Terkait ayat ini, Asy-Syaukani menyatakan : “Sesungguhnya mereka menaati para pendeta/rahib mereka dalam perintah dan larangannya. Para pen-deta/rahib itu menempati kedudukan sebagai 'tuhan-tuhan' karena mereka ditaati sebagaimana layaknya tuhan.” (Asy-Syaukani, II/452)
Penjelasan senada juga dikemukakan oleh
Hudzaifah bin al-Yamani, Ibnu Abbas, dan lain-lain (As-Suyuthi,
III/354-355); juga oleh ath-Thabari, az-Zamakh-syari, ar-Razi, al-Alusi,
Ibnu Katsir, al-Baghawi, Ibnu 'Athiyah, al-Khazin, Ibnu Juzyi al-Kalbi,
dll dalam kitab tafsir mereka masing-masing.
Pengertian di atas sesuai dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atas ayat ini. Dalam hal ini, Adi bin Hatim (yang saat itu masih memeluk agama Nasrani) bertutur : “Aku pernah mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Hai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu”. Kemudian aku melemparkannya. Setelah itu, Beliau membaca ayat : “Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”. (QS. At-Taubah : 31). Aku berkata : “Sungguh, kami tidak menyembah mereka”. Beliau membantah : “Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian (ikut) mengharamkannya; mereka pun menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, lalu kalian (ikut) menghalalkannya?”. Aku menjawab : “Memang benar”. Beliau bersabda : “Itulah bentuk penyembahan kalian kepada para pendeta dan para rahib kalian”. (HR ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim)
Pengertian di atas sesuai dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atas ayat ini. Dalam hal ini, Adi bin Hatim (yang saat itu masih memeluk agama Nasrani) bertutur : “Aku pernah mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Hai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu”. Kemudian aku melemparkannya. Setelah itu, Beliau membaca ayat : “Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”. (QS. At-Taubah : 31). Aku berkata : “Sungguh, kami tidak menyembah mereka”. Beliau membantah : “Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian (ikut) mengharamkannya; mereka pun menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, lalu kalian (ikut) menghalalkannya?”. Aku menjawab : “Memang benar”. Beliau bersabda : “Itulah bentuk penyembahan kalian kepada para pendeta dan para rahib kalian”. (HR ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim)
*****
Pembaca yang budiman, dengan mendalami ayat
sekaligus penafsiran yang didasarkan pada riwayat di atas, kemudian
mengaitkannya dengan realitas para pembuat hukum saat ini, kita segera
menyimpulkan bahwa 'tuhan-tuhan' selain Allah itu kini tidak hanya para
pendeta/rahib Yahudi dan Nasrani. Ke dalam barisan mereka saat ini
bersekutu pula para wakil rakyat, juga penguasa, yang terlibat dalam
pembuatan hukum selain hukum yang telah Allah tetapkan.
Secara tidak langsung ayat ini sebetulnya terkait dengan keharaman berlaku 'syirik' (menyekutukan Allah). Ayat ini melarang manusia untuk menjadikan para rahib dan pendeta sebagai tandingan-tandingan Allah, sebagai 'tuhan-tuhan' selain Allah.
Secara tidak langsung ayat ini sebetulnya terkait dengan keharaman berlaku 'syirik' (menyekutukan Allah). Ayat ini melarang manusia untuk menjadikan para rahib dan pendeta sebagai tandingan-tandingan Allah, sebagai 'tuhan-tuhan' selain Allah.
Dalam konteks akidah, syirik jelas dosa yang
amat besar, bahkan dosa yang tidak akan pernah diampuni Allah Subhanahu
Wa Ta’ala (Lihat: QS an-Nisa' : 48). Jika mempertuhankan pihak lain
selain Allah (syirik) adalah sebuah dosa yang tidak terampuni, apalagi
sikap mempertuhankan diri sendiri, seperti halnya yang dilakukan oleh
Fir'aun?
Jika 'tuhan' adalah zat yang harus disembah,
sekaligus yang memiliki otoritas untuk membuat hukum, maka Fir'aun pada
masa lalu telah menahbiskan dirinya sebagai 'tuhan' itu. Bagaimana
dengan para wakil rakyat juga para penguasa dalam sistem demokrasi saat
ini, yang nyata-nyata dianggap satu-satunya pihak yang memiliki otoritas
membuat hukum? Setali tiga uang. Mereka hakikatnya sama dengan
'tuhan-tuhan' selain Allah; mereka tak lain adalah 'Fir'aun'-Fir'aun'
masa kini.
Memang, secara langsung mereka tidaklah disembah oleh manusia. Namun, jika penyembahan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Adi bin Hatim dalam hadits di atas adalah menaati hukum-hukum buatan manusia, maka para wakil rakyat (juga para penguasa) itu secara tidak langsung adalah 'tuhan-tuhan' yang disembah oleh manusia. Sebab, dalam sistem demokrasi, hukum-hukum yang mereka buat wajib ditaati oleh seluruh rak-yat yang telah memilih dan mengangkat mereka.
Jika demikian, betapa besar dosa mereka yang
selama ini merasa memiliki otoritas untuk membuat hukum yang harus
ditaati oleh masyarakat, padahal hukum-hukum yang mereka buat adalah
tidak bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hukum-hukum Allah bahkan
tidak pernah mereka lirik, apalagi mereka jadikan rujukan. Betapa
lancangnya pula mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena mereka
berani membuat hukum sendiri, padahal Allah telah menetapkan hukum bagi
diri mereka, bahkan Allahlah satu-satunya yang berhak membuat hukum,
bukan mereka (QS Yusuf [12]: 40).
Jika demikian, masihkah umat ini tetap ingin
mempertahankan sistem demokrasi yang nyata-nyata hanya menghasilkan
tuhan-tuhan palsu yang kemudian mereka taati seluruh hukumnya?! Wal
'iyâdzu billâh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar