, dan bahwa setiap orang yang shalat adalah muslim yang ma’shum darah dan hartanya meskipun melakukan berbagai nawaqidlul islam, bukankah dia shalat?
Sedangkan engkau sudah mengetahui bahwa nushush semacam ini harus digabungkan dengan mubayyinatnya dari nushush yang lain. Sehingga salaf membawanya kepada orang-orang yang shalat yang komitmen dengan tauhid lagi menjauhi syirik dan tandid serta nawaqidlul islam lainnya walaupun itu secara dhahir.
Seorang dari salaf pun tidak memahami bahwa macam orang-orang yang mana hadits-hadits itu dikatakan tentang mereka, adalah orang-orang muslim yang ma’shum dengan shalat saja, dengan disertai sikap mereka bertahakum kepada thaghut, membelanya dan mengikutinya umpamanya, atau disertai celaan terhadap dienullah atau istihza’ terhadap ajaran-ajarannya serta nawaqidlul islam lainnya, dan telah lalu firman Allah ta’ala: “Janganlah kalian cari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” (At Taubah: 66), sesungguhnya ia turun berkenaan dengan orang-orang yang menampakkan keislaman, shalat bahkan jihad, di mana mereka itu ikut keluar bersama Nabi saw dalam perang Tabuk, namun demikian Allah kafirkan mereka tatkala mereka melakukan suatu pembatal keislaman. Dan telah banyak kami ketengahkan macam-macam seperti ini yang menunjukkan kebatilan pemahaman yang sakit ini. Mayoritas mereka yng buruk dalam memahami nash-nash ini atau yang memalingkannya, engkau dapati mereka mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dan memvonisnya murtad, terus menganggap batal nikahnya, menjauhkan darinya istrinya dan menghalangi warisannya dari keluarganya yang muslim serta lawazim riddah lainnya, namun dalam waktu yang sama mereka ragu dalam takfier para thaghut pembuat hukum dan para budaknya, padahal menafikan keislaman dan keimanan dari orang yang meninggalkan al kufru biththaghut adalah lebih utama dari menafikannya dari orang yang meninggalkan shalat, karena al kufru biththaghut ada hal fardlu di awal saat difardlukan sedang saat itu belum ada shalat, zakat, dan yang lainnya. Sehingga di suatu waktu tertentu ia saja bersama al iman billah dan pengakuan bahwa Muhammad Rasulullah saw adalah penjaga akan darah dan tanda akan keislaman dan keimanan sampai waktu tertentu.... sebagaimana yang telah lalu. Dan karena sesungguhnya shalat setelah difardlukan juga tidak sah dan tidak akan sah kecuali dengan merealisasikan rukun yang agung ini, sedang ini adalah ma’lum dengan ijma’ kaum muslimin. Orang yang meninggalkan kufur terhadap thaghut tidak dinamakan muslim dan mu’min meskipun dia memiliki satu cabang atau banyak cabang dari al islam dan al iman, shalat dan yang lainnya, sampai dia realisasikan tauhid dan kufur kepada thaghut, bahkan seandainya dia mendatangkan seluruh cabang-cabang keimanan tentulah tidak bermanfaat selama dia telah meninggalkan cabang tertinggi dan syarat sah semuanya.
Dan dari ini engkau mengetahui kebatilan ihtijaj mereka untuk para thaghut yang rajin shalat dengan hadits-hadits ini, seperti hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw berkata: Akan ada para umara, di mana kalian mengenalnya dan mengingkarinya. Siapa yang mengenal maka ia telah berlepas diri dan siapa yang mengingkari maka ia selamat, namun orang yang ridla dan mengikuti.” Mereka berkata: Apa boleh kami memerangi mereka? Beliau berkata: “Tidak boleh selama mereka shalat.”
Asal pertanyaan ini adalah seputar khuruj terhadap para penguasa yang dzalim. Sedangkan Murjiatul ‘Ashri terbelalak matanya karena takut saat penuturan hal itu dan mereka menganggapnya tergolong fitnah dan fikrul Khawarij !! meskipun terhadap Aimmatul Kufri.
Penyebutan shalat di sini sebagaimana yang dituturkan ahlul ilmi adalah isyarat pada penegakan dien dan tauhid, dengan dalil apa yang telah lalu bahwa shalat itu tidak berarti bila tauhidnya telah hancur. Bisa saja seseorang itu shalat, zakat dan berjihad, namun demikian dia itu kafir lagi halal harta dan darahnya dengan sekedar keterjatuhan dia pada pembatal “laa ilaaha illallaah”. Oleh sebab itu An Nawawi berkata di dalamnya: “Adapun sabdanya: “Apa boleh kami memerangi mereka?” Beliau berkata: “Tidak boleh selama mereka shalat,” di dalamnya terkandung makna yang lalu yaitu bahwa tidak boleh khuruj terhadap para khalifah dengan sekedar dhalim dan fasiq selama tidak merubah sedikitpun dari qawaaid dien ini.” Selesai.
Dan engkau telah mengetahui bahwa masuk ke dalam islam itu bukan dengan shalat saja, akan tetapi mesti ada sebelum itu (perealisasian tauhid dan bara’ah dari syirik dan tandid), sedang ini adalah qawaaidul Islam yang paling penting dan paling agung, dan engkau telah tahu bahwa mereka itu telah menghancurkannya. Apa artinya shalat, zakat, shaum, haji, membangun masjid, penyerahan wakaf dan lainnya dan bukan seputarnya perseteruan itu terjadi bila mereka itu telah menghancurkan ashluddin dan merobek kalimatul ikhlas yang mana semua hal itu tidak akan diterima tanpanya dan tidak difardlukan kecuali sesudahnya. Dan ia adalah qawaid dien terbesar yang mana dien ini roboh dan amal-amal pun menjadi debu yang berterbangan dengan kehancurannya dan saya maksudkan di sini adalah mencari selain Allah sebagai pemutus dan menjadikannya sebagai ilah, rabb yang membuat hukum, dan mengharuskan manusia untuk masuk dalam dien (hukum)nya dan mengikuti aturannya yang menyelisihi syari’at Allah, serta menamakannya sebagai keadilan, sedangkan Allah mengetahu dan juga setiap orang yang Allah beri hatinya petunjuk bahwa itu adalah kekafiran, syirik dan kesesatan, di samping menghalangi (orang lain) dari dienullah dan memerangi auliya Allah ...... kemudian dikatakan: Dia itu kan masih suka shalat atau mereka itu masih shalat...!!
Syaikh Abdullathif Alu Asy Syaikh berkata dalam Mishbahudhdhalam hal: 328: Siapa orangnya yang menjadikan Islam itu adalah mendatangkan salah satu dari mabaniy saja disertai meninggalkan kekomitmenan akan tauhidullah dan bara’ah dari syirik maka dia itu manusia yang paling jahil dan paling sesat.” Selesai.
Orang-orang jahil itu mengakui bahwa orang yang mengingkari hari kebangkitan itu kafir lagi halal dan darahnya meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan mengucapkan laa ilaaha illallaah serta dia mengaku bahwa ia meyakininya. Dan (mereka) mengakui bahwa orang yang berpendapat akan kenabian seseorang setelah Nabi saw seperti Bahaiyyah dan Babiyyah serta yang lainnya bahwa mereka itu kafir dengan hal itu serta halal harta dan darahnya meskipun mereka itu shalat, shaum, zakat, haji, dan mengucapkan laa ilaaha illallaah sejuta kali.
Dan (meyakini) bahwa orang yang mengatakan bahwa Al Quran itu ditambah dan dikurangi, menganggap para sahabat berkhianat, mengkafirkan mereka dan mencela kehormatan wanita yang suci Ash Shiddiqah bintu Ash Shiddiq, bahwa dia itu kafir walaupun shalat, shaum, haji, zakat, memberikan yang seperlima, membangun banyak masjid dan mengucapkan laa ilaaha illallaah, serta dia sumpah bahwa dia meyakininya.
Kemudian bila kami tuturkan kepada mereka kekafiran para thaghut mereka yang nyata dan pembatal-pembatal keislaman mereka yang buruk, mereka lari darinya dan mengkiyaskan mereka dengan kiyas yang rusak lagi banyak perbedaan, yaitu dengan para penguasa yang aniaya yang menerapkan syari’at Allah... dan mereka berkata: Mereka shalat” Enyahlah bagi orang-orang yang zalim.
“Syubhat”
Bahwa Firman-Nya Ta’ala “Dan Siapa Yang Tidak Memutuskan
Dengan Apa Yang Telah Allah Turunkan Maka Mereka
Itu Adalah Orang-Orang Yang Kafir” Turun Tentang Kaum Yahudi Dan Ia
Khusus Bagi Mereka
Mereka memiliki syubhat lain dalam menambal (tarqi’) untuk (kekafiran) para thaghut yang membuat hukum lagi diibadati selain Allah, yaitu ucapan mereka bahwa firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir” turun tentang kaum Yahudi dan ia khusus bagi mereka.
Sedangkan bantahan atas hal ini adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Engkau mengetahui bahwa hukum asal pada mantuq ayat ini adalah dimaskudkan dengannya al kufrul akbar yang nyata(1), karena datangnya bentuk ma’rifat di dalamnya menunjukkan terhadap al kufrul haqiqiy, di mana ma’rifat, juga ma’rifat dan alif lam adalah tanda ma’rifat, sehingga tidak ada penunjukan ma’rifah yang lebih kuat dari ini, maka maknanya “mereka itulah yang lebih berhak terhadap cap kafir dari yang lainnya.(2)
Dan ini seperti apa yang diriwayatkan dalam hadits “Merekalah para syuhada itu” yaitu bahwa mereka itu dikhususkan dengan kesyahidan tidak para syuhada lainnya, sebagaimana yang dipahami dari jumlah ismiyyah yang kedua-duanya ma’rifat, serta dari dlamir (kata ganti) pemisah yang disisipkan antara mubtada’ dan khabar.(3)
Syaikh Abdul Majid Asy Syadziliy berkata dalam “Haddul Islam” pada ayat ini hal: 412: lafadh ini sesuai pemuthlaqannya, dan ia bukan nakirah dalam konteks itsbat seperti sabdanya saw: “Dua hal yang pada manusia, keduanya para mereka adalah kekafiran (kufrun), yaitu celaan terhadap keturunan.....”namun ia tetgolong yang diberi tanda ma’rifat dengan alif lam, bukan tergolong nakirah dan bukan pula tergolong yang diberi taqyid seperti dalam firman-Nya ta’ala: “dari air yang memancar” Mani dinamakan air dengan penamaan yang muqayyad, dan ia tidak masuk dalam nama yang muthlaq, di mana dia berfirman: “terus kalian tidak menemukan air, maka tayamumlah.” (An Nisa: 43)
Pada dasarnya al kufru pada ayat ini dibawa kepada kemuthlaqannya dan terhadap hakikat syar’iyyahnya yang asal, dan tidak boleh dipindahkan darinya terus dialihkan kepada Majaz atau diberi taqyid kecuali dengan dalil.
Catatan kaki:
(1) Dan ini tidak mencegah dari menggunakannya pada kufur ashghar dalam rangka membuat jera dan membuat takut para ahli maksiat dan orang-orang yang aniaya sebagaimana yang dilakukan banyak ahlul ilmi dalam ayat-ayat ancaman. Al Qurthubi berkata: Tidaklah dianggap menyimpang bila mengambil dari apa yang Allah turunkan buat kaum musyrikin hukum-hukum yang layak bagi muslimin” dan beliau berdalil denan istisyhad Umar ra dengan firman-Nya ta’ala: “Kalian telah lenyapkan kenikmatan-kenikmatan kalian di kehidupan dunia kalian........” Kemudian berkata: “Ayat ini nash pada orang-orang kafir, namun demikian Umar memahami penjera dari apa yang sejalan dengan keadaan-keadaan mereka sebagian kesejalanan, dan tidak seorang sahabat pun mengingkarinya” Selesai.
(2) Haddul Islam dan Haqiqatul Iman hal: 412
(3) Ad Durar As Saniyyah dari ucapan Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan dalam Juz Al Jihad hal: 157.
Catatan kaki selesai.
Sisi kedua: Engkau mengetahui bahwa hal ini – yaitu keberadaan ayat ini berbicara tentang kufur akbar yang mengeluarkan dari millah – adalah yang menjadikan banyak salaf mengatakan dalam penafsirannya bahwa ia tentang orang-orang kafir atau tentang Yahudi atau ahlul kitab, sebagaimana yang tsabit dari Al Bara’ Ibnu ‘Azib dalam shahih Muslim ucapannya,” tentang orang-orang kafir seluruhnya,” yaitu bukan tentang ahli maksiat dari kalangan muslimin, jadi ia berbicara tentang kufur yang mengeluarkan dari millah bukan tentang maksiat dan dosa-dosa yang tidak mengkafirkan.
Mereka hanyalah memaksudkan dengannya bantahan terhadap Khawarij, bahwa ia tidak dibawa kepada dhahirnya bila dikatakan pada hak kaum muslimin yang keliru atau kaum ahli maksiat atau orang-orang dhalim, karena membawanya kepada hal itu adalah menempatkannya bukan pada tempatnya, karena ia sebenarnya tentang kuffar yang mengubah qawaid dien ini dan aturan-aturannya lagi membuat hukum di samping (hukum) Allah apa yang tidak Dia izinkan, yaitu orang-orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan kaum Yahudi dan sebangsanya.
Bila seseorang melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan, maka ayat itu mencakup dia sesuai dhahir ayat tersebut, namun bila yang dibicarakan itu dari kalangan ahli maksiat atau orang-orang dhalim atau orang-orang yang keliru, maka tidak sah menempatkan ayat itu pada mereka sesuai dhahirnya, kecuali dengan takwil bahwa yang dimaksud adalah juhud atau istihlal atau yang semacamnya. Begitulah yang dilakukan oleh ulama kita ahli tahqiq, maka pahamilah ini baik-baik, karena ia memutus syubuhat Murjiatul ‘Ashri dalam bab ini.
Saya telah menemukan ucapan Asy Syadziliy dalam kitabnya “Haddul Islam wa Haqiqatul Iman” yang persis seperti hal ini, yang ringkasnya: Bahwa Khawarij ingin memasukkan dalam kata (siapa) sikap aniaya dalam hukum, kezaliman putusan dan segala bentuk penyimpangan syar’iy, dan mereka ingin tidak merasa cukup dengan takfier pemimpin dengan maksiat sampai mereka mengkafirkan seluruh rakyat bersamanya. Dan ini adalah hal yang ma’lum kebatilannya dalam dien ini secara pasti, oleh sebab itu hal tersebut diingkari oleh para sahabat Rasulullah saw, at tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dari kalangan tiga generasi pertama, dan mereka mengatakan apa yang mereka katakan dalam tafsir ayat-ayat ini sebagai bantahan terhadap mereka, serta ucapan mereka dalam hal ini sesuai dengan kebutuhan yang hadir.” Selesai.
Dan terus beliau menuturkan perlakuan Murjiatul ‘Ashri – yang lalu – dalam bersandar kepada ucapan Ibnu Abbas, Abu Mijlaz dan yang lainnya – dalam bantahan mereka terhadap sikap Khawarij – supaya mereka berdalil dengan hal itu bahwa orang yang mengembalikan urusan saat terjadi perselisihan kepada ajaran lain selain ajaran Allah adalah tidak keluar dengan hal itu dari millah. Kemudian beliau berkata: Khawatij membiarkan hukum di atas dhahirnya dan memalingkannya kepada selain tempatnya, sedangkan mereka (Murjiah) mentakwilnya dalam tempatnya dan dalam selain tempatnya....” Selesai.
Sisi Ketiga: Dilkatakan, dan dikarenakan apa yang telah lalu, maka sesungguhnya orang yang mengatakan bahwa turun tentang Yahudi tidaklah melarang bahwa ia umum mencakup setiap orang yang terjatuh pada perbuatan yang pernah mereka lakukan, karena yang menjadi acuan dalam nushush syar’iyyah yang umum adalah keumuman lafadh bukan kekhususan sebab. Dan (siapa) baik itu maushulah atau syarthiyyah atau istifhamiyyah, maka sesungguhnya ia tergolong shighat umum – sebagaimana hal itu ma’lum menurut Ahlul Ushul – dan ia pada ayat ini datang dalam bentuk konteks syarat, sehingga ia mencakup dan meliputi setiap orang yang dicakup oleh lafadh ini secara muthlaq meskipun awal turunnya tentang kaum tertentu.
Hukum asal pada lafadh yang umum adalah kecakupannya terhadap seluruh individu-individunya dan tidak boleh dianggap khusus kecuali dengan dalil.
Syikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam pembicaraannya tentang Tattar: “Sesungguhnya nushush Al Kitab dan As Sunnah yang mana keduanya adalah dakwah Muhammad saw mencakup seluruh makhluk dengan al umum al lafdhiy atau dengan umum makbawiy, dan perintah/larangan Allah ta’ala dalam kitab-Nya dan dalam Sunnah Rasul-Nya saw meliputi akhir umat ini sebagaimana ia meliputi awalnya.”(1)
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rh berkata dalam Ad Durar As Saniyyah: “Pendapat (bahwa Khithab Allah dalam Kitab-Nya dan khithab Rasul-Nya dalam sunnahnya hanyalah berkaitan dengan orang-orang yang mana ia turun dengan sebab mereka tidak selain mereka) adalah tidak dikatakan sekalipun oleh orang yang paling buta dan paling bodoh akan syariat ini dan hukum-hukumnya, bahkan tidak berani mengatakannya seorangpun dari kalangan yang mendebat dengan kebatilan karena ia menjaga dirinya dari tuduhan bodoh dan tuduhan sesat, sebab sesungguhnya (pernyataan) ini tergolong bukti yang paling jelas menjelaskan akan kebodohan dan kesesatannya, (2) serta ini mengharuskan orang yang memiliki pendapat itu untuk ta’thil (menggugurkan) syariat dan celaan terhadap para sahabat Rasulullah dalam sikap mereka memerangi orang murtad dari Islam setelah wafat Nabi saw....” Dan terus beliau menuturkan wajibnya tahkimul quran dan mengedepankannya secara muthlaq, maka silakan rujuk itu dalam juz Al Jihad: 89.
Catatan kaki:
(1) Dinukil dari Ad Durar As Saniyyah, Juz Al Jihad hal: 84.
(2) Saya berkata: Sungguh telah berani mengatakannya Afrakhul Murjiah secara sering dan berulang kali pada zaman sekarang ini memperkenalkan kepadamu akan kadar kebodohan, kepandiran, kesesatan, dan sikap jidal mereka dengan kebatilan.
Catatan kaki selesai.
Putera beliau Abdullathif berkata dalam Misbahudhdhalam: “Sesungguhnya orang yang mencegah penempatan Al Quran dan hukum-hukum yang ditunjukkannya terhadap individu-individu dan kejadian-kejadian yang masuk di bawah al umum al lafdhiy, maka dia itu adalah orang yang paling sesat dan paling bodoh terhadap apa yang diyakini Ahlul Islam dan ulama mereka sejak berabad-abad dan generasi demi generasi, dan ia tergolong orang yang paling dahsyat pengguguran dan peng-hajr-annya terhadap Al Quran serta peng’azlannya dari sikap berdalil dengannya dalam tempat-tempat perselisihan, Allah ta’ala berfirman: “Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An Nisaa: 59).
Sedangkan pengembalian kepada Allah adalah pengembalian kepada Kitab-Nya dan pengembalian kepada Rasul adalah pengembalian kepada Sunnahnya. Dan Dia ta’ala: berfirman: “Supaya aku memberikan peringatan kepada kalian dengannya dan kepada orang yang sampai Al Quran kepadanya.” (Al An’am: 19), jadi nushushnya dan ahkamnya umum, tidak khusus dengan kekhususan sebab.
Dan apa larangannya dari takfir orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan Yahudi dalam hal menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah dan kafir terhadapnya padahal dia mengetahuinya?” Selesai hal: 140.
Syaikh Abdullathif juga berkata dalam juz Mukhtasharat Ar Rudud pada Ad Durar: Di antara sebab-sebab yang menghalangi dari memahami Kitabullah adalah bahwa mereka mengira bahwa apa yang Allah hikayatkan tentang kaum musyrikin, apa yang Dia voniskan terhadap mereka dan labelkan terhadap mereka adalah khusus bagi orang yang telah lalu dan manusia yang telah lewat dan habis serta tidak meninggalkan pewaris. Dan bisa saja sebagian mereka mendengarkan ucapan orang yang mengatakan dari kalangan ahli tafsir: Ayat ini turun tentang ibadah mereka kepada berhala, ini turun tentang nashara, ini turun tentang Ash Shabiah, terus orang bodoh itu mengira bahwa itu khusus bagi mereka dan bahwa hukum itu tidak melampaui mereka. Dan ini adalah tergolong sebab terbesar yang menghalangi seseorang dari fahmul Qur’an dan As Sunnah.” Selesai.
Cucu beliau Syaikh Ibrahim Ibnu Abdillathif Ibnu Abdurrahman berkata dalam syairnya:
Siapa yang membatasi ayat-ayat Al Kitab terhadap
Sebab-sebab turunnya maka ia telah mendapatkan kerugian
Penganggapan itu adalah umumnya lafadh, telah mengatakan dengan hal ini
Orang yang telah membangun pilar-pilar bagi millah yang lapang ini.
Merekalah para penunjuk jalan yang Rasul telah menegaskan akan
Keutamaan mereka dari sisi zaman, ilmu dan pengetahuan(1)
Oleh sebab itu semuanya sungguh telah tsabit dari Hudzaifah dengan sanad yang shahih bahwa beliau mengingkari klaim kekhususan dalam ayat-ayat ini, di mana ayat-ayat ini telah dituturkan kepadanya, maka seorang laki-laki berkata: “esungguhnya ini pada Bani Israil” maka Hudzaifah berkata: “Sebaik-baiknya saudara bagi kalian adalah Bani Israil, bila bagi kalian setiap yang manis, dan bagi mereka setiap yang pahit, tidak demikian demi Allah, sungguh kalian akan menempuh jalan mereka sedikit demi sedikit.”
Dan Ibnu Katsir menuturkan dari Al Hasan Al Bashri, bahwa ia berkata: “Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan Ahlul Kitab dan ia wajib atas kita.” Selesai.
Ismail Al Qadli berkata dalam Ahkamul Quran: “Dhahir ayat-ayat ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan seperti apa yang mereka lakukan dan menciptakan hukum yang dengannya ia menyelisihi hukum Allah serta menjadikannya sebagai dien(2) (sistem/hukum/undang-undang) yang diberlakukan, maka dia telah pasti mendapatkan apa yang telah mereka dapatkan, berupa ancaman yang disebutkan, baik itu hukum atau yang lainnya.” Selesai dari Fathul Bari 13/120.
Catatan kaki:
(1) Hal. 410 dari Ad Durar As Saniyyah Juz Mukstasharat Ar Rudud.
(2) Lafadh dien, datang dengan makna undang-undang pemerintahan dan sistemnya, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang Yusuf: “Tidak mungkin dia membawa saudaranya ke dalam dienul malik (undang-undang raja).”
Catatan kaki selesai.
Al Qasimiy berkata dalam tafsirnya Mahasinatuttakwil hal 1999: “Apa yang dikeluarkan Muslim dari Al Bara’: Bahwa firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allag turunkan..............” (Al Maidah: 44) tiga ayat ini semuanya tentang orang-orang kafir, dan begitu juga apa yang dikeluarkan Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa ayat-ayat itu tentang orang-orang Yahudi, terutama Bani Quraidhah dan Bani Nadlir, tidaklah menafikan kebercakupannya terhadap selain mereka, karena yang menjadi patokan adalah keumuman lafadh bukan kekhususan sebab, dan kata (siapa) berada pada konteks syarat, sehingga ia berfaidah umum.” Selesai.
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdullah Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam penjelasannya terhadap Tauhidul Khallaq hal 141: “Sababun nuzul meskipun khusus, maka keumuman lafadh bila tidak dinasakh adalah mu’tabar (dianggap), dan karena firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan....” (Al Maidah: 44) adalah ungkapan yang masuk di dalamnya kata (siapa) dalam konteks syarat, maka memberikan faedah umum.” Selesai.
Dan ucapan ahlul ilmi dalam hal ini sangat banyak............
Bagaimanapun keadaannya, maka sungguh telah nampak di hadapanmu bahwa ayat-ayat itu mencakup setiap orang yang mengganti aturan-aturan Allah dan membuat hukum lain di samping (hukum) Allah, baik dia membuat undang-undang atau undang-undang dasar atau piagam atau keputusan (seperti SK, Kepres, dll, Pent), semua itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah, selama pelakunya atau orang yang mengikutinya telah memberikan bagi dirinya atau menjadikan bagi selain dirinya wewenang pembuatan hukum (UU/UUD) sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Undang-undang mereka, hukum-hukum mereka dan para thaghut mereka yang bersifat lokal dan internasional.
Dan dari ini engkau mengetahui kesesatan Murjiatul ‘Ashri dan kesesatan syaikh-syaikh mereka dalam menempatkan ucapan-ucapan salaf seputar ayat-ayat ini dalam bantahan mereka terhadap Khawarij – yang menerapkan ayat-ayat ini bukan pada tempatnya – kepada para thaghut masa kini yang merujuk kepada thaghut-thaghut (UU/UUD) bahkan mereka telah menjadi thaghut dan telah menjadikan aturan selain aturan Allah sebagai hukum dan dien yang mereka pegang (anut).
Mereka (Murjiatul ‘Ashri) dengan thariqah yang pincang dan manhaj mereka yang sesat ini menghukumi keislaman dan keimanan orang-orang yang padahal kaum muslimin telah ijma akan kekafirannya.
Ibnu Katsir rh berkata dalam Al Bidayah Wan Nihayah 13/119: Siapa yang meninggalkan aturan yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah Khatamul Anbiya, dan dia merujuk hukum kepada selainnya berupa ajaran-ajaran yang telah dihapus (mansukh), maka ia telah kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk kepada Alyasa – yaitu Yasiq (undang-undang) Tattar – dan ia mendahulukan (Alyasa) itu terhadapnya, tidak ragu bahwa ini kafir dengan ijma kaum muslimin.” Selesai.
Sedangkan mereka telah menjadikan Yasiq lokal yang mereka namakan (UUD) dan yasiq dunia internasional yang mereka namakan (piagam) yang mereka kedepankan keduanya serta hukumnyalah yang menjadi acuan lagi yang berlaku di tengah mereka, sedangkan hukum Al Kitab ditelantarkan, diganti dan dicampakkan begitu saja.(1)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu Al Fatawa 28/524: Dan suatu yang maklum secara pasti dari dienul muslimin dan dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang melegalkan mengikuti selain ajaran Islam, atau mengikuti aturan selain aturan Muhammad saw, maka ia kafir.” Selesai.
Catatan kaki:
(1) Dan kami telah merinci bahasan dalam bab ini pada kitab kami (Kasyfun Niqab ‘An Syari’atil Ghab), dan kami tetapkan dengan dalil-dalil dari ucapan-ucapan mereka dan teks-teks undang-undang mereka bahwa mereka itu mengedepankan yasiq mereka ini terhadap syari’at Allah yang muhkam, karena kekuasaan itu menurut mereka hanyalah baginya, dan adapun Kitabullah ta’ala maka menurut mereka tidaklah memiliki kekuasaan dan nilai hukum bila tidak ada dukungan teks UUD atau UU. Dan mereka telah menegaskan dalam UU mereka bahwa “Tidak ada sanksi kecuali dengan teks UU” dan mereka menegaskan dalam yasiq mereka bahwa nidhamul hukmi (sistem pemerintahan) yaitu “dienul malik” adalah demokrasi bukan syari’at Allah dan bukan pula aturan-aturannya, sebagaimana dalam ayat (6) UUD Kuwait..... silakan rujuk ke sana – yaitu Kasyfun Niqab – dan di dalamnya engaku akan mendapatkan tambahan pentungan yang dengannya engkau menghajar syubhat-syubhat ahlut tajahhum wal irja dan para tokohnya.
(2) Maka bagaimana dengan orang yang mengharuskan atau mewajibkan dan memenjarakan, menyiksa, memerangi, dan membunuh atas dasar itu? (sudah cukup tidur kalian wahai kaum)!
Catatan kaki selesai.
Bagaimana ijma tidak terjalin atas hal seperti ini sedangkan engkau telah mengetahui bahwa ia tergolong ashluddin dan qaidahnya, karena kufur kepada thaghut adalah separuh kalimat ikhlas dan tauhid serta pusat roda dakwah para Nabi dan Rasul, dan karenanya terjadi dan senantiasa terjadi perseteruan, dan di dalamnya terjadi pertentangan, keselamatan dan kebinasaan.
Mereka – yaitu Murjiatul ‘Ahsri – dengan pentakwilan-pentakwilan, syubhat-syubhat dan sikap ngawurnya itu mendobrak ayat-ayat Al Kitab, hadits-hadits Rasul, Ashluddin, dakwah para rasul dan ijma ahlut tauhid....... Enyahlah mereka.
Siapa yang Allah tidak jadikan cahaya baginya maka dia tidak punya cahaya.
Syubhat
Bahwa Firman-Nya Ta’ala: “Demi Tuhanmu mereka itu tidaklah
Beriman sampai menjadikan kami sebagai hakim.......”
Adalah Penafian Akan Kesempurnaan Iman
Bukan Intinya
Inilah sesungguhnya kami telah berdalil atas kekafiran ath thawaghut al musyarri’in (para thaghut yang membuat hukum) dengan firman-Nya ta’ala: “Demi Tuhanmu mereka itu tidaklah beriman sampai mereka menjadikan kami sebagai hakim dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapatkan sedikitpun keberatan dalam diri mereka dari apa yang kamu putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa: 65)
Allah swt telah bersumpah dengan muqsam bih terbesar dan menguatkan sumpah-Nya dengan pengulangan alat penafian dua kali atas penafian iman dan islam dari orang yang tidak menjadikan syariat Allah sebagai hukum apalagi kalau mendapatkan dalam dirinya keberatan meskipun sedikit dari hukum Allah ta’ala.(1)
Kemudian sesungguhnya sebagian Murjiatul ‘Ashri menjawab atas kami dengan tipu daya syaithan dan bisikannya, dan mereka mengklaim bahwa iman yang dinafikan dalam ayat ini adalah kamalul iman bukan ashlul iman. Sedangkan jawaban kami atas hal ini dengan taufiq Allah adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Sebelumnya kami ingatkan bahwa ayat ini bihamdillah bukanlah satu-satunya dalil yang menunjukkan kekafiran thawaghut musyari’in, anshar mereka, kroni-kroni mereka dan budak-budak mereka, akan tetapi ia adalah salah satu dalil dari mata air sungai dalil yang tak habis, sebagian darinya telah lalu, dan yang lainnya dijabarkan di tempat lain. Yang paling pertama dan yang paling tinggi adalah mereka terhadap ashluttauhid dan penggugurannya terhadap qaidahnya dengan pembuatan hukum di samping Allah (baik dalam negeri) atau dengan dengan menjadikan selain-Nya swt hakamn (pemutus hukum) dan musyarri’ (internasional), sedangkan ini menggugurkan kalimat ikhlash dan ashlul ushul yang mana dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah dari awal hingga akhir berputar sekitar hal itu. Jadi masalahnya bukanlah seperti apa yang diduga oleh Murjiatul ‘Ahsri yaitu masalah ayat yang mereka takwil seperti yang mereka inginkan dan masalahnya selesai, akan tetapi dominannya kejahilan, banyaknya syirik, berbaur dengan ahlisy syirki dan ansharnya, duduk-duduk dengan mereka, makan bersama mereka dan rukun (cenderung) terhadap mereka telah menutup bashirah mereka, menghalangi hati mereka dari pentunjuk dan kebenaran yang nyata, dan menghalangi antara mereka dengan sikap membedakan al kufru dari al iman dan tauhid dari asy syirki dalam masalah-masalah yang mana ia tergolong urusan-urusan yang paling jelas dalam dienul islam.
Kemudian kami katakan: Sesungguhnya penafian al iman atau ancaman dalam bab-babnya tidaklah datang karena taqshur dalam kamalul iman(2), akan tetapi tidak terjadi kecuali atas pengguguran ashlul iman atau pengurangan al iman al wajib, kemudian sesudahnya ditarjih mana salah satu dari dua hal itu yang dimaksud oleh syar’i dengan dalil-dalil syar’i atau qarinah-qarinah nash itu sendiri atau dari nushush lainyya yang menjelaskan.
Catatan kaki:
(1) Karena (keberatan) datang dengan bentuk nakirah dalam konteks penafian, sedangkan ini tergolong shighat umum, sehingga mencakup seluruh macam keberatan, banyak dan sedikit, karena sesungguhnya menafikan baik terhadap ashlul iman atau terhadap al iman al wajib, sebab Allah tidak menafikan al iman dari orang yang taqshir dalam kamalul iman al mustahab, dan dalam kasyfun niqab kami telah utarakan: “Keberatan mereka yang sangat dan jelas dari menjadikan syari’at Islamiyyah sebagai hukum satu-satunya yang berlaku dalam sistem pemerintahan mereka.” Sebagaimana mereka tegaskan atas hal itu dalam lembaran tafsiriyyah mereka terhadap ayat dua dari UUD Kuwait dan inilah makna harfiyyahnya” Keberatan yang sangat dari tauhidullah dan mengesakanNya dengan ibadah dalam bab tasyri’” yaitu “ keberatan yang sangat dari ibadah kepada Allah saja dan kufur terhadap thaghut” atau “keberatan yang sangat dari laa ilaaha illallaah” maka perhatikanlah kekafiran yang nyata ini dan ketahuilah sesungguhnya itu tidak berhenti pada thaghut musyarri’ saja, namun ia mencakup setiap orang yang mendukungnya atau orang yang menuntut pemberlakuannya atau memujinya atau membelanya atau mencintainya atau menyatakan: Saya tidak berlepas diri darinya, atau menyebutnya dengan keadilan....bagaimanapun jenggotnya panjang dan bagamanapun intimanya.
(2) Dan lihat Majmu Fatawa Syaikhul Islam 7/15.
Catatan kaki selesai.
Bila hal ini telah diketahui meka sesunggunya hal ma’ruf lagi diketahui secara umum di kalangan ahlul ilmi adalah bahwa hukum asal pada lafadh-lafadh itu adalah haqiqat sebenarnya dan dhahirnya, serta lafadh itu tidak dipalingkan dari makna haqiqinya yang dhahir kepada majaz kecuali dengan dalil....bahkan al muhaqqiqun di antara mereka menetapkan bahwa sama sekali tidak ada majaz dalam Al Quran.
Dan kami mengatakan sesungguhnya penafian di sini adalah penafian akan haqiqat al iman yaitu ushul iman, dan yang menyatakan hal ini kembali kepada hukum asal, sedangkan orang yang mengklaim bahwa penafian itu terhadap selain itu adalah keluar dari hukum asal lagi dituntut untuk mendatangkan dalil.
Ibnu Hazm rh berkata dalam Al Fashl 3/293 tentang ayat ini: Ini adalah nash yang tidak mengandung takwil, dan sama sekali tidak ada nash yang mengeluarkannya dari dhahirnya, serta tidak ada burhan yang mengkhususkan pada sebagian sisi-sisi keimnanan.” Selesai.
Di samping ini sesungguhnya lafadh di sini bukan (makna) lughawi murni, namun ia makan syar’iy yang khusus. Dan banyak dari ahli ilmu di antaranya pensyarah Ath Thahawiyyah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa lafadh al iman bersama al islam bila keduanya berkumpul maka keduanya memisah dengan makna (masing-masing), dan bila keduanya terpisah maka keduanya menyatu (dalam makna). Dan makna ini adalah bila salah satunya menyendiri maka ia mencakup makna yang satu lagi dan hukumnya. Sedangkan di sini lafadh iman datang menyendiri maka ia mencakup islam bersamanya, sehingga penafian iman dalam ayat itu adalah penafian terhadap Islam dan iman.
Dan ini dibuktikan juga dengan konteks ayat-ayat dalam surat itu sendiri dan sebelum ayat ini beberapa ayat, maka sesungguhnya ia menafikan ashlul iman, seperti firman-Nya ta’ala: “Kemudian bila kalian berselisih pada sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, bila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (An Nisa: 59)
Ibnu Katsir rh berkata: Maka ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengacu dalam tempat perselisihan kepada Al Kitab dan As Sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya dalam hal itu maka tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.” Selesai.
Dan penyebutan iman kepada Allah dan hari akhir dalam ayat ini menurut syubhat ucapan akan kamalul iman, karena (iman kepada hari akhir) adalah satu cabang dari cabang-cabang iman yang inti yang bila ia lenyap maka lenyaplah ashlul iman, dan di antara firman Allah ta’ala sebelumnya juga “Apa engkau tidak melihat kepada orang-orang yang mengaku bahwa mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada engkau dan apa yang telah diturunkan sebelum engkau, mereka itu ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka itu sudah diperintahkan untuk kafir terhadap (thaghut) itu dan syaithan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh. Dan bila dikatakan kepada mereka: “Marilah kalian (mengikuti) apa yang yang telah diturunkan Allah dan (mengikuti apa yang telah diturunkan kepada) Rasul” maka melihat orang-orang munafiq menghalang-halangi (manusia) dari (mengikuti) mu.” (An Nisa: 60-61)
Bila saja keinginan tahakum kepada thaghut adalah menggugurkan kufur terhadapnya yang telah Allah fardlukan atas hamba-hamba-Nya dan Dia perintahkan mereka dengannya, maka bagaimana dengan tahakum itu sendiri, bahkan bagaimana dengan apa yang terjadi hari ini, yaitu menjadikan kewenangan pembuatan hukum secara sempurna dan dalam setiap bab di tangan thaghut dan sebagai salah satu hak (kewenangan) dari hak-haknya, baik si thaghut ini bersifat internasional atau lokal, atau berwujud amir (raja, presiden, sultan, dll, Pent) atau anggota dewan (wakil rakyat) atau ia berwujud Piagam ataupun UUD.
Dan sudah ma’lum dari Ashli dienil Islam bahwa al kufru bith thaghut adalah rukun tauhid dan syarat sah al iman billah bukan syarat kesempurnaan. Iman kepada thaghut adalah kufur terhadap Allah lagi mengggurkan ashlul iman wat tauhid wal islam, jadi yang didustakan lagi dinafikan dalam ayat ini adalah ashlul iman dan haqiqatnya bukan kesempurnaannya yang wajib, apalagi kalau itu kesempurnaannya yang mustahab.
Begitulah, konteks ayat-ayat itu seluruhnya sebelum ayat bab ini adalah seputar lenyapnya ashlul iman bukan kesempurnaannya, kemudian datang ayat ini sebagai nash dalam bahasan ini.
Dan ini seperti yang sebelumnya, orang yang menyatakan ini mengambil hukum sebelumnya untuk ashlul khithab yang terkandung dalam konteks, sedangkan orang yang mengeluarkan hal itu darinya adalah keluar dari hukum asal ini lagi dituntut untuk mendatangkan dalil.
Adapun haraj (keberatan) yang disebutkan dalam ayat itu, maka ia bukanlah qayyid (batasan) untuk penafian haqiqat al iman di sini, atau qayyid pada kekafiran orang yang menolak tunduk kepada hukum Allah, namun keberadaannya - sebagaimana yang telah lalu – hanyalah tambahan dalam kekafiran. Maka orang yang merasa keberatan dari syariat Allah adalah kafir baik ia menerapkannya atau tidak menerapkannya.
Orang yang menolak untuk tunduk kepada hukum Allah adalah kafir meskipun tidak menampakkan sikap keberatan darinya dan bisa jadi dua kekafiran berkumpul pada seseorang, sehingga kekafirannya kufur murakkab (berlipat), maka ia sebenarnya adalah tambahan hukum bukan qayyid bagi hukum.
Al Jashash berkata dalam Ahkamul Quran tentang ayat ini setelah menuturkan sebagian makna-makna haraj, dan di antaranya merasa sempit atau ragu: “Dan dalam ayat ini ada dilalah yang menunjukkan bahwa orang yang menolak suatu dari perintah-perintah Allah ta’ala atau perintah-perintah Rasul-Nya saw, maka ia keluar dari Islam.
Sama saja baik ia menolaknya dari sisi keraguan
Atau meninggalkan penerimaan dan menolak dari pemasrahan
Dan itu mengharuskan sahnya apa yang diyakini para sahabat dalam vonis mereka akan riddahnya orang yang menolak dari membayar zakat, vonis mati mereka dan menawan anak-anak dan para wanita mereka, karena Allah ta’ala menghukum bahwa orang yang tidak tunduk kepada Nabi saw, maka ia bukan tergolong Ahlul Iman.” Selesai.
Ibnu Hazm berkata dalam Al Fashl tentang ayat ini 3/235: “Maka Dia ta’ala telah menegaskan dan bersumpah dengan diri-Nya bahwa orang itu tidak mu’min kecuali dengan tahkim Nabi saw dalam setiap masalah yang dipersilisihkan, kemudian menerima dengan hatinya dan tidak mendapatkan dalam dirinya rasa keberatan dari apa yang beliau putuskan.
Maka sahlah bahwa tahkim adalah suatu hal di luar taslim dengan hati, dan bahwa ia adalah al iman yang tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mendatangkannya.” Selesai.
Dan khulashanya wahai saudara tauhid, bahwa masalah kita sebagaimana yang telah kami katakan berulang-ulang adalah bersama orang yang telah menghancurkan tauhid terus mereka beriman kepada thaghut, dan mereka tidak kafir terhadapnya, sedangkan ini adalah salah satu pembatal keislaman dan keimanan, dan perbuatan kekafiran yang nyata yang tidak usah dicari tentang keyakinannya atau istihlal qalbiy atau taharruj (keberatan) hati, serta tidak boleh itu dijadikan sebagai qayyid (batasan) bagi kekafiran di sini, karena ini adalah hal-hal ghaib dan sebab-sebab kekafiran yang tidak nyata dan tidak mudlabith dalam hukum-hukum dunia dan tidak jalan untuk mengetahuinya kecuali dari dua sisi:
Bisa lewat jalan wahyu atau di pelakunya menyatakan dan mengucapkan dengan lisannya dan mengabarkan tentang istihlal dan keberatan hatinya.
Dan ketahuilah sesungguhnya para thaghut dan antek-anteknya itu di sini telah terbukti pada diri mereka kedua sisi ini, di mana mereka itu adalah makhluk paling kafir.
Nash wahyu telah menegaskan sebagaimana yang telah lalu dalam ayat-ayat itu terhadap pendustaan iman orang yang tidak kafir terhadap thaghut dan ingin berhukum kepadanya, maka kami menghukumi batilnya keimanan orang-orang macam mereka secara lahir batin sebagai bentuk pembenaran terhadap Allah dan keimanan terhadap kalimat-kalimatNya (dan ini adalah hukum dan bukan qayyid buat hukum). Dan kami mendustakan orang yang berhakim kepada thaghut walaupun dia mengklaim jujur, iman, taufiq dan ihsan dan walaupun dia menyatakan bahwa syari’at adalah lebih afdhal dari dien (hukum) thaghut dan undang-undangnya dan walau ia mengatahui wajibnya tahkim syari’at atau berkata: Doakanlah kami atau bantulah kami.........serta ucapan lainnya yang dengannya mereka mentertawakan orang-orang dungu, dan dengannya orang-orang seset menutupi kekafiran mereka.........selama ia terus dalam tahakum kepada thawaghit lagi masuk dalam diennya juga tidak kafir terhadapnya. Ini dari satu sisi.
Dan dari sisi lain, sesungguhnya para thaghut itu telah menegaskan dalam catatan penafsiran mereka terhadap UUD – sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam kasyfun niqab – dan mereka menegaskan atas sikap keberatannya dari tauhidullah dan ifrad-Nya dalam tasyri, dalam penafsiran mereka akan ayat dua dari yasiq mereka (UUD, maksudnya)
Dan dari ini engkau mengetahui bahwa kekafiran mereka itu adalah kekafiran yang berlapis dengan kesaksian Allah dan wahyu-Nya serta dengan penegasan mereka sendiri juga.
Namun dengan ini Afrakhul Murjiah sangat bersikap wara’ dalam takfir mereka, terus mereka mengharamkan darah dan hartanya, bahkan mereka shalat bermakmum di belakangnya (1) dan meminta pertolongannya untuk menyerang orang yang menyelisihi mereka dan menyelisihi madzhab mereka yang rusak walaupun orang yang menyelisihi itu dari kalangan ahli tauhid,(2) dan mereka mencapnya sebagai Khawarij – yang kafir menurut pendapat sekelompok dari salaf – karena para muwahhidin itu kafir terhadap thaghut dan mereka mengkafirkannya bersama auliya dan ansharnya, padahal Afrakhul Murjiah itu enggan mengkafirkan orang-orang yang telah engkau lihat keadaannya, di waktu yang mana mereka tidak bersikap wara’ dan tidak komitmen dengan hududullah dalam menyikapi kami, di mana mereka mengkafirkan kami dengan sebab pemurnian tauhid, persis seperti keadaan khashum durat tauhid di setiap zaman..... Ibnul Qayyim rh berkata:
Dan Khushum kami telah mengkafirkan kami dengan suatu
Yang mana ia adalah puncak tauhid dan iman
Dan kami menyerahkan mereka kepada Rabbul ‘Alamin pada hari di mana orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang-orang yang mengikuti, dan Yang Maha Perkasa memanggil mereka: “Mana sekutu-sekutu Aku yang dahulu kalian klaim” (Al Qashash: 74).
Dan pada harinya kami akan angkat pengaduan kami kepada Rabbul ‘Alamin dan kami akan mengatakan: Ya Rabb mereka telah menuduh kami sebagai ahlil bid’ah, mereka telah memfitnah kami dan dusta atas nama kami dengan apa yang telah engkau ketahui, karena kami mengkafirkan orang yang telah menghancurkan tauhid serta membela syirik dan tandid.
Ya Rabb kami tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah Engkau kafirkan dalam kitab-Mu dan yang telah Rasul-Rasul-Mu kafirkan.....Ya Rabb kami telah kafirkan musuh-musuh dienMu sebagai bentuk pembenaran terhadap firman-Mu pengikutan terhadap rasul-rasul-Mu, pengimanan terhadap Kitab-Mu dan pembelaan terhadap syariat-Mu.
Adapun kalian wahai Afrakhul Murjiah, apa yang kalian katakan? Dengan apa akan kalian jawab dan kalian bentengi? Apa akan mengatakan: Ya Rabb kami bersikap wara’ dari takfier musuh-musuh dien-Mu yang telah engkau cap kafir mereka dalam kitab-Mu, dan kami hukumi mereka sebagai orang-orang islam karena sikap wara’, hati-hati dan tanazzuh (bersih diri)..dan kami bid’ahkan – dan bahkan bisa kami kafirkan – orang yang kafirkan mereka dan kami terapkan vonisMu terhadap mereka, kami bodoh-bodohkan mereka, kami perangi mereka dan kami halangi manusia dari mengikuti dakwahnya?
Maka singsingkanlah lenganmu wahai ahluttauhid untuk nushrah dienillah, janganlah kamu peduli atau merasa terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi dan orang-orang yang menggembosi, dan persiapkanlah untuk hari perhelatan di hadapan para penguasa langit dan bumi untuk menghujat musuh-musuh dien ini, auliya mereka dan ansharnya di sisi wali kita dan penolong kita.
Catatan kaki:
(1) Sebagaimana yang dilakukan anggota-anggota lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar Kuwait At Turatsiyyah (dari kalangan para pengaku salafi) dalam sebagian kunjungan mereka kepada thaghut, di mana si thaghut itu mengimani mereka dan mereka shalat di belakangnya. Dan tidaklah aneh dari hal ini selagi kita sering membaca (tulisan) jama’ah mereka dan kami mendengar dari jam’iyyah mereka (jam’iyyah ihyautturats) pujian terhadap pemerintah dan tuntutan untuk memberlakukan UUD dan kembalinya parlemen paghanisme, lembaga amar ma’ruf nahi munkar macam apa ini yang mana para pengikutnya mengakui kemungkaran terbesar negeri ini (syirik UUD) dan menghapus hal yang ma’ruf terbesar (tauhid)?
(2) Ali Al Halabiy punya fatwa yang mewajibkan dengannya menyampaikan laporan tentang orang-orang yang dia cap sebagai kaum takfiriy kepada penguasa-penguasa kafir, kami cantumkan fatwa itu dalam catatan kaki kitab kami “Kasyfu Syubuhatil Mujaddin ‘An ‘Asakirisysyirki Wa Ansharul Qawanin”
Mereka tidak lari kepada dalil namun
Di kala lemah tempat pengaduan mereka kepada penguasa
Catatan kaki selesai.
Syubhat
Bahwa Nabi Saw tidak mengkafirkan dan tidak membunuh
Seorang Anshar yang Memprotes Putusan Beliau dalam
Syiraajul Harrah(1) dan tidak pula (membunuh) orang
Orang munafik yang merintangi hukum Allah
Serta tidak pula orang yang berkata
Kepada beliau “Berlaku Adillah”
Ini adalah syubhat mereka yang mencabang dari syubhat sebelumnya, sesungguhnya kami tatkala menuturkan kepada mereka bahwa ayat yang lalu itu menafikan hakikat keimanan orang yang memprotes keputusan Rasul saw, maka mereka berkata: Tapi kenapa beliau saw tidak mengkafirkan orang yang memprotes terhadap keputusannya dalam Syiraajul Harrah (2)
Dan begitu pula kaum munafiqin yang Allah firmankan tentang mereka: “Dan bila dikatakan kepada mereka “Marilah kalian mengikuti apa yang telah Allah turunkan dan apa yang diputuskan Rasul” maka engkau melihat orang-orang munafiq menghalang-halangi (manusia) dari (mengikuti) mu.” (An Nisa: 61)
Dan sama seperti itu adalah seorang laki-laki yang berkata pada pembagian Nabi saw: Ini bagian yang tidak diharapkan wajah Allah dengannya.”
Sedang jawaban atas hal ini adalah kami katakan: Telah berulang-ulang bahwa masalah yang sedang kita bicarakan adalah tergolong Ashluddin dan qaidahnya, dan masalah seperti ini tidak mungkin terkena nasakh (penghapusan) sama sekali, sehingga tidak sah sama sekali dibenturkan atau dirobek dengan kejadian-kejadian pribadi yang bisa saja ada mulasabat (faktor-faktor yang mempengaruhi) dan pentakwilan-pentakwilan tertentu, akan tetapi hal-hal seperti itu – bila musykil takwilnya – seyogyanya dikembalikan kepada induk dan intinya sebagaimana halnya pada al mutasyabih karena ia dikembalikan kepada yang muhkam dari Al Quran, dan tidak boleh nushush dibenturkan dan satu sama lain diadukan.
Adapun hadits orang yang memprotes terhadap hukum Rasul saw dakam Syiraajul Harrah dan status kaum munafiqin yang menghalang-halangu (manusia) dari hukum Allah, keduanya sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepada anda adalah dalam satu bahasan dan konteks. Ihtijaj mereka untuk membela para thaghut dengan keberadaan bahwa Nabi saw tidak mengkafirkan mereka adalah tidak ada hujjah bagi mereka di dalamnya, karena Al Quran telah turun setelah kejadian ini sebagai pemberi vonis akan kekafiran setiap orang yang memprotes terhadap hukum Allah dan hukum Rasul atau yang ingin tahakum kepada thaghut. Dan tidak mungkin sekali Nabi saw tidak mengkafirkan mereka setelah itu bila mereka bersikukuh di atasnya dan tidak menampakkan taubat, penyesalan dan rujuk, serta tidak mungkin Nabi saw mengakui mereka atas sikap terus menerus mencela hukum Allah dan tahakum kepada thaghut tanpa beliau kafirkan dan bunuh mereka sedangkan beliau adalah orang yang mengatakan: “Siapa yang merubah dien-Nya maka bunuhlah dia.”
Sehingga mesti dikatakan bahwa mereka setelah turun ayat-ayat itu tidak bersikukuh di atas kekafiran itu, namun mereka taubat, menyesal, dan tunduk serta patuh kepada hukum Allah walau secara dhahir.
Catatan kaki:
(1)
(2) Hadits ini diriwayatkan Al Bukhari dari ‘Urwah, berkata: Az Zubair berselisih dengan laki-laki dari Al Anshar dalam hal Syiraajul Harrah, maka Nabi saw berkata: Siramilah Hai Zubair terus lepas air ke tetanggamu” maka Al Anshari berkata: Wahai Rasulullah apa itu karena ia sepupumu? Maka wajah beliau berwarna terus berkata: Siramilah Hai Zubair terus tahan air itu sampai kembali ke pematang kemudian lepas air ke tetanggamu” Zubair berkata: Saya tidak mengira ayat-ayat ini kecuali turun dalam hal itu: : “Tidak, demi Tuhanmu, mereka itu tidak beriman sehingga menjadikanmu sebagai hakim dalam apa yang menjadi perselisihan di antara mereka.” Selesai
Nabi saw telah memerintahkan sepupunya untuk merasa cukup dengan lebih kurang dari hak sebenarnya dalam hal air dalam rangka membuat ridla al anshari itu, kemudian tatkala al anshariy itu mengatakan apa yang dia katakan, maka beliau menyuruh Zubair memenuhi haknya yang menjadi hak dia secara sempurna dalam ketegasan putusan.
Catatan kaki selesai.
Al Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al Muhalla Jilid 11 pada masalah 2199: “Sehingga bila Allah telah menjelaskan bahwa mereka itu tidak beriman sampai mereka menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim dalam apa yang menjadi perselisihan di antara keduanya, maka wajibkah bahwa orang yang telah mengetahui hal ini baik dulu maupun sekarang dan hingga hari kiamat terus ia menolak dan membangkang maka ia kafir, sedangkan dalam ayat tidak ada penjelasan bahwa mereka itu membangkang setelah turunnya ayat.” Selesai.
Dan ini persis seperti orang-orang yang memperolok-olok al qurra dalam perang Tabuk, sesungguhnya Nabi saw tidak membunuh mereka, maka tidaklah sah berdalil dengan hal ini bahwa mereka tidak dikafirkan dengan sebab istihza’ mereka(1), namun yang benar adalah dikatakan bahwa mereka itu telah menampakkan taubat setelah Allah vonis dengan kekafiran mereka, maka Nabi saw memperlakukan mereka dengan dhahirnya.
Ibnu Hazm berkata dalam Al Muhalla juga 11/207 setelah menuturkan firman-Nya ta’ala: “Dan bila kamu bertanya kepada mereka, tentulah mereka mengatakan: “Kami hanya bercanda dan bermain.....” hingga firman-Nya “mereka itu para pelaku dosa” (At Taubah: 65-66), beliau berkata: Ini tanpa diragukan tentang orang-orang tertentu yang telah kafir setelah mereka beriman, akan tetapi taubat terbuka bagi mereka dengan firman-Nya: “Bila Kami memaafkan sekelompok dari kalian maka kami (juga) mengadzab sekelompok (yang lain), itu disebabkan mereka itu para pelaku dosa.” (At Taubah: 66) maka sahlah bahwa mereka itu telah menampakkan taubat dan penyerahan serta mengakui akan dosa-dosanya. Di antara mereka ada yang Allah ta’ala terima taubatnya secara bathin karena Dia ta’ala mengetahui kebenaran taubatnya, dan di antara mereka ada yang tidak sah taubatnya secara bathun maka merekalah orang-orang yang diadzab di akhirat dan adapun secara dhahir (lahir) maka seluruh mereka telah bertaubat dengan nash ayat, wa billahit ta’ala taufiq.” Selesai.
Dan ini tegas dalam ayat-ayat itu, dan tidak ada di dalamnya dan di dalam khabar-khabarnya bahwa mereka bersikukuh dalam istihza’nya dan terus menerus di dalamnya serta Nabi saw mengakui mereka atas hal itu tanpa membunuh mereka, justru dalam atsar-atsar yang diriwayatkan Ath Thabariy dan Ibnu Abi Hatim ada penegasan bahwa sebagian mereka mengajukan udzur seraya bergelantungan di pelana unta Rasulullah saw sedang bebatuan menyemburi dia, sebagai bentuk penampakan taubat, penyesalan dan rujuk.
Catatan kaki:
(1) Sungguh saya telah mendengar hal itu secara jelas dari sebagian syaikh Murjiah di Kuwait dalam kaset rekaman dengan judul Al Hakimiyyah, mereka membagikannya dan merasa bangga dengannya serta mereka sangat berupaya untuk memberikannya kepada setiap orang yang mereka dengar mengkafirkan para thaghut mereka. Saya diberi kaset itu oleh seorang pemuda yang terpengaruh dengan syubhat-syubhat mereka setelah dia mendengar saya berbicara tentang takfier tahghut negerinya.....Dan kaset itu penuh dengan tajahhum dan irja, dan di antaranya ucapannya: “Bahwa istihza’ dengan dienullah adalah kufur ‘amaliy yang mana pelakunya tidak dikafirkan kecuali bila menganggapnya halal, yaitu dia meyakini bahwa syari’at itu ladang untuk diperolok-olok.” Dan sikap-sikap ngawurnya yang telah nampak jelas kebatilannya di hadapanmu, maka nasihat saya kepada orang-orang yang bertaqlid kepadanya agar menghentikan diri dan menutupi kebodohan syaikh mereka terhadap ushul yang nyata ini – terutama sesungguhnya syaikh itu telah meninggal dunia – serta hendaklah mereka menghentukan daru penyebaran sikap ngawur itu, sebagai bantuk kasihan terhadap si syaikh dari mereka pikulkan kepadanya dosa kesesatan-kesesatan dan syubhat-syubhat ini dan dosa-dosa orang-orang yang disesatkan dengannya hingga hari kiamat.
Catatan kaki selesai.
Dan adapun orang yang menuduh Rasulullah dzalim dan orang itu berkata bahwa beliau tidak adil serta tidak mengharapkan dengan pembagiannya wajah Allah, maka tidak ragu bahwa dia itu murtad – karena ini adalah celaan pada risalah yang mengharuskan amanah – dan inilah yang dipahami Khalid dan Umar ra secara langsung, sehingga keduanya minta izin Nabi saw untuk membunuhnya sebagaimana dalam riwayat-riwayat hadits.
Dan ini ditunjukkan bahwa Nabi saw mengaitkan alasan pelarangan beliau dari membunuh orang ini dan yang serupa dengannya – dalam sebagian riwayat – dengan kekhawatiran (orang-orang berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya) dan beliau tidak mengkaitkannya dengan ‘ishmah darahnya sebagaimana halnya pada kaum muslimin, maka ini menunjukkan bahwa ia kafir dengan ucapan itu dan seandainya ia itu muslim tentulah cap itu tidak memberikan pengaruh dan tidak selaras dalam ‘ishmah darah orang yang ma’shum, dan tidak boleh memberikan alasan hukum dengan sifat yang tidak memiliki pengaruh, namun pemberian alasannya haruslah dengan sifat yang mana ia adalah manathul hukmi (ruang lingkup yang mana hukum berkisar pada sebab itu) dan ini sudah ma’lum pada ungkapan ahlil ilmi dalam bab Tanqihul Manath (penyeleksian sebab hukum), dan makna ini telah dituturkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Ash Sharimul Maslul hal 335.
Adapun Nabi saw tidak membunuhnya dan justru melarang Umar dan Khalid darinya, maka jawabannya adalah seperti apa yang disebutkan Ibnu Hazm rh dalam Al Muhalla 11/225: “Bahwa Allah ta’ala saat itu belum memerintahkan membunuh orang yang murtad, oleh sebab itu Rasulullah saw tidak membunuhnya, serta karena itu pula beliau melarang membunuhnya, kemudian setelah itu Allah ta’ala menerintahkan membunuh orang yang murtad dari dien-Nya, sehingga pengaharaman membunuh mereka di nasakh.”
Dan berkata pula di dalamnya 11/411: Adapun orang yang berkata pada pembagian Nabi saw (ini adalah pembagian yang tidak ada keadilan di dalamnya dan tidak diharapkan wajah Allah ta’ala dengannya).
Maka sungguh telah kami katakan bahwa ini terjadi para perang Khaibar, dan ini sebelum Allah ta’ala memerintahkan untuk membunuh orang-orang murtad, dan dalam khabar ini tidak ada pernyataan bahwa orang yang mengucapkan ucapan ini tidak kafir dengan sebab ucapannya itu.” Selesai.(1)
Catatan kaki:
(1) Dalam hal ini Ibnul Wazir menyelisihi dalam Itsarul Haq ‘Alal Khaliq, di mana beliau mengklaim bahwa Nabi saw tidak mengkafirkannya, karena ia tidak mendatangkan hal yang membuatnya kafir sama sekali, namun “dia menganggap bisa saja Nabi saw berbuat dosa seperti dosa-dosa para Nabi sebagaimana firman Allah ta’ala: “Dan Adam maksiat kepada Rabb-Nya, maka sesatlah ia” (Thaaha: 121), terus dia menganggapnya sebagai kekeliruan yang besar yang tidak sampai kepada derajat kekafiran selama ia merealisasikan tauhid lagi tetap di atas kesaksian laa ilaaha illalaah Muhammad Rasulullah dan tidak melakukan pembatal satupun. Silakan rujuk hal 339-400 dan taujih (arahan) Ibnu Hazm tidak ragu adalah lebih kuat.
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah maka beliau telah tuturkan itu dalam (Ash Sharimul Maslu ‘Ala Syatimurrasal) dan beliau tegaskan bahwa ia itu telah kafir hal (199), karena orang yang menyakiti Rasul maka dia telah menyakiti Allah, sedangkan orang yang menyakiti Allah maka ia kafir halal darahnya hal (40) beliau berdalil dengan firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya, maka Allah melaknat mereka di dunia dan di akhirat, dan Dia persiapkan bagi mereka siksa yang menghinakan.” (Al Ahzab: 57) Dia barengkan sikap menyakiti Rasul dengan menyakiti-Nya subhanahu, dan karena celaan terhadap putusannya dan penuduhan zalim kepada beliau adalah menggugurkan apa yang dikandung kesaksian tauhid berupa amanah hal (185). Dan beliau menjawab sikap beliau tidak membunuh dia dengan beberapa sisi:
Di antaranya hal 187: Bahwa larangan beliau kepada para sahabatnya dari membunuhnya adalah sama seperti larangan beliau dari membunuh Ibnush Shayyad tatkala mereka ragu bahwa ia itu Dajjal, di mana beliau saw berkata: “Bila memang ia itu Dajjal maka kamu tidak akan mampu menguasainya” karena beliau tahu benar bahwa dia itu akan keluar di akhir zaman tidak bisa dihalangi. Dan bergitulah hal ini, sesungguhnya beliau mengabarkan dengan apa yang Allah perlihatkan kepadanya dari ilmu ghaib bahwa akan keluar dari macam orang ini kaum yang membaca Al Quran yang tidak melewati kerongkongannya.....hingga akhir, sembari meyakini bahwa mafsadah keluarnya mereka adalah tidak bisa ditolak dengan membunuhnya, maka beliau meninggalkannya karena khawatir akan kerusakan yang meyakinkan menurut beliau, yaitu orang-orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya yang suka shalat bersamanya, sehingga dengan hal itu lari dari Islam banyak hati tanpa mashlahat yang bisa mengubur mafsadah ini, terutama sesungguhnya itu terjadi di saat lemah dan pelunakan hati.
Dan ini adalah sisi kedua, yang mana ia adalah sisi yang diakui Ibnu Hazm, Syaikhul Islam menuturkan hal 189, juga 178, 179-223, 237, dan 359 bahwa itu sebelum Nabi saw diperintahkan untuk membunuh orang yang menampakkan nifaq dan kekafirannya. Sebelum Badr saat kaum muslimin lemah, beliau saw diperintahkan bersabar atas gangguan mereka dan untuk memaafkan mereka dalam firman-Nya ta’ala: Dan janganlah kamu mentaati kaum kafirin dan munafiqin dan biarkan gangguan mereka.” (Al Ahzab: 48) dan yang lainnya: “Dan adapun setelah perang Badr yang mana ia adalah permulaan kejayaan kaum muslimin, maka beliau itu memerangi orang yang menyakitinya dari kalangan orang yang tidak ada mafsadah dalam membunuhnya. Adapun setelah kejayaan kaum muslimin dengan penaklukan Makkah dan kesempurnaannya dengan perang Tabuk dan turun Bara’ah (At Taubah) Allah ta’la telah menasakh sabar atas gangguan mereka dengan firman-Nya: “Jihadilah orang-orang kafir dan munafiqin serta bersikap kasarlah terhadap mereka.” (At Taubah: 113) dan setelahnya orang kafir dan munafiq tidak mampu menyakiti mereka di majelis khusus dan tidak pula di tempat umum, namun justru dia mati dengan kedongkolannya karena dia mengetahui bahwa bila ia berbicara pasti dibunuh. Perhatikanlah sisi ini dan ia adalah rincian bagi apa yang dituturkan Ibnu Hazm, karena memahaminya bisa melenyapkan darimu berbagai kesulitan dalam banyak kejadian-kejadian pribadi yang tergolong macam ini.
Dan sisi lain yang beliau sebutkan hal 184 dan beliau isyaratkan kepadanya dalam banyak tempat, yaitu bahwa ucapan orang itu adalah tentang pribadi Al Mushthafa saw dan sikap menyakiti yang khusus terhadap beliau saw hal 229 dan 434, dan bahwa beliau berhak memberikan maaf terhadap orang yang menyakitinya secara muthlaq saat beliau masih hidup, dan dalam kondisi macam seperti itu beliau memaafkan mereka dalam rangka ta’lif (pelunakan) hati. Dan macam akhir ini beliau tuturkan hal 446 dari Al Qadli Abu Ya’la tentang Al Anshari yang berselisih dengan Zubair.
Dan adapun setelah beliau meninggal saw, maka siapa yang menghinanya atau menyakitinya maka ia kafir halal darahnya dan umat tidak berhak memaafkannya. Hal 226.
Catatan kaki selesai.
Maka nampaklah di hadapanmu bahwa tidak ada hujjah bagi mereka dalam itu semua, dan mereka tatkala tidak mampu mendatangkan hujjah-hujjah dan dalil-dalil, maka mereka bersengaja mengambil kejadian-kejadian pribadi ini seraya bermaksud menerjang dengannya hal inti yang paling dasar dan pilar yang paling kokoh itu yang dengannya kami berhujjah atas kekafiran para thaghut mereka bila mereka merobohkannya, mereka mengajak manusia dan menyuruh mereka untuk merobohkannya, akan tetapi jurang yang mana di sini mereka tergelincir di dalamnya adalah mereka dengan mempermainkan khabar-khabar ini dan dengan ihtijaj mereka yang rusak itu adalah mereka telah menuduh Nabi saw mendiamkan kaum murtaddin dan kuffar, mengakui mereka atas kekafirannya, tidak membunuhnya dan tidak memeranginya. Orang-orang miskin itu tidak mengetahui bahwa mereka dengan metode mereka ini, berarti mereka menjerumuskan diri mereka pada jalan membela-bela para thaghut.
Manjaniq Maghrib berkata: Siapa yang menduga bahwa Rasulullah saw tidak membunuh orang yang wajib dibunuh dari kalangan sahabatnya maka dia telah kafir lagi halal darah dan hartanya, karena dia telah menisbatkan kebatilan dan mukhalafatullah (penyelisihan kepada Allah) ta’ala terhadap Rasul saw.
Demi Allah sungguh Rasulullah saw telah membunuh sahabat-sahabatnya yang baik dipastikan beriamn dan masuk surga, karena hukum bunuh wajib atas mereka seperti Maiz, Al Ghamidiyyah, dan Al Juhainyyah ra.
Maka termasuk jebatilan yang pasti dan kesesatan murni serta kefasikan yang asli, bahkan tergolong kekafiran yang nyata adalah seorang muslim meyakini atau menduga bahwa Rasulullah saw membunuh orang-orang muslim yang baik lagi calon ahli surga dari kalangan sahabatnya dengan pembunuhan yang sangat mengerikan dengan batu, terus beliau menelantarkan penegakan al haq al wajib dalam membunuh orang murtad atas orang kafir yang beliau ketahui bahwa dia telah murtad.
Hingga ucapannya: Dan kami bersaksi dengan kesaksian Allah ta’ala bahwa orang yang meyakini ini dan menganutnya maka sesungguhnya dia kafir musyrik murtad lagi halal darah dan hartanya, yang mana kami berlepas diri di hadapan Allah darinya dan dari perwaliannya.(1) Selesai.
Catatan kaki:
(1) Dengan ikhtisar dari Al Muhalla 11/218, dan ungkapan itu adalah bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa kaum munafiqin itu menampakkan kekafirannya di hadapan Rasulullah saw terus beliau mengakui mereka dan tidak membunuhnya. Dan bahasan ini adalah sangat berharga dan beliau rh telah membahas secara panjang lebar dan beliau tuturkan setiap ayat dan hadits yang ada syubhat di dalamnya, beliau jelaskan dan beliau bantah syubhatnya, maka silakan rujuk, karena ia sangat berfaedah.
Catatan kaki selesai.
Penutup
Wa Ba’du:
Maksud kami di sini bukanlah membatasi semua syubhat Murjiatul ‘Ashri, karena ia tidak pernah habis, karena mereka itu telah memenuhi pemahaman mereka dengan syubhat, dan syaithan senantiasa membisikkan kepada mereka ucapan-ucapan yang indah untuk menipu.....
Syubhat-syubhat yang berguguran bagaikan kaca, engkau kira benar, sedang semuanya bisa memecahkan dan dipecahkan.
Dalam lembaran-lembaran ini kami hanya menyinggung hal-hal yang paling masyhur saja yang dilontarkan orang-orang dungu mereka di negeri ini yang berkaitan atau dekat dengan inti bahasan, sebagai penjelasan dan tanbih bagi para pencari al haq yang sedang berjalan di atas jalan.
Dan saya akhiri ini dengan mengingatkan diri saya dan mengingatkan mereka dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang dengannya si penempuh jalan menjadikannya petunjuk dalam kegelapannya di tengah fitnah-fitnah, hawa nafsu dan kegelapan-kegelapan yang bercampur aduk......sebagai peringatan “karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kaum mu’minin”
Pertama: Jauhilah hawa nafsu
Ibnu Daqiq Al I’ed berkata tentang hal-hal yang membinasakan yang memasukkan penyakit “pertama: hawa nafsu, sedang ia adalah yang paling buruk, dan ia dalam tarikh kaum mutaakhirin adalah banyak.” Selesai.
Maka wajib atas pencari kebenaran untuk memurnikan (niat) untuk mencari al haq dan untuk tidak mengikuti hawa nafsu.
Allah ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga itu menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah bagi mereka adzab yang besar dengan sebab mereka lupa dari perhitungan.” (Shad: 26).
Hawa nafsu adalah satu thaghut dari sekian thaghut yang diikuti meyoritas manusia. Dan engkau tidak akan berpegang penuh erat dengan al ‘urwah al wustha dan bergabung dengan para pejalan sampai kamu berserah diri kepada Allah dan hukum-Nya saja dengan penyerahan yang muthlaq serta kafir terhadap tiap thaghut dan di antaranya thaghut hawa nafsu ini, Allah ta’ala berfiirman: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara baginya, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat jalannya.” (Al Furqan: 43-44)
Dan firman-Nya ta’ala: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Al Jatsiyah: 23).
Maka hati-hatilah dari thaghut ini dan jauhilah ia sebagaimana engkau menjauhi thaghut-thaghut yang lain untuk merealisasikan tauhid yang merupakan haq Allah atas semua hamba dengan perealisasian yang sempurna.
Dan perhatikanlah sifat-sifat hamba-hamba-Nya yang binasa lagi berjatuhan di pintunya dalam ayat-ayat tersebut, dan sanksi yang Allah berikan kepada mereka dengan sebabnya, berupa penguncian terhadap hati dan pendengarannya serta penutupan terhadap pandangan, sehingga mereka telah menjadi lebih sesat dari binatang ternak mereka tidak mau melihat dalil-dalil dan bayyinat, terus mereka tidak mengambil ‘ibrah dengannya dan tidak menjadikannya sebagai penunjuk jalan atau mengambil pelajaran, sehingga thaghut ini telah mempermainkan mereka sekehendaknya, .... hawa nafsu itu menyertai mereka sebagaimana anjing menyertai tuannya....pujilah tuhanmu atas nikmat petunjuk kepada al haq dan at tauhid dan menangislah serta mohonlah kepada-Nya agar meneguhkanmu di atasnya dan menutup hayatmu dengannya.
Dan jadikanlah bagi hatimu dua kelopak mata yang keduanya
Menangis karena takut kepada Ar Rahman
Andai Tuhanmu berkehendak tentulah kamu juga seperti mereka
Karena hati itu ada di antara jemari Ar Rahman
Dan ingatlah firman Allah ta’ala: “Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudlaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Ali Imran: 120) dan firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukan dengan Allah.” (An Nahl: 99-100)
Kedua: Hati-hatilah dari fanatik golongan dan guru
Atau mendahulukan hal itu di atas Allah dan Rasul-Nya atau meninggalkan firman Allah yang muhkam karena ucapan dan pendapat mereka. Selama al haq itu telah nampak di hadapan engkau dengan dalilnya, maka gigitlah kuat-kuat dengan geraham dan janganlah kamu meninggalkannya karena ucapan atau pendapat seseorang. Bila engkau mendapatkan petunjuk pada kebenaran dalam suatu masalah terus kebenaran itu datang seraya menyelisihi apa yang engkau dapatkan dari guru-gurumu maka janganlah kebenaran itu dibantah dengan ucapan atau perbuatan mereka, karena firman Al Khaliq tidak boleh ditentang dengan ucapan makhluk. Berapa banyak hal seperti ini telah menghalangi banyak orang yang sebelumnya kami mengira mereka itu para pencari kebenaran dari sikap bergabung dengan para penempuh jalan, serta syaitan menggembosi mereka dengan berbagai syubhat: “Apakah hal seperti ini samar atas syaikh?” Seandainya itu adalah haq tentulah tidak samar atasnya” atau “bagaimana syaikh mengatakan hal yang menyelisihinya?” Jadi taufiq dan tarjih dan upaya pencaman nasikh dan mansukh, al ‘aam dan al khash atau muthlaq dan muqayyad hanyalah dilakukan dalam apa yang diduga ada pertentangan dari firman Allah atau sabda Rasul. Adapun ucapan makhluk, maka Allah ta’ala telah berfirman: “Dan seandainya itu berasal dari selain Allah tentu mereka mendapatkan di dalamnya perselisihan yang banyak.” (An Nisa: 82).
Janganlah menghalangimu dari mengikuti al haq dan membelanya keberadaan sebagian guru-gurumu menyelisihinya. Sungguh kami dulu di awal pencarian ilmu terjadi pertentangan dan isykal di hadapan kami sebagian ucapan para syaikh yang kami saat itu percaya benar kepada mereka, padahal al haq dalam masalah itu telah nyata di hadapan kami, sehingga kami sering bimbang dan tawaqquf. Dan ini adalah tergolong rintangan yang menghambat pejalan dan merintangi perjalanan. Padahal hal seperti itu tidak layak menjadi penghalang bagi pencari al haq dan tidak layak lama tawaqquf dan bimbang di dalamnya dengan sebab hal itu. Selama al haq itu telah nampak dan jelas dengan dalilnya dari Al Kitab atau As Sunnah, maka pendapat yang selaras dengannya adalah diterima dan pendapat yang menyelisihinya adalah tertolak lagi terlempar, karena semua orang diambil dan ditolak dari pendapatnya kecuali al ma’shum saw.
Jauhilah pendapat orang-orang bodoh: bahwa firman Allah itu tidak boleh diambil dengan dhahir-dhahirnya, karena bisa saja yang dimaksud itu adalah ini atau itu dan kita tidak mampu memahami Al Quran dan ucapan-ucapan lainnya yang dengannya mereka mempersulit apa yang telah Allah ta’ala mudahkan “Dan Kami telah memudahkan Al Quran untuk pelajaran, maka adakah yang mengambil pelajaran.” (Al Qamar: 22)
Itulah ucapan-ucapan kaum sesat di setiap tempat, mereka saling mewariskannya, sebagian dari sebagian yang lain utnuk menta’thil (menggugurkan) nushush al kitab, dan sebagai gantinya mereka memberlakukan teks-teks ucapan dan pendapat guru-guru mereka yang tidak pernah dibantah, sebagaimana mereka menimpali Kitabullah dengan sikap-sikap mempersulit.
Dan haqiqaitnya adalah ajakan yang jelas untuk taqlid serta penta’thilan teks-teks wahyu.
Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim di mana beliau berkata:
Mereka jadikan ucapan guru-gurunya sebagai nash yang memiliki
Kepatenan lagi dua nash ditimbang darinya
Sedang firman Rabbul ‘Alamin dan hamba-Nya
Mereka jadikan samar yang mengandung banyak makna
Ketiga: Hendaklah engkau hiasi diri dengan inshaf (objektif)
Hiasilah dirimu dengannya dan jangan engkau mencabutnya selama-lamanya karena ia adalah pakaian yang paling langka di tengah makhluk pada zaman ini, oleh karena itu para ulama berkata: “Inshaf adalah pakaian para bangsawan, sedang bangsawan adalah yang paling jarang inshaf.”
Di antara bentuknya adalah engkau menjaga diri (wara’) dari menisbatkan kepada lawan atau menyandarkan kepada mereka apa yang tidak pernah mereka ucapkan, walaupun itu adalah tergolong lazim dari ucapan mereka, taqwalah engkau kepada Allah dan janganlah dusta atas nama mereka atau menghukumi mereka dengan praduga dan perkiraan, meskipun mereka itu dusta atas namamu, karena orang mu’min itu tidaklah berdusta.
Seringkali kami mengalami hal seperti dari Murjiah zaman kita ini, namun kami tidak membalas perlakuan buruk dengan hal serupa. Ibnu Hazm berkata dalam Al Fashl 5/33: Dan hendaklah orang yang membaca kitab kami ini mengetahui bahwa kami tidak menganggap halal apa yang dianggap halal oleh orang yang tidak memiliki sedikitpun kebaikan, berupa menyandarkan kepada seseorang apa yang tidak pernah dia katakan, meskipun ucapannya menghantarkan kepadanya. Maka ketahuilah bahwa menyandarkan ucapan kepada orang yang tidak mengucapkannya baik itu orang kafir atau ahlu bid’ah atau orang yang keliru, secara teks, adalah dusta atas namanya, padahal tidaklah halal berdusta atas nama seseorangpub.” Selesai.
Maka janganlah melampaui hududullah terhadap orang-orang yang menyelisihi meskipun mereka melampaui huduudullah terhadapmu, akan tetapi ikatlah apa yang engkau ucapkan dan timbanglah dengan timbangan keadilan yang dengannya langit dan bumi tegak. Dan ketahuilah bahwa mata kebencian menampakkan keburukan yang padahal secara sebenarnya ia memiliki jalan keluar yang shahih, ia buta darinya dengan hijab kebencian.
Keempat: Hati-hatilah dari sikap bimbang dan kecut dari mengikuti al haq dan membelanya karena sedikitnya anshar yang menempuh jalan atau karena banyaknya orang-orang yang menyelisihi dan yang menggembosi. Karena jama’ah itu adalah yang menyelarasi al haq walau engkau sendirian, dan bukanlah dengan jumlah banyak orang kebenaran itu diketahui dan bukan pula dengan sosok terkenal, namun sosok itu dikenal dengan sebab al haq. Ingatlah selalu bahwa ada Nabi yang datang di hari kiamat sedang ia tidak memiliki pengikut dan anshar kecuali satu dan dua orang, dan ada Nabi yang datang tanpa seorang pengikutpun.....padahal ia itu nabi!!
Dan Rasulullah saw telah mensifati Ath Thaifah yang menegakkan perintah Allah hingga hari kiamat, bahwa mereka itu: “Tidak terganggu dengan orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula dengan orang yang menggembosi mereka.”
Maka dari itu janganlah kamu merasa terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi atau dengan penggembosan mereka terhadap al haq walaupun mereka itu mayoritas. Dan harus engkau ingat pula bahwa orang-orang yang paling pertama api neraka dinyalakan dengannya adalah tiga orang, di antaranya ulama yang tidak mengambil manfaat dengan ilmunya karena kehilangan syarat ikhlas, jadi janganklah engkau terpukau dengan banyakya sorban-sorban yang menyimpang dari jalan ini, yaitu ulama pemerintah yang telah menjual dien mereka kepada penguasa dengan beberapa keping uang, di mana mereka membaiatnya, mendukungnya dan mengokohkannya, mereka kaburkan al haq dengan al bathil dan mereka merusak di hadapan manusia dien mereka. Jadi yang dianggap itu bukanlah orang-orang macam mereka itu namun yang dianggap itu hanyalah ulama yang mengamalkan (ilmunya) lagi berlepas diri dari ahlil kufri waththugyan, mereka itulah para pewaris al anbiya. Komitmenlah dengan jalan mereka walau mereka sedikit, dan jangan terperdaya dengan banyaknya buih, yang aneh itu bukanlah dari orang binasa bagaimana dia binasa, namun yang aneh itu adalah orang yang selamat bagaimana ia selamat.
Kelima: Yakinlah bahwa al haq itu akan menang di kemudian hari dan sesungguhnya kemenangan, keberpihakan, kejayaan dan kemenangan akhir tidak ragu adalah buat para pengikut dan ansharnya.
Dan ingatlah ucapan Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy saat berkata: (Ahlussunnah itu mati namun hidup penyebutan mereka, sedang ahlul bid’ah itu mati dan mati pula penyebutan mereka, karena ahlus sunnah itu telah menghidupkan apa yang dibawa Rasul saw, sehingga mereka memiliki bagian dari firman Allah ta’ala: “Dan Kami angkat bagimu penyebutanmu” (Asy Syarh: 4), sedang ahlul bid’ah mencela apa yang dibawa Rasul saw, sehingga mereka memiliki bagian dari firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya orang yang mencelamulah yang terputus.” (Al Kautsar: 3)
Maka segeralah dan cepatlah bergabung dan janganlah sesuatupun menghalangimu dari bergabung dengan kafilah untuk nushrah al haq dan penganutnya.....Tidak lain hanya beberapa hari lagi......dan di pagi hari orang-orang memuji perjalanan malam.
Ya Allah Rabb Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi Engkau memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam apa yang mereka perselisihkan....Berilah aku petunjuk terhadap apa yang diperselisihkan berupa al haq dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus........
Abu Muhammad Al Maqdisiy
1412 H
Aku telah persembahkan karena Allah apa yang aku persembahkan berupa amalan.
Dan tidak ada masalah atasku dengan mereka, apa mereka mencelaku atau berterima kasih.
Dalam pembahasan ini wajib atasku menampakkan hal-hal yang tidak jelas.
Dan tidak ada masalah denganku bila sapi-sapi itu tidak paham.